Dalam khotbah ini Imam Ali As Menggambarkan Penciptaan Bumi dan Langit serta Kelahiran Nabi Adam As.
Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tak dapat diuraikan
oleh para pembicara, yang nikmat-nikmat-Nya tak terhitung oleh para
penghitung, yang hak-hak-Nya (atas ketaatan) tak dapat dipenuhi oleh
orang-orang yang berusaha menaati-Nya; orang yang tinggi kemampuan
akalnya tak dapat menilai, dan penyelam pengertian tak dapat
mencapai-Nya; la yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah
diletakkan, tak ada pujian yang maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan
tak ada jangka waktu ditentukan. la mengadakan ciptaan dengan
kodrat-Nya, menebarkan angin dengan rahmat-Nya, dan mengukuhkan bumi
yang goyah dengan batu.
Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan
makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah membenarkan-Nya, kesempurnaan
pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan
Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya
ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa
(sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan
setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat
itu. Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia
mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia
memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui
bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya
(berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia
menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui
batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya
(berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.
Barangsiapa mengatakan “dalam apa la berada”, (berarti) ia
berpendapat bahwa la bertempat, dan barangsiapa mengatakan “di atas apa
la berada” maka ia beranggapan bahwa la tidak berada di atas sesuatu
lainnya.
la Maujud tetapi tidak melalui fenomena muncul menjadi ada.
la ada tetapi bukan dari sesuatu yang tak ada. la bersama segala
sesuatu tetapi tidak dalam kedekatan fisik. la berbeda dari segala
sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. la berbuat tetapi tanpa
konotasi gerakan dan alat. la melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya
yang dilihat. la hanya Satu, sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu
yang dengannya la mungkin bersekutu atau yang mungkin la akan kehilangan
karena ketiadaannya.
Tentang Penciptaan Alam.
la memulai penciptaan dan memulainya secara paling awal,
tanpa mengalami pemikiran, tanpa menggunakan suatu eksperimen, tanpa
melakukan suatu gerakan, dan tanpa mengalami kerisauan. la memberikan
waktunya pada segala sesuatu, mengumpulkan variasi-variasinya,
memberikan kepadanya sifat-sifatnya, dan menetapkan corak wajahnya
dengan mengetahuinya sebelum menciptakannya, menyadari sepenuhnya
batas-batasnya dan kesudahannya, dan menilai kecenderungan dan
kerumitannya.
Ketika Yang Mahakuasa menciptakan lowongan-lowongan
atmosfer, mengembangkan ruang angkasa dan lapisan-lapisan angin, la
mengalirkan ke dalamnya air yang ombak-ombaknya membadai dan yang
gelombang-gelombangnya saling melompati. la memuatnya pada angin yang
kencang dan badai yang mematahkan, memerintahkannya untuk mencurahkannya
kembali (sebagai hujan), memberikan kepada angin kendali atas kekuatan
hujan, dan memperkenalkannya dengan batasan-batasannya. Angin meniup di
bawahnya sementara air mengalir dengan garang atasnya.
Kemudian Yang Mahakuasa menciptakan angin dan membuat
gerakannya mandul, mengekalkan posisinya, mengintensifkan gerakannya dan
menyebarkannya menjauh dan meluas. Kemudian la memerintahkan angin itu
membangkitkan air yang dalam dan mengintensifkan gelombang laut. Maka
angin mengocoknya sebagaimana mengocok dadih dan mendorongnya dengan
sengit ke angkasa dengan melemparkan posisi depannya di belakang, dan
yang berdiam pada yang terus mengalir, sampai permukaannya terangkat dan
permukaannya penuh dengan buih. Kemudian Yang Mahakuasa mengangkat buih
ke angin yang terbuka dan cakrawala yang luas dan membuat darinya
ketujuh langit dan menjadikan yang lebih rendah sebagai gelombang yang
berdiam dan yang di atas sebagai atap yang melindungi dan suatu bangunan
tinggi tanpa tiang untuk menopang atau paku untuk menyatukannya.
Kemudian la menghiasinya dengan bintang-bintang dan cahaya meteor dan
menggantungkan padanya matahari dan bulan yang bercahaya di bawah langit
yang beredar, langit yang bergerak dan cakrawala yang berputar.
Tentang Penciptaan Malaikat.
Kemudian la menciptakan rongga-rongga di antara
langit-langit yang tinggi dan mengisinya dengan segala golongan
malaikat-Nya. Sebagian dari mereka dalam bersujud dan tidak bangkit
berlutut. Yang lain-lainnya dalam posisi berlutut dan tidak berdiri.
Sebagian dari mereka dalam keadaan berbaris dan tidak meninggalkan
posisinya. Yang lain-lainnya sedang memuji Allah tanpa menjadi lelah.
Tidurnya mata atau tergelincirnya akal, atau kelelahan tubuh atau
kelupaan tidak menimpa mereka.
Di antara mereka ada yang bekerja sebagai pembawa
risalah-Nya yang terpercaya, yang merupakan lidah-lidah berbicara untuk
para nabi-Nya, dan mereka ini yang membawa kesana kemari
perintah-perintah dan suruhan-Nya. Di antara mereka ada para pelindung
makhluk-makhluk-Nya dan pengawal pintu surga. Di antara mereka ada yang
langkah-langkahnya tetap di bumi tetapi lehernya menjulang ke langit,
anggota badan mereka keluar dari segala sisi, bahu mereka sesuai dengan
tiang-tiang ‘Arsy Ilahi, mata mereka tertunduk di hadapannya, mereka
membentangkan sayap-sayapnya dan mereka membuat di antara sesama mereka
dan semua yang selainnya tirai kehormatan dan layar kekuasaan. Mereka
tidak memikirkan Pencipta mereka melalui khayal, tidak memberikan
kepada-Nya sifat-sifat makhluk, tidak membataskan-Nya dalam suatu tempat
kediaman dan tidak menunjuk kepada-Nya melalui gambaran.
Gambaran tentang Penciptaan Adam.
Allah mengumpulkan lempung tanah yang keras, lembut, manis
dan asam, yang dicelupkan-Nya ke dalam air dan mengadoninya dengan uap
lembab sampai itu menjadi rekat. Darinya ia membuat patung dengan
lekukan-lekukan, persendian, anggota dan bagian-bagian. la memadukannya
sampai ia mengering untuk waktu tertentu dan jangka waktu yang
diketahui. Kemudian la meniupkan ke dalamnya Ruh-Nya sehingga ia
mengambilpola manusia dengan pikiran yang mengaturnya, kecerdasan yang
digunakannya, anggota badan yang melayaninya, organ-organ yang merigubah
posisinya, kebijaksanaan yang membedakan antara yang benar dan salah,
rasa dan bau, warna dan jenis. la adalah suatu campuran antara lempung
berbagai warna, bahan-bahan rekat, yang berlawanan, yang aneka ragam dan
sifat-sifat yang berbeda seperti panas, dingin, lembut dan keras.
Kemudian Allah menyuruh kepada malaikat untuk memenuhi
janji-Nya dengan mereka dan memenuhi janji menaati perintah-Nya kepada
mereka dengan pengakuan kepada-Nya melalui sujud kepada-Nya dan tunduk
kepada kedudukannya yang mulia. Maka Allah berfirman, “Tunduklah kamu
kepada Adam!” Maka mereka pun tunduk kecuali iblis.” (QS. 2:34; 7:11;
17:61; 18:50; 20:116). Kesombongan mencegah dia dan keburukan
mengalahkannya. Maka ia membangga-banggakan penciptaannya sendiri (yang)
dari api dan bersikap menghina ciptaan dari lempung. Maka Allah
memberikan waktu kepadanya agar ia sepenuhnya patut menerima
kemurkaan-Nya, dan melengkapi ujian (pada manusia) dan untuk memenuhi
janji (yang telah diberikan-Nya kepada iblis). Maka la berkata,
“Sesungguhnya engkau telah diberi waktu sampai pada hari yang
diketahui.” (QS. 15:37-38; 38:81) Setelah itu Allah menempatkan Adam di
suatu rumah di mana la membuat kehidupannya senang dan kediamannya aman,
dan la memperingatkannya supaya berhati-hati terhadap iblis dan
musuhnya. Lalu musuhnya (iblis) merasa iri atas tinggalnya di surga dan
hubungan-hubungannya dengan yang bajik. Maka ia pun mengubah
keyakinannya menjadi goyah, dan tekadnya menjadi lemah. Dengan demikian
ia mengubah kebahagiaan Adam menjadi ketakutan, dan martabatnya menjadi
sesal dan malu. Kemudian Allah memberikan kepada Adam kesempatan untuk
bertaubat, mengajarkan kepadanya kata-kata dari Rahmat-Nya, menjanjikan
kepadanya untuk kembali ke surga-Nya dan mengirimkannya ke tempat
percobaan dan perkembangbiakan keturunan.
Allah Memilih Para Nabi-Nya.
Dari antara keturunannya, Allah Yang Mahasuci memilih
nabi-nabi dan mengambil janjinya untuk wahyu-Nya dan untuk menyampaikan
risalah-Nya sebagai amanat mereka. Dalam perjalanan waktu, banyak orang
menyelewengkan amanat Allah dan mengabaikan kedudukan-Nya, dan
mengambil serikat bersama-Nya. Iblis memalingkan mereka dari
mengenal-Nya dan menjauhkan mereka dari menyembah kepada-Nya. Kemudian
Allah mengutus rasul-rasul-Nya dan serangkaian nabi-Nya kepada mereka
agar mereka memenuhi janji-janji penciptaan-Nya, untuk mengingatkan
kepada mereka nikmat-nikmat-Nya, untuk berhujah kepada mereka dengan
tablig, untuk membukakan di hadapan mereka kebajikan-kebajikan dan
kebijaksa-naan yang tersembunyi, dan menunjukkan kepada mereka
tanda-tanda Kemahakuasaan-Nya, yakni langit yang ditinggikan di atas
mereka, bumi yang ditempatkan di bawah mereka, rezeki yang memelihara
mereka, ajal yang mematikan mereka, sakit yang menuakan mereka, dan
kejadian susul-menyusul yang menimpa mereka.
Allah Yang Mahasuci tak pernah membiarkan hamba-Nya tanpa
nabi diutuskan kepada mereka, atau tanpa kitab yang diturunkan kepada
mereka atau argumen yang mengikat atau dalil yang kuat. Para rasul itu
tidak merasa kecil karena kecilnya jumlah mereka dan besarnya jumlah
yang mendustainya. Di antara mereka ada pendahulu yang akan menyebutkan
nama yang akan menyusul atau pengikut yang telah dikenalkan oleh
pendahulunya.
Pengutusan Muhammad SAWW.
Secara demikian zaman-zaman berlalu dan waktu terus
bergulir, ayah pergi sementara putra-putra mereka menggantikannya,
sampai Allah mengutus Muhammad SAWW sebagai rasul-Nya, dalam memenuhi
janji-Nya dan untuk melengkapi Kenabian-Nya. Janji-Nya telah diambil
dari para nabi, tabiat karaktemya termasyhur dan kelahirannya mulia.
Manusia bumi pada saat itu terbagi dalam berbagai kelompok, tujuan
mereka terpisah dan jalan-jalan mereka beraneka. Mereka menyerupakan
Allah dengan ciptaan-Nya atau menggeser nama-nama-Nya atau berpaling
kepada yang selain Dia.
Melalui Muhammad SAWW, Allah memandu mereka keluar dari
kesalahan, dan dengan usahanya la membawa mereka keluar dari kejahilan.
Kemudian Allah memilih Muhammad SAWW dan keturunannya, untuk
menemui-Nya, memilihnya untuk kedekatan kepada-Nya sendiri, memandangnya
terlalu mulia untuk tinggal di dunia ini, dan memutuskan untuk
mengeluarkannya dari tempat percobaan ini. la menariknya kepada Diri-Nya
sendiri dengan kemuliaan. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada
beliau dan keluarganya.
Al Quran dan Sunah.
Tetapi Nabi meninggalkan di antara Anda sesuatu yang sama
sebagaimana yang ditinggalkan nabi-nabi lain di antara umat mereka,
karena nabi-nabi tidak meninggalkan mereka dalam kegelapan tanpa jalan
yang terang dan panji yang tegak, yakni Kitab dari Pencipta Anda yang
menjelaskan yang halal dan haram, perintah-perintah dan
keutamaan-keutamaannya, yang menasakh dan yang dinasakh, hal-halnya yang
halal dan yang wajib, hal-halnya yang khusus dan umum, pelajaran dan
amsalnya, yang panjang dan singkatnya, yang jelas dan samamya,
mendetailkan singkatan-singkatannya dan menjelaskan yang samamya.
Di dalamnya ada beberapa ayat yang pengetahuan tentangnya diwajibkan,
[i] dan yang lain-lainnya yang ketidaktahuan manusia tentangnya dibolehkan. la juga mengandung apa yang nampak sebagai wajib menurut Kitab,
[ii](2)
tetapi nasakhnya disuguhkan oleh sunah Nabi atau apa yang nampak
sebagai wajib menurut sunah Nabi tetapi Kitab membolehkan orang tidak
mengikutinya. Atau ada yang wajib pada suatu waktu tertentu tetapi tidak
sesudahnya.
Larangan-larangannya juga berbeda. Ada yang berat, yang
mengenainya ada ancaman api (neraka), dan yang lainnya ringan, yang
untuk itu terdapat harapan keampunan. Ada pula yang dalam ukuran kecil
dapat diterima (bagi Allah) tetapi dapat membesar (bila diteruskan).
Dalam Khotbah yang Sama, tentang Haji.
Allah telah mewajibkan Anda berhaji ke Rumah Suci-Nya yang
merupakan kiblat bagi manusia yang pergi kepadanya sebagaimana hewan
liar atau merpati pergi ke sumber air. Allah Yang Mahasuci menjadikannya
pertanda atas ketundukan mereka di hadapan Keagungan-Nya dan pengakuan
mereka akan Kemuliaan-Nya. la memilih dari antara ciptaan-Nya
orang-orang yang ketika mendengar seruan-Nya menyambutnya dan
mem-benarkan sabda-Nya. Mereka berdiri pada posisi para nabi-Nya dan
menyerupai para malaikat-Nya yang mengelilingi Mahligai-Nya untuk
mendapatkan segala manfaat dari melaksanakan pengabdian kepada-Nya dan
bergegas untuk (mendapatkan) keampunan yang telah dijanjikan-Nya. Allah
Yang Mahasuci menjadikannya sebagai syiar bagi Islam dan objek
penghormatan bagi orang-orang yang berpaling ke situ. la mewajibkan
hajinya dan meletakkan klaimnya yang untuk itu la menuntut tanggung
jawab Anda untuk melaksanakannya. Dan Allah Yang Mahasuci berfirman,
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah
Baitulldh yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk
bagi semua manusia. ” (QS. 3:96) •
[i] “Pangkal agama (din) adalah makrifat tentang Dia.” Makna din ialah ketaatan, dan makna populeraya tatanan.
Baik dalam makna harfiah, ataupun populer, apabila pikiran kosong dari
konsepsi Ketuhanan, tak akan ada masalah ketaatan, tidak ada pula urusan
dengan mengikuti suatu aturan. Karena, bila tidak ada tujuan maka tidak
ada alasan untuk menuju ke sana; bila tidak ada tujuan yang diharap,
tidak akan ada usaha untuk mencapainya. Bagaimanapun, ketika fitrah dan
naluri manusia mendekatkannya kepada Yang Mahatinggi, dan rasa taat
serta penyerahan merendahkannya di hadapan Tuhan, ia merasa terikat
dengan batasan-batasan tertentu, berlawanan dengan kebebasan
semena-mena. Batasan-batasan inilah din, yang titik mulanya ialah
pengetahuan tentang Allah serta pengakuan atas Wujud-Nya.
Setelah menunjukkan hakikat makrifat atau pengetahuan
tentang Allah, Amirul Mukminin menggambarkan pokok-pokok dan
syarat-syaratnya. la menganggap bahwa tahap-tahap pengetahuan yang
umumnya dianggap sebagai titik pendekatan tertinggi tidaklah mencukupi.
la mengatakan bahwa tahap pertamanya ialah dengan fitrah kerinduan
kepada yang gaib dan bimbingan hati nurani, atau dengan mendengar dari
para penganut agama, terbentuklah dalam pikiran suatu citra tentang
Wujud Gaib yang dikenal sebagai Allah. Gambaran ini sesungguhnya adalah
pendahulu dari kewajiban berpikir dan merenung serta mencari
pengetahuan tentang Dia. Tetapi, orang yang senang bermalas-malas, atau
dalam tekanan lingkungannya, tidak melakukan pencarian ini, sehingga
walaupun ada tercipta citra semacam itu, citra itu tidak sampai beroleh
kesaksian. Dalam hal ini mereka tidak mendapatkan pengetahuan, dan
karena mereka tidak sampai pada tahap panyaksian dan pembuktian atas
pembentukan citra itu maka pelanggaran mereka itu patut dimintai
pertanggungan jawab. Tetapi, orang yang digerakkan oleh kekuatan citra
ini maju lebih jauh dan memandang perlu berpikir dan merenungkannya.
Dengan jalan ini ia sampai ke tahap berikut dalam mencapai
pengetahuan Ilahi, yakni mencari Yang Maha Pencipta melalui aneka ragam
penciptaan dan makhluk, karena setiap gambar merupakan pandu yang kuat
menuju kepada penggambarnya, dan setiap akibat merupakan hasil tindakan
dari penyebabnya. Apabila ia melemparkan pandangan ke sekitarnya, ia
tidak mendapatkan suatu apa pun yang menjadi ada tanpa tindakan si
pembuat; ia tak dapat memperoleh suatu jejak langkah tanpa pejalan yang
meninggalkan jejak, tiada pula bangunan tanpa pem-bangun. Bagaimana ia
dapat memahami bahwa langit biru ini, dengan matahari dan bulan di
cakrawala, bumi dengan kelimpahan rumputan dan bunga-bungaan dapat
menjadi ada tanpa perbuatan Pencipta. Oleh karena itu, setelah mengamati
segala yang ada di dunia dan sistem teratur dari seluruh penciptaan,
orang tak dapat menyimpulkan lain kecuali bahwa ada Pencipta atas
keanekaragaman dan keberadaan dunia; ini tak mungkin terjadi dari tak
ada, tak ada keberadaan muncul dari ketiadaan. Al Quranul Karim
menunjukkan penalaran ini,
“Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (QS. 14:10)
Tetapi, tahap ini pun tak akan cukup, apabila bukti-bukti
adanya Allah ini dicemari oleh kepercayaan akan ketuhanan sesuatu yang
lain.
Tahap ketiga, keberadaan-Nya diakui bersama kepercayaan
akan Keesaan-Nya, Tauhid. Tanpa ini maka kesaksian akan adanya Allah tak
mungkin sempuma; karena, apabila ada kepercayaan akan adanya banyak
tuhan, maka la tidak akan Esa, padahal la Esa. Nalarnya, bila ada lebih
dari satu tuhan maka akan timbul pertanyaan apakah salah satu darinya,
atau mereka semua bersama-sama menciptakan semua ciptaan ini. Apabila
salah satu darinya yang menciptakannya maka harus ada sebab yang
membedakannya dari yang lain; kalau tidak, ia akan mendapatkan kedudukan
istimewa tanpa alasan, yang tak dapat diterima akal.
Apabila semua
telah menciptakannya secara bersama-sama maka posisinya hanya mempunyai
dua bentuk: ia tak dapat melakukan tugasnya tanpa pertolongan dari yang
lain, atau ia tidak memerlukan bantuan mereka.
Kasus pertama berarti ia tidak mampu dan memerlukan bantuan
pihak lain, sedang kemungkinan kedua berarti bahwa ada beberapa pelaku
bersama dari suatu tindakan tunggal, dan kepalsuan tentang keduanya
telah ditunjukkan. Apabila kita anggap semua tuhan itu melaksanakan
penciptaan dengan saling membagi di antara sesamanya maka dalam hal ini
tidak semua ciptaan akan mempunyai hubungan dengan pencipta itu, karena
setiap makhluk hanya mempunyai hubungan dengan penciptanya sendiri,
padahal setiap makhluk harus mempunyai hubungan yang satu dan sama
kepada semua pencipta itu. Sebab, semua ciptaan harus mempunyai
hubungan yang satu dan sama kepada semua pencipta itu, karena semua
ciptaan, dalam kemampuannya untuk menerima pengaruh, dan semua pencipta,
dalam kemampuannya untuk menghasilkan pengaruh, harus sama. Singkatnya,
tidak ada jalan kecuali mengakui-Nya sebagai Esa; karena, bila ada
banyak pencipta maka tidak akan ada apa pun lainnya, kehancuran pasti
menimpa bumi, langit dan segala sesuatu dalam penciptaan. Allah SWT
telah mengungkapkan argumen ini dalam kata-kata berikut:
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak-binasa …. (QS. 21:22).
Tahap keempat ialah bahwa Allah harus bebas dari segala
cacat dan kekurangan, dan kosong dari jasad, bentuk, gambaran, kesamaan,
kedudukan tempat dan waktu, gerak, diam, ketidakmampuan dan
ketidaktahuan. Tak mungkin ada kekurangan atau cacat pada Wujud yang
sempurna itu, tiada pula yang dapat disamakan dengan Dia, karena sifat
cacat itu menurunkan Wujud dari posisi tinggi Pencipta ke posisi rendah
ciptaan. Itulah sebabnya maka Keesaan dan Kesucian Allah dari segala
kekurangan adalah sama pentingnya.
“Katakanlah: ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah
Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan
tiada pula diperanakkan. dan tidak ada seorang pun yang setara dangan
Dia.'” (QS. 112:1-4).
“Makajanganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.
Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS.
16:74).
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 42:11).
Tahap kelima penyempurnaan pengetahuan tentang Dia ialah
sifat-sifat itu harus tidak dilekatkan kepada-Nya dari luar, supaya
tidak ada kegandaan dalam Keesaan-Nya, dan bila kita menyimpang dari
konotasinya yang semestinya tentang Keesaan, kita mungkin jatuh ke dalam
jebakan satu dalam tiga dan tiga dalam satu; karena Wujud-Nya bukanlah
suatu kombinasi hakikat dan bentuk maka sifat-sifat itu tak dapat
melekat pada-Nya seperti bau dalam bunga atau cahaya pada bintang. la
adalah sumber segala sifat dan tidak memerlukan perantara untuk
perwujudan Sifat-sifat-Nya yang sempuma. la dinamakan Maha Mengetahui
karena tanda-tanda pengetahuan-Nya nyata. la dinamakan Mahakuasa karena
setiap partikel menunjukkan Kemahakuasaan dan kegiatan-Nya, dan bila
pada-Nya disifatkan Kemampuan untuk mendengarkan atau melihat, hal itu
disebabkan kepaduan antara seluruh penciptaan dan pengurusannya tidak
dapat dilakukan tanpa mendengar atau melihat; tetapi adanya sifat-sifat
ini pada-Nya tidak dapat dipandang sama dengan yang ada pada ciptaan,
yakni tidaklah la baru dapat mengetahui setelah la beroleh pengetahuan,
atau baru berkuasa setelah tenaga masuk ke dalam anggota-Nya, karena
mengambil sifat sebagai terpisah dari Wujud-Nya akan mengandung makna
ganda, dan di mana ada kegandaan maka keesaan menghilang. Itulah
sebabnya Amirul Mukminin menolak ide sifat-sifat sebagai tambahan kepada
Wujud-Nya; ia mengajukan Keesaan (Tauhid) dalam maknanya yang
sesungguhnya, dan tidak mengizinkan Tauhid dinodai dengan kemajmukan.
Hal ini tidak berarti bahwa sifat-sifat sama sekali tak
dapat diatributkan kepada-Nya, karena ini akan memberikan dukungan
kepada orang-orang yang meraba-raba di jurang gelap negativisme,
sekalipun setiap penjuru dan sudut di seluruh eksistensi melimpah dengan
sifat-sifat-Nya dan setiap zarah ciptaan menyaksikan bahwa la mempunyai
pengetahuan, la berkuasa, la mendengar, la melihat. la memelihara dan
mengizinkan pertumbuhan dengan rahmat-Nya. Maksudnya ialah bahwa bagi
Dia tak ada sesuatu yang dapat disarankan sebagai tambahan kepada-nya,
karena diri-Nya meliputi sifat-sifat, dan sifat-sifat-Nya bermakna
diri-Nya meliputi sifat-sifat. Marilah kita pelajari tema ini dalam
kata-kata Imam Ja’far ibn Muhammad ash-Shadiq (as) dengan
membandingkannya dengan keimanan akan Keesaan yang ditempuh oleh
paham-paham lain, kemudian menilai siapakah pembela konsep Tauhid yang
sesungguhnya.
Imam Ja’far Shadiq mengatakan,
“Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi sejak semula telah
mempunyai penge-tahuan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu
untuk diketahui, (mempunyai) penglihatan sebagai Diri-Nya, sekalipun
tidak ada sesuatu untuk dilihat, (mempunyai) pendengaran sebagai
Diri-Nya, sekalipun tiada sesuatu untuk didengar, mempunyai kekuasaan
sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu di bawah kekuasaan-Nya.
Ketika la menciptakan benda-benda dan obyek pengetahuan menjadi nyata,
pengetahuan-Nya menjadi berhubungan dengan yang diketahui, pendengaran
dengan yang didengar, penglihatan dengan yang dilihat, dan kekuasaan
dengan objek-objeknya.” (Syeikh Shaduq, at-Tauhid, hal. 139).
Para imam Ahlulbait sepaham dalam kepercayaan ini, tetapi
kalangan mayoritas telah menempuh jalan berbeda dengan menciptakan
gagasan pembedaan antara Diri-Nya dan Sifat-sifat-Nya. Asy-Syahristani
menulis dalam bukunya Kitab al-Milal wa an-Nihal,
“Menurut Abul Hasan Al-Asy’ari, Allah mengetahui melalui
(sifat) tahu, Kuasa melalui kegiatan, berbicara melalui bicara,
mendengar melalui pendengaran, dan melihat melalui penglihatan.”.
Apabila kita memandang sifat-sifat berbeda dan Diri-Nya
secara ini, maka akan ada dua alternatif: sifat-sifat itu sudah ada
pada-Nya sejak semula atau sifat-sifat itu terjadi kemudian. Apabila
sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak semula, kita terpaksa mengakui
objek-objek itu kekal sejauh sifat-sifat itu, yang semuanya bersaham
dengan-Nya dalam kekekalan, tetapi “Mahasuci Allah dari apa yang
merekapersekutuan”. (QS. 9:31) Apabila kita menganggap bahwa sifat-sifat
itu baru terjadi kemudian maka, di samping menundukkan-Nya pada
perubahan-perubahan itu, akan berarti pula bahwa sebelum mendapatkan
sifat-sifat itu la tidak tahu, tidak kuasa, tidak mendengar, dan tidak
melihat, dan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mendasar.
[ii]
Tentang Al Quran, Amirul Mukminin berkata bahwa ia mengandung uraian
tentang perbuatan-perbuatan yang halal dan yang haram, seperti firman
Allah:
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ….” (QS. 2:275).
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu),
ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.
Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa) ….” (QS. 4:103).
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang ter-dapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyatd bagimu.”
(QS. 2:168).
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu
itu adalah Tuhan Yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal kepada Tuhannya.dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.'” (QS. 18:110).
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian,
sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab
(Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. 2:44).
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. 2:275).
Ia menjelaskan perbuatan-perbuatan yang wajib dan sunah, seperti:
“Apabilah kamu telah menyelesaikan shalat (takut), ingatlah
akan Allah di waktu kamu berdiri, duduk atau berbaring, dan bilamana
kamu merasa aman (dari musuh) maka dirikanlah shalat (sebagaimana
biasa).” (QS. 4:103).
Di sini shalat (mengingat Allah) adalah wajib, sementara
bentuk-bentuk lainnya dalam mengingat Allah adalah sunnah. Ia mengandung
ayat-ayat yang nāsikh dan mansūkh, seperti masa iddah setelah kematian
suami “empat bulan sepuluh hari”, (QS. 2:234) atau yang mansūkh seperti
“hingga setahun lamanya tanpa disuruh pindah (dari rumah)”, (QS. 2:240)
yang menunjukkan bahwa masa iddah itu harus setahun.
Di tempat-tempat tertentu ia menghalalkan yang haram,
seperti, “Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(QS. 5:3).
la mengandung perintah-perintah yang khusus dan umum.
Khusus ialah perin-tah di mana kata itu menunjukkan keumuman tetapi
maknanya terbatas, seperti, “Aku telah melebihkan kamu (Bam Isra’il)
atas seisi dunia.” (QS. 2:47) Di sini kata dial- ‘alamin (seisi dunia)
terbatas pada masa tertentu itu, walaupun kata itu umum dalam makna
harfiahnya.
Perintah-perintah yang umum ialah perintah yang luas dalam
pengertiannya, seperti, “‘Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS. 4:32).
la mengandung pelajaran dan gambaran, seperti:
“Allah menghukum di dunia ini dan yang akan datang, dan di situ terdapat pelajaran.” (QS. 79:25-26).
“Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia.” (QS. 78:25).
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya)”. (QS. 79:26).
“Perkataan yang baik dan pemberian maaflebih baik daripada
sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si
penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun”. (QS. 2:263).
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan
Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman):
“Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah
selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa.” (QS. 2:63).
Maka Kamijadikan yang demikian itu peringatan bagi
orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. 2:66).
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit. (QS. 3:5).
Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik
bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak
menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah,
niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. (QS. 47:21).
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa danjanganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
(QS. 4:19).
Katakanlah: “Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang
Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan
kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan
hati.” (QS. 2:139).
Terdapat pelajaran di dalamnya bagi orang yang bertakwa kepada Allah.” (QS. 3:138).
Ayat yang berisi gambaran misalnya, “Misal orang-orang yang
menafkahkan harta bendanya di jalan Allah adalah ibarat sebutir benih
yang menumbuhkan lima butir yang masing-masing butir mengandung seratus
butir,” (QS. 2:261).
la mengandung ayat-ayat yang khāsh dan ‘ām. ‘Ām ialah ayat
yang tidak mengandung batasan tentang spesifikasi, seperti, “Ingatlah
ketika Musa mengatakan kepada kaumnya, ‘Allah memerintahkan kamu untuk
menyembelih seekor sapi betina.'” (QS. 2:67).
Ayat yang khāsh ialah ayat di mana penujukannya terbatas,
seperti, “bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah
dipakai untuk membajak tanah maupun mengairi tanaman”. (QS. 2:71).
Ada ayat muhkamāt dan mutasyābihāt di dalamnya. Ayat
muhkamāt ialah ayat yang tidak ada kerumitan di dalamnya, seperti,
“Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu,” (QS. 33:27) .
sedang
ayat mutasyābihāt ialah yang pengertiannya mengandung komplikasi,
seperti, “Yang Rahman yang bersemayam di ‘arsy” (QS. 20:5), yang arti
lahiriahnya memberi kesan seakan-akan Allah secara jasmani duduk di
singgasana padahal maksudnya ialah untuk menekankan wewenang dan
kekuasaan-Nya.
Di dalamnya ada perintah-perintah singkat, seperti,
“Dirikanlah shalat,” (QS. 17:78) dan yang mengandung makna yang
mendalam, seperti ayat-ayat yang mengatakan, “Dan tiadalah yang
mengetahui takwilnya selain Allah dan orang-orang yang mendalam
ilmunya.” (QS. 3:7).
Kemudian Amirul Mukminin meluaskan tema ini dalam gaya lain
dengan mengatakan bahwa ada beberapa hal di dalamnya yang wajib
diketahui, seperti, “Maka ketahuilah bahwa tidak ada tuhan selain
Allah.” (QS. 47:19), dan ada lain-lain yang tidak perlu diketahui,
seperti “alif lām mīm” (QS. 2:1) dan sebagainya.
la juga mengandung perintah-perintah yang telah
diulang-ulang oleh sunah Nabi, seperti, “Tentang perempuan-perempuan
kamu yang berbuat zina, ambillah empat saksi laki-laki dan, apabila
empat saksi itu datang, kurunglah perempuan itu hingga ajal mengakhiri
hidupnya.” (QS. 4:15) Hukuman ini berlaku di masa dini Islam, tetapi
kemudian diganti dengan rajam dalam hal wanita bersuami.
Di dalamnya ada beberapa perintah yang menasakh perbuatan
Nabi, seperti, “Hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram” (QS. 2:149) yang
dengan itu perintah untuk berkiblat ke Baitul Maqdis dinasakh.
la juga mengandung perintah-perintah yang hanya wajib pada
masa waktu tertentu, yang sesudahnya perintah itu berakhir, seperti,
“Apabila seruan untuk shalat dilakukan pada hari Jumat, maka bergegaslah
kamu mengingat Allah.” (QS. 62:9) la juga menunjukkan derajat-derajat
larangan seperti pembagian dosa dalam yang ringan dan yang berat—yang
ringan seperti “katakanlah kepada orang-orang mukmin untuk merendahkan
matanya” (QS. 24:30), dan yang berat seperti “barangsiapa membunuh
seorang mukmin dengan sengaja maka imbalannya ialah tinggal di neraka
selama-lamanya “. (QS. 4:39) la juga berisi perintah-perintah di mana
sedikit pelaksanaannya sudah cukup, tetapi ada kesempatan untuk
pelaksanaan lebih jauh, seperti, “Bacalah Al Quran sebanyak yang dapat
kamu lakukan dengan mudah. ” (QS. 73:20).
Katakanlah kapada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah
mereka mena-han pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetaui apa
yang mereka perbuat.” (QS. 24:30).
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut
berperang) yang tidak mempunyui uzur dengan orang-orang yang berjihad di
jalan Allah dengan harta mereka danjiwanya. Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang
yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan
pahala yang baik (surgu) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad
atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. 4:95).
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri
(sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang
bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu
bacalah apa yang mudah (bagi-mu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa
akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang \ang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang
yang lain lagi yung berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berikanlah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu
perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperolehnyu di sisi Allah sebagai
balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah
ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. 73:20).
Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dia Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. (QS. 26:9).
Disampaikan Ketika Kembali dari Perang Shiffin.
Saya memuji Allah dengan memohon kelengkapan Rahmat-Nya
dengan tunduk kepada Keagungan-Nya dan mengharapkan keselamatan dari
ber-buat dosa kepada-Nya. Saya memohon pertolongan-Nya karena memerlukan
kecukupan-Nya (untuk perlindungan). Orang yang ditunjuki-Nya tidak
tersesat, orang yang memusuhi-Nya tidak mendapat perlindungan, orang
yang didukung-Nya tidak akan tetap kekurangan. Pujian adalah yang paling
berat dari semua yang ditimbang dan paling berharga dari semua yang
disimpan.
Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Esa.
Tidak ada yang menyerupai-Nya. Kesaksian saya telah teruji dalam
keterbukaannya, dan hakikatnya adalah iman kami. Kami akan berpegang
teguh padanya selama kami hidup dan akan menyimpannya dengan menghadapi
azab yang me-nyusul kami karena ia adalah batu fondasi keimanan dan
langkah pertama kepada amal saleh dan keridaan Ilahi. la adalah sarana
untuk menjauhkan iblis.
Saya juga bersaksi bahwa Muhammad SAWW adalah hamba-Nya dan
Rasul-Nya. Allah mengutus-Nya dengan agama yang cemerlang, syiar yang
efektif, Kitab yang terpelihara, cahaya yang bersinar, nyala yang
kemilau, dan perintah yang tegas untuk mengusir keraguan, mengajukan
bukti-bukti yang jelas, menetapkan peringatan melalui tanda-tanda, dan
memperingatkan akan hukuman. Pada waktu itu manusia telah jatuh ke dalam
kemungkaran yang dengan itu tali agama telah diputuskan, tiang-tiang
keimanan telah tergoncang, prinsip-prinsip telah dicemari, sistem telah
jungkir balik, pintu-pintu sempit, lorong-lorong gelap, petunjuk tidak
dikenal, dan kegelapan merajalela.
Allah tidak ditaati, iblis diberi dukungan, dan keimanan
telah dilupakan. Akibatnya, tiang-tiang agama runtuh, jejak-jejaknya tak
terlihat, lorong-lorongnya telah dirusakkan dan jalan-jalannya telah
binasa. Manusia menaati iblis dan melangkah pada jalan-jalannya. Mereka
mencari air pada tempat-tempat pengairannya. Melalui mereka
lambang-lambang iblis berkibar dan panjinya diangkat dalam kejahatan
yang menginjak-injak manusia di bawah tapak kakinya, dan melangkah di
atasnya dengan kaki mereka.
Kejahatan berdiri (tegak) di atas jari-jari
kakinya dan manusia yang tenggelam di dalamnya menjadi bingung, jahil
dan terbujuk seakan-akan dalam suatu rumah yang baik[i] dengan tetangga-tetangga
yang jahat. Sebagai ganti tidur, mereka terjaga, dan sebagai celaknya
adalah air mata. Mereka berada di suatu negeri di mana orang berilmu
terkekang (mulut mereka tertutup) sementara orang jahil dihormati.
Dalam khotbah yang sama, Amirul Mukminin a.s. merujuk kepada Ahlul Bayt sebagai berikut:
Mereka adalah pengemban wasiat, tempat berteduh bagi
urusan-Nya, sumber pengetahuan tentang Dia, pusat kebijaksanaan-Nya,
lembah bagi kitab-kitab-Nya dan bukit bagi agama-Nya. Melalui mereka
Allah meluruskan punggung agama yang bengkok dan menyingkirkan gemetar
anggota-anggota badannya.
Dalam khotbah yang sama, ia berbicara tentang orang lain sebagai berikut:
Mereka menabur kejahatan, mengairinya dengan tipuan dan
menuai kehancuran. Tak seorang pun di antara umat Islam yang dapat
dipandang sejajar dengan Keluarga Muhammad SAWW.
[ii]
Orang yang mendapatkan kenikmatan dari mereka tak dapat dibandingkan
dengan mereka. Mereka adalah fondasi agama dan tiang iman. Pelari di
depan harus berbalik sementara yang di belakang harus menyusul
mereka. Mereka memiliki ciri utama kewalian. Bagi mereka ada wasiat dan
warisan (Nabi). Inilah waktunya hak itu kembali kepada pemiliknya dan
dialihkan kepada pusat tempat kembalinya. •
[i] Rumah yang baik di sini berarti Makkah, sedang tetangga-tetangga yang buruk berarti kaum kafir Quraisy.
[ii]
Tentang keluarga (āl) Nabi, Amirul Mukminin mengatakan bahwa tidak ada
orang di dunia ini yang setaraf dengan mereka, tak ada pula orang yang
dapat dianggap sama dengan mereka dalam kemuliaan, karena dunia ini
penuh dibebani tanggung jawab mereka dan hanya mampu mendapatkan rahmal
abadi melalui bimbingan mereka. Mereka adalah batu penjuru dan fondasi
agama serta pemelihara kehidupannya dan kelanjutannya. Mereka adalah
tiang-tiang pengetahuan dan keimanan yang demikian kuat sehingga dapat
menyingkirkan arus dahsyat keraguan dan kecurigaan. Mereka begitu
menengah di antara jalan berlebihan dan keterbelakangan sehingga
barangsiapa pergi mendahului harus kembali, dan yang tertinggal di
belakang harus melangkah maju ke jalan tengah itu, supaya tetap berada
di jalan Islam. Mereka mempunyai semua keutamaan yang memberikan
keunggulan dalam hak kewalian dan imamah, dan tiada orang lain dalam
ummah yang mempunyai hak sebagai pelindung dan wali. Itulah sebabnya
Nabi me-maklumkan mereka sebagai para wali dan pelanjutnya.
Tentang wasiat dan kewalian, pensyarah ibn Abil Hadid
Al-Mu’tazili menulis bahwa tidak mungkin ada keraguan tentang
kekhalifahan Amirul Mukminin, tetapi kewalian tak dapat mencakup
kekhalifahan dalam pemerintahan, walaupun mazhab Syi’ah menafsirkannya
demikian. Kewalian itu bermakna kewalian dalam pengetahuan. Sekarang,
sekiranya menurut dia kewalian diartikan kewalian dalam pengetahuan
sekalipun, nampaknya ia tidak berhasil dalam mencapai tujuannya, karena
sekalipun dengan penafsiarannya itu, hak untuk menggantikan Nabi tidak
berpindah pada seseorang mana pun lainnya. Bilamana disepakati bahwa
pengetahuan adalah syarat yang paling hakiki bagi kekhalifahan, karena
fungsi ter-penting dari khalifah Nabi ialah pelaksanaan keadilan,
penyelesaian masalah hukum-hukum agama, menjelaskan hal-hal yang rumit,
dan melaksanakan hukum-hukum agama. Apabila tugas-tugas ini dilepaskan
dari khalifah Nabi maka ke-dudukannya akan merosot menjadi pemerintahan
duniawi. la tak dapat dipandang sebagai pusat wewenang keagamaan. Oleh
karena itu kita harus memisahkan wewenang pemerintahan dari kekhalifahan
Nabi, atau menerima kewalian pengetahuan Nabi untuk kesesuaian dengan
kedudukan itu.
Interpretasi Ibn Abil Hadid dapat diterima, apabila Amirul
Mukminin hanya mengucapkan kalimat ini saja. Tetapi, mengingat bahwa hal
itu diucapkan segera setelah pengakuan terhadap Ali sebagai Khalifah,
dan baru sesudah itu ada kalimat “hak itu telah kembali kepada
pemiliknya”, penafsirannya ini nampak tak beralasan. Malah, wasiat Nabi
itu tak dapat berarti wasiat apa pun selain kekhalifahan, dan kewalian
bukan berarti kewalian dalam harta atau pengetahuan, karena bukan
tempatnya untuk menyebutnya di sini. Kewalian itu harus berarti kewalian
dalam hak kepemimpinan yang datangnya dari Allah; bukan sekadar atas
dasar kekeluargaan tetapi atas dasar sifat-sifat kesempurnaan.
Dikenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah[i]
Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii]
membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu
bahwa kedudukan saya sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan
poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan
burung tak dapat terbang sampai kepada saya. Saya memasang tabir
terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya.
Kemudian saya mulai berpikir, apakah saya harus menyerang
ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, di mana
orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin
yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat
matinya). Saya dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka saya
mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di
kerongkongan. Saya melihat perampokan warisan saya sampai orang yang
pertama menemui ajalnya, tetapi mengalihkan kekhalifahan kepada Ibnu
Khaththab sesudah dirinya.
Kemudian ia mengutip syair al-‘A’sya':
Hari-hariku kini berlalu di punggung unta (dalam kesulitan)
Sementara ada hari-hari (kemudahan)
Ketika aku menikmati pertemanan Hayyan, saudara Jabir.[iii]
Aneh bahwa selagi hidup ia ingin melepaskan diri dari
kekhalifahan, tetapi ia mengukuhkannya untuk yang lainnya setelah
matinya. Tiada ragu bahwa kedua orang ini sama bersaham pada
puting-puting susunya semata-mata di antara mereka saja. Yang satu ini
menempatkan kekhalifahan dalam suatu lingkungan sempit yang alot di mana
ucapannya sombong dan sentuhannya kasar. Kesalahannya banyak, dan
banyak pula dalihnya kemudian. Orang yang berhubungan dengannya adalah
seperti penunggang unta binal. Apabila ia menahan kekangnya, hidungnya
akan robek, tetapi apabila ia melonggarkannya maka ia akan terlempar.
Akibatnya, demi Allah, manusia terjerumus ke dalam kesemberonoan,
kejahatan, kegoyahan dan penyelewengan. Namun demikian saya tetap sabar
walaupun panjang-nya masa dan tegarnya cobaan, sampai, ketika ia pergi
pada jalan (kematian)nya, ia menempatkan urusan (kekhalifahan) pada
suatu kelompok[iv]
dan menganggap saya salah satu dari mereka. Tetapi, ya Allah, apa
hubungan saya dengan “musyawarah” ini? Di manakah ada suatu keraguan
tentang saya sehubungan dengan yang pertama dari mereka sehingga saya
sekarang dipandang sama dengan orang-orang ini? Tetapi saya tetap
merendah ketika mereka merendah dan terbang tinggi ketika mereka terbang
tinggi. Seorang dari mereka menentang saya karena kebenciannya, dan
yang lainnya cenderung ke jalan lain karena hubungan perkawinan dan
karena ini dan itu, sehingga orang ketiga dari orang-orang ini berdiri
dengan dada membusung antara kotoran dan makanannya. Bersamanya
sepupunya pun bangkit sam-bil menelan harta Allah[v] seperti seekor unta menelan rumput musim semi, sampai talinya putus, tindakan-tindakannya mengakhiri dirinya dan keserakahannya membawanya jatuh tertelungkup.
Pada waktu itu tak ada yang mengagetkan saya selain
kerumunan orang yang maju kepada saya dari setiap sisi seperti bulu
tengkuk rubah sehingga Hasan dan Husain terinjak dan kedua ujung baju
bahu saya robek. Mereka berkumpul di sekitar saya seperti kawanan
kambing. Ketika saya mengambil kendali pemerintahan, suatu kelompok
memisahkan diri dan satu kelompok lain mendurhaka, sedang yang sisanya
mulai menyeleweng seakan-akan mereka tidak mendengar kalimat Allah yang
mengatakan, “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang
tidak in gin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) buini.
Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. ”
(QS. 28:83).
Ya, demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya,
tetapi dunia nampak berkilau di mala mereka dan hiasannya menggoda
mereka. Lihatlah, demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan
menciptakan makhluk hidup, apabila orang-orang tidak datang kepada saya,
dan para pendukung tidak mengajukan hujah, dan apabila tak ada
perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam
keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, maka saya akan
sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memberikan orang yang
terakhir perlakuan yang sama seperti orang yang pertama. Maka Anda akan
melihat bahwa dalam pandangan saya dunia Anda ini tidak lebih baik dari
bersin seekor kambing.
Dikatakan bahwa ketika Arnirul Mukminin sampai di sini
dalam khotbahnya, seorang lelaki dari ‘Iraq berdiri dan menyerahkan
kepadanya suatu tulisan. Amirul Mukminin melihat (tulisan) itu, dan
ketika itu juga Ibn ‘Abbas –semoga Allah meridai keduanya– berkata, “Ya
Amirul Mukminin, saya harap Anda lanjutkan khotbah Anda dari mana Anda
telah memutuskannya.”
Atasnya ia menjawab,
“Wahai Ibn ‘Abbas, hal itu seperti uap dengusan seekor unta yang menyembur keluar tetapi (kemudian) mereda.”
Ibn ‘Abbas berkata bahwa ia tak pernah menyedihkan suatu
ucapan sebagaimana atas yang satu ini, karena Amirul Mukminin a.s. tak
dapat mengakhirinya sebagaimana diinginkannya.
Sayid Radhi mencatat: Kata-kata dalam
khotbah, “seperti penunggang unta” bermaksud menyampaikan bahwa bilamana
seorang penunggang unta menarik kendali dengan kaku maka dengan
sentakan itu lobang hidungnya akan memar, tetapi apabila ia
melonggarkannya padahal unta itu liar, maka unta itu akan melemparkannya
di suatu tempat dan akan lepas kendali. Asynaq an-nāqah digunakan
bilamana si penunggang menarik kekang dan meninggikan kepala unta. Dalam
pengertian yang sama digunakan juga kata syanaqa an-nāqah. Ibnu Sikkit
telah menyebutkannya dalam Islāhul Manthiq. Amirul Mukminin telah
mengatakan asynaqa lahā sebagai ganti asynaqaha, karena ia
menggunakannya seirama dengan aslasa lahā dan keselarasan hanya dapat
dipertahankan dengan mengunakan keduanya dalam bentuknya yang sama.
Jadi, Amirul Mukminin menggunakan asynaqa lahā seakan-akan sebagai ganti
in rafa’a lahā ra’sahā, yakni “apabila ia menghentikannya dengan
menarik kekang”.•
[i]
Khotbah ini terkenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah dan dipandang
sebagai salah satu khotbah Amirul Mukminin yang paling masyhur. Khotbah
ini disampaikan di Ar-Rahbah (suatu bagian dari Kufah). Sebagian orang
menyangkalnya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dan mengatakan bahwa
itu dibuat-buat oleh Sayid Radhi (Syarif Radhi) namun para ulama
pencinta kebenaran telah menyanggah sangkalan itu.
Tidak ada pula dasar
untuk penyangkalan itu. Perbedaan pandangan Ali a.s. dalam hal
kekhalifahan bukanlah rahasia, sehingga singgungan-singgungan semacam
itu tak dapat dipandang sebagai sesuatu yang asing. Dan, peristiwa yang
telah disinggung dalam khotbah ini terpelihara dalam catatan-catatan
sejarah yang membenarkannya, kata demi kata dan kalimat demi kalimat.
Apabila peristiwa-peristiwa yang sama yang bertaian dengan sejarah
dikatakan kembali oleh Amirul Mukminin maka manakah alasan untuk
menyangkalinya?
Apabila ingatan akan keadaan-keadaan yang tak
menyenangkan segera setelah wafatnya Nabi nampak tak terlupakan baginya,
tidaklah hal itu harus mengejutkan. Tiada ragu, khotbah ini mengenai
prestise tokoh-tokoh tertentu dan mengurangi keyakinan dan kepercayaan
kepada mereka. Tetapi, kepercayaan itu tak dapat dipulihkan dengan
menolak khotbah ini sebagai ucapan Amirul Mukminin, kecuali apabila
peristiwa-peristiwa yang sebenarnya dianalisa dan kebenarannya
diungkapkan. Apabila tidak demikian, sekadar menolaknya sebagai ucapan
Amirul Mukminin karena mengandung peremehan terhadap individu-individu
tertentu, tidaklah berbobot, padahal kritik yang sama telah diriwayatkan
oleh sejarawan lain pula. Maka, (Abu ‘Utsman) ‘Amr Ibnu Bahr Al-Jāhizh
telah mencatat kata-kata berikut ini dari suatu khotbah
Amirul Mukminin,
dan kata-kata itu tidak kurang bobotnya daripada kritik dalam Khotbah
Asy-Syiqsyiqiyyah.
Yang dua ini meninggal dan yang ketiga bangkit seperti
gagak yang keberaniannya terbatas pada perut. Akan lebih baik apabila
kedua sayapnya terputus dan kepalanya terlepas.
Alhasil, gagasan bahwa khotbah itu buatan Sayid Radhi
adalah jauh dari kebenaran, dan hanya merupakan hasil partisan dan sikap
memihak. Sekiranya tuduhan itu merupakan hasil suatu penelitian,
haruslah dikernukakan. Bila tidak demikian maka bersikeras pada ilusi
penuh hasrat semacam itu tidak mengubah kebenaran, tidak pula kekuatan
argumen-argumen yang menentukan akan terpupuskan hanya dengan tidak
setuju dan tak senang.
Sekarang, marilah kita lihat kesaksian dari para ulama dan
ahli periwayatan yang dengan tegas memandangnya sebagai asli dari Amirul
Mukminin, supaya pentingnya secara historis diketahui. Di antara para
ulama ini, sebagian hidup sebelum masa Sayid Radhi, sebagian semasa
dengannya, dan sebagian sesudah-nya, tetapi mereka semua meriwayatkan
melalui isnad mereka sendiri-sendiri.
(1) Ibnu Abil Hadid menuliskan bahwa gurunya Abul Khair
Mushaddiq Ibnu Syabib al-Wasiti (m. 605 H.) menyatakan bahwa ia
mendengar khotbah ini dari Syeikh Abu Muhammad ‘Abdullah Ibnu Ahmad
Al-Baghdadi (m. 567 H.) yang dikenal sebagai Ibnu Al-Khasysyab, dan
ketika ia sampai di mana Ibnu ‘Abbas menyampaikan kesedihannya karena
khotbah ini tertinggal tak lengkap, Ibnu Khasysyab mengatakan kepadanya bahwa apabila ia mendengar keluhan sedih
Ibnu ‘Abbas itu, pastilah ia sudah menanyakan kepadanya apakah ada yang
tertinggal pada saudara misannya itu suatu keinginan lain yang tak
dipuaskan, karena, kecuali Nabi, ia tidak mengecualikan para
pendahulunya maupun para penyusulnya, dan telah mengucapkan semua yang
hendak diucapkannya.
Maka, mengapa harus ada kesedihan bahwa ia tak dapat mengatakan apa yang diinginkannya? Mushaddiq mengatakan bahwa Ibnu Khasysyab adalah orang yang berhati ceria dan sopan santun. Ketika saya bertanya kepadanya apakah ia juga memandang khotbah itu sebagai buat-buatan, ia menjawab, “Demi Allah, saya percaya itu kata-kata Amirul Mukminin, sebagaimana saya percaya bahwa Anda adalah Mushaddiq Ibnu Syabib.” Ketika saya katakan bahwa sebagian orang menganggapnya buatan Sayid Radhi, ia menjawab, “Bagaimana mungkin Radhi dapat mempunyai keberanian demikian atau gaya penulisan seperti itu. Saya telah melihat tulisan-tulisan Radhi dan mengetahui gaya penulisannya. Di mana-mana tiada tulisannya menyerupai yang satu ini. Dan saya telah melihatnya pada buku-buku yang ditulis ratusan tahun sebelum lahirnya Sayid Radhi; dan saya telah melihatnya dalam tulisan-tulisan yang terkenal yang saya tahu ulama dan ahli sastra mana yang mengutip tulisan-tulisan itu. Pada masa itu, bukan saja Radhi, tetapi bahkan ayahnya, Abu Ahmad An-Naqib, belum lahir.”.
(2) Setelah itu, Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ia melihat
khotbah ini dalam kompilasi-kompilasi gurunya Abul Qasim (‘Abdullah Ibnu
Ahmad) al-Balkhi (m. 317 H.). la pemimpin kaum Mu’tazilah dalam masa
pemerintahan Muqtadir Billah, sedang masa Muqtadir jauh sebelum lahirnya
Sayid Radhi.
(3) la selanjutnya menulis bahwa ia melihat khotbah ini
dalam buku Inshāf karya Ibnu Qibah (Abu Ja’far Muhammad Ibnu
‘Abdur-Rahman). la murid Abul Qa sim al-Balkhi dan ulama mazhab Syi’ah
Imamiah. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 205-206).
(4) Ibnu Maltsam Al-Bahrani (m. 679 H.) menulis dalam
syarahnya bahwa ia telah melihat satu salinan khotbah itu yang telah
ditulis oleh menteri Muqtadir Billah, Abul Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu
Al-Furat (m. 312 H.) (Syarh al-Balāghah, I, h. 252-253).
(5) Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi telah meriwayatkan
isnad berikut tentang khotbah ini dari kompilasi Syeikh Qutbuddin
ar-Rawandi, Minhājul Barā ‘ah fī Syarh Nahjul Balāghah:
“Syeikh Abu Nashr al-Hasan Ibnu Muahammad Ibnu Ibrahim
menyampaikan kepada saya dari al-Hajib Abul Wafa’ Muhammad Ibnu Badi’,
al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu Badi’ dan al-Husain Ibnu al-Husain Ibnu Ahmad
Ibnu ‘Abdur-Rahman, dan mereka (mendengar) dari al-Hafizh Abu Bakr
(Ahmad Ibnu Musa) Ibnu Mardawaih al-Ishbahani (m. 426 H.) dan dia dari
al-Hafizh Abul Qasim Sulaiman Ibnu Ahmad ath-Thabarani (m. 360 H.) dan
dia dari Ahmad Ibnu Ali al-Abbar dan dia dari Ishaq Ibnu Sa’id Abu
Salamah ad-Dimasyqi dan dia dari Khulaid Ibnu Da’laj dan dia dari Atha’
Ibnu Abi Rabah dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Biharul Anwār, edisi pertama,
jilid VIII, h. 160-161).
(6) Dalam konteks itu Allamah al-Majlisi menulis bahwa
khotbah ini juga termuat dalam kompilasi Abu Ali (Muhammad Ibnu ‘Abdul
Wahhab) al-Jubba’i (m. 303 H.).
(7) Dalam hubungan dengan otentiknya khotbah ini sendiri, Allamah al-Majlisi menulis:
“Qadhi ‘Abdul Jabbar Ibnu Ahmad al-Asadabadi (415 H.),
seorang Mu’tazilah yang tegar, menerangkan beberapa ungkapan dari
khotbah ini dalam buku Al-Mughni dan berusaha membuktikan bahwa khotbah
itu tidak menyerang para khalifah mana pun sebelumnya, tetapi tidak
menolak bahwa itu komposisi Amirul Mukminin.” (Ibid., h. 161).
(8) Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali, Ibnu Babawaih (m. 381 H.) menulis:
“Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Ishaq ath-Thalaqani mengatakan
kepada kami bahwa ‘Abdul ‘Aziz Ibnu Yahya al-Jaludi (m. 332 H.)
mengatakan kepadanya bahwa Abu ‘Abdullah Ahmad Ibnu ‘Ammar Ibnu Khalid
mengatakan kepadanya bahwa Yahya Ibnu ‘Abdul Hamid al-Himmani (m. 228
H.) mengatakan kepadanya bahwa ‘Isa Ibnu Rasyid meriwayatkan khotbah ini
dari Ali Ibnu Hudzaifah, dan dia dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu
‘Abbas.” (Ilal asy-Syarā’i, bab XXII, h. 360-361).
(9) Kemudian Ibnu Babawaih mencatat rangkaian isnad berikut:
“Muhammad Ibnu Ali Majilawaih meriwayatkan khotbah ini
kepada kami, dan ia mengambilnya dari pamannya Muhammad Ibnu Abil Qasim,
dia dari Ahmad Ibnu Abi ‘Abdillah (Muhammad Ibnu Khalid) al-Barqi dan
dia dari ayahnya dan dia dari Muhammad Ibnu Abi ‘UMalr dan dia dari Aban
Ibnu ‘Utsman dan dia dari Aban Ibnu Taghlib dan dia dari ‘Ikrimah dan
dia dari Ibnu ‘Abbas. (‘Ial asy-Syarā’i’, I, bab 122, h. 146; Ma’am
al-Akhbar, bab 22, h. 361).
(10) Abu Ahmad al-Hasan Ibnu ‘Abdillah Ibnu Sa’id
al-‘Askari (m. 382 H.), yangtergolong ulama besar Sunni, telah menulis
syarah dan penjelasan tentang khotbah ini, yang telah dicatat oleh Ibnu
Babawaih dalam. ‘Ial asy-Syard’i dan Ma ‘dni al-Akhbār.
(11) Sayid Ni’matullah al-Jaza’iri menulis:
“Penulis Kitdb al-Ghardt, Abu Ishaq, Ibrahim Ibnu Muhammad
ats-Tsaqafi al-Kufi (m. 283 H.) telah meriwayatkan khotbah ini melalui
rangkaian sanad-nya sendiri. Tanggal selesainya menulis buku ini hari
Selasa, 13 Syawal 255 H. dan pada tahun itu juga Murtadha al-Musawi
lahir. la lebih tua dari saudaranya Sayid RadhT.” (Anwar an-Nu
‘māniyyah, h. 37).
(12) Sayid Radhiuddin Abul Qasim Ali Ibnu Musa, Ibnu
Thawus al-Husaini al-Hilli (m. 664 H.) telah meriwayatkan khotbah ini
dari Kitab al-Ghārāt dengan rangkaian sanad berikut:
“Khotbah ini diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad Ibnu
Yusuf, yang meriwayatkan dari Hasan Ibnu Ali Ibnu ‘Abdul Karim
az-Za’farani, dan ia (meriwayatkan) dari Muhammad Ibnu Zakariyya
al-Ghallabi, dan dia dari Ya’qub Ibnu Ja’far Ibnu Sulaiman, dan dia dari
ayahnya, dan dia dari kakek-nya, dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (terjemahan
Ath-Thara’if, h. 202).
(13) Syeikh ath-Tha’ifah, Muhammad Ibnu al-Hasan ath-Thusi (m. 460 H.) menulis:
“(Abul Path Hilal Ibnu Muhammad Ibnu Ja’far) al-Haffar
meriwayatkan khotbah ini kepada kami. la meriwayatkan dari Abdul Qasim
(Isma’il Ibnu Ali Ibnu Ali) ad-Di’bili, dan dia dari ayahnya, dan dia
dari saudaranya Di’bil (Ibnu Ali al-Kuza’i), dan dia dari Muhammad Ibnu
Salamah asy-Syami, dan dia dari Zurarah Ibnu A’yan dan dia dari Abu
Ja’far Muhammad Ibnu Ali (asy-Syeikh ash-Shaduq), dan dia dari Ibnu
‘Abbas.” (Al-Amali, h. 137).
(14) Syeikh Mufid (Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu an-Nu’man,
m. 413 H.), guru Sayid Radhi, menulis tentang rangkaian sanad khotbah
ini:
“Sejumlah periwayat hadis telah meriwayatkan khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai isnad.” (Al-Irsyād, h. 135).
(15) ‘Alam al-Huda (lambang petunjuk) Sayid Murtadha, kakak Sayid Radhi, telah mencatatnya pada h. 203-204 bukunya Asy-Sydfi.
(16) Abu Manshur ath-Thabarsi menulis:
“Sejumlah perawi telah meriwayatkan tentang khotbah ini
dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai sanad. Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa ia
bersama Amirul Mukminin di ar-Rahbah; ketika percakapan beralih kepada
kekhalifahan dan mereka yang telah mendahuluinya sebagai Khalifah,
Amirul Mukminin menghembuskan nafas keluhan dan menyampaikan khotbah
ini.” (Al-Ihtijaj).
(17) Abu al-Muzhaffar Yusuf Ibnu ‘Abdillah dan Sibth Ibnu Jauzi al-Hanafi (m. 654 H.) menulis:
“Syeikh kita Qasim an-Nafts al-Anbari meriwayatkan khotbah
ini kepada kami melalui rangkaian sanadnya yang berakhir pada Ibnu
‘Abbas, yang mengatakan bahwa setelah dilakukan pembaiatan kepada Amirul
Mukminin sebagai khalifah, ia sedang duduk di mimbar ketika seorang
laki-laki dari hadirin bertanya mengapa ia berdiam diri ketika itu, lalu
Amirul Mukminin serta merta mengucapkan khotbah ini.” (Tadzkirat
Khawashsh al-Ummah, h. 73).
(18) Qadhi Ahmad Ibnu Muhammad, asy-Syihab al-Khafaji (m. 1069 H.) menulis setalian dengan keasliannya:
“Dinyatakan dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali (ra),
‘Aneh, selama hayatnya ia (Abu Bakar) hendak melepaskan kekhalifahannya,
tetapi ia memperkuat fondasinya untuk orang lain setelah matinya.'”
(Syarh Durrat al-Ghawwash, h. 17).
(19) Syeikh ‘Ala ad-Daulah as-Simnani menulis:
“Amirul Mukminin SayyidAl-‘Arifin Ali a.s. telah menyatakan
dalam satu khotbahnya yang cemerlang, “Ini syiqsyiqah yang menyembur
keluar”. (al-‘Urwah li Ahl al-Khalwah wa al-Jalwah, h. 3, naskah di
Perpustakaan Nasiriah, Lucknow, India).
(20) Abul Fadhl Ahmad Ibnu Muhammad al-Maldant (m. 518 H.) menulis sehubungan dengan kata syiqsyiqah:
“Satu khotbah Amirul Mukminin terkenal sebagai Khotbah
asy-Syiqsyt-qiyyah (khotbah busa unta).” (Majma’ al-Amtsāl, jilid I, h.
369).
(21) Pada lima belas tempat dalam An-Nihayah, sementara
menerangkan kata-kata dari khotbah ini, Abu as-Sa’adat Mubarak Ibnu
Muhammad, Ibnu al-Atsir al-Jazari (m. 606 H.) telah mengakuinya sebagai
ucapan Amirul Mukminin.
(22) Syeikh Muhammad Thahir Patnt, ketika menerangkan
kata-kata itu dalam Majma’ al-Bihar al-Anwar, membenarkan khotbah ini
dari Amirul Mukminin dengan kata-kata, “Ali mengatakan demikian.”
(23) Abul Fadhl Ibnu Manzur (m. 711 H.) telah mengakuinya
sebagai ucapan Amirul Mukminin, dalam Lisan al-‘Arab, jilid XII, h. 54,
dengan mengatakan, “Itu adalah busa unta yang mencetus, kemudian
mereda.”
(24) Majduddln al-Firuzabadt (m. 816/7 H.) telah mencatat kata syiqsyiqah dalam kamusnya (Al-Qdmus, III, h. 251):
“Khotbah asy-Syiqsytqiyyah Ali dinamakan demikian karena
ketika Ibnu ‘Abbas meminta kepadanya untuk meneruskannya di mana ia
telah me-ninggalkannya, ia berkata, “Wahai, Ibnu ‘Abbas! Itu busa unta (syiqsyiqah) yang mencetus keluar lalu mereda.”
(25) Penyusun Muntahd al-Adab menuliskan:
“Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah Ali diatributkan pada Ali (karramallahu wajhahu).”
(26) Syeikh Muhammad ‘Abduh, Mufti Mesir, mengakuinya
sebagai ucapan Amirul Mukminin; ia telah menulis keterangannya dalam
bukunya Syarh Nahjul Baldghah.
(27) Muhammad Muhyiddm ‘Abdul Hamid, guru besar pada
Fakultas Bahasa Arab, Universitas al-Azhar, telah menulis anotasi
tentang Nahjul Baldghah dengan membubuhkan prakata, di mana ia mengakui
semua khotbah yang mengandung pernyataan-pernyataan menyinggung semacam
itu sebagai ucapan Amirul Mukminin.
Di hadapan semua penyaksian dan semua bukti yang tak
tersangkal ini, tidak ada tempat untuk menganggap bahwa khotbah itu
bukan dari Amirul Mukminin dan bahwa itu buatan Sayid Radhi sendiri.
[ii] Amirul Mukminin mengacu pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah, sebagai berbusana dengan itu.
Ini kiasan biasa. Maka, ketika ‘Utsman diminta untuk menyerahkan
kekhalifahan, ia menjawab, “Saya tidak akan menanggalkan busana yang
telah dipakaikan Allah kepadaku ini.” Tiada ragu bahwa Amirul Mukminin
tidak mengatributkan “baju kekhalifahan” ini kepada Allah, melainkan
kepada Abu Bakar sendiri, karena menurut pandangan ijmak,
kekhalifahannya bukanlah dari Allah melainkan urusannya sendiri. Itulah
sebabnya Amirul Mukminin mengatakan bahwa Abu Bakar membusanai dirinya
sendiri dengan kekhalifahan. la mengetahui bahwa busana ini telah
dijahit untuk badannya sendiri, sedang kedudukannya sendiri sehubungan
dengan kekhalifahan adalah kedudukan poros pada penggiling yang dapat
mempertahankan posisi pusatnya dan tak ada gunanya tanpa itu. Seperti
itu pula, ia berpendapat, “Saya adalah sumbu pusat kekhalifahan; bila
saya tidak di sana, seluruh sistemnya akan tersesat dari pusatnya.
Sayalah yang bertindak sebagai pengawal bagi organisasi dan
ketertibannya, dan mengawalnya melewati berbagai kesulitan. Arus
pengetahuan mengalir dari dada saya dan mengairinya pada semua sisi.
Kedudukan saya tinggi di atas ima-jinasi, tetapi pencari keserakahan
duniawi untuk pemerintahan menjadi batu sandungan bagi saya, dan saya
harus mengurung diri dalam keterasingan. Kegelapan yang membutakan
merajalela di mana-mana, gelap pekat di mana-mana. Yang muda menjadi tua
dan yang tua berpisah ke kuburan, tetapi masa menanggung sabar ini tak
mau berakhir. Saya terus melihat dengan mata saya penjarahan atas
warisan saya dan melihat berlalunya kekhalifahan dari satu tangan ke
tangan lain, tetapi saya tetap bersabar, karena tak dapat menghentikan
kesewenang-wenangan mereka tanpa sarana.”
Perlunya Khalifah dan Cara Pengangkatannya.
Setelah Nabi Muhammad (saw) wafat, dibutuhkan adanya
pribadi yang mampu mencegah perpecahan umat dan mengawal hukum Islam
dari perubahan, pengubahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang
hendak memenuhi hawa nafsunya. Bila kebutuhan mendesak ini disangkal
maka mengapa suksesi Nabi dianggap begitu penting sehingga pertemuan di
Saqifah Bani Sa’idah dipandang lebih utama daripada penguburan Nabi?
Bila kebutuhan ini diakui, maka timbul pertanyaan apakah Nabi juga
menyadarinya atau tidak. Bila kita anggap beliau tidak menyadarinya dan
tidak dapat menilai ada atau tiadanya kebutuhan tersebut, maka hal ini
akan merupakan bukti yang sangat kuat untuk menganggap bahwa Nabi tidak
memikirkan cara menyetop kejahatan-kejahatan bidah dan hojatan; padahal
beliau telah memberikan peringatan-peringatan tentang masaalah ini.
Apabila dikatakan bahwa beliau menyadari kebutuhan akan
adanya pribadi tersebut tetapi tidak membereskannya, karena melihat
adanya manfaat dengan membiarkannya, maka beliau tidak akan
mendiamkannya tanpa menunjukkan manfaat itu dengan jelas; apabila tidak
demikian maka mendiamkan masalah tersebut tanpa tujuan merupakan
pelanggaran dalam pelaksanaan tugas Kenabian. Apabila ada halangan,
haruslah pula diungkapkan. Karena Nabi tidak meninggalkan masalah agama
dalam keadaan tidak sempurna maka beliau tidak akan membiarkan masalah
ini terbengkalai, melainkan akan mengajukan jalan pemecahan untuk
mengamankan agama dari campur tangan orang lain.
Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya pengambilan
keputusan pada masa awal tersebut dan apa yang akan dilakukan. Bila
keputusan itu berdasarkan konsensus umat maka hal itu tidak mungkin
terjadi, karena pada konsensus semacam itu diperlukan adanya persetujuan
tiap individu; tetapi mengingat perbedaan temperamen manusia, maka
mustahil mereka akan sepakat. Tak ada contoh di masa itu di mana
keputusan dapat diambil dengan mufakat tanpa satu pun yang menolak. Maka
bagaimana mungkin kebutuhan mendasar semacam itu digantungkan pada
terjadinya peristiwa yang mustahil seperti itu, sedangkan kebutuhan itu
menyangkut masa depan Islam dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu maka
akal sehat tidak dapat menerima tolok ukur ini. Tidak ada pula sunah
yang selaras dengannya sebagaimana ditulis oleh Qadhi ‘AdhuddTn al-‘Ijlt
dalam Syarh al-Mawāqif:
“Anda seharusnya tahu bahwa kekhalifahan tidak dapat
bergantung pada ijmak pemilihan, karena tidak ada argumen yang logis
atau sunah yang dapat dijadikan sandaran.”
Kenyataannya, tatkala para pembela pemilihan dalam
pelaksanaannya sukar mencapai aklamasi, mereka lalu menempuh persetujuan
mayoritas dengan mengabaikan minoritas.
Dalam hal semacam ini sering juga terjadi kekuatan jujur
ataupun palsu, cara benar atau tidak, mengubah arus pendapat mayoritas
dan mengabaikan keutamaan individu dan kebajikan pribadi. Akibatnya,
orang yang mampu dan jujur ter-sembunyi, dan yang tidak kompeten maju ke
depan. Bila orang berkemampuan tersisih, terhalang oleh ambisi-ambisi
pribadi, lalu bagaimana mengharapkan adanya pemilihan orang yang tepat?
Sekalipun, misalnya, semua pemberi suara punya kebebasan dan tidak
memihak, lidaklah mesti keputusan mayoritas harus benar dan tak
tersesat. Pengalaman menunjukkan bahwa setelah keputusan dijalankan,
mayoritas lalu berpendapat bahwa keputusannya sendiri ternyata salah.
Bila setiap keputusan mayoritas benar, maka keputusannya yang pertama
adalah salah, karena keputusan yang menganggapnya salah adalah juga dari
mayoritas.
Tentang pendapat bahwa untuk menghindari kekacauan maka
tokoh-tokoh umat dibiarkan memilih siapa saja yang mereka sukai, di sini
pun pergesekan dan pertengkaran akan merajalela. Karena, di sini juga
pemusatan watak manusia untuk satu persetujuan tidaklah mesti, dan tidak
dapat juga dikatakan bahwa mereka dapat mengatasi tujuan-tujuan pribadi
mereka. Dalam kenyataannya di sini konflik dan benturan akan lebih
kuat. Karena, kalau tidak semua, sekurang-kurangnya kebanyakan dari
mereka ingin menjadi calon dan akan berusaha dengan segala daya untuk
mengalahkan lawannya, dan membuka jalan yang sebaik-baiknya untuk
dirinya. Akibat yang tidak dapat dihindarkan ialah pergumulan dan
pergolakan.
Kesimpulannya, tidak mungkin menyingkirkan bencana dengan
cara ini, dan ketimbang menemukan tokoh yang tepat, umat hanya akan jadi
alat untuk me-menuhi ambisi pribadi orang lain. Lagi pula, bagaimana
seharusnya tolok ukur orang yang akan memegang tampuk kekuasaan ini?
Sebagaimana biasa, siapa saja yang dapat mengumpul beberapa pendukung
dan mampu membuat geger dan ribut-ribut dalam suatu pertemuan dengan
menggunakan kata-kata keras maka dialah yang dianggap paling tepat
sebagai penguasa. Ataukah kemampuan seseorang juga akan dinilai? Bila
penilaian kemampuan seseorang ditentukan juga dengan cara pemilihan umum
seperti ini, maka kerumitan dan kekacauan serupa akan muncul. Bila ada
patokan lain, maka sebagai ganti menilai para pemberi suara seperti itu,
mengapa tidak menilai orang yang dipandang pantas untuk kedudukan itu?
Selanjutnya berapa banyak tokoh yang dianggap cukup untuk mengambil
keputusan? Jelas bahwa sekali patokan ini diambil maka hal ini akan jadi
preseden, teladan dan contoh di masa mendatang, dan jumlah orang yang
berwenang mengambil keputusan akan jadi patokan juga di masa depan.
Qadhi al-‘Ajali menulis:
“Malah satu atau dua orang telah cukup menentukan
terpilihnya pemimpin, karena kita tahu bahwa para ulama yang tegas dalam
agama menganggap cukup pengangkatan Abu Bakar oleh ‘Umar dan
pengangkatan ‘Utsman oleh ‘Abdur-Rahman.” (Syarh al-Mawaqif, h. 351).
Beginilah riwayat “Pemilihan secara mufakat” di Saqifah
Bani Sa’idah dan kegiatan Syura dalam pemilihan ‘Utsman: tindakan satu
orang telah diberi nama “pemilihan secara mufakat”, dan perbuatan satu
orang dinamakan majelis syura. Abu Bakar telah memahami kenyataan bahwa
pemilihan berarti hanya satu atau dua suara yang akan diatributkan pada
rakyat umum yang sederhana. Itulah sebabnya ia mengabaikan tuntutan
dengan suara bulat, suara mayoritas atau metode pemilihan melalui
majelis yang dipilih, dan ia sendiri mengangkat ‘Umar. ‘A’isyah pun
memandang bahwa membiarkan masalah kekhalifahan pada suara beberapa
individu berarti mengundang kekacauan dan kesulitan. la mengirimkan
pesan kepada ‘Umar menjelang matinya:
“Jangan biarkan umat Islam tanpa pemimpin. Angkatlah
seorang khalifah untuk itu dan jangan Anda tinggalkan umat tanpa
pewenang, karena apabila tidak demikian saya melihat kekacauan dan
kesulitan.”
Ketika pemilihan oleh orang yang berwenang terbukti gagal,
hal itu ditinggalkan, dan hanya “kekuatan adalah kebenaran” yang menjadi
ukurannya—yakni siapa saja yang menundukkan dan menguasai orang lain,
diterima sebagai khalifah Nabi dan pelanjutnya yang sebenarnya. Ini
prinsip buatan sendiri, padahal ada serangkaian hadis Nabi yang
disampaikan pada “Pertemuan ‘Asyirah”, pada ma-lam Hijrah, pada Perang
Tabuk, pada kesempatan menyampaikan surah al-Bara’ah (at-Taubah) dan di
Ghadlr Khum. Yang aneh, setiap orang dari khalifah itu di-dasarkan pada
pilihan individu, sementara pilihan Nabi sendiri ditolak!
Padahal,
penunjukan oleh Nabi adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri
perselisihan, yakni bahwa Nabi sendiri yang semestinya menyelesaikan dan
menyelamatkan umat dari kekacauan-kekacauan di masa depan dan
menghindarkan pengambilan keputusan di tangan orang-orang yang terlibat
dalam tujuan dan maksud-maksud pribadi. Ini prosedur yang tepat yang
sesuai dengan nalar dan juga mendapat dukungan hadis-hadis Nabi yang
tegas.
[iii]
Hayyan Ibnu Samin al-Hanafi al-Yamamah adalah kepala suku Bani Hanifah
dan penguasa benteng dan tentara. Jabir adalah nama adiknya, sedang
A’sya, yang nama sesungguhnya Malmun Ibnu Qais Ibnu Jandal, adalah
sahabat karib dan hidup pantas dan bahagia atas kemurahannya. Dalam
bait syair ini ia membandingkan kehidupannya sekarang ini dengan yang
sebelumnya, yakni masa ketika ia berkelana mencari nafkah, dengan masa
hidup berbahagia bersama Hayyan.
Pada umumnya dianggap bahwa Amirul
Mukminin mengutip bait ini untuk membandingkan masanya yang kesusahan
dengan masa-masa daMal yang dilaluinya dalam asuhan dan perlindungan
Nabi, ketika ia bebas dari segala kerisauan dan menikmati kedaMalan
mental. Tetapi, mengingat peristiwa ia membuat perbandingan ini, serta
pokok bait syair itu, bukanlah penjelasan yang dicari-cari apabila itu
dianggap menunjukkan perbedaan antara kedudukan yang tak penting dari
orang-orang yang sekarang sedang berkuasa, di masa kehidupan Nabi, dan
wewenang dan kekuasaan mereka sesudahnya; yakni, pada masa Nabi tiada
perhatian diberikan kepada mereka, karena kepribadian Ali; tetapi,
sekarang waktu telah berubah demikian rupa sehingga orang-orang itu
menjadi penguasa dunia Islam.
[iv] Ketika ‘Umar terluka oleh Abu Lu’lu’ah
dan ia melihat bahwa sulit baginya untuk hidup lebih lama lagi, karena
luka yang parah itu, ia membentuk suatu komite musyawarah (Syura) dan
menunjuk Ali Ibnu Abt Thalib, ‘Utsman Ibnu ‘Affan, ‘Abdur-Rahman Ibnu
‘Auf, Zubair Ibnu ‘Awwam, Sa’id Ibnu Abi Waqqash dan Talhah Ibnu
‘Ubaidillah, seraya mengikat mereka dengan ketentuan bahwa setelah tiga
hari sesudah kematiannya, mereka harus memilih salah seorang di antara
mereka sendiri sebagai khalifah, sementara untuk tiga hari itu Shuhaib
akan bertindak sebagai khalifah sementara.
Ketika menerima instruksi ini, beberapa orang bertanya
kepadanya bagaimana pikirannya tentang setiap orang dari mereka itu,
untuk memungkinkan mereka berlaku sesuai dengan sorotannya. Karenanya,
‘Umar mengungkapkan pandangannya sendiri tentang setiap individu itu. Ia
mengatakan bahwa Sa’d bertempramen kasar dan berkepala panas;
‘Abdurrahman adalah Fir’aunnya umat; Zubair, apabila disenangkan, adalah
seorang mukmin yang sebenarnya, tetapi apabila tidak disenangkan adalah
seorang kafir; Thalhah adalah pengejawantahan kebanggaan dan
kesombongan, yang apabila dijadikan khalifah ia akan memasang cincin
kekhalifahan di jari istrinya, sedang ‘Utsman tidak melihat melampaui
keluarga-nya. Mengenai Ali, ia terpikat kekhalifahan, walalupun saya
tahu hanya ia sendiri yang dapat melaksanakannya pada garis yang benar.
Walaupun demikian pengakuannya, ia menganggap perlu untuk
membentuk Syura itu, dan dalam memilih para anggotanya dan meletakkan
prosedur kerjanya, ia meyakinkan bahwa kekhalifahan akan mengarah ke
mana ia menginginkannya. Maka, seorang yang berkebijaksanaan biasa dapat
mengambil kesimpulan bahwa semua faktor keberhasilan ‘Utsman terdapat
di dalamnya.
Apabila kita perhatikan para anggotanya, kita lihat bahwa,
pertama, ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf adalah suami saudara perempuan ‘Utsman;
berikutnya, Sa’d Ibnu AbT Waqqash, selain menaruh dengki terhadap Ali,
adalah teman dan keluarga ‘Abdur-Rahman; keduanya tak dapat diharapkan
akan menentang ‘Utsman.
Yang ketiga, Thalhah Ibnu ‘Ubaidillah yang tentangnya Muhammad ‘Abduh menulis dalam anotasinya mengenai Nahjul Balaghah:
“Thalhah cenderung kapada ‘Utsman, dan sebabnya adalah tak
kurang dari ia menentang Ali, karena ia sendiri seorang anggota suku
Taim, dan naiknya Abu Bakar pada kekhalifahan telah menciptakan
perseteruan antara Bani Taim dan Bani Hasyim.”
Mengenai Zubair, sekiranyapun ia memilih Ali, apa gunanya
satu suara ini? Menurut pernyataan Thabari, Thalhah tidak hadir di
Madinah pada waktu itu, tetapi absennya tidak menghalangi keberhasilan
‘Utsman. Malah, sekiranyapun ia hadir, sebagaimana ia akhirnya datang ke
Syura itu, dan ia dianggap pendukung Ali, tetap tidak akan meragukan
keberhasilan ‘Utsman, karena pikiran ‘Umar yang cerdik telah menetapkan
prosedur bahwa:
“Apabila dua orang menyetujui yang satu, sedang yang dua
orang lagi me-nyetujui seorang lainnya, maka ‘Abdullah Ibnu ‘Umar akan
bertindak sebagai penengah. Kelompok yang diperintahkannya harus mamilih
khalifah di antara mereka sendiri. Apabila mereka tidak menerima
keputusan ‘Abdullah Ibnu ‘Dinar, maka dukungan harus diberikan kepada
kelompok di mana termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf; tetapi, apabila yang
lain-lainnya tidak menyetujuinya maka mereka harus dipancung kepalanya
karena menentang keputusan ini.” (Thabari, I, h. 2779-2780; Ibnu Atsir,
III, h. 67).
Di sini ketidaksepakatan dengan keputusan ‘Abdullah Ibnu
‘Umar tidak berarti apa-apa, karena ia diarahkan untuk mendukung
kelompok yang meliputi ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf. la telah memerintahkan
anaknya ‘Abdullah, dan Shuhaib, bahwa:
“Apabila orang-orang itu berselisih, Anda harus memihak
kepada mayoritas; tetapi apabila ada tiga di antara mereka di satu sisi
dan tiga di sisi lainnya, Anda harus memihak pada kelompok di mana
termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf.” (Thabari, jilid I, h. 2725, 2780;
Ibnu AtsTr, jilid II, h. 51, 67).
Dalam instruksi ini persetujuan mayoritas juga berarti
mendukung ‘Abdur-Rahman, sebab mayoritas tak mungkin memihak pada siapa
pun lainnya, karena lima puluh pedang haus darah telah disiapkan
terhadap kelompok lawan, dengan perintah untuk memancung kepala mereka
atas keputusan ‘Abdur-Rahman. Mata Amirul Mukminin telah membaca pada
saat itu juga bahwa kekhalifahan akan berpindah kepada ‘Utsman,
sebagaimana nampak pada kata-kata berikut ini, yang disampaikannya
kepada ‘Abbas Ibnu ‘Abdul Muththalib:
“Kekhalifahan telah disingkirkan dari kami.” ‘Abbas
bertanya bagaimana ia mengetahuinya. Lalu ia menjawab, ‘”Utsman juga
telah disetarakan dengan saya, dan telah diatur bahwa mayoritas harus
didukung; tetapi, apabila dua orang menyetujui yang satu, dan dua lagi
menyetujui yang lain, maka dukungan harus diberikan kepada kelompok di
mana termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf. Nah, Sa’d akan mendukung saudara
sepupunya ‘Abdur-Rahman yang tentu saja adalah suami saudara perempuan
‘Utsman.” (ibid)
Alhasil, setelah wafatnya ‘Umar, pertemuan ini berlangsung
di rumah ‘A’isyah. Di pintunya berdiri Abu Thalhah al-Anshari dengan
lima puluh orang yang telah menghunus pedang di tangannya. Thalhah
memulai acara, dan seraya mengundang semua yang lain-lainnya untuk
menyaksikan, ia berkata bahwa ia memberikan hak pilihnya kepada ‘Utsman.
Ini menyinggung harga diri Zubair karena ibunya Safiyyah putri ‘Abdul
Muthtalib adalah saudara perempuan ayah Nabi. Maka ia memberikan hak
suaranya kepada Ali. Sesudah itu Sa’d Ibnu Abi Waqqash memberikan hak
suaranya kepada ‘Abdur-Rahman. Tinggal tiga anggota Syura yang belum
memilih, di antaranya ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf yang mengatakan ia mau
melepaskan haknya sendiri untuk dipilih apabila Ali a.s. dan ‘Utsman
memberikan hak kepadanya untuk memilih seseorang di antara mereka, atau
salah satu di antara kedua orang ini harus mendapatkan hak memilih
dengan jalan menarik diri dari pencalonan.
Ini perangkap di mana Ali
telah dilibat dari semua sisi, yakni ia harus meninggalkan haknya
sendiri atau mengizinkan ‘Abdur-Rahman bertindak semaunya. Yang pertama
tak mungkin baginya, yakni melepaskan haknya dan memilih ‘Utsman atau
‘Abdur-Rahman. Maka, ia berpegang pada haknya, sementara ‘Abdur-Rahman
melepaskan diri dari pencalonan itu lalu me-megang kekuasaan ini seraya
berkata kepada Amirul Mukminin, “Saya membaiat Anda dengan syarat Anda
mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan perilaku kedua Syeikh (Abu Bakar
dan ‘Umar).” Ali menjawab, “Akan mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan
pendapat saya.” Ketika ia memberikan jawaban yang sama seka-lipun
pertanyaan itu telah diulang tiga kali, ‘Abdur-Rahman berpaling kepada
‘Utsman seraya berkata, “Apakah Anda menerima persyaratan ini?” ‘Utsman
tidak beralasan untuk menolak; maka ia menyetujui persyaratan itu, dan
baiat pun dilakukan baginya. Ketika Amirul Mukminin melihat haknya
terpijak-pijak demikian, ia berkata:
“Ini bukan hari pertama Anda berlaku menentang kami. Saya
hanya harus bersabar. Allah adalah Penolong terhadap segala yang Anda
katakan. Demi Allah, Anda tidak membuat ‘Utsman menjadi khalifah
melainkan dengan harapan bahwa ia akan mengembalikan kekhalifahan kepada
Anda.”
Setelah mencatat peristiwa Syura (komite musyawarah
pengangkatan ‘Utsman itu), Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ketika
pembaiatan telah dilakukan kepada ‘Utsman, Ali menegur ‘Utsman dan
‘Abdur-Rahman dengan mengatakan, “Semoga Allah menaburkan benih
perselisihan di antara Anda,” dan demikian terjadinya sehingga keduanya
bermusuhan sengit, dan ‘Abdur-Rahman tak pernah lagi berbicara dengan
‘Utsman hingga matinya. Bahkan di ranjang kematiannya ia memalingkan
muka ketika melihat ‘Utsman.
Melihat peristiwa ini timbul pertanyaan, apakah Syura
bermaksud membatasi urusan kepada enam orang, kemudian kepada tiga
orang, dan akhirnya hanya pada satu orang saja? Juga, apakah syarat
untuk mengikuti perilaku kedua Syeikh untuk kekhalifahan ditetapkan oleh
‘Umar, atau hanya sekadar halangan yang diletakkan oleh ‘Abdur-Rahman
antara Ali a.s. dan kekhalifahan; khalifah yang pertama tidak
meletakkan syarat pada waktu mengangkat khalifah yang kedua, yakni bahwa
ia harus mengikuti langkah-langkah khalifah yang pertama. Maka, apakah
alasan untuk syarat itu di sini?
Namun, Amirul Mukminin telah menyetujui untuk turut serta
dalam Syura itu untuk menjauhkan bencana dan untuk menghentikan orang
menggunakannya sebagai dalih, sehingga orang-orang lain dibungkamkan dan
tak akan dapat meng-aku bahwa mereka sebenarnya akan memilih dia dan
bahwa ia sendiri meng-elakkan komite musyawarah itu dan tidak memberikan
kesempatan kepada mereka memilihnya.
[v] Tentang pemerintahan khalifah yang ketiga itu, Arnirul Mukminin mengatakan bahwa segera setelah
ia berkuasa, Bani Umayyah mendapatkan lahan dan mulai menjarahi Baitul
Mal (perbendaharaan negara), dan seperti ternak melihat rumput hijau
setelah musim kemarau, dengan sembrono mereka mcnyerbu uang milik Allah
lalu melahapnya. Akhirnya keserakahan dan nepotisme ini membawanya ke
tahap di mana rakyat mengepung rumahnya, membunuhnya dan membuatnya
memuntahkan semua yang telah ditelannya.
Malakelola pemerintahan yang terjadi dalam masa ini
sedemikian rupa sehingga tiada seorang Muslim yang tak tergugah melihat
para sahabat berkcdudukan tinggi dibiarkan terlantar, dilanda
kemiskinan dan dikepung kemelaratan, sementara kekuasaan atas Baitul Mal
berada di tangan Bani Umayyah, jabatan pemerintahan diduduki
orang-orang muda mereka yang tak berpengalaman, hak-hak khusus kaum
Muslim mereka kuasai, padang penggembalaan hanya untuk ternak mereka,
rumah-rumah dibangun hanya untuk mereka, dan kebun-kebun hanya bagi
mereka saja. Apabila ada seseorang merasa belas kasihan kepada orang
lain lalu berbicara tentang pelanggaran batas-batas ini, ia diusir dari
kota. Penggunaan zakat dan sedekah yang dimaksudkan untuk fakir miskin,
dan Baitul Mal yang merupakan hak umum kaum Muslim, dapat dilihat pada
gambaran berikut:
(1) Hakam Ibnu Abil ‘Ash yang telah diusir oleh Nabi dari
Madinah, diizinkan kembali ke kota itu, bukan saja bertentangan dengan
sunah Nabi tetapi juga bertentangan dengan perilaku kedua khalifah
sebelumnya; ia bahkan diberi tiga ratus ribu dirham dari Baitul Mal.
(Ansāb al-Asyrāf, V, h. 27, 28, 125).
(2) Walid Ibnu ‘Uqbah yang telah dinaMal munafik dalam
Qur’an, dibayari seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Al-‘Iqd al-Farid,
III, h. 94).
(3) Khalifah itu mengawinkan anak perempunnya Umm Aban
dengan Marwan Ibnu Hakam dan memberikan kepada Marwan seratus ribu
dirham dari Baitul Mal. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 194-199).
(4) la mengawinkan anaknya ‘A’isyah dengan Harits Ibnu
Hakam dan memberikan kapada Harits seratus ribu dirham dari Baitul Mal.
(ibid).
(5) ‘Abdullah Ibnu Khalid diberi empat ratus ribu dirham. (Ibnu Qutaibah, Al-Ma’ārif, h. 84).
(6) la memberikan hak atas khums (pajak keagamaan) dari Afrika, sejumlah lima ratus ribu dinar, kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid).
(6) Kebun Fadak yang tidak diserahkan kepada putri
Rasulullah Fathimah az-Zahra’ berdasarkan alasan bahwa itu merupakan
sedekah umum, diberikan sebagai hadiah kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)
(7) Mahzur, suatu tempat di area perdagangan Madinah, yang
telah dimaklumkan sebagai milik umum oleh Nabi, dihadiahkan kepada Hants
Ibnu Hakam. (ibid)
(8) Di padang-padang sekitar Madinah, lak ada unta selain
milik Bani Umayyah yang digembalakan. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 199).
(10) Setelah meninggalnya (‘Utsman), seratus lima puluh
ribu dinar (mala uang mas) dan satu juta dirham (mata uang perak)
terdapat di rumahnya. Tak ada batas tanah-tanah yang bebas pajak; dan
nilai total harta perkebunan yang dimilikinya di Wadi al-Qura dan Hunain
adalah seratus ribu dinar. Di sana terdapat unta dan kuda yang tak
terhitung banyaknya. (Muruj adz-Dzahab,I, h. 435).
(11) Famili-famili khalifah memerintah semua kota penting.
Di Kuf’ah, Walid Ibnu ‘Uqbah adalah gubernurnya. Tetapi ketika dalam
keadaan mabuk anggur ia mengimami salat Subuh empat rakaat, bukannya
dua, dan rakyat menggugat, la pun dipindahkan. Tetapi, khalifah
menggantikkannya dengan seorang munafik, Sa’id bin al-‘Ash. Di Mesir
‘Abdullah Ibnu Sa’d Ibnu AbT Sarh, di Suriah Mu’awiah Ibnu Abi Sufyan, di Bashrah ‘Abdullah Ibnu ‘Amir.
Post a Comment
mohon gunakan email