Kedudukan Hadis “Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk”
Sebagian orang mempercayai bahwa Allah SWT bisa dilihat di dalam mimpi, mereka berdalil dengan hadis bahwa Nabi SAW pernah melihat Allah SWT dalam sebaik-baik bentuk di dalam mimpi.
Sayang sekali keyakinan mereka itu tidak berlandaskan hadis-hadis yang
shahih. Hadis-hadis seputar masalah ini ternyata bersanad dhaif
mudhtharib dan tidak dapat dijadikan hujjah apalagi jika hal itu
berkaitan dengan aqidah atau keyakinan. Dalam tulisan ini kami akan
membawakan hadis-hadis tersebut [yang dapat kami temukan] dan memaparkan
illat atau penyakit dalam setiap hadisnya.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh berbagai sahabat dengan lafaz yang bermacam-macam dan semuanya dhaif
- Riwayat Ibnu Abbas
- Riwayat Abdurrahman bin Aaisy Al Hadhrami
- Riwayat Muadz bin Jabal
- Riwayat Abu Umamah
- Riwayat Jabir bin Samurah
- Riwayat Tsauban
- Riwayat Abu Rafi’
Dengan mengumpulkan hadis-hadis tersebut maka lafaz-lafaz hadis tersebut dapat dibagi menjadi dua
- Lafaz hadis yang menunjukkan bahwa Melihat Allah SWT terjadi di dalam mimpi
- Lafaz hadis yang tidak memuat keterangan tentang mimpi
Membedakan kedua lafaz ini jelas sangat
penting untuk melihat sejauh mana klaim sebagian orang bahwa fenomena
ini terjadi di dalam mimpi bukan dalam keadaan sadar. Berikut akan
dibahas terlebih dahulu riwayat Ibnu Abbas.
Hadis Ibnu Abbas.
Hadis Ibnu Abbas ini memiliki matan yang bermacam-macam diantaranya ada yang menyebutkan lafal pemuda amrad, ada yang menyebutkan Nabi melihat Allah SWT saja tanpa lafal “sebaik-baik bentuk” dan ada yang menyebutkan lafal “sebaik-baik bentuk”. Yang akan dibahas disini adalah hadis dengan lafal “sebaik-baik bentuk”
ثنا عبد الرزاق أنا معمر عن أيوب عن أبي
قلابة عن بن عباس ان النبي صلى الله عليه و سلم قال أتاني ربي عز و جل
الليلة في أحسن صورة أحسبه يعني في النوم فقال يا محمد هل تدري فيم يختصم
الملأ الأعلى قال قلت لا قال النبي صلى الله عليه و سلم فوضع يده بين كتفي
حتى وجدت بردها بين ثديي أو قال نحري فعلمت ما في السماوات وما في الأرض ثم
قال يا محمد هل تدري فيم يختصم الملأ الأعلى قال قلت نعم يختصمون في
الكفارات والدرجات قال وما الكفارات والدرجات قال المكث في المساجد والمشي
على الاقدام إلى الجمعات وإبلاغ الوضوء في المكاره ومن فعل ذلك عاش بخير
ومات بخير وكان من خطيئته كيوم ولدته أمه وقل يا محمد إذا صليت اللهم اني
أسألك الخيرات وترك المنكرات وحب المساكين وإذا أردت بعبادك فتنة ان تقبضني
إليك غير مفتون قال والدرجات بذل الطعام وإفشاء السلام والصلاة بالليل
والناس نيام
Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ayub dari Abi Qilabah dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda “RabbKu Azza wa Jalla datang kepadaku malam tadi dalam sebaik-baik bentuk” –Aku mengira maksudnya adalah dalam tidur- Lalu
Dia berfirman “Wahai Muhammad, apakah kamu tahu mengenai apa Al Mala’ul
A’la (para malaikat) bertengkar?. Beliau berkata “tidak”. Nabi SAW
bersabda “Lalu Dia meletakkan tangan-Nya diantara dua pundakku hingga
aku dapati dinginnya antara dua dadaku. Atau Beliau bersabda “antara
tenggorokanku”. Maka tahulah aku apa yang ada di langit dan di bumi.
Kemudian Dia berfirman “Wahai Muhammad, apakah kamu tahu mengenai apa Al
Mala’ul A’la (para malaikat) bertengkar?”. Beliau bersabda ‘Aku berkata
“ya , mereka bertengkar mengenai Al Kafarat dan Ad Darajat?”. Apa itu
Al Kafarat dan Ad Darajat?. Diam di masjid, berjalan kaki untuk
berjama’ah, menyempurnakan wudhu dalam kondisi tidak menyenangkan,
barangsiapa melakukan hal itu maka ia hidup dengan baik dan mati dengan
baik. Dia bersih dari dosa seperti baru dilahirkan Ibunya. Dan
katakanlah wahai Muhammad bila kamu selesai shalat “Ya Allah
sesungguhnya aku memohon KepadaMu kebaikan-kebaikan, meninggalkan hal
yang mungkar dan cinta kepada orang-orang miskin. Dan bila Engkau
menginginkan fitnah bagi para hambamu maka cabutlah nyawaku kepadaMu
dengan tanpa fitnah”. Dan Ad Darajah adalah dengan memberikan makanan,
meyebarkan salam dan shalat malam saat manusia tidur”. [Hadis riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad 1/368 no 3484 dan Sunan Tirmidzi 5/366 no 3233] .
Syaikh Ahmad Syakir menyatakan bahwa hadis ini shahih sedangkan Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mendhaifkannya. Hadis ini tidaklah shahih karena sanadnya munqathi’ (terputus). Abu Qilabah tidak mendengar dari Ibnu Abbas. Hal ini sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib juz 5 no 388 dan disebutkan pula oleh Al Hafiz Abu Sa’id Al ‘Alaiy dalam Jami’ Al Tahsil Fi Ahkam Al Marasiil no 362.
حدثنا محمد بن بشار حدثنا معاذ بن هشام
حدثني أبي عن قتادة عن أبي قلابة عن خالد بن اللجلاج عن ابن عباس عن النبي
صلى الله عليه و سلم قال أتاني ربي في أحسن صورة فقال يا محمد قلت لبيك ربي
وسعديك قال فيم يختصم الملأ الأعلى ؟ قلت ربي لا أدري فوضع يده بين كتفي
فوجدت بردها بين ثديي فعلمت ما بين المشرق والمغرب قال يا محمد فقلت لبيك
رب وسعديك قال فيم يختصم الملأ الأعلى ؟ قلت في الدرجات والكفارات وفي نقل
الأقدام إلى الجماعات وإسباغ الوضوء في المكروهات وانتظار الصلاة بعد
الصلاة ومن يحافظ عليهن عاش بخير ومات بخير وكان من ذنوبه كيوم ولدته امه
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyar yang berkata telah menceritakan kepada kami Mu’adz
bin Hisyam yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Qatadah dari Abi Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW yang bersabda “RabbKu mendatangiku dalam sebaik-baik bentuk”.
Kemudian Dia berfirman “Wahai Muhammad”. Aku menjawab “Aku penuhi
panggilanMu Ya Rabb”. Dia berfirman “tentang apakah Al Mala’ul A’la
(para malaikat) bertengkar?. Aku menjawab “Wahai RabbKu aku tidak tahu”.
Maka Dia meletakkan tangan-Nya diantara kedua pundakku, ketika itu aku
merasakan dingin diantara kedua dadaku dan aku mengetahui apa yang ada
antara timur dan barat. Kemudian Dia berfirman “Wahai Muhammad”. Aku
menjawab “Aku penuhi panggilanMu Ya Rabb”. Dia berfirman “tentang apakah
Al Mala’ul A’la (para malaikat) bertengkar?. Aku menjawab “Tentang Ad
Darajat dan Al Kafarat, melangkahkan kaki menuju shalat berjama’ah,
menyempurnakan wudhu dalam keadaan yang tidak disukai, duduk menunggu
setelah shalat. Maka barangsiapa yang melakukan itu maka ia hidup dengan
baik dan mati dengan baik serta bersih dari dosa seperti baru
dilahirkan oleh ibunya. [Sunan Tirmidzi 5/367 no 3234].
Hadis di atas diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la dalam Musnad Abu Ya’la 4/475 no 2608 dan Al Ajuri dalam Asy Syari’ah no 1025 dan 1026. Al Ajuri membawakan dua sanad yaitu dari Qatadah dari Abu Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas kemudian sanad Abbad bin Manshur dari Ayub Dari Abu Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas.
Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 3234 telah menshahihkan hadis Ibnu Abbas di atas. Hal ini tentu saja keliru, hadis tersebut tidaklah shahih karena sanadnya terputus atau munqathi’. Dalam At Tahdzib juz 8 no 637 Ibnu Hajar mengutip Amru bin Ali yang berkata “Qatadah tidak mendengar dari Abu Qilabah”. Dalam Al Marasil Ibnu Abi Hatim 1/171-172 Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in juga menyatakan kalau Qatadah tidak mendengar dari Abu Qilabah. Hal yang sama juga disebutkan Al Hafiz Abu Sa’id Al ‘Alaiy dalam Jami’ Al Tahsil Fi Ahkam Al Marasiil no 633.
Sedangkan riwayat Abbad bin Manshur dalam kitab Asy Syari’ah juga dhaif karena Abbad. Dalam At Tahdzib juz 5 no 172 disebutkan kalau ia
dilemahkan oleh Ibnu Ma’in, Abu Zar’ah, Abu Hatim, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi
Syaibah, Abu Dawud, Nasa’I, Daruquthni dan yang lainnya. Selain itu disebutkan pula bahwa ia melakukan tadlis dan mengalami kekacauan pada hafalannya. Dalam At Taqrib 1/468 ia dinyatakan shaduq melakukan tadlis dan mengalami kekacauan hafalan di akhir umurnya, tetapi dinyatakan dalam Tahrir At Taqrib no 3142 kalau ia seorang yang dhaif bukan shaduq. Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 2575 menyatakan ia dhaif. Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Thabaqat Al Mudallisin no 121 yaitu pada martabat keempat yang berarti ia melakukan tadlis dari para perawi dhaif. Jadi hadis Abbad di atas dhaif karena kelemahan Abbad dan ‘an ‘anah Abbad dimana ia seorang mudallis.
Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As Sunnah
juga meriwayatkan hadis Ibnu Abbas tetapi dengan lafaz yang betul-betul
ringkas, dimana tidak ada keterangan atau petunjuk bahwa penglihatan
itu terjadi di dalam mimpi
ثنا أبو موسى ثنا معاذ بن هشام ثنا أبي عن
قتادة عن أبي كلابة عن خالد بن اللجلاج عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم رأيت ربي عز وجل في أحسن صورة
Telah menceritakan kepada kami Abu
Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam yang
berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Qatadah dari Abi Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Aku melihat RabbKu Azza wa Jalla dalam sebaik-baik bentuk”. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 469].
Syaikh Al Albani dalam Zhilal Al Jannah no 469 menyatakan hadis ini shahih.
Syaikh dalam hal ini hanya melihat kedudukan perawinya saja tetapi
tidak melihat ketersambungan sanad tersebut. Seperti yang kami katakan
sebelumnya hadis ini munqathi’ karena Qatadah tidak mendengar dari Abu
Qilabah. Jadi hadis tersebut juga dhaif.
Selain itu kami ingin mengajak pembaca untuk memperhatikan salah seorang perawi yang bernama Khalid bin Al Lajlaaj. Biografinya disebutkan dalam At Tahdzib
juz 3 no 215 bahwa dia seorang perawi Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i.
Tidak ada satupun ulama yang menyatakan ia tsiqat kecuali Ibnu Hibban
yang memasukkannya ke dalam kitab Ats Tsiqat. Salafy (termasuk
Syaikh Al Albani) biasanya tidak menghiraukan tautsiq Ibnu Hibban
karena menurut mereka Ibnu Hibban sering mentsiqahkan perawi majhul
tetapi aneh sepertinya Syaikh Al Albani tidak mempermasalahkan Khalid
bin Al Lajlaaj, beliau malah menyatakan ia tsiqat dan menegaskan kalau
hadisnya shahih. Apakah ini suatu kontradiksi? Silakan dinilai.
Kesimpulan:
Jika kita mengumpulkan semua sanad hadis Ibnu Abbas di atas maka akan kita lihat bahwa sanad tersebut mudhtharib:
- Dari Ma’mar dari Ayub dari Abu Qilabah dari Ibnu Abbas [riwayat Ahmad dan Tirmidzi].
- Dari Muadz bin Hisyam dari ayahnya dari Qatadah dari Abu Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas [riwayat Tirmidzi, Abu Ya’la, Ibnu Abi Ashim dan Ajuri].
- Dari Abbad bin Manshur dari Ayub dari Abu Qilabah dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Abbas [riwayat Al Ajuri].
Secara sendiri-sendiri, riwayat tersebut
dhaif karena inqitha’ dan perawi yang dhaif sedangkan jika dikumpulkan
bersama-sama maka sanadnya mudhtharib. Oleh karena itu pendapat yang
benar tentang hadis Ibnu Abbas ini adalah seperti yang dikatakan oleh
Syaikh Syu’aib Al Arnauth yaitu hadis tersebut dhaif .
Hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy.
Hadis berikutnya adalah riwayat
Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy, riwayatnya dhaif karena sanadnya
mudhtharib. Riwayat Ibnu Aaisy adalah riwayat yang masyhur dalam
persoalan ini, dan keberadaan Abdurrahman bin Aaisy dikenal melalui
hadis ini saja. Berikut riwayat Ibnu ‘Aaisy dalam kitab As Sunnah Ibnu Abi Ashim
حدثنا هشام بن عمار ثنا الوليد بن مسلم
وصدقة قالا ثنا ابن جابر قال مر بنا خالد بن اللجلاج فدعاه مكحول فقال له
يا أبا ابراهيم حدثنا حديث عبد الرحمن بن عائش قال سمعت عبد الرحمن بن عائش
يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم رأيت ربي في أحسن الصورة
Telah menceritakan kepada kami
Hisyam bin Ammar yang berkata telah menceritakan kepada kami Walid bin
Muslim dan Shadaqah yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami
Ibnu Jabir yang berkata Khalid bin Al Lajlaaj pernah bersama kami
kemudian Makhul memanggilnya dan berkata “Wahai Abu Ibrahim ceritakanlah
kepada kami hadis Abdurrahman bin Aaisy. Ia [Khalid] berkata “Aku
mendengar Abdurrahman bin Aaisy berkata Rasulullah SAW bersabda “Aku melihat RabbKu dalam sebaik-baik bentuk”. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 467].
ثنا يحيى بن عثمان بن كثير ثنا زيد بن يحيى
ثنا ابن ثوبان ثنا أبي عن مكحول وابن أبي زكريا عن ابن عائش الحضرمي قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أتاني ربي الليلة في أحسن صورة
Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Utsman bin Katsir yang berkata telah menceritakan kepada kami
Zaid bin Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Tsauban
yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Makhul dan Ibnu
Abi Zakaria dari Ibnu Aaisy Al Hadhramy yang berkata Rasulullah SAW bersabda “RabbKu mendatangiku pada suatu malam dalam sebaik-baik bentuk” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 468].
Jika diperhatikan kedua sanad Ibnu Abi
Ashim di atas, kita sudah dapat melihat adanya idhthirab. Sanad pertama
menyebutkan bahwa Makhul mendengarkan hadis tersebut dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Ibnu Aaisy tetapi sanad kedua menyebutkan kalau Makhul meriwayatkan hadis tersebut dari Ibnu Aaisy tanpa menyebutkan Khalid bin Al Lajlaaj.
Kekacauan tersebut tidak berhenti sampai disini, dengan mengumpulkan
semua hadis Ibnu Aaisy dalam perkara ini maka idhthirab tersebut akan
tampak semakin jelas.
Hadis Abdurrahman bin Aaisy ini memiliki sanad yang bermacam-macam dan dapat dikelompokkan menjadi
- Hadis dimana Abdurrahman bin Aasiy meriwayatkan dari Rasulullah SAW. Diriwayatkan dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 467 dan 468, Al Ajuri dalam Asy Syari’ah no 1027, Sunan Ad Darimi 2/170 no 2149, Al Ilal Tirmidzi no 434, Mu’jam As Sahabah Ibnu Qani’ 4/195 no 1022, Mukhtasar Qiyamul Lail Muhammad bin Nashr Al Marwadzi 1/33 no 26.
- Hadis dimana Abdurrahman bin Aaisy meriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi dari Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad 4/66 no 16672 dan Musnad Ahmad 5/378 no 23258.
- Hadis dimana Abdurrahman bin Aaisy meriwayatkan dari seorang sahabat Nabi SAW dari Rasulullah SAW. Diriwayat oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 34/464 no 7069 dan Tarikh Dimasyq 34/465 no 7070.
- Hadis dimana Abdurrahman bin Aaisy meriwayatkan dari Malik bin Yakhamir dari Muadz bin Jabal dari Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi 5/368 no 3235, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 34/465-468 no 7071-7075, Al Ilal Tirmidzi no 435 dan Musnad Ahmad 5/243 no 22162.
Semua sanad yang berbeda ini menunjukkan bahwa hadis tersebut memang mudhtharib dan semuanya diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Aaisy seorang yang tidak diketahui kredibilitasnya. Dalam biografi perawi hadis disebutkan kalau ia diperselisihkan, apakah ia sahabat Nabi SAW atau bukan.
Dalam Al Ilal Tirmidzi no 435 Bukhari menyatakan kalau Abdurrahman bin Aaisy tidak bertemu dengan Nabi SAW. Ibnu Hajar menyebutkan keterangan tentang Abdurrahman bin Aaisy dalam At Tahdzib juz 6 no 417. Ia mengutip Bukhari yang menyatakan kalau Ibnu Aaisy hanya memiliki satu hadis dan hadis tersebut mudhtharib.
وقال أبو حاتم هو تابعي وأخطأ من قال له صحبة وقال أبو زرعة الرازي ليس بمعروف وقال الترمذي لم يسمع من النبي صلى الله عليه وسلم
Abu Hatim berkata “Ia tabiin dan
keliru yang mengatakan ia sahabat”. Abu Zur’ah Ar Razi berkata “ia tidak
dikenal” dan Tirmidzi berkata “ia tidak mendengar dari Nabi SAW.
Perkataan Tirmidzi juga disepakati oleh Ibnu Khuzaimah yaitu Ibnu Aaisy tidak mendengar dari Nabi SAW. Kemudian Ibnu Khuzaimah menyatakan bahwa hadis
dimana Ibnu Aaisy menyatakan sima’ langsung dari Nabi SAW itu adalah
dari kesalahan Walid bin Muslim [ salah satu perawinya]. Pernyataan
ini patut diberikan catatan, Abdurrahman bin Aaisy memang tidak
mendengar dari Nabi SAW tetapi kesalahan tersebut bukan kesalahan Walid
karena Walid juga diikuti oleh yang lain seperti Al Auza’i, Hamad bin
Malik dan Umarah bin Bisyr. Oleh karena itu lebih mungkin kesalahan
tersebut berasal dari perawi lain yaitu Khalid bin Al Lajlaaj atau Abdurrahman bin Aaisy sendiri.
Memang diantara hadis-hadis dimana Ibnu Aaisy meriwayatkan dari Rasulullah SAW terdapat hadis dengan lafaz bahwa Ibnu Aisy mendengar langsung hadis tersebut dari Rasulullah SAW. Hadis tersebut diriwayatkan Al Ajuri dalam Asy Syari’ah no 1027, Sunan Ad Darimi 2/170 no 2149, Al Ilal Tirmidzi no 434, Mukhtasar Qiyamul Lail Muhammad bin Nashr Al Marwadzi 1/33 no 26, dan Mu’jam As Shahabah Al Baghawi hadis no 1924. Berikut contoh hadis tersebut dalam Al Ilal Tirmidzi no 434
حدثنا يحيى بن موسى حدثنا الوليد بن مسلم
حدثني عبد الرحمن بن يزيد بن جابرحدثنا خالد بن اللجلاج قال حدثني عبد
الرحمن بن عائش الحضرمي قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول رأيت
ربي أو قال أتاني ربي في أحسن صورة
Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Walid bin
Muslim yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Yazid
bin Jabir yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al
Lajlaaj yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Aaisy Al Hadhramy yang berkata aku mendengar Rasulullah SAW bersabda “aku melihat RabbKu” atau Beliau SAW berkata “RabbKu mendatangiku dalam sebaik-baik bentuk”.
Ibnu Hajar memasukkan nama Abdurrahman bin Aaisy sebagai seorang sahabat Nabi SAW dalam Al Ishabah 4/320 no 5152 dimana ia berhujjah dengan hadis-hadis dengan lafal sima’ langsung Ibnu Aaisy dari Rasulullah SAW. Ibnu Hajar mengatakan kalau Walid bin Muslim tidak menyendiri meriwayatkan hadis dengan sima’ langsung Ibnu Aaisy dari Rasul SAW. Selain Walid ada Hamad bin Malik, Umarah bin Bisyr, Walid bin Yazid dan Al Auza’i. Oleh karena itu bisa dimengerti kalau dalam At Taqrib 1/576 Ibnu Hajar menyatakan Abdurrahman bin Aaisy adalah sahabat Nabi SAW.
Ibnu Hajar benar bahwa Walid tidak
menyendiri tetapi ia tetap saja keliru jika menjadikan hadis-hadis
tersebut sebagai bukti bahwa Ibnu Aaisy adalah sahabat. Hadis-hadis
tersebut baik dari Walid bin Muslim, Al Auza’i, Hammad bin Malik dan
yang lainnya semuanya meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir dari Khalid bin Al Lajlaaj dari Abdurrahaman bin Aaisy. Jadi hadis tersebut tetap berujung pada satu jalur yang ternyata mudhtharib.
Bagaimana mungkin dikatakan Ibnu Aaisy mendengar langsung dari Nabi SAW, tetapi di saat lain ia mengaku mendengar hadis tersebut dari seorang atau sebagian sahabat Nabi [yang tidak disebutkan namanya]. Bagaimana mungkin dikatakan ia mendengar langsung dari Rasul SAW tetapi di saat lain ia mengaku mendengar hadis tersebut dari Malik bin Yakhamir yang bahkan Malik sendiri seorang tabiin [Malik seorang tabiin seperti yang disebutkan Al Hafiz Abu Sa’id Al ‘Alaiy dalam Jami Ahkam Al Marasil no 733].
Oleh karena itu hadis dengan sima’ langsung Ibnu Aaisy dari Rasul SAW itu memang keliru
dan yang tertuduh melakukan kekeliruan ini kalau bukan Khalid bin Al
Lajlaaj ya Abdurrahman bin Aaisy sendiri. Khalid bin Al Lajlaaj
disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 215 bahwa tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam Ats Tsiqat. Hal ini menunjukkan bahwa Khalid tidak dikenal kredibilitasnya atau walaupun ia adil tetapi bisa saja bermasalah dalam hal kedhabitannya (hafalannya).
Kalau bukan kesalahan Khalid maka yang melakukan kesalahan adalah Ibnu
Aaisy sendiri, ia sendiri tidak dikenal keberadaannya kecuali dari hadis
ini yang terbukti mudhtharib maka tidak menutup kemungkinan kalau ia
tertuduh dalam hal ini. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf
mengoreksi Ibnu Hajar dalam Tahrir At Taqrib no 3911 dimana mereka menyatakan bahwa Ibnu Aaisy tidaklah shahih kalau ia sahabat dan dia sebenarnya mastur (tidak dikenal).
Kesimpulan:
Hadis Abdurrahman bin Aaisy adalah hadis yang dhaif karena mudhtharib
dan oleh karena ia hanya dikenal melalui hadis yang mudhtharib ini maka
sungguh tidak tsabit sima’nya (pendengarannya) dari Rasulullah SAW.
Pendapat yang benar mengenainya adalah dia bukanlah sahabat Nabi dan ia sendiri tidak dikenal. Hadis tersebut sangat jelas kedhaifannya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad hadis no 16672, 22162, 23258 telah menyatakan bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy dhaif karena mudhtharib dan pendapat inilah yang benar.
Hadis Muadz bin Jabal.
Hadis Muadz bin Jabal ini sebenarnya
hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy dimana
pada tulisan sebelumnya telah dibahas tentang kedudukannya. Kami membuat
pembahasan khusus hadis ini karena hadis
Muadz adalah hadis yang dijadikan hujjah oleh salafiyun bahwa Nabi SAW
melihat Allah SWT dalam sebaik-baik bentuk di dalam mimpi. Hadis Muadz bisa dikatakan hadis paling jelas yang menunjukkan bahwa Ru’yah tersebut terjadi di dalam mimpi.
حدثنا محمد بن بشار حدثنا معاذ بن هائئ أبو
هانئ اليشكري حدثنا جهضم بن عبد الله عن يحيى بن أبي كثير عن زيد بن سلام
عن أبي سلام عن عبد الرحمن بن عائش الحضرمي أنه حدثه عن مالك بن يخامر
السكسكي عن معاذ بن جبل رضي الله عنه قال احتبس عنا رسول الله صلى الله
عليه و سلم ذات غداة عن صلاة الصبح حتى كدنا نتراءى عين الشمس فخرج سريعا
فثوب بالصلاة فصلى رسول الله صلى الله عليه و سلم وتجوز في صلاته فلما سلم
دعا بصوته قال لنا على مصافكم كما أنتم ثم انفتل إلينا ثم قال أما إني
سأحدثكم ما حبسني عنكم الغداة إني قمت من الليل فتوضأت وصليت ما قدر لي
فنعست في صلاتي حتى استثقلت فإذا أنا بربي تبارك وتعالى في أحسن صورة فقال
يا محمد قلت لبيك رب قال فيم يختصم الملأ الأعلى ؟ قلت لا أدري قالها ثلاثا
قال فرأيته وضع كفه بين كتفي حتى وجدت برد أنامله بين ثديي فتجلى لي كل
شيء وعرفت فقال يا محمد قلت لبيك رب قال فيم يختصم الملأ الأعلى ؟ قلت في
الكفارات قال ما هن ؟ قالت مشي الأقدام إلى الحسنات والجلوس في المساجد بعد
الصلوات وإسباغ الوضوء حين الكريهات قال فيم قلت إطعام الطعام ولين الكلام
والصلاة بالليل والناس نيام قال سل قلت اللهم إني أسألك فعل الخيرات وترك
المنكرات وحب المساكين وأنت تغفر لي وترحمني وإذا أردت فتنة قوم فتوفني غير
مفتون أسألك حبك وحب من يحبك وحب عمل يقرب إلى حبك قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم إنها حق فادرسوها ثم تعلموها
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muadz
bin Hani’ Abu Hani’ Al Yasykuri yang berkata telah menceritakan kepada
kami Jahdham bin Abdullah dari Yahya bin Abi Katsir dari Zaid bin Salam
dari Abi Salam dari Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy
[ia menceritakan kepadanya] dari Malik bin Yakhamir As Saksaki dari
Muadz bin Jabal RA yang berkata suatu hari Rasulullah SAW terlambat
melakukan shalat Shubuh bersama kami, hingga kami hampir melihat
munculnya matahari. Kemudian beliau SAW datang dengan tergesa-gesa lalu
mengerjakan shalat sunnah, kemudian melakukan shalat shubuh, dan beliau
meringankan shalatnya. Selesai salam, Beliau SAW berkata “tetaplah di
shaf kalian seperti keadaan kalian” kemudian Beliau menghadap kami dan
bersabda ”Ketahuilah, aku akan menyampaikan kepada kalian sesuatu yang
membuatku terlambat shalat shubuh berjama’ah bersama kalian. Semalam aku
bangun dan melakukan shalat sesuai kemampuanku, lalu aku mengantuk
dalam shalat, hingga akhirnya aku tertidur . Tiba-tiba aku berjumpa Rabbku-tabaaraka wa ta’aala- dalam sebaik-baik bentuk. Dia
berfirman “Wahai Muhammad”. Aku menjawab “aku penuhi panggilanMu wahai
Rabbku”. Dia berfirman “apakah engkau tahu tentang apa Al Malaul A’laa
(para malaikat) bertengkar?’. Aku menjawab ‘Aku tidak tahu, wahai
Rabbku’. Beliau mengucapkan sebanyak tiga kali. Lalu aku melihat Dia
meletakkan telapak tangan-Nya di antara kedua bahuku, sehingga aku
merasakan dinginnya jari-jemari-Nya di antara kedua dadaku. kemudian
tampaklah bagiku segala sesuatu dan akupun menjadi tahu. Dia berfirman
‘Wahai Muhammad’ Aku menjawab “aku penuhi panggilanMu wahai Rabbku”. Dia
berfirman “apakah engkau tahu tentang apa Al Malaul A’laa (para
malaikat) bertengkar?’Aku menjawab ‘Tentang Al Kafarat’. Dia berfirman
‘Apakah Al Kafarat itu ?’. Aku menjawab ‘Berjalan kaki untuk shalat
berjama’ah, duduk di masjid setelah shalat, dan menyempurnakan wudhu
pada waktu yang tidak disukai’. Dia berfirman‘ kemudian apa lagi’. Aku
menjawab ‘Memberi makanan, berkata yang santun, dan shalat malam di saat
manusia tidur’. Dia berfirman ‘Mintalah’. Aku berkata ‘Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepadaMu untuk dapat melakukan kebaikan dan
meninggalkan kemungkaran, mencintai orang-orang miskin, dan agar Engkau
mengampuni serta menyayangiku. Dan jika Engkau menghendaki fitnah bagi
suatu kaum, maka wafatkanlah aku tanpa terkena fitnah. Aku memohon
kepadaMu kecintaan kepadaMu, kecintaan kepada orang yang mencintaiMu,
dan kecintaan kepada amal yang mendekatkanku kepada kecintaanMu’.
Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya hal ini adalah kebenaran, maka
pelajari dan kuasailah’. [Sunan Tirmidzi 5/368 no 3235].
Hadis Muadz bin Jabal di atas diriwayatkan pula oleh Ahmad dalam Musnad Ahmad 5/243 no 22162, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 34/465-468 no 7071-7075, Al Ilal Tirmidzi no 435 dan Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 20/109 no 216.
At Tirmidzi setelah membawakan hadis ini, ia berkata:
هذا حديث حسن صحيح سألت محمد بن إسماعيل عن
هذا الحديث فقال هذا حديث حسن صحيح وقال هذا أصح من حديث الوليد بن مسلم عن
عبد الرحمن بن يزيد بن جابر قال حدثنا خالد بن اللجلاج حدثني عبد الرحمن
بن عائش الخضرمي قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم فذكر الحديث وهذا
غير محفوظ هكذا ذكر الوليد في حديثه عن عبد الرحمن بن عائش قال سمعت رسول
الله صلى الله عليه و سلم وروى بشر بن بكر عن عبد الرحمن بن يزيد بن جابر
هذا الحديث بهذا الإسناد عن عبد الرحمن بن عائش عن النبي صلى الله عليه و
سلم وهذا أصح و عبد الرحمن بن عائش لم يسمع من النبي صلى الله عليه و سلم
Hadis ini hasan shahih, aku bertanya
kepada Muhammad bin Isma’il tentang hadis ini. Ia berkata ‘hadis hasan
shahih’ dan ia juga berkata ‘hadis ini lebih shahih dari hadis
Walid bin Muslim dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir yang berkata
telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Lajlaaj yang berkata telah
menceritakan kepadaku Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy yang berkata
aku mendengar Rasulullah SAW –menyebutkan hadis ini-. Riwayat ini
tidak terjaga dan begitulah Walid menyebutkan hadisnya dari Abdurrahman
bin ‘Aaisy yang berkata mendengar langsung dari Rasulullah SAW. Dan
diriwayatkan dari Bisyr bin
Bakr dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir hadis ini dengan sanad dari
Abdurrahman bin ‘Aaisy dari Nabi SAW [tanpa lafaz mendengar langsung] dan inilah yang lebih shahih karena Abdurrahman bin ‘Aaisy tidak mendengar dari Nabi SAW.
Pernyataan shahih terhadap hadis ini
sungguh jauh dari kebenaran karena pada dasarnya hadis ini mudhtharib
dan Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhramy tidak diketahui keadaannya. Telah
dijelaskan sebelumnya kalau ia bukanlah sahabat Nabi SAW . Perhatikan, Abdurrahman
bin ‘Aaisy hanya dikenal keberadaannya melalui hadis ini dan hadis ini
sudah terbukti mengandung kekacauan maka lebih tepat untuk dikatakan
kalau ia seorang yang majhul dan hadisnya dhaif mudhtharib.
Ad Daruquthni dalam Al Ilal Al Waridah
no 973 telah menjelaskan panjang lebar bahwa hadis ini mudhtharib dan
ia pada akhirnya menyatakan tidak shahih. Pendapat yang benar mengenai
kedudukan hadis Muadz bin Jabal adalah seperti yang dikatakan Syaikh
Syu’aib Al Arnauth dalam Musnad Ahmad 5/243 no 22162 bahwa hadis ini dhaif karena mudhtharib.
Hadis Tsauban.
Hadis Ru’yatullah juga diriwayatkan oleh Tsauban maula Rasulullah SAW
ثنا عبيد الله بن فضالة ثنا عبدالله بن صالح
ثنا معاوية بن صالح عن أبي يحيى عن أبي يزيد عن أبي سلام الأسود عن ثوبان
قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن ربي أتاني الليلة في أحسن صورة
وفي هذه الأخبار ووضع يده بين كتفي
Telah menceritakan kepada kami
Ubaidillah bin Fudhalah yang berkata telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Muawiyah
bin Shalih dari Abi Yahya dari Abi Yazid dari Abi Salam Al Aswad dari
Tsauban yang berkata Rasulullah SAW bersabda “bahwa Rabbku mendatangiku suatu malam dalam sebaik-baik bentuk”. Dalam khabar ini disebutkan “Dan Dia meletakkan tanganNya di antara kedua bahuku”. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 470].
Hadis ini dhaif karena Abdullah bin
Shalih ia diperselisihkan, sebagian ulama melemahkannya karena
hafalannya yang buruk. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/501 menyatakan ia jujur tetapi melakukan banyak kesalahan. Dalam Tahrir At Taqrib no 3388 disebutkan bahwa ia jujur tapi hafalannya buruk. Selain itu hadis ini dhaif karena munqathi’ atau terputus sanadnya. Abu Salam Al Aswad tidak mendengar dari Tsauban. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 10 no 516 dalam biografi Abu Salam Al Aswad berkata
قال بن معين وابن المديني لم يسمع من ثوبان
Ibnu Ma’in dan Ibnu Madini berkata “ia tidak mendengar dari Tsauban”.
Abu Hatim dan Ahmad bin Hanbal juga menyatakan hal yang serupa sebagaimana disebutkan dalam Al Marasil Ibnu Abi Hatim 1/215 no 388 dan Jami’ Ahkam Al Marasil Al Hafiz Abu Sa’id ‘Alaiy no 797. Syaikh Al Albani dalam Zhilal Al Jannah
no 470 mengakui kelemahan Abdullah bin Shalih bahkan beliau menambahkan
bahwa Abu Yahya tidak dikenal dan Abu Yazid adalah Ghailan bin Anas
yang menurut manhaj Syaikh Al Albani maka ia seorang majhul hal karena
menurut Syaikh tidak ada yang menyatakan ta’dil padanya. Syaikh memang
tidak menyebutkan kalau sanad hadis ini terputus dan tentu kenyataan
bahwa sanad tersebut munqathi’ malah memperberat status sanad hadisnya.
Oleh karena itu kami cukup heran dengan Syaikh Al Albani yang menyatakan
bahwa hadis ini shahih dengan syawahid.
Kesimpulan:
Hadis Muadz bin Jabal dalam masalah ini adalah hadis yang dhaif karena mudhtharib dan Ibnu ‘Aaisy tidak diketahui keadaannya sedangkan hadis Tsauban dhaif karena kelemahan hafalan salah seorang perawinya dan sanadnya terputus.
Hadis Jabir bin Samurah.
Hadis Jabir dalam perkara ru’yah ini kami temukan dalam kitab As Sunnah
Ibnu Abi Ashim, hadis ini tidaklah tsabit sanadnya dan tidak bisa
dijadikan hujjah. Hadis ini termasuk hadis yang tidak menyebutkan kalau
ru’yah itu terjadi di dalam mimpi
ثنا أبو بكر بن أبي شيبة ثنا يحيى بن أبي
بكير ثنا إبراهيم ابن طهمان ثنا سماك بن حرب عن جابر بن سمرة قال قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم إن الله تعالى تجلى لي في أحسن صورة فسألني فيما
يختصم الملأ الأعلى قال قلت ربي لا أعلم به قال فوضع يده بين كتفي حتى وجدت
بردها بين ثديي أو وضعهما بين ثديي حتى وجدت بردها بين كتفي فما سألني عن
شيء إلا علمته
Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakr bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Abi Bakir yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin
Thahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Simmak bin Harb dari Jabir bin Samurah yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah SWT telah menampakkan diri kepadaku dalam sebaik-baik bentuk.
Maka Dia bertanya kepadaku “apakah kamu tahu mengenai apa Al Mala’ul
A’la (para malaikat) bertengkar?”. Aku menjawab “wahai Rabbku aku tidak
mengetahuinya”. Maka Dia meletakkan tangannya diantara kedua bahuku
hingga aku merasakan dingin diantara kedua dadaku. Kemudian tidaklah Dia
bertanya kepadaku kecuali Aku mengetahuinya. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 465].
Hadis ini adalah hadis yang dhaif karena Simmak bin Harb.
Ia dita’dilkan sebagian orang dan dilemahkan oleh sebagian yang lain.
Tetapi pendapat yang melemahkan lebih diunggulkan karena terdapat alasan
yang jelas untuk melemahkannya yaitu hadisnya mudhtharib, hafalannya yang buruk alias tidak dhabit dan ia mengalami ikhtilat. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 4 no 405 dimana ia mengutip bahwa
- Syu’bah dan Sufyan Ats Tsawri mendhaifkannya
- Ahmad bin Hanbal menyatakan hadisnya mudhtharib
- Ibnu Ma’in menyatakan Simmak tsiqat tetapi ia juga mengatakan kalau Simmak sering memusnadkan hadis-hadis yang tidak dimusnadkan oleh yang lainnya.
- Ibnu Ammar mengatakan mereka (para ulama) berkata tentangnya “Ia sering salah dan diperselisihkan hadis-hadisnya”
- Ibnu Mubarak menyatakan “ia dhaif dalam hadis”
- Shalih bin Muhammad Al Jazarah menyatakan ia didhaifkan
- Ibnu Kharrasy menyatakan ada kelemahan di dalam hadisnya
- Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “ia banyak melakukan kesalahan”
- An Nasa’i menyatakan kalau Simmak bin Harb tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri dan ia menerima riwayat dengan talqin
- Al Bazzar mengatakan kalau Simmak mengalami kekacauan hafalan sebelum wafat
Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/394 menyatakan kalau Simmak
bin Harb jujur tetapi riwayatnya dari Ikrimah mudhtharib, ia mengalami
kekacauan hafalan dan ia menerima riwayat dengan talqin. Ad Daruquthni dalam Al ‘Ilal 4/120 mengatakan kalau Simmak bin Harb hafalannya buruk. Ibnu Jauzi memasukkan Simmak bin Harb dalam kitab Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 1552.
Bagi kami Simmak bin Harb tidak bisa dijadikan hujjah dalam hadis ini dengan beberapa alasan. Simmak bin Harb hadisnya mudhtharib
seperti yang dikatakan Ahmad bin Hanbal walaupun sebagian orang
mengatakan bahwa riwayatnya yang mudhtharib khusus dari Ikrimah saja.
Kami katakan benar riwayatnya dari Ikrimah terbukti mudhtharib dan hadis
Ru’yah adalah hadis yang mudhtharib [berdasarkan pembahasan sebelumnya]
sehingga bisa jadi Simmak juga mengalami kekacauan pula disini. Selain
itu Ibnu Ma’in mengatakan kalau Simmak sering memusnadkan hadis yang tidak dimusnadkan oleh yang lain dan An Nasa’i mengatakan Simmak menerima riwayat dengan talqin, tentu saja semua itu penyakit yang membuat hadisnya sangat meragukan. Ditambah lagi dia adalah seorang yang hafalannya buruk dan mengalami ikhtilat sebelum wafatnya. Jadi hadis Simmak bin Harb dalam hal ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Hadis Abu Umamah.
Hadis Abu Umamah juga diriwayatkan dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim. Sama seperti yang lainnya hadis ini tidak lepas dari illat yang menjatuhkannya ke derajat dhaif.
ثنا يوسف بن موسى ثنا جرير عن ليث عن ابن
سابط عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال تراءى لي ربي في أحسن
الصورة ثم ذكر الحديث
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Laits dari Ibnu Sabith dari Abi Umamah dari Nabi SAW yang berkata “Rabbku memperlihatkan diri kepadaku dalam sebaik-baik bentuk” –kemudian Beliau menyebutkan hadis-. [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 466].
Hadis ini dhaif dan mengandung dua illat yang menjatuhkannya
- Laits bin Abi Sulaim, dia walaupun dita’dilkan sebagian orang tetapi juga dilemahkan oleh banyak orang lainnya karena hafalannya yang buruk, hadisnya mudhtharib dan mengalami ikhtilath. Dalam At Tahdzib juz 8 no 835 disebutkan kalau ia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in, Ibnu Uyainah, Abu Zar’ah, Yahya bin Sa’id, Ibnu Sa’ad dan yang lainnya. Ibnu Hibban dan Al Bazzar menyatakan ia mengalami ikhtilat. Abu Zur’ah dan Al Bazzar menyatakan bahwa hadisnya mudhtharib.
- Ibnu Saabith tidak mendengar dari Abu Umamah. Hal ini seperti yang dikatakan Ibnu Ma’in yang dikutip dalam Al Marasil Ibnu Abi Hatim 1/127 no 217 dan Jami’ Ahkam Al Marasil Al Hafiz Abu Sa’id ‘Alaiy no 428. Jadi hadis ini dhaif karena sanadnya munqathi’ (terputus).
Hadis Abu Umamah dhaif karena kelemahan hafalan salah seorang perawinya yaitu Laits bin Abi Sulaim dan sanadnya munqathi’.
Hadis Abu Rafi’.
Hadis ru’yah riwayat Abu Rafi’ dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam kitabnya Mu’jam Al Kabir
حدثنا جعفر بن محمد بن مالك الفزاري الكوفي
ثنا عباد بن يعقوب الأسدي ثنا عبد الله بن إبراهيم بن الحسين بن علي بن
الحسن عن أبيه عن جده عن عبيد الله بن أبي رافع عن أبي رافع قال خرج علينا
رسول الله صلى الله عليه و سلم مشرق اللون فعرف السرور في وجهه فقال رأيت
ربي في أحسن صورة فقال لي يا محمد أتدري يم يختصم الملأ الأعلى ؟ فقلت يا
رب في الكفارات قال وما الكفارات ؟ قلت إبلاغ الوضوء أماكنه على الكراهيات
والمشي على الأقدام إلى الصلوات وانتظار الصلاة بعد الصلاة
Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Malik Al Fazari Al Kufi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abbad bin Yaqub Al Asdi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ibrahim bin Husain bin Ali bin Husain dari ayahnya
dari kakeknya dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Abi Rafi’ yang berkata
“Rasulullah SAW keluar kepada kami dengan wajah yang cerah dan tampak
kegembiraan di wajahnya kemudian Beliau SAW berkata “Aku melihat Rabbku dalam sebaik-baik bentuk
dan Dia berkata kepadaku “Wahai Muhammad apakah kamu tahu mengenai apa
Al Mala’ul A’la (para malaikat) bertengkar?”. Aku menjawab “Wahai Rabbku
tentang Al Kafarat?”. Dia berfirman “Apa itu Al Kafarat?” Aku menjawab
“Menyempurnakan wudhu’ dalam keadaan yang tidak disukai, berjalan untuk
shalat berjama’ah dan menunggu waktu shalat setelah shalat”. [Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 1/317 no 938].
Hadis ini adalah hadis yang dhaif jiddan dikarenakan dua illat (penyakit) dalam sanadnya yaitu:
- Ja’far bin Muhammad bin Malik Al Fazari Al Kufi, dia adalah Syaikh (guru) Thabrani yang dikatakan dhaif dan pemalsu hadis sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Tarajum Syuyukh Thabrani no 331.
- Abdullah bin Ibrahim bin Husain dan ayahnya tidak dikenal biografinya dalam kitab hadis sebagaimana yang disebutkan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 1/543 no 1222 jadi mereka berdua tidak dikenal.
Oleh karena itu hadis Abu Rafi’ ini kedudukannya sangat dhaif dan tidak layak dijadikan hujjah.
Kesimpulan:
Hadis Jabir bin Samurah dhaif karena kelemahan salah seorang perawinya yang membuat hadisnya meragukan. Hadis Abu Umamah dhaif karena sanadnya terputus dan hadis Abu Rafi’ dhaif jiddan karena perawinya yang sangat dhaif dan sebagian tidak dikenal.
Bantahan Terhadap Salafy : Hadis Dhaif Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk.
Tulisan ini sebagai bantahan terhadap salafiyun yang bersikeras menshahihkan
hadis Nabi SAW melihat Allah SWT dalam sebaik-baik bentuk. Silakan dilihat di tulisan
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/kedudukan-hadis-nabi-saw-melihat-allah.html
Sebenarnya tulisan tersebut tidak memuat hal-hal baru yang dapat
dijadikan hujjah kecuali dalih-dalih sekenanya agar hadis tersebut bisa
naik derajatnya menjadi shahih. Tentu saja seperti biasa dalih tersebut
mengecoh
kaum awam mereka yang memang terbiasa jadi muqallid.
Tulisan ini akan meluruskan talbis yang dibuat oleh pemilik tulisan
tersebut. Tulisan penulis yang kami tanggapi akan diquote dan dicetak
biru.
Hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy
Pemilik situs tersebut setelah
menyebutkan hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy, mengutip penshahihan oleh
Tirmidzi dan Bukhari dan menyetujui penshahihan keduanya
At-Tirmidziy
(5/286) berkata : “Hadits ini hasan shahih. Aku pernah bertanya kepada
Muhammad bin Ismaa’iil (yaitu Al-Bukhariy – Abul-Jauzaa’) tentang hadits
ini, maka ia menjawab : ‘Hadits ini hasan shahih”
Pernyataan penulis tersebut merupakan kecerobohan yang sangat
dan hanyalah mengikut saja tanpa meneliti dengan cermat. Hal ini
menunjukkan bahwa akurasi analisisnya memang hanya sebatas itu saja. Ia
hanya sekedar taklid tanpa melihat permasalahannya dengan lebih jelas. Abdurrahman bin ‘Aaisy adalah perawi yang hanya dikenal melalui hadis ini dan hadisnya terbukti mudhtharib.
Tidak ada satupun ulama yang memberikan ta’dil ketika menuliskan
biografinya. Oleh karena itu pendapat yang benar adalah ia seorang yang
majhul hal.
Kemudian penulis tersebut melakukan talbis untuk mengingkari adanya idhtirab pada sanad tersebut. Ia berkata
Sebagian
kalangan ada yang men-dla’if-kannya dengan alasan adanya idlthirab,
khususnya bahwa riwayat ini center-nya ada pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy.
Pen-dla’if-an ini tidak benar.
Justru penshahihan hadis ini yang tidak
benar dan idhthirab itu sudah terbukti dengan nyata dan diakui oleh para
ulama seperti Bukhari dan Daruquthni. Itu kalau memang ia seorang
pentaklid tetapi kami tidak sekedar mengikuti sebuah perkataan. Kami
telah menyebutkan bukti-bukti bahwa hadis tersebut mudhtharib.
Bukti-bukti yang diakui kebenarannya oleh sang penulis sendiri yaitu
- Abdurrahman bin ‘Aaisy mengaku mendengar hadis tersebut langsung dari Rasulullah SAW
- Abdurrahman bin ‘Aaisy mengaku mendengar hadis tersebut dari salah seorang sahabat Rasulullah SAW
- Abdurrahman bin ‘Aaisy mengaku mendengar hadis tersebut dari sebagian sahabat Rasulullah SAW
- Abdurrahman bin ‘Aasiy mengaku mendengar hadis tersebut dari seorang tabiin yaitu Malik bin Yakhaamir
Semua poin di atas adalah bukti bahwa
sanad tersebut mudhtharib dan penyebabnya adalah Abdurrahman bin ‘Aaisy.
Bukankah ia mengaku menerima hadis tersebut dari seorang tabiin?. Lantas mengapa pula ia berkata bahwa ia menerima hadis itu dari seorang sahabat? Dan di saat lain ia mengatakan menerima itu dari sekelompok sahabat. Bahkan ia juga mengaku mendengar hadis tersebut langsung dari Rasulullah SAW.
Yang mana yang benar dari pengakuannya?. Pengakuan yang kacau seperti
ini kelihatan seperti pengakuan orang yang kacau hafalannya atau
mengalami ikhtilat atau mungkin pengakuan orang yang mengada-ada. Dan
lihatlah bagaimana penulis itu berdalih
Tiga
riwayat dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy di atas dapat kita cermati yang
terdiri dari satu riwayat mursal dan dua riwayat muttashil. Riwayat
mursal ‘Abdurrahmaan kita palingkan pada dua riwayat yang lain yang
menyebutkan perantara antara dia dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dari jalan sebagian/salah seorang shahabat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam; dan dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal
radliyallaahu ‘anhum.
Talbisnya yang pertama untuk menutupi idhthirab hadis ini adalah ia mengatakan bahwa riwayat yang pertama itu mursal. Padahal riwayat pertama tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa Abdurrahman bin ‘Aaisy menegaskan penyimakan langsung dari Rasulullah SAW.
Untuk menutupi kekacauan, ia mengatakan bahwa hadis pertama tersebut
harus dipalingkan kepada kedua riwayat lain. Jika ia mengira bahwa cara
ini benar maka sungguh dangkalnya pemahaman ia terhadap apa yang disebut
idhthirab. Apa dasarnya mengatakan riwayat pertama itu mursal?.
Jawabannya tidak lain hanya mengikut perkataan para ulama yang menolak
status sahabatnya Abdurrahman bin ‘Aaisy.
Sekarang coba perhatikan wahai pembaca
yang terhormat, apa dasarnya sebagian ulama menyatakan Ibnu ‘Aaisy bukan
sahabat sedangkan sebagian yang lain menetapkannya sebagai sahabat?.
Jawabannya hanya ada dua kemungkinan
- Mereka yang menolak status sahabat Ibnu ‘Aaisy menolak hadis pengakuan Ibnu ‘Aaisy yang mendengar langsung dari Rasulullah SAW.
- Sedangkan mereka yang menetapkan Ibnu ‘Aaisy sebagai sahabat justru menerima hadis pengakuan Ibnu ‘Aaisy yang mendengar langsung dari Rasulullah SAW.
Mari kita menjadi kritikus kepada kedua pihak ini. Bagi mereka yang menolak hadis pengakuan Ibnu ‘Aaisy yang mendengar langsung dari Rasulullah SAW, maka kita tanyakan apa alasannya menolak hadis tersebut?. Jika mereka mengatakan hadis tersebut dhaif lalu dimana letak kedhaifannya?.
Bukankah semua perawinya tsiqah, uups tentu saja selain Ibnu ‘Aaisy
sendiri atau jika mereka berkeras menyatakan Ibnu ‘Aaisy juga tsiqah
lantas mengapa mereka menolak hadis tersebut?. Memangnya bisa main asal
tolak saja. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa
hadis tersebut ditolak karena terdapat hadis-hadis lain yang menyatakan
bahwa Ibnu ‘Aaisy mendengar dari Rasulullah SAW lewat perantara
[merujuk pada hadis-hadis lainnya] yaitu bisa tabiin atau sahabat.
Maka kita patut bertanya, atas dasar apa mereka menafikan hadis pertama
dan menerima hadis yang lain. Bukankah hadis-hadis itu sama-sama memuat
kesaksian Ibnu ‘Aaisy?. Bagaimana caranya mereka menetapkan yang rajih
dari hadis-hadis tersebut?. Kalau cuma main asal tetapkan, ya gak perlu
sok sok-an pakai ilmu hadis. Ujung-ujungnya kok ngasal doang :mrgreen:
Bagi mereka yang menerima hadis pengakuan Ibnu ‘Aaisy yang mendengar langsung dari Rasulullah SAW. Maka kita bisa pertanyakan, apa alasan mereka menerima hadis tersebut?. Hadis-hadis lain membuktikan bahwa Ibnu ‘Aaisy mengaku mendengar hadis tersebut tidak langsung dari Rasulullah SAW tetapi lewat perantara.
Ada kalanya ia mengaku mendengar hadis tersebut dari seorang sahabat.
Tentu saja pengakuan seperti ini hanya diucapkan oleh orang yang bukan
sahabat Nabi [walaupun di saat lain ia mengaku bukan dari seorang
sahabat tetapi dari sekelompok sahabat]. Ada kalanya ia mengaku
mendengar hadis tersebut dari seorang tabiin, itu artinya ia tidak
mendengar langsung dari sahabat tetapi dari tabiin.
Nah bagaimana bisa mereka menafikan
pengakuan Ibnu ‘Aaisy yang berbeda-beda itu. Kalau mereka memaksa
mengatakan bahwa semuanya mungkin, Ibnu ‘Aaisy mendengar hadis tersebut
dari tabiin, ia mendengar pula dari seorang sahabat, ia mendengar pula
dari sekelompok sahabat dan ia mendengar pula langsung dari Rasulullah
SAW, maka kita katakan ini sungguh mengada-ada dan apa jaminannya kalau Ibnu ‘Aaisy ini tidak keliru atau ia tidak berdusta?. Semoga mereka tidak beralasan bahwa Ibnu ‘Aaisy seorang sahabat yang adil dan bisa diterima semua kesaksiannya
karena alasan seperti ini hanya diungkapkan oleh orang bodoh yang tidak
mengerti permasalahan dengan baik. Jelas sekali bukti persahabatan Ibnu
‘Aaisy terletak pada hadis dengan penyimakan langsung yang justru sedang kita pertanyakan kebenarannya. Ini
fallacy logika sirkuler atau lingkaran setan yang tak berujung. Lebih
mungkin Ibnu ‘Aaisy ini mengada-ada atau ia telah keliru, dengan begitu
semua pengakuannya yang kacau itu terjelaskan dengan baik. Atau kalau
mereka mau berdalih Ibnu ‘Aaisy itu tsiqah,
pertanyaannya cukup sederhana siapa yang menyatakan ia tsiqah?. Apakah
orang tsiqah tidak bisa mengalami idhthirab periwayatannya?. Bukankah
dalam ilmu hadis fenomena seperti ini yaitu kekacauan yang tidak
bisa ditetapkan yang mana lebih rajih disebut sebagai mudhtharib dan
dihukumi sebagai dhaif tidak peduli apa perawi itu tsiqah atau tidak.
Begitulah kekacauan yang terjadi jika
kita menerima hadis Ibnu ‘Aasiy dan memang bagi seorang yang taklid
hal-hal seperti itu sah-sah saja dan tidak melemahkan hadisnya. Padahal
kekacauan itu tampak sekali dengan jelas jika ditelaah secara kritis.
Semua kekacauan ini timbul karena mereka bersikeras menerima riwayat
Ibnu ‘Aaisy.
Mari kita teruskan dalih-dalih sang penulis, ia berkata
Dua
riwayat ini tidak mudltharib – walau berporos pada ‘Abdurrahman bin
‘Aaisy – karena perawi sebelum dan setelah ‘Abdurrahman berbeda.
Sungguh betapa lucunya kalimat ini. Jika syarat mudhtharib adalah perawi sebelum dan sesudah Abdurrahman harus sama
maka sudah jelas ia bukan mudhtharib tetapi satu sanad yang utuh dan
tsabit. Idhthirab hadis ini bisa dipastikan berasal dari Abdurrahman bin
‘Aaisy maka dari itu tentu sanad perawi setelahnya akan berbeda karena
disitulah letak mudhtharibnya. Ia
mengaku mendengar langsung dari Rasul SAW, ia mengaku mendengar dari
sahabat dari Rasul SAW, ia mengaku mendengar dari tabiin dari sahabat
dari Rasul SAW. Itulah yang dinamakan mudhtharib sedangkan
perawi sebelum Abdurrahman yang berbeda tidaklah menafikan adanya
idhthirab dan justru merupakan petunjuk yang memastikan bahwa sumber
idhthirab itu berasal dari kekacauan Abdurrahman bin ‘Aaisy, dan mereka
para perawi yang mendengar dari Ibnu ‘Aaisy hanya menyampaikan apa yang
mereka dengar dari Ibnu ‘Aaisy.
Ini
menunjukkan ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy menerima hadits dari dua pihak,
yaitu dari Maalik bin Yakhaamir (dari Mu’adz bin Jabal) dan dari salah
seorang/sebagian shahabat Nabi shallalaahu ‘alahi wa sallam, dan
kemudian menyampaikannya pada pihak yang berbeda pula. Semua shahih, no
problemo. Ini sangat memungkinkan.
Kita pertanyaakan kepada pemilik kalimat ini, apa buktinya semua shahih?.
Bukankah semua hadis ini bersumber dari perawi yang sama yaitu Ibnu
‘Aaisy, jika anda menganggap Ibnu ‘Aaisy tsiqah maka siapa yang
menyatakan ia tsiqah?. Jika anda berpegang pada penshahihan Bukhari dan Tirmidzi
untuk pentsiqahan Ibnu ‘Aaisy lantas mengapa pula anda mengatakan hadis
pertama itu mursal?. Hadis itu justru memuat kesaksian perawi tsiqah
dimana dirinya mengaku mendengar langsung hadis tersebut dari Rasulullah
SAW?. Bukankah sang perawi lebih mengetahui riwayat tersebut dibanding
ulama yang baru lahir jauh setelahnya. Mengapa anda menolak pernyataan
Ibnu ‘Aaisy yang anda anggap tsiqah?. Mengapa anda tidak menolak
pernyataan Bukhari, Tirmidzi dan yang lainnya yang menyatakan bahwa Ibnu
‘Aaisy bukan sahabat. Justru kalau Ibnu ‘Aaisy tsiqah maka hadis
penyimakan langsung dari Rasulullah SAW menjadi bukti kalau ia adalah
sahabat Nabi. Konsekuensinya anda harus menentang dong pernyataan Bukhari, Tirmidzi dan yang lainnya. Lha kesaksian sahabat itu lebih mumpuni dibanding mereka semua. Tetapi tunggu dulu, anda
juga gak bisa asal menentang Bukhari dan Tirmidzi begitu saja karena
sebelumnya anda berhujjah dengan mereka kalau Ibnu ‘Aaisy itu tsiqah. Kembali kepada lingkaran setan yang tidak berujung, dan maafkan anda ternyata tidak bisa melihatnya.
Kemudian kita pertanyakan padanya, apa dasarnya anda mengatakan Ini sangat memungkinkan?. Adakah anda mengetahui bahwa
Ibnu ‘Aaisy ini bertemu dengan Malik bin Yakhaamir [tabiin] sekaligus
ia bertemu dengan sahabat atau sekelompok sahabat yang dimaksud.
Kalau ia meriwayatkan hadis tersebut dari sahabat maka untuk apa pula
ia meriwayatkan hadis tersebut dari tabiin. Dan tunggu bagaimana anda
bisa yakin kalau sahabat yang dimaksud Ibnu ‘Aaisy itu memang
benar-benar sahabat Nabi?. Kalau anda mengatakan bahwa Ibnu ‘Aaisy itu
seorang yang tsiqah maka kesaksian perawi tsiqah bisa diterima, itu
malah kembali lagi ke lingkaran setan yang disebutkan sebelumnya.
Tidakkah anda menyadari bahwa pernyataan anda kalau semua shahih dan
sangat memungkinkan tidak memiliki dasar kebenaran yaitu hanya berakhir
pada lingkaran setan.
Tidak ada gunanya anda menganalogikan dengan hadis Shahih Muslim yang anda kutip kemudian mengatakan
Perhatikan
!! Az-Zuhriy dan/atau Abu Salamah dalam hadits yang sama membawakan dua
riwayat : pertama, dari Abu Hurairah; dan kedua, dari Jaabir bin
‘Abdillah radliyallaahu ‘anhuma. Dua-duanya shahih. Tidak ada idlthirab.
Sekarang mari lihat baik-baik sanad-sanad yang anda tampilkan
- Az Zuhri dari tabiin [Abu Salamah] dari sahabat [Abu Hurairah]
- Az Zuhri dari tabiin [Sa’id Al Musayyab] dari sahabat [Abu Hurairah]
- Az Zuhri dari tabiin [Abu Salamah] dari sahabat [Jabir RA]
Jikapun kita menerima semua sanad-sanad
ini maka tidak ada tanda-tanda idhthirab dan memang kedudukannya sangat
berbeda dengan hadis Abdurrahman bin ‘Aaisy berikut
- Abdurrahman bin ‘Aaisy mendengar dari Rasulullah SAW
- Abdurrahman bin ‘Aaisy dari seorang sahabat dari Rasulullah SAW
- Abdurrahman bin ‘Aaisy dari sekelompok sahabat dari Rasulullah SAW
- Abdurrahman bin ‘Aaisy dari tabiin [Malik bin Yakhamir] dari sahabat [Muadz RA] dari Rasulullah SAW.
Hadis Az Zuhri menunjukkan bahwa ia menerima hadis dari dua orang tabiin dan salah satu tabiin menerima hadis itu dari dua orang sahabat.
Sedangkan hadis Ibnu ‘Aaisy terdapat kekacauan mengenai dari siapa
sebenarnya ia mengambil hadis tersebut. Apakah mendengar sendiri dari
Rasulullah SAW? Ataukah dari sahabat yang kemudian dari Rasulullah SAW
ataukah dari tabiin dari sahabat dari Rasulullah SAW. Hadis Ibnu ‘Aaisy
sudah jelas idhthirab. Perbedaan lain yang mendasar dari kedua contoh
itu adalah Az Zuhri seorang perawi yang telah ditetapkan tsiqahnya oleh
para ulama begitu pula Abu Salamah sedangkan Ibnu ‘Aaisy ia orang yang
tidak dikenal kredibilitasnya dan terbukti hadisnya mudhtharib.
Kembali
ke hadits ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy. Tidak menjadi masalah jika ia
meriwayatkan dari salah seorang shahabat atau sebagian shahabat, dan di
bagian lain ia meriwayatkan dari Maalik bin Yakhaamir (tabi’iy senior
tsiqah – muhdlaram) dari Mu’aadz bin Jabal
Pernyataan ini hanya penyelamatan
asal-asalan. Fakta yang sebenarnya adalah Ibnu ‘Aaisy mengaku mendengar
langsung hadis tersebut dari Rasulullah SAW, tetapi ternyata ia malah
mendengar hadis tersebut dari seorang sahabat atau sekelompok sahabat
yang tidak disebutkan namanya. Dan ternyata juga ia mendengar hadis
tersebut dari seorang tabiin dari sahabat dari Rasulullah SAW. Ini sudah
jelas kacau, mana yang benar. Jadi mengatakan sanad ini tidak
bermasalah hanyalah klaim asal-asalan.
Memang
benar ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy bukan berstatus shahabat, sehingga hadits
yang ia riwayatkan langsung dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dihukumi mursal alias dla’if.
Apa dasar pernyataan saudara bahwa Ibnu
‘Aaisy bukan sahabat dan hadisnya dihukumi mursal. Bukankah dalam
riwayat yang pertama Ibnu ‘Aaisy menyatakan dengan jelas kalau ia
mendengar langsung dari sahabat. Bukankah Ibnu ‘Aaisy ini tidak
diketahui tahun lahir dan tahun wafatnya lantas mengapa bisa sebagian
ulama memursalkan hadisnya. Kalau dikatakan dari hadis-hadis lain
ternyata ia terbukti mendengar lewat perantara maka hal ini menjadi
musykil kesaksian yang manakah yang patut diambil.
Adapun
klaim bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy seorang perawi yang tidak dikenal
lagi mastur (majhul haal), maka ini tidak benar. Ibnu Hibbaan telah
memberikan tautsiq kepadanya.
Lucu sekali kalau pernyataan seperti ini
dikeluarkan oleh salafiyun. Apakah saudara penulis itu lupa bahwa ia
sendiri menyatakan kalau Ibnu Hibban sering memberikan tautsiq pada perawi majhul.
Lalu mengapa sekarang ia berhujjah dengannya. Ditambah lagi sepertinya
saudara penulis tidak membaca apa yang dikatakan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat. Dalam Ats Tsiqat juz 3 no 838 Ibnu Hibban berkata
عبد الرحمن بن عائش الحضرمي له صحبة
Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhrami seorang sahabat Nabi.
Jelas sekali kalau Ibnu Hibban tergolong mereka yang berpendapat bahwa Ibnu ‘Aaisy seorang sahabat. Pernyataan ini tidak lain hanya berdasarkan hadis penyimakan langsung Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW. Pernyataan Ibnu Hibban tidaklah benar, karena hadis tersebut mudhtharib dan Ibnu ‘Aaisy tidak dikenal kredibilitasnya apalagi sumber idhthirab ini adalah Ibnu ‘Aaisy sendiri.
Alangkah anehnya jika saudara penulis itu berhujjah dengan tautsiq Ibnu
Hibban, padahal ia sendiri menolak bahwa Ibnu ‘Aaisy sebagai sahabat
Nabi dan hadis Ibnu ‘Aaisy dari Nabi SAW dikatakannya mursal. Begitulah
akhirnya jika suatu perkataan tidak ditelaah dengan benar maka ia akan
berbalik menentang dirinya sendiri. Ibnu ‘Aaisy terbukti hadisnya
mudhtharib dan ia tidak dikenal. Perlu diingatkan pernyataan Abdurrahman
bin ‘Aaisy seorang yang tidak dikenal juga dinyatakan oleh Abu Zur’ah
Ar Razi [sebagaimana yang dikutip dari At Tahdzib].
Juga
Ahmad bin Hanbal dan Al-Bukhariy rahimahumallah yang telah menshahihkan
riwayatnya dimana ini juga merupakan isyarat tashhih terhadap sanad
sekaligus perawinya (ta’dil). Apakah Al-Bukhariy dan Ahmad akan
menshahihkan hadits jika di dalamnya terdapat perawi majhul ?
Sungguh jika melihat pengalaman kami
berdiskusi dengan anda maka pernyataan ini cukup membuat kami miris.
Pernyataan ini hanyalah taklid tanpa memperhatikan dalil-dalil dengan
benar. Kita dapat memberikan contoh yang cukup banyak dimana ada
ulama-ulama yang menshahihkan hadis-hadis padahal di dalamnya terdapat
perawi majhul atau dhaif. Dalam posisi ini seharusnya penshahihan ulama
itu diteliti kembali kebenarannya bukannya dijadikan hujjah. Silakan
perhatikan dimana Bukhari memasukkan hadis dengan perawi majhul dalam
kitab Shahih-nya
حدثنا مسلم حدثنا هشام حدثنا قتادة عن أنس
(ح) وحدثني محمد بن عبد الله بن حوشب حدثنا أسباط أبو اليسع البصري حدثنا
هشام الدستوائي عن قتادة عن أنس رضي الله عنه
Telah menceritakan kepada kami Muslim
yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam yang berkata telah
menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas dan telah menceritakan
kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Hawsyab yang berkata telah
menceritakan kepada kami Asbath Abul Yasa’ Al Bashri yang berkata telah
menceritakan kepada kami Hisyaam Ad Dustuwa’i dari Qatadah dari Anas RA…[Shahih Bukhari no 1963].
Walaupun Bukhari mengakui bahwa semua
hadis yang ada dalam kitabnya shahih maka bukan berarti semua perawi
yang ada dalam hadis tersebut tsiqah atau mendapat predikat ta’dil. Asbath Abul Yasa’ Al Bashri adalah perawi yang dhaif. Dalam At Tahdzib juz 1 no 397 Abu Hatim menyatakan ia majhul. Dan sikap Bukhari memasukkan dia ke dalam kitab Shahihnya tidaklah mengangkat keadaannya oleh karena itu Ibnu Hajar dalam At Taqrib
1/76 tetap menyatakan ia dhaif. Contoh lain bahkan Bukhari pernah
menguatkan hadis yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang sangat
dhaif. Dikutip dari At Tahdzib juz 8 no 753 biografi Katsir bin Abdullah bin Amru bin Auf
وقال الترمذي قلت لمحمد في حديث كثير بن عبد
الله عن أبيه عن جده في الساعة التي ترجى في يوم الجمعة كيف هو قال هو
حديث حسن إلا أن أحمد كان يحمل على كثير يضعفه وقد روى يحيى بن سعيد
الأنصاري عنه
At Tirmidzi berkata “Aku berkata
kepada Muhammad [Al Bukhari] hadis Katsir bin Abdullah dari Ayahnya dari
Kakeknya tentang saat yang diharapkan pada hari Jum’at, bagaimana hadis
itu?”. Ia menjawab “Itu hadis hasan hanya saja Ahmad telah mengatakan
dhaif pada Katsir dan Yahya bin Sa’id Al Anshari telah meriwayatkan
darinya”.
Penghasanan Bukhari tidak ada artinya dan
itu tidak menguatkan atau menta’dilkan Katsir bin Abdullah karena ia
adalah seorang perawi yang sangat dhaif. Disebutkan dalam At Tahdzib
juz 8 no 753 kalau ia didhaifkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Asy Syafii,
Abu Dawud, Daruquthni dan Nasa’i. Ia dinyatakan dhaif, matruk, pendusta
dan rukun kedustaan (jarh yang sangat keras).
Kembali ke hadis Abdurraman bin ‘Aaisy,
tentu saja pengutipan pernyataan shahih terhadap hadis itu tidaklah
memiliki nilai hujjah untuk menyatakan tsiqah atau menta’dilkan Ibnu
‘Aaisy. Apalagi sebagaimana yang kami kutip dari At Tahdzib juz 6 no 417 kalau Bukhari menyatakan Ibnu ‘Aaisy hanya memiliki satu hadis yang mudhtharib
[yaitu hadis ini]. Dan kami telah membuat pembahasan yang cukup untuk
membuktikan bahwa memang benar terjadi idhthirab pada Ibnu ‘Aaisy.
Begitu pula pengutipannya kalau Ahmad
menguatkan hadis ini, bukan berarti Ahmad menta’dilkan Ibnu ‘Aaisy .
Dalam Tahdzib Al Kamal 17/203
قال أبو زرعة الدمشقى أيضا قلت لأحمد بن
حنبل إن ابن جابر يحدث عن خالدابن اللجلاج عن عبدالرحمن بن عائش عن النبى
صلى الله عليه وسلم ” رأيت ربى فى أحسن صورة ” و يحدث به قتادة عن أبى
قلابة عن خالد بن اللجلاج عن عبد الله بن عباس فأيهما أحب إليك ؟ قال حديث
قتادة هذا ليس بشىء و القول ما قال ابن جابر
Abu Zur’ah Ad Dimasyqiy juga berkata
‘Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal ‘Sesungguhnya Ibnu Jaabir telah
menceritakan sebuah hadits dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari
‘Abdurrahman bin ‘Aaisy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‘Aku
telah melihat Rabb-ku dalam sebaik-baik bentuk’. Qatadah juga
menceritakan hadits tersebut dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin
Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas; mana di antara keduanya yang
lebih engkau sukai ?’. Ahmad menjawab ‘Hadits Qatadah itu tidak ada
apa-apanya. Dan perkataan di sini adalah yang dikatakan Ibnu Jaabir”.
Perkataan inilah yang dianggap oleh
saudara itu sebagai bentuk penshahihan padahal pernyataan itu berkaitan
dengan hadis mana yang lebih disukai oleh Ahmad bin Hanbal. Anehnya ada
hal musykil yang tidak diperhatikan oleh si penulis.
- Bukhari menurut Tirmidzi menshahihkan hadis Ibnu ‘Aaisy dari Malik bin Yakhamir dari Muadz dari Nabi SAW
- Ahmad bin Hanbal menshahihkan [menurut penulis salafy itu] hadis Ibnu ‘Aaisy dari Nabi SAW.
Kedua pernyataan ini bertentangan satu
sama lain dan anehnya penulis itu malah berhujjah dengan keduanya. Kedua
pernyataan ini justru memperkuat bahwa hadis tersebut idhthirab. Ibnu
‘Aaisy benar-benar kacau periwayatannya terkadang ia berkata dari Nabi
SAW, terkadang dari sahabat dan terkadang dari tabiin. Tidak ada alasan
untuk menetapkan yang mana yang lebih rajih sehingga tetaplah ia sebagai
hadis yang mudhtharib.
Anggapan
adanya idlthiraab juga tidak benar. Setelah diteliti tiga riwayat yang
dibawakan oleh ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy dapat ditarjih dan dijamak
sehingga hilang sifat idlthirab-nya
Yang mana hadis yang ia tarjih, bukankah dengan seenaknya ia mengatakan hadis Ibnu ‘Aaisy dari Nabi SAW sebagai hadis mursal
[padahal penyimakannya jelas] tetapi anehnya ia malah berhujjah dengan
pernyataan Ahmad bin Hanbal yang menshahihkan hadis Ibnu ‘Aaisy dari
Nabi SAW. Jika penetapan asal-asalan begitu disebut tarjih maka tentu
tidak bernilai sebagai hujjah. Begitu pula pernyataannya soal jamak, apa
yang ia jamak. Jika ketiga hadis itu dijamakkan maka akan tampak jelas
sekali kacaunya. Ibnu
‘Aaisy mengaku ia mendengar langsung hadis tersebut dari Rasulullah SAW ,
tapi ia juga bilang mengaku mendengar dari sahabat yang mendengar dari
Rasulullah SAW, tetapi ia juga bilang mendengar dari tabiin dari sahabat
dari Rasulullah SAW.
[Selain
Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhariy, dan At-Tirmidziy, hadits ini juga
dishahihkan oleh Ibnu Katsiir dalam Tafsir-nya 7/80-81, Ahmad Syaakir
dalam Tafsir Ath-Thabariy 11/476, Al-Albaniy dalam beberapa tempat pada
kitabnya, dan yang lainnya].
Kita juga dapat menunjukkan ulama-ulama
yang mendhaifkan hadis Ibnu ‘Aaisy tersebut diantaranya Daruquthni
[dalam Al Ilal], Ibnu Jauzi [dalam Daf’u Syubaah] dan Syaikh Syu’aib Al
Arnauth [tahqiq Musnad Ahmad]. Tetapi tentu saja pendapat-pendapat ulama
bukanlah sesuatu yang mutlak bagi para penuntut ilmu. Yang harus
dilakukan adalah menilai sejauh mana kekuatan dalil-dalil yang menyokong
pendapat mereka. Pendapat yang mendhaifkan adalah pendapat yang benar
dan memiliki dasar yang kuat sedangkan pendapat yang menshahihkan tidak
lain hanya mengandung klaim-klaim yang tidak kuat.
Hadis Tsauban RA.
Kami telah menyampaikan alasan untuk
menyatakan dhaif hadis Tsauban tersebut, hanya saja kami ingin menelaah
kembali pernyataan saudara penulis
telah
terjawab pada uraian di atas. Jika yang bersangkutan merasa heran, maka
saya pribadi juga cukup heran atas ‘keheranan’-nya itu. Kelemahan dalam
hadits Tsaubaan karena adanya inqitha’ – pun jika dimasukkan juga
kelemahan ‘Abdullah bin Shaalih dan Abu Yahyaa – adalah tidak terlalu
berat dan dapat menjadi kuat jika adanya ada penguatnya (dari hadits
lainnya yang sama atau semakna)
Kami katakan kepada penulis yang
terhormat, kami tidak merasa heran dengan pembelaan anda terhadap Syaikh
anda yang juga terhormat yaitu Syaikh Al Albani [sudah terbiasa, itulah
tabiat pengikut salafy]. Tetapi alangkah baiknya jika anda lebih banyak
membaca kitab-kitab Syaikh Al Albani supaya anda mengetahui mengapa
kami dibuat terheran-heran dengan pernyataannya. Dengan menggabungkan
pernyataan kami soal inqitha’ dan pernyataan Syaikh maka hadis Tsauban
berstatus dhaif dan kelemahannya berat yaitu
- Inqitha’ Abu Sallam dari Tsauban
- Kelemahan pada Abdullah bin Shalih
- Kelemahan pada Ghailan bin Anas karena ia majhul hal dalam anggapan Syaikh Al Albani
- Kelemahan Abu Yahya yang tidak dikenal oleh Syaikh Al Albani
Perkataan anda soal Abu Shalih
Perkataan
Ibnu ‘Adiy di atas menunjukkan bahwa riwayat Mu’awiyyah bin Shaalih
dari Abu Shaalih diambil dari kitab. Bukan dari hapalan. Oleh karena
itu, sangat besar kemungkinan riwayatnya dari Mu’awiyyah ini berderajat
shahih, atau minimal hasan.
Adalah kesimpulan yang terburu-buru,
silakan lihat bagaimana Syaikh Al Albani telah mendhaifkan hadis-hadis
Abdullah bin Shalih dari Muawiyah bin Shalih
- Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 1/659 hadis no 483
- Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 3/428 no 1267 [disini bahkan Syaikh
mendhaifkan hadis tersebut hanya karena kelemahan Abdullah bin Shalih]
- Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 4/299 no 1821 [disini bahkan Syaikh
juga mengutip pernyataan Ibnu Ady tentang Abdullah bin Shalih tetapi
Syaikh tetap melemakan Abdullah bin Shalih]
- Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 4/425 no 1957
- Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 6/372 no 2850
- Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah 11/5 no 5001
Abu Yazid atau Ghailan bin Anas Al Kalby
adalah perawi yang tidak mendapatkan ta’dil dari satu ulamapun. Tentu
dengan manhaj Syaikh Al Albani maka perawi ini berstatus majhul hal.
Percuma saja saudara penulis itu mengutip berpanjang-panjang karena pada
kenyataannya Syaikh Al Albani sendiri mengatakan dengan jelas kalau Ghailan bin Anas Al Kalbi adalah seorang yang majhul hal
[lihat Silsilah Ahadits As Shahihah 1/39 hadis no 32]. Disana syaikh
juga mengatakan kalau banyak yang telah meriwayatkan dari Ghailan bin
Anas [kenyataannya ada 3] tetapi tetap saja Syaikh menyatakan Ghailan
bin Anas Al Kalby majhul hal. Ini membuktikan kontradiksi Syaikh Al
Albani dalam metodenya dan menunjukkan juga bahwa anda saudara penulis
belum banyak membaca kitab-kitab Syaikh Al Albani untuk melihat berbagai
keanehan seperti itu.
Kami bisa menyebutkan banyak perawi lain
yang walaupun telah meriwayatkan darinya sejumlah perawi tsiqah tetapi
tetap saja Syaikh Al Albani menyatakan ia seorang yang majhul haal. Jadi
pernyataan seseorang
Dikarenakan
yang bersangkutan tidak banyak membaca kitab Asy-Syaikh Al-Albaniy,
maka ia pun merasa keanehan. Padahal, dalam Tamaamul-Minnah telah
dijelaskan metodologi kritik beliau terutama bagi beberapa perawi yang
tidak mendapat ta’dil/tautsiq kecuali dari Ibnu Hibbaan. Jikalau
beberapa orang perawi tsiqah (tiga atau lebih) meriwayatkan darinya,
maka terangkatlah status majhul haal-nya dan riwayatnya menjadi hasan,
atau bahkan bisa menjadi shahih
Sungguh suatu perkataan lucu bin aneh
yang muncul karena yang bersangkutan tidak banyak membaca kitab Syaikh
Al Albani. Perkataannya cuma tertuju kepada kitab Tamaamul Minah
padahal dalam implementasinya Syaikh Al Albani telah menyatakan seorang
perawi sebagai majhul hal walaupun sejumlah perawi tsiqat meriwayatkan
darinya [hal ini bisa dilihat dalam kitab Silsilah Ahaadits Ad Dhaaifah]. Berikut sebagian contohnya
- Dalam Silsilah Ahadits Adh Dhaifah 3/440 no 1280 Syaikh Al Albani mendhaifkan hadis karena seorang perawi yang menurutnya majhul hal yaitu Thalq bin As Samhi walaupun beliau mengakui kalau jama’ah telah meriwayatkan darinya. Disebutkan dalam Tahdzib Al Kamal
13/454 no 2989 telah meriwayatkan darinya sekelompok perawi tsiqah
seperti Fadhl bin Ya’qub bin Ibrahim, Sa’id bin Katsir, Muhammad bin
Abdul Malik Al Baghdadi, Rabi’ bin Sulaiman bin Daud, Abdurrahman bin
Abdullah bin Abdul Hakim.
- Dalam Silsilah Ahadits Adh Dhaifah 3/679 no 1489 Syaikh Al Albani menyatakan seorang perawi yang bernama Abdullah bin Hasan Al ‘Anbari
majhul hal padahal telah meriwayatkan darinya sekelompok perawi tsiqat
seperti Afan bin Muslim, Abu Daud At Thayalisi, Abu Salamah Musa bin
Ismail, Abdullah bin Raja’ Al Ghudani, Abdullah bin Sawwar Al ‘Anbari [At Tahdzib juz 5 no 320]
- Dalam Silsilah Ahadits Adh Dhaifah 6/282 no 2762 Syaikh Al Albani menyatakan Ahmad bin Musa Al Khuza’i majhul
hal dan beliau mengakui kalau jama’ah telah meriwayatkan darinya.
Padahal dalam Al Jarh Wat Ta’dil 2/75 no 154 disebutkan Ibnu Abi Hatim
bahwa telah meriwayatkan dari Ahmad bin Musa sekelompok perawi tsiqah
yaitu Mu’alla bin Asad, Muhammad bin Sa’id bin Walid Al Khuza’I, Nashr
bin Ali dan Muhammad bin Mutsanna.
Kesimpulannya : hadis Tsauban dengan
metode Syaikh Al Albani memiliki kelemahan yang berat yaitu satu orang
perawinya dihukumi sebagai dhaif, satu orang lainnya majhul hal, satu
orang lainnya tidak dikenal dan yang terakhir adanya inqitha’ (sanadnya
terputus). Lucu sekali kalau hadis ini bisa menjadi shahih dengan
syawahid sama lucunya dengan orang yang mengatakan kalau kelemahan
hadis ini tidak terlalu berat.
Hadis Jabir bin Samurah.
Kami sebelumnya telah membawakan hadis
Jabir ini dan menyatakan bahwa hadis ini dhaif dengan berbagai alasan
kelemahan pada Simaak bin Harb. Kami menolak pernyataan Syaikh Al Albani
yang menyatakan hadis ini hasan. Berkenaan dengan ini sang penulis
mengikuti Syaikh Al Albani dan berkomentar
Sebagian
kalangan men-dla’if-kan hadits ini dengan sebab Simaak bin Harb. Ia
dianggap hadisnya mudltharib, hafalannya yang buruk alias tidak dlabith,
dan ia mengalami ikhtilath. Memang benar beberapa ulama mengkritiknya
seperti Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauriy, Ahmad bin Hanbal, An-Nasa’iy, dan
yang lainnya. Namun pendla’ifan itu tidak pada semua riwayat Simaak.
Contoh : Walaupun Syu’bah mendla’ifkannya (dan Syu’bah ini termasuk
ulama yang mutasyaddid dalam men-jarh), namun ia sendiri meriwayatkan
hadis darinya dan direkam dalam kitab Shahih.
Pernyataannya ini masih harus dirincikan
lagi. Diantara ulama yang mengkritik Simaak, ada yang memang menolak
hadisnya dan tidak mengkhususkan itu pada riwayat ikrimah saja seperti
Shalih bin Muhammad, Ibnu Mubarak dan An Nasa’i.
Kembali
pada hadits ru’yah,… pen-dla’if-an hadits ini berbagai alasan di atas
adalah sangat lemah. Jalur periwayatan dalam hadits ini, yaitu : mulai
Abu Bakr bin Abi Syaibah, dari Yahyaa bin Abi Bakiir, dari Ibraahiim bin
Thahmaan, dari Simaak bin Harb, dari Jaabir bin Samurah merupakan jalur
periwayatan yang dipakai Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya
Jutru pernyataan ini yang sangat lemah.
Satu-satunya alasan yang ia bahas hanyalah mudhtharib Simaak yang khusus
riwayatnya dari Ikrimah saja. Padahal diantara mereka yang mencacatkan
Simaak bin Harb terdapat alasan-alasan lain yaitu
- Simaak sering melakukan kesalahan seperti yang dikatakan Ibnu
Ammar dan Ibnu Hibban [Ibnu Hibban mengatakan ia banyak melakukan
kesalahan].
- Simaak hafalannya buruk seperti yang dikatakan Daruquthni
- Simmak menerima talqin seperti yang dikatakan Nasa’i. An Nasa’i
menyatakan kalau riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri.
- Simaak mengalami ikhtilath seperti yang dikatakan Al Bazzar dan Ibnu Hajar.
Dalam Ulumul hadis jika seorang perawi
mendapatkan ta’dil dan jarh maka jarhnya harus didahulukan dengan syarat
dijelaskan alasannya [jarh mufassar]. Dengan melihat jarh terhadap
Simaak maka terdapat alasan yang cukup untuk mendahulukan pencacatannya
dibanding penta’dilannya. Ditambah lagi hadis Ru’yah ini [sanad yang
lain] merupakan hadis yang lemah karena mudhtharib dan sanadnya
terputus, sedangkan Simaak dikatakan hadisnya mudhtharib dan sering
memusnadkan hadis yang tidak dimusnadkan oleh yang lain.
Ketika membela Simaak penulis mengakui
bahwa hadis Simaak yang mudhtharib hanya berasal dari Ikrimah saja. Kami
hormati pernyataannya itu tetapi yang tidak habis pikir adalah
pengutipannya soal mudhtharib justru malah menguatkan bahwa hadis Ibnu
‘Aaisy sebelumnya adalah mudhtharib [hal yang bersikeras ditolaknya]. Ia
menulis tetapi tidak memahaminya, ia mengikuti tetapi tidak
menelaahnya.
Ahmad
bin ‘Abdillah Al-‘Ijliy berkata tentangnya : “…..Jaaizul-hadiits,
kecuali dalam periwayatan hadits ‘Ikrimah. Terkadang ia menyambungkan
sesuatu dari Ibnu ‘Abbas, dan terkadang ia berkata : ‘Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Padahal (hadits/riwayat) itu
hanyalah ‘Ikrimah yang menceritakan dari Ibnu ‘Abbas…”.
Ya’quub pernah bertanya kepada ‘Aliy
bin Al-Madiiniy : “Apa pendapatmu tentang riwayat Simaak dari ‘Ikrimah
?”. Ia menjawab : “Mudltharib”.
Lihat baik-baik, dari kutipannya hadis Simaak dari Ikrimah dihukum mudhtharib karena Simaak
terkadang meriwayatkan dari Ibnu Abbas, terkadang meriwayatkan dari
Rasulullah SAW dan terkadang meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Kalau penulis mengakui bahwa hal ini mudhtharib maka begitu pula seharusnya hadis Ibnu ‘Aaisy, ia
terkadang meriwayatkan dari Rasulullah SAW, terkadang meriwayatkan dari
sahabat dan terkadang meriwayatkan dari tabiin dari sahabat dari
Rasulullah SAW. Jadi pernyataan mudhtharib Ibnu ‘Aaisy itu
adalah hal yang benar dan justru pembelaan membabibuta yang terkesan
asal taklid membuat sang penulis tampak kacau dalam tulisannya.
Penukilan penulis mengenai Imam Muslim
tidak masalah sedikitpun, hal itu cuma menunjukkan bahwa Imam Muslim
menta’dilkan Simaak dan sudah diketahui kalau Simaak termasuk perawi
yang mendapatkan ta’dil dari sebagian orang dan dicacatkan oleh sebagian
yang lain. Sehingga penilaian yang tepat adalah memperhatikan alasan
pencacatannya. Bagi para peneliti tidak setiap perawi yang dijadikan
hujjah oleh Bukhari ataupun Muslim adalah perawi yang tsiqah salah satu
contohnya adalah Ismail bin Abi Uwais,
dia adalah perawi yang dikenal dhaif tetapi Bukhari dan Muslim
berhujjah dengannya. Oleh karena itu sebagai usaha penyelamatan akan
kredibilitas kitab Shahih [Bukhari dan Muslim] maka Ibnu Hajar dalam
Muqaddimah Fath Al Bari hal 391 mengatakan “Hadis Ismail bin Uwais selain dalam kitab shahih tidak bisa dijadikan hujjah”.
Oleh karena itu jika memang yang bersangkutan merasa risih kalau-kalau
pencacatan Simaak mengganggu kredibilitas Imam Muslim dan Shahihnya maka
bisa saja dikatakan “hadis Simaak tidak dapat dijadikan hujjah kecuali dalam kitab shahih”.
Perlu diingatkan kembali bahwa hadis
Simaak ini tidak memuat keterangan mengenai peristiwa Ru’yah tersebut
apakah terjadi dalam mimpi atau tidak?. Hadis yang menyebutkan tentang
mimpi adalah hadis Ibnu ‘Aaisy dan Ibnu Abbas yang sudah dijelaskan
kedhaifannya. Jadi lucu sekali kalau salafiyun yang meyakini bahwa Allah
SWT bisa dilihat di dalam mimpi berhujjah dengan hadis Simaak bin Harb
di atas.
Hadits
melihat Allah dalam sebaik-baik bentuk (di waktu tidur/mimpi oleh Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam) secara keseluruhan adalah shahih tanpa
keraguan. Beberapa hadits saling menguatkan. Sebagian di antaranya
shahih, hasan, dan juga dla’iif. Kalau pun toh masing-masing jalan
dianggap dla’if, maka itu tidak menutup kemungkinan bahwa hadits itu
dapat naik status menjadi hasan li-ghairihi.
Silakan dilihat kembali hadis-hadis yang
dikatakan saling menguatkan, berikut hadis ru’yah dari yang dhaif sampai
yang paling dhaif
- Hadis Simaak bin Harb dhaif karena berbagai kelemahan pada Simaak
- Hadis Abu Umamah dhaif karena inqitha’ [terputus] dan kelemahan hafalan salah seorang perawinya
- Hadis Ibnu ‘Aaisy dan Muadz dhaif karena mudhtharib dan Ibnu ‘Aaisy tidak dikenal kredibilitasnya
- Hadis Ibnu Abbas dhaif karena munqathi’ dan mudhtharib.
- Hadis Tsauban dhaif karena munqathi’, satu perawi yang tidak
dikenal, satu perawi yang majhul hal [menurut Syaikh Al Albani] dan satu
perawi yang dhaif karena hafalannya.
- Hadis Abu Rafi’ dhaif karena satu perawinya yang pendusta dan dua perawi yang tidak dikenal.
Hadis Simaak tidak akan terangkat
kedudukannya oleh hadis-hadis yang lain, dan juga tidak akan saling
menguatkan karena sanad-sanad hadis lain selain Simmaak itu terputus dan
mudhtharib sehingga ia tidak tsabit sebagai penguat. Kesimpulannya hadis “Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk” berstatus dhaif. Wallahu’alam.
Kekacauan Salafy Dalam Membela Hadis “Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk”.
Tulisan kali ini dibuat untuk membantah
pembelaan saudara salafi yang nashibi yang dapat dilihat dalam
komentarnya di tulisan saudara Abul Jauzaa itu. Seperti biasa pembelaan
yang ngawur bin ajaib itu cukup sebagai bukti sikap keras kepala yang
tidak mengherankan muncul dari orang-orang yang ngakunya salafy.
Komentar asal-asalan penulis itu dikutip dan dicetak biru.
Pada
asalnya, tashhih seorang muhaddits maknanya tashhiih li-dzaatihi.
Maknanya, hadits tersebut telah memenuhi persyaratan shahih. Termasuk
dalam hal ini persyaratan perawi yang include di dalamnya persyaratan
‘adaalah. Konsekuensinya, para perawi yang menyusun sanad hadits adalah
‘adil menurut penilaian muhaddits tersebut. Kecuali jika disebutkan dari
muhaddits tersebut (baik secara langsung atau tidak langsung) bahwa
hadits yang ia tashhiih terdapat cacat (baik dari faktor perawi,
kebersambungan sanad, atau yang lainnya), maka tashhiih yang ia berikan
adalah tashhiih li-ghairihi. Ini kaedah umumnya……
Lucu saudara kita yang nasibi ini, ia
terlalu banyak berbicara metode yang tidak ia pahami dengan benar atau
sebenarnya ia paham tetapi memang tidak mau mengakui kesalahannya. Kita
tidak sedang berbicara kaidah yang umum. Kita membicarakan kredibilitas
seorang perawi yang bernama Abdurrahman bin ‘Aaisy. Kalau saudara itu
menukil pernyataan Bukhari yang menghasankan hadisnya lalu akan ia
kemanakan bukti nyata kalau hadis tersebut mudhtharib yang bahkan diakui
oleh Bukhari sendiri. Bisa saja dikatakan penghasanan Bukhari itu bukan
penta’dilan kepada Ibnu ‘Aaisy tetapi penguatan Bukhari terhadap hadis
tersebut dengan bantuan hadis-hadis lain sama halnya yang Bukhari
lakukan terhadap hadis Asbath Al Bashri. Siapa yang menolak kaidah yang
saudara sampaikan, pembahasan saya justru menunjukkan kalau kaidah
tersebut tidak relevan dijadikan hujjah untuk menta’dil Ibnu ‘Aaisy.
Kalau ia bersikeras berpegang pada penshahihan Bukhari, orang lain juga
dapat berpegang pada pernyataan Bukhari bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy
mudhtharib. Anehnya sejak kapan hadis mudhtharib itu menjadi hadis
shahih. Atau yang bersangkutan merasa bisa menjungkirbalikkan seenaknya
ilmu hadis hanya karena pembelaan yang membabibuta, silakan saja kita
tidak peduli dengan itu :)
Dan yang
saya sebutkan dalam tulisan saya di atas adalah kaedah umum ini dimana
teman Rafidlah kita itu tidak perlu miris terhadapnya. Sama halnya
ketika disebutkan tingkatan hadits shahih yang keempat sampai keenam :
Hadits yang sesuai persyaratan Al-Bukhari dan Muslim – sesuai
persyaratan Al-Bukhari saja – sesuai persyaratan Muslim. Apa makna
sesuai persyaratan Al-Bukhari dan/atau Muslim ? Maknanya hadits tersebut
diriwayatkan dari jalur para perawi yang terdapat di dua kitab (Shahih
l-Bukhari dan Shahih Muslim) atau salah satunya. Ini juga kaedah umum.
Apakah kaedah umum ini berlaku secara mutlak ? Tentu saja tidak….
Sebagaimana beberapa kaedah yang ma’ruf dalam ilmu hadits, ushul fiqh,
dan fiqh, ada exception2-nya……
Anda tidak perlu berbicara banyak hal seolah menunjukkan kelimuan anda yang seolah pula tahu banyak hal.
Hal yang seperti itu cukup dikenal dikalangan mereka para penuntut
ilmu. Justru yang jadi masalah adalah orang-orang yang sok berpegang
pada kaidah umum untuk membela kekeliruannya padahal tidak ada celah
baginya untuk menjadikan kaidah umum tersebut sebagai hujjah.
Ada
beberapa hadits – walau ia memakai jalur perawi yang dipakai oleh
Al-Bukhari dan/atau Muslim – berkualitas dla’if. Kenapa ? Telah ma’ruf
di kalangan ahli hadits bahwa tidak semua perawi dalam Shahihain selamat
dari kritik. Diantara mereka dinyatakan jumhur sebagai perawi dla’if.
Contohnya,…. Ismaa’iil bin ‘Abdillah bin ‘Abdillah bin Uwais, Qathn bin
Nusair, Asbaath bin Nashr, dan lain-lain. Ini mah tidak usah dibahas……….
Karena dah ma’ruf.
Aduhai saudara, kalau memang merasa sudah
ma’ruf maka tidak ada gunanya saudara memaksakan untuk menta’dil
seseorang dari mereka atau yang seperti mereka hanya karena hadis mereka
dimasukkan dalam kitab shahih atau dishahihkan oleh ulama tertentu.
Yang jadi pokok permasalahan itu adalah kedudukan hadis Ibnu ‘Aaisy.
Hadis Ibnu ‘Aaisy ini jelas mudtharib dan tidak ada gunanya penshahihan
yang tidak memiliki dasar. Aneh bin ajaib justru penshahihan tidak berdasar itu dijadikan hujjah akan penta’dilan Ibnu ‘Aaisy yang ujungnya nanti dijadikan hujjah untuk menshahikan hadis tersebut.
Ini lingkaran setan yang tidak pernah bisa dipahami oleh salafy yang
memang tidak mempelajari logika berpikir dengan baik. Ia hanya sibuk
dengan kitab-kitab rijal dan perkataan ulama ini itu tanpa menelaahnya
dengan kritis.
Oleh
karena itu, orang Rafidlah tersebut tidak perlu menolak kaedah umum yang
saya sampaikan. Kalau mau menanggapi, seharusnya komentarnya adalah :
“itu tidak berlaku mutlak…..” atau : “itu ada perinciannya….”. Ini baru
benar…………
Silakan saja membual sesuka hati anda,
kapan saya menyatakan menolak kaidah tersebut. Saya pribadi tidak
mempermasalahkan kaidah itu, justru andalah yang tidak tahu
juntrungannya berhujjah dengan kaidah yang sangat tidak relevan
digunakan disini. Apakah anda membaca pembahasan saya panjang lebar soal
kekacauan mereka para ulama mengenai hadis Ibnu ‘Aaisy?. Mungkin anda
membaca tetapi maaf anda tidak mampu untuk memahaminya.
Orang
Rafidlah tersebut menolak ta’dil ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy (yang
sebelumnya ia ingin menyanggap kaedah umum yang saya sampaikan), bahwa
tashhih Al-Bukhari tidak menunjukkan ta’dil beliau terhadapnya. Ia lalu
menyampaikan contoh Asbaath bin Abil-Yasa’ Al-Bashri dan Katsiir bin
‘Abdillah bin ‘Amr. Lah,… yang aneh…. contoh ini justru menjadi hujjah
saya atas dirinya, bukan hujjah dirinya terhadap saya. Tentu saja jika
dihubungkan dengan apa yang saya tulis di awal. Asbaath dikatakan majhul
oleh Abu Haatim dan Ibnu Hajar. Penilaian mereka berdua sebenarnya
dilandaskan oleh penilaian Al-Bukhari terhadap Asbaath dalam At-Taariikh
Al-Kabiir. Perlu diketahui, kitab At-Taariikh Al-Kabiir merupakan ushul
dari kitab Al-Jarh wat-Ta’dil dengan beberapa penambahan.
Saudara yang nasibhi itu ternyata pandai bersilat lidah. Apanya yang menjadi hujjah dirinya,
jika dia memahami maksud saya maka tidak mungkin dia akan berbicara
seperti itu. Jelas contoh yang saya sampaikan menunjukkan hujjah bahwa pentashihan Bukhari tidak selalu berarti pernyataan tsiqah Bukhari terhadap perawi tersebut. Perhatikan saja Asbath itu apa Bukhari menyatakan ia tsiqah?.
Dalam
kitab taariikh-nya, Al-Bukhariy berdiam diri (tidak memberikan
penilaian, baik jarh maupun ta’dil) terhadap Asbaath. Sebagian ahli
hadits menilai bahwa diamnya Al-Bukhariy menandakan perawi tersebut
adalah majhul (menurut beliau). Sedangkan yang lain (seperti Adz-Dzahabi
dalam Al-Muuqidhah) menyatakan sedikit memberikan penekanan dan
penajaman, bahwa perawi yang tidak mendapat jarh maupun ta’dil namun
dipakai hujjah oleh Al-Bukhariy dan Muslim atau salah satu di antara
keduanya dalam Shahih-nya, maka statusnya adalah tsiqah, dan haditsnya
qawiy (kuat).
Lihatlah akhirnya saudara nasibhi itu berbicara melebar kemana-mana. Ia berkata sebagian ulama berkata seperti ini, sebagian ulama berkata seperti itu.
Entah mau kemana arah pembicaraannya. Saudara ini terlalu sibuk dengan
pembelaan tanpa memahami esensi pembicaraan. Anehnya ia malah menuduh
kami yang tidak mengerti pembicaraan. Begitulah tabiat orang yang
terbiasa menuduh orang lain sehingga lupa memperhatikan keadaan dirinya.
Jadi hadits Asbaath itu qawiy (kuat) lidzaatihi berdasarkan kaedah yang diterangkan Adz-Dzahabiy karena Al-Asbaath ini tsiqah.
Maaf saya sarankan anda tidak perlu
banyak berbicara ini itu, anda sok berhujjah dengan kaidah umum dari Adz
Dzahabi padahal Adz Dzahabi sendiri baik dalam Al Mizan maupun Al Kasyf tidak pernah menyatakan Asbath tsiqah,
sebaliknya Adz Dzahabi mengikuti pernyataan Abu Hatim kalau ia majhul.
Kalau memang Adz Dzahabi konsisiten mengikuti metode yang anda sampaikan
itu maka tidak ada halangan baginya untuk menyatakan Asbath itu tsiqah.
Faktanya itu tidak terjadi, hal ini justru menjadi petunjuk bahwa
metode-metode umum itu tidak bisa dijadikan hujjah semaunya.
Atau……ia
shahih dengan mutaba’ah dari Muslim bin Ibraahiim jika kita tetap
menganggap status Asbaath ini majhul jika kita ingin menetapkan
berdasarkan perkataan Ibnu Hajar.
Tidak ada kata “jika” dalam
masalah ini, hadis Asbath itu memang shahih dengan mutaba’ah. Nah
sebenarnya yang lebih dekat ke pembahasan kita ini adalah apakah dengan penshahihan hadis Asbath itu maka berarti penta’dilan terhadap Asbath atau menghapus status majhulnya.
Memang inilah masalah besar bagi para pentaklid dari kalangan salafy,
mereka dengan mudah meloncat-loncat dari ulama yang satu ke ulama yang
lain asalkan bisa membela kepentingan mahzabnya. Padahal tidak setiap
perkataan ulama itu menjadi hujjah.
Contoh
kedua yang dibawakan adalah Katsiir bin ‘Abdillah bin ‘Amr. Di situ
justru memperjelas permasalahan yang saya sampaikan. Al-Bukhariy
mentashhih hadits Katsiir dari ayahnya dari kakeknya. Ia menghasankan
riwayat Katsir karena Yahya bin Sa’iid Al-Anshariy – dengan keimaman
beliau – telah meriwayatkan hadits darinya. Al-Bukhariy memberikan
tashhih hadits Katsiir mengenai waktu yang diharapkan di hari Jum’at
karena ia menganggap hadits Katsiir ini hasan dengan alasan yang telah
dituliskan.
Alasan apa yang anda maksud, dimana letak alasan Bukhari menghasankan hadis tersebut. Bukankah dari penukilan Tirmidzi itu Bukhari justru mengutip pernyataan dhaif dari Ahmad bin Hanbal dan periwayatan Yahya bin Sa’id.
Mana alasan penghasanan Bukhari. Apakah Bukhari menghasankan hadis
tersebut karena penta’dilan terhadap Katsir atau karena memang ada hadis
lain yang menguatkannya?. Lagipula hal yang lebih utama adalah penghasanan
Bukhari ini jelas tidak ada artinya atau tidak bernilai hujjah karena
perawi yang dimaksud memang sangat tercela kedudukannya.
Kalau memang penghasanan Bukhari tidak bernilai hujjah maka tidak ada
gunanya menjadikan penghasanan ini sebagai ta’dil terhadap Katsir bin
Abdullah. Apakah harus dijelaskan dengan panjang lebar seperti ini baru
anda mengerti. Silakan dibuka sedikit pikirannya biar kebenaran itu bisa
masuk pelan-pelan.
Maka
tidak ada hubungannya dengan perkataan Ahmad, Ibnu Ma’in, dan jama’ah
ahli hadits yang mendla’ifkannya, karena yang saya tekankan di sini
adalah tashhih hadits include terhadap tashhih sanadnya . Jelasnya,
ketika Al-Bukhari men-tashhih hadits Katsir tentang hari Jum’at itu,
maka ia men-ta’dil Katsir.
Lalu apa hubungannya pula sebelumnya anda
membawa-bawa keimaman Yahya bin Sa’id. Kalau anda hendak mengatakan
Bukhari sekedar taklid kepada Yahya bin Sa’id maka penghasanan tersebut
jauh lebih tidak berarti. Jika Yahya menta’dilkan Katsir maka ada banyak
Imam lain yang menjarhnya dengan keras. Kalau Bukhari hanya sekedar
taklid kepada Yahya maka apalah artinya penghasanan tersebut. Heh bangun
dong sampai kapan anda mau membutakan diri dengan pembelaan yang tidak
tahu kemana arahnya. Kalau untuk seorang Katsir Bukhari hanya sekedar
taklid kepada Yahya padahal banyak Imam yang mencacatnya dengan keras
maka baik Bukhari maupun Yahya itu tidak benar penilaiannya. Kalau
memang terbukti terdapat alasan yang cukup dalam mencacatkan seorang
perawi maka tidak ada artinya penta’dilan dengan dalih penshahihan
seorang ulama yang tidak ada dasarnya. Justru penshahihan ulama tersebut
mesti ditolak. Nah inilah yang terjadi dengan kasus Ibnu ‘Aaisy,
terdapat alasan yang cukup untuk mencacatkan dirinya dimana ia memiliki
satu hadis yang mudhtharib sehingga tidak berlebihan untuk dikatakan ia mudhtharib al hadis. Jika memang hadis tersebut terbukti mudhtharib maka tidak ada alasan menerima penshahihan yang tidak berdasar.
Kembali
pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Ketika Al-Bukhariy men-tashhih haditsnya
dari jalur Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal secara marfu’;
maka ia juga men-tashhih sanadnya dan juga memberikan ta’dil kepada
perawinya. Kita ingin tanya kepada teman Rafidlah kita itu : “Ada gak
perkataan Al-Bukhariy yang men-jarh ‘ secara jelas pada Abdurrahman bin
‘Aaisy ?”.
Begitulah saudara kita yang nashibi itu
tidak dapat mengambil faedah dari pembahasan orang lain. Ia hanya sibuk
melakukan pembelaan. Justru yang kita tanyakan pada Bukhari dan dirinya,
apa dasarnya menyatakan hadis tersebut shahih?.
Nama besar Bukhari tidak membuahkan apa-apa jika memang hujjahnya tidak
berdasar. Bukhari adalah manusia yang tidak lepas dari salah, tidak
lepas dari taklid dan sebagainya yang membuat penilaian shahihnya ini
patut dipertanyakan apalagi hadis tersebut terbukti mudhtharib.
Al-Bukhariy
hanya mengatakan bahwa ‘Abdurrahman ini hanya mempunyai satu hadits
dimana para ulama menganggap haditsnya tersebut mudltharib. Tentu saja
lain jika Al-Bukhari mengatakan : “mudltharibul-hadiits”. Tapi di sini
tidak… Ini bukan jarh.
Ternyata semakin lama saudara kita yang nasibhi ini semakin ngawur saja. Jadi jika Ibnu ‘Aaisy hanya punya satu hadis dan hadis tersebut mudhtharib maka itu bukan jarh. Kalau anda mengakui pernyataan Bukhari itu maka saya kembalikan kepada anda, bukankah hadis Ibnu ‘Aaisy itu mudhtharib, nah sejak kapan hadis mudhtharib itu bisa dikatakan shahih.
Pernyataan anda bahwa itu bukan jarh adalah hal paling menggelikan dari
sekian banyak keanehan anda. Kita ganti sedikit bahasanya. Kalau seorang perawi dikatakan hanya punya satu hadis dan hadis tersebut munkar, maka apakah itu bukan jarh?. Apakah “lahu manakiir” itu bukan pernyataan jarh?. Cukup cukup, semakin terlihat kualitas anda :(
Sebab,
seorang yang tsiqah juga bisa mempunyai hadits mudltharib. Contohnya
banyak…. Lantas, apa itu sangat musykil bagi teman Rafidliy kita ini
jika tashhih beliau dibawa kepada tashhih sanad – sesuai keumuman kaedah
– ?
Halah tidak hanya orang tsiqah kalee,
orang dhaif, majhul bahkan pendustapun bisa mengalami mudhtharib. Tidak
ada korelasi linier bahwa mudhtharib harus bersesuaian dengan
pentsiqahan. Terus saja bicara yang umum, hal yang membuat anda semakin
jauh dari kebenaran
Lantas
bagaimana dengan perkataan Abu Zur’ah bahwa ia tidak dikenal (laisa
bi-ma’ruuf). Ini memang kalimat jarh, namun sifatnya muqayyad. Jika ada
seorang ulama/muhaddits yang diakui memberikan ta’dil kepadanya atau
menegaskan bahwa ia seorang yang ma’ruf, maka sifat tidak dikenal
(majhul) ini hilang, karena orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi
orang yang tidak mengetahui. Dan ini telah diisyaratkan terhadap tashhih
Al-Bukhariy.
Tidakkah saudara itu memahami bahwa
justru perkataan Abu Zur’ah disini lebih mendekati kebenaran. Ibnu
‘Aaisy itu keberadaannya hanya dikenal melalui satu hadis ini saja.
Padahal satu hadis ini terbukti mudhtharib, ini sudah menjadi hujjah
yang cukup untuk menguatkan pernyataan Abu Zur’ah dan menyatakan kalau penshahihan terhadap hadis ini keliru. Bahkan kita dapat bertanya kepada mereka yang menshahihkan hadis ini, apa dasarnya menyatakan hadis ini shahih?.
Juga
dengan tashhih Ahmad bin Hanbal. Tidak ternukil sama sekali ia men-jarh
‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Bahkan ada dua riwayat darinya yang men-tashhih
riwayat ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Pertama, dalam Tahdziibul-Kamaal
(17/203) : “Abu Zur’ah Ad-Dimasyqiy juga berkata : ‘Aku berkata kepada
Ahmad bin Hanbal : ‘Sesungguhnya Ibnu Jaabir telah menceritakan sebuah
hadits dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy, dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku telah melihat Rabb-ku dalam
sebaik-baik bentuk’. Qatadah juga menceritakan hadits tersebut dari Abu
Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas; mana
di antara keduanya yang lebih engkau cintai ?’. Ahmad menjawab : ‘Hadits
Qatadah itu tidak ada apa-apanya. Dan perkataan (yang dianggap/shahih)
di sini adalah yang dikatakan Ibnu Jaabir” [selesai]. Kedua, dalam
Tahdziibul-Kamaal (17/206) : “Diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin ‘Adiy,
dari Al-Fadhl bin Hubaab, dari Al-Khuzaa’iy, kemudian ia berkata :
Hadits ini mempunyai beberapa jalan. Dan aku melihat bahwa Ahmad bin
Hanbal menshahihkan riwayat yang dibawakan oleh Musaa bin Khalaf, dari
Yahyaa bin Abi Katsiir. Ia (Ahmad) berkata : ‘Hadits ini adalah yang
paling shahih”[selesai].
Walaupun telah ditunjukkan kekeliruannya,
saudara nashibi itu tetap tidak mau memperhatikan. Ahmad bin Hanbal
tidak memberi tautsiq kepada Ibnu ‘Aaisy. Jika memang Ahmad menshahihkan
hadis tersebut maka yang ia lakukan pada dasarnya sama seperti Ibnu
Hibban yaitu merasa-rasa bahwa Ibnu ‘Aaisy itu sahabat. Dan sahabat memang sesuai kaidah kontroversial ilmu hadis[yang saya yakin diyakini oleh Ahmad bin Hanbal]
selalu tsiqah. Nah kalau memang penulis itu mengakui Ibnu ‘Aaisy bukan
sahabat maka tidak ada gunanya ia mengambil hujjah dengan ta’dil Ahmad.
Lihat saja hadis yang katanya dishahihkan oleh Ahmad itu adalah hadis Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW. Betapa lucunya cara ia berhujjah
Teman
kita ini merasa aneh dengan perbedaan hadits yang di-tashhih antara
Al-Bukhariy dan Ahmad (ia hanya memandang satu perkataan Ahmad saja).
Saya juga bingung, apa yang dianehkan ? aneh-aneh saja……….. Tidak ada
masalah jika ada perbedaan tashhih antara Al-Bukhariy dengan Ahmad,
karena yang sedang kita perbincangkan adalah sisi ta’dil atas
‘Abdurrahman bin ‘Aaisy.
Maaf saja, sudah berulang kali anda
menunjukkan sikap selalu menganggap normal hal-hal aneh yang ada pada
diri anda. Yah mana ada maling ngaku maling. Cukuplah anda lihat dengan
baik apa yang sudah saya sebutkan. Penshahihan Bukhari tidak ada artinya apalagi anda gabungkan dengan penshahihan Ahmad yang justru menentang Bukhari. Penshahihan Ahmad berdasar pada anggapannya kalau Ibnu ‘Aaisy itu sahabat[kalau Ahmad tidak menganggap Ibnu ‘Aaisy sahabat pasti ia mengatakan hadis itu mursal], hal yang bahkan ditolak oleh Bukhari. Kalau anda merasa tidak aneh maka itu adalah hal yang biasa muncul dari diri anda.
Kelihatannya, teman Rafidlah kita tidak memahami esensi yang dibicarakan.
Ta’dil terhadap ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini dikuatkan lagi oleh beberapa faktor (sebagian telah saya sebutkan) :
Keadaan yang sebenarnya adala saudara
nashibi itu tidak memahami esensi yang dibicarakan, ia berbicara panjang
lebar tak tentu arah, berhujjah dengan hujjah yang justru untuk
membahasnya maka pembahasan kita pun jadi meluas kemana-mana. Lihatlah
bahkan sekarang ia menambahkan faktor yang mengada-ada hanya untuk
melakukan pembelaan membabi buta.
1. Ibnu
Hibban telah mencantumkannya dalam Ats-Tsiqaat —- ingat, saya tidak
sedang bergantung semata-mata dari tautsiq Ibnu Hibban, namun ini
merupakan penguat dari qarinah2 yang ada.
Kira-kira orang seperti apa yang jika
telah ditunjukkan kalau ia terbukti keliru ia tetap keras kepala dengan
pendiriannya. Kita telah tunjukkan bahwa Ibnu Hibban menganggap Ibnu ‘Aaisy seorang sahabat maka dari itu Ibnu Hibban pasti memasukkannya kedalam Ats Tsiqat. Ibnu Hibban jelas beranggapan semua sahabat itu tsiqah makanya ia memasukkan Ibnu ‘Aaisy dalam kitabnya Ats Tsiqat. Sedangkan saudara nashibi kita ini telah mengakui kalau Ibnu Aaisy bukan sahabat so tidak ada celah baginya berhujjah dengan Ats Tsiqat-nya Ibnu Hibban.
2.
Walaupun pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan ‘Abdurrahman
bin ‘Aaisy bukan termasuk shahabat, namun dengan dimasukkannya ia oleh
sebagian muhaddits dalam thabaqah shahabat, maka ini petunjuk akan
ke-‘adalah-annya.
Kuat berdasarkan apa?. Kalau berdasarkan
hadisnya mudhtharib maka benar ia bukan sahabat dan hadis penyimakan itu
tergolong mudhtharib. Tetapi kalau berdasarkan perkataan ulama semisal
Bukhari dan sebagainya maka jawaban Ibnu Hajar dalam Al Ishabah jauh
bernilai dan lebih kuat dibanding mereka. Lha jelas sekali bagi mereka yang beranggapan Ibnu ‘Aaisy sahabat maka ia adalah tsiqah karena sahabat itu kan katanya semuanya adil dan tsiqah. Terus kalau saudara kita ini, bukankah dia mengatakan Ibnu ‘Aaisy bukan sahabat lantas dari mana dasarnya mau mengatakan tsiqah. Pahami dulu bantahan orang lain sebelum balas membantah :mrgreen:
[adapun
pertanyaan teman Rafidlah kita : “Mengapa saya berpegang pada tautsiq
Ibnu Hibban, namun tidak berpegang pada perkataannya bahwa Ibnu ‘Aaisy
bukan seorang shahabat; maka saya jawab : Jelas beda antara tautsiq
dengan thabaqah perawi, tidak ada korelasi linear antara keduanya. Ia
menyangka jika kita melemahkan pendapat seorang muhaddits tentang
peletakan thabaqah perawi (apakah ia shahabat, tabi’iin, atau
tabi’ut-taabi’iin), juga harus berkonsekuensi melemahkan jarh dan ta’dil
yang diberikan muhaddits tersebut kepadanya. Pemahaman macam apa ini ya
?....].
Ho ho ini bukti nyata kalau saudara nashibi itu terbiasa berhujjah dengan hal umum tak tentu arah. Perhatikan wahai pembaca memang beda antara tautsiq dan thabaqah perawi tetapi ini berlaku untuk selain sahabat karena sahabat itu dalam kaidah ilmu hadis adalah adil dan tsiqah.
Tidak ada itu yang namanya sahabat dhaif bagi salafy. Kita bisa
tanyakan pada penulis itu jika memang ada sahabat dhaif menurutnya. Jadi
jika seorang ulama menetapkan atau meyakini seseorang sebagai sahabat maka orang itu pasti akan dikelompokkan atau dimasukkan dalam kitab yang memuat perawi tsiqah. Inilah yang dilakukan Ibnu Hibban, ketika ia memasukkan Ibnu ‘Aaisy dalam kitabnya Ats Tsiqat itu dengan alasan menurutnya Ibnu ‘Aaisy adalah sahabat Nabi. Saudara itu sok berkata keheranan “pemahaman macam apa ini” padahal betapa menyedihkan orang yang tidak mampu memahami hal mudah seperti ini. Sahabat sekali lagi tidak melewati mekanisme jarh wat ta’dil mereka berdasarkan kesepakatan ulama adalah tsiqah dan adil. Jadi thabaqah sahabat adalah thabaqah yang tsiqah menurut ilmu hadis.
3. Tiga perawi tsiqah meriwayatkan darinya.
Pernyataan ini pun tidak ada gunanya.
Kita dapat mengatakan bahwa tiga perawi tsiqah telah meriwayatkan hadis
darinya dimana jika kita melihat hadis yang dimaksud itu maka diketahui
bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy itu mudhtharib maka tidak ada gunanya pernyataan
tiga perawi tsiqah meriwayatkan darinya.
4. Satu
lagi saya tambah : Umumnya, penghukuman idlthirab pada satu hadits oleh
muhadditsiin dimaksudkan terjadi pada perawi tsiqah (atau minimal
shaduuq). Bahkan sebagian ulama yang mengkhususkan pembicaraan
mudltharib ini hanya pada perawi-perawi tsiqaat (lihat
Al-Jawaahirus-Sulaimaniyyah Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah hal. 337).
Karena jika idlthiraab ini terjadi atau berporos pada perawi dla’iif,
maka ia sudah gugur dari segi asalnya dan ta’arudl atau perselisihan
sanad setelah rawi tersebut tidak dianggap.
Hujjah macam apa ini, kita tak perlu
memperhatikan pernyataannya dengan kaidah umum yang justru memperluas
pembahasan ini kemana-mana. Jika ia mengatakan “sebagian ulama” maka “sebagian lain” juga berkata lain. Bahkan Syaikh Al Albani sendiri mengakui kalau idhthirab bisa terjadi pada perawi dhaif [lihat Shahih Shifat Shalat An Naby] dan memang begitulah faktanya. Idhthirab bisa terjadi baik pada perawi tsiqah, dhaif, atau majhul.
Beberapa
qarinah ini semua menunjukkan akan ke-‘adalah-an ‘Abdurrahman bin
‘Aaisy. Dan ‘adalah itu tidak hanya diketahui dari tashrih ta’dil atau
pujian yang diberikan oleh muhadditsiin pada seorang perawi. Ada banyak
jalan/cara untuk mengetahui sifat ‘adl (ta’dil muhadditsiin) pada
seorang perawi [bisa lihat selengkapnya dalam Al-Hadiitsush-Shahih wa
Manhajul-‘Ulamaa’il-Muslimiin fit-Tashhih hal. 95-98 dan
Al-Jawaahirus-Sulaimaniyyah Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah hal. 55-60
– padanya ada beberapa jalan/cara, adayang maqbul, ada pula yang
mardud].
Silakan dilihat, qarinah-qarinah tersebut
hanya akan dipercaya oleh mereka yang memang awam dan tidak tahu menahu
soal ini tetapi bagi mereka yang mempelajarinya dengan kritis akan
terlihat betapa rapuhnya qarinah-qarinah yang ia pakai.
Ada yang
lucu dari komentar teman Rafidlah kita ini. Ia mengatakan bahwa saya
dengan seenaknya mengatakan bahwa hadits ‘Ibnu ‘Aaisy dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini mursal. He….he… sungguh lucu bin aneh
pernyataan ini. Ia sendiri dalam tulisannya terdahulu mengatakan bahwa
‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini bukan seorang shahabat. Kali saja ia lupa
dengan perkataannya :
“oleh karena itu hadits dengan sima’ langsung Ibnu Aaisy dari Rasul SAW itu memang keliru”.
“Pendapat yang benar mengenainya adalah dia bukanlah sahabat Nabi……”.
Lah, …. kalau saya tanya padanya : “Dari mana Anda menyimpulkannya ?”.
Jawaban Anda sekaligus jawaban bagi saya (sebenarnya ia melakukan tarjih
dari pendapat para imam, namun sayangnya gak nyadar). Makanya sangat
aneh statementnya pada saya ini… Jika ia sendiri mengatakan bahwa
‘Abdurrahman bin ‘Aaisy bukan shahabat, tentu saja konsekuensi dari
hadits yang ia bawakan dihukumi mursal. ‘Abdurrahman telah menggugurkan
perawi antara dia dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.…………
Saudara nashibi ini sok mau memakai
logika atau sok mau menyalahkan orang padahal ia tidak memahami posisi
orang lain. Jika ia mau dengan benar memahami posisi saya maka penolakan
saya akan status sahabat Ibnu ‘Aaisy tidak hanya bersandar pada
keterangan ulama tetapi
statusnya yang majhul dan hadisnya mudhtharib [disinilah hujjah utama saya]. Sedangkan ia sendiri adalah
orang yang justru mengatakan Ibnu ‘Aaisy tsiqah dan menolak kalau hadisnya mudhtharib.
Maka tidak ada dasar baginya untuk menilai hadis Ibnu ‘Aaisy itu
mursal. Halo tolong dibuka sedikit dong pikirannya agar bisa memahami
hujjah orang lain. Begitulah ia, memahami hujjah orang lain dengan benar
saja ia tidak mampu apalagi mau membahas dengan kritis. Silakan pembaca
lihat tulisan saya yang membahas
kedudukan Abdurrahman bin ‘Aaisy Al Hadhrami,
disitu dengan jelas saya menunjukkan bahwa Ibnu ‘Aaisy hadisnya
mudhtarib dan ia sendiri tidak dikenal kredibilitasnya maka dari itu
saya menolak kalau ia dikatakan sahabat. Sungguh menyedihkan saudara
nashibi itu, apakah ia begitu bodoh sehingga sulit memahami tulisan
orang lain? atau ia sengaja membodoh-bodohi orang awam agar terpengaruh
dengan perkataannya?. Ataukah ia sengaja berdusta untuk melemahkan lawan
bicaranya?. Kalau anda penulis tidak mampu menjawab maka cukuplah diam
saja dan jangan menjadi orang yang menyedihkan.
Jika
telah diketahui bahwa hadits ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy itu mursal – jika
ada riwayat yang menyambungnya (maushul) – maka ia dibawa kepada yang
maushul. Riwayat mursal ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy tersebut adalah : Dari
Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aayisy secara marfu’.
Adapun riwayat maushul itu yang menyambung sanad Ibnu ‘Aaisy adalah :
Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari
sebagian/seorang laki-laki dari shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam secara marfu’.
Gak ada alasannya ia mau menyatakan hadis itu mursal kalau ia mengakui Ibnu ‘Aaisy itu tsiqah.
Hadis penyimakan Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW adalah kesaksian Ibnu
‘Aaisy dan jika saudara itu mengakui ia tsiqah maka tidak ada alasan
untuk menolak kesaksiannya. Seperti yang saya katakan jika Ibnu ‘Aaisy
itu tsiqah maka pernyataannya bahwa ia mendengar dari Rasulullah SAW adalah bukti kalau ia sahabat.
Nah kalau ia sahabat maka kesaksiannya jauh lebih berarti dari para
ulama yang anda jadikan hujjah. Aneh ya kekacauan seperti ini tidak
dimengerti oleh anda. Lucunya ulama panutan anda Bukhari
itu meragukan hadis penyimakan Ibnu ‘Aaisy dengan mengisyaratkan kalau
itu kesalahan Walid padahal Walid telah dikuatkan dengan yang lain dan
ini sebagai bukti kalau riwayat Walid itu memang terjaga.
Bukankah ini adalah petunjuk kalau pernyataan Bukhari itu bisa salah dan
begitu pula dengan penshahihannya, ya bisa salah juga.
Terakhir,
apakah perawi tsiqah bisa meriwayatkan hadits mursal ? Maka jawabnya
adalah bisa, banyak contohnya. Pun, jika perawi tersebut menggunakan
lafadh tahdits, walaupun kasus ini bisa dibilang sangat sedikit. Ini
diakibatkan oleh kekeliruan sebagian perawinya. Contohnya :
Telah menceritakan kepada kami Nashr
bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepadaku ayahku : telah menceritakan
kepadaku Syu’bah, dari Abu Bisyr (ia berkata) : Aku mendengar Mujaahid
menceritakan hadits dari Ibnu ‘Umar, dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengenai tasyahud (dalam shalat) : …..(al-hadits)….
Hadits
ini ada dalam Sunan Abi Dawud no. 971. Hadits ini rijalnya adalah rijal
Ash-Shahiih, Ad-Daaruquthniy (1/351) mengatakan : “Sanad hadits ini
shahih”. Namun dalam Tahdziibut-Tahdziib, Imam Ahmad berkata : “Syu’bah
mendla’ifkan hadits Abu Bisyr dari Mujaahid, ia berkata : “Ia tidak
mendengar apapun darinya”. Asy-Syaikh Muqbil berkata : “Adapun tashrih
dengan sima’ dari Mujaahid, maka hal itu kemungkinan berasal dari
kekeliruan Abu Bisyr atau selainnya. Wallaahu a’lam” [lihat
Al-Ahaaditsul-Mu’allah Dhaahiruhash-Shihah hal. 240].
Silakan saja anda menampilkan hadis-hadis
seperti itu. Satu hal yang harus anda ingat dalam berhujjah dengan
perkataan ulama adalah apa dasarnya ulama tersebut mengatakan seperti
itu. Mari kita anggap Syu’bah dalam hal ini benar, saya katakan
pernyataannya memang patut diperhatikan karena Syu’bah sendiri mengenal bertemu dan berguru kepada Abu Bisyr.
Dalam hal ini Syu’bah punya kapabilitas untuk mengetahui keadaan
sebenarnya Abu Bisyr. Lain ceritanya dengan hadis Ibnu ‘Aaisy di atas. Mereka yang menolak status sahabat Ibnu ‘Aaisy atau menolak penyimakan Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW
adalah para ulama yang terpisah jauh darinya dalam arti mereka tidak
bertemu atau mengenal Ibnu ‘Aaisy. Alasan penolakan mereka hanya
berdasarkan penolakan
mereka terhadap hadis penyimakan langsung Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah
SAW dan adanya hadis dimana Ibnu ‘Aaisy meriwayatkan dengan perantara. Oleh karena itu terdapat ulama yang mengingkari mereka ini
seperti Ibnu Hajar yang dengan jelas menyatakan Ibnu ‘Aaisy sahabat
setelah mengumpulkan berbagai riwayat penyimakan Ibnu ‘Aaisy dari
Rasulullah SAW dan riwayat tersebut pada kenyataannya bukanlah kesalahan
Walid seperti yang dikatakan Ibnu Khuzaimah dan Al Bukhari.
Kemudian mari kita anggap Syu’bah dalam hal ini keliru maka memang terdapat alasan untuk menyatakan ia keliru. Satu-satunya kesaksian bahwa Abu Bisyr tidak mendengar dari Mujahid berasal dari Syu’bah sendiri sedangkan kesaksian Abu Bisyr mendengar dari Mujahid berasal dari kesaksian Abu Bisyr sendiri.
Mereka berdua sama-sama tsiqat tetapi Abu Bisyr jelas lebih mengetahui
keadaan dirinya dibanding orang lain. Oleh karena itu pernyataan syu’bah
tidaklah mutlak.
- Secara tarikh, Abu Bisyr memang sezaman dan memungkinkan bertemu dengan mujahid
- Berdasarkan kesaksian Abu Bisyr sendiri dan dia tsiqah maka ia mengatakan dengan jelas telah mendengar dari Mujahid.
Jika pernyataan Abu Bisyr mendengar langsung dari Mujahid dikatakan salah maka ada dua kemungkinan
- Kesalahan tersebut berasal dari Abu Bisyr, hal ini musykil karena
Abu Bisyr dengan jelas menyatakan ia mendengar langsung. Menyatakan
kesalahan padanya sama halnya dengan menuduh ia berdusta.
- Kesalahan tersebut berasal dari yang meriwayatkan dari Abu Bisyr
yaitu Syu’bah. Kalau memang ia salah maka pernyataan Syu’bah disini
jelas-jelas kontradiksi, di saat lain ia mengatakan Abu Bisyr mendengar
dari Mujahid di saat lain ia mengatakan Abu Bisyr tidak mendengar dari
Mujahid. Kalau memang Syu’bah yang salah, lantas kesaksian mana yang
salah.
Hadis Abu Bisyr dari Mujahid tidak hanya
dishahihkan oleh Daruquthni tetapi Bukhari juga telah memasukkan hadis
Abu Bisyr dari Mujahid dalam kitab Shahih-nya [hadis no 2095,
no 4056 dan no 4656]. Mungkin saja Abu Bisyr mendengar dari Mujahid dan
pernyataan Syu’bah itu bisa dijamak dalam arti Syu’bah awalnya tidak
mengetahui kalau Abu Bisyr mendengar hadis dari Mujahid tetapi setelah
ia mengetahui Abu Bisyr mendengar dari Mujahid maka ia mengakuinya dan
meriwayatkan hadis tersebut. Tentu saja ini sebuah kemungkinan tetapi
kami tidak akan memusingkan hal itu.
Kembali kepada hadis Ibnu ‘Aaisy jika saudara nashibi itu mau menolak hadis penyimakan langsung Ibnu ‘Aaisy dari Rasulullah SAW
maka apa dasarnya?. Kalau main asal comot perkataan ulama tanpa
menelaahnya maka kita pun dapat main comot ulama yang menyalahkannya.
Bahkan pernyataan Ibnu Hajar mengenai status sahabat Ibnu ‘Aaisy jauh
lebih bernilai dibanding pernyataan ulama yang menyelisihinya seperti
Bukhari dan Ibnu Khuzaimah. Walaupun menurut kami Ibnu Hajar tetap
keliru karena tidak memperhatikan bahwa hadis tersebut mudhtharib.
Teman
Rafidliy kita tetap berpendapat bahwa hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy itu
idlthirab. Telah saya sebutkan ada dua riwayat yang tersisa yang
berputar/berporos pada ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy :
(1) Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj,
dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari
kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
(2) Dari Abu Salaam (Zaid bin Salaam
bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik
bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara marfuu’.
Memang saudara nashibi itu tidak bisa
memahami hujjah orang lain dengan benar. Ia masih saja keras kepala
dengan pernyataannya. Hadis tersebut tidak hanya seperti yang ia
katakan, masih ada satu lagi hadis Ibnu ‘Aaisy yaitu dimana ia menyatakan mendengar langsung dari Rasulullah SAW.
Kedudukan hadis tersebut tidak berbeda dengan kedua hadis ini. Mereka
yang menolak hadis ini seperti Al Bukhari dan Ibnu Khuzaimah tidak
memiliki hujjah apapun bahkan mereka terbukti keliru sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Hajar bahwa riwayat
penyimakan Ibnu ‘Aaisy langsung dari Rasulullah SAW tidak hanya
diriwayatkan Walid tetapi juga oleh yang lainnya sehingga riwayat
tersebut memang terjaga dan tidak bisa ditolak begitu saja.
Jadi riwayat tersebut harus dimasukkan dalam pembahasan idhtirab hadis
tersebut bukan seperti yang dikatakan saudara nashibi itu.
Untuk
nomor 1, teman Rafidlah kita tetap memecahnya menjadi dua untuk lebih
mengesankan ke-idlthirab-annya sesuai dengan yang ia inginkan, yaitu :
a. Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari
‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian (ba’dlu) shahabat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
b. Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari
‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
Jangan melucu bung, hadis tersebut pada
kenyataannya memang diriwayatkan dengan dua bentuk seperti itu. Anda mau
menggabungkan ya silakan, tapi saya tetap menjadikannya seperti yang
tertera dan diriwayatkan di dalam kitab hadis. Kami tidak perlu
mengesankan apapun. Bagi mereka yang tahu apa itu idhthirab
akan tahu dengan jelas bahwa hadis tersebut memang idhthirab dan kami
tidak perlu meminta penerimaan anda akan hal ini. Kebenaran itu cukup
jelas
Dua
riwayat di atas masing-masing berasal dari Khaalid bin Al-Lajlaaj. Dalam
setiap bahasan hadits mudltharib disebutkan bahwa satu hadits tidak
dikatakan mudltharib jika ia bisa ditarjih atau dijamak. Di sini jamak
bisa dilakukan. Di atas saya telah menuliskan bahwa tidak ada
pertentangan antara sebagian shahabat dengan seorang laki-laki dari
kalangan shahabat. Lafadh seorang laki-laki dari kalangan shahabat
termasuk bagian dari sebagian shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Dalam ilmu ushul, itu termasuk bagian lafadh ‘aam dan lafadh
khaash. Antara yang khaash dan ‘aam bukan merupakan bagian kontradiksi,
sehingga tidak mengharuskan adanya idlthirab satu dengan lainnya.
Tidak masalah, idhthirabnya itu tidak
hanya bersandar pada kedua riwayat ini saja. Kedua riwayat lain yaitu
periwayatan langsung dari Rasulullah SAW dan periwayatannya dari tabiin
adalah bukti nyata bahwa hadis tersebut idhthirab.
Saya ulangi : Sanad ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy hanya ada dua, yaitu :
(1) Dari Khaalid bin Al-Lajlaaj,
dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/seorang laki-laki dari
kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
(2) Dari Abu Salaam (Zaid bin Salaam
bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik
bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara marfuu’.
Ho ho ho pengulangannya hanya menunjukkan
segitu putus asanya saudara kita ini dalam berhujjah. Ia benar-benar
tidak mau memasukkan hadis penyimakan langsung Ibnu ‘Aaisy dari
Rasulullah karena hal itu sangat memberatkannya maka dari itu yang bisa
ia lakukan hanyalah pengulangan dengan penuh putus asa.
Hadits
di atas tampak oleh kita bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy menerima riwayat
dari orang yang berbeda dan menyampaikannya kepada orang yang berbeda
pula. Setelah menukil kalimat saya ini, teman Rafidlah kita itu berkata :
“Sungguh lucu kalimat ini. Jika
syarat mudltharib adalah perawi sebelum dan sesudah Abdurrahman harus
sama, maka sudah jelas ia bukan mudltharib, tetapi satu sanad yang utuh
dan tsabit”.
Halo….halo….. dalam kalimat mana
saya mengatakan syarat mudltharib adalah perawi sebelum dan sesudah
Abdurrahman harus sama ya ? Saya baca ulang tulisan saya di atas gak ada
tuh kalimat yang dimaksud…. baik secara lafadh ataupun makna. Itu hanya
karangan teman Rafidlah kita saja untuk membuat opini menguatkan
pendapatnya yang salah.
Aneh sekali saudara nashibi itu, ia lebih
sibuk dengan persepsinya sendiri soal penggunaan bahasa yang menurutnya
tidak tepat. Kapan pula saya menuduhnya?. Lihat saya sudah cukup
berhati-hati dengan menggunakan kata “jika” jadi jangan sok sensi amat.
Pada esensinya anda itu sudah jelas ngawur sok mengatakan pendapat orang
lain salah padahal pendapatnya sendiri sebenarnya yang salah. Main
salah-salahan semua orang bisa, mempengaruhi orang dengan kata-kata sok
ilmiah atau mentertawakan juga semua orang bisa. Bagi pembaca silakan
cukup memperhatikan hujjah dan dasar baik saya ataupun dia dan silakan
nilai dengan adil.
Saya
mengatakan hal di atas sebagai qarinah saja (bukan syarat). Tidak lain
karena hal itu sangat memungkinkan. Apalagi hadits itu sendiri sangat
memungkinkan diriwayatkan dari banyak jalan sanad (bukan dengan sanad
tunggal). Bukankah hadits tersebut diucapkan oleh kesaksian para
shahabat saat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di masjid
? Maka, bukan hal yang aneh jika ada beberapa shahabat meriwayatkan
dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian beberapa
diantaranya diriwayatkan melalui jalur ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dari
‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini, ia sampaikan kepada Khaalid bin Al-Lajlaaj
dan Abu Salaam pada waktu yang berbeda.
Jelas-jelas dia sebelumnya berkata “Dua
riwayat ini tidak mudltharib – walau berporos pada ‘Abdurrahman bin
‘Aaisy – karena perawi sebelum dan setelah ‘Abdurrahman berbeda”. Dia justru menjadikan hal itu sebagai sebab bahwa riwayat tersebut tidak mudhtharib. Kita tanyakan pada pemilik kalimat ini, apa buktinya hadis tersebut diriwayatkan oleh para sahabat.
Kita telah membuktikan bahwa tidak ada satu sanadpun yang tsabit bahkan
dari satu orang sahabatpun. Kalau Cuma mau berdasarkan kesaksian Ibnu
‘Aaisy ya balik lagi ke awal hadisnya itu dhaif karena mudhtharib dan
dia sendiri tidak dikenal.
Sebenarnya
contoh yang saya berikan dari riwayat Az-Zuhri dalam Shahih Muslim
cukup untuk membuat perbandingan dalam hal ini. Namun sayangnya –
sebagaimana kebiasaannya – teman Rafidlah kita ini membuat ta’wil2 yang
cukup mengherankan….. (bisa banyak komentar diberikan, tapi gak
usahlah…hemat kata).
Silakan para pembaca perhatikan, tidak
ada ta’wil apapun yang saya buat. Saya mengomentari hadis Zuhri yang ia
bawa itu dengan seobjektif mungkin. Saya katakan bahwa hadis Zuhri tidak
ada nilai idhthirabnya dan kedudukannya jauh berbeda dengan hadis Ibnu
‘Aaisy. Bahkan saya menyindir saudara nashibi itu ketika membahas
idhthirab Simmak dari Ikrimah. Cara
ulama menetapkan hadis Simmak dari Ikrimah idhthirab benar-benar sama
persis dengan hadis Ibnu ‘Aaisy dan itu adalah bukti nyata kalau hadis
Ibnu ‘Aaisy tersebut idhthirab. Hal ini yang tidak digubris oleh saudara itu yah mungkin karena ia malu mengakui kalau dirinya keliru.
Saya
pikir cukup pembicaraan tentang idlthirab ini, karena sudah jelas.
Intinya mah, saya sangat tidak sependapat dengan perkataan teman
Raafidliy kita ini. Saya tidak mengingkari keberadaan sebagian ulama
yang mendla’ifkan hadits Ru’yah yang dibawakan oleh Ibnu ‘Aaisy ini
dengan alasan adanya idlthiraab, sama seperti alasan yang disampaikan
teman Rafidlah kita.
Hujjah yang saya sampaikan juga sudah
cukup. Pendhaifan tersebut memang berdasar justru penshahihan hadis
tersebut yang terkesan asal-asalan. Saya pribadi jelas sangat tidak
sependapat dengan saudara nashibi itu. Saya tidak mengingkari keberadaan ulama yang menshahihkan hadis Ibnu ‘Aaisy, yang saya ingkari justru penshahihan mereka karena penshahihan mereka itu tidak berdasar.
Kalaupun
misal sanad hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini dihukumi idlthiraab,
maka ia tetap bisa dijadikan i’tibar, karena hal itu hanya menunjukkan
kurangnya sifat dlabth dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy. Dua jalur sanad
yang ia bawakan tetap bersanad dla’if. Tidak dapat dipastikan mana di
antara dua sanad tersebut yang mahfudh (shahih). Bersamaan dengan itu,
matan haditsnya hanya satu. Jika ada hadits lain yang menguatkan, maka
hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy secara keseluruhan bisa terangkat dari
ke-dla’if-an (akibat idlthirab sanad) menjadi hasan atau shahih.
Ini adalah hujjah terakhirnya yang bisa
ia lakukan. Kami katakan hadis tersebut tidak dapat dijadikan I’tibar
bahkan dengan mengumpulkan hadis-hadis tersebut kita dapati bahwa hadis tersebut mudhtharib dan munqathi’ kecuali hadis Simmak yang dhaif. Sekali lagi saya meminta perhatian pembaca untuk melihat hadis-hadis tersebut. Yang menjadi keyakinan salafy itu adalah Allah SWT bisa dilihat di dalam mimpi dan Nabi SAW telah melihat Allah SWT didalam mimpi dalam sebaik-baik bentuk. Sedangkan hadis yang menyebutkan soal mimpi hanya bersandar pada hadis Ibnu ‘Aaisy dan Ibnu Abbas yang mudhtharib dan munqathi’. Jadi tidak bisa dijadikan hujjah.
Terus
terang saya senyum2 geli melihat defense berlebihan yang dilakukan oleh
teman Rafidlah kita ini dalam menutupi kekurangpengetahuannya. Dalam
ucapannya terdahulu ia mengkritik Syaikh Al-Albani yang dianggapnya
tidak konsisten ketika menjadikan riwayat Khaalid bin Al-Lajlaaj sebagai
hujjah. Katanya, Syaikh Al-Albani biasanya tidak menghiraukan tautsiq
yang hanya diberikan oleh Ibnu Hibban.
Anda mau senyum loncat-loncat juga nggak
penting. Saya saja geli melihat pembelaan saudara yang naïf.
Kenyataannya Syaikh Al Albani memang tidak menghiraukan tautsiq Ibnu
Hibban terhadap seorang perawi. Dalam Silsilah Adh Dhaaifah banyak sekali contoh-contoh tentang itu.
Telah
saya sanggah perkataan orang ini bahwa sikap beliau menggunakan riwayat
Khaalid bin Al-Lajlaaj adalah sesuai dengan metode/manhaj yang telah ia
terangkan sendiri. Makanya, sangat keliru jika teman Rafidlah kita ini
‘menyalahkan’ Syaikh Al-Albani, karena justru di sini beliau menunjukkan
kesesuaiannya dengan manhaj beliau yang telah diterangkan dalam
Tamaamul-Minnah. Ya,… berhubung ia tidak tahu metode yang diterangkan
Syaikh Al-Albani, yang sesuai pun dianggap gak konsisten. He…he…he…
Telah saya sanggah pula apa yang ia katakan sebagai metode Syaikh Al Albani karena pada dasarnya konsisten atau tidak seorang ulama itu dilihat dari implementasinya ketika ia menilai suatu hadis. Bukannya seperti dirinya yang dengan sok membawakan hujjah Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minah. Seorang ulama boleh saja berkata metode saya begini, metode saya begitu, tetapi pada kenyataannya yang kita lihat adalah implementasinya ketika ia menilai hadis-hadis. Dalam Silsilah Ahadits Ad Dhaaifah banyak keterangan kalau Syaikh
memang menyatakan majhul hal kepada para perawi yang hanya mendapatkan
tautsiq dari Ibnu Hibban walaupun telah meriwayatkan darinya sekumpulan
perawi tsiqat.
Dan
anehnya, kok tiba-tiba karena ingin membela diri – malu ngaku keliru –
dengan menampilkan beberapa statement dari Syaikh Al-Albani yang ia
anggap gak konsisten dengan manhaj beliau terhadap tashhih Ibnu Hibban.
Lucu dan gak ada relevansinya jika dikaitkan dengan kritikannya pertama
dan sanggahan saya terhadapnya.
Saya katakan tidak ada yang lucu dengan itu. Syaikh
Al Albani terbukti tidak konsisten dan bukti itu telah saya tunjukkan
dengan contoh hadis-hadis dalam Silsilah Adh Dhaaifah. Kalau anda bisa menukil dari Tamamul Minah maka mengapa pula saya tidak bisa menukil dari Silsilah Ahadiits Adh Dhaaifah. Kalau anda bilang metode Syaikh Al Albani itu yang ada pada Tamamul Minah maka saya katakan lalu yang ada dalam Silsilah Adh Dhaaifah
itu apa bukan pernyataan Syaikh Al Albani. Jadi ngawur sekali anda
kalau mengatakan itu tidak ada relevansinya. Kutipan anda dari Tamamul Minah jsutru menguatkan pernyataan saya bahwa Syaikh Al Albani tidak konsisten, ia menyalahi dirinya sendiri di dalam kitabnya yang lain.
Sebenarnya yang sering tidak karuan dan melebarkan pembicaraan
kemana-mana ya anda ini. Berhujjah dengan cara-cara yang menyedihkan.
Tentang
Ghailaan bin Anas Al-Kalbiy,……….. telah disebutkan bahwa Ibnu Hajar
berkomentar dalam At-Taqriib : ‘maqbuul’. Ibnu Abi Haatim tidak menyebut
padanya jarh ataupun ta’dil-nya. Beberapa perawi tsiqaat telah
meriwayatkan darinya. Al-Mizziy menyebutkan perawi yang meriwayatkan
darinya antara lain : Syu’aib bin Abi Hamzah, ‘Abdullah bin Al-‘Allaa’
bin Zabr, ‘Abdurrahmaan bin ‘Amr Al-Auzaa’iy, ‘Isaa bin Musaa
Al-Qurasyiy, dan Manshuur Al-Khaulaaniy [Tahdziibul-Kamaal, 23/127].
Nah,…kemudian teman Rafidlah kita ini – dengan segala kepercayan dirinya – mengatakan :
“Percuma saja saudara Penulis itu
mengutip berpanjang-panjang karena pada kenyataannya Syaikh Al-Albani
sendiri mengatakan kalau Ghailan bin Anas Al-Kalbi adalah seorang yang
majhul haal….”.
Saya jadi bertanya apakah yang
bersangkutan paham tidak dengan manhaj Syaikh terhadap hadits mastuur
(majhul haal) ? Mungkin yang bersangkutan salah paham dengan tulisan
saya pada catatan kaki no. 15 : “maka terangkatlah status majhul
haal-nya”. Mungkin beliaunya memahami dari perkataan saya ini, majhul
haal-nya hilang. Padahal yang saya maksud status majhul haal nya
terangkat adalah menjadi kuat dan bisa dijadikan hujjah, sebagaimana
nukilan saya dari penjelasan Abu Haatim dalam Al-Jarh wat-Ta’diil
(1/1/36) di atas. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan sedikit
saya perbaiki kalimatnya agar tidak salah paham – dan itu tidak mengubah
esensi hujjah saya.
Lho anda sendiri apa tidak ingat mengapa
terjadi pembahasan seperti ini. Itu kan karena anda yang gak karuan
malah sibuk mengomentari komentar keheranan saya soal syaikh Al Albani yang mengatakan hadis Tsauban shahih dengan syawahid.
Anda mau membela syaikh anda tetapi apa sebenarnya yang sedang anda
bela. Anda justru menyalahkan syaikh anda sendiri. Saya katakan
sebelumnya dengan metode Syaikh Al Albani jelas-jelas mana mungkin hadis
Tsauban menjadi shahih dengan syawahid. Mengapa? Karena
- Menurut Syaikh hadis Abdullah bin Shalih dari Muawiyah bin Shalih itu dhaif
- Menurut Syaikh Ghailan bin Anas itu majhul hal
- Menurut Syaikh Abu Yahya tidak dikenal
Kemudian saya katakan apalagi kalau ditambah dengan inqitha’ Abu Sallam dari Tsauban
maka tetaplah kedhaifannya berat. Lucunya anda ini gak tau
juntrungannya malah membela Syaikh Al Albani membabibuta dengan sok
ikut-ikutan heran akan keheranan saya. Lihat baik-baik Syaikh anda yang
terhormat itu, sepertinya anda juga ikutan mewarisi inkonsistensi ulama
yang anda ikuti.
Mengenai
majhul haal ini (dan bagaimana posisi Syaikh Al-Albani terhadapnya),
sebenarnya dulu telah saya ketika membahas hadits Maalik Ad-Daar. Tapi
mungkin yang bersangkutan lupa. Ada baiknya saya ulang :
Majhul haal, yaitu status perawi
dimana yang meriwayatkan sebanyak dua orang atau lebih, namun tidak ada
seorang pun yang men-tsiqah-kannya. Disebut juga mastur. Hadits atau
riwayat dari perawi yang majhul haal atau mastur ini tidak ditolak dan
juga tidak diterima secara mutlak. Jelasnya, apabila yang meriwayatkan
darinya beberapa perawi tsiqah – meskipun tidak ada yang
men-tsiqah-kannya – maka haditsnya/riwayatnya dapat diterima. Immaa
derajatnya hasan atau shahih. Diterima riwayatnya karena yang
meriwayatkan darinya sejumlah perawi tsiqah, yang mereka tidak
meriwayatkan dari seorang perawi kecuali perawi tsiqah atau yang mereka
angap tsiqah. Akan tetapi jika yang meriwayatkan darinya hanya
perawi-perawi dla’if, maka riwayatnya tertolak dan haditsnya dla’if.
Dan mohon maaf yang sebesar-besarnya
saya sampaikan kepada teman Rafidlah kita jika pada tulisan di atas
saya tidak maksimal menuliskan keterangan-keterangan dari Syaikh
Al-Albani secara lengkap mengenai majhul haal. Hingga mengakibatkan
teman kita yang terhormat ini buru-buru menyimpulkan. Salah
lagi….ha…ha…ha….
Silakan saja tertawa, sama seperti dulu
saudara nashibi itu tidak bisa menilai tanggapan orang dengan benar.
Jika dalam hal inipun ia keliru memahami tulisan saya, maka mohon maaf
yang sebesar-besarnya karena saya pikir tulisan itu lebih dari cukup
untuk orang yang memang berpikiran dengan baik.
Aku
(Al-Albani) katakan : Mungkin kejelasan keadaan perawi diperoleh dari
adanya tautsiq dari seorang imam yang diakui tautsiq-nya. Dalam
pernyataannya (Al-Haafidh) bahwa majhul hal adalah orang yang
teriwayatkan haditsnya oleh dua atau lebih perawi, tetapi tidak ada
pengakuan terpercaya. Aku katakan : Imam yang diakui tautsiq-nya, karena
di sana ada ahli-ahli hadits yang tidak dapat diandalkan tautsiq-nya
seperti berbedanya Ibnu Hibban dari tradisi/kebiasaan para ahli hadits
pada umumnya. Ini akan saya jelaskan pada pedoman berikutnya.
Memang benar bahwa riwayat majhul
dapat diterima jika ada sejumlah besar perawi-perawi yang terpercaya
meriwayatkan darinya hadits yang tidak mengandung unsur pengingkaran.
Pendapat ini dianut oleh sejumlah ulama muta’akhkhirin seperti Ibnu
Katsir, Al-‘Iraqiy, Al-‘Asqalaniy, dan yang lainnya. Lihat contohnya
pada halaman 204-207” [selesai – lihat Tamaamul-Minnah, hal. 19-20].
Setelah membaca ini, dimana letak
kontradiksinya ? Sekarang, siapa yang lebih pantas dianjurkan untuk
membaca kitab Syaikh Al-Albani dan kitab-kitab hadits lainnya ya ?
saya…….
Apa anda tidak membaca apa yang saya kutip. Jangan Cuma sibuk dengan kutipan anda saja. Saya tanya dengan anda ini apa sebenarnya yang kita permasalahkan?. Menurut saya ya sikap inkonsistensi Syaikh Al Albani, dan itu terlihat dari berbagai kitabnya tidak hanya satu kitab Tamamul Minah seperti yang anda kutip. Saya cuma mengutip pernyataan Syaikh Al Albani bahwa ia sendiri dalam Silsilah Ahadiits Ad Dhaifah tetap menyatakan majhul hal walaupun perawi tersebut dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat. Bukti bahwa Syaikh tidak konsisiten adalah sebagaimana yang saya katakan sebelumnya dalam kitab As Sunnah Ibnu Abi Ashim Syaikh menyatakan tsiqat kepada Khalid bin Al Lajlaaj
[lihat hadis no 388] padahal Khalid hanya ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban
dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat. Kalau begitu
maka posisi Khalid itu seharusnya majhul hal. Begitu pula saya katakan
maka menurut metode syaikh Ghailan bin Anas itu majhul hal walaupun
telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqah, dan memang itulah
yang Syaikh tersebut katakan. Baik Khalid bin Al Lajlaaj maupun Ghailan
bin Anas ya sami mawon kedudukannya tapi kok penilaiannya beda. Kalau
anda masih bertanya dimana letak kontradiksinya?. Apa peduli saya, siapa
yang banyak bicara maka telanlah sendiri akibat pembicaraannya.
Akhirnya,…
riwayat kedudukan Ghailaan di sini bukan perawi dla’iif. Ia bisa
dipakai sebagai hujjah dengan keadaan-keadaan yang telah disebutkan oleh
Syaikh Al-Albani.
Saya hanya menyatakan bahwa Ghailan bin
Anas itu dikatakan sendiri oleh Syaikh sebagai majhul hal dan itu saya
masukkan sebagai isyarat kelemahan dalam hadis Tsauban. Pernyataan
majhul hal dalam hal ini termasuk pernyataan yang melemahkan.
Mengenai
Abu Shaalih, nampaknya teman Rafidlah kita tidak bisa menjawab hujjah
yang saya sampaikan. Malahan, ia menggunakan metode kuno yang ia kira
bisa membuat saya terkaget-kaget dengan menampilkan pendapat Syaikh
Al-Albani atas Abu Shaalih. Tidak ilmiah…
Saya katakan kepada saudara nasibhi itu,
justru ia sendiri yang berhujjah dengan metode kuno yang membuat orang
awam terpesona seolah-olah dengan perkataannya ia tampak benar. Kalau ia
mengatakan hujjah saya tidak ilmiah maka yang harus ia katakan sebagai
tidak ilmiah adalah Syaikhnya sendiri Syaikh Al Albani, syaikh dengan
jelas mendhaifkan hadis Abdullah bin Shalih dari Muawiyah bin Shalih.
Ibnu
Hajar sendiri telah memberikan kesimpulan perincian jarh atas Abu
Shaalih : ““Shaduuq (jujur) namun banyak salahnya. Tsabt dalam kitabnya,
dan padanya terdapat kelalaian (ghaflah)”.
Apa makna tsabt dalam kitabnya ?
Tentu saja jika ia meriwayatkan melalui perantaraan (bantuan) kitabnya,
maka haditsnya maqbul. Ini perincian yang sangat bagus. Dan di sini, ia
meriwayatkan hadits Mu’awiyyah bin Shaalih dengan perantaraan kitabnya,
karena ia mempunyai catatan-catatan hadits darinya. Oleh karena itu,
haditsnya dari Mu’awiyyah tidak turun dari derajat hasan. Wallaahu
a’lam.
Saudara itu mengatakan ini perincian yang
sangat bagus. Lha iya bagus karena sesuai dengan pembelaannya.
Tumben-tumbenan ia taklid buta dengan pernyataan Ibnu Hajar padahal di
saat lain ia mengatakan Ibnu Hajar termasuk ulama muta’akhirin dimana pernyataannya harus berdasarkan pernyataan ulama sebelumnya. Silakan para pembaca lihat dalam biografi Abdullah bin Shalih, para ulama yang mencacatnya mengakui kalau ia menulis hadis dari Laits dan itu tidak mencegah mereka untuk mengatakan bahwa hadisnya dari Laits mungkar.
Jadi walaupun hadis tersebut berasal dari tulisan Abu Shalih tetap saja
tidak seenaknya dikatakan tsabit. Apalagi yang ia tulis dari Muawiyah
bin Shalih yang bisa dikatakan tidak lebih mayshur dibanding riwayatnya
dari Laits. Maka dari itu cukup wajar syaikh Al Albani tetap mendhaifkan
hadis Abdullah bin Shalih dari Muawiyah bin Shalih walaupun syaikh juga
menukil pernyataan Ibnu Ady seperti yang dikutip saudara nashibi
tersebut.
Adapun
Abu Yahyaa yang dikatakan tidak dikenal ini, maka ia sebenarnya adalah :
Sulaim bin ‘Aamir Al-Kalaa’iy, Abu Yahyaa Al-Himshiy. Seorang tsiqah.
Jadi tidak perlu dipersoalkan.
Silakan buktikan perkataan anda itu?.
Kalau memang hujjah anda dalam hal ini kuat maka tidak ada alasan bagi
saya tidak menerimanya. Tetapi jika hujjah anda tersebut cuma klaim
semata maka tidak ada artinya. Apakah orang yang anda sebut Sulaim bin
Aamir itu meriwayatkan hadis dari Ghailan bin Anas Al Kalbi?.
Ngomong-ngomong Syaikh Al Albani itu ternyata tidak sepintar anda, kok
dia tidak tahu siapa itu Abu Yahya :mrgreen:
Akhirnya,
jelas sudah bahwa kelemahan hadits Tsaubaan hanya ada pada
inqithaa’-nya saja. Ini kelemahan yang ringan. Sangat wajar jika Syaikh
Al-Albani menghukumi shahih lighairihi. Dan sebaliknya, keheranan Anda
menjadi tidak wajar karena ketidakvalidan metode penilaian Anda.
Anda ini lucu, mau menilai Syaikh Al
Albani atau menilai saya. Kalau mau menilai Syaikh Al Albani maka
nilailah dengan jujur. Saya lihat pernyataan anda malah menyalahkan semua pernyataan Syaikh Al Albani dan anda sendiri berhujjah dengan inqitha’ yang tidak disebutkan oleh Syaikh. Kemudian setelah itu dengan enaknya anda berkata “sangat wajar jika Syaikh menghukumi shahih lighairihi”.
Tidak ada satupun alasan anda yang tegak dengan hujjah. Ghailan bin
Anas terbukti majhul hal [menurut Syaikh Albani], Abdullah bin Shalih
dhaif [dan penguatan anda itu hanya subjektif semata], Abu Yahya yang
menurut anda Sulaim bin Aamir, maaf anda belum membuktikannya.
Penolakan
tahsin hadits Jaabir ini adalah yang paling tidak saya mengerti dari
rekan Rafidlah kita ini. Sudah jelas sekali bahwa rukun sanad yang
dibawakan oleh Ibnu Abi ‘Aashim di sini adalah rukun sanad yang
dibawakan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (mulai pangkal sampai ujung
sanad), yang tentu saja bukan berkualitas dla’if menurut standar
penilaian Ahlus-Sunnah. Gak tahu kalau yang bersangkutan memakai standar
penilaian Syi’ah.
Begitulah saudara nashibi itu, jika
memang ia terbiasa berhujjah dengan tuduhan maka silakan telan sendiri
tuduhan itu. Anda itu lucu, yang saya katakan adalah Simmak bin Harb itu dhaif, tidak ada juntrungannya anda menukil rukun sanad. Mengenai Imam Muslim berhujjah dengan hadisnya, maka saya katakan Imam Muslim saja berhujjah dengan hadis Ismail bin Abi Uwais yang dikenal dhaif.
Simmak dhaif dengan alasan yang sudah saya sebutkan. Kalau anda
berkeras menolak dengan dalih hujjah Imam Muslim, ya silakan. Apa perlu
saya ingatkan bahwa jarh yang mufassar lebih didahulukan ketimbang ta’dil?.
Mau dikemanakan kaidah itu. Apa itu kaidah dari Syiah, kalau begitu
bakar habis saja kaidah ilmu hadis itu. Terus ulama yang mendhaifkan
hadis-hadis Simaak seperti Ibnu Mubarak, Shalih bin Muhammad, Nasa’i dan
Ibnu Jauzi yang memasukkannya dalam Ad Dhu’afa Wal Matrukin no 1552 apakah mereka semua adalah orang yang mengikuti standar Syiah?. Makin lama diikuti bicara anda makin ngawur saja :P
Memang
benar bahwa sebagian ulama hadits telah melemahkannya dari sisi
hapalannya. Tapi harus fair juga dong (dan ini harus disebutkan) bahwa
para ulama lain memberikan tautsiq kepadanya.
Jelas-jelas saya mengakuinya, kalau anda tidak membacanya maka buka mata anda lebar-lebar.
Pertanyaan
sederhananya yang layak diberikan kepada teman Rafidliy kita ini :
“Apakah semua riwayat yang dibawakan oleh Simaak bin Harb adalah dla’if
?”. Jika ia mendla’ifkan semua riwayat Simaak, maka berapa banyak hadits
dalam Shahih Muslim yang akan berkualitas dla’if ? Jika ia menjawab
tidak semua, maka mana saja yang tidak dla’if ? Kriterianya apa ?
Kriteria ini generik, atau kriteria sesuai selera ? Saya tebak, yang
bersangkutan akan kesulitan karena tidak punya standar yang jelas alias
gelap. Apalagi melihat kenyataan Muslim dalam Shahih-nya sering
meletakkan hadits Simaak dalam ushul riwayat.
Anda itu membaca tidak sih tulisan saya,
kalau memang situ merasa risih yo wes kita terapkan seperti yang
dikatakan Ibnu Hajar kepada Ibnu Abi Uwais yaitu hadis Simmak selain di kitab shahih adalah dhaif.
Kalau anda katakan kriteria ini sesuai selera lha apa pernyataan Ibnu
Hajar terhadap Ibnu Abi Uwais [hadisnya selain dalam kitab shahih tidak
bisa dijadikan hujjah] itu gak sesuai selera. Saya tebak andalah yang
akan kesulitan melihat kenyataan Muslim dalam Shahih-nya telah berhujjah
dengan hadis Ismail bin Abi Uwais.
Sangat
aneh, ketika teman kita ini menyangkutkan pada hadits ‘Abdurrahman bin
‘Aaisy yang ia klaim mudltharib – yang kemudian ingin menunjukkan bahwa
Simaak dalam penyampaian hadits ini juga mudltharib. Jaka sembung makan
kedondong…. Gak nyambung dong!
saya cuma menunjukkan kemungkinannya,
tidak ada saya memastikan hadis Simmak yang ini mudhtharib. Daripada
anda sibuk cuap-cuap membela salah satu alasan dhaif yang ada banyak
pada Simmak lebih baik anda perhatikan hujjah anda riwayat Simmak dari
Ikrimah mudhtharib. Dengan cara yang sama sebagaimana anda mengutip
Ahmad bin ‘Abdillah
Al-‘Ijliy berkata tentangnya : “…..Jaaizul-hadiits, kecuali dalam
periwayatan hadits ‘Ikrimah. Terkadang ia menyambungkan sesuatu dari
Ibnu ‘Abbas, dan terkadang ia berkata : ‘Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Padahal (hadits/riwayat) itu hanyalah
‘Ikrimah yang menceritakan dari Ibnu ‘Abbas…”.
Ya’quub pernah bertanya kepada ‘Aliy
bin Al-Madiiniy : “Apa pendapatmu tentang riwayat Simaak dari ‘Ikrimah
?”. Ia menjawab : “Mudltharib”.
Lihat baik-baik, dari kutipannya hadis
Simaak dari Ikrimah dihukum mudhtharib karena Simaak terkadang
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, terkadang meriwayatkan dari Rasulullah SAW
dan terkadang meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Kalau penulis mengakui bahwa hal ini mudhtharib maka begitu pula seharusnya hadis Ibnu ‘Aaisy, ia
terkadang meriwayatkan dari Rasulullah SAW, terkadang meriwayatkan dari
sahabat dan terkadang meriwayatkan dari tabiin dari sahabat dari
Rasulullah SAW. Apa ini gak nyambung juga :roll:
Gampangnya,
mari kita lihat kesimpulan dari para ahli hadits dari Simaak bin Harb
ini. Ibnu Hajar mengatakan : “Simaak bin Harb bin Aus bin Khaalid
Adz-Dzuhliy Al-Bakriy Al-Kuufiy Abu Mughiirah. Shaduuq. Riwayatnya dari
‘Ikrimah secara khusus adalah mudltharib. Di akhir umurnya hapalannya
berubah. Kadangkala ia meriwayatkan dengan talqin.
Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang mudltharib adalah riwayatnya dari
‘Ikrimah. Sama dengan perkataan para imam sebelumnya. Adapun ikhtilath
yang dialami oleh ‘Ikrimah terjadi pada akhir umurnya. Adapun talqin,
maka ini tidak selalu.
Tidak perlu main gampang-gampangan, Simmak dhaif karena hal-hal berikut
- Simaak sering melakukan kesalahan seperti yang dikatakan Ibnu
Ammar dan Ibnu Hibban [Ibnu Hibban mengatakan ia banyak melakukan
kesalahan].
- Simaak hafalannya buruk seperti yang dikatakan Daruquthni
- Simmak menerima talqin seperti yang dikatakan Nasa’i. An Nasa’i
menyatakan kalau riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri.
[ia menyendiri meriwayatkan dari Jabir]
- Simaak mengalami ikhtilath seperti yang dikatakan Al Bazzar dan Ibnu Hajar.
Kalau anda mengatakan ia tidak selalu menerima talqin, lantas kapan anda bisa yakin ia sedang tidak menerima talqin?. Kalau anda katakan ia ikhtilat di akhir umur lalu apakah hadis ini diriwayatkan sebelum ikhtilath atau sesudah ikhtilath?. Lantas bagaimana dengan pernyataan hafalannya yang buruk dan banyaknya kesalahan yang ia buat. Kalau mau menjawab jangan tanggung-tanggung atau memang merasa tidak mampu :roll:
Martabat
shaduuq menempati peringkat keempat dalam tingkatan jarh wa ta’dil
menurut Ibnu Hajar. Ini maknanya bahwa rawi tersebut baik ‘adalah-nya,
namun sedikit kurang dalam ke-dlabith-annya. Karena itu, kadang-kadang
ia diisyaratkan dengan lafadh laa ba’sa bihi atau laisa bihi ba’sun,
yaitu riwayatnya diterima dan masuk dalam derajat hasan.
Adz-Dzahabi mengatakan : “Shaduuq
shaalih”. Dalam terminology Adz-Dzahabi (lihat Al-Muuqidhah hal. 81-82),
lafadh mengindikasikan haditsnya jayyid, namun tidak menduduki puncak
keshahihan. Ekuivalen dengan hasan.
Ini kesimpulan yang sangat bagus
yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi setelah melihat
berbagai jarh dan ta’dil para imam kepada Simaak.
Selain itu, sependek pengetahuan saya dari beberapa praktek yang
dilakukan oleh Syaikh Al-Albani, murid-muridnya, dan juga dengan
beberapa pihak yang sering kontra dengan mereka; semuanya tidak ada yang
memutlakkan kedla’ifan pada Simaak.
Tidak perlu berhujjah dengan hujjah yang
menarik simpati orang awam. Pada esensinya anda tidak membahas dengan
baik jarh yang saya tampilkan. Ismail bin Abi Uwais saja tetap
dinyatakan shaduq oleh Ibnu Hajar walaupun ia didhaifkan oleh jumhur.
Lagipula maaf ya saya tidak pernah memutlakkan pendhaifan Simmak. Pendhaifan itu sangat beralasan karena hadis ru’yah ini selain Simmak tidak ada yang tsabit, semuanya mudhtharib dan munqathi’ sedangkan Simmak diketahui hafalannya buruk, melakukan banyak kesalahan[bisa jadi ini kesalahannya] menerima riwayat dengan talqin [bisa jadi riwayat ini ia dapat dari talqin]
ditambah lagi ia terbukti hadisnya mudhtharib yaitu riwayat Ikrimah
dimana ia terkadang menyambungkan hadis tersebut langsung ke Rasulullah
SAW atau ke sahabat tanpa melalui Ikrimah. [bisa jadi hadis ini ia sambung dari mana] begitu pula ia sering memusnadkan hadis yang tidak dimusnadkan oleh yang lain [bisa jadi hadis ini pula karena terbukti hadis yang lain munqathi’]. Semuanya memang bisa jadi tetapi sangat beralasan.
Intinya,…. pelemahan rekan Rafidlah kita atas hadits Jaabir karena Simaak bin Harb adalah pelemahan yang paling saya ingkari.
Silakan melakukan pengingkaran. Saya
tidak pernah terpikir mau memaksa anda menerima hujjah saya. Sudah saya
duga anda sama seperti salafy yang lainnya yang tidak bisa menerima
hujjah orang lain, seolah-olah ilmu hadis itu hanya milik anda dan
ulama-ulama anda saja.
Apalagi –
seperti kebiasanya – ia mencari dalih bahwa ada sebagian perawi dalam
Shahihain yang mendapat jarh. Itu betul. Tapi menjadikan itu alasan
untuk menolak riwayat Simaak, khususnya dalam rantai riwayat yang sama
persis seperti yang digunakan Muslim dalam Shahih-nya adalah lemah dan
rejected. Mengada-ada dan ujung-ujungnya kok ngasal (?)
Tidak tahu malu, yang pertama kali
berhujjah pakai embel-embel perawi Muslim kan anda. Menjadikan itu
sebagai alasan menerima hadis seorang perawi [walaupun terbukti jarh
terhadapnya beralasan] adalah lemah, mengada-ada dan ujung-ujungnya
ngasal. Bukhari dan Muslim itu bukan harga mati, siapapun yang tahu
pasti tahu dan yang tidak tahu ya tidak tahu.
1.
Hadits ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy adalah dla’if karena idlthiraab dalam
sanad, tidak dalam matan. Maka di sini ia bisa dijadikan i’tibaar.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas dla’if. Satu
jalur karena inqitha’ dan jalur lain ghairu mahfudh (sebagaimana
ditegaskan Ibnu-Jauziy). Sanad yang ghairu mahfudh (yaitu dari jalan
Mu’aadz bin Hisyaam, dari ayahnya, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah,
dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas secara marfu’)
tidak bisa dijadikan i’tibar, sedangkan yang lain dapat dijadikan
I’tibar.
Kedua hadis ini baik hadis Ibnu ‘Aaisy
dan hadis Ibnu Abbas terbukti mudhtharib, walaupun dikumpulkan bersama
malah mempertegas idhthirabnya seperti yang dilakukan Daruquthni dalam Al ‘Ilal.
3. Hadits Tsauban adalah dla’if karena inqitha’ dan kedla’ifan Abu Shaalih.
5. Hadits Abu Umaamah dla’if karena adanya inqitha’ dan kedla’ifan Laits.
Kedua hadis ini dhaif karena kedhaifan
salah seorang perawinya dan sanadnya terputus. Walaupun dikumpulkan
bersama tidak mengangkat sifatnya yang terputus dan sama-sama ada
kedhaifan pada perawinya.
4. Hadits Jaabir adalah dla’iif karena Simaak bin Harb.
Hadis ini bisa dibilang sanad paling kuat
mengenai masalah ini dan ternyata kedudukannya pun dhaif. Kalau mau
menguatkannya maka carilah sanad lain yang tidak terputus dan tidak
mudhtharib karena kelemahan Simmak terkait dengan kedua hal itu seperti
yang telah kami jelaskan. Ditambah lagi hadis ini tidak menjadi hujjah
bagi salafy karena tidak ada sedikitpun dalam kandungan matannya yang menyebutkan kalau peristiwa tersebut terjadi di dalam mimpi. Kalau mau berhujjah jangan dengan gaya seenaknya tolong perhatikan matannya dengan cermat dan teliti.
Coba
perhatikan kedla’ifan masing-masing dengan pikiran yang jernih. Nampak
bahwa dengan kedla’ifannya ia tetap berstatus shahih lighairihi atau
minimal hasan lighirihi. Perkataan bahwa hadits-hadits tersebut tidak
bisa saling menguatkan hanyalah merupakan igauan semata, dan penerapan
prinsip YPD (Yang Penting Dla’if). He….he….he….
Dimana letak shahih lighairihi atau hasan
lighairihi?. Perkataan ngasal seperti itu juga bisa dikatakan orang
lain. Hanya karena itu manjadi keyakinan anda dan mahzab anda maka
dengan seenaknya anda pakai prinsip pokoknya harus shahih, walaupun
sudah terbukti kedhaifannya yang tidak bisa saling menguatkan. Makanya
kalau mau menjawab itu jangan tanggung-tanggung dan cobalah lebih ilmiah
jangan bisanya menuduh sana sini. Akhir kata, silakan pembaca menilai
sendiri tanpa dipengaruhi mahzab apapun, walaupun saya tidak terlalu
berharap ada pengikut salafy or nashibi yang mau menerima karena pada
dasarnya penyakit mereka itu sama semua. Sok merasa paling ilmiah dan
benar sendiri :mrgreen: