Pesan Rahbar

Home » » Abu Hasan Al Asy’ari Yang Menjadi Kontroversi Salafi Wahabi vs Nahdlatul Ulama

Abu Hasan Al Asy’ari Yang Menjadi Kontroversi Salafi Wahabi vs Nahdlatul Ulama

Written By Unknown on Monday, 4 August 2014 | 00:28:00


Pengikut Asy’ari seperti Nahdlatul Ulama tidak menyadari bahwa akidah Asy’ari yang asli mirip dengan salafi wahabi yang sekarang.

Di lain pihak, Salafi Wahabi tidak menyadari bahwa Abu Hasan Al Asy’ari ternyata “masih ahlul kalam”….

Petaka aswaja sunni karena salah pilih imam dibidang akidah…

Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf Sadatul Mutaqiin:

“Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH.Sirojuddin Abbas, hal. 16–17)”.

Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan: Imam Ahmad bin Hambal (Ahlul hadis) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti: dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir.. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa keutamaan sahabat besar adalah Abubakar lalu Umar lalu Usman lalu Ali.. Juga disebutkan wajib taat pada pemimpin…

Dan dikitab itu disebutkan bahwa orang mu’min boleh berimam shalat pada ahli bid’ah/orang fasik.

Dalam kitab Al Maqalat Al Islamiyyin disebutkan : Imam Ahmad bin Hambal (Ahlul hadis) dan Abu Hasan Al Asy’ari meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jasmaniah seperti : dua tangan, wajah, dua mata, mereka juga meyakini bahwa Allah bertempat di arsy dan turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir..…

Artinya walaupun mereka menganggap hal tersebut SEBAGAi BERBEDA DENGAN MAKHLUK, tetapi I’tiqad ahlul hadis hasywiyyah dan Abu Hasan Al Asy’ari adalah antropomorfis !!!!!!

Dalam kitab Maqalat Al Islamiyyin, tokoh sunni Abu HAsan Al Asy’ari menulis: “ Keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian tertinggi dari ‘arsy nya”…

Abu Hasan menyatakan : “Allah mempunyai dua tangan, dua mata, dua kaki, semua akan binasa kecuali WAJAH nya (Kitab Maqalat Al islamiyyin hal. 295).


Pertanyaan:

1. Apakah keagungan ZAT Allah cuma sebatas bagian tertinggi dari arsy nya???
2. Apakah tangan dan mata Allah akan binasa ????


Bagi syi’ah : ini pelecehan ………

Pada masa Rasululullah SAW: Kaum mujassimah dari kalangan Yahudi (ahlul kitab) memiliki i’tiqad MEMBADANKAN ALLAH, sehingga mereka terjerat kedalam ekstrimitas…

Namun hal tersebut menyusup kedalam ajaran Islam.

Abu Hurairah yang merupakan MANTAN YAHUDi (kemudian ia masuk Islam) memiliki beberapa orang sahabat karib dari kalangan mantan ahlul kitab yang masuk Islam seperti Ka’ab al Ahbar dan Wahab Munabbih memasukkan akidah israilliyat kedalam hadis sunni…

Penganut mazhab hambali (salafiah) menolak keras asy’ariyyah maturidiyyah karena dua aliran kalam ini dianggap bid’ah….

Pada akhirnya….


Aliran ASY’ARiYYAH MAMPU MENGALAHKAN DUA ALiRAN :
1. Aliran rasionalis mu’tazilah.
2. Aliran ahlul hadis hasywiyyah (anti ilmu kalam).

kedua aliran ini terkapar….

karena aliran kalam aswaja sunni dibentuk Abu hAsan al asy’ari dan abu manshur al maturidy…

Jadi asy’ari dan maturidy merupakan perintis awal aliran kalam aswaja sunni.
*****

Pertanyaan: 

Dimanakah posisi Abu Hasan Al Asy’ari???


Jawab: 

Asy’ari adalah tokoh aliran kalam yang mencoba memadukan aliran mu’tazilah dengan aliran ahlul hadis hasywiyyah.
*****

Pertanyaan: 

Wahabi mengklaim Abu HAsan Al Asy’ari mengalami 3 fase kehidupan, jadi asy’ari adalah salafi????


Jawab: 

Abu Hasan Al Asy’ari mencetuskan teori kasb, yang mana teori ini dikecam keras oleh iBNU TAiMIYYAH karena berbau jabariyah..
*****

Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah hikayat Sekumpulan perkatan ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297 beliau berkata seperti yang tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian pada akhir Bab beliau berkata: “Inilah sekumpulan perkataan yang diperintahkan, dilaksanakan oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami berkata dan berpendapat sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka. Tidak ada yang memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang mencukupi kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!


Dari dua kitab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau menetapkan:

1. Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang termaktuf dalam kitab-nya dan dalam sunah nabi-Nya secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala, seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah mempunyai dua tangan, dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak boleh ditanyakan bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah berbicara dan al Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit dunia.

2. Allah akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa pengahalng.

3. Allah akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan malaikat berbaris)


Tidak hanya itu dalam kitab lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau menetapkan adanya ijma” kesepakatan salaf dalam masalah aqidah khususnya asma dan sifat yaitu;

1. Salaf bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan, sifat qobdh (menggenggam) dan dua tangan Allah adalah kanan.

2. Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir), maji (kedatangan Allah pada hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian) dan Allah berada diatas arsy.

3. Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata mereka, (hal 210 – 225).


Abu Hasan Al Asy’ari menyatakan : “Allah bersemayam di atas singgasana Nya, Dia mempunyai sepasang tangan tetapi bukan sebagai pemilikan, Dia mempunyai mata tetapi bukan sebagai cara, dan Dia mempunyai wajah”( Kitab Maqalat Al Islamiyyin karya Abu Hasan Al Asy’ari ) ….

Memang, pemahaman metodologi para Ahli Hadis dari mazhab Hambali dan abu Hasan Al Asy’ari cenderung tekstual / literal menyebabkan terjadinya perbedaan mereka dengan Syi’ah dan mayoritas Ahlusunah… Anehnya pengikut asy’ari mengkafir kan ajaran Asy’ari Sang Gembong Pendiri Mazhab !!!!!

Hambaliyyah dan Asy’ari berpendapat bahwa derajat keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian paling tinggi dari singgasana Nya….

Imam Ali bin Abu Thalib menolak pandangan kejasmaniahan Allah dan menempatkan Allah diatas kualitas kualitas yang dapat disifatkan pada makhluk Nya :

“”Mereka yang mengklaim dapat disamakan dengan Mu menzalimi Mu ketika menyamakan Mu dengan berhala berhala mereka, secara keliru melekatkan pada Mu suatu sifat yang mungkin cocok bagi ciptaan Mu, dan secara tersirat mengakui bahwa Engkau tersusun dari bagian bagian seperti hal hal material ( Kitab Nahj Al Balaghah halaman 144).


Syi’ah menolak kejasmaniahan Allah…

Salafi mengambil arti lahiriah, sedangkan syi’ah mengambil arti majazi (kiasan)…

Syi’ah menolak hal hal material seperti kejasmaniahan, ruang, waktu, ketersusunan dan komposisi pada Allah SWT.

Allah ZAT Yang Tak Terbatas sehingga Allah tidak menempati ruang..Allah adalah Dzat Yang Tak Terbatas dari segala sisi ayat, “Tuhan Yang Mahapengasih beristiwa’ di atas arsy ”[a] (QS. 20:5).

Ayat-ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah menempati ruangan tertentu, karena maksud dari kata ‘arsy atau singgasana dalam ayat ini bukan dalam pengertian fisik, melainkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup alam fisik dan meta-fisik sekaligus. Dalam pada itu, jika kita katakan bahwa Allah menempati ruang, maka sesungguhnya kita telah membatasi-Nya dan memberi-Nya sifat makhluk sehingga tak ubahnya seperti makhluk, padahal Dia adalah “Tida ada sast pun yang serupa dengan-Nya” (QS. 42:11), dan “Tidak satu pun yang menyamai-Nya” (QS. 112:4).

Demikian pula ketika Allah berfirman, Tetapi kedua tangan-Nya terbentang. (QS. 5:64), atau, Dan buatlah kapal dengan mata Kami. (QS. 11:37), sama sekali tidak dapat dipahami dalam arti mata atau tangan fisik, karena setiap fisik mempunyai bagian-bagian dan memerlukan ruang, waktu, dan arah sehingga ia akan punah, sedangkan Allah mustahil demikian. Kalau begitu, maka makna yang paling tepat untuk kata “kedua tangan-Nya” pada ayat di atas ialah kekuasaan-Nya yang besar, di mana semua alam tunduk pada-Nya. Sedangkan makna “mata”, ialah pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu.

Sebagai contoh, kita yakin bahwa maksud kata al-’ama atau buta dalam ayat, Barangsiapa buta di dunia akan buta pula di akhirat, (QS. 17:72), sudah pasti bukan dalam arti buta fisik, sebagaimana makna harfiyah, karena banyak sekali orang buta, tapi baik dan salih.

Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat dengan kasat mata, sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat makhluk-Nya. Oleh karena itu, meyakini bahwa Allah dapat dilihat dapat membawa kepada kemusyrikan. Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan sedang Dia menjangkau penglihatan, dan Dia Mahahalus lagi Mahatahu. (QS. 6:103).

Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang menengarai adanya kemungkinan melihat Allah, maka yang dimaksud bukan rnelihat-Nya secara kasat mata, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati, sebab al-Quran tidak saling bertentangan, tapi justeru saling menafsirkan, al-Qurn yufassiru ba’dhuhu ba’dhan.[b]

Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib: “Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?” Amirul Mukminin menjawab, “Bagaimana aku bisa menyembah Tuhan yang tidak kulihat?” Tapi buru-bur Amirul Mukminin menyempurnakan kalimatnya, “Tapi Dia tidak dapat dilihat oleh mata. Dia hanya dapatdijangkau oleh kekuatan hati yang penuh dengan iman”. (Nahjul Balaghah, Khutbah 179).

Syi’ah meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah seperti ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah dan dapat rnembawa kepada kemusyrikan Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Ia tidak serupa dengan apa pun.

Manusia bebas dalam kehendaknya (free will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui pilihannya sendiri. Akan tetapi, karena kebebasan dan kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu datangnya dari Allah, maka perbuatan-perbuatan kita atas izin Allah.

Jika kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita, maka tidak ada artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan azab Tuhan. Inilah yang diajarkan madrasah Ahlubait bahwa tidak jabr (mutlah terpaksa) dan ridak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi di antara keduanya. Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya (Ushul al-Kafi, I, hal.160).

Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah Swt dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).

[a] Berdasarkan beberapa ayatal-Quran dapat dipahami bahwa “Kursi”-Nya meliputi alam materi. Firman Allah, “Kursi-Nya mencakup langit dan bumi”. (QS. 2:225).

[b] Ungkapan di atas sangat populer dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sementar itu, dalam kitab Nahjul Balaghah diriwayatkan pula dari Amirul Mukminin as dengan redaksi yang berbeda, yaitu “Sesungguhnya al-Quran, satu sama lainnya saling membenarkan”.


Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Banyak ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah mengenai Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Karena ini bertentangan dengan firman Allah swt. sebagai berikut: Dalam surat Syuura (42) : 11; ‘ Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.

Setiap dalil yang menyiratkan seolah olah Zat Allah memiliki organ jasmaniah atau menempati ruang maka wajib hukumnya di majazi / di kiasan kan / di metafora kan, jadi tidak boleh dizahirkan.

Bahkan, ketika dikatakan Isa adalah roh Allah, orang-orang Nasrani menetapkannya dengan makna zahir sehingga mendakwa Isa salah satu daripada sifat-sifat Allah.

*****

SAYYiD MUHAMMAD RASYiD RiDHA ( 1865-1935 ), adalah seorang pembaharu dari Aswaja Sunni.. Beliau merupakan murid Muhammad Abduh yang sangat populer.

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Asy Syahid Husain, putera Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (a) ..

Berikut saya ringkas beberapa pendapat RASYiD RiDHA dalam Tafsir Al Manar

Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al Baqarah (2) ayat 115 ??

Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Kiblat yang diridhai Allah” (b)

Kalau anda bertanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ??? Ya, ada.. Pendapat Rasyid Ridha senada dengan pendapat Mujahid ( w.104 H ) dan Imam Syafi’i ( w.204 H ) (c)

Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al Baqarah (2) ayat 272

Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Keridhaan Allah” (d)

Apa arti “Wajah Allah” dalam Qs. Al An’am (6) ayat 52

Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah : “Keridhaan Allah” (e)

Apakah a’yunina pada Qs. Hud ( 11 ) ayat 37 artinya mata Allah atau pengawasan Allah ??

Jawab: Menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha; penggunaan kata jamak a’yunina adalah mubalaghah (mempertegas) adanya perhatian Allah dalam mengawasi dan menjaga (f)

Kalau anda tanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ? Ya, ada.. Pendapat Rasyid Ridha senada dengan Mujahid ( w.104 H ) yang mengatakan bahwa orang orang Arab biasa menggunakan lafal ‘ayn dalam bentuk mufrad (tunggal) untuk menyebut perhatian dan menggunakan lafal a’yun dalam bentuk jamak untuk menyebut perhatian yang tinggi (g)

Apakah “kedua tangan Allah terbuka” pada Qs. Al Maidah (5) ayat 64 artinya Allah memiliki dua tangan zahir ataukah Allah Pemurah ?? Mana yang benar ???

Jawab : Yang benar artinya adalah Allah Pemurah.. Kalau anda bertanya ; Apakah Salaf 300 H ada menyatakan demikian ??? Ya, ada.. Ibn Abbas (w.68 H) menyatakan bahwa lafal “ghull al yad” ( tangan terbelenggu ) sudah lumrah di pakai dalam bahasa Arab untuk arti kikir , dan lafal “basth al yad” ( tangan terbuka ) dipakai untuk arti pemurah dan dermawan (h)

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mengutip Qs. Al Isra’ (17) ayat 29 yang berbunyi; “Dan jangan lah kamu jadikan tangan mu terbelenggu pada lehermu dan janganlah pula kamu terlalu membukanya” .. (h) Apakah tangan manusia disini bermakna zahir ????

Jadi kenapa ada bentuk tunggal dan ganda pada YAD ALLAH dalam Qs.5:64 ?

Jawab: Menurut Al Baydhawi (w.691 H); bentuk ganda ( tatsniyah pada “bal yadahu mabsuthatan” ) bukan bentuk tunggal (mufrad seperti pada “yadullah maghlulah”) ADALAH untuk mempertegas kemurahan Nya dan mempertegas penolakan Nya terhadap fitnah keji orang orang Yahudi.. INGAT :Al Quran turun pada masa sastra Arab sedang berada dipuncaknya !!!


Catatan Kaki:

a = Buku “Rasionalitas Al Quran” karya M. Quraisy Shihab hal. 71. Penerbit Lentera Hati, 2006.

c = Ibnu Al Qayyim Al Jawziyah, Mukhtashar Al Shawa’iq Al Mursalah ‘An Al Jahmiyyah wa Al Mu’aththilah, cetakan ke 1 ( Beirut: Dar A- Kutub Al ‘ilmiyyah ) hal. 339.

b = TAFSiR AL M A N A R, disusun Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, jilid 1, hal. 435.

d= Ibid, Jilid 3 hal. 83.

e = Ibid, Jilid 7 hal. 436.

f = Ibid, Jilid 12 hal. 73.

h = Ibid, Jilid 6 hal. 454.

g= Buku “Rasyid Ridha, Konsep Teologi”, karya Dr. A.Athaillah dari IAIN ANTASARI, penerbit ERLANGGA
*****

Apa maksud wajah Allah ??


Jawab :

Di dalam surat Al-Baqarah [2], ayat 272 disebutkan, “Dan janganlah Kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah (wajhillâh).” Berangkat dari ayat ini, sebuah soal mengemuka; apakah maksud dari ungkapan wajhullâh tersebut?

Wajh secara leksikal bermakna wajah, dan terkadang bermakna dzat (substansi). Oleh karena itu, wajhullah bermakna Dzat Allah. Niat para pemberi infak harus ditujukan kepada dzat kudus Allah Swt. Oleh karena itu, kata wajh pada ayat ini dan yang semisalnya bermuatan satu jenis penegasan. Karena, ketika wajh disebutkan (untuk dzat Ilahi), merupakan penegasan terhadap untuk Allah swt. semata, bukan untuk yang lain.

Selain itu, galibnya, wajah manusia -secara lahiriah- adalah bagian termulia di dalam struktur tubuhnya. Lantaran organ-organ yang penting pada tubuh manusia terletak di wajahnya, seperti penglihatan, pendengaran, dan mulut. Atas dasar ini, ketika ungkapan wajhullah digunakan pada ayat ini, itu memberikan arti kemuliaan dan nilai penting. Di sini, wajh secara figuratif (majâzî) digunakan dalam kaitannya dengan Allah Swt, yang sejatinya merupakan satu bentuk penghormatan dan signifikansi dari ayat ini.

artinya : “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya”.

Maknalafadz illa wajhahu (kecuali wajah-Nya), al Imam al Bukhari berkata: “kecuali sulthan (tasharruf atau kekuasaan-) Allah”.

Mengaharapkan “wajah Allah” bermakna “mengharapkan pahala/ridho Allah

wa maa tunfiquuna illabtighaa-a wajhillah.

“Dan Janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena Keridhaan Allah ” (Al-Baqarah 272).

Dalam tafsir jalalain disebutkan : (illabtighaa-a wajhillah) mengharapkan ganjaran dari Allah saja bukan selainnya dari kekayaan dunia.


Tafsir Ayat Mutasyabihat Mengartikan WAJAH.

Kemanapun engkau menghadap maka akan kamu dapati WAJAH ALLAH ( KIBLAT ALLAH ) (QS albaqarah 115) menurut Mujahid.

*****

Tafsir Ayat Mutasyabihat Mengartikan TANGAN, Allah SWT telah berfirman dalam Adzariyat : 47.

Artinya : ” Dan langit, kami membinanya dengan Tangan(Kekuasaan) Kami….” (Qs adzariyat ayat 47).

Ibnu Abbas mengatakan: “Yang dimaksud lafadz biaidin) adalah “dengan kekuasaan“, bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya.

Lihat rujukan dalam kitab Tafsir mu’tabar sunni :

1. Dalam Tafsir Qurtuby.

2. Dalam Tafsir Thabary.

3. Dalam Tafsir Jalalain ; Biquwati.

Lafadz BI AIDIN artinya DENGAN KEKUTAN-NYA.

kemudian dalam surat Al-Fath : 10.

firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat.

Dalam Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, Nabi saw bersabda, “Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan”… Menurut para ulama, maksud generasi pengikut Setan dalam Hadis ini adalah kaum Wahabi. Pada hadits lainnya dijelaskan oleh Rasulullah bahwa dari arah Najd akan timbul dua tanduk iblis. Sekarang kita bertanya-tanya siapakah gerangan? Yakni Musailamah Al Kadzab dan Muhamad Bin Abdul Wahhab. Keduanya datang dari arah itu.

Ternyata akidah wahabi dibidang asma’ wa shifat sama dengan akidah Abu Hasan Al Asy’ari…

Akidah Abu Hasan Al Asy’ari Dalam Kitab Maqalat Al Islamiyyin Sam Dengan Akidah Wahabi Salafi… Kenapa Kaum Sunni Cuma Berani Mengkafirkan Akidah Wahabi Tetapi Mengagung Agungkan Abu Hasan Al Asy’ari…. Mazhab Anda Kacau Balau !
Al-Ibanah Adalah Kitab Karya Imam Abul Hasan Al-Asy’ari Yang Sebenar

Abu-Syafiq telah menulis satu artikel di dalam blognya yang berjudul “Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah’ Bukan Kesemua Isi Kandungannya Tulisan Imam Asy’ari”. Artikel ini sangatlah tidak ilmiah dalam membuktikan dakwaan mereka terhadap kitab yang menunjukkan kembalinya Imam Asy’ari kepada aqidah salaf. Abu Syafiq kemudiannya berkata “Wahabi Berdusta pada Kitab Al-Ibanah” perkataan ini sangatlah tidak teliti malah menuduh serta mengklaim para wahabi yang menambah-nambah isi kandungannya. Di sini saya nukilkan kata-kata ulama bahawa Kitab Al-Ibanah adalah benar-benar adalah tulisan Imam Asy’ari dan bukan seperti yang di katakan oleh golongan ahbash terutamanya abu-syafiq yang berguru dengan syeikh Harari Al-Habasy seorang pengasas golongan Ahbash.

Tokoh yang terkenal Al-Hafiz Az-Dzahabi telah menisbatkan kitab Al-Ibanah kepada Abul Hasan Al-Asy’ari seperti mana katanya dalam kitab Al-’Uluw lil ‘Aliyil Ghaffar halaman 278:

“Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam kitabnya Al-Ibanah ‘An Usul Ad-Diyanah dalam bab Istiwa’ (bersemayamnya Allah di atas ‘Arasy): “Jika seseorang berkata: “Apa pandanganmu tentang Istiwa?”

Maka jawabnya: “Kami berpendapat bahawa Allah beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arasy sebagaimana firman Allah s.w.t:

“(Iaitu) Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arasy” [Thaaha: 5].

Az-Dzahabi meriwayatkan dari Al-Hafiz Abul Abbas Ahmad bin Tsabit Ath-Thuraqy, bahawa ia berkata: “Aku membaca kitab Abul Hasan Al-Asy’ary yang berjudul Al-Ibanah tentang dalil-dalil yang menetapkan bahawa Allah bersemayam di atas ‘Arasy”. Ia menukilkan juga dari Abu Ali Ad-Daqqaaq bahawa ia mendengar Zahir bin Ahmad Al-Faqih berkata: “Imam Abul Hasan Al-Asy’ari wafat di rumahku. Ketika sedang sakarat beliau mengucapkan: :Semoga Allah melaknat Mu’tazilah yang keliru dan bodoh”.[Dinukil daripada pengenalan pada kitab Al-Ibanah 'An Usul Al-Diyanah yang di tulis oleh Syeikh Hammad bin Muhammad Al-Anshari. Beliau adalah Pensyarah Fakulti dakwah Universiti Islamiyah Madinah Al-Munawwarah.].

Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’:

فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم – إذا دعوا – نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.

“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5).

‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10). ‘

Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158).

Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta” (QS. Al-Mukmin : 36-37).

Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16).

Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya).

Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ?

Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.

Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.

Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Raafidhah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidhah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu !

Maka katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu. Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya – semoga Allah membaguskan wajahnya.

Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya (Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena dia adalah seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum muslimin.

وجملة قولنا : أن نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله غيره، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وأن له وجها كما قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل يداه مبسوطتان) وأن له عينين بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم الله غيره كان ضالا، وندين أن الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر، يراه المؤمنون – إلى أن قال :
وندين بأنه يقلب القلوب، وأن القلوب بين إصبعين من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما جاء في الحديث، – إلى أن قال : -
وأنه يقرب من خلقه كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) ونرى مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج لما ذكرناه من قولنا وما بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.

Dan kesimpulan perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya, Allah ta’ala bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5).

Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27).

Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64).

Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14).

Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan (mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam purnama”.


Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :

Kami berkeyakinan bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :

“Dan bahwasannya Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf : 16).

‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm : 8-9).

Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah (berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara rinci”.

“Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah:

ألفنا كتابا كبيرا في الصفات تكلمنا فيه على أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في إثبات الوجه واليدين، وفي إستوائه على العرش.
كان أبو الحسن أولا معتزليا أخذ عن أبي علي الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق أئمة الحديث في جمهور ما يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك وأنه موافقهم. وكان يتوقد ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة أربع وعشرين وثلاثمائة، وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.

“Kami telah menulis satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy”.

Di antara para ulama yang mengisbatkan buku Al-Ibanah kepada Imam Asy’ari juga adalah Al-Hafiz Al-Kabir Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi, Asy-Syafi’I wafat pada tahun 458 H dalam kitabnya Al-I’tiqad wal Hidayah Ilaa Sabili Ar-Rasyaad pada bab Al-Qaulu fii Al-Quran halaman 31: “Asy-Syafi’I r.a menyebutkan bahawa bukti yang menunjukkan Al-Quran yang kita tulis dalam mushaf disebut Kalam Allah adalah bahawasanya Allah s.w.t berbicara dengan Al-Quran kepada hambaNya dan mengutuskan Rasul-Nya s.a.w dengan mambawa Al-Quran dan maknanya.

Di antara yang mengisbatkan Al-Ibanah adalah benar-benar daripada Imam Asy’ari ialah Ibn Farhun Al-Maliki. Ia berkata dalam kitabnya Ad-Dibaaj halaman 193-194: “Di antra kitab yang ditulis Abul Hasan Al-Asy’ari adalah Al-Luma’ Al-Kabir, Al-Luma’ Ash-Shaghir dan Kitab Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah.

Abu Al-Fallah Abdul Hayyi bin Al’Imad Al-Hanbali (w 1098 H) juga mengisbatkan kitab Al-Ibanah adalah karya Imam Asy-’ari. Ia berkata dalam kitabnya Syadzarat Adz-Dzahab fi A’yaanil min dzahab pada juz 2 halaman 303: “Abul Hasan Al-Asy’ari telah berkata dalam kitabnya Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah dan ini adalah kitab beliau yang terakhir”.

Seterusnya Abul Qaasim Abdul Malik bin Isa bin Darbas Asy’Syafi’I (w 605 H) ia berkata dalam kitab Adz-Dzabb ‘An Abil Hasan Al-Asy’ari: “Wahai saudara-saudara sekalian! Ketahuilah bahawa Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah adalah kitab yang ditulis oleh Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari yang merupakan keyakinan beliau yang terakhir.

Imam Abu Hanifah berkata lagi: Barangsiapa yang berkata: “Aku tidak tahu Rabbku, di langit atau di bumi?” bererti ia kafir. Begitu juga seseorang menjadi kafir apabila mengatakan bahawa Allah itu di atas ‘Arasy, tetapi aku tidak tahu adakah ‘Arasy itu di langit atau di bumi. –al-Fiqhul Absath, ms. 46.

Imam Abu Hanifah berkata kepada seseorang wanita yang bertanya: “Dimanakah Ilahmu yang engkau sembah itu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya Allah itu ada di langit bukan di bumi.” Lalu datanglah seorang pemuda mengajukan pertanyaan: “Bagaimana dengan ayat: وهو معكم اين ما كنتم? “Dia bersama kamu dimana kamu berada.” (Surah al-Hadid: 4).


IMAM MALIK BIN ANAS

Abu Nu’aim mentakhrijkan dari Ja’far bin Abdillah berkata: “Ketika kami sedang berada di samping Malik bin Anas, datanglah seorang pemuda lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, Ar-Rahman (Allah yang Maha Pengasih) bersemayam di atas ‘Arasy bagaimana bersemayamNya?” Mendengar pertanyaan ini, Imam Malik menjadi berang dan marah. Lalu ia menundukkan muka ke bumi seraya menyandarkannya ke tongkat yang dipegangnya hingga tubuhnya bersimbah peluh. Setelah ia mengangkat kepalanya, ia lantas berkata: “Cara bersemayamNya tidak diketahui (tidak dapat digambarkan), sedang istiwanya (bersemayamnya) telah jelas dan diketahui, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Aku menyangka engkau adalah si pelaku bid’ah.” Lalu beliau menyuruh orang itu keluar. –Hilyatul Aulia’ (VI/325-326), Ibn Abdil Barr dalam at-Tauhid (VI/151), Al-Baihaqi dalam al-Asma’ Was Sifat, ms. 498, Ibn Hajar dalam Fathul Bari (XIII/406-407), Az-Zahabi dalam al-Uluw, ms. 103.


IMAM MUHAMMAD IDRIS AS-SYAFI’I

Imam Syafi’i Rahimahullah berkata: “Allah Tabaraka wa Taala memiliki asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat yang telah disebutkan oleh KitabNya dan diberitakan oleh NabiNya s.a.w. kepada umatnya, yang tidak boleh diingkari oleh sesiapa pun dari makhluk Allah S.W.T. yang telah sampai kepadanya dalil bahawa al-Quran turun membawa keterangan tentang hal tersebut, juga sabda Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan tsiqah telah jelas-jelas sahih yang menerangkan masalah itu. Maka barangsiapa yang mengingkari atau berbeza dengan semuanya itu padahal hujah (dalil/ keterangan) tersebut telah jelas baginya, bererti ia kafir kepada Allah S.W.T. Adapun jika ia menentang kerana belum mendapat hujah/ keterangan tersebut, maka ia diampuni kerana kebodohannya, kerana pengetahuan tentang semuanya itu (sifat-sifat Allah dan asma’Nya) tidak dapat dijangkau oleh akal dan pemikiran.

Yang termasuk ke dalam keterangan-keterangan seperti itu adalah juga keterangan-keterangan Allah S.W.T. bahawa Dia Maha Mendengar dan bahawa Allah itu memiliki tangan sesuai dengan firmanNya: “Bahkan Tangan Allah itu terbuka.” (Surah al-Maidah: 64). Dan bahawa Allah memiliki tangan kanan, sebagaimana dinyatakan: “…Dan langit digulung dengan tangan kananNya.” (Surah az-Zumar: 67) dan bahawa Allah itu memiliki wajah, berdasarkan firmanNya yang menetapkan: “Dan tiap-tiap sesuatu itu pasti binasa, kecuali Wajah Allah…” (Surah Al-Qasas: 88), “Dan kekallah wajah Rabbmu yang mempunyai keagungan dan kemulian.” (Surah Ar-Rahman: 27). Juga bahawa Allah mempunyai tumit, sesuai dengan pernyataan Rasulullah s.a.w: “Sehingga Rabb Azza wa Jalla meletakkan tumitNya pada Jahannam.” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848) dan Allah ketawa berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. tentang orang yang mati fi sabilillah: “Ia akan bertemu dengan Allah Azza wa Jalla sedang Allah tertawa kepadanya….” (Riwayat Bukhari, no: 2826 dan Muslim, no:1890).

Dan bahawa Allah turun ke langit dunia pada setiap malam berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w. tentangnya. Begitu juga keterangan bahawa Allah S.W.T. itu tidak buta sebelah mataNya berdasarkan pernyataan Nabi s.a.w. ketika baginda menyebut dajjal, baginda bersabda: “Dajjal itu buta sebelah matanya, dan sesungguhnya Rabbmu tidaklah buta (sebelah mataNya).” (Riwayat Bukhari, no: 7231 dan Muslim, no: 2933). Dan bahawa orang-orang mukmin pasti akan melihat Rabb mereka pada hari kiamat dengan pandangan mata mereka seperti halnya mereka melihat bulan di malam purnama, juga bahawa Allah S.W.T. mempunyai jari-jemari seperti ditetapkan oleh sabda Nabi s.a.w: “Tidaklah ada satu jari pun melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman Azza wa Jalla.” (Riwayat Ahmad IV/182, Ibnu Majah I/72, Hakim I/525 dan Ibn Mandah ms.87. Imam Hakim mensahihkannya dipersetujui oleh az-Zahabi dalam at-Talkhis).

Semua sifat-sifat ini yang telah ditetapkan oleh Allah S.W.T. sendiri bagi diriNya dan oleh Rasulullah s.a.w. untukNya, hakikatnya tidaklah dapat dijangkau oleh akal atau fikiran dan orang yang mengingkarinya kerana bodoh (tidak mengetahui keterangan-keterangan tentangnya) tidaklah kafir kecuali jika ia mengetahuinya tetapi ia mengingkarinya, barulah ia kafir. Dan bilamana yang datang tersebut merupakan berita yang kedudukannya dalam pemahaman seperti sesuatu yang disaksikan dalam apa yang didengar, maka wajib baginya sebagai orang yang mendengar berita tersebut untuk mengimani dan tunduk kepada hakikat hal tersebut dan mempersaksikan atasnya seperti halnya ia melihat dan mendengar dari Rasulullah s.a.w.

Namun kita tetapkan sifat-sifat ini dengan menafikan (meniadakan) tasybih sebagaimana Allah telah menafikannya dari diriNya dalam firmanNya: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Surah As-Syura: 11). –Dinukil daripada I’tiqadul Aimmatil Arba’ah oleh Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais


IMAM AHMAD BIN HANBAL

Syeikh Ibn Taimiyyah menyebut kata-kata Imam Hanbal: “Kita beriman kepada Allah itu di atas ‘Arasy sesuai dengan kehendaknya tanpa dibatasi dan tanpa disifati dengan sifat yang kepadanya seseorang yang berusaha mensifatinya telah sampai atau dengan batas yang kepadanya seseorang yang membatasinya telah sampai. Sifat-sifat Allah itu (datang) dariNya dan milikNya. Ia mempunyai sifat seperti yang Ia sifatkan untuk diriNya, yang tidak dapat dijangkau oleh pandangan.” –Ta’arudh al-‘Aqli wa al-Naqli (II/30).

Ibnul Jauzi dalam al-Manaqib menyebutkan tulisan (surat) Imam Ahmad bin Hanbal kepada Musaddad yang di antara isinya ialah: “Sifatilah Allah dengan sifat yang denganNya Ia telah mensifati diriNya dan nafikanlah dari Allah apa-apa yang Ia nafikan dari diriNya. –Manaqib Imam Ahmad, ms. 221.

Di dalam kitab ar-Raddu ‘ala al-jahmiah tulisan Imam Ahmad, ia mengucapkan: “Jahm bin Safwan telah menyangka bahawa orang yang mensifati Allah dengan sifat yang dengannya Ia mensifati diriNya dalam kitabNya, atau dengan yang disebutkan Rasulullah s.a.w. dalam hadisnya adalah seorang kafir atau termasuk Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).” –Ar-Raddu ‘ala al-Jahmiah, ms. 104

Abu Hasan Al Asy’ari menyatakan : “Allah bersemayam di atas singgasana Nya, Dia mempunyai sepasang tangan tetapi bukan sebagai pemilikan, Dia mempunyai mata tetapi bukan sebagai cara, dan Dia mempunyai wajah”( Kitab Maqalat Al Islamiyyin karya Abu Hasan Al Asy’ari ) ….

Memang, pemahaman metodologi para Ahli Hadis dari mazhab Hambali dan abu Hasan Al Asy’ari cenderung tekstual / literal menyebabkan terjadinya perbedaan mereka dengan Syi’ah dan mayoritas Ahlusunah… Anehnya pengikut asy’ari mengkafir kan ajaran Asy’ari Sang Gembong Pendiri Mazhab !!!!!

Hambaliyyah dan Asy’ari berpendapat bahwa derajat keagungan Allah mempunyai batas yang berdekatan dengan bagian paling tinggi dari singgasana Nya….

Imam Ali bin Abu Thalib menolak pandangan kejasmaniahan Allah dan menempatkan Allah diatas kualitas kualitas yang dapat disifatkan pada makhluk Nya:

“”Mereka yang mengklaim dapat disamakan dengan Mu menzalimi Mu ketika menyamakan Mu dengan berhala berhala mereka, secara keliru melekatkan pada Mu suatu sifat yang mungkin cocok bagi ciptaan Mu, dan secara tersirat mengakui bahwa Engkau tersusun dari bagian bagian seperti hal hal material ( Kitab Nahj Al Balaghah halaman 144).

Syi’ah menolak kejasmaniahan Allah…

Salafi mengambil arti lahiriah, sedangkan syi’ah mengambil arti majazi (kiasan)…

(Tour-Mazhab/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: