Pesan Rahbar

Home » » Takut dan Harapan, Dua Syarat Terkabulnya Doa

Takut dan Harapan, Dua Syarat Terkabulnya Doa

Written By Unknown on Saturday 26 July 2014 | 00:23:00

 

Jangan terlalu puas dengan perbuatan sendiri dan jangan mengira tidak ada setitik pun kegelapan dalam kehidupan kita, karena sudah pasti hal ini akan menjadi faktor keterbelakangan, stagnasi dan keterpurukan kita, jangan pula terlalu berputus asa dan mengira bahwa doa kita tak layak untuk dikabulkan-Nya dan kita tak pantas untuk mendapatkan ampunan-Nya.


Dalam surah al-A’raf [7] ayat 55 dan 56 dikatakan:
“Berdoalah kepada Tuhanmu (secara terang-terangan) dengan berendah diri dan secara sembunyi-sembunyi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah diperbaiki, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (atas seluruh tanggung jawab) dan harapan (kepada rahmat-Nya). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”


Tafsir: Syarat-syarat Terkabulnya Doa

Dengan menyebutkan dalil-dalil yang jelas dari realitas ini, ayat di atas membuktikan bahwa hanya Allah-lah yang layak untuk disembah, selanjutnya diperintahkan kepada kita untuk melakukan "doa” sebagai jiwa dan ruh ibadah, yang harus dilakukan dihadapan-Nya. Pada ayat pertama dikatakan, “Berdoalah kepada Tuhanmu (secara terang-terangan) dengan berendah diri dan secara sembunyi-sembunyi.”

Berendah diri atau tadharru’ berasal dari akar kata dhara’a dengan makna punting, berdasarkan kata kerja ini “tadharru’” memiliki arti memerah susu dari puntingnya, dikarenakan saat memerah susu, jari-jemari bergerak di atas punting dengan arah yang berbeda, maka kalimat ini digunakan berkaitan dengan seseorang yang dengan gerakan khasnya menampakkan khudhu’ dan kerendahan diri.

Oleh karena itu, pada ayat di atas kita melihat, “Berdoalah kepada Tuhan dengan berendah diri” yaitu datangilah Dia dengan sepenuh khudhu’, khusyu’, tawadhu’ dan berendah diri. Pada hakekatnya, pendoa tidak seharusnya hanya menginginkan sesuatu hanya dengan mengucapkannya saja, melainkan ruh dan jiwa doa juga harus berada dalam jiwanya dan terefleksi pada seluruh wujudnya, lisan hanyalah penterjemah dan berbicara untuk mewakili seluruh anggota badan.

Dan ketika pada ayat di atas mengatakan, “Berdoalah kepada Tuhanmu secara sembunyi-sembunyi”, ini dikarenakan untuk menghindarkan diri dari riya, mendekatkan pada keikhlasan yang dibarengi dengan pikiran yang terfokus dan kehadiran kalbu. Dalam sebuah hadis dikatakan, pada salah satu perang, saat tentara Islam sampai di tepi jurang, mereka spontan dengan lantang mengucapkan “La ilaha illallah, Allahu Akbar”. Lalu Rasulullah Saw bersabda, “Wahai umatku! Berdoalah dengan sedikit tenang. Kalian tidak sedang memanggil orang yang buta atau ghaib, kalian tengah memanggil yang Maha Mendengar dan sangat dekat dengan diri kalian. (Majma’ al Bayan, jil. 4, hlm. 429)

Terdapat pula kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tadharru’ pada ayat di atas adalah berdoa secara terang-terangan, sedangkan yang dimaksud dengan khafiyah adalah berdoa dengan sembunyi-sembunyi, karena pada posisi manapun, kadangkala terdapat keniscayaan untuk berdoa dengan terang-terangan dan kadangkala dengan sembunyi-sembunyi, riwayat yang dinukilkan dari Ali bin Ibrahim di bawah ayat ini menunjukkan kebenaran masalah ini.

Dan pada akhir ayat dikatakan, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Kalimat ini memiliki makna yang luas, mencakup segala sesuatu yang berlebihan, seperti berdoa dengan berteriak, riya, atau mencari perhatian orang lain saat berdoa.

Pada ayat selanjutnya menyinggung sebuah hukum yang pada hakikatnya merupakan salah satu dari syarat-syarat berpengaruhnya doa, berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah diperbaiki.”

Tentu saja jelas, doa yang dipanjatkan ke hadirat Allah akan mendekati keterkabulan ketika terpenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan, di antaranya dibarengi dengan dimensi-dimensi konstruktif, praktis atau amalan dalam batasan kemampuan dan kodrat, memperhatikan hak-hak masyarakat, dan hakikat doa terpencar di seluruh wujud manusia, berdasarkan hal ini, doa para perusak tak akan pernah menuai hasil.

Yang dimaksud dengan “Kerusakan setelah diperbaiki” mungkin perbaikan dari kezaliman dan kufur, atau keduanya. Dalam sebuah riwayat dari Imam Baqir As dikatakan, “Sebelumnya bumi ini rusak, kemudian Allah Swt memperbaikinya melalui Nabi Islam Saw.” (Majma’ al-Bayan, jilid 4, hlm 429)

Dan syarat lain bagi terkabulnya doa adalah mengucapkannya dengan rasa takut dan harapan, sebagaimana dikatakan, “Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan”, bukannya dengan merasa puas dan bangga atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan dan mengira bahwa tak akan ada kegelapan sedikitpun dalam kehidupan kita, dimana ini sendiri merupakan faktor yang akan membuat keterpurukan, dan tidak pula dengan rasa berputus asa, dan menyangka bahwa Allah tak akan mengabulkan doa kita, karena kita bukanlah orang yang layak untuk memperoleh keterkabulan doa maupun memperoleh maghfirah-Nya. Putus harapan juga menjadi pemadam seluruh upaya. Akan tetapi yang benar adalah, kita harus terbang ke arah Tuhan dengan menggunakan dua sayap “Takut dan Harapan”, takut atas segala tanggung jawab yang ada dalam pundak kita, dan harapan terhadap rahmat dan maghfirah-Nya.

Hal yang lebih ditekankan pada akhir ayat berkaitan dengan sebab-sebab dari harapan terhadap rahmat Tuhan, dikatakan, “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Mungkin, kalimat ini merupakan salah satu syarat lain bagi terkabulnya doa, yaitu jika ingin doa kita terkabul, maka hal tersebut harus dibarengi dengan amal dan perbuatan baik, sehingga dengan bantuan amalan inilah rahmat Ilahi akan menjadi bagian kita, dan menjadikan doa kita menuai hasil.

Dengan demikian, kedua ayat ini menyinggung tentang lima syarat bagi terkabulnya doa:
Pertama: dilakukan dalam keadaan tadharru’, berendah diri, baik dilakukan secara sembunyi atau terang-terangan,
Kedua: tidak melampaui batas,
Ketiga: tidak diikuti dengan munculnya kerusakan atau keburukan,
Keempat: disertai dengan rasa takut dan harapan, dan
Kelima: dilakukan dengan dibarengi amal dan perbuatan yang terpuji.

Sumber: Tafsir Namunah.

(Dokumentasi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: