Sedikit membicarakan mengenai masalah
Nyanyian. Sudah dikenal bahwa terdapat sekelompok orang islam [baca :
salafiy] yang sangat keras dalam mengharamkan musik dan nyanyian.
Diantara mereka ada yang membawakan dan berhujjah dengan atsar Ibnu
Mas’ud [radiallahu ‘anhu] bahwa Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati.
Tulisan ini berusaha membuktikan bahwa berdasarkan pendapat yang rajih
kedudukan sebenarnya atsar tersebut di sisi ilmu hadis adalah dhaif.
Riwayat Pertama:
حَدَّثَنَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَّدَثَنَا الحُسَيْنُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالا حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata
telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah dan Ubaidillah bin ‘Umar
keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah
dari Al Hakam dari Hammaad dari Ibrahiim yang berkata ‘Abdullah bin
Mas’ud berkata “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [Dzammul Malaahiy Ibnu Abi Dunyaa hal 42 no 31, tahqiq ‘Amru bin Abdul Mun’im bin Saliim].
Ibnu Abi Dunyaa juga menyebutkan sanad di
atas dalam kitabnya Dzammul Malaaahiy hadis no 34, riwayat Ibnu Abi
Dunyaa ini juga dikeluarkan oleh Al Baihaqiy dalam kitabnya Sunan Al
Kubra 10/223 no 2795 dan Syu’ab Al Iman 4/278 no 5098.
Ghundaar dalam periwayatan atsar di atas dari Syu’bah memiliki mutaba’ah dari:
- Sa’iid bin ‘Aamir sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malahiy hadis no 36.
- Waki’ bin Jarrah sebagaimana disebutkan Al Khallaal dalam kitabnya As Sunnah 5/76 no 1659.
Al Hakam bin Utaibah dalam periwayatan atsar di atas dari Hammaad bin Abi Sulaiman memiliki mutaba’ah sebagai berikut:
- Manshuur bin Mu’tamar sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malaahiy hadis no 35, Al Khallal dalam As Sunnah 5/73 no 1647, Al Baihaqiy dalam Syu’ab Al Imaan 4/279 no 5099, dan Ibnu Bathah dalam Al Ibanah kitab Iman 2/703 no 945 semuanya dengan jalan sanad Sufyan dari Manshur dari Hammad dari Ibrahim dari Ibnu Mas’ud. Ibnu Abi Dunya dalam Dzammul Malaahiy hadis no 37 juga menyebutkan dengan sanad Syariik dari Manshuur dari Ibrahim yang berkata mereka mengatakan Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati [tanpa menyebutkan Ibnu Mas’ud]. Riwayat Syarik tidak mahfuuzh dibanding riwayat Sufyaan karena Syarik jelek hafalannya.
- Abu Awanah Wadhaah bin ‘Abdullah sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malahiy hadis no 38 dengan jalan sanad Abu Awanah dari Hammad dari Ibrahim seperti hadis tersebut [mitslahu]. Lafaz mitslahu secara zhahir merujuk pada hadis sebelumnya pada no 37 yaitu riwayat Syarik dengan lafaz Ibrahim berkata “mereka mengatakan Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” tanpa menyebutkan Ibnu Mas’ud.
- ‘Awwaam bin Hausyab sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malahiy hadis no 39, Al Khallaal dalam As Sunnah 5/72 no 1646 dan Ibnu Bathah dalam Al Ibanah kitab Iman 2/704 no 947 dengan jalan sanad dari Husyaim dari ‘Awwaam dari Hammad dari Ibnu Mas’ud [tanpa menyebutkan Ibrahim An Nakha’iy]. Sanad ini tidak mahfuuzh karena Husyaim dikenal sebagai mudallis dan riwayatnya disini dengan ‘an anah.
- Syu’bah bin Hajjaaj sebagaimana disebutkan Al Khallaal dalam kitabnya As Sunnah 5/76 no 1659. Dalam riwayat Al Khallal ini disebutkan bahwa Syu’bah setelah mendengar atsar itu dari Al Hakam maka ia mendatangi Hammaad dan Hammaad menyebutkan atsar tersebut kepadanya.
Sekilas seolah nampak adanya idhthirab
yaitu dari sisi Hammaad bin Abi Sulaiman tetapi jika ditelaah dengan
baik nampak bahwa yang rajih dan mahfuuzh adalah riwayat Hammaad dari Ibrahim dari Ibnu Mas’ud
sebagaimana yang disebutkan Syu’bah, Al Hakam bin Utaibah dan Manshuur
bin Mu’tamar. Adapun riwayat Abu Awanah bisa dijamak dengan riwayat
Syu’bah, Al Hakam dan Manshuur yaitu bahwa diantara mereka yang
dimaksudkan Ibrahim adalah Ibnu Mas’ud.
Ibrahim bin Yazid An Nakha’iy
disebutkan biografinya dalam At Tahdzib dan Ibnu Hajar menukil bahwa
Abu Nu’aim mengatakan ia wafat tahun 96 H dan umurnya ada yang
mengatakan 49 tahun dan ada yang mengatakan 58 tahun [Tahdzib At Tahdzib
juz 1 no 325]. Berdasarkan keterangan ini maka Ibrahim lahir tahun 38 H
atau 47 H. Sedangkan Abdullah bin Mas’ud disebutkan dalam At Tahdzib
bahwa ia wafat tahun 32 H atau 33 H [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 43].
Maka dapat disimpulkan bahwa Ibrahim tidak menemui masa Ibnu Mas’ud maka
riwayatnya terputus [inqitha’] dan kedudukannya dhaif.
Syaikh Al Albani dalam Tahrim Alati Tharb
hal 145 mengakui bahwa sanad Ibrahim dari Ibnu Mas’ud inqitha’
[terputus sanadnya] hanya saja dalam pandangan Syaikh Al Albaniy mursal
Ibrahim khususnya dari Ibnu Mas’ud kedudukannya shahih. Diantara hujjah
Syaikh Al Albani adalah riwayat berikut:
حدثنا أبو عبيدة بن أبي السفر الكوفي حدثنا سعيد بن عامر عن شعبة عن سليمان الأعمش قال قلت لإبراهيم النخعي أسند لي عن عبد الله بن مسعود فقال إبراهيم إذا حدثتك عن رجل عن عبد الله فهو الذي سميت وإذا قلت قال عبد الله فهو عن غير واحد عن عبد الله
Telah menceritakan kepada kami Abu
‘Ubaidah bin Abi As Safri Al Kuufiy yang berkata telah menceritakan
kepada kami Sa’iid bin ‘Aaamir dari Syu’bah dari Sulaiman Al A’masyi
yang berkata aku berkata kepada Ibrahim An Nakha’iy “berikan sanad
kepadaku dari ‘Abdullah bin Mas’ud”. Ibrahim berkata “jika
aku menceritakan kepadamu dari seseorang dari ‘Abdullah maka ia adalah
orang yang aku sebutkan namanya dan jika aku berkata Abdullah berkata
maka itu dari lebih dari seorang dari ‘Abdullah [Sunan Tirmidzi Kitab Al Ilaal hal 249].
Riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah
untuk menyatakan bahwa mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud kedudukannya
shahih. Faedah yang didapatkan dari riwayat di atas adalah jika Ibrahim
berkata Ibnu Mas’ud berkata maka sanadnya adalah Ibrahim dari lebih dari seorang dari ‘Abdullah bin Mas’ud.
Sanad ini tetap saja tidak bisa dijadikan hujjah karena mubham-nya
orang-orang yang disebutkan Ibrahim dari Abdullah bin Mas’ud.
Mubham-nya orang-orang yang dimaksud
mengandung kemungkinan bahwa bisa saja orang-orang tersebut tergolong
dhaif atau majhul sehingga hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi
Ibrahim bin Yazid tidak dikenal sebagai perawi yang meriwayatkan hanya
dari perawi tsiqat saja. Bahkan Aliy bin Madiniy menyatakan kalau
Ibrahim bin Yazid juga meriwayatkan dari perawi majhul. Disebutkan dalam
Tahdzib Al Kamal biografi Yazid bin Aus Al Kuufiy,
فقال رجل يَا أَبَا الحسن فإبراهيم النخعي عمن روى من المجهولين ؟ فقال روى عن يزيد بْن أوس عَن علقمة فمن يزيد بْن أوس ؟ لا نعلم أحدا روى عنه غير إِبْرَاهِيم
Seorang laki-laki berkata “ wahai
Abul Hasan apakah Ibrahim An Nakha’iy termasuk yang meriwayatkan dari
orang-orang majhul?. Maka ia [Aliy bin Madiniy] berkata “ia
telah meriwayatkan dari Yazid bin Aus dari Alqamah maka siapakah Yazid
bin Aus?, tidak seorangpun diketahui meriwayatkan darinya kecuali
Ibrahim [Tahdzib Al Kamal 32/91 no 6966].
Syaikh Al Muallimiy telah membahas perkataan Ibrahim kepada A’masyiy tersebut
dan menurutnya riwayat tersebut tidaklah mengangkat inqitha’ sanad
Ibrahim dari Ibnu Mas’ud karena masih mengandung kemungkinan bahwa lafaz
“lebih dari seorang” itu termasuk mereka yang tidak bertemu dengan Ibnu
Mas’ud atau bertemu dengannya tetapi tidak tsiqat [At Tankiil Al
Mu’allimiy 2/142].
Sebagian orang mengatakan bahwa terdapat
lafaz riwayat dimana Ibrahim menyebutkan “lebih dari seorang sahabatnya
[Ibnu Mas’ud]” maka hal itu berarti sanad tersebut muttashil
[bersambung] dan tidak ada sahabat Ibnu Mas’ud yang tidak tsiqat.
Pernyataan ini juga tidak sepenuhnya benar, karena ketersambungan sanad
tidak semata-mata berlandaskan pada lafaz “sahabat” karena seorang
perawi bisa saja melakukan tadlis terhadap sahabatnya dan tidak ada
jaminan bahwa semua sahabat Ibnu Mas’ud adalah tsiqat.
Mungkin orang tersebut bisa membawakan
nama murid atau sahabat Ibnu Mas’ud yang menurutnya tsiqat dalam
berbagai kitab Rijal tetapi apa yang ada dalam kitab Rijal bukanlah
pembatas yang memustahilkan orang-orang majhul atau dhaif meriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud. Nampak jelas disini bahwa sebagian orang memaksakan
asumsinya sendiri berandai-andai dengan kemungkinan demi menyatakan
shahih hadis yang sesuai keyakinannya.
Secara zhahir riwayat A’masyiy masih
mengandung berbagai kemungkinan sehingga tidak bisa dijadikan hujjah
untuk mengangkat kelemahan inqitha’ sanad Ibrahim dari Ibnu Mas’ud.
Bukankah terdapat kemungkinan bahwa bisa saja perkataan Ibrahim tersebut
khusus untuk riwayat yang ia ceritakan kepada A’masyiy saja?. Apa
jaminannya bahwa itu berlaku untuk semua riwayat dimana Ibrahim berkata
“qaala Ibnu Mas’ud”?. Maka bagaimana mungkin bisa dinyatakan shahih jika
terdapat berbagai kemungkinan yang melemahkan.
Syaikh Al Albaniy kemudian menukil dari
Al Ala’iy yang menyebutkan bahwa jama’ah Imam telah menshahihkan riwayat
mursal Ibrahim dan Al Baihaqiy telah mengkhususkan shahih mursalnya
dari Ibnu Mas’ud. Pernyataan Al Ala’iy ini dapat dilihat dalam kitabnya
Jami’ At Tahshiil Fii Ahkam Al Marasiil no 13 biografi Ibrahim bin Yazid
An Nakha’iy.
Apa yang dikatakan oleh Al Ala’iy dan
dinukil oleh Syaikh Al Albaniy tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang
terdapat sebagian ulama yang menyatakan shahih mursal Ibrahim dari Ibnu
Mas’ud dan sebagian ulama lain tetap menyatakan dhaif termasuk Al
Baihaqiy. Maka penisbatan terhadap Al Baihaqiy tersebut tidak benar.
Ulama yang menguatkan riwayat Ibrahim dari Ibnu Mas’ud diantaranya
adalah:
- Ath Thahawiy termasuk ulama yang menyatakan shahih riwayat mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud dan hujjahnya adalah berdasarkan riwayat Al A’masyiy di atas [Syarh Ma’aniy Al Atsar 1/226]. Seperti yang telah kami jelaskan di atas bahwa riwayat A’masyiy tersebut jika ditelaah secara kritis tidaklah menjadi bukti untuk menshahihkan mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud.
- Ibnu Rajab Al Hanbaliy dalam Syarh Ilal Tirmidzi menjadikan riwayat Al A’masyiy tersebut sebagai hujjah untuk mentarjihkan riwayat mursal atas musnad dan ini berlaku khusus bagi Ibrahim An Nakha’iy dan terkhusus untuk riwayat irsal-nya dari Ibnu Mas’ud. [Syarh Ilal Tirmdizi 1/542].
Adapun ulama yang tetap menyatakan dhaif
inqitha’ Ibrahim dari Ibnu Mas’ud adalah Al Baihaqiy, Al Bukhariy
[sebagaimana dinukil Al Baihaqiy], Al Jurqaaniy, Adz Dzahabiy dan An
Nawawiy.
Al Baihaqiy dalam kitabnya Al Khilaafiyyaat pernah menukil riwayat Ibrahim dari Ibnu Mas’ud kemudian ia berkata:
وهذا مرسل إبراهيم لم يسمع من عبد الله بن مسعود ومرسلات إبراهيم ليست بشيء
Riwayat ini mursal, Ibrahim tidak
mendengar dari Ibnu Mas’ud dan riwayat-riwayat mursal Ibrahim tidak ada
apa-apanya [Al Khilaafiyyaat Al Baihaqiy 2/356].
Al Baihaqiy dalam kitabnya Qiraa’ah Khalaf Al Imaam hal 212 menukil dari
Al Bukhariy yang membawakan riwayat Salamah bin Kuhail dari Ibrahim
dari Abdullah kemudian Bukhariy berkata riwayat ini mursal tidak dapat
dijadikan hujjah dengannya.
Al Jurqaaniy dalam kitabnya Al Abathiil Wal Manakiir 2/231 membawakan
riwayat Hammaad dari Ibrahim dari Abdullah kemudian ia menyatakan
riwayat tersebut bathil mudhtharib dan Ibrahim tidak mendengar dari Ibnu
Mas’ud sedikitpun.
Adz Dzahabiy dalam kitabnya Mizan Al I’tidal biografi Ibrahim bin Yazid An Nakha’iy menyebutkan:
وأنه إذا أرسل عن ابن مسعود وغيره فليس ذلك بحجة
Bahwasanya ia [Ibrahim] jika
mengirsalkan dari Ibnu Mas’ud dan selainnya maka tidaklah menjadi hujjah
[Mizan Al I’tidal 1/204 no 252].
An Nawawiy dalam kitabnya Al Majmu’ ketika menyebutkan riwayat dari Hammaad dari Ibrahim dari Ibnu Mas’ud maka ia berkata:
وهو ان إبراهيم النخعي لم يدرك ابن مسعود بالاتفاق فهو منقطع ضعيف
Dan ia sesungguhnya Ibrahim An
Nakha’iy telah disepakati tidak menemui masa Ibnu Mas’ud maka ia
munqathi’ [terputus sanadnya] dhaif [Al Majmu’ An Nawawiy 3/311-312].
Apa yang kami sebutkan di atas hanya ingin menunjukkan bahwa sebagian ulama menguatkan mursal Ibrahim dari Ibnu Mas’ud dan sebagian yang lain tetap melemahkan inqitha’ antara Ibrahim dan Ibnu Mas’ud.
Pada dasarnya pendapat ulama yang berselisih harus ditimbang dengan
kaidah ilmu manakah yang lebih rajih. Berdasarkan pembahasan sebelumnya
nampak bahwa yang lebih rajih adalah tetap menyatakan mursal Ibrahim
dari Ibnu Mas’ud dhaif dan hal ini sudah sesuai dengan kaidah ilmu
hadis.
Riwayat Kedua:
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ طَلْحَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ كَعْبٍ الْمُرَادِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ وَإِنَّ الذِّكْرَ يُنْبِتُ الإِيمَانَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ
Telah menceritakan kepada kami Abu
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman dari
Muhammad bin Thalhah dari Sa’id bin Ka’b Al Muraadiy dari Muhammad bin
‘Abdurrahman bin Yaziid dari Ibnu Mas’ud yang berkata “Nyanyian
menumbuhkan kemunafikan di dalam hati sebagaimana air menumbuhkan
tanaman dan Dzikir menumbuhkan iman di dalam hati sebagaimana air
menumbuhkan tanaman” [As Sunah Al Khalaal 5/73-74 no 1650].
Atsar ini juga diriwayatkan Ibnu Abi
Dunya dalam Dzammul Malaaahiy hal 41 no 30 dan Al Baihaqiy dalam kitab
Sunan-nya 10/223 no 2796 semuanya dengan jalan sanad Sa’iid bin Ka’b Al
Muraadiy dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid dari Ibnu Mas’ud.
Sanad ini dhaif karena Sa’iid bin Ka’b Al Muraadiy
tidak dikenal kredibilitasnya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats
Tsiqat 8/262 no 13345 dan menyebutkan Muhammad bin Thalhah meriwayatkan
darinya. Ibnu Abi Hatim menyebutkan biografinya dalam kitab Al Jarh Wat
Ta’dil 4/57 no 249 tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil dan hanya
menyebutkan Muhammad bin Thalhah yang meriwayatkan darinya. Berdasarkan
hal ini nampak bahwa Sa’iid bin Ka’b Al Muraadiy adalah perawi yang
majhul ‘ain karena hanya seorang yang meriwayatkan darinya, adapun
penyebutan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat tidak memiliki qarinah yang
menguatkan ta’dilnya.
Al Bukhariy menyebutkan tentangnya hanya saja dengan nama Sa’iid bin Kulaib. Ia berkata dalam kitab Tarikh-nya
سعيد بن كليب عن محمد بن عبد الرحمن بن يزيد مرسل روى عنه محمد بن طلحة الكوفي
Sa’iid bin Kulaib meriwayatkan dari
Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid mursal dan telah meriwayatkan
darinya Muhammad bin Thalhah Al Kuufiy [Tarikh Al Kabiir juz 3 no 1694].
Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid An Nakha’iy
adalah seorang yang tsiqat termasuk perawi thabaqat keenam [Taqrib At
Tahdzib Ibnu Hajar 2/106] dan Ibnu Hajar menyebutkan bahwa perawi
thabaqat keenam tidak tsabit bertemu dengan seorangpun dari sahabat Nabi
[Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/25].
Oleh karena itu sanad di atas juga
dhaif karena munqathi’ [terputus sanadnya] yaitu Muhammad bin
‘Abdurrahman bin Yazid tidak bertemu dengan Ibnu Mas’ud.
Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa
perawi diantara Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yazid dan Ibnu Mas’ud
adalah Ayahnya, hanya saja riwayat ini tidak mahfuzh.
وَحَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثنا جَرِيرٌ عَنْ لَيْثٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
Dan telah menceritakan kepada kami
Abu ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari
Laits dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yazid dari Ayahnya yang berkata
‘Abdullah berkata “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [As Sunnah Al Khallaal 5/73 no 1649].
Riwayat ini tidak mahfuzh karena Laits bin Abi Sulaim,
ia seorang yang shaduq hanya saja mengalami ikhtilath yang berat
[bercampur hafalannya] dan hadisnya tidak bisa dibedakan sehingga
ditinggalkan [Taqrib At Tahdzib 2/48]. Apalagi terdapat qarinah bahwa
Laits mengalami idhthirab dalam periwayatan atsar ini, sebagaimana
nampak dalam riwayat berikut:
حَدَّثَنَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَّدَثَنَا الحُسَيْنُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata
telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah
menceritakan kepada kami Aliy bin Mundzir yang berkata telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail yang berkata telah
menceritakan kepada kami Laits dari Thalhah bin Musharrif yang berkata
‘Abdullah berkata “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [Dzammul Malaahiy Ibnu Abi Dunyaa hal 45 no 40].
Riwayat di atas menjadi bukti bahwa Laits
mengalami idhthirab [kekacauan dalam periwayatan], ia terkadang
meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yazid dari ayahnya dari
Ibnu Mas’ud dan terkadang meriwayatkan dari Thalhah bin Musharrif dari
Ibnu Mas’ud. Kekacauan periwayatan ini memang sudah dikenal terjadi
padanya, oleh karena itu riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah.
.
Riwayat Ketiga:
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثنا وَكِيعٌ عَنْ سَلامِ بْنِ مِسْكِينٍ عَنْ شَيْخٍ لَهُمْ لَمْ يَكُنْ يُسَمِّيهِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ أَنَّهُ دُعِيَ إِلَى وَلِيمَةٍ فَرَأَى لَعَّابِينَ فَخَرَجَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الْبَقْلَ
Telah menceritakan kepada kami Abu
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Salaam
bin Miskiin dari Syaikh mereka yang tidak disebutkan namanya dari Abi
Wail bahwasanya ia diundang ke suatu walimah [pernikahan] maka ia
melihat permainan [musik] maka ia keluar dan berkata aku mendengar Ibnu
Mas’ud mengatakan Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati seperti air menumbuhkan sayuran [As Sunnah Al Khallaal 5/76 no 1658].
Riwayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Bathah dalam Al Ibanah kitab Iiman 2/703 no 946 juga dengan jalan sanad Waki’ dari Salaam bin Miskiin dari Syaikh dari Abu Wail dari Ibnu Mas’ud secara mauquf.
Waki’ dalam periwayatan dari Salaam bin Miskiin tentang atsar Ibnu Mas’ud di atas secara mauquf telah diselisihi oleh:
- Muslim bin Ibrahim yang meriwayatkan dari Salaam bin Miskiin secara marfu’ sebagaimana disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya 2/699 no 4927.
- Haramiy bin ‘Umarah yang meriwayatkan dari Salaam bin Miskiin secara marfu’ sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Dunyaa dalam Dzammul Malaahiy hal 45 no 41 dan Al Baihaqiy dalam kitab Sunan-nya 10/223 no 20797.
Baik atsar tersebut mauquf atau marfu’
maka sanadnya tetap dhaif karena Syaikh yang disebutkan Salaam bin
Miskiin tersebut majhul. Apalagi matan riwayat ini sudah jelas mungkar
[karena bertentangan dengan hadis shahih], baik ulama yang mengharamkan
musik maupun yang membolehkannya telah sepakat bahwa terdapat dalil
shahih Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mendengarkan
nyanyian saat acara walimah.
Kesimpulan:
Secara ringkas ada tiga riwayat Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, yaitu:
- Riwayat Ibrahim An Nakha’iy dari Ibnu Mas’ud, kedudukannya dhaif karena sanadnya terputus.
- Riwayat Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Yaziid dari Ibnu Mas’ud, kedudukannya dhaif karena terdapat perawi majhul dan sanadnya terputus.
- Riwayat Abu Wail dari Ibnu Mas’ud, kedudukannya dhaif karena terdapat perawi majhul.
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada satupun atsar dengan sanad shahih dimana
‘Abdullah bin Mas’ud [radiallahu ‘anhu] mengatakan bahwa Nyanyian dapat
menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.
Post a Comment
mohon gunakan email