Perkataan Ahlussunnah wal Jamaah kadang-kadang disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.
Aliran Al-Maturidiyah adalah sebuh aliran yang tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy’ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran al-Asy’ariyah berkembang di Basrah maka aliran al-Maturidiyah berkembang di Samarqand.
Akidah Ahlusunnah Wal Jama’ah sudah bercampur baur dengan literatur teologi dan filsafat dari bahasa Yunani.
*****
Mengenal Ahlul Bait as:
Imam Ridha, Mutiara Ilmu Ahlul Bait
Imam Ridha dalam setiap perdebatan menyampaikan kebenaran ajaran
Islam dengan argumentasi yang rasional dan kokoh, sehingga tidak ada
tempat lagi bagi lawan untuk membantahnya. Untuk itulah Imam Ridha
disebut sebagai Alim Ali Muhammad Saw.
|
Para Imam Maksum merupakan manifestasi keagungan dan keindahan Allah swt. Di berbagai riwayat dijelaskan mengenai sifat dan panggilan masing-masing imam. Sheikh Saduq dalam bukunya “Ayun Akhbar Ar-Ridha” menulis, “Imam Ridha dipanggil dengan beberapa sebutan seperti Ridha, Shadiq, Fadhil, Qurata Ayun al-Mukminin (penyejuk mata kaum Muslimin) dan Ghaidul al-Mulhidin (penyebab kemarahan pengingkar Tuhan).”
Tapi dalam riwayat lain disebutkan bahwa panggilan yang paling terkenal dari Imam Ridha adalah “Alim Ali Muhammad Saw”. Sheikh Saduq menuturkan bahwa Imam Kadzim mengungkapkan kembali perkataan ayahnya, Imam Shadiq yang pernah berkata, “Alim Ali Muhammad Saw ada dari generasi keturunanmu, dan aku beruntung sekali jika bisa bertemu dengannya. Namanya sama dengan nama Amirul mukminin (Ali bin Abi Thalib).” Maksud dari riwayat ini, alim Ahlul Bait Rasulullah Saw adalah Imam Ali Ridha putra Imam Kadzim yang nama depannya sama dengan Imam Ali bin Abi Thalib.
Imam Ridha dilahirkan pada 11 Dzulqaidah 148 H. Di era kehidupan Imam Ridha, umat Islam sedang menghadapi puncak gelombang penerjemahan literatur teologi dan filsafat dari bahasa Yunani yang berkembang di era Makmun. Selama bertahun-tahun, Makmun dikenal sebagai khalifah dari Bani Abbasiyah yang paling cerdas dan mengenal berbagai khazanah keilmuan yang tengah berkembang pesat di zamannya. Ketika itu, dunia Islam dipengaruhi berbagai kembang pemikiran yang beraneka ragam.
Setelah membawa Imam Ridha ke Marw, pusat pemerintahannya di Iran saat itu, Makmun mengelar berbagai pertemuan yang mengundang Imam Ridha dan menghadirkan para cendikiawan terkemuka di zaman itu. Makmun mendatangkan setiap ilmuwan yang memiliki kemampuan untuk berdebat dengan Imam Ridha dalam berbagai pertemuan ilmiah.
Amran Shabii, salah seorang teolog Shabiin (pengikut Nabi Yahya) termasuk salah seorang yang diundang oleh Makmun untuk berdebat dengan Imam Ridha. Selain itu, dalam pertemuan juga hadir para pemuka berbagai agama dan cendekiawan ternama. Imam Ridha mengajukan pertanyaan kepada para pemuka agama yang hadir saat itu, “Adakah dari kalian yang menentang Islam dan ingin mengajukan pertanyaan tentang agama ilahi ini, ”
Ketika itu Amran Shabii menjawab, “Wahai cendekia! Jika engkau sendiri tidak mempersilahkan, aku tidak akan bertanya kepadamu.
Aku telah mengunjungi berbagai kota dari Kufah, Bashrah, Syam, Hijaz dan bertemu dengan berbagai teolog. Tapi dari mereka aku tidak menemukan bukti yang kuat bahwa Tuhan itu esa, selain-Nya tidak ada yang lain. Apakah Anda mengizinkan aku menanyakan masalah ini kepadamu ?
Imam Ridha menukas, “Silahkan, pertanyakan apa saja yang engkau inginkan,”.
Ketika itu, Imam Ridha menjawab satu-persatu pertanyaan Amran hingga tidak ada satupun yang tersisa dan pemuka agama Shabii itu akhirnya masuk Islam karena mengetahui ketangkasan dan kejelian Imam Ridha dalam menjelaskan masalah yang dia utarakan pada pertemuan ilmiah itu. Kebenaran Islam yang disampaikan Imam Ridha membuka mata hati dan pikiran Amran Shabii.
Imam Ridha memberikan jawaban yang benar dan tepat dalam setiap pertemuan, termasuk perdebatan dengan para pemuka berbagai agama dengan menggunakan sumber bersama yang disepakati dalam perdebatan. Suatu hari Makmun mengundang tokoh terkemuka Kristen untuk berdebat dengan Imam Ridha.
Sebelum debat dimulai, tokoh Kristen ini berkata, “Bagaimana mungkin aku berdebat dengan orang yang bersandar dengan kitab dan Nabi yang tidak kuterima ?”
Imam Ridha menjawab, “Wahai tokoh Kristen, jika aku berargumentasi dengan Injil, apakah engkau bisa menerimanya?”
“Ya”, jawab tokoh Kristen itu.
Kemudian Imam Ridha berdebat dengan menggunakan sumber yang disepakati lawannya.
Di akhir debat, tokoh Kristen itu dengan jujur berkata, “Demi kebenaran Isa, tidak ada seorang Muslim yang kuketahui (kemampuannya) sepertimu.”.
Pada pertemuan lain, Imam Ridha dalam perdebatan dengan Rais Jalut, pemimpin Yahudi menanyakan mengenai Nubuwah Nabi Musa.
Lelaki Yahudi itu menjawab, “(Nabi Musa) memiliki mukjizat yang tidak dipunyai oleh nabi sebelumnya.”
Imam Ridha menukas, “Seperti apa misalnya ?”.
Rais Jalut menjawab, “Seperti membelah laut dan mengubah tongkat menjadi ular, dan tongkat dipukulkan ke batu maka keluar air, tangan yang bersinar dan berbagai tanda lain dari kekuatannya yang tidak dimiliki orang lain.”
Imam Ridha berkata, “Engkau benar mengenai dalil kebenaran dakwah Nabi Musa yang tidak dimiliki oleh yang lain.
Lalu, apakah klaim nubuwah dan perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain, tidak menjadi pembenaran yang wajib bagi kalian?”
Ulama Yahudi itu menjawab, “Tidak, sebab kedudukan Musa di samping Tuhan tidak ada bandingannya. Dan orang yang mengklaim membawa nubuwah dan harus juga memiliki mukjizat seperti Nabi Musa.”.
Imam Ridha kembali berkata, “Bagaimana dengan para Nabi sebelum Nabi Musa, apakah kalian juga mengimaninya, padahal mereka tidak memiliki mukjizat seperti Musa?. ”
Lelaki Yahudi itu menjawab, “Ketika membawakan bukti nubuwah dengan mukjizatnya, meski mukjizatnya berbeda dengan Musa maka wajib untuk mengakui kebenarannya.”
Kemudian, Imam Ridha mengajukan pertanyaan, “Mengapa kalian tidak mengimani Isa putra Maryam?
Padahal ia mampu menghidupkan orang yang mati dan menyembuhkan orang buta hingga bisa melihat sebagai mukjizatnya. Nabi Isa dengan izin Allah swt juga bisa membuat burung yang hidup dari tanah liat ?”.
Jalut menukas, “Kabarnya itu terjadi, tapi aku tidak pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri.”
Mendengar jawaban pemimpin Yahudi itu, Imam Ridha berkata, “Apakah engkau melihat sendiri mukjizat Nabi Musa?
Apakah berita tentang mukjizatnya diterima oleh kalian melalui sumber yang bisa dipercaya?”
“Ya”, jawab lelaki Yahudi itu.
Setelah itu, Imam Ridha kembali berkata, “Demikian juga dengan Nabi Isa, berita tentang mukjizatnya disampaikan melalui sumber yang terpercaya, lalu mengapa engkau mengakui mukjizat Musa dan mengimaninya, tapi tidak dengan Isa?
Demikian juga dengan nubuwah Nabi Muhammad Saw, serta nabi-nabi yang utus oleh Allah swt…”
Perdebatan terus berlanjut hingga pemuka Yahudi itu dengan jujur mengakui kebenaran Imam Ridha. Rais Jalut berkata, “Demi Tuhan, wahai putra Muhammad, jika bukan karena posisi dalam agama Yahudi yang menghalangiku, niscaya aku akan mengikuti perintahmu. Demi Tuhan yang telah menurunkan Taurat bagi Musa dan Zabur bagi Dawud, aku tidak pernah melihat orang yang membaca dan menafsirkan Injil lebih baik darimu”.
Imam Ridha dalam setiap perdebatan menyampaikan kebenaran ajaran Islam dengan argumentasi yang rasional dan kokoh, sehingga tidak ada tempat lagi bagi lawan untuk membantahnya. Untuk itulah Imam Ridha disebut sebagai Alim Ali Muhammad Saw.
Sebagai penutup tulisan, berikut petuah mulia Imam Ridha as, beliau berkata, “Ilmu dan pengetahuan seperti harta karun dan kuncinya adalah pertanyaan, maka bertanyalah. Allah merahmati kalian, sebab dalam bertanya terdapat empat unsur; penanya, pembelajar, pendengar dan orang yang menjawab, semuanya mendapatkan pahala.”
(ABNA/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email