Jika anda melihat sendiri dalam Sahih Bukhari, banyak hadis palsu Nabi s.a.w yang menyebut sifat Tangan, kaki, turun, wajah, dan sebagainya tanpa ditakwil kepada makna lain. Kami syi’ah menolak ajaran menzahirkan tangan-kaki-wajah Allah SWT.
Berkata Muawiyah bin Hakam As-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwaiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Kerananya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah! Adakah aku harus memerdekakannya? Jawab Rasulullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasulullah bertanya lagi: Siapakah aku? Dijawabnya: Engkau Rasulullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah wanita ini, kerana dia adalah seorang mukminah”. (H/R Muslim dan Abi Daud).
Menurut syi’ah, hadis ini palsu !!! Allah tidak bertempat dilangit secara zahir, yang benar adalah bahwa pusat pemerintahan Allah SWT ada dilangit dikendalikan malaikat.
Manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah sebagaimana zhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau tangan dengan nikmat.
Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :
“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5).
Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75).
Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.
Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 210-211, 218].
Saya selaku pengikut syi’ah menganggap Abu Hasan Al Asy’ari adalah seorang ahlul kalam yang merasionalkan akidah Imam Ahmad bin Hambal, dengan kata lain Asy’ari adalah penengah antara paham mu’tazilah dan paham ahlul hadis.
Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.
PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH
Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:
Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).
Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).
Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah”[2] (320-324/330 H). Lihat: http://muhammadiyahkedunggalar.blogspot.co.id/2011/09/madzhab-al-asyari-benarkah-ahlussunnah.html
[2] Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.
Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapi langsung mengikuti ibnu Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakan oleh Khaldun,
Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmad dan lainnya karena kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’ fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya.
Kembali ke persoalan: tujuan dari pembahasan itu adalah membuktikan adanya 3 fase pemikiran imam asy’ari rahimahullah: i’tizal, keluar dari i’tizal kemudian intisab kepada imam Ahmad rahimahullah. Dan ini diucapkan oleh ibnu katsir dan dikutib oleh az-zabidi. Sudah jelas?
Bukhari adalah Imam al-dunya pada zamannya dan pembawa bendera hadits. Ini tidak mengherankan sebab ia adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam dan para ulama salaf.
Siapa yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.
Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara. Sifat ini secara sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah karena dianggap tasybih menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam an-Nafsi. Metode Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyata membatalkan klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun imam bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak ucapan al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam shahihnya, maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain.
Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah , beliau berkata;
Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya,meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu– ragu. Semoga Allah merohmatinya’.
Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya.
(Thoha ayat 5).
Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya:
(QS. Shod: 75) .
dan Firman-Nya:
(QS. Al Maidah: 64)
Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14).
Allah bersemayam di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana firman Allah:
Artinya :
“Allah itu bersemayam di atas ‘arsy” (QS. Thaha : 5).
Dan bahwasanya Allah itu memiliki wajah sebagaimana telah berfirman:
Artinya :
“Kekallah wajah Allah yang memiliki keagungan” (QS. Ar-Rahman : 27).
Bahwasanya Allah memiliki dua tangan (tanpa membahas bagaimana tangan itu), sebagaimana firman Allah:
“Ketika Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75).
Artinya :
“Bahkan kedua tangan Allah iu terbuka” (QS. Al-Maidah : 64).
Dan bahwasanya Allah memiliki dua mata tanpa membahas bagaimana mata itu, sebagaimana firman-Nya:
Artinya : “Berjalan dengan mata kami ” (QS Al-Qomar :14).
Kita mengatakan bahwa imam yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam itu adalah Abu Bakar as-Shiddiiq radliallahu ‘anhu. Dan bahwasanya melalui dia, Allah telah menjayakan dan mendhahirkan Islam terhadap orang-orang murtad dan kaum muslimin menjadikannya dia sebagai imamah pertama sebagaimana Rasulullah memperlakukannya demikian, dan mereka semua menamakannya sebagai khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu, kemudian Utsman bin Affan radliallahu ‘anhu kemudian Ali bin Abi Thalib.
Maka mereka itulah imam setelah Rasulullah saw dan kekhilafahan mereka adalah khilafah kenabian (khilafah nubuwwah).
Kita menyaksikan kepastian masuk surga bagi sepuluh sahabat yang dijamin demikian oleh Rasulullah dan kita mencintai seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhenti dari membicarakan atas apa-apa yang menjadi perselisihan diantara mereka.
Kita meyakini bahwasanya para imam yang empat itu adalah khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk dan keutamaan, yang selain mereka tidak ada yang menandingi mereka.
Kita membenarkan seluruh riwayat dari para rawi yang tsiqah, yang mana menegaskan turunnya Allah ke langit dunia dan bahwasanya Dia mengatakan apakah ada orang yang meminta ampun, dan membenarkan apa-apa yang mereka riwayatkan dan kukuhkan berbeda halnya dengan apa apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyimpang dan sesat.
Kita kembali dalam apa yang kita perselisihkan terhadap Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ijma’ kaum muslimin dan apa-apa yang semakna dengan itu, kita tidak berbuat bid’ah yang dilarang dalam Islam ini dan tidak mengatakan apa-apa tentang Allah yang tidak kita ketahui.
Kita mengatakan bahwasanya Allah itu akan datang pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Dan Allah itu akan datang pada hari kiamat secara bershaf-shaf” (QS. Al-Mutaffifin : 22).
Dan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mendekat terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Kami lebih dekat daripadanya dari urat kerongkongan” (QS. Qaaf :16).
Artinya :
“Kemudian mendekat dan kemudian lebih mendekat lagi, maka jadilah antara Allah dan Rasulullah antara dua ujung busur panah dan lebih dekat lagi” (QS. An-Najm :8-9).
Dan diantara ajaran dien kita adalah kita menegakkan shalat jum’at, shalat ied dan seluruh shalat jama’ah dibelakang setiap orang baik maupun tidak baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu shalat di belakang Al-Hajjaj.
Bahwasanya mengusap kedua sepatu adalah sunnah baik dalam keadaan mukim atau musafir, lain halnya dengan orang yang mengingkari hal itu.
Kita mendo’akan kebaikan para imam dan mengakui keimamahannya dan menghukum sesat bagi yang membolehkan berontak terhadap mereka apabila tampak dari mereka ketidak istiqomahannya.
Kita meyakini kemungkaran adanya pemberontakan dengan menggunakan pedang dan meninggalkan perang dalam keadaan fitnah dan membenarkan keluarnya Dajjal sebagimana riwayat-riwayat dari Rasulullah tentang hal itu.
(Tour-Mazhab/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
قَالَ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَكَمُ السُّـلَمِى: وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ اُحُدٍوَالْجُوَانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ . فَاِذَا بِالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بَشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَاَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ . اَسَفَ كَمَا يَاْسـفُوْنَ . لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَاَتَيْتُ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ . قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَاَعْتِقُهَا؟ قَالَ: اِئْتِنِيْ بِهَا. فَقَالَ لَهَا: اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ فِى السَّـمَآءِ . قَالَ: مَنْ اَنَا؟ قَالَتْ اَنْتَ رَسُـوْلُ اللهِ. قَالَ : اَعْتِقْهَا فَاِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Berkata Muawiyah bin Hakam As-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwaiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Kerananya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah! Adakah aku harus memerdekakannya? Jawab Rasulullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasulullah bertanya lagi: Siapakah aku? Dijawabnya: Engkau Rasulullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah wanita ini, kerana dia adalah seorang mukminah”. (H/R Muslim dan Abi Daud).
Menurut syi’ah, hadis ini palsu !!! Allah tidak bertempat dilangit secara zahir, yang benar adalah bahwa pusat pemerintahan Allah SWT ada dilangit dikendalikan malaikat.
Manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah sebagaimana zhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau tangan dengan nikmat.
Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :
إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.
ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا
“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5).
Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75).
Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.
Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 210-211, 218].
Saya selaku pengikut syi’ah menganggap Abu Hasan Al Asy’ari adalah seorang ahlul kalam yang merasionalkan akidah Imam Ahmad bin Hambal, dengan kata lain Asy’ari adalah penengah antara paham mu’tazilah dan paham ahlul hadis.
Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.
PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH
Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:
Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).
Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).
Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah”[2] (320-324/330 H). Lihat: http://muhammadiyahkedunggalar.blogspot.co.id/2011/09/madzhab-al-asyari-benarkah-ahlussunnah.html
*****
Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah (bag. 1)
PENILAIAN TERHADAP BUKU
“MADZHAB AL-ASY’ARI, BENARKAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH?
Jawaban Terhadap Aliran Salafi”
Tulisan: Muhammad Idrus Ramli
Oleh
Agus Hasan Bashori[1]
الحمد لله وبعد : لقد بعث الله نبينا محمدًا صلى الله عليه وسلم- بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون، وقد تحقق هذا كما وعد- سبحانه وتعالى وقد ترك أمته على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك
Setelah
membaca buku yang ditulis Gus Muhammad Idrus ini ternyata ada banyak
informasi, asumsi, argumentasi, persepsi dan kesimpulan yang kurang atau
salah bahkan menyesatkan. Dalam kesempatan yang sangat singkat ini
kita bahas beberapa hal, antara lain:
- Istilah Asy’ari dan Salafi
Judul
buku melawankan antara al-asy’ari dan as-Salafi- memang demikian
adanya, namun penulis mengunggulkan al-asy’ari atas as-salafi.
Asy’ari
adalah nisbat kebada imam abul Hasan al-Asy’ari (260-324 H). Sedang
salafi adalah nisbat kepada as-salaf as-shalih yaitu generasi terdahulu
dari para sahabat dan tabi’in dan atba’ attabi’in.
Jika nisbat kepada seorang imam dari abad ke 3 boleh dan terpuji tentu nisbat kepada seluruh imam dari 3 generasi awal islam yang pertama adalah lebih boleh dan lebih terbuji.
Jika
mengikuti seorang imam di abad ketiga –yang tidak ma’shum- diyakini
benar tentu mengikut seluruh imam pada 3 kurun waktu yang utama –yang
ijma’ mereka ma’shum- lebih dijamin kebenarannya.
Jika mengikuti seorang imam pada abad ketiga tidak ada perintahnya maka mengikuti para ulama salaf ada banyak perintahnya, bahkan sebagai tanda golongan yang selamat.
Imam asy’ari bergantung pada salaf, bukan sebaliknya dan imam asy’ari diukur dengan salaf bukan sebaliknya.
Ahlussunnah, ahli hadits, dan ahli atsar sudah ada sebelum imam al-Asy’ari lahir, dan tidak menjadi asy’ariyyah setelah imam al-Asy’ari menjadi imam.
Kelompok
salaf, Ahlussunnah, ahli hadits dan ahli atsar berpegang teguh dengan
sunnah dan membenci kalam dan ahlinya, sementara kelompok asya’irah
adalah termasuk ahli kalam dan membela kalam.
Para
ulama salaf sebelum imam al-Asy’ari dan sesudahnya berwasiat agar
mengikuti manhaj salaf as-shalih, yaitu mengikuti hadits dan atsar dan
tidak berwasiat untuk mengikuti asyairah atau ilmu kalam.
Abu Hamzah al-A’war berkata: Ketika maqalah-maqalah (pemikiran akidah) marak di Kufah saya mendatangi Ibrahim al-Nakha’I ( mufti dan faqih Irak W. 96 ), saya katakan: “Wahai Abu Imran, Tidakkah anda melihat makalah-makalah yang beredar di Kufah? Maka dia berkata:
أَوَّهْ،
دَقَّقُّوْا قَوْلاً وَاخْتَرَعُوْا دِيْنًا مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِهِمْ
لَيْسَ مِنْ كِتَابِ اللهِ وَلاَ مِنْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم، فَقَالُوْا: هَذَا هُوَ اْلحَقُّ وَمَا خَالَفَهُ بَاطِلٌ،
لَقَدْ تَرَكُوْا دِيْنَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم، إِيَّاكَ
وَإِيَّاهُمْ.
“Oh. Mereka merumitkan ucapan dan merekayasa agama dari nafsunya sendiri, tidak dari kitab Allah juga tidak dari sunnah Rasul r,
lalu mereka mengatakan: Inilah yang benar, dan yang menyalahi adalah
batil. Sungguh mereka telah meninggalkan agama Nabi Muhammad r . Jauhilah mereka olehmu.” (Hilyatul Auliya’: 4/223)
Bahkan
imam Asyari sendiri menisbatkan dirinya kepada Imam Ahmad imam Ahli
hadits, dan setelah menceritakan akidah ahli hadits ahli sunnah (para
salaf shalih) mengatakan:
فهذه
جملة ما يأمرون به ويستسلمون إليه ويرونه، وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول
وإليه نذهب؛ وما توفيقنا إلا بالله …( مقالات الإسلاميين: 229)
Intinya,
saya ingin mengatakan bahwa istilah salafiyah dan salafi adalah
istilah syar’i yang harus diterima, lebih baik dan lebih mulia dari
pada istilah asya’irah.
- Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:
Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).
Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).
Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah”[2] (320-324/330 H). (rinciaannya ada di buku saya Abul Hasan al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi, hal. 19-32)
3. Adapun
pernyataan penulis bahwa tesis perjalanan pemikiran imam Asy’ari yang 3
fase itu disebarluaskan oleh wahhabi (h. 39, maka ini mengesankan
sentimen penulis terhadap wahhabi cukup tingggi, sebab Ibnu Katsîr j (774 H) dan Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) bukan wahhabi dan tidak mengenal wahhabi.
Juga tidak setiap orang yang mengingkari adanya 3 fase itu bukan
salafi, sebab masalah periodesadsi itu ijtihad, yang penting sepakat
bahwa antara kitab-kitab awal pasca mu’tazilah yang belum berintisab
dengan Imam Ahmad dengan kitab-kitab akhir setelah berintisab dengan
imam Ahmad ada perbedaan, yaitu yang akhir lebih kental kepada salaf
ahli hadits, dan menyatakan diri mengikut ucapan mereka.
4. Ucapan
penulis: seandainya kehidupan asy’ari seperti dalam tesis diatas tentu
akan populer dan tersebar luas sebagaimana halnya informasi keluarnya
dari faham mu’tazilah (40). Saya katakan : Justru itu sudah terjadi,
sangat terkenal kalau imam Asy’ari akhirnya menisbatkan diri kepada imam
Ahmad ibn Hanbal ra. Jadi bukan hanya orang lain, justru imam Asy’ari
sendiri yang menyatakan hal itu dalam kitabnya al-Ibanah seperti yang
ada dalam Tabyin Kadzibil Muftari yang ditahqiq oleh al-Kautsari (hal. 125). Sedangkan di dalam kitab Maqalat
beliau menyatakan mengikut para ulama ahli hadits dan ahli sunnah
(maqalat: 226), serta menyendirikan penyebutan Abdullah ibn Said ibn
Kulab dalam hal-hal yang pemikirannya menyalahi ahli hadits ahli sunnah.
(Maqalat halaman 146, 226, 229, 398, 421, 423)
5. Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapi langsung mengikuti ibnu Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakan oleh Khaldun, (dikutip oleh penulis hal 42). Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmad dan lainnya karena kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’ fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir (hal. 20)
Penulis
kurang transparan saat menyebut “dalam fase kedua ini al-Asy’ari
menulis kitabnya al-Ibanah (50) padahal ia meyakini bahwa fase kedua ini
memanjang dari tahun 300 H hingga 324 atau 330 H), yang tentu ada
puluhan kitab yang dikarang oleh al-Asy’ari selama masa 24 atau 30 tahun
itu. dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan
al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20
tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak
menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya. Menurut
al-Kautsari al-Ibanah ditulis saat memasuki Baghdad (hamisy Tabyin
Kadzibil muftari hal. 289)
6. Klaim
bahwa sebagian ulama ahli hadits sebagai bermanhaj Asy’ariyyah perlu
dikritisi dan diluruskan (124-172). Mereka yang diklaim itu sangat
banyak, antara lain: Alhafizh Abu Bakar al-Ismaili (371H), al-Hafizh
al-Daruquthni (385 H),al-Hafizh al-Baihaqi (458 H), al-Hafizh an-Nawawi
(676 H), Ibn Hajr al-Asqalani (852). Jawaban klaim ini ada pada buku
saya Abul Hasan al-Asy’ari Imam Yang Terzhalimi hal. 75-85). Lima ulama ini bisa sebagai contoh bahwa klaim yang sama terhadap ulama ahli hadits yang lain perlu dikritisi.
7. Contoh klaim yang serupa adalah bahwa imam Bukhari (256 H) dan Thabari mengikuti ibnu Kullab (47, 50)
Ini adalah bathil, tidak bisa diterima. Imam Bukhari adalah Imam al-dunya pada
zamannya dan pembawa bendera hadits. Ini tidak mengherankan sebab ia
adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim
ibn Salam dan para ulama salaf.
Siapa
yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang lainnya pasti mengetahui
kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia
menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa
tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia
menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs,
wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala
khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a,
kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.
Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil,
ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara. Sifat ini secara
sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah karena dianggap tasybih
menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam an-Nafsi. Metode
Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyata membatalkan
klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun
imam bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak
ucapan al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam
shahihnya, maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain.[3]
Bahkan ia dia berkata:
من زعم أني قلت لفظي بالقرآن مخلوق فهو كذاب فإني لم أقله (الالكائي: رقم: 611)
Imam Thabari imamul mufassirin (310 H) juga demikian, meskipun dia memiliki kitab Sharih as-Sunnah, dan at-Tabshir fi ma’alimiddin
tetap saja mereka klaim sebagai asyairah. Itu belum lagi dengan kitab
tafsirnya. Padahal jelas at-Thabari menetapkan al-Quran adalah
kalamullah bukan makhluk, dan membatalkan akidah asy’ariyyah yang
mengatakan bahwa ada dua al-qur`an: yang satu kalamullah bukan makhluk,
yaitu yang ada pada diri Allah (kalam nafsi, makna), dan yang satunya
lagi makhluk, yaitu (kalam lafzhi) yang diucapkan, dibaca, dan ditulis.
Oleh karena kita tidak boleh percaya begitu saja dengan klaim-klaim yang lain.
[1]
Disampaikan dalam bedah buku Madzhab al-Asy’ari. Pembahas: Muhammad
Idrus Ramli (penulis). Pembanding dan penilai: 1. Agus Hasan Bashori,
Lc., M.Ag. 2. Prof. Dr. Jamaluddin Miri, Lc., MA. 3. Ahmad Muzhofar
Jufri, Lc., MA. Pada tanggal 11 Juli 2009, di Magnet Zone Bookstore
& Café Surabaya.
[2] Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.
[3] Lihat al-lalakai, nomor 610
sumber :
http://www.gensyiah.com/madzhab-al-asyari-benarkah-ahlussunnah-waljamaah-bag1.html
*****
[2] Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.
Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapi langsung mengikuti ibnu Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakan oleh Khaldun,
Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmad dan lainnya karena kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’ fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya.
Kembali ke persoalan: tujuan dari pembahasan itu adalah membuktikan adanya 3 fase pemikiran imam asy’ari rahimahullah: i’tizal, keluar dari i’tizal kemudian intisab kepada imam Ahmad rahimahullah. Dan ini diucapkan oleh ibnu katsir dan dikutib oleh az-zabidi. Sudah jelas?
Bukhari adalah Imam al-dunya pada zamannya dan pembawa bendera hadits. Ini tidak mengherankan sebab ia adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam dan para ulama salaf.
Siapa yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.
Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara. Sifat ini secara sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah karena dianggap tasybih menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam an-Nafsi. Metode Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyata membatalkan klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun imam bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak ucapan al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam shahihnya, maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain.
Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah , beliau berkata;
Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya,meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu– ragu. Semoga Allah merohmatinya’.
Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya.
الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى
(Thoha ayat 5).
Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya:
خَلَقْتُ بِيَدَيً
(QS. Shod: 75) .
dan Firman-Nya:
بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ
(QS. Al Maidah: 64)
Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14).
Allah bersemayam di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana firman Allah:
الرَّحْمَانُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya :
“Allah itu bersemayam di atas ‘arsy” (QS. Thaha : 5).
Dan bahwasanya Allah itu memiliki wajah sebagaimana telah berfirman:
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبُّكَ ذُوْ الجَلاَل وَالإِكْرَامِ
Artinya :
“Kekallah wajah Allah yang memiliki keagungan” (QS. Ar-Rahman : 27).
Bahwasanya Allah memiliki dua tangan (tanpa membahas bagaimana tangan itu), sebagaimana firman Allah:
…لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ…
“Ketika Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75).
…بَلْ يَدَاهُ مَبْسوطَتَنِ…
Artinya :
“Bahkan kedua tangan Allah iu terbuka” (QS. Al-Maidah : 64).
Dan bahwasanya Allah memiliki dua mata tanpa membahas bagaimana mata itu, sebagaimana firman-Nya:
…تَجْرَيْ بِأَعْيُنِنَا…
Artinya : “Berjalan dengan mata kami ” (QS Al-Qomar :14).
Kita mengatakan bahwa imam yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam itu adalah Abu Bakar as-Shiddiiq radliallahu ‘anhu. Dan bahwasanya melalui dia, Allah telah menjayakan dan mendhahirkan Islam terhadap orang-orang murtad dan kaum muslimin menjadikannya dia sebagai imamah pertama sebagaimana Rasulullah memperlakukannya demikian, dan mereka semua menamakannya sebagai khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu, kemudian Utsman bin Affan radliallahu ‘anhu kemudian Ali bin Abi Thalib.
Maka mereka itulah imam setelah Rasulullah saw dan kekhilafahan mereka adalah khilafah kenabian (khilafah nubuwwah).
Kita menyaksikan kepastian masuk surga bagi sepuluh sahabat yang dijamin demikian oleh Rasulullah dan kita mencintai seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhenti dari membicarakan atas apa-apa yang menjadi perselisihan diantara mereka.
Kita meyakini bahwasanya para imam yang empat itu adalah khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk dan keutamaan, yang selain mereka tidak ada yang menandingi mereka.
Kita membenarkan seluruh riwayat dari para rawi yang tsiqah, yang mana menegaskan turunnya Allah ke langit dunia dan bahwasanya Dia mengatakan apakah ada orang yang meminta ampun, dan membenarkan apa-apa yang mereka riwayatkan dan kukuhkan berbeda halnya dengan apa apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyimpang dan sesat.
Kita kembali dalam apa yang kita perselisihkan terhadap Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ijma’ kaum muslimin dan apa-apa yang semakna dengan itu, kita tidak berbuat bid’ah yang dilarang dalam Islam ini dan tidak mengatakan apa-apa tentang Allah yang tidak kita ketahui.
Kita mengatakan bahwasanya Allah itu akan datang pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Dan Allah itu akan datang pada hari kiamat secara bershaf-shaf” (QS. Al-Mutaffifin : 22).
Dan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mendekat terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Kami lebih dekat daripadanya dari urat kerongkongan” (QS. Qaaf :16).
Artinya :
“Kemudian mendekat dan kemudian lebih mendekat lagi, maka jadilah antara Allah dan Rasulullah antara dua ujung busur panah dan lebih dekat lagi” (QS. An-Najm :8-9).
Dan diantara ajaran dien kita adalah kita menegakkan shalat jum’at, shalat ied dan seluruh shalat jama’ah dibelakang setiap orang baik maupun tidak baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu shalat di belakang Al-Hajjaj.
Bahwasanya mengusap kedua sepatu adalah sunnah baik dalam keadaan mukim atau musafir, lain halnya dengan orang yang mengingkari hal itu.
Kita mendo’akan kebaikan para imam dan mengakui keimamahannya dan menghukum sesat bagi yang membolehkan berontak terhadap mereka apabila tampak dari mereka ketidak istiqomahannya.
Kita meyakini kemungkaran adanya pemberontakan dengan menggunakan pedang dan meninggalkan perang dalam keadaan fitnah dan membenarkan keluarnya Dajjal sebagimana riwayat-riwayat dari Rasulullah tentang hal itu.
(Tour-Mazhab/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email