Pesan Rahbar

Home » » Bukti Shahih Mazhab Syi’ah Memuji Sahabat Nabi

Bukti Shahih Mazhab Syi’ah Memuji Sahabat Nabi

Written By Unknown on Sunday, 24 August 2014 | 21:25:00

Para Sahabat Nabi Yang Dipuji oleh Imam Ahlul Bait [‘alaihis salaam].
Terdapat sebagian riwayat dalam mazhab Syi’ah yang ternyata memuji dan memuliakan para sahabat Nabi. Hal ini meruntuhkan anggapan dari para pembenci Syi’ah [baik itu dari kalangan nashibiy atau selainnya] bahwa Syi’ah mengkafirkan para sahabat Nabi.
Riwayat Pertama:

حدثنا أحمد بن زياد بن جعفر الهمداني رضي الله عنه قال: حدثنا علي ابن إبراهيم بن هاشم، عن أبيه، عن محمد بن أبي عمير، عن هشام بن سالم، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله اثني عشر ألفا ثمانية آلاف من المدينة، و ألفان من مكة، وألفان من الطلقاء، ولم ير فيهم قدري ولا مرجي ولا حروري ولا معتزلي، ولا صحاب رأي، كانوا يبكون الليل والنهار ويقولون: اقبض أرواحنا من قبل أن نأكل خبز الخمير

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ziyaad bin Ja’far Al Hamdaaniy [radliyallaahu‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ibraahiim bin Haasyim dari Ayahnya, dari Muhammad bin Abi ‘Umair dari Hisyaam bin Saalim, dari Abu ‘Abdillah [‘alaihis-salaam] “Para Sahabat Rasulullah [shallallaahu‘alaihi wa aalihi] berjumlah dua belas ribu orang, yaitu delapan ribu orang berasal dari Madiinah, dua ribu orang dari Makkah dan dua ribu orang dari kalangan Thulaqaa’. Tidak ada di diantara mereka yang mempunyai pemikiran Qadariy, Murji’, Haruriy, Mu’taziliy, dan Ashabur Ra’yu. Mereka senantiasa menangis pada malam dan siang hari, seraya berdoa “cabutlah nyawa kami sebelum kami sempat memakan roti adonan” [Al Khishaal Syaikh Ash Shaaduq hal 639-640 no 15].

Riwayat Syaikh Ash Shaaduq di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Ahmad bin Ziyaad bin Ja’far Al Hamdaaniy, ia seorang yang tsiqat fadhl sebagaimana yang dinyatakan Syaikh Shaduq [Kamal Ad Diin Syaikh Shaduq hal 369].
  2. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  3. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  4. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  5. Hisyaam bin Saalim meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] ia tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 434 no 1165].

Riwayat Kedua:

أخبرنا محمد بن محمد قال أخبرنا أبو القاسم جعفر بن محمد بن قولويه القمي رحمهالله قال حدثني أبي قال حدثنا سعد بن عبد الله عن أحمد بن محمد بن عيسى عن الحسن بن محبوب عن عبد الله بن سنان عن معروف بن خربوذ  عن أبي جعفر محمد بن علي الباقر عليهالسلام قال صلى أمير المؤمنين عليهالسلام بالناس الصبح بالعراق ، فلما انصرف وعظهم ، فبكى وأبكاهم من خوف الله ( تعالى ) ، ثم قال أما والله لقد عهدت أقواما على عهد خليلي رسول الله صلىاللهعليهوآله ، وإنهم ليصبحون ويمشون شعثاء غبراء خمصاء بين أعينهم كركب المعزى ، يبيتون لربهم سجدا وقياما ، يراوحون بين أقدامهم وجباههم ، يناجون ربهم ويسألونه فكاك رقابهم من النار ، والله لقد رأيتهم مع ذلك وهم جميع مشفقون منه خائفون

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Muhammad yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih Al Qummiy [rahimahullah] yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari Hasan bin Mahbuub dari ‘Abdullah bin Sinaan dari Ma’ruf bin Kharrabudz dari Abu Ja’far Muhammad bin Aliy Al Baaqir [‘alaihis salaam] yang berkata Amirul Mukminin [‘alaihis salaam] shalat bersama orang-orang di waktu shubuh di Iraq, ketika Beliau memberi nasehat kepada mereka maka Beliau menangis dan mereka juga menangis karena takut kepada Allah SWT. Kemudian Beliau berkata “Demi Allah sungguh aku telah hidup bersama kaum di masa kekasihku Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] dan sesungguhnya mereka di waktu pagi mereka berjalan dengan kusut dan berdebu, nampak diantara kedua mata mereka bekas seperti lutut kambing [karena sujud], dan di malam hari mereka sujud dan berdiri [menghadap Allah] bergantian antara kaki dan dahi mereka, mereka bermunajat kepada Tuhan mereka, meminta Kepada-Nya agar dijauhkan dari api neraka, Demi Allah sungguh aku melihat mereka dalam keadaan demikian dan mereka selalu berhati-hati dan takut kepada-Nya [Al Amaliy Ath Thuusiy hal 102].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Muhammad bin Muhammad adalah Muhammad bin Muhammad bin Nu’man Syaikh Mufid, ia termasuk diantara guru-guru Syi’ah yang mulia dan pemimpin mereka, dan orang yang paling terpercaya di zamannya, dan paling alim diantara mereka [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 248 no 46].
  2. Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih Al Qummiy termasuk orang yang tsiqat dan mulia dalam hadis dan faqih [Rijal An Najasyiy hal 123 no 318].
  3. Muhammad bin Quluwaih ayahnya Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 570].
  4. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
  5. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351].
  6. Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354].
  7. ‘Abdullah bin Sinaan seorang yang tsiqat jaliil tidak ada celaan sedikitpun terhadapnya, ia meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 214 no 558].
  8. Ma’ruf bin Kharrabudz, Al Kasyiy menyebutkan bahwa ia termasuk ashabul ijma’ [enam orang yang paling faqih] diantara para fuqaha dari kalangan sahabat Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal Al Kasyiy 2/507]. Al Majlisiy menyatakan Ma’ruf bin Kharrabudz tsiqat [Al Wajiizah no 1897].
Riwayat Ath Thuusiy di atas menunjukkan bahwa Imam Ali [‘alaihis salaam] memuji para sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa mereka orang-orang beriman yang rajin beribadah.

Riwayat Ketiga:

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي نجران، عن عاصم بن حميد، عن منصور بن حازم قال: قلت لابي عبدالله عليه السلام: ما بالي أسألك عن المسألة فتجيبني فيها بالجواب، ثم يجيئك غيري فتجيبه فيها بجواب آخر؟ فقال: إنا نجيب الناس على الزيادة والنقصان، قال: قلت: فأخبرني عن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله صدقوا على محمد صلى الله عليه وآله أم كذبوا؟ قال: بل صدقوا، قال: قلت: فما بالهم اختلفوا؟ فقال: أما تعلم أن الرجل كان يأتي رسول الله صلى الله عليه وآله فيسأله عن المسألة فيجيبه فيها بالجواب ثم يجيبه بعد ذلك ما ينسخ ذلك الجواب، فنسخت الاحاديث بعضها بعضا

‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Abi Najraan dari ‘Aashim bin Humaid dari Manshuur bin Haazim yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] “Bagaimana bisa ketika aku bertanya suatu permasalahan maka engkau menjawabku dengan suatu jawaban kemudian orang lain datang kepadamu dan engkau menjawab dengan jawaban yang lain?. Maka Beliau berkata “Sesungguhnya kami menjawab manusia dengan kalimat yang lebih dan kalimat yang kurang”. Aku berkata “maka kabarkanlah kepadaku tentang para sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi], apakah mereka seorang yang jujur atas Muhammad [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] ataukah mereka berdusta?”. Beliau berkata “bahkan mereka jujur”. Aku berkata “maka mengapa mereka berselisih”. Beliau berkata “tahukah engkau bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] dan bertanya kepada Beliau suatu permasalahan maka Beliau menjawabnya dengan suatu jawaban kemudian setelah itu Beliau menjawab dengan jawaban yang menasakh jawaban yang pertama maka itulah sebagian hadis menasakh sebagian hadis lain [Al Kafiy Al Kulainiy 1/65 no 3].

Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
  3. ‘Abdurrahman bin ‘Abi Najraan Abu Fadhl seorang yang tsiqat tsiqat mu’tamad apa yang ia riwayatkan [Rijal An Najasyiy hal 235 no 622]
  4. ‘Aashim bin Humaid Al Hanaath seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 301 no 821]
  5. Manshuur bin Haazim Abu Ayub Al Bajalliy seorang tsiqat shaduq meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah dan Abu Hasan Musa [‘alaihimus salaam] [Rijal An Najasyiy hal 413 no 1101]
Riwayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] telah memuji para sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa mereka jujur atas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya saja perbedaan yang terjadi di antara mereka para sahabat akibat sebagian mereka meriwayatkan hadis yang dinasakh oleh hadis sahabat lain.

Riwayat Keempat:

حدثنا أبي رضي الله عنه قال: حدثنا سعد بن عبد الله، عن أحمد بن محمد ابن عيسى، عن أحمد بن محمد بن أبي نصر البزنطي، عن عاصم بن حميد، عن أبي بصير، عن أبي جعفر عليه السلام قال: سمعته يقول: رحم الله الأخوات من أهل الجنة فسماهنأسماء بنت عميس الخثعمية وكانت تحت جعفر بن أبي طالب عليه السلام، وسلمى بنت عميس الخثعمية وكانت تحت حمزة، وخمس من بني هلال: ميمونة بنت الحارث كانت تحت النبي صلى الله عليه وآله، وأم الفضل عند العباس اسمها هند، والغميصاء أم خالد بن الوليد، وعزة كانت في ثقيف الحجاج بن غلاظ، وحميدة ولم يكن لها عقب

Telah menceritakan kepada kami Ayahku [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr Al Bazanthiy dari ‘Ashim bin Humaid dari Abi Bashiir dari Abi Ja’far [‘alaihis salaam], [Abu Bashiir] berkata aku mendengar Beliau mengatakan semoga Allah memberikan rahmat pada saudari-saudari ahli surga. Nama-nama mereka adalah Asma’ binti Umais Al Khats’amiyyah istri Ja’far bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] dan Salma binti Umais Al Khats’amiyyah istri Hamzah, dan lima orang dari bani Hilaal, Maimunah binti Al Haarits istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi], Ummu Fadhl istri ‘Abbas dan namanya adalah Hind, Al Ghamiishaa’ ibu Khaalid bin Waalid, ‘Izzah dari Tsaqiif istri Hajjaaj bin Ghalaazh, dan Hamiidah ia tidak memiliki anak [Al Khishaal Syaikh Ash Shaduuq hal 363 no 55].

Riwayat Syaikh Ash Shaduuq di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya.
  1. Ayah Syaikh Shaduq adalah ‘Aliy bin Husain bin Musa bn Babawaih Al Qummiy disebutkan oleh An Najasyiy Syaikh yang faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684].
  2. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
  3. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351].
  4. Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr Al Bazanthiy seorang yang tsiqat jaliil qadr [Rijal Ath Thuusiy hal 332].
  5. ‘Aashim bin Humaid Al Hanaath seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 301 no 821].
  6. Abu Bashiir adalah Laits bin Bakhtariy Al Muradiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 476].
Riwayat Syaikh Ash Shaduuq di atas menunjukkan bahwa terdapat para sahabat wanita yang dikatakan sebagai ahli surga diantaranya adalah Asma binti Umais [radiallahu ‘anha] dan Maimunah binti Al Harits Ummul Mukminin [radiallahu ‘anha].

Riwayat Kelima:

علي بن إبراهيم عن أبيه عن ابن أبي عمير عن الحسين بن عثمان عن ذريح قال سمعت أبا عبد الله (عليه السلام) يقول قال علي بن الحسين عليهما السلام إن أبا سعيد الخدري كان من أصحاب رسول الله (صلى الله عليه وآله) وكان مستقيما فنزع ثلاثة أيام فغسله أهله ثم حمل إلى مصلاه فمات فيه

‘Aliy bin Ibrahiim dari Ayahnya dari Ibnu Abi ‘Umair dari Husain bin ‘Utsman dari Dzuraih yang berkata aku mendengar Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan Aliy bin Husain [‘alaihimas salaam] berkata bahwa Abu Sa’id Al Khudri termasuk sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] dan ia seorang yang lurus, ia menderita sakit selama tiga hari maka keluarganya memandikannya kemudian membawanya ke tempat shalat maka ia mati dalam keadaan seperti itu [Al Kafiy Al Kulainiy 3/125 no 1].

Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
  3. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  4. Husain bin ‘Utsman bin Syarik seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu Abdullah [‘alaihis salaam] dan Abu Hasan [‘alaihis salaam], dan telah meriwayatkan darinya Muhammad bin Abi ‘Umair [Rijal An Najasyiy hal 53 no 119].
  5. Dzuraih Al Muhaaribiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 127].
Riwayat di atas menunjukkan bahwa Abu Sa’id Al Khudriy [radiallahu ‘anhu] termasuk sahabat yang terpuji kedudukannya dalam pandangan Imam Ahlul Bait.
.
.
Riwayat Keenam:

قال معروف بن خربوذ فعرضت هذا الكلام على أبي جعفر عليه السلام فقال صدق أبو الطفيل رحمه الله هذا الكلام وجدناه في كتاب علي عليه السلام وعرفناه

Ma’ruf bin Kharrabudz berkata aku memberitahukan perkataan ini kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] maka Beliau berkata “benar Abu Thufail, rahmat Allah atasnya, perkataan ini kami temukan dalam kitab Aliy [‘alaihis salaam] dan kami mengenalnya” [Al Khishaal Syaikh Ash Shaduuq hal 67 no 98].

Riwayat Syaikh Ash Shaduuq di atas adalah penggalan riwayat panjang dimana Ma’ruf bin Kharrabudz meriwayatkan hadis dari Abu Thufa’il dari Huzaifah [radiallahu ‘anhu] mengenai sabda Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam]. Kemudian di akhir hadis Ma’ruf bin Kharrabudz menanyakan hadis yang ia dengar dari Abu Thufail [radiallahu ‘anhu] tersebut kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam]. Sanad lengkap riwayat tersebut hingga Ma’ruf bin Kharrabudz adalah:

حدثنا محمد بن الحسن بن أحمد بن الوليد رضي الله عنه قال حدثنا محمد بن الحسن الصفار، عن محمد بن الحسين بن أبي الخطاب، ويعقوب بن يزيد جميعا، عن محمد بن أبي عمير، عن عبد الله بن سنان، عن معروف بن خربوذ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Waliid [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari Muhammad bin Husain Abil Khaththaab dan Ya’qub bin Yaziid keduanya dari Muhammad bin Abi ‘Umair dari ‘Abdullah bin Sinaan dari Ma’ruf bin Kharrabudz.

Riwayat ini sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan mengenai para perawinya,
  1. Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid adalah Syaikh Qum, faqih mereka, yang terdahulu dan terkemuka, seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 383 no 1042].
  2. Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar ia terkemuka di Qum, tsiqat, agung kedudukannya [Rijal An Najasyiy hal 354 no 948].
  3. Muhammad bin Husain bin Abil Khaththaab seorang yang mulia, agung kedudukannya, banyak memiliki riwayat, tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 334 no 897].
  4. Ya’qub bin Yazid bin Hammaad Al Anbariy seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215].
  5. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
  6. ‘Abdullah bin Sinaan seorang yang tsiqat jaliil tidak ada celaan sedikitpun terhadapnya, ia meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 214 no 558].
  7. Ma’ruf bin Kharrabudz, Al Kasyiy menyebutkan bahwa ia termasuk ashabul ijma’ [enam orang yang paling faqih] diantara para fuqaha dari kalangan sahabat Abu Ja’far [‘alaihis salaam] dan Abu Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal Al Kasyiy 2/507]. Al Majlisiy menyatakan Ma’ruf bin Kharrabudz tsiqat [Al Wajiizah no 1897].
Riwayat Syaikh Ash Shaduuq di atas menunjukkan pujian Abu Ja’far [‘alaihis salaam] kepada Abu Thufail, dan ia termasuk sahabat Nabi, Syaikh Ath Thuusiy menyebutkan nama Abu Thufail dalam kitab Rijal-nya [Rijal Ath Thuusiy hal 44] dan Syaikh Ath Thuusiy menyebutkan namanya tersebut dalam bab;

باب من روي عن النبي صلى الله عليه وآله من الصحابة

Bab, orang-orang yang meriwayatkan dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wa’alihi] termasuk kalangan sahabat-Nya.

Riwayat ini dan riwayat-riwayat sebelumnya menjadi bukti yang menyatakan bahwa hadis semua sahabat murtad kecuali tiga adalah hadis mungkar karena bertentangan dengan hadis shahih di sisi mazhab Syi’ah

Kesimpulan:
Tuduhan bahwa mazhab Syi’ah mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi adalah tuduhan yang tidak benar. Dalam kitab mazhab Syi’ah juga terdapat pujian terhadap para sahabat baik secara umum ataupun terkhusus sahabat tertentu. Walaupun memang terdapat juga riwayat yang memuat celaan terhadap sahabat tertentu. Perkara seperti ini juga dapat ditemukan dalam riwayat Ahlus Sunnah yaitu terdapat berbagai hadis shahih yang juga mencela sebagian sahabat.

Tambahan:

Nabi SAW bilang : “Memisahkan Diri Dari Ali Berarti Memisahkan Diri Dari Nabi SAW”… Jadi jelaslah kedudukan Sahabat Yang Tidak Mau Membai’at Imam Ali Pasca Wafat Nabi SAW, Apalagi Aisyah dan Muawiyah Yang Memerangi Imam Ali.

Kedudukan Hadis “Memisahkan Diri Dari Ali Berarti Memisahkan Diri Dari Nabi SAW”.

Dalam tulisan kali ini akan dibahas contoh lain kesinisan salafy dalam menyikapi hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Hadis ini termasuk salah satu hadis yang menjadi korban syiahphobia yang menjangkiti para ulama.

حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قثنا بن نمير قثنا عامر بن السبط قال حدثني أبو الجحاف عن معاوية بن ثعلبة عن أبي ذر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يا علي انه من فارقني فقد فارق الله ومن فارقك فقد فارقني

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Amir bin As Sibth yang berkata telah menceritakan kepadaku Abul Jahhaf dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Wahai Ali, siapa yang memisahkan diri dariKu maka dia telah memisahkan diri dari Allah dan siapa yang memisahkan diri dariMu maka dia telah memisahkan diri dariKu”.

Hadis dengan sanad diatas diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Fadhail As Shahabah no 962. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak no 4624 dan no 4703, Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1431 biografi Muawiyah bin Tsa’labah, Ibnu Ady dalam Al Kamil 3/82 dan Al Bazzar dalam Musnad Al Bazzar no 4066. Berikut sanad riwayat Al Bazzar,

حدثنا علي بن المنذر وإبراهيم بن زياد قالا نا عبد الله بن نمير عن عامر بن السبط عن أبي الجحاف داود عن أبي عوف عن معاوية بن ثعلبة عن أبي ذر رضي الله عنه قال قال رسول الله لعلي  يا علي من فارقني فارقه الله ومن فارقك يا علي فارقني


Telah menceritakan kepada kami Ali bin Mundzir dan Ibrahim bin Ziyad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair dari Amir bin As Sibth dari Abul Jahhaf Dawud bin Abi Auf dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “Wahai Ali siapa yang memisahkan diri dariKu maka dia telah memisahkan diri dari Allah dan siapa yang mmisahkan diri dariMu Ali maka dia telah memisahkan diri dariKu”.

Kedudukan Hadis.
Hadis ini sanadnya shahih, telah diriwayatkan oleh para perawi terpercaya sebagaimana yang dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 9/184 no 14771 setelah membawakan hadis Abu Dzar RA di atas

رواه البزار ورجاله ثقات

Hadis riwayat Al Bazzar dan para perawinya tsiqat.

Al Hakim telah mnshahihkan hadis ini dalam kitabnya Al Mustadrak no 4624 dan memang begitulah keadaannya. Berikut keterangan mengenai para perawi hadis tersebut
  • Ali bin Mundzir disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 7 no 627 bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, An Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ibnu Numair. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/703 memberikan predikat shaduq padahal ia sebenarnya orang yang tsiqah. Oleh karena itu Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4803 menyatakan Ali bin Mundzir tsiqat.
  • Abdullah bin Numair, disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 6 no 110 bahwa ia telah dinyatakan tsiqat oleh para ulama seperti Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban dan Al Ajli. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/542 menyatakan ia tsiqah.
  • Amir bin As Sibth atau Amir bin As Simth, Ibnu Hajar menuliskan biografinya dalam At Tahdzib juz 5 no 108 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Sa’id, Ibnu Hibban, An Nasa’i dan Ibnu Ma’in berkata “shalih”. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/461 menyatakan ia tsiqah.
  • Abul Jahhaf namanya Dawud bin Abi Auf. Ibnu Hajar menuliskan biografinya dalam At Tahdzib juz 3 no 375 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Abu Hatim berkata “hadisnya baik” dan An Nasa’i berkata “tidak ada masalah dengannya”. Ibnu Syahin telah memasukkan Abul Jahhaf sebagai perawi tsiqah dalam kitabnya Tarikh Asma’ Ats Tsiqat no 347. Ibnu Ady telah mengkritik Abul Jahhaf karena ia banyak meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait dan tentu saja kritikan seperti ini tidak beralasan sehingga pendapat yang benar Abul Jahhaf seorang yang tsiqah.
  • Muawiyah bin Tsa’labah, ia seorang tabiin yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkan namanya dalam Ats Tsiqat juz 5 no 5480 seraya menegaskan bahwa ia meriwayatkan hadis dari Abu Dzar dan telah meriwayatkan darinya Abul Jahhaf. Al Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1431 seraya membawakan sanad hadis di atas dan tidak sedikitpun Bukhari memberikan cacat atau jarh pada Muawiyah bin Tsa’labah dan hadis yang diriwayatkannya. Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 8/378 no 1733 menyebutkan bahwa Muawiyah bin Tsa’labah meriwayatkan hadis dari Abu Dzar dan telah meriwayatkan darinya Abul Jahhaf Dawud bin Abi Auf. Abu Hatim sedikitpun tidak memberikan cacat atau jarh padanya. Adz Dzahabi memasukkan nama Muawiyah bin Tsa’labah dalam kitabnya Tajrid Asma’ As Shahabah no 920 dimana ia mengutip Al Ismaili bahwa Muawiyah bin Tsa’labah seorang sahabat Nabi, tetapi Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 6/362 no 8589 menyatakan bahwa Muawiyah bin Tsa’labah seorang tabiin. Tidak menutup kemungkinan kalau Muawiyah bin Tsa’labah seorang sahabat atau jika bukan sahabat maka ia seorang tabiin. Statusnya sebagai tabiin dimana tidak ada satupun yang memberikan jarh terhadapnya dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat sudah cukup sebagai bukti bahwa ia seorang tabiin yang tsiqat.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat sehingga tidak diragukan lagi kalau hadis tersebut shahih. Sayangnya para pendengki tidak pernah puas untuk membuat syubhat-syubhat untuk meragukan hadis tersebut seolah hati mereka tidak rela dengan keutamaan Imam Ali yang ada pada hadis tersebut. Mari kita lihat syubhat salafiyun seputar hadis ini.

Syubhat Salafy Yang Cacat.
Syaikh Al Albani memasukkan hadis ini dalam kitabnya Silsilah Ahadits Ad Dhaifah no 4893 dan berkata bahwa hadis ini mungkar. Pernyataan beliau hanyalah mengikut Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak hadis no 4624 dan Mizan Al I’tidal no 2638 yang berkata “hadis mungkar”. Seperti biasa perkataan ini muncul dari penyakit syiahphobia yang menjangkiti mereka, seolah mereka tidak rela dengan keutamaan Imam Ali, tidak rela kalau hadis ini dijadikan hujjah oleh kaum Syiah, tidak rela kalau keutamaan Imam Ali melebihi semua sahabat yang lain. Apa dasarnya hadis di atas disebut mungkar?. Silakan lihat, adakah kemungkaran dalam hadis di atas. Adakah isi hadis di atas mengandung suatu kemungkaran?. Apakah keutamaan Imam Ali merupakan suatu kemungkaran?. Sungguh sangat tidak bernilai orang yang hanya berbicara mungkar tanpa menyebutkan alasan dan dimana letak kemungkarannya. Begitulah yang terjadi pada Adz Dzahabi dan diikuti oleh Syaikh Al Albani, mereka hanya seenaknya saja menyebut hadis tersebut mungkar. Tentu saja jika suatu hadis disebut mungkar maka akan dicari-cari kelemahan pada sanad hadis tersebut.

Syaikh Al Albani melemahkan sanad hadis ini karena Muawiyah bin Tsa’labah bahwa ia hanya dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban sedangkan Abu Hatim dan Bukhari tidak memberikan komentar yang menta’dil ataupun yang mencacatnya. Memang bagi salafyun tautsiq Ibnu Hibban yang menyendiri tidaklah berharga dengan alasan Ibnu Hibban sering menyatakan tsiqah para perawi majhul. Sayang sekali alasan ini tidak bisa dipukul rata seenaknya. Muawiyah bin Tsa’labah tidak diragukan seorang tabiin dimana Al Hakim berkata tentang tabiin dalam Ma’rifat Ulumul Hadis hal 41;

فخير الناس قرناً بعـد الصحـابة من شـافه أصحـاب رسول الله صلى الله عليه وسلّم، وحفظ عنهم الدين والسنن

Sebaik-baik manusia setelah sahabat adalah mereka yang bertemu langsung dengan sahabat Rasulullah SAW, memelihara dari mereka agama dan sunnah.

Jadi kalau seorang tabiin tidak dinyatakan cacat oleh satu orang ulamapun bahkan para ulama semisal Al Bukhari dan Abu Hatim menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan cacatnya maka tautsiq Ibnu Hibban dapat dijadikan hujjah, artinya tabiin tersebut seorang yang tsiqah.

Mari kita lihat seorang perawi yang akan menggugurkan kaidah salafy yang seenaknya merendahkan tautsiq Ibnu Hibban, dia bernama Ishaq bin Ibrahim bin Nashr. Ibnu Hajar menyebutkan keterangan tentangnya dalam At Tahdzib juz 1 no 409. Disebutkan oleh Ibnu Hajar bahwa Ishaq bin Ibrahim adalah perawi Bukhari dan hanya Bukhari yang meriwayatkan hadis darinya. Tidak ada satupun ulama yang menta’dil beliau kecuali Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Bahkan Al Bukhari yang menuliskan biografi Ibrahim bin Ishaq dalam Tarikh Al Kabir juz 1 no 1212 hanya berkata:

إسحاق بن إبراهيم بن نصر أبو إبراهيم سمع أبا أسامة

Ishaq bin Ibrahim bin Nashr Abu Ibrahim mendengar hadis dari Abu Usamah.

Adakah dalam keterangan Bukhari di atas ta’dil kepada Ishaq bin Ibrahim?. Tidak ada dan tentu berdasarkan kaidah salafy yang menganggap tautsiq Ibnu Hibban tidak bernilai maka Ishaq bin Ibrahim itu majhul dan hadisnya cacat. Tetapi bertolak belakang dengan logika salafy itu justru Ishaq bin Ibrahim dijadikan hujjah oleh Bukhari dalam kitabnya Shahih Bukhari.

Seperti biasa ternyata syaikh kita satu ini telah menentang dirinya sendiri. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits As Shahihah no 680 telah memasukkan hadis yang di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Sa’id Al Ghifari yang hanya dita’dilkan oleh Ibnu Hibban bahkan Syaikh mengakui kalau Abu Hatim dalam Jarh Wat Ta’dil hanya menyebutkan biografinya tanpa memberikan komentar jarh ataupun ta’dil. Dan yang paling lucunya Syaikh Al Albani mengakui kalau ia menguatkan hadis tersebut karena Abu Sa’id Al Ghifari adalah seorang tabiin. Sungguh kontradiksi syaikh kita satu ini. Mengapa sekarang di hadis Abu Dzar yang berisi keutamaan Imam Ali Syaikh mencampakkan metodenya sendiri dan bersemangat untuk mendhaifkan hadis tersebut. Apa masalahnya wahai syaikh?

Selain itu Syaikh Al Albani juga menyebutkan syubhat yang lain yaitu ia melemahkan hadis ini karena Abul Jahhaf Dawud bin Abi Auf walaupun banyak yang menta’dilkan Abul Jahhaf, syaikh Al Albani mengutip perkataan Ibnu Ady seperti yang tertera dalam Al Mizan no 2638;

ابن عدى فقال  ليس هو عندي ممن يحتج به  شيعي  عامة ما يرويه في فضائل أهل البيت

Ibnu Ady berkata “Menurutku ia bukan seorang yang dapat dijadikan hujjah, seorang syiah dan kebanyakan hadis yang diriwayatkannya adalah tentang keutamaan Ahlul Bait.

Bagaimana mungkin Syaikh mengambil perkataan Ibnu Ady dan meninggalkan Ibnu Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim dan An Nasa’i. Seperti yang kami katakan sebelumnya jarh Ibnu Ady diatas tidak bernilai sedikitpun karena alasan seperti itu tidak dibenarkan. Bagaimana mungkin seorang perawi hanya karena ia syiah atau hanya karena ia meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul bait maka hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah. Apa namanya itu kalau bukan syiahphobia!. Abul Jahhaf adalah perawi yang tsiqah dan untuk mencacatnya diperlukan alasan yang kuat bukan alasan ngawur seperti yang dikatakan Ibnu Ady karena kalau ucapan Ibnu Ady itu dibenarkan maka alangkah banyaknya perawi yang hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah(termasuk hadis Bukhari dan Muslim) hanya karena ia syiah atau hanya karena ia meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul bait.

Kesimpulan:
Hadis Abu Dzar di atas adalah hadis yang shahih dan para perawinya tsiqat sedangkan syubhat-syubhat salafiyun untuk mencacatkan hadis tersebut hanyalah ulah yang dicari-cari dan tidak bernilai sedikitpun. Sungguh kedengkian itu menutupi jalan kebenaran.

*****
Semua orang kedudukannya sama di depan hukum Allah, walaupun Anak Nabi SAW apalagi Sahabat Nabi SAW.. Rasul SAW pernah bersabda : “Apabila Fatimah mencuri akan kupotong tangannya”.


apakah kedudukan seseorang itu mempengaruhi kedudukannya di hadapan hukum?
semua orang kedudukannya sama di depan hukum Allah.

Adapun kemuliaannya di sisi Allah swt tentu adalah hal lain, tentu kita meyakini kemuliaan Sayyidatina Fatimah Az Zahra, sebagai Ahlul Bayt & Kecintaan RasuluLlah.

Jadi kemuliaannya tidak disama ratakan, sedangkan kedudukannya di hadapan hukum Allah swt yang sama.
Bila berhadapan dengan HUKUM semua sama tidak memandang derajat.

Menghormati Sahabat harus dilandasi dan disebabkan karena Allah dan RosulNya.
Bukan karena sahabat itu sendiri karena mengikuti semua sahabat tidak ada dasarnya sbg pedoman.
Secara umum kita mesti menghormati sahabat namun jika terbukti ada sahabat yg tersalah maka tidak boleh dipaksakan atau diperjuangkan menjadi benar.

Rasul SAW pernah bersabda : “Apabila Fatimah mencuri akan kupotong tangannya”
Apabila anda berhadapan dengan HUKUM ISLAM walaupun pada Zaman Sahabat maka yang menjadi Hakim adalah mereka yang mengerti mengenai Hukum Islam ( Hukum Allah ).
Dan menurut anda pada waktu itu siapa dari mereka yang paling mengetahui Hukum Allah.

Apakah Abubakar atau Ali b. Abi Thalib?
Jika Anda katakan Ali bin Abi Thalib dan Abubakar pengetahuan dalam syari’at sama.

Kalau demikian anda TIDAK JUJUR. Abubakar dan Umar pernah bersabda : ” KALAU TIDAK ADA ALI KITA CELAKA”.

Abubakar tidak mengetahui mengenai hukum waris KALALAH.
Abubakar berkata: Saya akan mengatakan berdasarkan pendapatku. Kalau benar maka itu dari Allah dan kalau salah itu dari AKU dan SETAN, Allah dan Rasul berlepas darinya. ( Tafsir at Thabari 6.30; Tafsir ibnu Katsir I/140 dll lagi).

Bagaimana anda katakan Abubakar juga pandai dalam ilmu syari’at ?
Dihadapan Allah semua sama yang membedakan adalah Takwa.
Dihadapan Allah tidak ada saksi yang memutar balikan fakta.
Saksi dihadapah Allah adalah Rasul dan para utusan Allah.
Kalau anda memakai Hukukm Allah atas tanah Fadak. Maka Abubakar tdk berhak mengambil tanah Fadak. Terkecuali Dhalim. Karena tanah Fadak adalah milik pribadi Rasul.

Bagaimana mungkin bertanya kedudukan hukum terhadap Fatimah dan Ali dihadapan Abubakar. Abubakar tidak berhak mengadili mereka. Karena KEDUDUKAN mereka dimata Allah sangat berbeda dengan Abubakar.

Menurut Imam Ali dan Fatimah Abubakar telah mendhalimi Hak mereka. Sekarang saya minta Nash bahwa para Nabi/Rasul tdk meninggalkan WARISAN terkecuali SADAQAH. Bagaimana sanggupkah anda.

Memang benar. Kedudukan dihadapan Allah mempengaruhi dihadapan hukum (Ingat lhoo HUKUM ALLAH). Sebab sebelumnya anda bertanya dihadapan hukum Allah.

Kita sekarang telah mengalami banyak perobahan serta pemutar balikan fakta. Islam yang kita anut.
Saya tidak akan menganut secara TAKLID kepada mereka terdahulu apalagi setelah banyak mempelajari dari ber-macam2 Mazhab. Oleh karena itu sesuatu hadits yang saya terima belum langsung saya terima.
Saya periksa dulu apakah hadits tsb tdk bertentangan dengan Al Quran.

Kalau BERTENTANGAN walaupun SANAD shahih tetap saya tolak.
Karena Rasul adalah PEMBAWA KEBENARAN dan Firman2 Allah dalam Al Qur’an ABSOLUT BENAR, maka tdk mungkin bertentangan.

Kita kembali pada persoalan kita diatas
Ayat menurut hukum di KENAKAN kepada semua hamba Allah yang BERTAKWA tdk ada pengecualian.
Rasulullah SAW ada pemimpin para Muttaqin.

Disinilah letaknya komitmen seorang mukmin. Seorang mukmin harus menjawab dengan jujur dan penuh kesedaran. Masyarakat seperti apakah yang ia inginkan? Masyarakat kumpulan hamba-hamba Allah yang beriman dan patuh berserah-diri kepada Allah? Ataukah ia puas dengan berdirinya suatu masyarakat yang terdiri atas kumpulan manusia yang tidak peduli taat atau tidaknya mereka kepada Allah asalkan yang penting masyarakat itu berjalan dengan harmoni tidak saling mengganggu dan menzalimi sehingga semua merasa gembira hidup bersama berdampingan dengan damai di dunia?

Seorang mukmin tidak pernah berpendapat sebelum ia bertanya kepada Allah dan RasulNya. Terutama bila pertanyaannya menyangkut urusan yang fundamental dalam kehidupannya. Oleh kerananya marilah kita melihat bagaimana Allah menyuruh kita bersikap bila mana menyangkut urusan hukum. Di dalam Kitabullah Al-Qur’an Al-Karim terdapat banyak ayat yang memberikan panduan bagaimana seorang mukmin mesti bersikap dalam urusan hukum. Di antaranya sebagai berikut:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”(Surah Al Maidah ayat 49).

Dalam buku “Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” Muhammad Nasib Ar-Rifa’i menerangkan potongan ayat yang berbunyi “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah…” dengan catatan sebagai berikut: “Hai Muhammad, putuskanlah perkara di antara seluruh manusia dengan apa yang diturunkan Allah kepadamu dalam kitab yang agung ini (iaitu Al-Qur’an)…”

Sedangkan firman Allah:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Surah Al Maidah ayat 50).

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, iaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Surah Al-Maidah ayat 48).

Ali b. Abi Thalib. mantu Nabi, seorang yang didik Nabi dari kecil, seorang laki2 PERTAMA yang shalat dibelakang Nabi. Seorang yang Khalifah Abubakar dan Umar mengatakan : “Kalau tdk ada Ali maka celakalah kami. Dan Hasan b. Ali b. Abi Thalib cucu Nabi, Penghulu Pemuda Ahli Surga.

Apakah mereka menurut anda2 orang2 Mukmin atau bukan? Kalau anda2 katakn BUKAN maka anda2 adalah PEMBOHONG BESAR. Dan apabila anda2 mengatakan mereka orang2 Mukmin. Maka siapa saja yang membunuh mereka DIA bukan seorang Mukmin dan akan menerima sesuai FirmanNya diatas. Apakah kita sebagai umat Islam harus membela orang2 yang Allah berikan ganjaran sesuai Firman diatas?
Dan Muawiyah yang memerintahkan pembunuhan terhadap  Hasan as.

Silahkan anda2 pencinta Muawiyah membantah. Kalau tidak anda2 adalah PEMBOHONG BESAR.
Guru bisa sama tapi murid berbeda dalam menyerap ilmu. Tergantung tingginya Intelgensia (kemampuan menyerap).

Sebab menurut pengetahuan kita atau dalam mempelajari agama Islam (kita tdk berada bersama Rasul) ternyata Islam ini telah disewengkan oleh mereka2 pasca Rasul. Banyak bukti. Contoh, banyak para Ulama menganggap Rasul sama dengan kita hanya beliau mendapat Wahyu. Apakah ini benar?. Kemudian menurut sejarah atau Hadits Pengganti Rasul Ali b. Abi Thalib. Tetapi ternyata yang menjadi Khalifah pasca Rasul adalah Abubakar. Benarkah ini. Ahlulbait bukan saja Rasul, Ali b Abi Thalib, Fatimah, Hasan. dan Husein tapi termasuk istri2nya. Benarkah ini. Ini semua harus kita selidiki/pelajari. Karena sangat berpengaruh dalam Ibadah kita. Jangan hanya TAKLID menjadi orang ABID. Firman Allah : Kedudukan mereka yang berilmu jauh lebih tinggi derajatnya.

Saya takut atas Firman Allah : Apakah kalau orang2 tua dahulu Jahil yang akan mengajak kamu keneraka akan tetap kamu ikuti.?
Al-Baqarah ayat 170. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?.”

*****
Sunni menghapus/menyembunyikan hadist-hadist yang berbicara tentang kejelekan sahabat dan mengangkat dan memuliakan kedudukan musuh musuh ahlulbait dan menciptakan keutamaan keutamaan palsu yang disandarkan untuk sahabat anti Ali.

perawi sunni kerap menghapus/menyembunyikan hadist-hadist yang berbicara tentang kejelekan sahabat dan menganggap [penyebutan-penyebutan hadist tersebut] adalah merupakan penyimpangan agama.

Mazhab sunni membenci memusuhi ahlulbait yang dilakukan dengan cara mengangkat dan memuliakan kedudukan musuh musuh ahlulbait dan menciptakan keutamaan keutamaan palsu yang disandarkan untuk sahabat anti Ali.


Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata :
“saya menjaga dari Rasulullah dua kantong, satu kantong saya sebarkan dan satu kantong lagi saya simpan. Kalau kantong yang saya tutupi ini saya buka juga, niscaya saya akan dihabisi oleh orang kejam ini ( Mu’awiyah)” (HR. Bukhari Juz 1 halaman 38).

Dari pengakuan ini jelaslah bahwa Abu Hurairah mempunyai dua wadah (kantong). Satu kantong dibuka dan satu kantong yang ditutup. Kantong yang dibuka adalah kantong yang berisi hadis hadis shahih yang sesuai dengan keinginan penguasa !! Ini artinya PENGUASA mempengaruhi  pembukuan hadis sunni !!!!!!!!!
Abu Hurairah menjadi rujukan utama hadis sunni padahal dia dan Amru bin Ash merupakan mufti bayaran Mu’awiyah bin Abu Sofyan !!

Mu’awiyah yang memerangi, mengutuk dan mencaci maki imam Ali serta membanai pengikutnya lalu merubah rubah sunnah NAbi dianggap oleh ahlusunnah wal jama’ah sebagai SAHABAT YANG  ADiL !!!!
Abdullah binUmar sangat membenci Imam Ali tetapi malah mau berbai’at kepada Al Hajjaj bin Yusuf Al Tsaqafi.

Jika anak anak Nabi Ya’qub tega membuang Nabi Yusuf As kedalam sumur tua lalu menipu ayahnya .. Lalu mengapa mustahil sahabat sahabat Nabi berlomba lomba memilih khalifah di Tsaqifah ??
Sahabat sahabat anti Imam Ali banyak mengembangkan ijtihad dari hasil pemikirannya sendiri, walaupun itu harus merubah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul sebelumnya !!

Duhai  politik !! Duhai kekuasaan !! Agama Muhammad telah diutak atik.


Tsaqifah Bani Saidah.

the Tsaqifah Bani Saidah Garden nearby the Prophet’s Mosque. It was recorded that here was where Abu Bakr was bai’ah.

Sebagian hadis dan sejarah sunni yang dianggap shahih ternyata merupakan rekayasa palsu sesuai kepentingan politik masa itu.

Apa motif penguasa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah mensucikan Abubakar Umar Usman dan sahabat sahabat anti Ali. Bahkan tega mengarang ngarang hadis, sejarah, keutamaan dan bukti palsu sahnya kekhalifahan ???

Mazhab sunni merupakan lawan politik ahlulbait !!! Sunni menyingkirkan secara licik kursi kekhalifahan ahlulbait sejak pertemuan Tsaqifah Bani Sa’idah.

Mazhab sunni membenci memusuhi ahlulbait yang dilakukan dengan cara mengangkat dan memuliakan kedudukan musuh musuh ahlulbait dan menciptakan keutamaan keutamaan palsu yang disandarkan untuk sahabat anti Ali.

Penguasa Bani Umayyah dan juga Bani Abbaisyah menggunakan segenap daya untuk mensucikan Abubakar Umar Usman serta menciptakan keutamaan keutamaan dan bukti sahnya kekhalifahan mereka bertiga
Penguasa mempropagandakan bahwa semua sahabat sahabat adalah orang orang suci yang adil dan tidak boleh dikritik sedikitpun.

Motifnya apa ??
1. Untuk menarik simpati umat agar berpaling dari kaum oposisi syi’ah pengikut ahlulbait
2. Penguasa paham bahwa sahnya pemerintahan mereka tidak lepas dari sahnya pemerintahan Abubakar Umar Usman yang menduhakai Nabi dan Ali.

Saqifah Bani Saidah Saksi Bisu Pangkal Perpecahan Umat.
Sedikit waktu kita melihat sejarah islam yang telah silam. untuk melangkah maju ke depan.
Saqifah Bani Saidah adalah nama sebuah tempat bersejarah di Madinah. Bagi kebanyakan jamaah haji, nama saqifah ini tak sekondang tempat bersejarah lainnya, seperti Gunung Uhud (berikut areal makam para syuhada perang Uhud), Masjid Quba, Masjid Qiblatain, kawasan bekas perang Khandaq, atau pemakaman Baqi.

Rombongan jamaah haji selalu mengagendakan ziarah ke tempat-tempat itu. Bahkan ada tempat favorit yang tak terkait sejarah Islam, yang justru jadi tujuan ekstra ziarah, yakni Medan Magnet (orang Saudi menyebutnya, Mantiqah Baydha). Medan Magnet ini memikat, kerena mampu mendorong mobil jalan sendiri sampai kecepatan 120 KM per jam. Saqifah Bani Saidah kalah populer dibanding tempat-tempat itu.

Tapi bagi mereka yang perhatian pada sejarah awal politik Islam, Saqifah itu memiliki nilai sejarah tersendiri. Di sinilah, Abu Bakar Al-Shiddiq, pertama dibaiat menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Di Saqifah inilah, kalangan sahabat Anshar dan Muhajirin berkumpul, membicarakan siapa pengganti Nabi Muhammad SAW, pada saat jenazah Nabi masih belum dimakamkan. Sehingga bagi sebagian kalangan, perbincangan politik di Saqifah itu mengundang cibiran, ”Urusan jenazah Nabi belum dituntasan, kok sudah bicara kekuasaan.”
Peristiwa Saqifah itu, bagaimanapun, juga menjadi cikal bakal, tumbuhnya benih perpecahan politik-teologis umat Islam, dalam dua faksi besar: Sunni dan Syiah. Bagi kalangan Syiah, kesepakatan politik di Saqifah itu merupakan penyerobotan atas hak Ali bin Abi Thalib, yang dipandang sebagai pewaris dan lebih berhak atas kepemimpinan Islam (imamah) pasca Rasulullah. Bagi kalangan Sunni, peristiwa di saqifah itu jadi obyek kajian menarik untuk mendiskusikan mekanisme pengangkatan pemimpin dalam Islam.

Saqifah itu dulunya berupa tempat mirip aula, ada pula yang kerap dipakai duduk-duduk, berteduh, sambil berbincang. Rasulullah pernah salat di tempat ini, lalu duduk dan minum air. Di Utara Saqifah itu ada sumur milik Bani Saidah. Keluarga Saidah adalah sahabat Nabi yang kerap menemani Nabi duduk-duduk di Saqifah.

Tempat itu kini masih dipertahankan, dikelola, dilestarikan dalam bentuk taman. Posisinya di sisi Barat Daya Masjid Nabawi, berjarak sekitar 200-an meter. Berseberangan jalan dengan Perpustakaan Raja Abdul Aziz. Itulah satu-satunya taman di kawasan tersebut. Bentuknya empat persegi, sekitar 30 x 30 meter.

Beragam tanaman, pot-pot bunga, rumput, pohon kurma, tanaman lidah buaya, dan masih jenis tumbuhan lain, menghijaukan kawasan tersebut. Memberikan kesegaran di tengah kegersangan. Kicauan burung aneka jenis makin menambah riang suasana taman. Suasana demikian ini sulit dijumpai di sudut Madinah lain, yang lebih banyak dipenuhi ‘taman beton’, gunung batu, atau padang gersang.

Bila dulu, Nabi dan para sahabat sering duduk-duduk di sana, usai salat Jumat lalu, MCH menjumpai belasan jamaah Indonesia duduk-duduk di sisi utara taman. Tempatnya memang teduh akibat rimbunan pohon. Ada yang duduk di kursi, menggelar karpet, tikar, juga sajadah. Ada yang makan nasi, syawirwa (roti berisi rajangan daging, atau minum teh susu (Shay halib), kopi, atau sekadar ngobrol-ngobrol. ”Sekalian sambil menunggu waktu Ashar Mas,” kata Jamran, 69 tahun, jamaah asal Sampit, Kalimantan, sambil menyedot rokok kretek.

Namun meski mereka ‘menapaktilasi’ Nabi, dengan cara ikut duduk-duduk di tempat itu, para jamaah tersebut tak tahu bahwa taman ini dulunya Saqifah bani Saidah. ”Saya memilih duduk di sini karena tempatnya teduh aja, kan jarang ada taman sekitar sini,” kata Jamran lagi.

Jangankan jamaah Indonesia, sejumlah orang Saudi, mulai penjaga taman, tukang kebun, sampai petugas hotel yang ada di sekitar taman pun, tak tahu bawah itu bekas Saqifah. ”Saqifah itu nama hotel atau apa?” tanya balik petugas hotel di sisi Barat taman, saat MCH masih mencari-cari, mana letak Saqifah Bani Saidah.

Sementara penjaga taman hanya bilang, ”Ini taman umum saja, setahuku tak punya nama khusus.” Ahmad Ghozali, mahasiswa Indonesia yang pernah kuliah di Universitas Islam Madinah, akhirnya memandu MCH menunjukkan posisinya. Ternyata, taman di belakang si penjaga itulah bekas Saqifah bersejarah tersebut. Sedikit yang paham makna kesejarahannya.

Saat kewafatan Rasulullah SAW, umat Islam pernah berkumpul di Saqifah Bani Saidah. Di sana Saad bin Ubadah selaku wakil golongan Ansar dan juga Abu Bakar selaku wakil golongan Muhajirin telah mengemukakan pendapat masing-masing mengenai siapakah yang paling layak untuk menjadi pemimpin umat Islam sesudah Rasulullah SAW. Dialog di antara kedua-dua sahabat Nabi ini telah dirakamkan secara terperinci di dalam magnum opus al-Tabari yang dinamakan sebagai Tarikh al-Tabari. Malah bukan hanya mereka berdua yang terlibat di dalam dialog terbuka tersebut, Umar, Abu Udaidah ibn al-Jarrah dan Basyir bin Saad dari golongan Ansar juga turut terlibat. Perhimpunan dan perdebatan tersebut berakhir dengan pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah kaum Muslimin menggantikan Rasulullah SAW (al-Tabari, j. 3, hal. 42).

 Saqifah Bani Saidah di Madinah sekarang

Adz Dzahabi: Agar Mazhab Sunni Dapat Dipertahankan, Rahasiakan Kebenaran!!
Adz Dzahabi membongkar kejahatan ulama Sunni dalam sejarah di mana ia berkata dalam kitab Siyar A’lâm an Nubalâ’, 10/92:

قلت كلام الأقران إذا تبرهن لنا أنه بهوى وعصبية لا يلتفت إليه بل يطوى ولا يروى كما تقرر عن الكف عن كثير مما شجر بين الصحابة وقتالهم رضي الله عنهم أجمعين

وما زال يمر بنا ذلك في الدواوين والكتب والأجزاء ولكن أكثر ذلك منقطع وضعيف وبعضه كذب وهذا فيما بأيدينا وبين علمائنا فنبغي طيه وإخفاؤه بل إعدامه لتصفو القلوب وتتوفر على حب الصحابة والترضي عنهم وكتمان ذلك متعين عن العامة وآحاد العلماء وقد يرخص في مطالعة ذلك خلوة للعالم المنصف العري من الهوى بشرط أن يستغفر لهم كما علمنا الله تعالى “.

“Aku berkata, “Omongan sesama teman jika terbukti dilontarkan dengan dorongan hawa nafsu  atau fanatisme maka ia tidak perlu dihiraukan. Ia harus ditutup dan tidak diriwayatkan, sebagaimana telah ditetapkan bahwa harus menutup-nutupi persengketaan yang tejadi antara para sahabat ra. Dan kita senantiasa melewati hal itu dalam kitab-kitan induk dan juz-juz akan tetapi kebanyakan darinya adalah terputus sanadnya dan dha’if dan sebagian lainnya palsu. Dan ia yang ada di tangan kita dan di tangan para ulama kita. Semua itu harus dilipat dan disembunyikan bahkan harus dimusnahkan!
Dan harus diramaikan kecintaan kepada para sahabat dan mendo’akan agar mereka diridhai (Allah), dan merahasiakan hal itu (bukti-bukti persengketaan mereka itu) dari kaum awam dan individu ulama adalah sebuah kewajiban. Dan mungkin diizinkan bagi sebagaian orang ulama yang obyektif  dan jauh dari hawa nafsu untuk mempelajarinya secara rahasia dengan syarat ia memintakan ampunan bagi mereka (para sahabat) seperti diajarkan Allah.”

Jadi, sepertinya kelanggengan mazhab Sunni dalam “Doktrin Keadilan” para sahabat tanpa terkecuali, termasuk yang munafik dan yang memerangi Khalifah yang sah dan mereka yang saling berbunuh-bunuhan hanya dapat dipertahankan dengan merahasiakan kebenaran/haq dan bukti-bukti sejarah otentik akan kafasikan sebagian mereka. Dan jangan-jangan apa yang sampai kepada kita sekarang ini hanyalah sedikit dari yang tidak sempat dimusnahkan oleh adz Dzahabi dan para pendahulu dan pelanjutnya?
Lalu bagaimana bayangan kita jika data-data kejahatan, penyimpangan dan kefasikan sebagian sahabat itu sampai dengan apa adanya kepada kita? Mungkinkah doktrin keadilan sahabat yang merupakan pilar utama Mazhab Sunni dapat dipertahankan??

Akankah semua itu terjadi di dunia multi media dan keterbukaan seperti sekarang?

(Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: