Pesan Rahbar

Home » » Tsa’labah bin Khathib adalah Ahli Badr dan Uhud yang tidak membayar zakat (Asbabun Nuzul Qs. At Taubah ayat 75 – 77)

Tsa’labah bin Khathib adalah Ahli Badr dan Uhud yang tidak membayar zakat (Asbabun Nuzul Qs. At Taubah ayat 75 – 77)

Written By Unknown on Tuesday 8 July 2014 | 06:01:00

1. Kalo memang sesat, kenapa bisa jadi negara yang cukup maju padahal di embargo ?
2. Kalo memang sesat, kenapa diperbolehkan naik haji (masuk ke tanah suci) ? Bukankah sesat = kafir = haram
3. Kalo memang sesat, kenapa yang selalu diributkan selalu itu-itu saja melainkan tidak ada issue yang lain ?
4. Kalo memang sesat, kenapa pertumbuhannya dianggap menghawatirkan ?
5. Kalo syiah itu benar-benar sesat. Kenapa kita yang repot dan khawatir ajaran mereka berkembang, kan sudah jelas mereka itu sesat.



Mencela, melaknat dan mengkafirkan para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah TUDUHAN http://firanda.com kepada mazhab syi’ah. Dasar wahabi agen yahudi si firanda …Anggapan bahwa Syiah memusuhi sahabat nabi saw. sulit diterima oleh kenyataan dan akal sehat !! Di antara sahabat Imam Husain a.s. disebutkan lima orang dari sahabat Rasulullah Saw yang tergolong sebagai orang-orang yang gugur dan syahid di Karbala.

Sungguh merinding tatkala membaca tulisan-tulisan wahabi . Karena tulisan-tulisan mereka penuh dengan tuduhan-tuduhan serta manipulasi fakta yang ada. Ternyata mulut-mulut mereka sangatlah kotor. Cercaan dan makian memenuhi tulisan-tulisan wahabi yang pada hakekatnya mereka   takut menunjukkan hakekat mereka  . Begitulah kalau seseorang merasa berdosa dan bersalah takut ketahuan batang hidungnya. Allahul Musta’aan.

Sesungguhnya apa yang wahabi perjuangkan hanyalah lagu lama yang telah dilantunkan oleh pendahulu-pendahulu mereka yang bingung sendiri dengan aqidah mereka.Aisyah telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at,yakni pemberontakannya terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Padahal sebelumnya Allah swt telah berfirman,“Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian…”[Al-Ahzab: 33.]

Semua ulama Syiah dan para sejarawan sepakat bahwa sikap tersebut salah. Meskipun ada saja yang membela-bela ‘Aisyah dengan membawa alasan ‘Aisyah berijtihad.Padahal semua tahu bahwa semua orang tidak punya hak untuk berijtihad di hadapan firman Tuhan yang jelas.

Sahabat Nabi di Karbala.

Sebenarnya, anggapan bahwa Syiah memusuhi sahabat nabi saw. sulit diterima oleh kenyataan dan akal sehat. Jumlah sahabat nabi yang begitu banyak tidak bisa dijadikan sandaran tuduhan terhadap Syiah. Sebut saja nama-nama seperti Salman dan Abu Dzar r.a. di antara sahabat nabi yang begitu dihormati oleh pengikut Syiah. Bukankah juga Ali bin Abi Thalib dan Husain bin Ali, yang meskipun mereka bagian dari keluarga dan tidak bisa disamakan dengan sahabat lain, dalam definisi umum tetap dianggap sebagai sahabat? Begitu juga dengan sejarah yang merekam bahwa di antara sahabat nabi ada turut berjuang di medan Karbala.

Situs iQuest menyebutkan  bahwa meskipun kebangkitan dan revolusi Imam Husain a.s. terjadi pada tahun 61 H, namun demikian terdapat  adanya beberapa sahabat Rasulullah saw. yang juga menjadi sahabat dan penolong Imam Husain a.s. karena orang-orang yang sebaya dan seusia dengan Imam Husain dan orang-orang yang lebih tua darinya menjumpai masa Rasulullah saw. Pada masa terjadinya tragedi Karbala, usia mereka rata-rata enam puluh tahun.


Bagaimanapun, di antara sahabat Imam Husain a.s. disebutkan lima orang dari sahabat Rasulullah Saw yang tergolong sebagai orang-orang yang gugur dan syahid di Karbala. Kelima orang ini adalah sebagai berikut:

1. Anas bin Harits Kahili:
Samawi dalam Abshâr al-’Ain fî Anshâr al-Husain menyebutkan Anas bin Harits sebagai orang yang gugur sebagai syahid Karbala. Syekh Thusi juga menyebut ia sebagai salah seorang sahabat Rasulullah saw., dan juga di antara orang-orang yang gugur sebagai syahid bersama Imam Husain a.s. Tatkala menyebutkan Anas bin Harits sebagai salah seorang sahabat Rasulullah saw., Syekh Thusi mengingatkan bahwa ia menggapai syahid di samping Imam Husain a.s. Anas bin Harits sedemikian tinggi kedudukannya dan masyhur sehingga sesuai dengan nukilan Allamah Muhsin Amin dalam A’yân asy-Syiah, Kumait bin Zaid, salah seorang pujangga yang terkenal ahlulbait a.s., menyebut Anas bin Harits dalam lirik syairnya. Kumait menggubah sebuah syair yang menyebutkan Anas bin Harits Kahili al-Kahili sebagaimana berikut:
Siwa ‘ushbatun fihim Habib muaffarunQadha nahbahu wa al-Kahili Murammalun
Kecuali sekelompok orang di antara mereka yaitu Habib yang berkorban jiwa dan tubuhnya berguling di tanah dan raga Al-Kahili bersimbah darah.
2. Habib bin Muzhahhar:
Habib bin Muzhahhar adalah salah seorang sahabat Rasulullah saw. dan merupakan sahabat besar Imam Ali a.s. yang turut serta dalam tiga peperangan. Syekh Thusi tidak menyebutkan ia sebagai salah seorang sahabat Rasulullah saw., kendati demikian Syekh Thusi menyebut ia sebagai salah seorang sahabat Imam Ali a.s. dan Imam Husain a.s. Sebagian ulama seperti Samawi penulis Abshâr al-’Ain menyebutkan nama Habib bin Muzhahhar sebagai sahabat Rasulullah saw. yang syahid di Karbala.

3. Muslim bin Awsaja:
Samawi dalam kitab Abshâr al-’Ain menghitungnya sebagai salah seorang sahabat Rasulullah saw. dan Imam Ali a.s. Allamah Muhsin Amin juga dalam kitab A’yân al-Syiah, tatkala menjelaskan sahabat-sahabat Imam Husain a.s., menyebut Muslim bin Awsaja sebagai sahabat (shahabi) Rasulullah saw.

4. Hani bin Urwah:
Salah seorang penolong Imam Husain lainnya yang tergolong sebagai sahabat Rasulullah saw. adalah Hani bin Urwah. Ia adalah seorang tua dan pembesar kabilah Muradi yang turut serta dalam tiga peperangan di samping Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.

5. Abdullah bin Baqthar (Yaqthar) Himyari:
Abdullah bin Baqthar (Yaqthar) adalah saudara sesusuan Imam Husain a.s. Ayahnya Baqthar (Yaqthar) adalah khadim (pembantu) Rasulullah saw. Ia membawa surat Imam Husain a.s. untuk Muslim bin Aqil di Kufah kemudian ditangkap (oleh Ibnu Ziyad) dan langsung gugur sebagai syahid.

Pada bab bulan Muharam kitab Mafâtih, saya pernah membaca sebuah anjuran untuk membaca kisah tentang cucu nabi yang syahid di Karbala, Husain bin Ali. Melalui tulisan ini, saya ingin berwasilah dengan meneruskan sebuah kisah tentang akhlak Husain bin Ali yang pernah disampaikan oleh Sayid Ammar Nakshawani beberapa tahun yang lalu. Kisah ini menjadi bukti bagaimana Husain bin Ali telah mempelajari akhlak kakeknya, Rasulullah saw., untuk mencintai pribadi yang bahkan belum dikenal.

Ketika Rasulullah saw. mendapat penghinaan dari kafir Quraisy, malaikat Jibril a.s. datang untuk menawarkan bantuan. Namun Rasulullah saw. menolak bantuan tersebut dengan mengatakan, ”Tidak. Aku berharap Allah akan melahirkan dari sulbi mereka orang-orang yang akan bersungguh-sungguh pada persoalan (agama) ini.” Hal ini menujukkan bahwa Rasulullah saw. membedakan mana pelaku dan mana yang bukan. Lebih dari itu, Rasulullah juga memikirkan anak keturunan kafir Quraisy yang saat itu bahkan belum lahir.

Pernah suatu ketika setelah Ali bin Abi Thalib meninggal, seseorang dari Syam melihat Husain bin Ali lalu bertanya, “Siapa namamu?” Imam menjawab, “Husain.”

“Putra siapakah engkau?” tanya orang dari Syam itu. “Putra Ali bin Abi Thalib,” jawab Husain bin Ali. Seketika orang itu menjawab, “Semoga Allah melaknatmu dan ayahmu, Ali.” Bayangkan bagaimana jika setelah ayah kita meninggal, ada seseorang datang lalu melakukan hal yang sama kepada kita? Bagaimana kita akan menjawabnya? Kalimat “Semoga Allah melaknatmu dan ayahmu.” Orang Syam yang berkata itu bernama ‘Asa bin Mustala’.

Mendapat perlakuan itu, Imam menjawab, “Apakah angin negeri ini telah membuat dirimu sakit? Atau mungkin Anda sedang mempunyai perselisihan dengan istri? Apakah Anda punya rumah untuk bersinggah di tempat ini? Apakah tidak ada orang yang menyediakanmu pakaian? Mari datanglah ke rumah saya jika engkau orang asing di negeri ini.” Demi Allah, kata Sayid Ammar Nakshawani, orang Syam itu mulai menangis.

“Wahai Abu Abdillah, saya telah melaknat ayahmu di hadapanmu. Beginikah cara engkau membalas perbuatanku dengan menyediakan rumahmu untukku?” Imam Husain bin Ali menjawab, “Kami adalah keluarga Rasulullah dan beginilah kami berbuat. Orang lain mungkin bisa melecehkan kami, tapi kami membalasnya dengan akhlak baik karena kakek kami diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”

Melalui tulisan di bulan Muharam ini saya ingin mengajak mereka yang belum mengenal Husain bin Ali atau tragedi Karbala di hari Asyura, untuk bersama-sama mencari tahu lebih dalam lagi, meskipun peristiwa ini tidak ada kaitannya dengan peristiwa di Karbala.


Jauh sebelum Perang Nahwrawan di Karbala, salah seorang pasukan yang ditawan oleh Ali bin Abi Thalib sedang bediri. Pasukan yang ditawan itu telah kita kenal dengan baik namanya. Sebelum ditawan, dia telah memerangi Ali bin Abi Thalib pada hari itu. Di tangan tawanan itu ikatan yang sebenarnya tidak terlau kencang tapi mengganggunya. Husain bin Ali sedang melintas di hadapan tawanan itu, lalu tawanan itu berkata, “Husain, aku memohon kepadamu. Tolong bukakan ikatan di tanganku ini karena ia membuat tangganku gemetar. Tolong, bukakanlah…”

Imam Husain mendatangi ayahnya dan berkata, “Wahai ayah, saya punya permintaan.” “Apa itu?” Imam Ali menjawab. “Orang yang di sebelah sana itu, apa ayah melihatnya?” Imam Ali menjawab, “Ya, saya melihatnya.”

“Dia berkata ikatannya menyakiti tangannya. Saya tahu ayah tidak pernah mengikat dengan kencang tapi sepertinya ia kesakitan. Dia meminta saya untuk membukanya. Apakah ayah mengizinkan?” Ali melihat sejenak dan berkata, “Wahai Abu Abdillah, silakan. Tapi, mengapa engkau ingin melakukannya?”
“Wahai ayah, ketika seseorang meminta kepadaku, bagaimana mungkin aku menolaknya? Saya tidak ingin orang yang meminta merasa malu.”

Ketika kita tahu siapa tawanan yang meminta untuk dibukakan talinya itu, seketika itu pula kita akan mengetahui betapa agungnya akhlak Imam Husain. Imam kembali kepada orang itu dan berkata, “Berikan tanganmu,” dan seketika itu pula Imam Husain membuka ikatan di tangan Syimir bin Dzil Jausyan.
Kenali Imam Husain dan ajak orang lain untuk mencintainya.

Qs. At Taubah  ayat  75 – 77;
75. Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.

76. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).

77. Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.

Para mufasirin sepakat ayat ini turun berkaitan dengan Tsa’labah bin Khathib. Ia adalah sahabat yang termasuk ikut perang Badar dan Uhud, tetapi kemudian ia berkhianat. Kisah ini terkenal. Ia kemudian berkhianat kepada Nabi saw dan tidak membayar zakat. Baik Abu Bakar maupun Umar tidak mau menerima zakatnya. Ibn Abd al-Barr berkata, “Ia menyaksikan Badr dan Uhud. Ia tidak membayar shadaqah seperti dikatakan oleh Qatadah dan Sa’id bin Jubayr. Tentang Tsa’labah turun ayat: ……(Al-Isti’ab 1:210).

Al-Qur’an menyematkan atribut dan sifat-sifat negatif terhadap sebagian kaum muslimin yang sezaman dengan Nabiullah Muhammad saww.

Al-Qur’an menginformasikan kepada kita ada dari mereka yang sezaman dengan Nabi sebagai orang-orang munafik, yang keterlaluan dalam kemunafikannya (Qs. At-Taubah: 101), berpenyakit dalam hatinya, tidak memiliki keteguhan iman, dan berprsangka jahiliyah terhadap Allah swt (Qs. Ali-Imran: 154), sangat enggan berjihad (Qs. An-Nisa’: 71-72 dan At-Taubah ayat 38), melakukan kekacauan dalam barisan (Qs. At-Taubah: 47), lari tunggang langgang ketika berhadapan dengan musuh (Qs. Ali-Imran: 153 dan At-Taubah : 25), bahkan sebagian mereka lebih memilih perdagangan dan permainan daripada mendengarkan Nabiullah Muhammad saww berkhutbah, “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” (Qs. Al-Jumu’ah: 11).

Contoh pertama yang bisa kita lihat adalah insident yang terjadi segera setelah wafatnya Nabi SAWW di mana Abu Bakar memerangi orang-orang yang disebutnya sebagai “penahan” harta zakat.).”

QS. at-Taubah: 75-76) Setelah ayat ini turun, Tsa’labah kemudian datang sambil menangis. Dia minta kepada Nabi untuk menerima zakatnya kembali. Tetapi Nabi enggan menerimanya, seperti yang dikatakan oleh riwayat. Jika Abu Bakar dan Umar benar-benar mengikuti Sunnah Rasul, kenapa ia menyalahinya dalam tindakan ini dan menghalalkan darah kaum muslimin yang tak berdosa semata-mata karena alasan enggan memberikan zakat.

Sikap Syi’ah ini tidak diterima kebanyakan tokoh Sunni, karena menurut Ahlu Sunnah (Sunni), semua sahabat adalah manusia suci yang tak luput dari dosa. Mereka mengatakan bahwa Rasul pernah berkata: “Sahabat-sahabatku bagaikan bintang gemintang. Jika kalian mengikuti mereka kalian akan mendapatkan hidayah.”

Syi’ah terkenal dengan mazhab/sekte yang mengakui akal sebagai salah satu pegangan beragama; lain dengan sebagian sekte lainnya yang menekankan “iman membabi buta” pada apa saja yang didengar dari muftinya.

Bagi Syi’ah, tidak masuk akal “semua” sahabat nabi itu benar. Sekarang begini, apa definisi sahabat? Definisi yang sering kita dengar dari kalangan Ahlu Sunnah bermacam-macam. Ada yang bilang sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi meski sekali saja. Ada pula yang bilang sahabat adalah orang yang hidup di zaman nabi meskipun ia tidak melihatnya secara langsung… Bermacam-macam definisi sahabat. Lalu mana yang benar? Taruhlah sahabat adalah orang-orang dekat nabi. Tapi, masuk akal-kah kalau semua (100 persen) orang-orang dekat nabi itu benar?

Adalah hukum alam, hukum sejarah, bahwa seorang tokoh besar orang-orang yang di sekelilingnya  tidak mungkin semuanya benar. pasti ada orang munafik, musuh dalam selimut, musuh yang berpura-pura menjadi sahabat… Mereka itu lah yang dicela Syi’ah.

Apakah orang yang mencela “musuh dalam selimut” adalah orang kafir?
Masalah berikutnya yang perlu kita selesaikan, Syi’ah menganggap si fulan sahabat sebagai musuh dalam selimut. Begitu kita dengar sikap Syi’ah itu, tidak bijak kalau kita langsung mengkafirkan Syi’ah; selayaknya kita mencari tahu apakah pendapat Syi’ah itu benar atau tidak. Jangan hanya karena kebanyakan orang berkata bahwa fulan sahabat itu baik namun Syi’ah berkata ia buruk lalu kita marah; padahal kita sendiri tidak pernah mencari tahu/meneliti apakah sahabat yang diagungkan Sunni adalah sahabat yang benar-benar harus diagungkan atau tidak.

Semuanya mari kita menelaah sejarah. Tentunya tidak dari satu sudut pandang dan sumber-sumber sepihak saja.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah orang pertama yang menyebarkan budaya mencaci sahabat dan meresmikannya. Ia adalah orang yang pernah mencaci khalifah masanya. Ketika ia mendengar bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash enggan untuk mencaci Ali bin Abi Thalib, ia bertanya padanya, “Mengapa engkau tidak mau mencaci Ali?” Ia menjawab, “Karena Ali memiliki tiga fadhilah (keutamaan) yang tidak dimiliki oleh orang selainnya dan aku ingin sekali memilikinya. Bagiku keutamaan itu lebih berharga dari harta benda apapun.”

Lalu Sa’ad bin Abi Waqqash menjelaskan tiga fadhilah tersebut yang secara singkatnya seperti ini:

A. Dalam salah satu peperangan, Rasulullah Saw tidak mengajaknya untuk ikut. Beliau memerintahkannya untuk menjadi wakilnya di Madinah. Ali bin Abi Thalib berkata kepada beliau, “Apakah anda meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak?” Rasulullah Saw menjawab, “Apakah engkau tidak rela dalam hubunganmu denganku untuk menjadi seperti Harun bagi Musa? Hanya saja tidak ada Nabi lagi setelahku.”

B. Di saat perang Khaibar akan dimulai, Rasulullah Saw berkata, “Esok aku akan memberikan bendera (untuk berperang) kepada seseorang yang mana ia mencintai Tuhan dan Rasul-Nya. Dan, Tuhan serta Rasul-Nya pun mencintainya.” Kemudian setiap orang mengangkat kepalanya masing-masing dan berharap bendera akan diberikan kepadanya. Seraya memuji orang itu, Rasulullah Saw berkata, “Panggillah Ali.” Ali bin Abi Thalib datang namun ia sedang sakit mata. Rasulullah Saw mengusapkan air liurnya ke mata Ali lalu penyakitnya sembuh. Beliau memberikan bendara kepadanya kemudian Ali memenangkan benteng Khaibar.

C. Saat ayat Mubahalah turun, kedua belah pihak (Rasulullah Saw dengan seorang yang menantangnya) berencana untuk membawa orang-orang terdekatnya masing-masing baik dari lelaki, perempuan dan anak-anak. Lalu di hari Mubahalah Rasulullah Saw membawa Ali, Fathimah, dan Hasan serta Husain. Lalu beliau berkata, “Ya Allah, mereka adalah keluargaku…”[1]

Kini kami bertanya, Orang yang mencela seorang sahabat seperti ini dan memaksa orang lain untuk mencelanya pula, apakah termasuk seorang Muslim?

Coba kita membaca tafsir Al-Manar:
“Di Istanbul pernah diadakan suatu majlis pertemuan yang mana ada seorang tokoh terkenal dari Jerman hadir di situ, begitu pula ada banyak tokoh Makkah yang hadir. Ia berkata, “Bagi kami, bangsa Eropa, perlu untuk dibuat sebuah monumen patung Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk dipajang di Berlin.”

Para hadirin bertanya, “Mengapa?”
“Karena ialah yang telah menjadikan pemerintahan Islam sebagai kerajaan (dengan segala kriteria yang dimiliki). Jika tidak begitu, pasti Islam telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan bangsa Eropa pasti Muslim semuanya.”[2]


[1] Shahih Muslim, bagian Keutamaan Sahabat, bab Keutamaan Ali, hadits 2404.
[2] Al-Manar, jld. 11, hlm. 260.

 Sumber: http://syiahali.wordpress.com/2010/09/28/tsa%E2%80%99labah-bin-khathib-adalah-ahli-badr-dan-uhud-yang-tidak-membayar-zakat-asbabun-nuzul-qs-at-taubah-ayat-75-%E2%80%93-77/

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: