Pesan Rahbar

Home » » Ajaran Muhammad SAW Yang Disembunyikan Oleh Mazhab Ahlusunnah Wal Jama’ah (Sunni)

Ajaran Muhammad SAW Yang Disembunyikan Oleh Mazhab Ahlusunnah Wal Jama’ah (Sunni)

Written By Unknown on Sunday, 17 August 2014 | 05:11:00


Kebenaran yang Hilang, Kekelaman yang Disembunyikan

Di samping itu fakta-fakta sejarah tersebut diambil dari referensi kitab-kitab klasik yang sesungguhnya dihormati, beredar luas, dan tersimpan tak jauh dari jangkauan pihak-pihak yang ia kritik dan khalayak umum.

Tapi mungkin karena saking dihormati, maka dianggap sakral, dan tak berani disentuh, apalagi dibaca atau membayangkan isinya. Lalu apa sih isi kitab-kitab tersebut. Di sini saya akan menuliskan ulang beberapa contoh isi buku Farag Fouda berikut referensi sumbernya, yang menceritakan bagaimana para sahabat Nabi yang katanya dijamin masuk surga, justru saling mengangkat senjata menumpahkan darah sesama mereka. Dan nyatanya jelas bahwa tiga di antara empat khalifah pertama semuanya mati terbunuh. Kita bisa saja bilang dan menempelkan stigma bahwa para pembunuhnya adalah orang munafik dan murtad. Tetapi apakah kita tidak mau mengecek semua sentimen keagamaan itu, bahwa di balik peristiwa selalu ada kepentingan, motif, atau peristiwa lain melatar belakanginya. Dan itu semua tidak semata persoalan keimanan, atau bisa jadi hal lain yang berbeda.


1. Kisah pembunuhan orang Murtad yang dilakukan oleh Abu Bakar.

Apakah serangan Khalifah Abu Bakar terhadap orang-orang yang dituduh murtad dari Islam, hanya karena kemurtadan yang dilakukannya, atau karena mereka enggan membayar zakat kepada pemerintahan baru yang dipimpin oleh Abu Bakar? Lalu apakah pembunuhan itu bertumpu pada prioritas politik atau agama? Karena kalau pembunuhan terhadap orang murtad adalah prioritas agama, tapi mengapa langkah kebijakan Abu Bakar tidak diikuti oleh Umar Ibn Khattab.

Dalam kitab Tarikh al-Thabari yang ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, juz III, dalam bab “Tarikh al-Rusul wa al-Muluk,” dikatakan bahwa alasan kelompok yang tidak mau membayar zakat adalah dikarenakan semasa Nabi hidup, mereka menyerahkan zakat kepada Nabi sebagai pengakuan kepemimpinan Nabi. Sedangkan sepeninggal Nabi, mereka tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan tidak mau menyerahkan zakat kepadanya. Mereka yang dituduh murtad sejatinya tetap menjalankan shalat, namun hanya saja tidak mau membayar zakat kepada pemerintah Umar.

Hal ini digambarkan oleh puisi milik al-Huthai’ah:
Kami tunduk kepada Rasulullah selama beliau berada di antara kita,
Wahai hamba-hamba Allah, apa pedulinya dengan Abu Bakar,
Apakah beliau mewariskannya kepada Abu Bakar setelah beliau meninggal,
Demi Allah, itu merupakan kehancuran.
(Tarikh al-Thabari, juz III, hlm. 246).

Qarrah Ibn Hubairah dari Amman berkata pada Amr Ibn al-Ash, “Sesungguhnya bangsa Arab tidak menyukai kamu lantaran memunguti pajak. Jika kalian menghapuskan pajak dari mereka, niscaya mereka akan taat dan patuh kepada kalian. Dan jika kalian berkeras, saya tidak akan pernah merasa menyetujui kalian (sebagai pemimpin).” Amr berkata: “Kamu telah membangkang hai Qarrah.” Sementara di belakang mereka ada suku Bani Amir, jika timbul perang di sana, maka gejolak baru akan timbul. Lalu Amr berkata: “Apakah kamu akan mengancam kami dan menakut-nakuti kami dengan bangsa Arab? Janji kamu adalah kehormatan ibumu. Demi Allah, aku pasti akan menginjakkan kuda kepada kamu.” (Tarikh al-Thabari, juz III, hlm. 259).

Sementara jawaban Abu bakar tegas: “Jika mereka semua menolak membayar zakat, saya pasti memerangi mereka karena alasan itu.” Peperangan terhadap mereka yang dituduh murtad karena tidak mau membayar zakat kepadanya tidak hanya dilakukan sekali waktu, tetapi beberapa kali, dan ada sejumlah riwayat yang menceritakannya.

Umar Ibn Khattab berkata kepada Abu Bakar ketika dia hendak memerangi Musailamah: “Apakah anda hendak memerangi mereka, sementara anda mendengar Rasulullah melarang memerangi orang yang telah mengucapkannya?” Lalu Abu Bakar menjawab teguran itu: “Demi Allah, saya tidak membedakan antara shalat dan zakat. Saya akan memerangi saja siapa yang membedakan antara keduanya.” (musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, juz I, hlm. 181).

Dalam riwayat lain Abu Bakar mengirimkan surat pada kabilah-kabilah “pengemplang pajak” yang dinyatakan murtad olehnya: “Sungguh saya mengirimkan kepada kalian si fulan yang memimpin pasukan yang terdiri dari sahabat Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka. Saya memerintahkan agar mereka tidak memerangi siapa pun, dan tidak membunuhnya sampai ia meminta orang tersebut kembali kepada seruan Nabi Allah.

Siapa saja yang menerima, mengakui, menahan diri, dan berbuat baik maka ia akan diterima dan dibantu. Sementara siapa saja yang membangkang maka saya memerintahkan untuk memeranginya sampai tidak ada yang tersisa di antara mereka. Saya juga memerintahkan agar membakar mereka, dan menjadikan anak serta istri mereka sebagai tawanan. Mereka akan diterima hanya apabila mereka kembali kepada Islam.” (Tarikh al-Thabari, Juz III, hlm. 251).

Lalu Abu Bakar mengirimkan Khalid Ibn Walid ke daerah Bithah, namun sesampainya di sana, ia tak menemukan seorang pun. Ia mendapatkan Malik Ibn Nuwaira ternyata telah memerintahkan kelompoknya untuk membawa harta mereka masing-masing untuk mengungsi. Lalu Khalid berkata kepada Malik: “Hai Bani Yarbu’, dahulu kita pernah membangkang kepada para pemimpin kita ketika mereka mengajak kita menerima agama ini, dan kita memengaruhi masyarakat untuk tidak melayani seruan itu, ternyata kita tidak beruntung dan tidak pernah berhasil. Oleh karena itu, berhati-hatilah, jangan kalian melawan kelompok yang diciptakan untuk mereka (keberhasilan). Bubarlah kalian, pergilah menuju rumah kalian dan bersatulah dalam masalah (pembayar zakat) ini.”.

Kemudian Malik dan anggota kelompoknya kembali pulang ke rumah-rumah mereka. Meskipun demikian, Khalid Ibn Walid tetap membunuh mereka semua, sekalipun mereka telah meneriakkan Azan dan shalat. Pasukan Khalid menjadikan kepala mereka yang terbunuh kaki tungku dan membakar tempat tinggal mereka. Setelah Malik bin Nuwairah tewas, Khalid mengambil istri Malik sebagai istrinya, yaitu Ummu Tamim puteri al-Mihal. Ketika berita perkawinan itu tersebar, Umar Ibn Khattab berang dan berkata padanya: “Musuh Allah telah memerangi orang muslim, kemudian si muslim membunuhnya, setelah itu si muslim merampas istrinya.” Meskipun demikian, Abu Bakar menerima alasan tindakan Khalid Ibn Walid tersebut. (Tarikh al-Thabari, juz III, hlm. 277-280).


2. Musyawarah ala Umar Ibn Khattab.

Banyak yang mengatakan bahwa dewan musyawarah yang terdiri dari enam sahabat senior adalah cikal bakal demokrasi dalam Islam. Walaupun sesungguhnya musyawarah yang dipraktikkan kala itu adalah warisan sistem konsensus kesukuan sebelum masa pra-Islam, dan berbeda dengan sistem demokrasi modern. Dalam sistem permusyawaratan suku, hasil majelis merupakan putusan tertinggi yang tidak dapat diganggu gugat bahkan oleh seorang pemimpin kabilah atau ketua suku. Bahkan yang menentang boleh dibunuh.

Dewan permusyawaratan yang dibentuk Umar terdiri dari Ali Ibn Thalib, Utsman Ibn Affan, Abdurrahman Ibn Auf, Sa’ad Ibn Abi Waqash, Zubair Ibn al-Awwam, dan Thalhah. Sementara salah seorang sahabat Ibn Abbas menyadari susunan tersebut, dia memperingatkan kepada Ali: “Jangan masuk bersama mereka.” Namun Ali menjawab: “Saya tidak suka perselisihan.” Abbas mengatakan: “Kalau demikian, kamu akan melihat apa yang tidak kamu sukai.” Dan itulah yang terjadi. Dalam suatu waktu, Umar pernah berkata kepada Shuhaib: “Lakukan Shalat bersama orang banyak selama tiga hari. Kemudian masukkan juga Ali, Utsman, Zubair, Sa’ad, Abdurrahman, dan Thalhah apabila dia datang. Libatkan pula anakku Abdullah Ibn Umar, namun ia tidak memiliki hak apa pun. Kemudian pimpinlah (musyawarah) bersama mereka. Jika lima di antara mereka sepakat dan merestui seseorang, sementara yang satu menolak maka pecahkanlah kepalanya, atau tebaslah dengan pedang. Jika empat di antara mereka sepakat dan dua di antara mereka menolak maka penggallah leher mereka berdua. Jika tiga di antara mereka merestui salah satu, dan tiga lainnya merestui orang lain. Maka serahkan keputusannya kepada Abdullah Ibn Umar, mana di antara dua kelompok tersebut yang dia putuskan. Hendaklah mereka memilih salah seorang di antara mereka. Jika mereka tidak puas dengan keputusan Abdullah Ibn Umar, maka hendaklah mereka bersama dengan kelompok di mana Abdurrahman Ibn Auf berada, dan bunuhlah sisanya yang tidak mengikuti kesepakatan orang banyak. (Tarikh al-Thabari, juz IV, hlm. 229).


3. Pemberontakan Terhadap Usman Dari Kalangan Sahabat.

Keenam dewan yang dibentuk oleh Umar seolah menandakan bahwa para sahabat senior ibarat kesatuan korps yang seirama dan sejalan. Tetapi ketika Usman terbunuh ketika dirinya menjabat sebagai Khalifah, banyak yang menunjukkan jarinya kepada seseorang bernama Amr Ibn Hamiq al-Khuza’i yang kemudian dijustifikasi sebagai oportunis munafik. Tapi tahukah siapa Amr Ibn Hamiq tersebut?

Amr Ibn Hamiq Ibn Kahin Ibn al-Khuza’i memeluk Islam sebelum fathul Makkah dan peristiwa Hijrah, ada pula yang mengatakan kalau ia memeluk Islam pada Haji Wada. Rasulullah pernah berdoa untuknya: “Semoga Allah memberimu usia yang baik.” Ia hidup sampai umur 80 tahun, dan tidak ada sehelai uban di rambutnya. Namun dia adalah salah satu dari empat orang yang menerobos rumah Usman, dan melompat ke dada Usman lalu menikam dengan sembilan tikaman seraya berkata: “Adapun tiga tikaman karena Allah, dan enam tikaman karena dendam di dalam dadaku.” (Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz VII, hlm. 208 & juz VIII, hlm. 48 ).

Amr Ibn Hamiq adalah salah seorang sahabat Nabi yang disebutkan oleh Ibn Hajar dalam al-Tahzib, juz VIII, no. 37 dan al-Taqrib, juz I, hlm. 733. Hadis yang diriwayatkan olehnya dikodifikasi dalam Sunan Ibn Majah dan Sunan al-Nasa’I, dan dibenarkan oleh Ibn Hatim perihal posisinya sebagai sahabat Nabi dalam kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, juz VI, no. 1248.

Tapi ternyata konspirasi pembunuhan Usman tidak berhenti sampai pada penunjukkan siapa yang mengangkat senjatanya. Para aktor yang merencanakan dan merekayasa pemberontakan tersebut juga dipelopori oleh Sahabat, dan di antara mereka adalah orang-orang yang berdiri bersama Usman dalam dewan permusyawaratan bentukan Khalifah sebelumnya, yakni Umar.

Abdurrahman Ibn Auf, misalnya menyerukan kepada Ali: “Ali, Kalau engkau berkenan. Silahkan angkat senjata. Akupun akan angkat senjata. Ia (Usman) telah mengambil kembali apa yang telah ia berikan kepadaku.” Kemudian ketika Abdurrahman Ibn Auf jatuh sakit, ia sempat berkata kepada sahabat yang mengelilinginya: “Bersegeralah kalian untuk memberontak terhadap Usman, sebelum kekuasaannya yang akan menindas kalian.” Demikian pula Thalhah juga memprovokasi para pemberontak, sampai-sampai Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali membuka akses Baitul mal, lalu membagi-bagikan kepada mereka. Tetapi, saat itu Usman justru membenarkan tindakan Ali sebagai tindakan untuk meredam konflik. Namun Usman tetap saja terbunuh. Anehnya, justru kemudian Thalhah yang tampil sebagai orang yang menuntut balas atas kematian Usman dalam kelompok tentara Aisyah melawan tentara Ali dalam perang Jamal. Thalhah terbunuh oleh rekannya sendiri, Marwan Ibn Hakam, di saat Marwan melontarkan tombaknya yang dimaksud untuk mengenai musuh. Tatkala tombak itu mengenainya, ia berkata: “Inilah tombak yang ditikamkan Allah kepadaku, Ya Tuhan, ambillah balasan untuk Usman dariku, sampai engkau ridha.” (Thaha Husein, al-A’mal al-Kamilah li Taha Husein, bagian al-Fitnah al-Kubra, vol. IV, hlm. 360-367).

Menurut Sejarawan al-Thabari, jenazah Usman terpaksa bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyhalatinya. Jasad orang tua berumur 83 tahun itu kemudian dikuburkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi.


4. Berbalas Tuduhan Sesama Sepupu.

Abdullah Ibn Abbas dan Ali Ibn Abi Thalib merupakan saudara sepupu. Sewaktu ia menjabat sebagai Khalifah, Ali mendapatkan surat dari pengurus Baitul Mal di Bashrah, yakni Abu al-Aswad al-Duwali. Surat itu memberitahukan bahwa orang kepercayaan Ali sekaligus sepupunya telah mengambil apa yang bukan menjadi haknya tanpa sepengetahuannya. Lalu Ali mengirimkan surat kepada Ibn Abbas, “Telah sampai padaku berita tentang dirimu. Jika engkau benar-benar melakukannya, sungguh engkau telah membuat murka Tuhan, jauh dari amanat, melawan pemimpinmu, dan khianat pada umat. Aku mendengar engkau telah mengkavling tanah dan menikmati apa yang engkau kuasai. Tunjukkan padaku laporanmu sebelum perhitungan Tuhan yang lebih keras menimpamu.”.

Namun datang jawaban dari Ibn Abbas, “Yang sampai kepadamu tak lebih dari kebohongan. Aku senantiasa menghitung dan menjaga apa-apa yang berada di bawah wewenangku. Karena itu janganlah kau memercayai rumor belaka. Semoga rahmat Tuhan menyertaimu.”.

Tetapi Ali bersikeras ingin mengetahui laporan penggunaan uang milik Ibn Abbas, ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali sanggahan terhadap tuduhan dan ucapan salam. Lalu ia mengirimkan surat balasan: “Saya tidak kuasa meninggalkan perkaramu sampai engkau memberitahuku apa yang kau ambil dari pajak; dari mana engkau dapat, dan engkau kemanakan harta itu. Bertakwalah kepada Allah dalam perkara yang aku mandatkan kepadamu karena aku memintamu untuk menjaganya.”.

Sebenarnya Ibn Abbas masih menjawab, namun tetap tidak menyentuh soal sumber penghasilan dan pengeluaran. Lantas perseteruan itu semakin meruncing, Ali melemparkan tuduhan pada Ibn Abbas telah menggelapkan keuangan negara, sementara Ibn Abbas menuduh Ali telah menumpahkan banyak darah umat Islam demi meraih kekuasaan. Ibn Abbas menulis surat: “Saya memahami mengapa anda terlalu membesar-besarkan perkara kebun yang mendasari tuduhan anda. Demi Tuhan, dilontarkan Tuhan segala yang ada dalam perut bumi ini kepadaku lebih baik bagiku daripada aku harus menumpahkan darah umat hanya demi merebut kekuasaan dan kepemimpinan. Kirimkanlah kepadaku pengganti yang engkau sukai!”.

Surat pengunduran diri yang aneh tersebut membuat Ali sangat marah, “Apakah Ibn Abbas tidak ikut menumpahkan darah?” katanya. Tetapi yang membuat Ali meledak-ledak adalah setelah mengundurkan diri, Ibn Abbas justru menghimpun semua yang tersisa di Baitul Mal yang jumlahnya sekitar 6 juta dirham. Lalu mengumpulkan sanak keluarganya dan juga kalangan Bani Hilal di Bashrah untuk mencari perlindungan. Tetapi para penduduk Bashrah yang marah mengancam Bani Hilal untuk meninggalkan harta yang diberikan oleh Ibn Abbas sebagai upah mereka, hal itu guna menghindari pertumpahan darah. Tetapi akhirnya Ibn Abbas melarikan diri ke Mekkah, dan di sana dia membeli tiga orang budak, masing-masing tiga ribu dinnar untuk melayaninya. Ironisnya adalah, orang yang katanya meriwayatkan ratusan hadis ini sampai sekarang dianggap sebagai periwayat hadis yang produktif, sementara Ali Ibn Abi Thalib justru menyebutnya telah memakan yang haram dan minum dari yang haram. (Tarikh al-Thabari, juz IV, hlm. 107-109.

Lalu apa yang tertinggal bagi kita? Inilah dunia manusia, bukan malaikat. Tidak ada kesucian yang mutlak, dunia nyata yang tak pernah terlepas dari salah dan dosa. Lalu di mana masa keemasan itu, masa yang diibaratkan seperti alam surgawi. Seperti ketika ada seorang tokoh di acara TV berjudul Islam KTP, tokoh itu bilang bahwa ada manusia-manusia yang tidak bisa tersentuh oleh setan, dia adalah empat khalifah pertama. Tapi mungkin tokoh itu tidak bisa baca kitab-kitab klasik atau hanya mengikuti skenario belaka. Padahal empat khalifah pertama sama manusianya dengan kita, yang dapat tergoda dan terpuruk.

Sementara dinamika perubahan terus terjadi tatkala agama bertautan dengan kekuasaan. Orang memakai dalih agama untuk memertahankan tahta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tetapi sebenarnya mereka tahu: tak ada yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta. (Goenawan Mohamad, epilog dalam al-Haqiqat al-Ghaibahversi terjemah Indonesia).


Peristiwa Ghadir Khum merupakan momentum terbaik diantara momentum-momentum sebelumnya bagi Rasulullah Saw dalam memperkenalkan keutamaan dan kelayakan Ali bin Abi Thalib As untuk mewarisi tampuk kepemimpinan kaum muslimin setelahnya.

“Peristiwa Ghadir Khum adalah satu diantara peristiwa-peristiwa penting yang terekam baik dalam sejarah melalui sebuah proses periwayatan yang rapi sehingga sulit bagi siapapun untuk mengingkari validitasnya. Dalam peristilahan ilmu hadist jenis riwayat yang menukilkan peristiwa bersejarah ini tergolong dalam kategori mutawatir”.

Pada hari Kamis, tepatnya pada tanggal 18 Ddzulhijjah tahun ke-10 H dalam suatu perjalanan pulang dari Mekkah menuju Madinah, Rasulullah Saw ditengah perjalanan tiba-tiba saja menyeru para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang saat itu tergabung dalam kafilah beliau untuk berhenti disuatu tempat yang dinamai dengan Ghadir Khum, suatu daerah yang tidak jauh dari wilayah Juhfah. Bukan hanya itu Rasulullah Saw juga menginstruksikan untuk memanggil rombongan yang telah lewat untuk kembali sembari menunggu mereka yang masih tertinggal dibelakang. Safar haji musim ini sedikit berbeda dengan safar-safar sebelumnya karena pada musim haji kali ini jumlah kaum muslimin yang ikut serta dalam menunaikan ibadah haji mencapai ratusan ribu jamaah,perhelakan akbar ini juga tercatat dalam sejarah sebagai haji wada` atau haji terakhir yang dilaksanakan Rasulullah Saw sebelum wafatnya.

Setelah seluruh jamaah berkumpul Rasulullah Saw pun memulai khutbahnya dan tak lama berselang Rasulullah Saw kemudian menjabat tangan Ali bin Abi Thalib as. lalu mengangkatnya ke atas dan bersabda : “…fa man kuntu mawlaahu fa Aliyyun mawlaahu…”[1]. Dengan deklarasi ini Rasulullah Saw menyempurnakan hujjah atas kaum muslimin, beliau secara gamlang telah memperkenalkan pengganti dan penjaga risalah sepeninggalnya dihadapan mayoritas kaum mukminin.Agama Islam telah menyempurna dengan ke-washi-an Ali bin Abi Thalib As, apa yang selama ini ‘terpendam’ didada Rasulullah telah tersingkap jelas dan tak ada lagi ‘mata yang buta’ ataupun ‘telinga yang tuli’ atas wilayah dan kedudukan Ali bin Abi Thalib As atas kaum mukminin.

Peristiwa ghadir khum adalah satu diantara peristiwa-peristiwa penting yang terekam baik dalam sejarah melalui sebuah proses periwayatan yang rapi sehingga sulit bagi siapapun untuk mengingkari validitasnya. Dalam peristilahan ilmu hadist jenis riwayat yang menukilkan peristiwa bersejarah ini tergolong dalam kategori mutawatir. Kendati demikian masyarakat Islam, khususnya para ulama, tetap saja memiliki pandangan-pandangan atau interpretasi yang berbeda-beda tentang hal ini, umumnya mereka tidak mengingkari hakikat dan keaslian peristiwa tersebut, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan atau memahami kejadian atau riwayat yang menghikayatkan catatan-catatan peristiwa seputar peristiwa ghadir khum, sebut saja misalnya; dalam kaitannya dengan ayat yang turun pada saat itu atau tentang pemaknaan kata waliya-mawla pada riwayat yang terkait dengan peristiwa tersebut.

Mungkin ada baiknya untuk mengupas hal ini lebih jauh dalam kaitannya dengan konsep imamah, sebab tak dapat dipungkiri permasalahan ghadir khum adalah suatu persoalan yang sangat erat kaitannya dengan doktrin-doktrin keimanan Islam lainnya.


PERLUNYA WILAYAH DAN IMAMAH

Peristiwa Ghadir Khum merupakan momentum terbaik diantara momentum-momentum sebelumnya bagi Rasulullah Saw dalam memperkenalkan keutamaan dan kelayakan Ali bin Abi Thalib As untuk mewarisi tampuk kepemimpinan kaum muslimin setelahnya. Sebagaimana halnya dengan para Rasul dan Nabi-nabi terdahulu, Rasulullah Saw senantiasa terbatasi secara natural dengan fisik duniawinya sehingga dapat dipastikan bahwa kepemimpinan lahiriah beliau pada suatu saat akan berakhir. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw disepanjang hidupnya selalu berusaha untuk mengisyaratkan kelebihan atau fadhilah-fadhilah Ali bin Abi Thalib as. sebagai orang yang mempunyai potensi dan kelayakan dalam memimpin sebagaimana dirinya.Hal ini menjadi penting mengingat tugas kepemimpinan yang dibebankan kepada Nabi Saw bersifat mutlak adanya, dalam artian bahwa; kepemimpinan Rasulullah Saw tidaklah semata pada aspek lahiriah kehidupan manusia saja tetapi lebih dari itu mencakup aspek batiniah atau kehidupan maknawiah mereka.Dalam Islam dijelaskan bahwa kehidupan manusia pada hakikatnya terangkap atas kehidupan yang bersifat lahiriah (dimensi duniawi) dan kehidupan yang bersifat batiniah(dimensi ukhrawi). Perilaku dan perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupan lahiriahnya sangat menentukan kehidupan batiniahnya, sebab kedua dimensi kehidupan ini merupakan suatu realitas hakiki dimana korelasi antara keduanya pun bersifat hakiki dan eksistensial[2].

Kenyataan ini semakin menegaskan bahwa kebutuhan manusia akan kehadiran seorang imam atau mursyid kehidupan tidak mungkin tertolak, karena manusia dengan seluruh kekurangan dan keterbatasannya mustahil dapat menjalani kehidupan ini dengan sendiri.

Kepemimpinan Rasulullah Ssw tidak bisa dibandingkan apalagi disandingkan dengan kepemimpinan para raja ataupun petinggi kabilah dalam tradisi masyarakat Arab pada saat itu. Sebab kepemimpinan raja atau semacamnya hanya terbatas pada urusan-urusan yang bersifat profan dan duniawi sementara aspek spiritual dan transendenitas manusia terabaikan atau hanya terpusatkan pada institusi-institusi keulamaan atau kependetaan yang lebih cenderung bersifat sekuler. Dengan demikian eksistensi nubuwwah atau imamah –dimana keduanya menyiratkan dimensi wilayah– merupakan kemestian penciptaan dan sekaligus merupakan manifestasi lahir dari sifat adil dan bijak Tuhan.

Berbicara tentang wilayah, dapat kita mulai dengan mengurai makna kata wilayah secara etimologi dan kemudian melihat penerapan istilah ini berikut pembagiannya.Wilayah adalah sebuah istilah dalam Bahasa Arab yang berasal dari akar kata wal atau waliya yang juga bermakna qaruba atau dekat. Oleh karena itu, kata ini dapat pula diterapkan dalam hal kedekatan dan mawaddah[3]. Kata wal atau waliya juga dapat dimaknai dengan datangnya sesuatu mengikuti sesuatu yang lain dengan tanpa ada jarak diantara keduanya, kemampuan dan keber-iring-an seperti ini memestikan adanya kedekatan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu kata wal atau waliya dengan berbagai bentuk perubahannya (dengan kastra atau fatha) dapat diartikan atau dimaknai dengan: cinta-persahabatan,penolong-pertolongan,mengikuti,pengasuh atau pemimpin, dimana keseluruhan kata tersebut mengandung kesamaan makna dalam hal “kedekatan”[4].

Sebagai salah satu contoh ketika wal atau waliya yang merupakan akar kata dari wilayah dimaknai sebagai pemimpin (baca: yang memiliki hak dan kuasa dalam mengatur dan mengawasi segala urusan), dapat kita lihat dalam ayat 55 surah Al-Maidah: “ Sesungguhnya pemimpin(wali) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan mereka dalam keadaan ruku`” dan ayat 6 pada surah Al-Ahzab: “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” dirangkaikan dengan ayat 36 pada surah yang sama: “ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka…dst” Atau dalam ayat 9 surah Asy-Syura: “Apakah patut mereka mengambil pemimpin-pemimpin (penguasa dalam mengatur dan mengawasi) selain Allah? Maka Allah, Dia-lah pemimpin (yang sebenarnya)”. Pada ayat-ayat tersebut disebutkan bahwa sesungguhnya Allah Swt dan rasul-Nya serta orang mukmin yang mendirikan shalat dan bersedekah (mengeluarkan zakat) dalam keadaan ruku` adalah wali atau pemimpin orang-orang beriman. Bahkan ditegaskan lebih jauh lagi bahwa sesungguhnya hanya Allah Swt sajalah wali atau pemimpin (yang memiliki kekuasaan hakiki) atas orang-orang beriman. Jika kita renungkan sejenak saja, maka dengan sendirinya sangat jelas bahwa sudah selayaknya jika Allah Swt menjadi satu-satunya wali atau penguasa hakiki bagi orang-orang beriman (bahkan seluruh makhluk tak terkecuali manusia). Sebab Tuhanlah yang paling dekat dengan makhluknya (lebih dekat dari urat lehernya) terlebih lagi dengan orang-orang beriman yang senantiasa mendapatkan inayah khusus dari-Nya. Begitu pula dengan Rasul dan orang mukmin yang dipilih-Nya sebab keduanya secara gradatif adalah wakil-wakil Ilahi (khalifatullah) dan merupakan manifestasi sempurna dari sifat-sifat Tuhan sehingga merekalah yang paling “dekat” dan “lebih utama” setelah Allah Swt terhadap seluruh makhluk khususnya manusia-manusia beriman.

Mungkin saja sebagian orang lebih cenderung untuk memaknai atau mengartikan kata wal atau waliya pada ayat-ayat tersebut dengan makna “penolong” atau “pelindung”. Namun hal itu tidaklah kontradiktif dengan makna pemimpin (baca: yang memiliki hak dan kuasa mengatur serta mengawasi dalam segala urusan). Sebab wujud kepemimpinan seorang Rasul atau Imam atas seluruh kaum mukminin pada dasarnya merupakan salah satu misdaq paling jelas dari sifat “penolong” dan “pelindung” Tuhan itu sendiri. Adakah pertolongan dan perlindungan yang lebih agung dari ke-tercegah-an manusia untuk hidup dalam kegelapan dan kesesatan? Bukankah kepemimpinan Tuhan melalui khalifah-Nya (rasul atau imam) akan mengantarkan manusia kepada kesempurnaan wujudnya hingga ia layak mendapatkan surga keridhaan-Nya? Dengan demikian dapat dipahami bahwa makna-makna tersebut (penolong, pelindung, pemimpin atau kekuasaan dalam mengatur dan mengawasi segala urusan) pada dasarnya menyiratkan hakikat yang sama yaitu; jaminan kesempurnaan, keridhaan dan keterbebasan dari belenggu kesesatan dan kekufuran.

Para filosof dan mutakallimin membagi istilah wilayah ini menjadi dua bagian, yaitu; wilayah takwini dan wilayah tasyri`i. Wilayah takwini diartikan sebagai kekuasaan dalam mengatur segala sesuatu yang ada dialam ini secara hakiki sebagaimana halnya kekuasaan jiwa (ruh) dalam mengatur dan mengendalikan kekuatan-kekuatan yang ada padanya seperti; marah, senang, syahwat, hayal, berpikir dsb. Wilayah takwini merupakan suatu hubungan atau korelasi yang bersifat sebab-akibat sehingga mustahil terjadi peyimpangan didalamnya. Sedangkan wilayah tasyri`i dicabangkan lagi menjadi; kekuasaan dalam membuat aturan atau hukum-hukum dalam kaitannya dengan pengaturan alam semesta (wilayah atas tasyri`) serta kekuasaan dalam mengatur dan menerapkan hukum berdasarkan batasan atau aturan-aturan yang telah dibuatnya (wilayah dalam tasyri`). Berbeda dengan wilayah takwini,wilayah tasyri`i lebih bersifat i`tibari dan berbentuk kesepakatan sehingga memungkinkan penolakan ataupun ketaatan atasnya[5].

Seorang mukmin atau muwahhid sejati tentu saja hanya akan menisbahkan kedua bentuk wilayah tersebut kepada Allah Swt. Penisbahan mutlak itu sendiri dapat kita bagi menjadi dua bentuk penisbahan.Wilayah secara substansial (bil-dzat), dimana wilayah tersebut mustahil dapat dinisbahkan kepada selain Allah Swt (Asy Syuura/9). Akan tetapi secara aksidental (bil-aradh), wilayah itu dapat dinisbahkan kepada selain-Nya (Al-Maidah/55). Oleh karena itu, dalam hal ini terdapat makhluk Tuhan yang memiliki potensi atau kemampuan mewakili Allah Swt (menjadi khalifatullah) dalam mengemban wilayah-Nya dan makhluk tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah manusia sempurna (insan kamil), dimana para Rasul, Nabi, dan juga para Walinya merupakan misdaq utamanya.


IMAMAH DAN IMAN ISLAM

Para ilmuan dari kalangan teolog dan filosof agama mendefinisikan agama secara beragam dan berbeda-beda, bahkan dengan sangat jelas terlihat adanya perbedaan-perbedaan yang bersifat prinsip dan mendasar diantara definisi-definisi yang ditawarkan. Sebagian mecoba mendefinisikan agama dengan batasan yang begitu luas hingga mencakup ajaran-ajaran yang bahkan didalamnya tidak terdapat kepercayaan akan adanya wujud Tuhan semisal budisme atau ajaran-ajaran yang bersifat materialis dan sebaliknya terdapat suatu definisi yang sangat mempersempit batasan agama hingga hanya mencakup satu bentuk kepercayaan atau mazhab saja. Dalam urf dan tradisi masyarakat muslim, agama dipahami sebagai suatu ajaran atau aturan (syariat) yang bersumbu pada hakikat, berdasarkan pemahaman ini agama didefinisikan sebagai suatu ajaran yang memiliki keyakinan-keyakinan benar dan bersesuaian dengan realitas serta menganjurkan perbuatan-perbuatan yang berefek dalam mengantar manusia kepada kesejahteraan dan kesempurnaan hakiki atau dalam penjelasan yang lain,agama didefinisikan sebagai sekumpulan petunjuk atau bimbingan ilmu dan amal untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia didunia dan diakhirat yang diperoleh melalui wahyu dan sunnah[6].

Pada agama terdapat keyakinan atau keimanan yang bersifat asasi dan juga terdapat keimanan dan kepercayaan yang sifatnya cabang, yang pertama disebut sebagai usuluddin dan yang terakhir disebut dengan furu`uddin. Tauhid (iman atas wujud dan ke-esa-an Allah Swt) berada pada puncak keimanan Islam dan setelah itu secara berurutan kenabian (nubuwwah) dan hari kiamat (ma`ad) adapun furu`uddin dipenuhi dengan aturan-aturan hukum dan akhlak, tiga keimanan pertama pada dasarnya merupakan ciri agama-agama langit (samawi) yang jika ditelaah lebih jauh lagi akan mengerucut kepada keimanan atas Tauhid, sebab, dari wujud Tuhan memancar ke-esa-an (tauhid) dan darinya pula memancar ke-adil-an dan ke-bijaksana-an dimana keduanya (sifat adil dan bijaksana) meniscayakan kenabian (nubuwwah) dan hari pembalasan (ma`ad), disini kita tidak bermaksud membahas sifat-sifat Tuhan, empat sifa-sifat Tuhan yang telah disebutkan (Wujud, Esa, Adil, Bijaksana) hanyalah sebagian dari sifat-sifat-Nya yang tak terbatas.

Imamah sebagai bagian dari keimanan Islam merupakan ke-lazim-an dari kenabian itu sendiri. Tanpa imamah, kenabian tidak bermakna. Sebab seluruh argumentasi yang meniscayakan adanya kenabian berlaku pula atas eksistensi dan kemestian imamah. Dan jika kenabian didasarkan atas kebijakan dan keadilan Tuhan, maka dengan keadilan dan kebijakan yang sama, imamah menjadi sesuatu yang niscaya bagi umat ini[6]. Bukankah kenabian Rasulullah Saw tidak hanya terbatas dizamannya saja? Bukankah ia adalah penutup para nabi dan tidak akan datang lagi nabi setelahnya sementara disatu sisi beliau membawa suatu ajaran paripurna yang diperuntukkan bagi umat manusia hingga akhir zaman? Bukankah kita menyakini Rasulullah Saw sebagai Nabi masa kini meskipun beliau terlahir dan terbatasi dalam jasad materi yang secara natural akan punah dan hancur? Hari ini Rasulullah Saw tidak lagi hidup dan berinteraksi fisikal dengan umatnya, apakah hal ini berarti Tuhan telah meninggalkan hamba-hambanya serta tidak berlaku adil dengan mereka? Apakah dengan tidak adanya utusan (nabi atau imam maksum), kebijakan dan keadilan Tuhan tidak perlu dipertanyakan? Dengan jaminan apa kebenaran risalah Rasulullah Saw senantiasa terjaga dan tidak mengalami distorsi tanpa keberadaan seorang maksum? Bukankah sejarah telah mempertontonkan dan menginformasikan kepada kita akan berbagai penyimpangan dan penyelewengan informasi dan fakta-fakta kebenaran?

Jika sebuah rezim berkuasa sekitar 32 tahun saja (misal: Rezim Soeharto) dapat mengubah dan memanipulasi data-data penting sejarah republik tercinta, lalu mengapa kita terlarang untuk kritis dan mempertanyakan data-data atau informasi akan kemurnian Agama tercinta kita (Al-Islam) yang telah diwarisi oleh puluhan rezim khilafah selama kurang lebih 14 abad? Bagaimanakah akal dan nurani kita menjawabnya?


IMAMAH DAN OTORITAS KETUHANAN

Imamah sebagai bagian dari keimanan Islam tidak dapat dinafikan begitu saja. Sebab al Qur`an sendiri telah mengabarkan kepada kita disalah satu ayatnya,dikisahkan bahwa setelah Nabi Ibrahim As berhasil melalui pelbagai ujian dan kesulitan, sembari berdo`a ia memohon kepada Rabnya, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata: “Dan saya mohon juga dari keturunanku.” Allah berfirman : “janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim” [8].

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kenabian dan imamah adalah dua hal yang berbeda dan sekaligus dua hal yang sangat berhubungan. Sebagaimana halnya makam kenabian hanya dapat diraih dengan izin-Nya, makam imamah pun tidak bisa diraih begitu saja oleh setiap orang.

Pengankatan atau penobatan seorang imam merupakan hak prerogatif dan otoritas Tuhan. Imamah bukanlah suatu pengukuhan murni dari seorang Nabi tetapi lebih dari itu imamah adalah pemberian Tuhan bagi orang-orang yang ‘layak’ atasnya. Nabi hanyalah sebatas mengabarkan dan mengenalkannya kepada umat. Sekiranya seorang nabi memiliki otoritas dalam hal ini, maka sungguh tidak bermakna ketika Ibrahim As memintanya dari Tuhan. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bersama, Ibrahim As pada saat itu telah meraih dan menduduki makam kenabian. Ia adalah nabi yang kemudian menjadi imam. Perlu diketahui pula bahwa Rasulullah Saw sendiri tidaklah berbeda dengan nabi Ibrahim As dari sisi bahwa ia adalah Nabi dan sekaligus imam. Hanya saja, Al Qur`an lebih sering menyebut beliau dengan Nabi atau Rasul ketimbang Imam. Sementara dari ayat Al Qur`an itu sendiri (Al-Baqarah : 124) dapat disimpulkan bahwa Imamah adalah merupakan derajat yang lebih tinggi dari kenabian atau dengan kata lain tidak semua Nabi adalah Imam dan begitu pula sebaliknya[9].

Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, telah disebutkan bahwa Nabi Saw dalam peristiwa Ghadir Khum telah mengenalkan pengganti dan penjaga risalahnya dan peristiwa ini berlangsung tidaklah semata atas kehendak Nabi Saw tetapi, lebih dari itu adalah perintah Allah Swt. Hal ini terlihat jelas dengan turunnya ayat: “ Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak meyampaikan amanat-Nya (risalah-Nya). Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir itu”(Q.S. Al-Maidah : 67)[10].

Sebagaimana maklum, Rasulullah Saw adalah manusia suci dan maksum serta mustahil (bukan mustahil dzati) untuk melakukan sesuatu yang tidak didasarkan atas wahyu Ilahi[11],. Dalam beberapa moment atau kejadian tertentu, terkadang Rasulullah Saw mendapatkan perintah secara khusus yang ditandai dengan turunnya wahyu kepada beliau, hal ini dapat menggiring kita untuk memahami bahwa kejadian atau peristiwa tersebut adalah suatu kejadian yang sangat penting. Salah satu diantara kejadian-kejadian itu adalah peristiwa Ghadir Khum.

Betapa tidak, didalam ayat disebutkan bahwa: “Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan, (berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya” dan juga disebutkan: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia”, dari penggalan ayat tersebut dapat dimengerti bahwa “sesuatu” yang mesti tersampaikan itu adalah sesuatu yang sangat besar dan agung setimbang dengan “risalah yang telah tersampaikan”. Dalam artian bahwa; seakan-akan Allah Swt hendak menyatakan bahwa risalah Islam yang selama ini telah didakwahkan Rasulullah Saw selama kurang lebih 23 tahun dengan berbagai ujian,kesulitan dan tantangan yang begitu dahsyat menjadi sia-sia manakala Rasulullah Saw tidak menyampaikan sesuatu tersebut. Kemudian disisi lain, ayat diatas juga menyiratkan suatu kondisi sosial politik yang tidak kondusif serta tidak mengizingkan Nabi untuk secara gamlang menyampaikan apa yang telah ‘dipesankan’ Tuhan kepadanya. Rasulullah seakan-akan ragu dan merasa takut untuk mengungkapkan “amanat” Tuhan yang telah turun kepadanya, hingga turunnya wahyu dalam menegaskan hal itu.

Terdapat beberapa tafsiran atau pandangan dalam kaitannya dengan kalimat “…apa yang diturunkan Tuhan kepadamu dari Tuhanmu…”, dimana dalam kaitannya dengan ayat yang turun,sebagian berpendapat bahwa yang dimaksudkan Allah Swt tidak lain dan tidak bukan adalah menyangkut masalah-masalah usuluddin dan serangkaian hukum-hukum syar`i semisal tauhid, shalat, zakat, puasa dll. Akan tetapi, jika kita renungkan lebih mendalam lagi, rasanya hal itu sangat jauh dari yang diinginkan. Sebab dari serangkaian ayat yang terkait serta dengan mencermati kondisi dan situasi yang ada pada saat itu, dapat disimpulkan bahwa aqidah dan hukum-hukum syariat semisal tauhid, shalat, puasa dsb, itu bukanlah maksud dari ayat itu. Sebab saat itu adalah hari-hari terakhir dari masa kenabian Rasulullah Saw dan selama ini beliau telah sering menjelaskan masalah-masalah aqidah dan perkara-perkara hukum syar`i dan tidak perlu merasa takut dengannya.[12]

Begitu pula halnya dengan pemaknaan kata “waliya-mawla” dalam penggalan hadist Nabi Saw:“…fa man kuntu mawlahu fa Aliyyun mawlahu…”. Apakah Nabi Islam Saw dalam suatu safar yang sulit dan melelahkan, ditengah padang yang gersang serta dibawah terik matahari yang begitu panas, menunggu mereka yang tertinggal dan memanggil para sahabat yang telah berjalan jauh untuk kembali hanya ingin menyampaikan atau mengumumkan bahwa: “…barang siapa menjadikanku kecintaanya (mencintaiku), maka Ali As menjadi kecintaannya (mencintainya…)” atau “…barang siapa menjadikanku penolongnya maka Ali As menjadi penolongnya…” atau “…barang siapa menjadikanku sahabatnya (temannya), maka Ali As menjadi sahabatnya (temannya)…?”

Apakah selama ini mereka tidak mengenal Ali bin Abi Thalib As yang telah memeluk Islam sejak masih kanak-kanak dan senantiasa tumbuh dan besar dalam didikan Rasulullah Saw?. Apakah mereka lupa bahwa Ali bin Abi Thalib As adalah orang yang telah menggantikan Rasulullah Saw ditempat tidurnya ketika hendak diteror orang-orang kafir? Apakah mereka tidak tahu bahwa Ali bin Abi Thalib As adalah suami dari putri terkasih beliau Sayyidah Fatimah Az -Zahra As sehingga beliau mesti mengumungkan kepada khalayak bahwa ia mencintai Ali As, atau bahwa Ali As adalah sahabatnya ? Apakah mungkin Rasulullah Saw menikahkan putrinya dengan orang yang tidak dicintainya, dimana sayyidah Zahra As menerima lamaran seseorang yang dibenci ayahnya? Jika Nabi Saw mencintai Ali bin Abi Thalib As, lalu mengapa hal itu mesti diumumkan, itupun ditengah padang pasir yang tandus dengan kondisi para musafir yang sedang lelah? Yakni; apa pentingnya untuk mengumumkan hal itu sementara kaum muslimin telah mengetahui kedudukan Ali bin Abi Thalib As disisi Rasulullah Saw jauh sebelum mereka datang dan bergabung dalam kafilah haji Rasulullah Saw.

Disinilah dibutuhkan kecermatan dan ketelitian dalam memaknai perkataan (hadist) Nabi Saw. Sebab, kata waliya-mawla itu sendiri memiliki beberapa makna dan tidak terbatas kepada makna yang telah disebutkan diatas. Kata waliya-mawla juga dapat bermakna “pemimpin” atau “yang memiliki hak dan kuasa mengatur serta mengawasi dalam segala urusan”[13]. Apakah makna yang terakhir ini tidak lebih tepat dibandingkan dengan dua atau tiga makna yang pertama? Yaitu; Rasulullah Saw sesungguhnya bersabda: “Barang siapa menjadikanku pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya”. Sekedar catatan bahwa Allamah Amini Ra didalam kitab Al Ghadirnya telah mengumpulkan serangkaian data-data terkait dengan hadist atau ucapan Rasulullah Saw seusai mendeklarasikan wilayah atau imamah Ali bin Abi Thalib As pada sabdanya yang terkenal; “…fa man kuntu mawlahu fa Aliyyun mawlahu…”, dalam hadist tersebut Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya: “Allah Maha besar atas tersempurnakannya agama dan tercukupkannya nikmat dan telah ridhanya Tuhan atas kerasulanku dan wilayah Ali setelahku[14].

Referensi:
[1]. Al Ghadir,Allamah Amini,Jilid 1 atau Gozide-i jame az Al Ghadir,Allamah Amini(Hasan Syafii Syahrudi),Hal: 41-42 dan Muhaadheraat fil Ilahiyaat,Ayatullah Subhani(Ali Rabbani Gulpaegani),Hal: 366-367.
[2]. Shi-e dar Islam,Allamah Thabathabai(Sayyed Hadi Husyru syahi),Hal: 163-165.
[3]. Velayat-e Faqih, Ayatullah Hadi Ma`rifat,Hal: 40.
[4]. Velayat-e Faqih;velayat-e feqahat va edalat, Ayatullah Jawadi Amuli,Hal: 122.
[5]. Ibid,Hal: 123-124.
[6]. Mabani-e ma`refat-e Dini,Muhammad Husein Zadeh,Hal: 17-19.
[7]. Tarjemeh va sharh-e Bab hadi asyr,Dr.Ali Syirwani,Hal: 154.
[8]. Q.S. Al-Baqarah : 124.
[9]. Fadak, Ayatullah Ridha Ustadzi,Hal: 255.
[10]. Dikalangan syi`ah ayat ini diyakini(secara ijma)turun ketika nabi sedang dalam perjalanan pulang dari mekkah menuju madinah seusai menunaikan ibadah haji,tepatnya didaerah yang dikenal dengan ghadir khum yang letaknya tidak jauh dari juhfah.Allamah Syaikh Abdul Husein Amini ra. didalam kitabnya Al Ghadir ,jilid 1,hal:438-424,mengutipkan sekitar 30 hadist(pendapat) dari kalangan ahlussunnah yang menegaskan bahwa ayat ini telah turun dalam perjalanan pulang nabi dari mekkah menuju madinah sebagaimana yang diyakini kalangan syi`ah,diantara tokoh-tokoh ahlussunnah yang dimaksud adalah : Thabari(w. 310),Hakim Hasakani-Abu al Qasim(w. 490),Abu al Qasim Ibnu Asakir(w. 571) bermazhab syafi`i,Fakhruddin Razi(w. 606) bermazhab syafi`i,Jalaluddin Suyuthi(w. 911) bermazhab syafi`i,Qhadi Sukani(w. 1250),Sayyed Syahabuddin Alusi-Bagdadi(w. 1270)bermazhab syafi`i,Syaikh Sulaiman Qundusi(w. 1293) bermazhab Hanafi,Syaikh Muhammad Abduh(w. 1323).(Lihat : Gozide-i jame az Al Ghadir,Allamah Amini(Hasan Syafii Syahrudi),Hal:64-67).
[11]. Q.S. An Najm : 3-4.
[12]. Kalam Islami, Jilid 2, Muhammad Saidi Mehr, Hal: 160.
[13]. Al Mufradat (Darul Ma`rifah,Beirut-Libanon), Raghib Isfahani,Hal: 533, Shamim-e Velayat, Ayatullah Jawadi Amuli(Sayyed Mahmud Shadiqi), Hal: 171-172 dan Aqaid Istidlali, Jilid 2, Ali Rabbani Gulpaegani, Hal: 155.
[14]. Aqaid-e Islami dar partu qur`an, hadist va akl, Ayatullah Subhani, Hal: 501.
___________________________________________

Benarkah Syiah mencela Para Sahabat?


Bagaimana dan dengan logika apa kita dapat menyamakan di antara seluruh sahabat dan menyebut keduanya adalah sahabat? Misalnya antara Malik bin Nuwairah dan orang yang membunuhnya dengan keji dan pada malam itu juga seranjang dengan istrinya! Sekali-kali tidak dapat dibenarkan peminum khamar seperti Walid bin Uqbah hanya karena statusnya sebagai sahabat kemudian kita bela. Atau menyokong dan membela yang menjadikan pemerintahan Islam seperti sebuah kekuasaan diktator dan membunuh orang-orang shaleh dalam umat dan mengangkat senjata berperang melawan imam dan khalifah sah (Ali bin Abi Thalib)? Apakah dapat dibenarkan kita memandang sama antara Ammar Yasir dan kepala kelompok pemberontak hanya karena keduanya sahabat padahal Rasulullah Saw bersabda: “Ammar akan dibunuh oleh kelompok tiran dan pemberontak.”.

Di antara perkara yang menjadi sasaran tudingan Syiah semenjak dahulu hingga kini (sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Syiah) adalah bahwa Syiah memendam dendam dan kusumat kepada sahabat. Tatkala kita mengkaji tudingan secara realistis dan jauh dari segala sikap puritan maka kita akan jumpai tudingan ini sama sekali jauh dari kenyataan yang ada. Lantaran Syiah sangat menghormati Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Bagaimana mungkin Syiah memendam kusumat kepada sahabat sementara mereka memandang sahabat sebagai penyebar syariat dan cahaya Tuhan untuk kemanusiaan? Mereka adalah sandaran dan pembela Rasulullah Saw. Orang-orang yang berjihad di jalan Allah! Bagaimana mungkin Syiah membenci mereka sementara Allah Swt memuji mereka dan berfirman tentang mereka, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, dan tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Fath [48]:29).

Mereka adalah orang-orang yang menolong Allah dan Rasul-Nya. Menghidupkan agama-Nya dan membangun dasar pemerintahan Islam serta mengeliminir jahiliyyah.[i].

Imam dan pemimpin kaum Syiah, Baginda Ali bersabda ihwal para sahabat Rasulullah Saw: “Aku telah melihat para sahabat Muhammad Saw, tetapi aku tak menemukan seseorang yang menyerupai mereka. Mereka mengawali hari dengan debu di rambut dan wajah (dalam kesukaran hidup) serta melewatkan malam dalam sujud dan berdiri dalam salat. Kadang-kadang mereka letakkan (sujudkan) dahi mereka, dan terkadang pipi mereka. Dengan ingatan akan kebangkitan, mereka nampak seakan berdiri di atas bara menyala. Nampak seakan di antara mata mereka ada tanda-tanda seperti lutut kambing, akibat sujud yang lama. Bilamana nama Allah disebutkan, air mata mereka mengalir deras hingga kerah baju mereka basah. Mereka gemetar karena takut akan hukuman dan harapan akan pahala, seperti pohon gemetar pada hari angin topan.”[ii].

Demikian juga, Baginda Ali As menandaskan, “Saudara-saudaraku yang mengambil jalan (yang benar) dan melangkah dalam kebenaran? Di manakah ‘Ammar? Di manakah Ibn at-Tayyihan? Di mana Dzusy-Syahadatain? Dan di manakah yang lain-lain seperti mereka di antara para sahabat tnereka yang telah membaiat sampai mati dan yang kepalanya (yang tertebas) dibawa kepada musuh yang keji? Kemudian Amirul Mukminin menggosokkan tangannya ke janggutnya yang mulia lalu menangis dalam waktu lama, kemudian ia melanjutkan: Wahai! saudara-saudaraku yang membaca Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum berdasarkan al-Qur’an, memikirkan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Tuhan kepada mereka dan menunaikannya, menghidupkan sunah dan menghancurkan bidah. Ketika mereka dipanggil untuk berjihad, mereka menyambut dan mempercayai pemimpin mereka lalu mengikutinya.”[iii].

Imam Sajjad As juga dalam Shahifah Sajjadiyah mendoakan para sahabat Rasulullah Saw, “Ya Allah! di antara penghuni bumi para pengikut rasul dan yang membenarkan mereka secara gaib ketika para pembangkang melawan mereka dengan pembohongan mereka merindukan para rasul dengan hakikat keimanan (tatkala orang-orang mendustakan dan menentangnya). Pada setiap zaman dan masa ketika Engkau mengutus seorang rasul memberikan petunjuk dan jalan kepada manusia sejak Adam sampai Muhammad Saw para imam pembawa petunjuk pemimpin ahli takwa sampaikan shalawat kepada mereka semua. Kenanglah mereka dengan ampunan dan keridhaan! Ya Allah! Khususnya para sahabat Muhammad yang menyertai Nabi dengan persahabatan sejati yang menanggung bala yang baik dalam membelanya menjawab seruannya ketika ia memperdengarkan hujjah risalahnya. Meninggalkan istri dan anak-anak untuk menegakkan kalimahnya. Memerangi bapak-bapak dan anak-anak untuk meneguhkan nubuwahnya dan memperoleh kemenangan karenanya. Mereka yang dipenuhi kecintaan kepadanya mengharapkan perdagangan yang tidak pernah merugi dalam mencintainya. Mereka yang ditinggalkan keluarga karena berpegang kepada talinya. Mereka yang diusir oleh kerabatnya ketika berlindung dalam naungan kekeluargaannya. Ya Allah! Jangan lupakan mereka apa yang telah mereka tinggalkan karena-Mu dan di jalan-Mu. Ridhoilah mereka dengan ridho-Mu. Karena telah mendorong manusia menuju kepada-Mu dan bersama rasul-Mu mereka menjadi para dai yang menyeru kepada-Mu. Balaslah dengan kebaikan pelarian mereka dan kepergian mereka dari kaumnya menuju-Mu. Meninggalkan kesenangan menuju kesempitan. Balaslah dengan kebaikan kepada mereka yang teraniaya karena menegakkan agama-Mu. Ya Allah! Sampaikan pahala terbaik kepada para pengikut mereka dalam kebaikan yang berkata, “Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman.” [iv].

Demikian juga para juris Syiah meyakini kedudukan dan derajat para sahabat. Syahid Shadr berkata, “Sahabat adalah manifestasi iman dan penerang, terbaik dan model orang shaleh terbaik bagi kemajuan umat Islam. Sejarah umat manusia tidak akan mengenang sebuah generasi dengan keyakinan lebih unggul, lebih utama, lebih jenius, lebih suci daripada para penolong yang dididik oleh nabi.”[v].

Benar kita memiliki perbedaan dengan Ahlusunnah. Hal itu dikarenakan kami membagi sahabat Rasulullah Saw dan orang-orang yang hidup dengannya dengan mengambil inspirasi dari ayat-ayat al-Qur’an menjadi beberapa bagian:
1. Kelompok orang-orang terdahulu: “Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Taubah [9]:100).
2. Kelompok yang memberikan baiat di bawah pohon: “Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui keimanan dan kejujuran yang ada dalam hati mereka. Oleh karena itu, Dia menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Qs. Al-Fath [48]:18).
3. Kelompok yang berinfak dan berjihad sebelum kemenangan: “Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sebelum tercapai kemenangan (dengan orang yang menginfakkannya setelah kemenangan tercapai). Mereka memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Tapi Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hadid [57]:10).


Sebagai kebalikan model-model utama dan pribadi-pribadi atraktif, al-Qur’an menyebutkan kelompok-kelompok lainnya yang sangat berseberangan secara diametral dengan model-model di atas:
1. Orang-orang munafik.[vi]
2. Orang-orang munafik yang tersembunyi dan Rasulullah Saw tidak mengenal mereka.[vii]
3. Orang-orang yang lemah iman dan sakit hatinya.[viii]
4. Orang-orang (lemah) yang mendengarkan dengan seksama ucapan-ucapan orang yang suka membuat fitnah.[ix]
5. Orang-orang yang di samping mengerjakan kebaikan pada saat yang sama juga mengerjakan keburukan.[x]
6. Orang-orang yang cenderung murtad.[xi]
7. Orang-orang fasik yang berbeda antara ucapan dan perbuatannya.[xii]
8. Orang-orang yang iman belum lagi masuk ke dalam hati-hati mereka.[xiii] Dan sifat-sifat tercela lainnya yang disebutkan sebagian dari mereka.


Di samping itu, di antara para sahabat terdapat orang-orang yang bermaksud membunuh Rasulullah Saw pada sebuah malam yang dilakukan oleh Uqbah.

Karena itu kita dapat menyimpulkan pandangan Syiah terkait dengan sahabat: Dalam mazhab Ahlulbait As sahabat seperti orang lain artinya di antara mereka terdapat orang yang adil dan tidak adil. Dalam pandangan Syiah tidak semua sahabat itu adil. Sepanjang perilaku dan perbuatan Rasulullah Saw tidak menjelma dalam kehidupan mereka maka status mereka sebagai sahabat tidak memiliki peran dalam keadilannya.

Dengan demikian, kriteria dan pakemnya adalah perilaku dan perbuatan praktis. Barang siapa yang perbuatan dan perilakunya sejalan dengan kriteria dan pakem agama Islam maka ia adalah seorang yang adil. Selainnya tidak adil. Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa pandangan ini selaras dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.

Bagaimana dan dengan logika apa kita dapat menyamakan di antara seluruh sahabat dan menyebut keduanya adalah sahabat? Misalnya antara Malik bin Nuwairah dan orang yang membunuhnya dengan keji dan pada malam itu juga seranjang dengan istrinya! Sekali-kali tidak dapat dibenarkan peminum khamar seperti Walid bin Uqbah hanya karena statusnya sebagai sahabat kemudian kita bela. Atau menyokong dan membela yang menjadikan pemerintahan Islam seperti sebuah kekuasaan diktator dan membunuh orang-orang shaleh dalam umat dan mengangkat senjata berperang melawan imam dan khalifah sah (Ali bin Abi Thalib)? Apakah dapat dibenarkan kita memandang sama antara Ammar Yasir dan kepala kelompok pemberontak hanya karena keduanya sahabat padahal Rasulullah Saw bersabda: “Ammar akan dibunuh oleh kelompok tiran dan pemberontak.”[xiv].

Apakah ada orang yang berakal akan berbuat demikian? Dengan asumsi kita melaukan hal seperti ini apakah masih ada yang tersisa dari Islam tatkala kita senantiasa berupaya menjustifikasi perbuatan-perbuatan para pejuangnnya dan orang-orang tiran hanya karena mereka sahabat?

Pada hakikatnya Islam lebih mulia dan agung dari tindakan ingin mencampur aduk dengan kejahatan orang-orang jahat dan menyimpang pada setiap ruang dan waktu!! Inilah keyakinan kami. Kami tidak berbasa-basi dengan siapa pun. Lantaran kebenaran lebih layak untuk dijelaskan dan diikuti.

Kami ingin bertanya kepada saudara-saudara Sunni apakah kalian memandang sama antara Khalifah Ketiga Utsman dan orang yang membunuhnya?

Apabila keduanya adalah sama lalu mengapa serangan banyak dilancarkan kepada Ali As dan dengan dalih menuntut darah Utsman api peperangan Jamal dan Shiffin bisa meletus? Dan apabila dua kelompok ini tidak sama, orang-orang yang menentang dan orang-orang yang mendukung dalam pembunuhanya – apatah lagi orang-orang yang membunuhnya – mereka diperkenalkan sebagai orang-orang yang keluar aturan dan syariat maka hal itu adalah tiadanya keadilan pada sahabat! Lantas mengapa ada serangan kepada Syiah sementara pandangan mereka sama dengan pandangan yang lain?

Karena itu, dalam pandangan Syiah kriterianya adalah keadilan, berpegang teguh kepada sirah Rasulullah Saw dan menjalankan sunnah beliau semasa hidupnya dan pasca wafatnya. Barang siapa yang berada di jalan ini maka, dalam pandangan Syiah, ia harus dihormati dan jalannya diikuti serta didoakan semoga rahmat Tuhan baginya melimpah dan memohon supaya ditinggikan derajatnya.

Namun orang-orang yang tidak berada di jalan ini kami tidak memandangnya sebagai orang adil. Sebagai contoh dua orang sahabat mengusung lasykar disertai dengan salah seorang istri Rasulullah Saw lalu berhadap-hadapan dengan khalifah legal Rasulullah Saw Ali bin Abi Thalib As menghunus pedang di hadapannya di perang Jamal.

Mereka memulai perang yang menelan ribuan korban jiwa kaum Muslimin. Izinkan kami bertanya apakah angkat senjata dan menumpahkan darah orang-orang tak berdosa ini dapat dibenarkan? Atau orang lain yang disebut sebagai sahabat Rasulullah Saw dan menghunus pedang pada sebuah peperangan yang disebut sebagai Shiffin. Kami berkata perbuatan ini bertentangan dengan syariat dan memberontak kepada imam dan khalifah legal. Perbuatan-perbuatan ini tidak dapat diterima dengan membuat justifikasi bahwa mereka adalah sahabat. Demikianlah poin asasi perbedaan pandangan antara Syiah dan yang lainnya. Jelas bahwa di sini yang mengemuka bukan pembahasan mencela dan melaknat sahabat.

Referensi:
[i]. ‘Adâlah Shahâbi, hal. 14, Majma’ Jahani Ahlulbait As.
[ii]. Nahj al-Balâghah, hal. 144, Khutbah 97.
[iii]. Nahj al-Balâghah, hal. 164, Khutbah 97, riset oleh Subhi Shaleh.
[iv]. Shahifah Sajjadiyah, hal. 42, Doa Imam untuk Para Pengikut Para Nabi.
[v]. Majmu’e Kâmilah, No. 11, Pembahasan ihwal Wilayah, hal. 48.
[vi]. “Dan infakkanlah sebagian rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata, “Ya Tuhan-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku barang sekejap sehingga aku dapat bersedekah dan termasuk orang-orang yang saleh?” (Qs. Al-Munafiqun [63]:10).
[vii]. “Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah ada sekelompok orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (Qs. Al-Taubah [9]:101).
[viii] . “(Ingatlah) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawah (kota)mu (sehingga mereka mengepung kota Madinah), dan ketika penglihatan(mu) terbelalak (lantaran takut) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang yang beriman dan mereka diguncangkan dengan guncangan yang sangat.” (Qs. Al-Ahzab [32]:10-11).
[ix]. “Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu. Karena itu, mereka selalu bimbang dalam keragu-raguan mereka. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu. Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka. Maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal (anak-anak kecil, orang-orang tua, dan orang-orang yang sedang menderita penyakit) itu.” Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah bagimu selain kerusakan dan keraguan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu untuk menyulut fitnah (dan kekacauan) di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang (lemah iman) yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Taubah [9]:45-47).
[x]. “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Taubah [9]:102).
[xi]. “Kemudian setelah kamu berduka cita, Allah menurunkan kepadamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan darimu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri (dan tidak mengantuk); mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata, “Apakah kita memiliki suatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?” Katakanlah, “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya berada di tangan Allah.” Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata, “Sekiranya kita memiliki suatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah, “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Qs. Ali Imran [3]:154.
[xii]. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan, lalu kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujurat [49]:6); “Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik? Mereka tidak sama.” (Qs. Al-Sajdah [32]:18).
[xiii]. Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat [49]:14).
[xiv]. Silahkah lihat, Fushul al-Muhimmah, Abdulhusain Syarafuddin, hal. 189.

(Syiahali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: