Pesan Rahbar

Home » , , » Kearifan Imam Ali

Kearifan Imam Ali

Written By Unknown on Monday, 18 August 2014 | 16:20:00


Dalam khotbah ini Imam Ali As  Menggambarkan Penciptaan Bumi dan Langit serta Kelahiran Nabi Adam As.
Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tak dapat diuraikan oleh para pembicara, yang nikmat-nikmat-Nya tak terhitung oleh para penghitung, yang hak-hak-Nya (atas ketaatan) tak dapat dipenuhi oleh orang-orang yang berusaha menaati-Nya; orang yang tinggi kemampuan akalnya tak dapat menilai, dan penyelam pengertian tak dapat mencapai-Nya; la yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah diletakkan, tak ada pujian yang maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan tak ada jangka waktu ditentukan. la mengadakan ciptaan dengan kodrat-Nya, menebarkan angin dengan rahmat-Nya, dan mengukuhkan bumi yang goyah dengan batu.

Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah membenarkan-Nya, kesempurnaan pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu. Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.

Barangsiapa mengatakan “dalam apa la berada”, (berarti) ia berpendapat bahwa la bertempat, dan barangsiapa mengatakan “di atas apa la berada” maka ia beranggapan bahwa la tidak berada di atas sesuatu lainnya.

la Maujud tetapi tidak melalui fenomena muncul menjadi ada. la ada tetapi bukan dari sesuatu yang tak ada. la bersama segala sesuatu tetapi tidak dalam kedekatan fisik. la berbeda dari segala sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. la berbuat tetapi tanpa konotasi gerakan dan alat. la melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya yang dilihat. la hanya Satu, sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang dengannya la mungkin bersekutu atau yang mungkin la akan kehilangan karena ketiadaannya.

Tentang Penciptaan Alam.
la memulai penciptaan dan memulainya secara paling awal, tanpa mengalami pemikiran, tanpa menggunakan suatu eksperimen, tanpa melakukan suatu gerakan, dan tanpa mengalami kerisauan. la memberikan waktunya pada segala sesuatu, mengumpulkan variasi-variasinya, mem­berikan kepadanya sifat-sifatnya, dan menetapkan corak wajahnya dengan mengetahuinya sebelum menciptakannya, menyadari sepenuhnya batas-batasnya dan kesudahannya, dan menilai kecenderungan dan kerumitannya.

Ketika Yang Mahakuasa menciptakan lowongan-lowongan atmosfer, mengembangkan ruang angkasa dan lapisan-lapisan angin, la mengalirkan ke dalamnya air yang ombak-ombaknya membadai dan yang gelombang-gelombangnya saling melompati. la memuatnya pada angin yang kencang dan badai yang mematahkan, memerintahkannya untuk mencurahkannya kembali (sebagai hujan), memberikan kepada angin kendali atas kekuatan hujan, dan memperkenalkannya dengan batasan-batasannya. Angin meniup di bawahnya sementara air mengalir dengan garang atasnya.

Kemudian Yang Mahakuasa menciptakan angin dan membuat gerakannya mandul, mengekalkan posisinya, mengintensifkan gerakannya dan menyebarkannya menjauh dan meluas. Kemudian la memerintahkan angin itu membangkitkan air yang dalam dan mengintensifkan gelombang laut. Maka angin mengocoknya sebagaimana mengocok dadih dan mendorongnya dengan sengit ke angkasa dengan melemparkan posisi depannya di belakang, dan yang berdiam pada yang terus mengalir, sampai permukaannya terangkat dan permukaannya penuh dengan buih. Kemudian Yang Mahakuasa mengangkat buih ke angin yang terbuka dan cakrawala yang luas dan membuat darinya ketujuh langit dan menjadikan yang lebih rendah sebagai gelombang yang berdiam dan yang di atas sebagai atap yang melindungi dan suatu bangunan tinggi tanpa tiang untuk menopang atau paku untuk menyatukannya. Kemudian la menghiasinya dengan bintang-bintang dan cahaya meteor dan menggantungkan padanya matahari dan bulan yang bercahaya di bawah langit yang beredar, langit yang bergerak dan cakrawala yang berputar.

Tentang Penciptaan Malaikat.
Kemudian la menciptakan rongga-rongga di antara langit-langit yang tinggi dan mengisinya dengan segala golongan malaikat-Nya. Sebagian dari mereka dalam bersujud dan tidak bangkit berlutut. Yang lain-lainnya dalam posisi berlutut dan tidak berdiri. Sebagian dari mereka dalam keadaan berbaris dan tidak meninggalkan posisinya. Yang lain-lainnya sedang memuji Allah tanpa menjadi lelah. Tidurnya mata atau tergelincirnya akal, atau kelelahan tubuh atau kelupaan tidak menimpa mereka.

Di antara mereka ada yang bekerja sebagai pembawa risalah-Nya yang terpercaya, yang merupakan lidah-lidah berbicara untuk para nabi-Nya, dan mereka ini yang membawa kesana kemari perintah-perintah dan suruhan-Nya. Di antara mereka ada para pelindung makhluk-makhluk-Nya dan pengawal pintu surga. Di antara mereka ada yang langkah-langkahnya tetap di bumi tetapi lehernya menjulang ke langit, anggota badan mereka keluar dari segala sisi, bahu mereka sesuai dengan tiang-tiang ‘Arsy Ilahi, mata mereka tertunduk di hadapannya, mereka membentangkan sayap-sayapnya dan mereka membuat di antara sesama mereka dan semua yang selainnya tirai kehormatan dan layar kekuasaan. Mereka tidak memikirkan Pencipta mereka melalui khayal, tidak memberikan kepada-Nya sifat-sifat makhluk, tidak membataskan-Nya dalam suatu tempat kediaman dan tidak menunjuk kepada-Nya melalui gambaran.

Gambaran tentang Penciptaan Adam.
Allah mengumpulkan lempung tanah yang keras, lembut, manis dan asam, yang dicelupkan-Nya ke dalam air dan mengadoninya dengan uap lembab sampai itu menjadi rekat. Darinya ia membuat patung dengan lekukan-lekukan, persendian, anggota dan bagian-bagian. la memadukannya sampai ia mengering untuk waktu tertentu dan jangka waktu yang diketahui. Kemudian la meniupkan ke dalamnya Ruh-Nya sehingga ia mengambilpola manusia dengan pikiran yang mengaturnya, kecerdasan yang digunakannya, anggota badan yang melayaninya, organ-organ yang merigubah posisinya, kebijaksanaan yang membedakan antara yang benar dan salah, rasa dan bau, warna dan jenis. la adalah suatu campuran antara lempung berbagai warna, bahan-bahan rekat, yang berlawanan, yang aneka ragam dan sifat-sifat yang berbeda seperti panas, dingin, lembut dan keras.

Kemudian Allah menyuruh kepada malaikat untuk memenuhi janji-Nya dengan mereka dan memenuhi janji menaati perintah-Nya kepada mereka dengan pengakuan kepada-Nya melalui sujud kepada-Nya dan tunduk kepada kedudukannya yang mulia. Maka Allah berfirman, “Tunduklah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun tunduk kecuali iblis.” (QS. 2:34; 7:11; 17:61; 18:50; 20:116). Kesombongan mencegah dia dan keburukan mengalahkannya. Maka ia membangga-banggakan penciptaannya sendiri (yang) dari api dan bersikap menghina ciptaan dari lempung. Maka Allah memberikan waktu kepadanya agar ia sepenuhnya patut menerima kemurkaan-Nya, dan melengkapi ujian (pada manusia) dan untuk me­menuhi janji (yang telah diberikan-Nya kepada iblis). Maka la berkata, “Sesungguhnya engkau telah diberi waktu sampai pada hari yang diketahui.” (QS. 15:37-38; 38:81) Setelah itu Allah menempatkan Adam di suatu rumah di mana la membuat kehidupannya senang dan kediamannya aman, dan la memperingatkannya supaya berhati-hati terhadap iblis dan musuhnya. Lalu musuhnya (iblis) merasa iri atas tinggalnya di surga dan hubungan-hubungannya dengan yang bajik. Maka ia pun mengubah keyakinannya menjadi goyah, dan tekadnya menjadi lemah. Dengan demikian ia mengubah kebahagiaan Adam menjadi ketakutan, dan martabatnya men­jadi sesal dan malu. Kemudian Allah memberikan kepada Adam kesempatan untuk bertaubat, mengajarkan kepadanya kata-kata dari Rahmat-Nya, menjanjikan kepadanya untuk kembali ke surga-Nya dan mengirimkannya ke tempat percobaan dan perkembangbiakan keturunan.

Allah Memilih Para Nabi-Nya.
Dari antara keturunannya, Allah Yang Mahasuci memilih nabi-nabi dan mengambil janjinya untuk wahyu-Nya dan untuk menyampaikan risalah-Nya sebagai amanat mereka. Dalam perjalanan waktu, banyak orang menyelewengkan amanat Allah dan mengabaikan kedudukan-Nya, dan meng­ambil serikat bersama-Nya. Iblis memalingkan mereka dari mengenal-Nya dan menjauhkan mereka dari menyembah kepada-Nya. Kemudian Allah mengutus rasul-rasul-Nya dan serangkaian nabi-Nya kepada mereka agar mereka memenuhi janji-janji penciptaan-Nya, untuk mengingatkan kepada mereka nikmat-nikmat-Nya, untuk berhujah kepada mereka dengan tablig, untuk membukakan di hadapan mereka kebajikan-kebajikan dan kebijaksa-naan yang tersembunyi, dan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kemahakuasaan-Nya, yakni langit yang ditinggikan di atas mereka, bumi yang ditempatkan di bawah mereka, rezeki yang memelihara mereka, ajal yang mematikan mereka, sakit yang menuakan mereka, dan kejadian susul-menyusul yang menimpa mereka.

Allah Yang Mahasuci tak pernah membiarkan hamba-Nya tanpa nabi diutuskan kepada mereka, atau tanpa kitab yang diturunkan kepada mereka atau argumen yang mengikat atau dalil yang kuat. Para rasul itu tidak merasa kecil karena kecilnya jumlah mereka dan besarnya jumlah yang mendustainya. Di antara mereka ada pendahulu yang akan menyebutkan nama yang akan menyusul atau pengikut yang telah dikenalkan oleh pendahulunya.

Pengutusan Muhammad SAWW.
Secara demikian zaman-zaman berlalu dan waktu terus bergulir, ayah pergi sementara putra-putra mereka menggantikannya, sampai Allah mengutus Muhammad SAWW sebagai rasul-Nya, dalam memenuhi janji-Nya dan untuk melengkapi Kenabian-Nya. Janji-Nya telah diambil dari para nabi, tabiat karaktemya termasyhur dan kelahirannya mulia. Manusia bumi pada saat itu terbagi dalam berbagai kelompok, tujuan mereka terpisah dan jalan-jalan mereka beraneka. Mereka menyerupakan Allah dengan ciptaan-Nya atau menggeser nama-nama-Nya atau berpaling kepada yang selain Dia.

Melalui Muhammad SAWW, Allah memandu mereka keluar dari kesalahan, dan dengan usahanya la membawa mereka keluar dari kejahilan. Kemudian Allah memilih Muhammad SAWW dan keturunannya, untuk menemui-Nya, memilihnya untuk kedekatan kepada-Nya sendiri, memandangnya terlalu mulia untuk tinggal di dunia ini, dan memutuskan untuk mengeluarkannya dari tempat percobaan ini. la menariknya kepada Diri-Nya sendiri dengan kemuliaan. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau dan keluarganya.

Al Quran dan Sunah.
Tetapi Nabi meninggalkan di antara Anda sesuatu yang sama sebagaimana yang ditinggalkan nabi-nabi lain di antara umat mereka, karena nabi-nabi tidak meninggalkan mereka dalam kegelapan tanpa jalan yang terang dan panji yang tegak, yakni Kitab dari Pencipta Anda yang menjelaskan yang halal dan haram, perintah-perintah dan keutamaan-keutamaannya, yang menasakh dan yang dinasakh, hal-halnya yang halal dan yang wajib, hal-halnya yang khusus dan umum, pelajaran dan amsalnya, yang panjang dan singkatnya, yang jelas dan samamya, mendetailkan singkatan-singkatannya dan menjelaskan yang samamya.
Di dalamnya ada beberapa ayat yang pengetahuan tentangnya diwajibkan, 
[i] dan yang lain-lainnya yang ketidaktahuan manusia tentangnya dibolehkan. la juga mengandung apa yang nampak sebagai wajib menurut Kitab,

[ii](2) tetapi nasakhnya disuguhkan oleh sunah Nabi atau apa yang nampak sebagai wajib menurut sunah Nabi tetapi Kitab membolehkan orang tidak mengikutinya. Atau ada yang wajib pada suatu waktu tertentu tetapi tidak sesudahnya. 

Larangan-larangannya juga berbeda. Ada yang berat, yang mengenainya ada ancaman api (neraka), dan yang lainnya ringan, yang untuk itu terdapat harapan keampunan. Ada pula yang dalam ukuran kecil dapat diterima (bagi Allah) tetapi dapat membesar (bila diteruskan).
 
Dalam Khotbah yang Sama, tentang Haji.
Allah telah mewajibkan Anda berhaji ke Rumah Suci-Nya yang merupakan kiblat bagi manusia yang pergi kepadanya sebagaimana hewan liar atau merpati pergi ke sumber air. Allah Yang Mahasuci menjadikannya pertanda atas ketundukan mereka di hadapan Keagungan-Nya dan pengakuan mereka akan Kemuliaan-Nya. la memilih dari antara ciptaan-Nya orang-orang yang ketika mendengar seruan-Nya menyambutnya dan mem-benarkan sabda-Nya. Mereka berdiri pada posisi para nabi-Nya dan menyerupai para malaikat-Nya yang mengelilingi Mahligai-Nya untuk mendapatkan segala manfaat dari melaksanakan pengabdian kepada-Nya dan bergegas untuk (mendapatkan) keampunan yang telah dijanjikan-Nya. Allah Yang Mahasuci menjadikannya sebagai syiar bagi Islam dan objek penghormatan bagi orang-orang yang berpaling ke situ. la mewajibkan hajinya dan meletakkan klaimnya yang untuk itu la menuntut tanggung jawab Anda untuk melaksanakannya. Dan Allah Yang Mahasuci berfirman, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitulldh yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. ” (QS. 3:96) •

[i] “Pangkal agama (din) adalah makrifat tentang Dia.” Makna din ialah ketaatan, dan makna populeraya tatanan. Baik dalam makna harfiah, ataupun populer, apabila pikiran kosong dari konsepsi Ketuhanan, tak akan ada masalah ketaatan, tidak ada pula urusan dengan mengikuti suatu aturan. Karena, bila tidak ada tujuan maka tidak ada alasan untuk menuju ke sana; bila tidak ada tujuan yang diharap, tidak akan ada usaha untuk mencapainya. Bagaimanapun, ketika fitrah dan naluri manusia mendekatkannya kepada Yang Mahatinggi, dan rasa taat serta penyerahan merendahkannya di hadapan Tuhan, ia merasa terikat dengan batasan-batasan tertentu, berlawanan dengan kebebasan semena-mena. Batasan-batasan inilah din, yang titik mulanya ialah pengetahuan tentang Allah serta pengakuan atas Wujud-Nya.

Setelah menunjukkan hakikat makrifat atau pengetahuan tentang Allah, Amirul Mukminin menggambarkan pokok-pokok dan syarat-syaratnya. la menganggap bahwa tahap-tahap pengetahuan yang umumnya dianggap sebagai titik pendekatan tertinggi tidaklah mencukupi. la mengatakan bahwa tahap pertamanya ialah dengan fitrah kerinduan kepada yang gaib dan bimbingan hati nurani, atau dengan mendengar dari para penganut agama, terbentuklah dalam pikiran suatu citra tentang Wujud Gaib yang dikenal sebagai Allah. Gambaran ini sesungguhnya adalah pendahulu dari kewajiban berpikir dan merenung serta mencari pengetahu­an tentang Dia. Tetapi, orang yang senang bermalas-malas, atau dalam tekanan lingkungannya, tidak melakukan pencarian ini, sehingga walaupun ada tercipta citra semacam itu, citra itu tidak sampai beroleh kesaksian. Dalam hal ini mereka tidak mendapatkan pengetahuan, dan karena mereka tidak sampai pada tahap panyaksian dan pembuktian atas pembentukan citra itu maka pelanggaran mereka itu patut dimintai pertanggungan jawab. Tetapi, orang yang digerakkan oleh kekuatan citra ini maju lebih jauh dan memandang perlu berpikir dan merenungkannya.

Dengan jalan ini ia sampai ke tahap berikut dalam mencapai pengetahuan Ilahi, yakni mencari Yang Maha Pencipta melalui aneka ragam penciptaan dan makhluk, karena setiap gambar merupakan pandu yang kuat menuju kepada penggambarnya, dan setiap akibat merupakan hasil tindakan dari penyebabnya. Apabila ia melemparkan pandangan ke sekitarnya, ia tidak mendapatkan suatu apa pun yang menjadi ada tanpa tindakan si pembuat; ia tak dapat memperoleh suatu jejak langkah tanpa pejalan yang meninggalkan jejak, tiada pula bangunan tanpa pem-bangun. Bagaimana ia dapat memahami bahwa langit biru ini, dengan matahari dan bulan di cakrawala, bumi dengan kelimpahan rumputan dan bunga-bungaan dapat menjadi ada tanpa perbuatan Pencipta. Oleh karena itu, setelah mengamati segala yang ada di dunia dan sistem teratur dari seluruh penciptaan, orang tak dapat menyimpulkan lain kecuali bahwa ada Pencipta atas keanekaragaman dan keberadaan dunia; ini tak mungkin terjadi dari tak ada, tak ada keberadaan muncul dari ketiadaan. Al Quranul Karim menunjukkan penalaran ini,
“Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta   langit dan bumi?” (QS. 14:10)
Tetapi, tahap ini pun tak akan cukup, apabila bukti-bukti adanya Allah ini dicemari oleh kepercayaan akan ketuhanan sesuatu yang lain.

Tahap ketiga, keberadaan-Nya diakui bersama kepercayaan akan Keesaan-Nya, Tauhid. Tanpa ini maka kesaksian akan adanya Allah tak mungkin sempuma; karena, apabila ada kepercayaan akan adanya banyak tuhan, maka la tidak akan Esa, padahal la Esa. Nalarnya, bila ada lebih dari satu tuhan maka akan timbul pertanyaan apakah salah satu darinya, atau mereka semua bersama-sama menciptakan semua ciptaan ini. Apabila salah satu darinya yang menciptakannya maka harus ada sebab yang membedakannya dari yang lain; kalau tidak, ia akan mendapatkan kedudukan istimewa tanpa alasan, yang tak dapat diterima akal.

Apabila semua telah menciptakannya secara bersama-sama maka posisinya hanya mempunyai dua bentuk: ia tak dapat melakukan tugasnya tanpa pertolongan dari yang lain, atau ia tidak memerlukan bantuan mereka.
Kasus pertama berarti ia tidak mampu dan memerlukan bantuan pihak lain, sedang kemungkinan kedua berarti bahwa ada beberapa pelaku bersama dari suatu tindakan tunggal, dan kepalsuan tentang keduanya telah ditunjukkan. Apabila kita anggap semua tuhan itu melaksanakan penciptaan dengan saling membagi di antara sesamanya maka dalam hal ini tidak semua ciptaan akan mempunyai hubungan dengan pencipta itu, karena setiap makhluk hanya mempunyai hubungan dengan penciptanya sendiri, padahal setiap makhluk harus mempunyai hubungan yang satu dan sama kepada semua pencipta itu. Sebab, semua ciptaan harus mem­punyai hubungan yang satu dan sama kepada semua pencipta itu, karena semua ciptaan, dalam kemampuannya untuk menerima pengaruh, dan semua pencipta, dalam kemampuannya untuk menghasilkan pengaruh, harus sama. Singkatnya, tidak ada jalan kecuali mengakui-Nya sebagai Esa; karena, bila ada banyak pen­cipta maka tidak akan ada apa pun lainnya, kehancuran pasti menimpa bumi, langit dan segala sesuatu dalam penciptaan. Allah SWT telah mengungkapkan argumen ini dalam kata-kata berikut:
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah ke­duanya itu telah rusak-binasa …. (QS.  21:22).

Tahap keempat ialah bahwa Allah harus bebas dari segala cacat dan kekurangan, dan kosong dari jasad, bentuk, gambaran, kesamaan, kedudukan tempat dan waktu, gerak, diam, ketidakmampuan dan ketidaktahuan. Tak mungkin ada kekurangan atau cacat pada Wujud yang sempurna itu, tiada pula yang dapat disamakan dengan Dia, karena sifat cacat itu menurunkan Wujud dari posisi tinggi Pencipta ke posisi rendah ciptaan. Itulah sebabnya maka Keesaan dan Kesucian Allah dari segala kekurangan adalah sama pentingnya.

“Katakanlah: ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. dan tidak ada seorang pun yang setara dangan Dia.'” (QS. 112:1-4).

“Makajanganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS.   16:74).

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 42:11).

Tahap kelima penyempurnaan pengetahuan tentang Dia ialah sifat-sifat itu harus tidak dilekatkan kepada-Nya dari luar, supaya tidak ada kegandaan dalam Keesaan-Nya, dan bila kita menyimpang dari konotasinya yang semestinya tentang Keesaan, kita mungkin jatuh ke dalam jebakan satu dalam tiga dan tiga dalam satu; karena Wujud-Nya bukanlah suatu kombinasi hakikat dan bentuk maka sifat-sifat itu tak dapat melekat pada-Nya seperti bau dalam bunga atau cahaya pada bintang. la adalah sumber segala sifat dan tidak memerlukan perantara untuk perwujudan Sifat-sifat-Nya yang sempuma. la dinamakan Maha Mengetahui karena tanda-tanda pengetahuan-Nya nyata. la dinamakan Mahakuasa karena setiap partikel menunjukkan Kemahakuasaan dan kegiatan-Nya, dan bila pada-Nya disifatkan Kemampuan untuk mendengarkan atau melihat, hal itu disebabkan kepaduan antara seluruh penciptaan dan pengurusannya tidak dapat dilakukan tanpa mendengar atau melihat; tetapi adanya sifat-sifat ini pada-Nya tidak dapat dipandang sama dengan yang ada pada ciptaan, yakni tidaklah la baru dapat mengetahui setelah la beroleh pengetahuan, atau baru berkuasa setelah tenaga masuk ke dalam anggota-Nya, karena mengambil sifat sebagai terpisah dari Wujud-Nya akan mengandung makna ganda, dan di mana ada kegandaan maka keesaan menghilang. Itulah sebabnya Amirul Mukminin menolak ide sifat-sifat sebagai tambahan kepada Wujud-Nya; ia mengajukan Keesaan (Tauhid) dalam maknanya yang sesungguhnya, dan tidak mengizinkan Tauhid dinodai dengan kemajmukan.

Hal ini tidak berarti bahwa sifat-sifat sama sekali tak dapat diatributkan kepada-Nya, karena ini akan memberikan dukungan kepada orang-orang yang meraba-raba di jurang gelap negativisme, sekalipun setiap penjuru dan sudut di seluruh eksistensi melimpah dengan sifat-sifat-Nya dan setiap zarah ciptaan menyaksikan bahwa la mempunyai pengetahuan, la berkuasa, la mendengar, la melihat. la memelihara dan mengizinkan pertumbuhan dengan rahmat-Nya. Maksudnya ialah bahwa bagi Dia tak ada sesuatu yang dapat disarankan sebagai tambahan kepada-nya, karena diri-Nya meliputi sifat-sifat, dan sifat-sifat-Nya bermakna diri-Nya meliputi sifat-sifat. Marilah kita pelajari tema ini dalam kata-kata Imam Ja’far ibn Muhammad ash-Shadiq (as) dengan membandingkannya dengan keimanan akan Keesaan yang ditempuh oleh paham-paham lain, kemudian menilai siapakah pembela konsep Tauhid yang sesungguhnya.
Imam Ja’far Shadiq mengatakan,
“Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi sejak semula telah mempunyai penge-tahuan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu untuk diketahui, (mem­punyai) penglihatan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu untuk dilihat, (mempunyai) pendengaran sebagai Diri-Nya, sekalipun tiada sesuatu untuk didengar, mempunyai kekuasaan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu di bawah kekuasaan-Nya. Ketika la menciptakan benda-benda dan obyek pengetahuan menjadi nyata, pengetahuan-Nya menjadi berhubungan dengan yang diketahui, pendengaran dengan yang didengar, penglihatan dengan yang dilihat, dan kekuasaan dengan objek-objeknya.” (Syeikh Shaduq, at-Tauhid, hal. 139).

Para imam Ahlulbait sepaham dalam kepercayaan ini, tetapi kalangan mayoritas telah menempuh jalan berbeda dengan menciptakan gagasan pembedaan antara Diri-Nya dan Sifat-sifat-Nya. Asy-Syahristani menulis dalam bukunya Kitab al-Milal wa an-Nihal,
“Menurut Abul Hasan Al-Asy’ari, Allah mengetahui melalui (sifat) tahu, Kuasa melalui kegiatan, berbicara melalui bicara, mendengar melalui pendengaran, dan melihat melalui penglihatan.”.

Apabila kita memandang sifat-sifat berbeda dan Diri-Nya secara ini, maka akan ada dua alternatif: sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak semula atau sifat-sifat itu terjadi kemudian. Apabila sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak semula, kita terpaksa mengakui objek-objek itu kekal sejauh sifat-sifat itu, yang semuanya bersaham dengan-Nya dalam kekekalan, tetapi “Mahasuci Allah dari apa yang merekapersekutuan”. (QS. 9:31) Apabila kita menganggap bahwa sifat-sifat itu baru terjadi kemudian maka, di samping menundukkan-Nya pada perubahan-perubahan itu, akan berarti pula bahwa sebelum mendapatkan sifat-sifat itu la tidak tahu, tidak kuasa, tidak mendengar, dan tidak melihat, dan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mendasar.

[ii] Tentang Al Quran, Amirul Mukminin berkata bahwa ia mengandung uraian tentang perbuatan-perbuatan yang halal dan yang haram, seperti firman Allah:
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ….” (QS. 2:275).
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa) ….” (QS. 4:103).
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang ter-dapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyatd bagimu.” (QS. 2:168).
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal kepada Tuhannya.dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.'” (QS. 18:110).
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. 2:44).
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. 2:275).

Ia menjelaskan perbuatan-perbuatan yang wajib dan sunah, seperti:
“Apabilah kamu telah menyelesaikan shalat (takut), ingatlah akan Allah di waktu kamu berdiri, duduk atau berbaring, dan bilamana kamu merasa aman (dari musuh) maka dirikanlah shalat (sebagaimana biasa).” (QS. 4:103).

Di sini shalat (mengingat Allah) adalah wajib, sementara bentuk-bentuk lainnya dalam mengingat Allah adalah sunnah. Ia mengandung ayat-ayat yang nāsikh dan mansūkh, seperti masa iddah setelah kematian suami “empat bulan sepuluh hari”, (QS. 2:234) atau yang mansūkh seperti “hingga setahun lamanya tanpa disuruh pindah (dari rumah)”, (QS. 2:240) yang menunjukkan bahwa masa iddah itu harus setahun.

Di tempat-tempat tertentu ia menghalalkan yang haram, seperti, “Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. 5:3).

la mengandung perintah-perintah yang khusus dan umum. Khusus ialah perin-tah di mana kata itu menunjukkan keumuman tetapi maknanya terbatas, seperti, “Aku telah melebihkan kamu (Bam Isra’il) atas seisi dunia.” (QS. 2:47) Di sini kata dial- ‘alamin (seisi dunia) terbatas pada masa tertentu itu, walaupun kata itu umum dalam makna harfiahnya.

Perintah-perintah yang umum ialah perintah yang luas dalam pengertiannya, seperti, “‘Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.   4:32).

la mengandung pelajaran dan gambaran, seperti:
“Allah menghukum di dunia ini dan yang akan datang, dan di situ terdapat pelajaran.” (QS. 79:25-26).

“Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia.” (QS. 78:25).

“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya)”. (QS. 79:26).

“Perkataan yang baik dan pemberian maaflebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun”. (QS. 2:263).

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa.” (QS. 2:63).

Maka Kamijadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. 2:66).

Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit. (QS. 3:5).

Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. (QS. 47:21).

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa danjanganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. 4:19).

Katakanlah: “Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.” (QS. 2:139).

Terdapat pelajaran di dalamnya bagi orang yang bertakwa kepada Allah.” (QS.  3:138).

Ayat yang berisi gambaran misalnya, “Misal orang-orang yang menafkahkan harta bendanya di jalan Allah adalah ibarat sebutir benih yang menumbuhkan lima butir yang masing-masing butir mengandung seratus butir,” (QS. 2:261).

la mengandung ayat-ayat yang khāsh dan ‘ām. ‘Ām ialah ayat yang tidak mengandung batasan tentang spesifikasi, seperti, “Ingatlah ketika Musa mengatakan kepada kaumnya, ‘Allah memerintahkan kamu untuk menyembelih seekor sapi betina.'” (QS. 2:67).

Ayat yang khāsh ialah ayat di mana penujukannya terbatas, seperti, “bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah maupun mengairi tanaman”. (QS. 2:71).

Ada ayat muhkamāt dan mutasyābihāt di dalamnya. Ayat muhkamāt ialah ayat yang tidak ada kerumitan di dalamnya, seperti, “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu,” (QS. 33:27) .

sedang ayat mutasyābihāt ialah yang pengertiannya mengandung komplikasi, seperti, “Yang Rahman yang bersemayam di ‘arsy” (QS. 20:5), yang arti lahiriahnya memberi kesan seakan-akan Allah secara jasmani duduk di singgasana padahal maksudnya ialah untuk menekankan wewenang dan kekuasaan-Nya.
Di dalamnya ada perintah-perintah singkat, seperti, “Dirikanlah shalat,” (QS. 17:78) dan yang mengandung makna yang mendalam, seperti ayat-ayat yang mengatakan, “Dan tiadalah yang mengetahui takwilnya selain Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.” (QS. 3:7).

Kemudian Amirul Mukminin meluaskan tema ini dalam gaya lain dengan mengatakan bahwa ada beberapa hal di dalamnya yang wajib diketahui, seperti, “Maka ketahuilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah.” (QS. 47:19), dan ada lain-lain yang tidak perlu diketahui, seperti “alif lām mīm” (QS. 2:1) dan sebagainya.
la juga mengandung perintah-perintah yang telah diulang-ulang oleh sunah Nabi, seperti, “Tentang perempuan-perempuan kamu yang berbuat zina, ambillah empat saksi laki-laki dan, apabila empat saksi itu datang, kurunglah perempuan itu hingga ajal mengakhiri hidupnya.” (QS. 4:15) Hukuman ini berlaku di masa dini Islam, tetapi kemudian diganti dengan rajam dalam hal wanita bersuami.

Di dalamnya ada beberapa perintah yang menasakh perbuatan Nabi, seperti, “Hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram” (QS. 2:149) yang dengan itu perintah untuk berkiblat ke Baitul Maqdis dinasakh.
la juga mengandung perintah-perintah yang hanya wajib pada masa waktu tertentu, yang sesudahnya perintah itu berakhir, seperti, “Apabila seruan untuk shalat dilakukan pada hari Jumat, maka bergegaslah kamu mengingat Allah.” (QS. 62:9) la juga menunjukkan derajat-derajat larangan seperti pembagian dosa dalam yang ringan dan yang berat—yang ringan seperti “katakanlah kepada orang-orang mukmin untuk merendahkan matanya” (QS. 24:30), dan yang berat seperti “barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka imbalannya ialah tinggal di neraka selama-lamanya “. (QS. 4:39) la juga berisi perintah-perintah di mana sedikit pelaksanaannya sudah cukup, tetapi ada kesempatan untuk pelaksanaan lebih jauh, seperti, “Bacalah Al Quran sebanyak yang dapat kamu lakukan dengan mudah. ” (QS. 73:20).

Katakanlah kapada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka mena-han pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetaui apa yang mere­ka perbuat.” (QS. 24:30).

Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyui uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka danjiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berji­had dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surgu) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. 4:95).

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagi-mu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang \ang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yung berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperolehnyu di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguh­nya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 73:20).

Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dia Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. (QS. 26:9).

Disampaikan Ketika Kembali dari Perang Shiffin.
Saya memuji Allah dengan memohon kelengkapan Rahmat-Nya dengan tunduk kepada Keagungan-Nya dan mengharapkan keselamatan dari ber-buat dosa kepada-Nya. Saya memohon pertolongan-Nya karena memerlukan kecukupan-Nya (untuk perlindungan). Orang yang ditunjuki-Nya tidak tersesat, orang yang memusuhi-Nya tidak mendapat perlindungan, orang yang didukung-Nya tidak akan tetap kekurangan. Pujian adalah yang paling berat dari semua yang ditimbang dan paling berharga dari semua yang disimpan.

Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Esa. Tidak ada yang menyerupai-Nya. Kesaksian saya telah teruji dalam keterbukaannya, dan hakikatnya adalah iman kami. Kami akan berpegang teguh padanya selama kami hidup dan akan menyimpannya dengan menghadapi azab yang me-nyusul kami karena ia adalah batu fondasi keimanan dan langkah pertama kepada amal saleh dan keridaan Ilahi. la adalah sarana untuk menjauhkan iblis.

Saya juga bersaksi bahwa Muhammad SAWW adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Allah mengutus-Nya dengan agama yang cemerlang, syiar yang efektif, Kitab yang terpelihara, cahaya yang bersinar, nyala yang kemilau, dan perintah yang tegas untuk mengusir keraguan, mengajukan bukti-bukti yang jelas, menetapkan peringatan melalui tanda-tanda, dan memperingatkan akan hukuman. Pada waktu itu manusia telah jatuh ke dalam kemungkaran yang dengan itu tali agama telah diputuskan, tiang-tiang keimanan telah tergoncang, prinsip-prinsip telah dicemari, sistem telah jungkir balik, pintu-pintu sempit, lorong-lorong gelap, petunjuk tidak dikenal, dan kegelapan merajalela.

Allah tidak ditaati, iblis diberi dukungan, dan keimanan telah dilupakan. Akibatnya, tiang-tiang agama runtuh, jejak-jejaknya tak terlihat, lorong-lorongnya telah dirusakkan dan jalan-jalannya telah binasa. Manusia menaati iblis dan melangkah pada jalan-jalannya. Mereka mencari air pada tempat-tempat pengairannya. Melalui mereka lambang-lambang iblis berkibar dan panjinya diangkat dalam kejahatan yang menginjak-injak manusia di bawah tapak kakinya, dan melangkah di atasnya dengan kaki mereka. 

Kejahatan berdiri (tegak) di atas jari-jari kakinya dan manusia yang tenggelam di dalamnya menjadi bingung, jahil dan terbujuk seakan-akan dalam suatu rumah yang baik[i] dengan tetangga-tetangga yang jahat. Sebagai ganti tidur, mereka terjaga, dan sebagai celaknya adalah air mata. Mereka berada di suatu negeri di mana orang berilmu terkekang (mulut mereka tertutup) sementara orang jahil dihormati.

Dalam khotbah yang sama, Amirul Mukminin a.s. merujuk kepada Ahlul Bayt sebagai berikut:
Mereka adalah pengemban wasiat, tempat berteduh bagi urusan-Nya, sumber pengetahuan tentang Dia, pusat kebijaksanaan-Nya, lembah bagi kitab-kitab-Nya dan bukit bagi agama-Nya. Melalui mereka Allah meluruskan punggung agama yang bengkok dan menyingkirkan gemetar anggota-anggota badannya.

Dalam khotbah yang sama,  ia berbicara tentang orang lain sebagai berikut:
Mereka menabur kejahatan, mengairinya dengan tipuan dan menuai kehancuran. Tak seorang pun di antara umat Islam yang dapat dipandang sejajar dengan Keluarga Muhammad SAWW.

[ii] Orang yang mendapatkan kenikmatan dari mereka tak dapat dibandingkan dengan mereka. Mereka adalah fondasi agama dan tiang iman. Pelari di depan harus berbalik sementara yang di belakang harus menyusul mereka. Mereka memiliki ciri utama kewalian. Bagi mereka ada wasiat dan warisan (Nabi). Inilah waktunya hak itu kembali kepada pemiliknya dan dialihkan kepada pusat tempat kembalinya. •


[i] Rumah yang baik di sini berarti Makkah, sedang tetangga-tetangga yang buruk berarti kaum kafir Quraisy.
[ii] Tentang keluarga (āl) Nabi, Amirul Mukminin mengatakan bahwa tidak ada orang di dunia ini yang setaraf dengan mereka, tak ada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam kemuliaan, karena dunia ini penuh dibebani tanggung jawab mereka dan hanya mampu mendapatkan rahmal abadi melalui bimbingan mereka. Mereka adalah batu penjuru dan fondasi agama serta pemelihara kehidupannya dan kelanjutannya. Mereka adalah tiang-tiang pengetahuan dan keimanan yang demikian kuat sehingga dapat menyingkirkan arus dahsyat keraguan dan kecurigaan. Mereka begitu menengah di antara jalan berlebihan dan keterbelakangan sehingga barangsiapa pergi mendahului harus kembali, dan yang tertinggal di belakang harus melangkah maju ke jalan tengah itu, supaya tetap berada di jalan Islam. Mereka mempunyai semua keutamaan yang memberikan keunggulan dalam hak kewalian dan imamah, dan tiada orang lain dalam ummah yang mempunyai hak sebagai pelindung dan wali. Itulah sebabnya Nabi me-maklumkan mereka sebagai para wali dan pelanjutnya.

Tentang wasiat dan kewalian, pensyarah ibn Abil Hadid Al-Mu’tazili menulis bahwa tidak mungkin ada keraguan tentang kekhalifahan Amirul Mukminin, tetapi kewalian tak dapat mencakup kekhalifahan dalam pemerintahan, walaupun mazhab Syi’ah menafsirkannya demikian. Kewalian itu bermakna kewalian dalam pengetahuan. Sekarang, sekiranya menurut dia kewalian diartikan kewalian dalam pengetahuan sekalipun, nampaknya ia tidak berhasil dalam mencapai tujuannya, karena sekalipun dengan penafsiarannya itu, hak untuk menggantikan Nabi tidak berpindah pada seseorang mana pun lainnya. Bilamana disepakati bahwa penge­tahuan adalah syarat yang paling hakiki bagi kekhalifahan, karena fungsi ter-penting dari khalifah Nabi ialah pelaksanaan keadilan, penyelesaian masalah hukum-hukum agama, menjelaskan hal-hal yang rumit, dan melaksanakan hukum-hukum agama. Apabila tugas-tugas ini dilepaskan dari khalifah Nabi maka ke-dudukannya akan merosot menjadi pemerintahan duniawi. la tak dapat dipandang sebagai pusat wewenang keagamaan. Oleh karena itu kita harus memisahkan wewenang pemerintahan dari kekhalifahan Nabi, atau menerima kewalian penge­tahuan Nabi untuk kesesuaian dengan kedudukan itu.

Interpretasi Ibn Abil Hadid dapat diterima, apabila Amirul Mukminin hanya mengucapkan kalimat ini saja. Tetapi, mengingat bahwa hal itu diucapkan segera setelah pengakuan terhadap Ali sebagai Khalifah, dan baru sesudah itu ada kalimat “hak itu telah kembali kepada pemiliknya”, penafsirannya ini nampak tak beralasan. Malah, wasiat Nabi itu tak dapat berarti wasiat apa pun selain ke­khalifahan, dan kewalian bukan berarti kewalian dalam harta atau pengetahuan, karena bukan tempatnya untuk menyebutnya di sini. Kewalian itu harus berarti kewalian dalam hak kepemimpinan yang datangnya dari Allah; bukan sekadar atas dasar kekeluargaan tetapi atas dasar sifat-sifat kesempurnaan.

Dikenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah[i]
Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii] membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu bahwa kedudukan saya sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan burung tak dapat terbang sampai kepada saya. Saya memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya.

Kemudian saya mulai berpikir, apakah saya harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, di mana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat matinya). Saya dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka saya mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan. Saya melihat perampokan warisan saya sampai orang yang pertama menemui ajalnya, tetapi mengalihkan kekhalifahan kepada Ibnu Khaththab sesudah dirinya.
Kemudian ia mengutip syair al-‘A’sya':

Hari-hariku kini berlalu di punggung unta (dalam kesulitan)
Sementara ada hari-hari (kemudahan)
Ketika aku menikmati pertemanan Hayyan, saudara Jabir.[iii]

Aneh bahwa selagi hidup ia ingin melepaskan diri dari kekhalifahan, tetapi ia mengukuhkannya untuk yang lainnya setelah matinya. Tiada ragu bahwa kedua orang ini sama bersaham pada puting-puting susunya semata-mata di antara mereka saja. Yang satu ini menempatkan kekhalifahan dalam suatu lingkungan sempit yang alot di mana ucapannya sombong dan sentuhannya kasar. Kesalahannya banyak, dan banyak pula dalihnya kemudian. Orang yang berhubungan dengannya adalah seperti penunggang unta binal. Apabila ia menahan kekangnya, hidungnya akan robek, tetapi apabila ia melonggarkannya maka ia akan terlempar. Akibatnya, demi Allah, manusia terjerumus ke dalam kesemberonoan, kejahatan, kegoyahan dan penyelewengan. Namun demikian saya tetap sabar walaupun panjang-nya masa dan tegarnya cobaan, sampai, ketika ia pergi pada jalan (kematian)nya, ia menempatkan urusan (kekhalifahan) pada suatu kelompok[iv] dan menganggap saya salah satu dari mereka. Tetapi, ya Allah, apa hubungan saya dengan “musyawarah” ini? Di manakah ada suatu keraguan tentang saya sehubungan dengan yang pertama dari mereka sehingga saya sekarang dipandang sama dengan orang-orang ini? Tetapi saya tetap merendah ketika mereka merendah dan terbang tinggi ketika mereka terbang tinggi. Seorang dari mereka menentang saya karena kebenciannya, dan yang lainnya cenderung ke jalan lain karena hubungan perkawinan dan karena ini dan itu, sehingga orang ketiga dari orang-orang ini berdiri dengan dada membusung antara kotoran dan makanannya. Bersamanya sepupunya pun bangkit sam-bil menelan harta Allah[v] seperti seekor unta menelan rumput musim semi, sampai talinya putus, tindakan-tindakannya mengakhiri dirinya dan keserakahannya membawanya jatuh tertelungkup.

Pada waktu itu tak ada yang mengagetkan saya selain kerumunan orang yang maju kepada saya dari setiap sisi seperti bulu tengkuk rubah sehingga Hasan dan Husain terinjak dan kedua ujung baju bahu saya robek. Mereka berkumpul di sekitar saya seperti kawanan kambing. Ketika saya mengambil kendali pemerintahan, suatu kelompok memisahkan diri dan satu kelompok lain mendurhaka, sedang yang sisanya mulai menyeleweng seakan-akan mereka tidak mendengar kalimat Allah yang mengatakan, “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak in gin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) buini. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. 28:83).

Ya, demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya, tetapi dunia nampak berkilau di mala mereka dan hiasannya menggoda mereka. Lihatlah, demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan menciptakan makhluk hidup, apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung tidak mengajukan hujah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, maka saya akan sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memberikan orang yang terakhir perlakuan yang sama seperti orang yang pertama. Maka Anda akan melihat bahwa dalam pandangan saya dunia Anda ini tidak lebih baik dari bersin seekor kambing.

Dikatakan bahwa ketika Arnirul Mukminin sampai di sini dalam khotbahnya, seorang lelaki dari ‘Iraq berdiri dan menyerahkan kepadanya suatu tulisan. Amirul Mukminin melihat (tulisan) itu, dan ketika itu juga Ibn ‘Abbas –semoga Allah meridai keduanya– berkata, “Ya Amirul Muk­minin, saya harap Anda lanjutkan khotbah Anda dari mana Anda telah memutuskannya.”

Atasnya ia menjawab,
“Wahai Ibn ‘Abbas, hal itu seperti uap dengusan seekor unta yang menyembur keluar tetapi (kemudian) mereda.”
Ibn ‘Abbas berkata bahwa ia tak pernah menyedihkan suatu ucapan sebagaimana atas yang satu ini, karena Amirul Mukminin a.s. tak dapat mengakhirinya sebagaimana diinginkannya.

Sayid Radhi mencatat: Kata-kata dalam khotbah, “seperti penunggang unta” bermaksud menyampaikan bahwa bilamana seorang penunggang unta menarik kendali dengan kaku maka dengan sentakan itu lobang hidungnya akan memar, tetapi apabila ia melonggarkannya padahal unta itu liar, maka unta itu akan melemparkannya di suatu tempat dan akan lepas kendali. Asynaq an-nāqah digunakan bilamana si penunggang menarik kekang dan meninggikan kepala unta. Dalam pengertian yang sama digunakan juga kata syanaqa an-nāqah. Ibnu Sikkit telah menyebutkannya dalam Islāhul Manthiq. Amirul Mukminin telah mengatakan asynaqa lahā sebagai ganti asynaqaha, karena ia menggunakannya seirama dengan aslasa lahā dan keselarasan hanya dapat dipertahankan dengan mengunakan keduanya dalam bentuknya yang sama. Jadi, Amirul Mukminin menggunakan asynaqa lahā seakan-akan sebagai ganti in rafa’a lahā ra’sahā, yakni “apabila ia menghentikannya dengan menarik kekang”.•


[i] Khotbah ini terkenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah dan dipandang sebagai salah satu khotbah Amirul Mukminin yang paling masyhur. Khotbah ini disampaikan di Ar-Rahbah (suatu bagian dari Kufah). Sebagian orang menyangkalnya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dan mengatakan bahwa itu dibuat-buat oleh Sayid Radhi (Syarif Radhi) namun para ulama pencinta kebenaran telah menyanggah sangkalan itu. 

Tidak ada pula dasar untuk penyangkalan itu. Perbedaan pandangan Ali a.s. dalam hal kekhalifahan bukanlah rahasia, sehingga singgungan-singgungan semacam itu tak dapat dipandang sebagai sesuatu yang asing. Dan, peristiwa yang telah disinggung dalam khotbah ini terpelihara dalam catatan-catatan sejarah yang membenarkannya, kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Apabila peristiwa-peristiwa yang sama yang bertaian dengan sejarah dikatakan kembali oleh Amirul Mukminin maka manakah alasan untuk menyangkalinya? 

Apabila ingatan akan keadaan-keadaan yang tak menyenangkan segera setelah wafatnya Nabi nampak tak terlupakan baginya, tidaklah hal itu harus mengejutkan. Tiada ragu, khotbah ini mengenai prestise tokoh-tokoh tertentu dan mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada mereka. Tetapi, kepercayaan itu tak dapat dipulihkan dengan menolak khotbah ini sebagai ucapan Amirul Mukminin, kecuali apabila peristiwa-peristiwa yang sebenarnya dianalisa dan kebenarannya diungkapkan. Apabila tidak demikian, sekadar menolaknya sebagai ucapan Amirul Mukminin karena mengandung peremehan terhadap individu-individu tertentu, tidaklah berbobot, padahal kritik yang sama telah diriwayatkan oleh sejarawan lain pula. Maka, (Abu ‘Utsman) ‘Amr Ibnu Bahr Al-Jāhizh telah mencatat kata-kata berikut ini dari suatu khotbah 

Amirul Mukminin, dan kata-kata itu tidak kurang bobotnya daripada kritik dalam Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah.

Yang dua ini meninggal dan yang ketiga bangkit seperti gagak yang keberaniannya terbatas pada perut. Akan lebih baik apabila kedua sayapnya terputus dan kepalanya terlepas.

Alhasil, gagasan bahwa khotbah itu buatan Sayid Radhi adalah jauh dari kebenaran, dan hanya merupakan hasil partisan dan sikap memihak. Sekiranya tuduhan itu merupakan hasil suatu penelitian, haruslah dikernukakan. Bila tidak demikian maka bersikeras pada ilusi penuh hasrat semacam itu tidak mengubah kebenaran, tidak pula kekuatan argumen-argumen yang menentukan akan terpupuskan hanya dengan tidak setuju dan tak senang.

Sekarang, marilah kita lihat kesaksian dari para ulama dan ahli periwayatan yang dengan tegas memandangnya sebagai asli dari Amirul Mukminin, supaya pentingnya secara historis diketahui. Di antara para ulama ini, sebagian hidup sebelum masa Sayid Radhi, sebagian semasa dengannya, dan sebagian sesudah-nya, tetapi mereka semua meriwayatkan melalui isnad mereka sendiri-sendiri.

(1) Ibnu Abil Hadid menuliskan bahwa gurunya Abul Khair Mushaddiq Ibnu Syabib al-Wasiti (m. 605 H.) menyatakan bahwa ia mendengar khotbah ini dari Syeikh Abu Muhammad ‘Abdullah Ibnu Ahmad Al-Baghdadi (m. 567 H.) yang dikenal sebagai Ibnu Al-Khasysyab, dan ketika ia sampai di mana Ibnu ‘Abbas menyampaikan kesedihannya karena khotbah ini tertinggal tak lengkap, Ibnu Khasysyab mengatakan kepadanya bahwa apabila ia mendengar keluhan sedih Ibnu ‘Abbas itu, pastilah ia sudah  menanyakan kepadanya apakah ada yang tertinggal pada saudara misannya itu suatu keinginan lain yang tak dipuaskan, karena, kecuali Nabi, ia tidak mengecualikan para pendahulunya maupun para penyusulnya, dan telah mengucapkan semua yang hendak diucapkannya.

Maka, mengapa harus ada kesedihan bahwa ia tak dapat mengatakan apa yang diinginkannya? Mushaddiq mengatakan bahwa Ibnu Khasysyab adalah orang yang berhati ceria dan sopan santun. Ketika saya bertanya kepadanya apakah ia juga memandang khotbah itu sebagai buat-buatan, ia menjawab, “Demi Allah, saya percaya itu kata-kata Amirul Mukminin, sebagaimana saya percaya bahwa Anda adalah Mushaddiq Ibnu Syabib.” Ketika saya katakan bahwa sebagian orang menganggapnya buatan Sayid Radhi, ia menjawab, “Bagaimana mungkin Radhi dapat mempunyai keberanian demikian atau gaya penulisan seperti itu. Saya telah melihat tulisan-tulisan Radhi dan mengetahui gaya penulisannya. Di mana-mana tiada tulisannya menyerupai yang satu ini. Dan saya telah melihatnya pada buku-buku yang ditulis ratusan tahun sebelum lahirnya Sayid Radhi; dan saya telah melihatnya dalam tulisan-tulisan yang terkenal yang saya tahu ulama dan ahli sastra mana yang mengutip tulisan-tulisan itu. Pada masa itu, bukan saja Radhi, tetapi bahkan ayahnya, Abu Ahmad An-Naqib, belum lahir.”.

(2) Setelah itu, Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam kompilasi-kompilasi gurunya Abul Qasim (‘Abdullah Ibnu Ahmad) al-Balkhi (m. 317 H.). la pemimpin kaum Mu’tazilah dalam masa pemerintahan Muqtadir Billah, sedang masa Muqtadir jauh sebelum lahirnya Sayid Radhi.

(3) la selanjutnya menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam buku Inshāf karya Ibnu Qibah (Abu Ja’far Muhammad Ibnu ‘Abdur-Rahman). la murid Abul Qa sim al-Balkhi dan ulama mazhab Syi’ah Imamiah. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 205-206).

(4) Ibnu Maltsam Al-Bahrani (m. 679 H.) menulis dalam syarahnya bahwa ia telah melihat satu salinan khotbah itu yang telah ditulis oleh menteri Muqtadir Billah, Abul Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu Al-Furat (m. 312 H.) (Syarh al-Balāghah, I, h. 252-253).

(5) Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi telah meriwayatkan isnad berikut tentang khotbah ini dari kompilasi Syeikh Qutbuddin ar-Rawandi, Minhājul Barā ‘ah fī Syarh Nahjul Balāghah:
“Syeikh Abu Nashr al-Hasan Ibnu Muahammad Ibnu Ibrahim menyampaikan kepada saya dari al-Hajib Abul Wafa’ Muhammad Ibnu Badi’, al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu Badi’ dan al-Husain Ibnu al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu ‘Abdur-Rahman, dan mereka (mendengar) dari al-Hafizh Abu Bakr (Ahmad Ibnu Musa) Ibnu Mardawaih al-Ishbahani (m. 426 H.) dan dia dari al-Hafizh Abul Qasim Sulaiman Ibnu Ahmad ath-Thabarani (m. 360 H.) dan dia dari Ahmad Ibnu Ali al-Abbar dan dia dari Ishaq Ibnu Sa’id Abu Salamah ad-Dimasyqi dan dia dari Khulaid Ibnu Da’laj dan dia dari Atha’ Ibnu Abi Rabah dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Biharul Anwār, edisi pertama, jilid VIII, h. 160-161).

(6) Dalam konteks itu Allamah al-Majlisi menulis bahwa khotbah ini juga termuat dalam kompilasi Abu Ali (Muhammad Ibnu ‘Abdul Wahhab) al-Jubba’i (m. 303 H.).

(7) Dalam hubungan dengan otentiknya khotbah ini sendiri, Allamah al-Majlisi menulis:
“Qadhi ‘Abdul Jabbar Ibnu Ahmad al-Asadabadi (415 H.), seorang Mu’tazilah yang tegar, menerangkan beberapa ungkapan dari khotbah ini dalam buku Al-Mughni dan berusaha membuktikan bahwa khotbah itu tidak menyerang para khalifah mana pun sebelumnya, tetapi tidak menolak bahwa itu komposisi Amirul Mukminin.” (Ibid., h. 161).

(8) Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali, Ibnu Babawaih (m. 381 H.) menulis:
“Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Ishaq ath-Thalaqani mengatakan kepada kami bahwa ‘Abdul ‘Aziz Ibnu Yahya al-Jaludi (m. 332 H.) mengatakan kepadanya bahwa Abu ‘Abdullah Ahmad Ibnu ‘Ammar Ibnu Khalid mengata­kan kepadanya bahwa Yahya Ibnu ‘Abdul Hamid al-Himmani (m. 228 H.) mengatakan kepadanya bahwa ‘Isa Ibnu Rasyid meriwayatkan khotbah ini dari Ali Ibnu Hudzaifah, dan dia dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Ilal asy-Syarā’i, bab XXII, h. 360-361).

(9) Kemudian Ibnu Babawaih mencatat rangkaian isnad berikut:
“Muhammad Ibnu Ali Majilawaih meriwayatkan khotbah ini kepada kami, dan ia mengambilnya dari pamannya Muhammad Ibnu Abil Qasim, dia dari Ahmad Ibnu Abi ‘Abdillah (Muhammad Ibnu Khalid) al-Barqi dan dia dari ayahnya dan dia dari Muhammad Ibnu Abi ‘UMalr dan dia dari Aban Ibnu ‘Utsman dan dia dari Aban Ibnu Taghlib dan dia dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu ‘Abbas. (‘Ial asy-Syarā’i’, I, bab 122, h. 146; Ma’am al-Akhbar, bab 22, h. 361).

(10)  Abu Ahmad al-Hasan Ibnu ‘Abdillah Ibnu Sa’id al-‘Askari (m. 382 H.), yangtergolong ulama besar Sunni, telah menulis syarah dan penjelasan tentang khotbah ini, yang telah dicatat oleh Ibnu Babawaih dalam. ‘Ial asy-Syard’i dan Ma ‘dni al-Akhbār.

(11)  Sayid Ni’matullah al-Jaza’iri menulis:
“Penulis Kitdb al-Ghardt, Abu Ishaq, Ibrahim Ibnu Muhammad ats-Tsaqafi al-Kufi (m. 283 H.) telah meriwayatkan khotbah ini melalui rangkaian sanad-nya sendiri. Tanggal selesainya menulis buku ini hari Selasa, 13 Syawal 255 H. dan pada tahun itu juga Murtadha al-Musawi lahir. la lebih tua dari saudaranya Sayid RadhT.” (Anwar an-Nu ‘māniyyah, h. 37).

(12)  Sayid Radhiuddin Abul Qasim Ali Ibnu Musa, Ibnu Thawus al-Husaini al-Hilli (m. 664 H.) telah meriwayatkan khotbah ini dari Kitab al-Ghārāt dengan rangkaian sanad berikut:
“Khotbah ini diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad Ibnu Yusuf, yang meriwayatkan dari Hasan Ibnu Ali Ibnu ‘Abdul Karim az-Za’farani, dan ia (meriwayatkan) dari Muhammad Ibnu Zakariyya al-Ghallabi, dan dia dari Ya’qub Ibnu Ja’far Ibnu Sulaiman, dan dia dari ayahnya, dan dia dari kakek-nya, dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (terjemahan Ath-Thara’if, h. 202).

(13) Syeikh ath-Tha’ifah, Muhammad Ibnu al-Hasan ath-Thusi (m. 460 H.) me­nulis:
“(Abul Path Hilal Ibnu Muhammad Ibnu Ja’far) al-Haffar meriwayatkan khot­bah ini kepada kami. la meriwayatkan dari Abdul Qasim (Isma’il Ibnu Ali Ibnu Ali) ad-Di’bili, dan dia dari ayahnya, dan dia dari saudaranya Di’bil (Ibnu Ali al-Kuza’i), dan dia dari Muhammad Ibnu Salamah asy-Syami, dan dia dari Zurarah Ibnu A’yan dan dia dari Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali (asy-Syeikh ash-Shaduq), dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Al-Amali, h. 137).

(14)  Syeikh Mufid (Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu an-Nu’man, m. 413 H.), guru Sayid Radhi, menulis tentang rangkaian sanad khotbah ini:
“Sejumlah periwayat hadis telah meriwayatkan khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai isnad.” (Al-Irsyād, h. 135).

(15)  ‘Alam al-Huda (lambang petunjuk) Sayid Murtadha, kakak Sayid Radhi, telah mencatatnya pada h. 203-204 bukunya Asy-Sydfi.

(16)  Abu Manshur ath-Thabarsi menulis:
“Sejumlah perawi telah meriwayatkan tentang khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai sanad. Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa ia bersama Amirul Mukminin di ar-Rahbah; ketika percakapan beralih kepada kekhalifahan dan mereka yang telah mendahuluinya sebagai Khalifah, Amirul Mukminin menghembuskan nafas keluhan dan menyampaikan khotbah ini.” (Al-Ihtijaj).

(17)  Abu al-Muzhaffar Yusuf Ibnu ‘Abdillah dan Sibth Ibnu Jauzi al-Hanafi (m. 654 H.) menulis:
“Syeikh kita Qasim an-Nafts al-Anbari meriwayatkan khotbah ini kepada kami melalui rangkaian sanadnya yang berakhir pada Ibnu ‘Abbas, yang mengatakan bahwa setelah dilakukan pembaiatan kepada Amirul Muk­minin sebagai khalifah, ia sedang duduk di mimbar ketika seorang laki-laki dari hadirin bertanya mengapa ia berdiam diri ketika itu, lalu Amirul Mukminin serta merta mengucapkan khotbah ini.” (Tadzkirat Khawashsh al-Ummah, h. 73).

(18) Qadhi Ahmad Ibnu Muhammad, asy-Syihab al-Khafaji (m. 1069 H.) menulis setalian dengan keasliannya:
“Dinyatakan dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali (ra), ‘Aneh, selama hayatnya ia (Abu Bakar) hendak melepaskan kekhalifahannya, tetapi ia memperkuat fondasinya untuk orang lain setelah matinya.'” (Syarh Durrat al-Ghawwash, h. 17).

(19) Syeikh ‘Ala ad-Daulah as-Simnani menulis:
“Amirul Mukminin SayyidAl-‘Arifin Ali a.s. telah menyatakan dalam satu khotbahnya yang cemerlang, “Ini syiqsyiqah yang menyembur keluar”. (al-‘Urwah li Ahl al-Khalwah wa al-Jalwah, h. 3, naskah di Perpustakaan Nasiriah, Lucknow, India).

(20) Abul Fadhl Ahmad Ibnu Muhammad al-Maldant (m. 518 H.) menulis sehubungan dengan kata syiqsyiqah:
“Satu khotbah Amirul Mukminin terkenal sebagai Khotbah asy-Syiqsyt-qiyyah (khotbah busa unta).” (Majma’ al-Amtsāl, jilid I, h. 369).

(21) Pada lima belas tempat dalam An-Nihayah, sementara menerangkan kata-kata dari khotbah ini, Abu as-Sa’adat Mubarak Ibnu Muhammad, Ibnu al-Atsir al-Jazari (m. 606 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin.

(22) Syeikh Muhammad Thahir Patnt, ketika menerangkan kata-kata itu dalam Majma’ al-Bihar al-Anwar, membenarkan khotbah ini dari Amirul Muk­minin dengan kata-kata, “Ali mengatakan demikian.”

(23) Abul Fadhl Ibnu Manzur (m. 711 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dalam Lisan al-‘Arab, jilid XII, h. 54, dengan mengata­kan, “Itu adalah busa unta yang mencetus, kemudian mereda.”

(24) Majduddln al-Firuzabadt (m. 816/7 H.) telah mencatat kata syiqsyiqah dalam kamusnya (Al-Qdmus, III, h. 251):
“Khotbah asy-Syiqsytqiyyah Ali dinamakan demikian karena ketika Ibnu ‘Abbas meminta kepadanya untuk meneruskannya di mana ia telah me-ninggalkannya, ia berkata, “Wahai, Ibnu ‘Abbas! Itu busa unta (syiqsyiqah) yang mencetus keluar lalu mereda.”

(25)  Penyusun Muntahd al-Adab menuliskan:
“Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah Ali diatributkan pada Ali (karramallahu wajhahu).”

(26) Syeikh Muhammad ‘Abduh, Mufti Mesir, mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin; ia telah menulis keterangannya dalam bukunya Syarh Nahjul Baldghah.

(27) Muhammad Muhyiddm ‘Abdul Hamid, guru besar pada Fakultas Bahasa Arab, Universitas al-Azhar, telah menulis anotasi tentang Nahjul Baldghah dengan membubuhkan prakata, di mana ia mengakui semua khotbah yang mengandung pernyataan-pernyataan menyinggung semacam itu sebagai ucapan Amirul Mukminin.

Di hadapan semua penyaksian dan semua bukti yang tak tersangkal ini, tidak ada tempat untuk menganggap bahwa khotbah itu bukan dari Amirul Mukminin dan bahwa itu buatan Sayid Radhi sendiri.
[ii] Amirul Mukminin mengacu pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah, sebagai berbusana dengan itu. Ini kiasan biasa. Maka, ketika ‘Utsman diminta untuk menyerahkan kekhalifahan, ia menjawab, “Saya tidak akan menanggalkan busana yang telah dipakaikan Allah kepadaku ini.” Tiada ragu bahwa Amirul Mukminin tidak mengatributkan “baju kekhalifahan” ini kepada Allah, melainkan kepada Abu Bakar sendiri, karena menurut pandangan ijmak, kekhalifahannya bukanlah dari Allah melainkan urusannya sendiri. Itulah sebabnya Amirul Muk­minin mengatakan bahwa Abu Bakar membusanai dirinya sendiri dengan kekhalifahan. la mengetahui bahwa busana ini telah dijahit untuk badannya sendiri, sedang kedudukannya sendiri sehubungan dengan kekhalifahan adalah kedudukan poros pada penggiling yang dapat mempertahankan posisi pusatnya dan tak ada gunanya tanpa itu. Seperti itu pula, ia berpendapat, “Saya adalah sumbu pusat kekhalifahan; bila saya tidak di sana, seluruh sistemnya akan tersesat dari pusat­nya. 

Sayalah yang bertindak sebagai pengawal bagi organisasi dan ketertibannya, dan mengawalnya melewati berbagai kesulitan. Arus pengetahuan mengalir dari dada saya dan mengairinya pada semua sisi. Kedudukan saya tinggi di atas ima-jinasi, tetapi pencari keserakahan duniawi untuk pemerintahan menjadi batu sandungan bagi saya, dan saya harus mengurung diri dalam keterasingan. Kegelapan yang membutakan merajalela di mana-mana, gelap pekat di mana-mana. Yang muda menjadi tua dan yang tua berpisah ke kuburan, tetapi masa menanggung sabar ini tak mau berakhir. Saya terus melihat dengan mata saya penjarahan atas warisan saya dan melihat berlalunya kekhalifahan dari satu tangan ke tangan lain, tetapi saya tetap bersabar, karena tak dapat menghentikan kesewenang-wenangan mereka tanpa sarana.”

Perlunya Khalifah dan Cara Pengangkatannya.
Setelah Nabi Muhammad (saw) wafat, dibutuhkan adanya pribadi yang mampu mencegah perpecahan umat dan mengawal hukum Islam dari perubahan, pengubahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang hendak memenuhi hawa nafsunya. Bila kebutuhan mendesak ini disangkal maka mengapa suksesi Nabi dianggap begitu penting sehingga pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah dipandang lebih utama daripada penguburan Nabi? Bila kebutuhan ini diakui, maka timbul pertanyaan apakah Nabi juga menyadarinya atau tidak. Bila kita anggap beliau tidak menyadarinya dan tidak dapat menilai ada atau tiadanya kebutuhan tersebut, maka hal ini akan merupakan bukti yang sangat kuat untuk menganggap bahwa Nabi tidak memikirkan cara menyetop kejahatan-kejahatan bidah dan hojatan; padahal beliau telah memberikan peringatan-peringatan tentang masaalah ini.

Apabila dikatakan bahwa beliau menyadari kebutuhan akan adanya pribadi tersebut tetapi tidak membereskannya, karena melihat adanya manfaat dengan membiarkannya, maka beliau tidak akan mendiamkannya tanpa menunjukkan manfaat itu dengan jelas; apabila tidak demikian maka mendiamkan masalah tersebut tanpa tujuan merupakan pelanggaran dalam pelaksanaan tugas Kenabian. Apabila ada halangan, haruslah pula diungkapkan. Karena Nabi tidak meninggalkan masalah agama dalam keadaan tidak sempurna maka beliau tidak akan membiarkan masalah ini terbengkalai, melainkan akan mengajukan jalan pemecahan untuk mengamankan agama dari campur tangan orang lain.

Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya pengambilan keputusan pada masa awal tersebut dan apa yang akan dilakukan. Bila keputusan itu berdasarkan konsensus umat maka hal itu tidak mungkin terjadi, karena pada konsensus semacam itu diperlukan adanya persetujuan tiap individu; tetapi mengingat perbedaan temperamen manusia, maka mustahil mereka akan sepakat. Tak ada contoh di masa itu di mana keputusan dapat diambil dengan mufakat tanpa satu pun yang menolak. Maka bagaimana mungkin kebutuhan mendasar semacam itu digantungkan pada terjadinya peristiwa yang mustahil seperti itu, sedangkan kebutuhan itu menyangkut masa depan Islam dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu maka akal sehat tidak dapat menerima tolok ukur ini. Tidak ada pula sunah yang selaras dengannya sebagaimana ditulis oleh Qadhi ‘AdhuddTn al-‘Ijlt dalam Syarh al-Mawāqif:

“Anda seharusnya tahu bahwa kekhalifahan tidak dapat bergantung pada ijmak pemilihan, karena tidak ada argumen yang logis atau sunah yang dapat dijadikan sandaran.”

Kenyataannya, tatkala para pembela pemilihan dalam pelaksanaannya sukar mencapai aklamasi, mereka lalu menempuh persetujuan mayoritas dengan mengabaikan minoritas.

Dalam hal semacam ini sering juga terjadi kekuatan jujur ataupun palsu, cara benar atau tidak, mengubah arus pendapat mayoritas dan mengabaikan keutamaan individu dan kebajikan pribadi. Akibatnya, orang yang mampu dan jujur ter-sembunyi, dan yang tidak kompeten maju ke depan. Bila orang berkemampuan tersisih, terhalang oleh ambisi-ambisi pribadi, lalu bagaimana mengharapkan adanya pemilihan orang yang tepat? Sekalipun, misalnya, semua pemberi suara punya kebebasan dan tidak memihak, lidaklah mesti keputusan mayoritas harus benar dan tak tersesat. Pengalaman menunjukkan bahwa setelah keputusan dijalankan, mayoritas lalu berpendapat bahwa keputusannya sendiri ternyata salah. Bila setiap keputusan mayoritas benar, maka keputusannya yang pertama adalah salah, karena keputusan yang menganggapnya salah adalah juga dari mayoritas.

Tentang pendapat bahwa untuk menghindari kekacauan maka tokoh-tokoh umat dibiarkan memilih siapa saja yang mereka sukai, di sini pun pergesekan dan pertengkaran akan merajalela. Karena, di sini juga pemusatan watak manusia untuk satu persetujuan tidaklah mesti, dan tidak dapat juga dikatakan bahwa mereka dapat mengatasi tujuan-tujuan pribadi mereka. Dalam kenyataannya di sini konflik dan benturan akan lebih kuat. Karena, kalau tidak semua, sekurang-kurangnya kebanyakan dari mereka ingin menjadi calon dan akan berusaha dengan segala daya untuk mengalahkan lawannya, dan membuka jalan yang sebaik-baiknya untuk dirinya. Akibat yang tidak dapat dihindarkan ialah pergumulan dan pergolakan.

Kesimpulannya, tidak mungkin menyingkirkan bencana dengan cara ini, dan ketimbang menemukan tokoh yang tepat, umat hanya akan jadi alat untuk me-menuhi ambisi pribadi orang lain. Lagi pula, bagaimana seharusnya tolok ukur orang yang akan memegang tampuk kekuasaan ini? Sebagaimana biasa, siapa saja yang dapat mengumpul beberapa pendukung dan mampu membuat geger dan ribut-ribut dalam suatu pertemuan dengan menggunakan kata-kata keras maka dialah yang dianggap paling tepat sebagai penguasa. Ataukah kemampuan seseorang juga akan dinilai? Bila penilaian kemampuan seseorang ditentukan juga dengan cara pemilihan umum seperti ini, maka kerumitan dan kekacauan serupa akan muncul. Bila ada patokan lain, maka sebagai ganti menilai para pemberi suara seperti itu, mengapa tidak menilai orang yang dipandang pantas untuk kedudukan itu? Selanjutnya berapa banyak tokoh yang dianggap cukup untuk mengambil keputusan? Jelas bahwa sekali patokan ini diambil maka hal ini akan jadi preseden, teladan dan contoh di masa mendatang, dan jumlah orang yang berwenang mengambil keputusan akan jadi patokan juga di masa depan. Qadhi al-‘Ajali menulis:
“Malah satu atau dua orang telah cukup menentukan terpilihnya pemimpin, karena kita tahu bahwa para ulama yang tegas dalam agama menganggap cukup pengangkatan Abu Bakar oleh ‘Umar dan pengangkatan ‘Utsman oleh ‘Abdur-Rahman.” (Syarh al-Mawaqif, h. 351).

Beginilah riwayat “Pemilihan secara mufakat” di Saqifah Bani Sa’idah dan kegiatan Syura dalam pemilihan ‘Utsman: tindakan satu orang telah diberi nama “pemilihan secara mufakat”, dan perbuatan satu orang dinamakan majelis syura. Abu Bakar telah memahami kenyataan bahwa pemilihan berarti hanya satu atau dua suara yang akan diatributkan pada rakyat umum yang sederhana. Itulah sebabnya ia mengabaikan tuntutan dengan suara bulat, suara mayoritas atau metode pemilihan melalui majelis yang dipilih, dan ia sendiri mengangkat ‘Umar. ‘A’isyah pun memandang bahwa membiarkan masalah kekhalifahan pada suara beberapa individu berarti mengundang kekacauan dan kesulitan. la mengirimkan pesan kepada ‘Umar menjelang matinya:
“Jangan biarkan umat Islam tanpa pemimpin. Angkatlah seorang khalifah untuk itu dan jangan Anda tinggalkan umat tanpa pewenang, karena apabila tidak demikian saya melihat kekacauan dan kesulitan.”

Ketika pemilihan oleh orang yang berwenang terbukti gagal, hal itu ditinggalkan, dan hanya “kekuatan adalah kebenaran” yang menjadi ukurannya—yakni siapa saja yang menundukkan dan menguasai orang lain, diterima sebagai khalifah Nabi dan pelanjutnya yang sebenarnya. Ini prinsip buatan sendiri, padahal ada serangkaian hadis Nabi yang disampaikan pada “Pertemuan ‘Asyirah”, pada ma-lam Hijrah, pada Perang Tabuk, pada kesempatan menyampaikan surah al-Bara’ah (at-Taubah) dan di Ghadlr Khum. Yang aneh, setiap orang dari khalifah itu di-dasarkan pada pilihan individu, sementara pilihan Nabi sendiri ditolak! 

Padahal, penunjukan oleh Nabi adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri perselisihan, yakni bahwa Nabi sendiri yang semestinya menyelesaikan dan menyelamatkan umat dari kekacauan-kekacauan di masa depan dan menghindarkan pengambilan keputusan di tangan orang-orang yang terlibat dalam tujuan dan maksud-maksud pribadi. Ini prosedur yang tepat yang sesuai dengan nalar dan juga mendapat dukungan hadis-hadis Nabi yang tegas.

[iii] Hayyan Ibnu Samin al-Hanafi al-Yamamah adalah kepala suku Bani Hanifah dan penguasa benteng dan tentara. Jabir adalah nama adiknya, sedang A’sya, yang nama sesungguhnya Malmun Ibnu Qais Ibnu Jandal, adalah sahabat karib dan hidup pantas dan bahagia atas kemurahannya. Dalam bait syair ini ia membandingkan kehidupannya sekarang ini dengan yang sebelumnya, yakni masa ketika ia berkelana mencari nafkah, dengan masa hidup berbahagia bersama Hayyan. 

Pada umumnya dianggap bahwa Amirul Mukminin mengutip bait ini untuk mem­bandingkan masanya yang kesusahan dengan masa-masa daMal yang dilaluinya dalam asuhan dan perlindungan Nabi, ketika ia bebas dari segala kerisauan dan menikmati kedaMalan mental. Tetapi, mengingat peristiwa ia membuat perbandingan ini, serta pokok bait syair itu, bukanlah penjelasan yang dicari-cari apabila itu dianggap menunjukkan perbedaan antara kedudukan yang tak penting dari orang-orang yang sekarang sedang berkuasa, di masa kehidupan Nabi, dan wewenang dan kekuasaan mereka sesudahnya; yakni, pada masa Nabi tiada perhatian diberikan kepada mereka, karena kepribadian Ali; tetapi, sekarang waktu telah berubah demikian rupa sehingga orang-orang itu menjadi penguasa dunia Islam.

[iv] Ketika ‘Umar terluka oleh Abu Lu’lu’ah dan ia melihat bahwa sulit baginya untuk hidup lebih lama lagi, karena luka yang parah itu, ia membentuk suatu komite musyawarah (Syura) dan menunjuk Ali Ibnu Abt Thalib, ‘Utsman Ibnu ‘Affan, ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf, Zubair Ibnu ‘Awwam, Sa’id Ibnu Abi Waqqash dan Talhah Ibnu ‘Ubaidillah, seraya mengikat mereka dengan ketentuan bahwa setelah tiga hari sesudah kematiannya, mereka harus memilih salah seorang di antara mereka sendiri sebagai khalifah, sementara untuk tiga hari itu Shuhaib akan bertindak sebagai khalifah sementara.

Ketika menerima instruksi ini, beberapa orang bertanya kepadanya bagaimana pikirannya tentang setiap orang dari mereka itu, untuk memungkinkan mereka berlaku sesuai dengan sorotannya. Karenanya, ‘Umar mengungkapkan pandangannya sendiri tentang setiap individu itu. Ia mengatakan bahwa Sa’d bertempramen kasar dan berkepala panas; ‘Abdurrahman adalah Fir’aunnya umat; Zubair, apabila disenangkan, adalah seorang mukmin yang sebenarnya, tetapi apabila tidak disenangkan adalah seorang kafir; Thalhah adalah pengejawantahan kebanggaan dan kesombongan, yang apabila dijadikan khalifah ia akan memasang cincin kekhalifahan di jari istrinya, sedang ‘Utsman tidak melihat melampaui keluarga-nya. Mengenai Ali, ia terpikat kekhalifahan, walalupun saya tahu hanya ia sendiri yang dapat melaksanakannya pada garis yang benar.

Walaupun demikian pengakuannya, ia menganggap perlu untuk membentuk Syura itu, dan dalam memilih para anggotanya dan meletakkan prosedur kerjanya, ia meyakinkan bahwa kekhalifahan akan mengarah ke mana ia menginginkannya. Maka, seorang yang berkebijaksanaan biasa dapat mengambil kesimpulan bahwa semua faktor keberhasilan ‘Utsman terdapat di dalamnya.

Apabila kita perhatikan para anggotanya, kita lihat bahwa, pertama, ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf adalah suami saudara perempuan ‘Utsman; berikutnya, Sa’d Ibnu AbT Waqqash, selain menaruh dengki terhadap Ali, adalah teman dan keluarga ‘Abdur-Rahman; keduanya tak dapat diharapkan akan menentang ‘Utsman.
Yang ketiga, Thalhah Ibnu ‘Ubaidillah yang tentangnya Muhammad ‘Abduh menulis dalam anotasinya mengenai Nahjul Balaghah:
“Thalhah cenderung kapada ‘Utsman, dan sebabnya adalah tak kurang dari ia menentang Ali, karena ia sendiri seorang anggota suku Taim, dan naiknya Abu Bakar pada kekhalifahan telah menciptakan perseteruan antara Bani Taim dan Bani Hasyim.”

Mengenai Zubair, sekiranyapun ia memilih Ali, apa gunanya satu suara ini? Menurut pernyataan Thabari, Thalhah tidak hadir di Madinah pada waktu itu, tetapi absennya tidak menghalangi keberhasilan ‘Utsman. Malah, sekiranyapun ia hadir, sebagaimana ia akhirnya datang ke Syura itu, dan ia dianggap pendukung Ali, tetap tidak akan meragukan keberhasilan ‘Utsman, karena pikiran ‘Umar yang cerdik telah menetapkan prosedur bahwa:
“Apabila dua orang menyetujui yang satu, sedang yang dua orang lagi me-nyetujui seorang lainnya, maka ‘Abdullah Ibnu ‘Umar akan bertindak sebagai penengah. Kelompok yang diperintahkannya harus mamilih khalifah di antara mereka sendiri. Apabila mereka tidak menerima keputusan ‘Abdullah Ibnu ‘Dinar, maka dukungan harus diberikan kepada kelompok di mana termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf; tetapi, apabila yang lain-lainnya tidak menyetujuinya maka mereka harus dipancung kepalanya karena menentang ke­putusan ini.” (Thabari, I, h. 2779-2780; Ibnu Atsir, III, h. 67).

Di sini ketidaksepakatan dengan keputusan ‘Abdullah Ibnu ‘Umar tidak berarti apa-apa, karena ia diarahkan untuk mendukung kelompok yang meliputi ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf. la telah memerintahkan anaknya ‘Abdullah, dan Shuhaib, bahwa:
“Apabila orang-orang itu berselisih, Anda harus memihak kepada mayoritas; tetapi apabila ada tiga di antara mereka di satu sisi dan tiga di sisi lainnya, Anda harus memihak pada kelompok di mana termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf.” (Thabari, jilid I, h. 2725, 2780; Ibnu AtsTr, jilid II, h. 51, 67).

Dalam instruksi ini persetujuan mayoritas juga berarti mendukung ‘Abdur-Rahman, sebab mayoritas tak mungkin memihak pada siapa pun lainnya, karena lima puluh pedang haus darah telah disiapkan terhadap kelompok lawan, dengan perintah untuk memancung kepala mereka atas keputusan ‘Abdur-Rahman. Mata Amirul Mukminin telah membaca pada saat itu juga bahwa kekhalifahan akan berpindah kepada ‘Utsman, sebagaimana nampak pada kata-kata berikut ini, yang disampaikannya kepada ‘Abbas Ibnu ‘Abdul Muththalib:
“Kekhalifahan telah disingkirkan dari kami.” ‘Abbas bertanya bagaimana ia mengetahuinya. Lalu ia menjawab, ‘”Utsman juga telah disetarakan dengan saya, dan telah diatur bahwa mayoritas harus didukung; tetapi, apabila dua orang menyetujui yang satu, dan dua lagi menyetujui yang lain, maka dukung­an harus diberikan kepada kelompok di mana termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf. Nah, Sa’d akan mendukung saudara sepupunya ‘Abdur-Rahman yang tentu saja adalah suami saudara perempuan ‘Utsman.” (ibid)

Alhasil, setelah wafatnya ‘Umar, pertemuan ini berlangsung di rumah ‘A’isyah. Di pintunya berdiri Abu Thalhah al-Anshari dengan lima puluh orang yang telah menghunus pedang di tangannya. Thalhah memulai acara, dan seraya mengundang semua yang lain-lainnya untuk menyaksikan, ia berkata bahwa ia memberikan hak pilihnya kepada ‘Utsman. Ini menyinggung harga diri Zubair karena ibunya Safiyyah putri ‘Abdul Muthtalib adalah saudara perempuan ayah Nabi. Maka ia memberikan hak suaranya kepada Ali. Sesudah itu Sa’d Ibnu Abi Waqqash memberikan hak suaranya kepada ‘Abdur-Rahman. Tinggal tiga anggota Syura yang belum memilih, di antaranya ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf yang mengatakan ia mau melepaskan haknya sendiri untuk dipilih apabila Ali a.s. dan ‘Utsman memberikan hak kepadanya untuk memilih seseorang di antara mereka, atau salah satu di antara kedua orang ini harus mendapatkan hak memilih dengan jalan menarik diri dari pencalonan. 

Ini perangkap di mana Ali telah dilibat dari semua sisi, yakni ia harus meninggalkan haknya sendiri atau mengizinkan ‘Abdur-Rah­man bertindak semaunya. Yang pertama tak mungkin baginya, yakni melepaskan haknya dan memilih ‘Utsman atau ‘Abdur-Rahman. Maka, ia berpegang pada haknya, sementara ‘Abdur-Rahman melepaskan diri dari pencalonan itu lalu me-megang kekuasaan ini seraya berkata kepada Amirul Mukminin, “Saya membaiat Anda dengan syarat Anda mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan perilaku kedua Syeikh (Abu Bakar dan ‘Umar).” Ali menjawab, “Akan mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan pendapat saya.” Ketika ia memberikan jawaban yang sama seka-lipun pertanyaan itu telah diulang tiga kali, ‘Abdur-Rahman berpaling kepada ‘Utsman seraya berkata, “Apakah Anda menerima persyaratan ini?” ‘Utsman tidak beralasan untuk menolak; maka ia menyetujui persyaratan itu, dan baiat pun dilakukan baginya. Ketika Amirul Mukminin melihat haknya terpijak-pijak demikian, ia berkata:
“Ini bukan hari pertama Anda berlaku menentang kami. Saya hanya harus bersabar. Allah adalah Penolong terhadap segala yang Anda katakan. Demi Allah, Anda tidak membuat ‘Utsman menjadi khalifah melainkan dengan harapan bahwa ia akan mengembalikan kekhalifahan kepada Anda.”

Setelah mencatat peristiwa Syura (komite musyawarah pengangkatan ‘Utsman itu), Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ketika pembaiatan telah dilakukan kepada ‘Utsman, Ali menegur ‘Utsman dan ‘Abdur-Rahman dengan mengatakan, “Semoga Allah menaburkan benih perselisihan di antara Anda,” dan demikian terjadinya sehingga keduanya bermusuhan sengit, dan ‘Abdur-Rahman tak pernah lagi berbicara dengan ‘Utsman hingga matinya. Bahkan di ranjang kematiannya ia memalingkan muka ketika melihat ‘Utsman.

Melihat peristiwa ini timbul pertanyaan, apakah Syura bermaksud membatasi urusan kepada enam orang, kemudian kepada tiga orang, dan akhirnya hanya pada satu orang saja? Juga, apakah syarat untuk mengikuti perilaku kedua Syeikh untuk kekhalifahan ditetapkan oleh ‘Umar, atau hanya sekadar halangan yang diletakkan oleh ‘Abdur-Rahman antara Ali a.s. dan kekhalifahan; khalifah yang per­tama tidak meletakkan syarat pada waktu mengangkat khalifah yang kedua, yakni bahwa ia harus mengikuti langkah-langkah khalifah yang pertama. Maka, apakah alasan untuk syarat itu di sini?

Namun, Amirul Mukminin telah menyetujui untuk turut serta dalam Syura itu untuk menjauhkan bencana dan untuk menghentikan orang menggunakannya sebagai dalih, sehingga orang-orang lain dibungkamkan dan tak akan dapat meng-aku bahwa mereka sebenarnya akan memilih dia dan bahwa ia sendiri meng-elakkan komite musyawarah itu dan tidak memberikan kesempatan kepada mereka memilihnya.
[v] Tentang pemerintahan khalifah yang ketiga itu, Arnirul Mukminin mengatakan bahwa segera setelah ia berkuasa, Bani Umayyah mendapatkan lahan dan mulai menjarahi Baitul Mal (perbendaharaan negara), dan seperti ternak melihat rumput hijau setelah musim kemarau, dengan sembrono mereka mcnyerbu uang milik Allah lalu melahapnya. Akhirnya keserakahan dan nepotisme ini membawa­nya ke tahap di mana rakyat mengepung rumahnya, membunuhnya dan membuatnya memuntahkan semua yang telah ditelannya.
Malakelola pemerintahan yang terjadi dalam masa ini sedemikian rupa sehing­ga tiada seorang Muslim yang tak tergugah melihat para sahabat berkcdudukan tinggi dibiarkan terlantar, dilanda kemiskinan dan dikepung kemelaratan, sementara kekuasaan atas Baitul Mal berada di tangan Bani Umayyah, jabatan pemerintahan diduduki orang-orang muda mereka yang tak berpengalaman, hak-hak khusus kaum Muslim mereka kuasai, padang penggembalaan hanya untuk ternak mereka, rumah-rumah dibangun hanya untuk mereka, dan kebun-kebun hanya bagi mereka saja. Apabila ada seseorang merasa belas kasihan kepada orang lain lalu berbicara tentang pelanggaran batas-batas ini, ia diusir dari kota. Penggunaan zakat dan sedekah yang dimaksudkan untuk fakir miskin, dan Baitul Mal yang merupakan hak umum kaum Muslim, dapat dilihat pada gambaran berikut:
(1) Hakam Ibnu Abil ‘Ash yang telah diusir oleh Nabi dari Madinah, diizinkan kembali ke kota itu, bukan saja bertentangan dengan sunah Nabi tetapi juga bertentangan dengan perilaku kedua khalifah sebelumnya; ia bahkan diberi tiga ratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Ansāb al-Asyrāf, V, h. 27, 28, 125).
(2) Walid Ibnu ‘Uqbah yang telah dinaMal munafik dalam Qur’an, dibayari seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Al-‘Iqd al-Farid, III, h. 94).
(3) Khalifah itu mengawinkan anak perempunnya Umm Aban dengan Marwan Ibnu Hakam dan memberikan kepada Marwan seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 194-199).
(4) la mengawinkan anaknya ‘A’isyah dengan Harits Ibnu Hakam dan mem­berikan kapada Harits seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (ibid).
(5)  ‘Abdullah Ibnu Khalid diberi empat ratus ribu dirham. (Ibnu Qutaibah, Al-Ma’ārif, h. 84).
(6) la memberikan hak atas khums (pajak keagamaan) dari Afrika, sejumlah lima ratus ribu dinar, kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid).
(6) Kebun Fadak yang tidak diserahkan kepada putri Rasulullah Fathimah az-Zahra’ berdasarkan alasan bahwa itu merupakan sedekah umum, diberikan sebagai hadiah kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)
(7) Mahzur, suatu tempat di area perdagangan Madinah, yang telah dimaklumkan sebagai milik umum oleh Nabi, dihadiahkan kepada Hants Ibnu Hakam. (ibid)
(8) Di padang-padang sekitar Madinah, lak ada unta selain milik Bani Umayyah yang digembalakan. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 199).
(10) Setelah meninggalnya (‘Utsman), seratus lima puluh ribu dinar (mala uang mas) dan satu juta dirham (mata uang perak) terdapat di rumahnya. Tak ada batas tanah-tanah yang bebas pajak; dan nilai total harta perkebunan yang dimilikinya di Wadi al-Qura dan Hunain adalah seratus ribu dinar. Di sana terdapat unta dan kuda yang tak terhitung banyaknya. (Muruj adz-Dzahab,I, h. 435).
(11) Famili-famili khalifah memerintah semua kota penting. Di Kuf’ah, Walid Ibnu ‘Uqbah adalah gubernurnya. Tetapi ketika dalam keadaan mabuk anggur ia mengimami salat Subuh empat rakaat, bukannya dua, dan rakyat menggugat, la pun dipindahkan. Tetapi, khalifah menggantikkannya dengan seorang munafik, Sa’id bin al-‘Ash. Di Mesir ‘Abdullah Ibnu Sa’d Ibnu AbT Sarh, di Suriah Mu’awiah Ibnu Abi Sufyan, di Bashrah ‘Abdullah Ibnu ‘Amir.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: