Oleh: Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki.
Setelah berita masuknya kami ke dalam mazhab Ahlulbait
menyebar luas, aku didatangi oleh salah seorang ulama besar bermazhab
asy-Syafi’i, ia adalah seorang alim yang terkenal dan terhormat di Kota
Hilb. Ia menanyakan kepadaku dengan lemah lembut, “Mengapa engkau
mengikuti mazhab Syi’ah dan meninggalkan mazhabmu (asy-Syafi’i)? Dan apa
dalilmu bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakar?”
Kemudian, aku pun mulai berdiskusi dengannya secara panjang
lebar, dan diskusi ini pun terjadi secara berulang-ulang. Akhirnya,
setelah melalui perdebatan yang panjang, ia pun merasa puas dan menerima
dalil-dalil yang kami kemukakan kepadanya.[1]
Di antara diskusi tersebut, ia menanyakan kepadaku
penjelasan tentang siapakah yang lebih berhak menjadi khalifah, apakah
Abu Bakar yang lebih berhak atau ‘Ali? Aku menjawab, “Sesungguhnya
masalah ini adalah sesuatu yang sangat jelas bahwa orang yang berhak
menjadi khalifah langsung sepeninggal Rasulullah Saw adalah Amirul
Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As, kemudian sepeninggalnya adalah al-Hasan
al-Mujtaba As, kemudian al-Husain As yang syahid di Karbala, kemudian
‘Ali bin al-Husain Zainal Abidin, kemudian Muhammad bin Ali al-Baqir As,
kemudian Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq As, kemudian Musa bin Ja’far
al-Kazhim As, kemudian ‘Ali bin Musa ar-Ridha As, kemudian Muhammad bin
‘Ali al-Jawad As, kemudian ‘Ali bin Muhammad al-Hadi, kemudian al-Hasan
bin ‘Ali al-‘Askari As, kemudian al-Hujjah bin al-Hasan al-Mahdi Imam
al-Gha’ib al-Muntazhar (semoga Allah mempercepat kemunculannya).
Dalil Syi’ah akan hal tersebut adalah bersumber dari
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, yang telah disepakati kebenarannya
oleh Sunni dan Syi’ah. Kitab-kitab Syi’ah penuh dengan hujah dan dalil
yang kuat, dan mereka menguatkan pendapat dan keyakinan mereka dari
kitab-kitab kalian sendiri, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Akan tetapi, kalian
tidak mau merujuk ke kitab-kitab Syi’ah dan meneliti apa yang
terkandung di dalamnya, dan hal ini merupakan bentuk kefanatikan yang
buta.”
Dalil al-Qur’an
Allah Swt. berfirman,
“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat
(sedekah) sementara mereka sedang melakukan ruku’.” (Qs. al-Maidah [5]:55)
Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan wilâyah (kepemimpinan) ‘Ali tanpa ada keraguan sedikit pun, sesuai ijma’
(kesepakatan) Syi’ah dan mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamah,
seperti ath- Thaban, ar-Razi, Ibn Katsir, dan banyak ulama lainnya, yang
semuanya berkata bahwa ayat yang mulia tersebut diturunkan berkenaan
dengan ‘Ali As.[2]
Tidaklah tersembunyi bagi setiap orang yang berpikir bahwa
Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung, Dialah yang mengutus para rasul
kepada umat-umat manusia, Dia tidak bergantung pada kerelaan manusia.
Demikian juga tentang perkara khilafah. Perkara ini merupakan ketetapan
Allah, bukan dengan musyawarah atau pun dengan pemilihan. Sebab,
kekhalifahan (khilafah) merupakan salah satu rukun (sendi) agama,
sedangkan Allah Swt. tidaklah sekali-kali menyerahkan salah satu rukun
dari rukun-rukun agama-Nya kepada pilihan umat manusia, dimana mereka
ini tidak terlepas dari pengaruh hawa nafsunya (baca tidak maksum).
Akan tetapi, orang yang melaksanakan tugas khilafah
sepeninggal Rasulullah Saw haruslah berdasarkan perintah Allah Swt dan
orang yang maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
Ayat al-Maidah tersebut merupakan nash yang jelas dalam menetapkan kepemimpinan (wilâyah)
‘Ali As, baik Syi’ah maupun kebanyakan mufasir Ahlus Sunnah sepakat
bahwa orang yang memberikan zakat (sedekah) dalam keadaan ruku’ adalah
‘Ali, tidak ada pertentangan dalam hal ini. Oleh karena itu, dengan
bersandar kepada ayat tersebut, ‘Ali-lah yang berhak menjadi khalifah
sepeninggal Rasulullah Saw.
Kemudian ia (ulama asy-Syafi’i) menyebutkan bahwa Abu Bakar
lebih berhak menjadi khalifah karena ia telah menyumbangkan hartanya
yang sangat banyak kepada Rasulullah Saw, ia telah menikahkan Nabi Saw
dengan putrinya (‘A’isyah), dan ia juga telah menjadi imam shalat jamaah
ketika Nabi Saw sakit.
Kemudian, aku katakan kepadanya, “Adapun bahwa Abu Bakar
telah mempersembahkan hartanya yang sangat banyak, hal ini merupakan
pengakuan yang membutuhkan dalil yang mengukuhkannya, sedangkan kami
tidak mengakui hal tersebut.”
Kemudian aku katakan kepadanya, “Dari mana ia (Abu Bakar)
mendapatkan harta tesebut? Dan apakah hal tersebut terjadi di Makkah
atau di Madinah?”
Jika engkau katakan bahwa itu terjadi di Makkah, maka
sesungguhnya Nabi Saw ketika di Makkah tidak pernah mempersiapkan
pasukan tentara dan tidak pernah pula membangun masjid. Demikian juga,
orang-orang yang telah masuk Islam saat itu banyak yang berhijrah ke
Habasyah (Etopia), sedangkan Nabi Saw dan seluruh Bani Hasyim (yang
tetap tinggal di Mekkah) tidak diperbolehkan menerima zakat.
Selain itu, Nabi Saw adalah orang yang kaya dengan harta
Khadijah.
Dan jika engkau katakan bahwa hal itu (infak harta)
terjadi di Madinah, maka sesungguhnya Abu Bakar ketika berhijrah, dia
hanya memiliki uang sebanyak enam ratus Dirham, yang sebagiannya telah
ia tinggalkan untuk keluarganya. Ia hanya membawa uang yang tersisa dari
harta tersebut, lalu ia, dan seluruh Muhajirin lainnya, hidup di
tengah-tengah suku Anshar dalam keadaan membutuhkan bantuan mereka.
Selain itu, Abu Bakar bukanlah seorang pedagang besar; kadang-kadang dia
menjual pakaian yang ia pikul di pundaknya, lalu ia bawa ke tempat
keramaian orang-orang, kadang-kadang ia mengajar anak-anak, dan
kadang-kadang pula ia menjadi tukang kayu, yang membikin pintu dan yang
semisalnya bagi orang yang memerlukannya.
Adapun ia telah menikahkan Rasulullah Saw dengan putrinya,
maka hal ini tidak mengharuskannya menjadi penguasa bagi kaum Muslimin.
Adapun ia menjadi imam shalat berjamaah ketika Nabi Saw sakit, jika
riwayat ini benar, maka ini tidak mengharuskannya menjadi imam kaum
Muslimin dan khalifah yang agung. Sebab, shalat jamaah berbeda dengan
masalah khilafah.
Telah diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi Saw biasa
mengimami shalat satu sama lain di antara sesama mereka, baik ketika di
Madinah maupun dalam bepergian. Seandainya alasan yang engkau kemukakan
benar, maka siapa saja di antara mereka (yang pernah menjadi imam shalat
berjamaah) dapat menjadi khalifah.
Selain itu, hadis yang menyebutkan bahwa Abu Bakar
mengimami shalat berjamaah hanya bersumber dari putrinya saja, yaitu
‘A’isyah.
Sungguh, sangat mengherankan saudara-saudara kami Ahlus
Sunnah ini, mereka mengemukakan hujah dengan dalil-dalil yang lemah
tersebut, lalu mereka melupakan hadis-hadis yang diriwayatkan tentang
‘Ali As, padahal hadis-hadis tersebut merupakan dalil yang sangat kuat
dan diriwayatkan dalam jumlah yang sangat banyak.
Misalnya, hadis tentang peringatan Nabi Saw kepad aum
kerabatnya yang terdekat Nabi Saw mengumpulkan kaum kerabatnya terdekat
dengan perintah dari Allah, yaitu firman-Nya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.”(Qs. asy-Syu’ara’ [26]: 214).
Ketika itu, Nabi Saw mengundang para kerabatnya yang
berjumlah sekitar empat puluh orang. Nabi Saw membuatkan makanan yang
sedikit, tetapi dapat mengenyangkan keempat puluh orang undangan
tersebut. Setelah perjamuan, Nabi Saw bersabda kepada mereka, Wahai Bani
Hasyim, siapakah di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusanku
ini?” Namun, tak seorang pun dari mereka yang menyambut ajakan
tersebut, kemudian ‘Ali As berkata, “Aku wahai Rasulullah. Aku akan
membantumu (dalam urusanmu).”
Nabi Saw mengulangi ajakannya itu sampai tiga kali, dan
setiap kali ia menyampaikan seruan tersebut, setiap kali itu pula ‘Ali
selalu menjawab, “Aku wahai Rasulullah.”
Kemudian, Nabi Saw memegang tengkuk (leher bagian belakang)
‘Ali seraya bersabda kepadanya, “Engkau adalah washiyy-ku dan khalifahku sepeninggalku. Maka dengarkanlah ia dan patuhilah
perintahnya! “
Juga hadis Ghadir Khum yang terkenal, hadis tsaqalain, hadis manzilah (kedudukan ‘Ali di sisi Rasulullah, seperti kedudukan Harum di sisi Musa), hadis safinah (perumpamaan
Ahlulbait Rasulullah seperti bahtera Nuh. Barang siapa yang menaikinya,
akan mendapatkan keselamatan; dan barang siapa yang meninggalkannya,
akan karam dan binasa), hadis pintu pengampunan (seperti pintu
pengampunan bagi Bani Israil. Barang siapa yang memasukinya, niscaya ia
akan diampuni dosa-dosanya), hadis “Aku kota ilmu, dan ‘Ali adalah
pintunya”, hadis persaudaraan (pada hari hijrah, Nabi Saw.
mempersaudarakan ‘Ali dengan dirinya sendiri, sementara ia
mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar).
Juga hadis penyampaian Surah Barâ’ah kepada kaum
musyrik Makkah, hadis penutupan semua pintu yang menuju Masjid Nabi Saw
kecuali pintu rumah ‘Ali, hadis tentang pencabutan pintu gerbang Khaibar
yang dilakukan oleh ‘Ali seorang diri, hadis tentang terbunuhnya ‘Amru
bin ‘Abdu Wudd di tangan ‘Ali (dalam tanding perang Ahzab), dan
dinikahkannya ia (‘Ali) oleh Rasulullah Saw dengan putri kinasihnya,
Fatimah azZahra’ As.
Dan hadis-hadis lainnya tentang keutamaan Amirul Mukminin
‘Ali As yang jumlahnya tak terhitung, sekiranya kami hendak
menuliskannya, tentu akan memenuhi berjilid-jilid besar buku.
Apakah semua riwayat yang telah disepakati kesahihannya ini
tidak menetapkan khilafah (kekhalifahan) ‘Ali As, sedangkan
riwayat-riwayat yang masih diperselisihkan, bahkan dipalsukan tersebut,
menetapkan kekhalifahan Abu Bakar? Sungguh, hal ini adalah sesuatu yang
sangat mengherankan.
Akhimya, setelah melalui diskusi yang panjang, ia merasa puas dan menerima dalil-dalil yang kami kemukakan kepadanya.
Kemudian ia telah keluar dari kami dalam keadaan bimbang
terhadap mazhabnya, ia mengucapkan banyak terima kasih atas dalil-dalil
yang kami sampaikan kepadanya. Lalu ia meminta dariku sebagian kitab
Syi’ah dan kitab-kitab karangan para ulama Syi’ah, maka aku pun
memberikan sebagian darinya, di antaranya beberapa kitab karangan
al-Imam al-Hujjah al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin.
Kami berharap kepada saudara-saudara kami Ahlus Sunnah,
hendaknya mereka mau menelaah kitab-kitab karangan ulama-ulama besar
Syi’ah, tanpa diiringi dengan kefanatikan. Di antaranya, kitab-kitab
karangan aI-Imam al-Hujjah al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain
Syarafuddin, kitab al-Ghadir, karangan Allamah al-Amini, kitab Ihqâqul Haqq dan kitab ash-Shawârimul Muhriqah, yang keduanya merupakan karangan asy-Syahid as-Sa’id Al-Imam Qadhi Nurullah, ‘Abâqatul Anwâr, karya al-Imam as-Sayyid Hamid Husain al-Hindi, Ghayâtul Marâm, karya al-Imam al-Bahrani, As-Saqifah, karya al-‘Allamah al-Muzhaffar, Dalâ’iul Sidqi, karya al-Hujjah al-Muzhaffar, dan Ashlusy Syi’ah wa Ushuluha, karya al-Imam Kasyiful Ghitha.
Diskusi dengan Salah Seorang Ulama AI-Azhar.
Pada 7 Dzulqaidah 1371 H sebelum Zuhur, salah seorang tokoh
terpandang di Kota Hilb, Ustad Sya’ban Abu Rasul, mengabarkan kepadaku
bahwa salah seorang Syaikh (guru) al-Azhar, ia adalah seorang ulama
besar dan penulis kenamaan, bermaksud mengunjungiku. Ustad Sya’ban Abu
Rasul berkata kepadaku, “Kapan ia (syaikh al-Azhar itu) dapat berkunjung
ke rumahmu?”
Aku katakan kepadanya, “Ahlan wa sahlan. Sungguh, aku mendapat kehormatan dengan kunjungannya itu. Silakan ia berkunjung kepadaku pada hari ini.”.
Lalu Syaikh al-Azhar itu mengunjungiku setelah shalat Asar.
Setelah aku menyambut kedatangannya dan mempersilahkannya duduk, ia
berkata kepadaku dengan lemah lembut, “Sesungguhnya aku sengaja
mengunjungimu dengan maksud hendak menanyakan kepadamu, apa yang
mendorongmu mengikuti mazhab Syi’ah dan meninggalkan mazhab Ahlus Sunnah
asy-Syafi’i?”
Sebagaimana ia, Aku menjawab pertanyaannya dengan lemah
lembut, aku katakan kepadanya, “Sebab-sebabnya banyak sekali, di
antaranya: aku melihat perbedaan yang banyak di antara sesama empat
mazhab. Kemudian aku mulai menyebutkan beberapa contoh perbedaan di
antara empat mazhab itu. Lalu aku menyebutkan sebab-sebab yang
mendorongku mengikuti mazhab Syi’ah, ‘yang paling utama; adalah masalah
khilafah (kekhalifahan), yang merupakan sebab yang paling besar dan
menyebabkan terjadinya perselisihan di antara sesama kaum Muslim.”.
Sebab, sangatlah tidak masuk akal jika Rasulullah Saw
meninggalkan umatnya tanpa menunjuk seorang penggantinya, yang
memerintah dengan melaksanakan syariat Allah, sebagaimana para rasul
yang lain yang menunjuk seorang washiy (yang menerima wasiat untuk meneruskan kepemimpinannya, yakni menjadi khalifahnya sepeninggalnya).
Menurutku, telah terbukti secara meyakinkan bahwa kebenaran
ada bersama Syi’ah. Sebab, keyakinan mereka menegaskan bahwa Nabi Saw,
telah berwasiat kepada ‘Ali untuk menjadi khalifahnya sepeninggalnya
(sebelum wafatnya bahkan sejak awal dakwah beliau), dan setelahnya
adalah anak keturunannya, yaitu sebelas imam. Mereka (Syi’ah) ,mengambil
hukum-hukum agama, mereka dari dua belas Imam Ahlulbait, yaitu para
Imam Maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) di dalam akidah mereka
dengan dalil-dalil yang kuat.
Lantaran sebab itulah dan sebab-sebab yang lainnya,’ aku
mengikuti mazhab yang mulia ini, mazhab Ahlulbait. Selain itu, aku tidak
menemukan satu pun dalil yang mewajibkan kita mengikuti salah satu dari
mazhab yang empat. Sebaliknya, aku mendapatkan dalil-dalil yang sangat
banyak yang mewajibkan kita mengikuti mazhab Ahlulbait yang menuntun
setiap Muslim ke jalan yang lurus.”.
Kemudian aku paparkan kepadanya dalil-dalil yang jelas dan
tegas yang mewajibkan setiap Muslim mengikuti mazhab Ahlulbait. Semua
yang hadir di rumahku saat itu, mendengarkan penjelasanku dengan
seksama.
Lalu aku bertanya kepada kepada Syaikh al-Azhar itu, “Wahai
Syaikh yang mulia, engkau adalah seorang ulama yang terhormat. Apakah
engkau mendapatkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw satu dalil
pun yang mengarahkanmu untuk mengikuti salah satu dari empat mazhab yang
empat (Hanafi, Maliki, asy-Syafi’i, dan Hanbali)?”
Ia menjawab, “Sekali-kali tidak.”
Kemudian aku katakan kepadanya, “Bukankah Anda mengetahui bahwa mazhab yang empat (madzâhibul arba’ah)
itu saling bertentangan satu sama lainnya dalam banyak masalah, dan
dalam hal ini mereka tidak berlandaskan pada dalil yang kuat atau
keterangan yang jelas dan nyata bahwa ialah yang benar, bukan yang
lainnya? Orang yang terikat dengan salah satu mazhab dari empat mazhab
tersebut hanyalah menyebutkan dalil-dalil yang tidak ada penopangnya.
Sebab, ia tidak bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Ia
seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari
permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.
Misalnya, seandainya Anda tanyakan kepada seseorang yang
bennazhab Hanafi, ‘Mengapa engkau memilih mazhab Hanafi, bukan yang
lainnya? Dan mengapa engkau memilih Abu Hanifah sebagai imam untuk
dirimu setelah seribu tahun dari kematiannya?
Niscaya orang tersebut tidak akan memberikan jawaban yang
memuaskan hatimu. Demikian juga jika Anda menanyakan hal yang sama
kepada seseorang yang mengikuti mazhab asy-Syafi’i, Maliki, atau
Hanbali.
Rahasia di balik itu adalah setiap imam dari empat mazhab tersebut bukanlah seorang nabi atau washiyy (orang
yang menerima wasiat untuk meneruskan kepemimpinan nabi). Mereka tidak
mendapatkan wahyu ataupun mendapatkan ilham, mereka hanya seperti ulama
yang lain, dan orang yang seperti mereka amatlah banyak.
Kemudian mereka bukanlah sahabat Nabi Saw, kebanyakan
mereka atau bahkan keseluruhan mereka tidak menjumpai Nabi Saw dan tidak
pula menjumpai para sahabat Nabi Saw. Setiap orang dari mereka (imam
mazhab yang empat) membuat mazhab untuk dirinya sendiri, ia mengikuti
mazhabnya itu dan mempunyai pendapat-pendapat tersendiri, yang boleh
jadi terdapat kesalahan atau kelalaian di dalamnya.
Dan setiap dari mereka mempunyai pendapat yang
bermacam-macam, yang satu sama lainnya saling bertentangan. Akal sehat
tidak akan dapat menerima hal itu, demikian pula hati yang bersih.
Sebab, ia tidak berdasarkan pada dalil yang tegas dan kuat, yaitu
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.
Maka, orang yang berpegangan atau mengikuti salah satu dari
mazhab yang empat tersebut tidak mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat
kelak di hadapan Allah pada Hari Perhitungan. Sesungguhnya kepunyaan
Allah-lah hujah yang jelas lagi kuat itu. Seandainya Allah menanyakan
kepada orang yang mengikuti salah satu dari mazhab yang empat itu pada
hari kiamat, dengan dalil apa engkau mengikuti mazhabmu ini? Tentu saja
ia tidak mempunyai jawaban kecuali ucapannya, “
Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi
peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak
Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut
jejak-jejak mereka”. (Qs. Az-Zukhruf [43]:23).
Atau, ia berkata,
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah
mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu mereka
menyesatkan Kami dari jalan (yang benar). (Qs. Al-Azhab [33]:67).
Kemudian aku katakan kepada syaikh al-Azhar itu, “Wahai
Syaikh yang mulia, apakah seseorang yang mengikuti salah satu dari
mazhab yang empat itu mempunyai jawaban kelak di hadapan Allah pada hari
kiamat?”
Ia menundukkan kepalanya beberapa lama kemudian ia berkata, “Tidak.”
Kemudian aku katakan kepadanya, “Adapun kami yang mengikuti wilâyah (kepemimpinan) al-‘itrah ath-thâhirah (keturunan
yang suci), Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah
sesuci-sucinya dari segala dosa, dan kami beribadah kepada Allah Swt
dengan mengikuti fiqih al-Ja’fari, kami akan berkata kelak pada Hari
Perhitungan, ketika kami berdiri di hadapan Allah Swt.”.
‘Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan
kami dengan hal itu karena sesungguhnya Engkau telah berfirman di dalam
Kitab-Mu, “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (Qs. Al-Hasyr [59]:7).
Dan Nabi-Mu, Muhammad Saw, telah bersabda, sebagaimana yang
telah disepakati kaum Muslim, “Sesungguhnya aku telah meninggalkan
kepada kalian dua pusaka yang sangar berharga (ats-tsaqalain), yaitu Kitabullâh dan Itrah
Ahlulbaitku; selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya
kalian tidak akan tersesat selamanya, dan sesungguhnya keduanya tidak
akan berpisah sehingga menjumpaiku di Haudh.”.
Dan Nabi-Mu juga telah bersabda, “Perumpamaan Ahlu/ Bairku
di rengah-rengah kalian seperti bahrera Nuh barang siapa menaikinya,
niscaya dia akan selamat; dan barangsiapa yang tertinggal darinya,
niscaya dia akan tenggelam dan binasa.”.
Dan tidak diragukan lagi bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq As adalah dari al-i’trah ath-thâhirah (keturunan
yang suci), yaitu Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah
sesuci-sucinya dari segala dosa. llmunya adalah ilmu ayahnya, ilmu
ayahnya adalah ilmu kakeknya, yaitu Rasulullah Saw, sedangkan ilmu
Rasulullah Saw bersumber dari Allah.
Selain itu, semua kaum Muslim telah sepakat akan kejujuran
dan keutamaan Imam Ja’far Ash-Shiidiq As: Sesungguhnya ia (Imam Ja’far
Ash-Shiidiq As) adalah seorang washiyy keenam dan Imam Maksum,
sesuai keyakinan segolongan besar kaum Muslim, yaitu para pengikut
mazhab Ahlubait, mazhab yang hak. Dan sesungguhnya ia adalah hujah Allah
atas makhluk-Nya.
Imam Ja’far Ash-Shadiq As meriwayatkan hadis dari ayah dan
datuknya yang suci, dan ia tidak berfatwa dengan pendapatnya sendiri.
Hadisnya adalah “hadis ayahku dan datukku”. Sebab, mereka adalah sumber
ilmu dan hikmah.
Mazhab Imam Ja’far ash-Shadiq As adalah mazhab ayahnya, dan
mazhab kakeknya bersumber dari wahyu, yang tidak akan pernah berpaling
sedikit pun darinya. Bukan dari hasil ijtihad, seperti lainnya yang
berijtihad.
Oleh karena itu, orang yang mengikuti mazhab Ja’far bin
Muhammad ash-Shadiq As dan mazhab kakek-kakeknya, berarti ia telah
mengikuti mazhab yang benar dan berpegang teguh pada Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah Saw.
Setelah aku kemukakan dalil-dalil yang jelas dan kuat,
Syaikh al-Azhar tersebut mengucapkan banyak terima kasih kepadaku dan ia
pun sangat memuliakan kedudukanku.
Kemudian ia menanyakan tentang pandangan Syi’ah terhadap
para sahabat Rasulullah Saw. Lalu, aku jelaskan kepadanya bahwa Syi’ah
tidak menecela sahabat Rasulullah Saw secara keseluruhan. Akan tetapi,
Syi’ah meletakkan mereka sesuai kedudukan mereka. Sebab, di antara
mereka ada yang adil dan ada pula yang tidak adil, di antara mereka ada
yang pandai dan ada pula yang bodoh, dan di antara mereka ada yang baik
dan ada pula yang jahat.
Bukankah Anda tahu apa yang telah mereka lakukan pada hari Saqifah?
Mereka telah meninggalkan jenazah Nabi mereka dalam keadaan terbujur
kaku di atas tempat tidumya, mereka berlomba-lomba memperebutkan
kekhalifahan. Setiap orang dari mereka beranggapan bahwa ialah yang
berhak menjadi khalifah, seakan-akan ia adalah barang dagangan yang
dapat diperoleh bagi siapa saja yang lebih dahulu mendapatkannya.
Padahal mereka telah mendengar nash-nash yang tegas yang telah
disampaikan oleh Nabi Saw tentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib As,
baik sejak awal dakwahnya maupun hadis Ghadir Khum yang terkenal itu.
Selain itu, mengurusi jenazah Rasulullah Saw lebih penting
daripada urusan kekhalifahan. Bahkan, seandainya saja Rasulullah Saw
tidak mewasiatkan seseorang untuk menjadi khalifahnya (Rasulullah Saw.
secara tegas telah menunjuk ‘Ali untuk menjadi khalifahnya), maka wajib
bagi mereka untuk mengurusi jenazah Rasulullah Saw terlebih dahulu.
Kemudian setelah selesai mengurusi jenazah Rasulullah Saw,
seyogyanya mereka menyatakan belasungkawa kepada keluarga beliau,
seandainya saja mereka adalah orang-orang yang adi!.
Akan tetapi, dimanakah keadilan dan perasaan hati mereka,
dimanakah keluhuran akhlak, dan dimanakah ketulusan dan kecintaan? Dan
yang lebih menyakitkan lagi di dalam hati adalah penyerbuan mereka ke
rumah belahan jiwa Rasulullah Saw, Fatimah az-Zahra As, yang dilakukan oleh sekitar lima puluh orang pria.
Mereka telah mengumpulkan kayu bakar untuk membakar rumah
Fatimah dan semua orang yang di dalamnya. Sehingga ada seseorang yang
berkata kepada ‘Umar, “Sesungguhnya di dalam rumah tersebut terdapat
al-Hasan, al-Husain, dan Fatimah.”
Akan tetapi, ‘Umar berkata, “Walaupun (di dalam rumah tersebut ada mereka).”
Peristiwa ini banyak disebutkan oleh sejarawan Ahlus Sunnah,[3] apalagi para sejarawan Syi’ah.
Semua orang tahu, baik orang yang berbakti maupun orang yang jahat, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Fatimah
adalah belahan jiwaku. Barang siapa yang menyakitinya, maka ia telah
menyakitiku; barang siapa yang membuatnya murka, maka ia telah membuatku
murka; barang siapa yang membuatku murka, maka ia teah membuat Allah
murka; dan barang siapa membuat Allah murka, maka Allah akan
menyungkurkan kedua lubang hidungnya ke dalam neraka. “
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada para sahabat Nabi Saw
secara jelas menunjukkan bahwa tidak semua sahabat itu adil. Silakan
Anda merujuk ke Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh al-Muslim tentang hadis Haudh, niscaya Anda akan mendapatkan kebenaran pendapat Syi’ah tentang penilaian mereka terhadap para sahabat Nabi Saw.
Jika demikian adanya, maka dosa apakah bagi mereka (Syi’ah)
jika mereka berpendapat bahwa banyak di antara sahabat Nabi Saw yang
tidak adil, sedangkan banyak dari mereka sendiri (para sahabat Nabi
Saw.) yang menunjukkan jati diri mereka sendiri.
Perang Jamal dan Perang Shiffin adalah dalil dan bukti yang
paling jelas terhadap kebenaran pendapat mereka (Syi’ah). Dan al-Qur’an
telah menyingkapkan banyak keburukan perbuatan di antara mereka (para
sahabat Nabi Saw).
Bukankah Anda juga tahu apa yang telah dilakukan oleh
Mu’awiyah, ‘Amru bin ‘Ash, Marwan bin Hakam, Ziyad dan anaknya, Mughirah
bin Syu’bah, ‘Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah dan Zubair, yang
keduanya telah memberikan baiat kepada Amirul Mukminin ‘Ali As, tetapi
keduanya kemudian melanggar baiatnya dan memerangi Imam mereka (‘Ali bin
Abi Thalib As) bersama ‘A’isyah di Basrah, yang sebelumnya mereka telah
melakukan kejahatan-kejahatan di kota tersebut (Basrah) yang tidak
pantas dilakukan oleh seseorang yang mempunyai jiwa satria.
Selain itu, selama keberadaan Nabi Saw di tengah-tengah
mereka (para sahabat beliau), banyak di antara mereka yang melakukan
perbuatan nifâk (munafik), apakah kemudian setelah Nabi Saw menemui Tuhannya (wafat), mereka lantas menjadi adil semuanya?
Kita sama sekali tidak pernah mendengar bahwa ada salah
seorang nabi di antara nabi-nabi yang diutus kepada umatnya, lalu semua
umatnya menjadi adil. Bahkan, yang terjadl adalah sebaliknya. Al-Qur’an
dan Sunnah telah menjelaskan kepada kita tentang hal itu.
Kemudian aku katakan kepada, Syaikh al-Azhar itu, “Bagaimana menurutmu wahai saudaraku yang mulia?”
Ia menjawab, “Sungguh, apa yang telah engkau sampaikan
telah memuaskanku, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan balasan yang
sebaik-baiknya.”
Kemudian setelah terjadi diskusi yang panjang antara aku
dengan syaikh al-Azhar itu, ia berkata, “Apakah engkau mengetahui bahwa
engkau telah memasukkan keraguan di dalam hatiku perihal empat mazhab,
dan aku juga telah condong pada mazhab Ahlulbait. Akan tetapi, aku ingin
engkau membekaliku dengan sebagian kitab Syi’ah.”.
Kemudian, aku pun menghadiahkan kepadanya beberapa kitab Syi’ah, di antaranya: kitab karangan al-Imam Syarafuddin Dalâ’ilush Shidqi, dan al-Ghadir karya Allamah Amini. Di samping itu, aku juga menunjukkan kepadanya beberapa kitab Syi’ah yang lainnya.
Kemudian ia mohon diri meninggalkan rumahku sembari
mengucapkan pujian dan terima kasih kepadaku, lalu ia pun pulang ke
Mesir dalam keadaan ragu tentang akidah yang dianutnya selama ini.
Kemudian setelah beberapa hari, datanglah surat kepadaku dari syaikh
al-Azhar itu. Di antara isi surat tersebut, ia mengabarkan kepadaku
bahwa dia telah menganut mazhab Ahlulbait dan menjadi seorang Syi’ah. Ia
berjanji kepadaku untuk menulis buku tentang kebenaran Mazhab
Ahlulbait.[]
Penutup:
Sesungguhnya apa yang telah kami persembahkan kepada para pembaca
adalah bersumber dari al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw, yang
diriwayatkan dalam hadis sahih dalam kitab-kitab sahih Sunni, dan
merupakan bukti yang kuat terhadap kekhalifahan Amirul Mukminin ‘Ali bin
Abi Thalib sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung (belâ fashl), sekiranya orang yang menentang kami berlaku adil.
Perhatikanlah dengan seksama dan sungguh-sungguh terhadap semua yang
telah kami sebutkan dalam buku ini, yaitu hujjah dan keterangan yang
jelas, dengan begitu niscaya akan tersingkap kebenaran yang hakiki bagi
Anda dan akan memudahkan jalan bagi siapa saja yang hendak menempuh
jalan kebenaran. Yaitu, orang-orang yang mengikhlaskan niatnya dan
menjauhkan dirinya dari fanatisme mazhab yang membutakan hati dan
pikiran sehat dan membinasakan.
Orang yang bersikeras dalam fanatismenya, tidak akan berguna riwayat,
walaupun jumlahnya sangat banyak dan telah dikemukakan baginya seribu
dalil.
Adapun orang yang mempunyai pikiran yang jemih dan akal yang cerdas,
maka yang telah kami persembahkan, dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah,
telah memadai baginya karena dalil-dalil tersebut adalah riwayat-riwayat
yang sahih yang telah disepakati kebenarannya, baik di kalangan Sunni
maupun Syi’ah.
Selain itu, orang yang bersikeras di dalam kefanatikannya, bahkan
seandainya Nabi Saw sendiri yang datang kepadanya dan memberikan
kepadanya petunjuk, niscaya dia tetap akan berada di dalam sikap keras
kepalanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang di
antara mereka, yang keras kepala, kepada saudaraku “Seandainya Jibril
turun, dan ikut bersamanya Muhammad dan ‘Ali, aku tetap tidak akan
membenarkan ucapanmu.”.
Hal itu terjadi ketika saudaraku mengajaknya berdialog, dan saudaraku telah memberikan kepadanya kitab al-Murâja’ât (Dialog
Sunni-Syi’ah) agar ia melihat (membaca) apa yang ada di dalamnya. Kitab
tersebut ada pada orang itu lebih dari sebulan lamanya, lalu dia
mengembalikan kitab itu kepada saudaraku seraya berkata, “Sesungguhnya
aku tidak suka membaca kitab-kitab Syi’ah. Oleh karena itu, aku sama
sekali tidak membaca kitab ini (al-Murâja ‘ât) selamanya.”
Sesungguhnya buku yang hadir di hadapan Anda ini, insya Allah, akan tersebar luas di segenap penjuru dunia, yang akan dibaca oleh orang-orang Arab dan ‘ajam (non-Arab), Muslim dan non-Muslim.
Sesungguhnya manusia itu bermacam-macam. Dan merupakan hal yang sulit
mendapatkan kerelaan seluruh manusia, bahkan itu merupakan suatu hal
yang mustahil diraih.
Semoga Allah Swt. mencurahkan rahmat-Nya kepada ‘Ali al-Kailani, seorang pujangga berkebangsaan Palestina yang berkata,
Jika Tuhannya makhluk tidak meridhai makhluk-Nya,
Maka bagaimana mungkin makhluk dapat diharapkan keridhaannya.
Singkat kata, sesungguhnya buku ini akan dibaca oleh banyak pembaca,
di antara mereka pasti ada yang akan memuji, dan di antara mereka juga
akan ada yang mengkritik, bahkan mengecamnya.
Saya berharap dari pembaca yang budiman untuk tidak terburu-buru
memberikan penilaian sebelum membaca sampai akhir buku. Setelah itu, ia
dapat memberikan penilaiannya yang bijak, baik menerima maupun menolak.
Akan tetapi, aku tidak menduga bahwa orang yang berpikir positif dan
bijak akan menolak dalil-dalil yang telah kami kemukakan karena ia
bersumber dari kitab-kitab sandaran mereka sendiri, Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Oleh karena itu, jika dia tidak menerima dalil-dalil tersebut, maka
hendaklah ia menyalahkan mereka, bukan kami, karena kami hanya
menyampaikan apa yang bersumber dari mereka.
Akhir kalam, aku mengucapkan terima kasih kepada orang-orang (para
ulama) yang telah menyebabkan kami memperoleh petunjuk dengan mengikuti
mazhab yang benar, yaitu mazhab Ahlulbait. Khususnya kepada dua orang
imam besar, dua tokoh terkemuka mazhab Ahlulbaiut dan marji’ yang
terbesar, yaitu Ayatullah al-‘Uzhma al-Imam al-Mujahid as-Sayyid Agha
Husain ath-Thabathaba’i al-Buroujerdi, dan Ayatullah a;-‘Uzhma al-Imam
al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin. Semoga Allah Swt
membalas kebaikan kedua tokoh besar mazhab Ahlulbait ini atas
jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum Muslim, dan khususnya kepada
penulis, dengan balasan yang sebaik-baiknya.
Saya selesai menuliskan naskah ini pada 29 Dzul Hijjah al-Haram 1380
H, di Kota Hilb, dalam perpustakaanku, tempat aku mengajar dan menulis
buku.
Segala puji bagi Allah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Lahir dan Yang Batin.[]
Referensi:
[1] . Allah membukakan hatinya untuk menerima dan mengikuti mazhab yang benar yaitu mazhab Ahlulbait al-Ja’fari.
[1] . Allah membukakan hatinya untuk menerima dan mengikuti mazhab yang benar yaitu mazhab Ahlulbait al-Ja’fari.
[2] . Silahkan Anda rujuk pada bagian ketiga dari buku ini.
[3] . Lihat al-Imâmah was Siyâsah. Ar-Riyadhun Nadhrah, Murujudz Dzahab, Ansâbul Asyrâf, al-Imâm ‘Ali, karya ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshud, Syarh Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadid, dan kitab-kitab lainnya yang ditulis
oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Anda akan mendapatkan bahwa
mereka menyebutkan peristiwa yang menyedihkan dan memilukan hati ini.
Adapun Syi’ah, para sejarawan mereka telah menyebutkan peristiwa yang
menyakitkan hati ini berikut nama-nama mereka yang melakukan tindakan
kejahatan ini. Mereka menyatakan bahwa perirstiwa penyerbuan ke rumah
Fatimah As tersebut dipimpin oleh ‘Umar “seorang pahlawan yang gagah
berani” tetapi gagah berani bukan di medan perang.
Post a Comment
mohon gunakan email