Jawaban dari Ulama Sunni:
Senin, 06 Agustus 2012 16:39 WIB.
Raja Abdullah Undang Ahmadinejad Hadiri KTT Darurat Islam
Tentu saja mayoritas turunan Nabi adalah Sunni sebagaimana para Habib di Indonesia seperti Habib Rizieq Syihab, Habib Abdurrahman Assegaf (Walid), Habib Hud bin Bagir Al Athas, dsb.
Artikel di bawah ini menyoroti dua pasang istilah yang karena disalahpahami telah menjadi salah satu penyebab tertumpahnya darah sesama Muslim, sesama warganegara dan sesama manusia, yaitu Rukun Iman dan Rukun Islam.
Rukun Iman.
Banyak orang menjadikan enam rukun iman sebagai salah satu kriteria pembeda antara mukmin dan sesat. Sebagian masyarakat awam menganggap rukun iman dan rukun Islam sebagai paket yang “turun dari langit” yang dipandang final dan tak layak didiskusikan, bukan sebuah produk interpretasi tentang agama dan akidah yang tentu saja spekluatif dan subjektif. Sehingga karena mindset inilah tidak sedikit tuduhan “sesat” dengan mudah dilemparkan terhadap orang atau aliran yang berbeda dalam merumuskan prinsip akidah.
Benarkah itu sudah final? Bila tidak alergi terhadap kristisisme, mari mengamati substansi dan sistematika enam rukun tersebut.
Pertama:
Enam rukun iman mazhab ini didasarkan pada al-Qur’an. Yang perlu diketahui ialah perbedaan antara ‘percaya kepada’ dan ‘kepada bahwa’. Sejauh pengetahuan saya, semua item dalam rukun iman itu lebih difaokuskan pada ‘kepercayaan kepada’, bukan ‘kepercayaan tentang’. Padahal kepercayaan kepada Allah, malaikat dan lainnya adalah buah dari kepada tentang wujud Allah, malaikat dan lainnya. Inilah paradoks yang terlewat oleh banyak orang.
Kedua:
Dasar pembentukan rukun iman dalam mazhab Asy’ariah adalah teks suci. Padahal menjadikan teks sebagai dasar kepercayaan yang merupakan produk spekulasi rasional kurang bisa dipertanggugjawabkan. Tapi apabila al-Qur’an dijadikan sebagai dasar keimanan kepada Allah, yang merupakan sila pertama dalam rukun iman, maka konsekuensi logisnya, kepercayaan kepada al-Quran mendahului kepercayaan kepada Allah. Bukankah al-Qur’an diyakini sebagai wahyu Allah setelah meyakini keberadaan Allah dan setelah mengimani orang yang menerimanya (nabi)? Kepercayaan akan keberadaan Allah mesti diperoleh dengan akal fitri sebelum mempercayai al-Quran. Al-Quran adalah petunjuk bagi yang telah beriman, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat suci di dalamnya. Al-Quran adalah pedoman bagi yang mengimani Allah dan nabinya. Artinya, al-Quran dijadikan sebagai dasar setelah memastikan wujud Allah dan kemestian kenabian Muhammad.
Ketiga:
Dalam teologi Asy’ariyah rukun Iman mendahului rukun Islam. Padahal dalam sebuah ayat suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi s.a.w. diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS al-Hujurât, 49: 14): “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi Katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Keempat:
Rukun pertama adalah keimanan kepada Allah. Apa maksud dari kalimat ini? Apakah meyakini keberadanNya saja ataukah keesaannya? Sekadar ‘kata kepada Allah’ masih menyimbang banyak pertanyaan.2) Apakah iman ini berhubungan dengan ‘iman kepada’ ataukah ‘iman tentang ketuhanan’? persoalan teologi tidak sesederhana yang dibayangkan oleh sebagian orang. Pernahkah kita mendengar ayat yang terjemahannya (kurang lebih), “Dan apabila kau (Muhammad) tanya mereka, siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka berkata, Allah”. Bukankah ini sudah memenuhi standar keimanan kepada Allah?
Kelima:
Rukun kedua adalah iman kepada malaikat. Mestinya bukan iman kepada para malaikat, tapi iman tentang malaikat. ‘Iman kepada’ mestinya muncul setelah ‘iman tentang’. Selain itu, iman kepada malaikat semestinya tidak muncul setelah iman kepada Allah (iman akan wujud Allah). Bagaimana mungkin bisa meyakini wujud para malaikat lengkap dengan departemen-departemannya sebelum mempercayai al-Quran yang mewartakannya? Kemudian, alasan yang mungkin dikemukakan oleh pendukung ialah bahwa iman kepada para malaikat itu tercantum sebagai salah satu sifat mukmin dalam al-Quran. Memang benar. Tapi, bila kepercayaan kepada atau tentang wujud para malaikat dianggap sebagai rukun (keyakinan fundamental) karena tertera dalam al-Quran, maka bukankah seluruh yang diberitakan dalam al-Quran juga mesti dijadikan rukun pula. Bayangkan berapa banyak yang mesti dicantumkan dalam list rukun itu! Bukankah semua yang ada dalam al-Quran mesti diimani (dipastikan adanya)? Kalaupun keimanan kepada (tentang) para malaikat memang sebuah keharusan, tapi mestikah dijadikan rukun? Apa alasan rasional dan implikasi teologis dari keimanan kepada malaikat sehingga layak menempati urutan kedua dalam rukun iman, apalagi rukun yang mendahului iman kepada kenabian?
Keenam:
Rukun ketiga adalah iman kepada (tentang) kitab-kitab suci.1) Apa yang dimaksud dengan iman kepada kitab-kitab suci? Apakah kita mesti beriman kepada Injil, Taurat dan zabur sebagai kitab Allah? Ataukah kita mesti meyakini bahwa Injil, Taurat dan Zabur pernah menjadi kitab-kitab suci? Apakah al-Quran juga termasuk di dalamnya? Bila al-Quran juga termasuk di dalamnya? Mana mungkin kita mengimani al-Quran dari teks al-Quran? Logiskah meyakini al-Quran sebagai wahyu karena al-Quran menetapkannya demikian di dalamnya? Selain itu, mestinya keimanan tentang Injil, Taurat dan Zabur sebagai kitab suci bersumber dari al-Quran, tapi meyakini al-Quran sebagai wahyu Allah bersumber dari kenabian Muhammad saw. Padahal keimanan kepada para nabi muncul setelah keimanan kepada kitab-kitab suci. Ini benar-benar membingungkan. Lagi pula, apa urgensi keimanan kepada (tentang) kitab-kitab itu sebagai rukun? Mengimaninya memang keharusan, tapi mengapa dijadikan sebagai rukun? Lagi-lagi, bila alasannya dicantumkan dalam list rukun iman karena tertera dalam al-Quran, maka mestinya banyak hal lain dalam al-Quran yang bisa dimasukkan dalam rukun-rukun iman.
Ketujuh:
Rukun keempat adalah iman kepada (tentang) para rasul. Apakah yang dimaksud dengan ‘para rasul’ itu semua utusan minus Nabi Muhammad? Bila ya, mestinya hal itu diyakini setelah meyakini kenabian Muhammad saw. Padahal keyakinan akan kenabian Muhammad mesti tidak didasarkan pada al-Quran, karena keyakinan akan kebenaran al-Quran bersumber dari keyakinan akan kebenaran klaim Muhammad saw sebagai nabi. Keimanan kepada kebenaran al-Quran sebagai wahyu adalah konsekuensi dari keyakinan akan kebenaran Muhammad sebagai nabi. Bila tidak, artinya keimanan kepada para rasul plus Muhammad, maka hal itu menimbulkan kontradiksi. Bagaimana mungkin meyakini nabi Muhammad dan para nabi yang tercantum dalam al-Quran, padahal keyakinan akan al-Quran sebagai kitab wahyu muncul setelah keyakinan akan kebenaran klaim kenabian Muhammad saw sebagai nabi.
Kedelapan:
Rukun kelima adalah iman tentang ketentuan Allah, baik dan buruk. Ini salah satu paradoks teologi yang paling membingungkan. Poin kelima ini telah dikritik oleh para teolog Sunni kontemporer karena dianggap sebagai sumber fatalisme.
Kesembilan:
Rukun keenam adalah iman kepada (tentang) hari akhir. Inilah poin keimanan yang letaknya paling sistematis. Ia memang pantas berada di urutan terakhir. Hanya saja, perlu diperjelas, apakah hari akhir itu hari kiamat (di dunia) atau hari setelah kebangkitan (pasca dunia).
Kesepuluh:
Yang mengejutkan ialah, bahwa manusia yang mengimani enam rukun diatas, meski tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, bisa dianggap mukmin. Mengapa?
Rukun Islam.
Pertama:
Rukun Iman Asy’ariyah tidak memuat dua kalimat syahadat. Ini cukup menimbulkan kebingungan. Padahal, kadar minimal dari iman yang mesti dipenuhi adalah iman kepada Allah Yang Esa, Kerasulan dan Kebangkitan. Inilah yang menuntut penerapannya secara lahir melalui shalat, puasa dan lainnya.
Sedangkan batas terbawah dari kekufuran adalah pengingkaran secara terang-terangan terhadap suatu perkara setelah menyadari kebenarannya, dan bertekad untuk menentangnya. Syirik (mengingkari tauhid) salah satu pemuncak kekufuran.
Kedua:
Rukun Islam dalam teologi Asy’ariyah dimulai dengan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhamamad adalah utusan Allah. Konsekuensinya yang pertama, bila rukun iman mendahului rukun Islam, maka seseorang bisa dianggap mukmin sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat.
Konsekuensi kedua, bila dua kesaksian tersebut berdiri sejajar dengan shalat, puasa dan ibadah lainnya, maka penyebutan dua kata tersebut hanyalah bersifat fiqhiah, normatif, ta’abbudi, bukan aqidah dan produk inteleksi. Konsekuensi ini muncul sebagai akibat dari diturunkannya penyaksian ini pada rukun Islam.
Konsekuensi ketiga, kesaksian akan Allah dan kerasulan hanyalah sebuah ibadah yang masuk dalam regulasi fikih dengan hukum wajib, sebagaimana shalat dan puasa.
Konsekuensi-konsekuensi demikian sungguh membingungkan. Betapa tidak, dua kalimat syahadat itu adalah intisari dari totalitas dan iman dan Islam.
Ketiga:
Dalam rumusan rukun Islam. shalat menempati urutan kedua setelah syahadat. Padahal secara sistematis, syahadat tidak berdiri sejajar dengan shalat, karena shalat memerlukan syahadat, sedangkan syahadat tidak memerlukan shalat. Mestinya shalat tidak berada dalam posisi berurutan dengan syahadat, atau syahadat semestinya tidak berada dalam satu kavling dengan shalat. Shalat bahkan tidak sah tanpa syahadat. Itu artinya, syahadat menjadi syarat bagi keabsahan shalat. Relasi antara keduanya tidak bersifat mutual. Bila diposisikan sejajar, maka ia menjadi semacam poin optional sebagai puasa dan zakat. Seseorang tetap disebut Muslim bila bersyahadat meski tidak shalat, puasa dan zakat. Sebailnya, tanpa syahadat, shalat dan puasa tak sah. Dengan kata lain, akan lebih aman secara sistematis, bila syahadat tidak menjadi salah satu bagian dalam rukun Islam.
Keempat:
Menempatkan puasa sebagai bagian dari rukun Islam setelah shalat memang tepat, karena ia dan shalat sama-sama bersifat ritual dan praktis. Ini sama sekali berbeda dengan syahadat yang lebih ditekankan aspek pemikiran dan teoritikalnya. Zakat dan haji pun demikian, sudah tepat berada dalam urutan berikutnya. Hanya saja,shalat, puasa, zakat dan haji terasa lebih bersifat ritual. Akan lebih sempurna, bila ibadah sosial juga masuk di dalamnya seperti Amar makruf dan Nahi Mungkar yang bias ditafsirkan sebagai kewajiban menegakkan keadilan sosial dan memberantas kezaliman termasuk korupsi.
Interpretasi Sektarian.
Rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam adalah konsensus atau konvensi, sementara sesungguhnya banyak dasar yang menunjukkan bahwa Rukun Islam dan Rukun Iman bisa didefinisikan dan ditetapkan sebagai memiliki jumlah dan kandungan yang berbeda.
Pertama:
Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat di Indonesia hanyalah interpretasi spekulatif (pemikiran) yang tidak mewakili pandangan teologi Sunni secara menyeluruh, karena Asyariyah adalah satu satu mazhab dalam himpunan mazhab Ahlussunnah.
Mazhab teologi Almaturidiyah dan Mu’tazilah, yang notabene lebih “sunni” dari Syiah mempunyai rumusan sendiri tentang substansi rukun Iman dan rukun Islam yang berbeda dengan rumusan Asya’riyah.
Ahlulhadits dan Teologi Salafi yang mengaku menganut teologi Ahmad bin Hanbal juga memberikan rumusan detail tentang akidah yang berbeda dengan Asy’ariyah. Sejarah membuktikan adanya ketegangan berdarah antara penganut Asy’ariyah dan Ahlul-Hadits, yang sama-sama Sunni, dalam sengketa seputar Kalam Allah.
Kedua:
Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya adalah salah satu penafsiran teologis yang dirumuskan dari sebagian riwayat-riwayat dalam khazah hadis dan Sunnah.
Dalam literatur hadis Ahlussunnah sendiri terdapat banyak riwayat yang menyebutkan versi berbeda dengan Rukun Iman dan Rukun Islam yang dibakukan dalam teologi Asy’ariah.
Di bawah ini sebagian buktinya, sesuai dengan hadis-hadis sahih di kalangan Ahlus-sunnah:
Hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,1/30 Bab al Imân Ma Huwa wa Bayâni Khishalihi:
Riwayat dari Bukhari:
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan Anda percaya kepada yang ghaib.’”.
Riwayat dari Muslim:
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan Anda percaya kepada yang ghaib.’”.
Hadis di atas menyebutkan bahwa Rukun Iman itu hanya:
(1) Beriman kepada Allah,
(2) Kepada para malaikat,
(3) Kepada kitab-Nya,
(4) Perjumpaan dengan-Nya,
(5) Kepada para rasul.
Tidak ada sebutan apapun tentang kewajiban percaya kepada Qadha’ dan Qadar
Hadis sahih dalam riwayat Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,1/35 Bab al Amru Bil Imân Billah wa rasûluhi, seperti di bawah ini:
“Aku perintahkan kamu agar mengesakan keimanan hanya kepada Allah! Tahukan kamu apa iman kepada Allah itu?” Mereka menjawab, ”Tidak.” Beliau bersabda, ”Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan membayar khumus (seperlima dari keuntungan/perolehan).”
Hadis di atas menegaskan bahwa inti keimanan itu sebagai berikut:
1. Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah,
2. Dan bersaksi Muhammad adalah rasul Allah,
3. Menegakkan shalat,
4. Membayar zakat,
5. Berpuasa di bulan Ramadhan
6. Membayar khumus.
Dengan demikian, ketiadaan unsur-unsur tertentu dalam rumusan Rukun Islam dan Rukun Iman tak boleh dipahami bahwa unsur-unsur tersebut adalah prinsip yang niscaya dalam keislaman dan keimanan seseorang.
Ketiga :
Kata “rukun iman” dan “rukun Islam” adalah rumusan yang dibuat berdasarkan interpretasi kelompok dan aliran Asy’ariyah, bukan dogma final yang “wajib” diterima tanpa bias didiskusikan oleh siapapun, sehingga tidak akan pernah absah menjadi parameter menilai sesat dan tidak sesat. Dengan kata lain, tidak mengikuti rumusan teologi Asy’ariyah yang lazim disebut “Rukun Iman” dan “Rukun Islam” tidak bisa serta merta ditafsirkan sebagai menolak prinsip-prinsip dasar akidah Islam. Menilai apalagi mensesatkan keyakinan orang yang tidak sekeyakinan dengan dasar keyakinan sendiri tidaklah bijak dan menghalangi harapan kerukunan antar Muslim.
Akhirnya, tujuan penulisan artikel ini tidak mempersoalkan atau menyalahkan rumusan akidah Asy’ariyah, namun sekedar klarifikasi bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh msyarakat Muslim di Tanah Air bukanlah doktrin yang diterima oleh semua mazhab islam, termasuk mazhab Sunni non Asy’ariyah. Karenanya, bila ada yang meyakini rumusan akidah tidak sama dengan rumusan akidah Asy’ariyah, maka hal itu semata-mata karena berbeda landasan argumentatif dan metode perumusannya. Bila demikian, rumusan tersebut (Rukun Iman dan Rukun islam versi Asy’ariyah) tidak bisa dijadikan sebagai parameter menilai apalagi mensesatkan selainnya. Semoga umat Islam Indonesia makin dewasa dan sadar bahwa Islam itu satu selamanya, namun cara pandang dan penafsirannya tidak selalu satu.
Shahih Bukhari,Hadits No.3100 :
Semakin banyak Para Penabur Fitnah murahan itu berbicara memfitnah
Mazhab Syi’ah semakin tampak kejahilan dan kebangkrutan logika mereka.
Kebodohan demi kebodohan dan kekerdilan logika tak hentik-hentinya
mereka pamerkan! Kini mereka bebupaya membodohi kaum awam bahwa Syi’ah
itu sesat dan keluar dari Islam karena rukun imamnya berbeda! Mereka
menyebut bahwa:
Rukun[1] Imam Syi’ah Vs Rukun Imam Ahlusunnah!
Ahlussunnah : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a) Syahadatain.
b) As-Sholah.
c) As-Shoum.
d) Az-Zakah.
e) Al-Haj.
Syiah : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a) As-Sholah.
b) As-Shoum.
c) Az-Zakah.
d) Al-Haj.
e) Al wilayah
2. Ahlussunnah : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a) Iman kepada Allah
b) Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c) Iman kepada Kitab-kitab Nya
d) Iman kepada Rasul Nya
e) Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f) Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a) At-Tauhid.
b) An Nubuwwah.
c) Al Imamah.
d) Al Adlu.
e) Al Ma’ad.[2]
Lalu setelahnya mereka menyimpulkan bahwa Syi’ah tidak beriman kepada: Qadha’ dan Qadar, para malaikat dan kitab-kitab Allah!
Kami Jelaskan:
Alhamdulillah, saya tidak pernah terkejut dengan kejahilan mereka yang memusuhi Ahlulbait Nabi dan Syi’ahnya, sebab jika mereka tidak sejahil itu tidak mungkin mereka bergabung bersama kaum munafik untuk memusuhi kebenaran! Tetapi yang saya agak heran, mengapa mereka tidak malu memamerkan kejahilan memalukan yang mencerminkan kebangkrutan logika sehat itu! Mungkin mereka beranggapan bahwa para pembaca tulisan mereka itu adalah kaum sufahâ’ (kaum bodoh lagi dungu) padahal justru merekalah yang sufahâ’. Allah berfirman:
Dengan logika jongkok kaum kerdil itu, Syi’ah segera dituduh tidak percaya kepada para malaikat, kitab-kitab dan qadha dan qadar!
Dan kerananya pula Syi’ah divonis sesat dan kafir!
Sungguh hebat “kejelian penyimpulan” kaum Pemfitnah bayaran itu! Hanya demi uang ia membuat kibul.
Karena Syi’ah tidak menyebutnya dalam Rukun Iman mereka maka berarti Syi’ah tidak beriman kepadanya!
Tidak banyak yang ingin saya katakan dalam menjawab kejahilan kaum Pemfitnah itu sebab waktu saya jauh lebih berharga dari menanggapi kejahilan murahan kaum jahil itu.
Saya hanya ingin mengatakan:
A) Apa pendapat kalian tentang hadis shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya,1/30 Bab al Imân Ma Huwa wa Bayâni Khishalihi:
Hadis Bukhari:
Hadis Muslim:
Hadis di atas menyebutkan bahwa Rukun Imam itu hanya:
(1) Beriman kepada Allah,
(2) Kepada para malaikat,
(3) Kepada kitab-Nya,
(4) Perjumpaan dengan-Nya,
(5) Kepada para rasul.
Tidak ada sebutan apapun tentang kewajiban percaya kepada Qadha’ dan Qadar?!
Apakah berarti Rukun Imannya Rasulullah saw. berbeda dengan Rukun Imannya Ahlusunnah?
Sehingga beliau harus dituduh tidak berimam karena tidak mengimani qadha’ dan qadar?!
Dan yang lebih konyol lagi, bahwa Rukun Iman itu tidak menyebut-nyebut Keimanan kepada Kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. secara khusus!
B) Apa Pendapat Anda terhadap hadis shahih dalam riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya,1/35 Bab al Amru Bil Imân Billah wa rasûluhi, seperti di bawah ini:
(http://hadith.al-islam.com/Page.aspx?pageid=192&TOCID=15&BookID=25&PID=95)
Hadis di atas menegaskan bahwa inti keimanan itu sebagai berikut:
(1) Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah,
(2) Dan bersaksi Muhammad adalah rasul Allah,
(3) menegakkan shalat,
(4) membayar zakat,
(5) dan membayar khumus.
Sementara dalam riwayat lain selanjutnya disebutkan poin yang berbeda yaitu: (*) berpuasa bulan ramadha, sehingga pilar keimanan itu menjadi berbeda. Dalam hadis pertama tidak ada sebutan tentang puasa bulan Ramadhan, sementara dalam hadis kedua ada sebutan tentang puasa Ramadhan!
Selain itu, apakan tiga atau empat poin selain beriman kepada Allah dan Rasul-Nya juga termasuk dalam Rukun/Pilar keimanan? Lalu apa bedanya dengan Rukun Islam yang diyakini Ahlusunnah?!
C) Dalam Rukun Imam Ahlusunnah tidak disebutkan keimanan kepada keadilan Allah yang Maha Adil. Lalu apakah itu berarti Ahlusunnah tidak mengimani bahwa itu Maha Adil. Atau dengan kata lain bahwa Ahlusunnah mengimani bahwa Allah itu ZALIM?!
D) Jika jawaban kalian mengatakan tidak demikian keimanan kita. Kami beriman bahwa Allah Maha Adil. Lalu mengapakah tidak kalian sebut dalam poin Rukun Imam!
E) Apapun jawaban para ulama Ahlusunnah terhadapnya itu juga jawaban kami dalam membantah kaum Pemfitnah, khuususnya kaum Wahhâbi-Salafi (yang sudah mulai mempekerjakan sebagian uztadz-ustadz Sunni untuk menggempur Mazhab Syi’ah!) ketika mereka menuduh Syi’ah tidak mengimani kitab-kitab- para rasul dan qadha’ dan qadar hanya kerena alasan lugu (baca: dungu) bahwa hal-hal tersebut tidak disebutkan dalam poin Rukun Imam Syi’ah!
F) Jika benar demikian bahwa Rukun Iman kalian adalah seperti yang kalian sebutkan, lalu mengapakah kalian begitu “ngotot” sampai-sampai kerongkongan para penjaual fitnah di atas-atas mimbar naas itu seakan hendak meladak menghujat Syi’ah karena mereka tidak mengimani kekhalifahan tiga Khalifah sebelum Imam Ali as.?! Mengapakah demikian?
Bukankan ia bukan bagian dari Rukun Iman?
Bahwa sama sekali ia bukan bagian dari keyakinan. Ia bagian dari urusan fikih. Bukankah demikian?!
Jika kalian tidak mengerti bahwa masalah imamah/khilafah itu adalah bagian dari masalah furûiyah, maka alangkan jahil dan memalukannya kalian!!
Jika sudah mengerti, lalu mengapakah kalian berlakan seperti orang jahil?!
G) Dan akhirnya, saya hendak bertanya, apa yang akan kalian lakukan terhadap hadis-hadis shahih dari Nabi saw. dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang menegaskan bahwa dengan sekedar mengiman Allah dan kerasulan Nabi Muhammad saw. seorang telah dipastikan beriman dan pasti masuk surga?
Akhirul Kalam.
Dan akhirnya, saya berharap kalian mau membuka mata kalian untuk membaca ulasan akidah Islam yang ditulis oleh para ulama Syi’ah, baik klaisk maupun kontemporer…
baca kitab-kitab Syeikh Shadûq, Syeikh Mufid, Sayyid al Murtadha, al Karâjiki, Allamah al Hilli, Khawaja Syeikh Nashiruddîn ath Thusi…
juga kitab-kitab Syeikh Muhammad Ridha al Mudhaffar, Syeikh Kyif al Ghithâ’, Allamah Thabathabai, Syeikh Allamah ja’far Subhâni, Syeikh Allama Abdullah Jawadi Amuli, Sayyid Allamah Kamâl al Haidari… pasti kalian akan melihat bagaiamana sebenarnya akidah Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah..
dan bagaimana argumentasi naql dan aqli yang mereka paparkan untuk mendukung masing-masing poin akidah yang diyakini…
dan akhirnya saya jamin setiap yang berakal pasti mengakui bahwa itulah akidah Islam yang murni, berbasis logika sehat dan nash shahih dan sharih serta jauh dari penyimpangan.
Dari pada kebeeja siang malam memerangi agama Allah yang telah dijamin untuk dijaga, dibela dan dimenangkan oleh Allah lebih baik kalian mencari lowongan kerja lain yang lebih terhormat dan tidak mencelakakan dunia akhirat! Itu sekedar saran dari lubuk hati yang ikhlas buat para pedagang fitnah!
Wassalam.
Ajaran Sifat 20 Mantapkan Aqidah Muslim!
Tauhid Trinitas itu gagal memahamkan
kepada orang bahwa Tuhan itu ada dan bagaimana sifat2 Tuhan yg sejati
seperti Esa, Maha Hidup, dsb. Pada Sifat 20, diajarkan dulu Allah itu
Wujud/Ada lengkap dgn dalil Aqli dan Naqli-nya. Sehingga orang kafir pun
bisa yakin Allah itu ada. Kemudian dijelaskan sifat2 Allah yang sejati
seperti Esa, Maha Hidup, Baqo’/Kekal, dsb. Jika ummat Islam paham dan
meyakini ini, niscaya tidak mudah dimurtadkan.
Dan Sifat 20 ini disusun oleh Imam Abu
Hasan Al Asy’ari yang lahir tahun 260 Hijriyah. 3 Abad terbaik dalam
Islam. Ulama Salaf Asli yang gurunya insya Allah bersambung ke Nabi
Muhammad SAW.
Sementara Tauhid Trinitas disusun oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab yang lahir tahun 1700-an. Sudah di akhir zaman
/ abad kegelapan Islam. Belum apa-apa orang sudah disuruh Tauhid
Uluhiyyah dan Tauhid Rububiyyah dan setelah itu baru Asma wa Shifat.
Sifat 20: Wujud (ada)
Allah itu Wujud (ada). Tidak mungkin/mustahil Allah itu ‘Adam (tidak ada).
Memang sulit membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Tapi jika kita melihat pesawat terbang, mobil, TV, dan lain-lain, sangat tidak masuk akal jika kita berkata semua itu terjadi dengan sendirinya. Pasti ada pembuatnya.
Memang sulit membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Tapi jika kita melihat pesawat terbang, mobil, TV, dan lain-lain, sangat tidak masuk akal jika kita berkata semua itu terjadi dengan sendirinya. Pasti ada pembuatnya.
Jika benda-benda yang sederhana seperti korek api saja ada pembuatnya, apalagi dunia yang jauh lebih komplek.
Bumi yang sekarang didiami oleh sekitar 8
milyar manusia, keliling lingkarannya sekitar 40 ribu kilometer
panjangnya. Matahari, keliling lingkarannya sekitar 4,3 juta kilometer
panjangnya. Matahari, dan 8 planetnya yang tergabung dalam Sistem Tata
Surya, tergabung dalam galaksi Bima Sakti yang panjangnya sekitar 100
ribu tahun cahaya (kecepatan cahaya=300 ribu kilometer/detik!) bersama
sekitar 100 milyar bintang lainnya. Galaksi Bima Sakti, hanyalah 1
galaksi di antara ribuan galaksi lainnya yang tergabung dalam 1
“Cluster”. Cluster ini bersama ribuan Cluster lainnya membentuk 1 Super
Cluster. Sementara ribuan Super Cluster ini akhirnya membentuk “Jagad
Raya” (Universe) yang bentangannya sejauh 30 Milyar Tahun Cahaya!
Harap diingat, angka 30 Milyar Tahun
Cahaya baru angka estimasi saat ini, karena jarak pandang teleskop
tercanggih baru sampai 15 Milyar Tahun Cahaya.
Bayangkan, jika jarak bumi dengan
matahari yang 150 juta kilometer ditempuh oleh cahaya hanya dalam 8
menit, maka seluruh Jagad Raya baru bisa ditempuh selama 30 milyar tahun
cahaya. Itulah kebesaran ciptaan Allah! Jika kita yakin akan kebesaran
ciptaan Tuhan, maka hendaknya kita lebih meyakini lagi kebesaran
penciptanya.
Dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit, bintang, matahari, bulan, dan lain-lain:
“Maha Suci Allah yang menjadikan di
langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari
dan bulan yang bercahaya.” [Al Furqoon:61]
Karena kita tidak bisa melihat Tuhan,
bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Tuhan ada. Meski kita tidak bisa
melihatNya, tapi kita bisa merasakan ciptaannya.” Pernyataan bahwa Tuhan
itu tidak ada hanya karena panca indera manusia tidak bisa mengetahui
keberadaan Tuhan adalah pernyataan yang keliru.
Berapa banyak benda yang tidak bisa dilihat atau didengar manusia, tapi pada kenyataannya benda itu ada?
Betapa banyak benda langit yang jaraknya
milyaran, bahkan mungkin trilyunan cahaya yang tidak pernah dilihat
manusia, tapi benda itu sebenarnya ada?
Berapa banyak zakat berukuran molekul,
bahkan nukleus (rambut dibelah 1 juta), sehingga manusia tak bisa
melihatnya, ternyata benda itu ada? (manusia baru bisa melihatnya jika
meletakkan benda tersebut di bawah mikroskop yang amat kuat).
Berapa banyak gelombang (entah radio, elektromagnetik. Listrik, dan lain-lain) yang tak bisa dilihat, tapi ternyata hal itu ada?
Benda itu ada, tapi panca indera manusia lah yang terbatas, sehingga tidak mengetahui keberadaannya.
Kemampuan manusia untuk melihat warna
hanya terbatas pada beberapa frekuensi tertentu, demikian pula suara.
Terkadang sinar yang amat menyilaukan bukan saja tak dapat dilihat, tapi
dapat membutakan manusia. Demikian pula suara dengan frekuensi dan
kekerasan tertentu selain ada yang tak bisa didengar juga ada yang mampu
menghancurkan pendengaran manusia. Jika untuk mengetahui keberadaan
ciptaan Allah saja manusia sudah mengalami kesulitan, apalagi untuk
mengetahui keberadaan Sang Maha Pencipta!
Ada jutaan orang yang mengatur lalu
lintas jalan raya, laut, dan udara. Mercusuar sebagai penunjuk arah di
bangun, demikian pula lampu merah dan radar. Menara kontrol bandara
mengatur lalu lintas laut dan udara. Sementara tiap kendaraan ada
pengemudinya. Bahkan untuk pesawat terbang ada Pilot dan Co-pilot,
sementara di kapal laut ada Kapten, juru mudi, dan lain-lain. Toh,
ribuan kecelakaan selalu terjadi di darat, laut, dan udara. Meski ada
yang mengatur, tetap terjadi kecelakaan lalu lintas.
Sebaliknya, bumi, matahari, bulan,
bintang, dan lain-lain selalu beredar selama milyaran tahun lebih (umur
bumi diperkirakan sekitar 4,5 milyar tahun) tanpa ada tabrakan. Selama
milyaran tahun, tidak pernah bumi menabrak bulan, atau bulan menabrak
matahari. Padahal tidak ada rambu-rambu jalan, polisi, atau pun pilot
yang mengendarai. Tanpa ada Tuhan yang Maha Mengatur, tidak mungkin
semua itu terjadi. Semua itu terjadi karena adanya Tuhan yang Maha
Pengatur. Allah yang telah menetapkan tempat-tempat perjalanan (orbit)
bagi masing-masing benda tersebut. Jika kita sungguh-sungguh memikirkan
hal ini, tentu kita yakin bahwa Tuhan itu ada.
“Dia-lah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” [Yunus:5].
“Tidaklah mungkin bagi matahari
mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan
masing-masing beredar pada garis edarnya.” [Yaa Siin:40].
Sungguhnya orang-orang yang memikirkan alam, insya Allah akan yakin bahwa Tuhan itu ada:
“Allah lah Yang meninggi-kan langit tanpa
tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia berse-mayam di atas
`Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga
waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan
Tuhanmu.” [Ar Ra’d:2].
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” [Ali Imron:191]
Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2009/11/08/sifat-20-allah-yang-penting-dan-wajib-kita-ketahui/
Sunni dan Syi’ah beda aqidah! Sunni dan Syi’ah tak mungkin bersatu. Begitu kata sebagian orang. Benarkah itu?
Apakah Aqidah itu?
Aqidah itu adalah keyakinan. Sebagaimana
Fiqih, dalam Aqidah itu ada Ushul (Pokok) dan ada Furu’ (ranting). Kalau
perbedaannya Ushul, seperti Tuhannya beda, Kitabnya beda, Nabinya beda,
baru itu beda Aqidah.
Tapi kalau Tuhannya masih Allah, masih
beriman kepada Malaikat, masih membaca Al Qur’an, mengikuti Nabi
Muhammad sebagai Nabi terakhir, beriman kepada Hari Akhir, beriman
kepada Qadha dan Qadar, itu masih Aqidah Islam. Sunni memang beda dengan
Syi’ah. Namun keduanya bagian dari Islam.
Aqidah Islam menurut paham Sunni,
tertuang dalam 6 Rukun Iman. Selama meyakini 6 Rukun Iman tersebut misalnya
meyakini Allah sebagai satu2nya Tuhan, berarti aqidahnya masih sama.
Pada suatu hari kami (Umar Ra dan
para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di
hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan
tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorangpun dari kami
yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua
kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya
diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, “Ya Muhammad,
beritahu aku tentang Islam.” Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah
bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan
haji apabila mampu.”
Kemudian dia bertanya lagi, “Kini
beritahu aku tentang iman.” Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.”
Orang itu lantas berkata, “Benar.
Kini beritahu aku tentang ihsan.” Rasulullah berkata, “Beribadah kepada
Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya,
karena sesungguhnya Allah melihat anda.
Dia bertanya lagi, “Beritahu aku
tentang Assa’ah (azab kiamat).” Rasulullah menjawab, “Yang ditanya tidak
lebih tahu dari yang bertanya.” Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahu
aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab, “Seorang budak wanita
melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah
telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun
gedung-gedung bertingkat.” Kemudian orang itu pergi menghilang dari
pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar,
tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu aku (Umar) menjawab,
“Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah Saw lantas berkata,
“Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (HR.
Muslim)
Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2008/09/15/inti-ajaran-islam-iman-islam-dan-ihsan/
Saat terjadi pemberontakan Mu’awiyyah
terhadap Khalifah Ali, Islam memang terbagi 3 karena faktor politik:
Sunni (pengikut Mu’awiyah dan Muslim yang netral), Syi’ah Ali (Pengikut
Ali), dan Khawarij. Itu terjadi di zaman Sahabat. Aqidah mereka, ibadah
mereka masih sama. Aqidah Islam. Seiring perjalanan waktulah baru
perbedaan makin membesar. Tapi jika dakwah terus dilakukan, insya Allah
perbedaan tidak membesar.
Mana yang lebih lebih bahaya? Yahudi
(Israel) dan Nasrani (AS) apa Syi’ah (Iran)?
Siapa yg membantai ummat
Islam di Afghanistan, Iraq, dan Yaman serta Afghanistan?
Israel dan AS
apa Iran?
Siapa yg suka menghina Allah, Al Qur’an, dan Nabi Muhammad?
Yahudi dan Nasrani apa Syi’ah?
Siapa yang dikutuk Allah sebagai Yg
Dimurkai (Maghdub) dan Yg Sesat (Dholliin) di Al Fatihah?
Yahudi dan
Nasrani apa Syi’ah?
Siapa yg harus kita lawan sekarang? Yahudi dan
Nasrani apa Syi’ah?
Sunni dan Syi’ah memang beda. Tapi keduanya Tuhannya
sama, Kitabnya sama, dan Nabinya sama. Keduanya beda. Saat ini keduanya
di depan Ka’bah sholat dan thawaf bareng. Apa sekarang harus berkelahi
dan saling bunuh di depan Ka’bah?
Apakah Sunni dan Syi’ah tak mungkin bersatu?
Yang berpendapat begitu dangkal
pemahamannya tentang Islam. Pertama dalil Al Qur’an dan Haditsnya tidak
ada. Jadi itu bid’ah. Yang kedua, ternyata di Timur Tengah bisa bersatu.
Yasser Arafat (Sunni) pemimpin PLO akrab dengan Imam Syi’ah Khomeini.
Sampai cium pipi lagi. Begitu pula pendiri Hamas Asy Syahid Syeikh Ahmad
Yassin bekerjasama dgn Imam Syi’ah Khamenei memerangi Israel.
Suriah dan Iran yang pemimpinnya Syi’ah
membantu bukan cuma milisi Hizbullah yang Syi’ah. Namun juga Hamas yang
Sunni. Saat negara-negara Arab yang Sunni menolak memberi kantor Hamas
karena Hamas dicap teroris oleh AS dan Israel, pemerintah Suriah
memberikan Hamas kantor pusat di Damaskus sehingga pemimpin Hamas bisa
tinggal di sana dengan aman. Bebas dari ancaman penculikan dan
pembunuhan agen-agen Israel. Baru November 2012 saat Hamas tidak
mendukung Pemerintah Suriah saat terjadi pemberontakan, baru Suriah
mengusir Hamas dari situ. Foto-foto pemimpin Hamas Khaled Meshaal
merupakan bukti Sunni dan Syi’ah bisa bersatu.
Sunni tidak perlu jadi Syi’ah, dan Syi’ah
tak perlu jadi Sunni. Sebab kalau dipaksakan, nanti malah tidak karuan.
Biar masing-masing jadi ISLAM yang baik sesuai dengan pahamnya. Yang
penting jangan saling bunuh dan diadu-domba. Kalau para Mujahid Sunni
seperti Yasser Arafat, Syeikh Ahmad Yassin, Khaled Meshaal, dsb bisa
bekerjasama dgn para pemimpin Syi’ah seperti Khomeini dan Khamenei
melawan Israel, mengapa yang lain tidak?
Jika kita belajar sejarah Islam, kita
akan tahu bahwa ummat Islam (Sunni dan Syi’ah) pernah bersatu. Jadi
tidak benar slogan Sunni dan Syi’ah tidak mungkin bersatu. Contohnya di
zaman Khalifah Ali, bukankah seluruh Muslim entah itu Sunni dan Syi’ah
bersatu dgn Khalifah Ali sebagai pemimpinnya?
Bukankah saat ada Imam Ja’far Ash Shiddiq
yang merupakan guru dari Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, baik Sunni
dan Syi’ah menghormati Imam Ja’far Ash Shiddiq? Keduanya memanggil
Ja’far dgn sebutan IMAM. Murid Imam Ja’far Imam Malik membentuk Mazhab
Maliki sementara Imam Abu Hanifah membentuk Mazhab Hanafi. Anehkah jika
gurunya, Imam Ja’far tidak bisa membentuk Mazhab Ja’fari?
Saat ini penganut Mazhab Maliki dan
Hanafi masing2 sekitar 250 juta orang, sementara Mazhab Ja’fari sekitar
120 juta orang. Wajar jika guru memarahi seorang muridnya yg menghina
sahabat. Tapi tak bisa kita sama-ratakan bahwa semua pengikut mazhab
Ja’fari adalah kafir karena menghina sahabat.
Sunni memang beda dengan Syi’ah. Tapi itu
bukan berarti harus berkelahi dan saling bunuh. Mereka bisa hidup rukun
dan damai. Buktinya saat orang umrah atau berhaji ke Mekkah, di sana
Sunni dan Syi’ah bisa thawaf bersama. Sholat bersama. Tidak berkelahi
dan saling bunuh di depan Ka’bah bukan?
Bahkan Raja Arab Saudi, Abdullah, yang
merupakan biangnya Wahabi yang seharusnya Anti Syi’ah pun beberapa kali
bertemu dengan pemimpin Syi’ah seperti Ahmadinejad:
Raja Abdullah Undang Ahmadinejad Hadiri KTT Darurat Islam
Bahkan bersama Syekh Mani, Raja Abdullah bersama 200 Ulama Sunni dan Syi’ah dari 50 negara menanda-tangani Risalah Amman ( http://www.ammanmessage.com ) yang menyatakan bahwa Sunni dan Syi’ah adalah bagian dari Islam yang lurus:
Dari sini kita bisa memahami sebetulnya bahkan Raja Abdullah dari
Arab Saudi yang Wahabi pun sebetulnya ingin bersatu dengan sesama Muslim
lain termasuk Syi’ah. Namun karena Amerika Serikat begitu kuat dan ada
Kedubes dan Pangkalan Militer AS di sana, begitu AS bilang harus
memusuhi Iran dan Syi’ah, ya harus dilakukan. Karena AS bisa membunuhnya
sebagaimana Raja Faisal yang ditembak mati pada tahun 1975 karena
menentang AS.
Memang ada Syi’ah yang kafir yang
menTuhankan Ali dan menghina sahabat dan istri Nabi. Tapi tidak semua
Syi’ah begitu. Bahkan menurut Syi’ah mainstream, mereka itu sesat.
Ini sumber dari Syi’ah bahwa menghina
sahabat dan istri Nabi itu haram. Mudah-mudahan ini bisa meluruskan
fitnah yang berkembang bahwa SEMUA SYI’AH ITU MENGHINA DAN MENCACI
SAHABAT DAN ISTRI NABI:
http://www.youtube.com/watch?v=wcLvLZbmoDY
Khamenei: Haram Menghina Istri Nabi dan Simbol Ahlusunah
Fatwa Para Ulama Larangan Mencaci Para Sahabat
Ahmadinejad: Siapa Menghina Sahabat Rasulullah Sekutu Musuh Islam
Presiden Ahmadinejad menandaskan, “Dari
tribun ini saya tegaskan bahwa barang siapa di mana pun ia berada
menghina sahabat Rasulullah saw, maka ia bukanlah seorang muslim dan
tidak bergerak di atas jalan Islam. Ia tidak lebih hanyalah kaki tangan
dan alat mainan musuh-musuh asing.”
Sementara itu, Imam Ali Khamenei, sebagaimana yang bisa dibaca pada http://nahadsbmu.ir. mengatakan:
“Menyinggung dan melukai perasaan sesama
Mukmin adalah tindakan terlarang dalam agama. Apalagi jika kita
meletakkan masalah ini dalam konteks persatuan ummat Islam. Saling
mencaci dan saling menuduh antara kelompok Sunni dan Syiah adalah salah
satu hal yang sangat diinginkan musuh Islam. Jika kalian mencerca para
Sahabat Nabi atau melakukan tindakan apapun yang bisa diartikan sebagai
pelecahan terhadap kepercayaan orang-orang Sunni, pihak yang paling
senang adalah setan dan musuh Islam.”
Teramat jelas pandangan kedua ulama Syiah
itu. Tidak mungkin ada celah untuk menyelewengkan maksud dari ucapan
keduanya. Intinya adalah satu: bagi orang Syiah, mencerca para Sahabat
adalah tindakan terlarang secara agama.
Sayid Ali Khamenei, Pemimpin
Spiritual dari Iran, menerbitkan sebuah fatwa yang mengharamkan
perlakuan buruk terhadap istri Nabi, Ummul mukminin Aisyah dan
melecehkan simbol-simbol (tokoh-tokoh yang diagungkan) ahlusunah
waljamaah.
Lihat sumber-sumber dari Syi’ah
menyatakan bahwa Imam Syi’ah Ali Khamenei mengharamkan menghina sahabat
dan istri Nabi. Kalau sumber-sumber dari Wahabi menyatakan Syi’ah itu
menghina istri dan sahabat Nabi, mungkin benar untuk 10% Syi’ah Takfiri
yang didanai Yahudi dan Nasrani. Tapi tak bisa dipakai untuk
menggeneralisasi semua Syi’ah menghina sahabat dan istri Nabi.
Ini ada 1 contoh “Ulama Syi’ah”. yang
menghina sahabat dan istri Nabi yang memang sengaja dibentuk CIA untuk
memecah-belah Islam. Ulama “Syi’ah” penghina sahabat dan istri Nabi ini,
sebaiknya para Wahabi termasuk Syekh Arifi membunuhnya waktu ada di
Inggris. Bukan malah jadi promotornya dengan menyebar2 videonya ke
seluruh dunia:
Lalu, Siapa Yasser al-Habib?
Pernah, seorang pengunjung blog
berkomentar mengenai tidak mungkinnya persatuan Syiah dan suni karena
masih adanya caci-maki terhadap sahabat dan istri Nabi. Dalam
komentarnya, dia juga memberi link sebuah video di YouTube untuk
“membuktikan” klaim tersebut. Saya buka video tersebut dan tulisan di
awal video adalah “YASIR AL-HABIB, di antara ulama Syiah yang terkemuka
di abad 20.”
Saya membalas komentarnya begini, “Yasir
Al-Habib? Ulama terkemuka abad 20? Terlalu berlebihan. Saya kasih contoh
yang terkemuka: Ayatullah Khamenei, Ayatullah Sistani, Syekh Subhani,
Husein Fadhlullah, dll.” Jadi, siapa Yasir Al-Habib?
Yasser al-Habib, begitu transliterasi
dalam bahasa Inggrisnya, dilahirkan di Kuwait pada tahun 1979—masih muda
untuk jadi ukuran ulama “terkemuka”. Dia adalah lulusan Ilmu Politik
Universitas Kuwait, artinya tidak ada latar belakang keilmuan hauzah
ilmiah. Pandangannya dalam agama sangat ekstrim, termasuk mengenai
sejarah wafatnya Fatimah putri Nabi saw. yang kerap kali kecaman
dialamatkan kepada Khalifah Abu Bakar, Umar serta Ummulmukminin Aisyah
ra. Makiannya yang dilakukan dalam sebuah ceramah tertutup ternyata
tersebar dan membuatnya dipenjarakan oleh pemerintah Kuwait pada tahun
2003.
Belum setahun, ia dibebaskan di bawah
pengampunan Amir Kuwait (menurut pengakuannya dia bertawasul kepada Abul
Fadhl Abbas), namun beberapa hari kemudian ditangkap lagi. Sebelum
dijatuhi hukuman selama 25 tahun, ia pergi meninggalkan Kuwait. Karena
tidak mendapat izin dari pemerintah untuk tinggal di Irak dan Iran, ia
mendapat suaka dari pemerintah Inggris.
Hubungannya dengan Mesir, Iran, dan
sebagian besar ulama Syiah nampaknya tidak harmonis. Dalam situsnya, ia
kerap kali mengecam ulama rujukan sekelas, Imam Khomeini dan Ayatullah
Ali Khamenei, bahkan tidak menganggapnya sebagai mujtahid dan marja’.
Jadi bisa dikatakan bahwa Yasser Al-Habib sangat tidak merepresentasikan
mayoritas ulama Syiah yang menghendaki persatuan dan perbaikan umat
muslim. Tidak adil jika Anda mengutip pendapatnya dan menuliskan bahwa
itu adalah pandangan (mayoritas) pengikut Syiah, padahal hanyalah
pandangan pribadinya. Dan karena itu kita perlu waspada dan mengetahui
mengenai rancangan CIA dalam menciptakan “ulama-ulama” palsu.
Ayatullah Makarim Syirazi: Yasser Al Habib itu Tidak Tahu Apa-apa, dan Wahabi Lebih Bodoh Lagi
Kok Admin blog ini mengutip sumber Syi’ah? Apa Admin ini Syi’ah?
Admin insya Allah Sunni dan tidak punya
Kitab Syi’ah. Tapi jika ada berita tentang 1 kaum, kita harus
tabayyun/memeriksa langsung kepada kaum yang dituduh. Bukan kepada si
pelapor. Sebab bisa jadi pelapor itu orang fasiq yang memfitnah:
“Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.” [Al Hujuraat:6]
Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2009/09/07/mewaspadai-berita-orang-fasik-dan-adu-domba/
Nabi saat di Madinah, membuat Perjanjian
Damai dengan kaum Yahudi yang disebut Piagam Madinah. Intinya kaum
Muslim dan kaum Yahudi di Madinah saling melindungi jika ada serangan
dari pihak musuh. Padahal Islam dengan Yahudi itu AQIDAHNYA BEDA JAUH.
Tuhannya beda, Kitabnya beda, Nabinya beda. Toh bisa bekerjasama.
Nah terhadap kaum Muslim Syi’ah yang
Tuhannya Allah, Kitab Sucinya Al Qur’an, Nabinya Nabi Muhammad, kok
tidak bisa hidup rukun/damai? Apa itu tidak keblinger?
Kalau Arab Saudi/Wahabi bisa kerjasama
dengan Amerika Serikat (Nasrani yang mendukung Yahudi/Israel) bisa
bersatu bahkan sampai cium pipi segala dengan menyediakan Pangkalan
Militer guna membantai jutaan Muslim di Iraq, Afghanistan, dan Yaman,
kok tidak bisa kerjasama dengan Syi’ah (Iran dan Suriah) guna melawan
kafir harbi Israel dan AS yang membantai jutaan Muslim?
Aneh tidak itu?
Setahu saya Syi’ah itu selalu mengangkat
Imam, selain Sayyidina Ali, dari keturunan Nabi yaitu keturunan cucu
Nabi Hasan dan Husein. Misalnya Hasan, Husein, kemudian keturunan
mereka, termasuk Ali Khamenei yang mereka sebut Sayyid.
Tentu saja mayoritas turunan Nabi adalah Sunni sebagaimana para Habib di Indonesia seperti Habib Rizieq Syihab, Habib Abdurrahman Assegaf (Walid), Habib Hud bin Bagir Al Athas, dsb.
Ini pendapat Ulama Sunni tentang Syi’ah:
Menurut mayoritas Ulama Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah, tidak semua Syi’ah itu sesat. Ada pula yg lurus. Di antara yg
berpendapat begitu: Habib Rizieq Syihab, Yusuf Qaradhawi, Mufti Mesir
Ali Jum’at, Syekh Al Azhar Tantawi, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi,
Quraisy Syihab, Said Agil Siradj, dsb. Kalau kafir, tentu jemaah haji
Syi’ah asal Iran tidak boleh berhaji ke Mekkah.
Ada lagi yang menulis Syi’ah punya Ka’bah
sendiri di Iran lengkap dengan fotonya bahkan ada pula Videonya.
Padahal saya lihat itu cuma Stadion Olahraga yang dijadikan tempat
Manasik Haji agar orang bisa berhaji, terutama Thawaf dengan benar. Di
Indonesia juga banyak foto seperti itu. Ini dia:
Thawaf adalah 1 Rukun Haji dan Umrah.
Jika tidak dilakukan, Haji dan Umrahnya tidak sah. Thawaf mengelilingi
Ka’bah sebanyak 7x. Ada hal2 dan bacaan2 khusus yang harus dilakukan
saat di depan Hajarul Aswad, Pintu Ka’bah, Rukun Yamani, Rukun Iraqi,
dsb. Jadi kalau tidak ada Manasik Haji dengan memakai Ka’bah buatan, dan
langsung praktek di Ka’bah yang asli, bisa2 Thawafnya tidak betul.
Bagi yang sudah mengikuti Manasik Haji
tentu latihan/belajar Thawaf di depan Ka’bah buatan hal yang biasa
termasuk di Indonesia. Cuma oleh kelompok Ahli Fitnah dari Najd, hal2
seperti itu bisa dijadikan fitnah buat mengelabui orang awam.
Alhamdulillah saya sudah 2 x ke ke Mekkah. Sebelum Kuota haji
diberlakukan, ada banyak orang Syi’ah ke Mekkah (sekitar 200 ribu
orang). Tahun 2011 pun tetap ada meski sudah dikuota pemerintah Arab
Saudi sekitar 60 ribu jema’ah haji/tahun. Jadi keliru jika ada yang
bilang mereka punya Ka’bah sendiri. Yang benar adalah Ka’bah buatan
untuk belajar Thawaf. Ini foto2 orang Syi’ah (dalam lingkaran merah) di
Masjid Nabawi. Di Masjidil Haram saya tidak memfotonya, namun mereka
sholat dengan tangan lurus (sedekap tangan adalah Sunnah):
Tentu saja di Indonesia yang mayoritasnya
Sunni ini, sebaiknya kita bermazhab Syafi’ie. Jika tidak NU, ya
Muhammadiyyah. Sebab di luar itu terkadang bersikap amat ekstrim.
Referensi:
Jawaban dari Ulama Sunni:
ilmu kalam sunni berakar dari filsafat Yunani,
sedangkan ilmu kalam syi’ah berakar kuat pada hadis hadis syi’ah yang
membahasa berbagai masalah dengan penjelasan rasional dan logis.. Dalam
hadis sunni tidak ada analisis rasional tentang imamah, khilafah, qadha
dan qadar, kehendak Allah, sifat sifat Allah dll. Coba bandingkan daftar
bab Al Kafi Kulaini dengan daftar bab kutubusittah sunni.
Rukun Iman dan Rukun Islam; Produk Interpretasi Sektarian atau Dogma Final?
Artikel di bawah ini menyoroti dua pasang istilah yang karena disalahpahami telah menjadi salah satu penyebab tertumpahnya darah sesama Muslim, sesama warganegara dan sesama manusia, yaitu Rukun Iman dan Rukun Islam.
Rukun Iman.
Banyak orang menjadikan enam rukun iman sebagai salah satu kriteria pembeda antara mukmin dan sesat. Sebagian masyarakat awam menganggap rukun iman dan rukun Islam sebagai paket yang “turun dari langit” yang dipandang final dan tak layak didiskusikan, bukan sebuah produk interpretasi tentang agama dan akidah yang tentu saja spekluatif dan subjektif. Sehingga karena mindset inilah tidak sedikit tuduhan “sesat” dengan mudah dilemparkan terhadap orang atau aliran yang berbeda dalam merumuskan prinsip akidah.
Benarkah itu sudah final? Bila tidak alergi terhadap kristisisme, mari mengamati substansi dan sistematika enam rukun tersebut.
Pertama:
Enam rukun iman mazhab ini didasarkan pada al-Qur’an. Yang perlu diketahui ialah perbedaan antara ‘percaya kepada’ dan ‘kepada bahwa’. Sejauh pengetahuan saya, semua item dalam rukun iman itu lebih difaokuskan pada ‘kepercayaan kepada’, bukan ‘kepercayaan tentang’. Padahal kepercayaan kepada Allah, malaikat dan lainnya adalah buah dari kepada tentang wujud Allah, malaikat dan lainnya. Inilah paradoks yang terlewat oleh banyak orang.
Kedua:
Dasar pembentukan rukun iman dalam mazhab Asy’ariah adalah teks suci. Padahal menjadikan teks sebagai dasar kepercayaan yang merupakan produk spekulasi rasional kurang bisa dipertanggugjawabkan. Tapi apabila al-Qur’an dijadikan sebagai dasar keimanan kepada Allah, yang merupakan sila pertama dalam rukun iman, maka konsekuensi logisnya, kepercayaan kepada al-Quran mendahului kepercayaan kepada Allah. Bukankah al-Qur’an diyakini sebagai wahyu Allah setelah meyakini keberadaan Allah dan setelah mengimani orang yang menerimanya (nabi)? Kepercayaan akan keberadaan Allah mesti diperoleh dengan akal fitri sebelum mempercayai al-Quran. Al-Quran adalah petunjuk bagi yang telah beriman, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat suci di dalamnya. Al-Quran adalah pedoman bagi yang mengimani Allah dan nabinya. Artinya, al-Quran dijadikan sebagai dasar setelah memastikan wujud Allah dan kemestian kenabian Muhammad.
Ketiga:
Dalam teologi Asy’ariyah rukun Iman mendahului rukun Islam. Padahal dalam sebuah ayat suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi s.a.w. diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS al-Hujurât, 49: 14): “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi Katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Keempat:
Rukun pertama adalah keimanan kepada Allah. Apa maksud dari kalimat ini? Apakah meyakini keberadanNya saja ataukah keesaannya? Sekadar ‘kata kepada Allah’ masih menyimbang banyak pertanyaan.2) Apakah iman ini berhubungan dengan ‘iman kepada’ ataukah ‘iman tentang ketuhanan’? persoalan teologi tidak sesederhana yang dibayangkan oleh sebagian orang. Pernahkah kita mendengar ayat yang terjemahannya (kurang lebih), “Dan apabila kau (Muhammad) tanya mereka, siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka berkata, Allah”. Bukankah ini sudah memenuhi standar keimanan kepada Allah?
Kelima:
Rukun kedua adalah iman kepada malaikat. Mestinya bukan iman kepada para malaikat, tapi iman tentang malaikat. ‘Iman kepada’ mestinya muncul setelah ‘iman tentang’. Selain itu, iman kepada malaikat semestinya tidak muncul setelah iman kepada Allah (iman akan wujud Allah). Bagaimana mungkin bisa meyakini wujud para malaikat lengkap dengan departemen-departemannya sebelum mempercayai al-Quran yang mewartakannya? Kemudian, alasan yang mungkin dikemukakan oleh pendukung ialah bahwa iman kepada para malaikat itu tercantum sebagai salah satu sifat mukmin dalam al-Quran. Memang benar. Tapi, bila kepercayaan kepada atau tentang wujud para malaikat dianggap sebagai rukun (keyakinan fundamental) karena tertera dalam al-Quran, maka bukankah seluruh yang diberitakan dalam al-Quran juga mesti dijadikan rukun pula. Bayangkan berapa banyak yang mesti dicantumkan dalam list rukun itu! Bukankah semua yang ada dalam al-Quran mesti diimani (dipastikan adanya)? Kalaupun keimanan kepada (tentang) para malaikat memang sebuah keharusan, tapi mestikah dijadikan rukun? Apa alasan rasional dan implikasi teologis dari keimanan kepada malaikat sehingga layak menempati urutan kedua dalam rukun iman, apalagi rukun yang mendahului iman kepada kenabian?
Keenam:
Rukun ketiga adalah iman kepada (tentang) kitab-kitab suci.1) Apa yang dimaksud dengan iman kepada kitab-kitab suci? Apakah kita mesti beriman kepada Injil, Taurat dan zabur sebagai kitab Allah? Ataukah kita mesti meyakini bahwa Injil, Taurat dan Zabur pernah menjadi kitab-kitab suci? Apakah al-Quran juga termasuk di dalamnya? Bila al-Quran juga termasuk di dalamnya? Mana mungkin kita mengimani al-Quran dari teks al-Quran? Logiskah meyakini al-Quran sebagai wahyu karena al-Quran menetapkannya demikian di dalamnya? Selain itu, mestinya keimanan tentang Injil, Taurat dan Zabur sebagai kitab suci bersumber dari al-Quran, tapi meyakini al-Quran sebagai wahyu Allah bersumber dari kenabian Muhammad saw. Padahal keimanan kepada para nabi muncul setelah keimanan kepada kitab-kitab suci. Ini benar-benar membingungkan. Lagi pula, apa urgensi keimanan kepada (tentang) kitab-kitab itu sebagai rukun? Mengimaninya memang keharusan, tapi mengapa dijadikan sebagai rukun? Lagi-lagi, bila alasannya dicantumkan dalam list rukun iman karena tertera dalam al-Quran, maka mestinya banyak hal lain dalam al-Quran yang bisa dimasukkan dalam rukun-rukun iman.
Ketujuh:
Rukun keempat adalah iman kepada (tentang) para rasul. Apakah yang dimaksud dengan ‘para rasul’ itu semua utusan minus Nabi Muhammad? Bila ya, mestinya hal itu diyakini setelah meyakini kenabian Muhammad saw. Padahal keyakinan akan kenabian Muhammad mesti tidak didasarkan pada al-Quran, karena keyakinan akan kebenaran al-Quran bersumber dari keyakinan akan kebenaran klaim Muhammad saw sebagai nabi. Keimanan kepada kebenaran al-Quran sebagai wahyu adalah konsekuensi dari keyakinan akan kebenaran Muhammad sebagai nabi. Bila tidak, artinya keimanan kepada para rasul plus Muhammad, maka hal itu menimbulkan kontradiksi. Bagaimana mungkin meyakini nabi Muhammad dan para nabi yang tercantum dalam al-Quran, padahal keyakinan akan al-Quran sebagai kitab wahyu muncul setelah keyakinan akan kebenaran klaim kenabian Muhammad saw sebagai nabi.
Kedelapan:
Rukun kelima adalah iman tentang ketentuan Allah, baik dan buruk. Ini salah satu paradoks teologi yang paling membingungkan. Poin kelima ini telah dikritik oleh para teolog Sunni kontemporer karena dianggap sebagai sumber fatalisme.
Kesembilan:
Rukun keenam adalah iman kepada (tentang) hari akhir. Inilah poin keimanan yang letaknya paling sistematis. Ia memang pantas berada di urutan terakhir. Hanya saja, perlu diperjelas, apakah hari akhir itu hari kiamat (di dunia) atau hari setelah kebangkitan (pasca dunia).
Kesepuluh:
Yang mengejutkan ialah, bahwa manusia yang mengimani enam rukun diatas, meski tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, bisa dianggap mukmin. Mengapa?
Rukun Islam.
Pertama:
Rukun Iman Asy’ariyah tidak memuat dua kalimat syahadat. Ini cukup menimbulkan kebingungan. Padahal, kadar minimal dari iman yang mesti dipenuhi adalah iman kepada Allah Yang Esa, Kerasulan dan Kebangkitan. Inilah yang menuntut penerapannya secara lahir melalui shalat, puasa dan lainnya.
Sedangkan batas terbawah dari kekufuran adalah pengingkaran secara terang-terangan terhadap suatu perkara setelah menyadari kebenarannya, dan bertekad untuk menentangnya. Syirik (mengingkari tauhid) salah satu pemuncak kekufuran.
Kedua:
Rukun Islam dalam teologi Asy’ariyah dimulai dengan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhamamad adalah utusan Allah. Konsekuensinya yang pertama, bila rukun iman mendahului rukun Islam, maka seseorang bisa dianggap mukmin sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat.
Konsekuensi kedua, bila dua kesaksian tersebut berdiri sejajar dengan shalat, puasa dan ibadah lainnya, maka penyebutan dua kata tersebut hanyalah bersifat fiqhiah, normatif, ta’abbudi, bukan aqidah dan produk inteleksi. Konsekuensi ini muncul sebagai akibat dari diturunkannya penyaksian ini pada rukun Islam.
Konsekuensi ketiga, kesaksian akan Allah dan kerasulan hanyalah sebuah ibadah yang masuk dalam regulasi fikih dengan hukum wajib, sebagaimana shalat dan puasa.
Konsekuensi-konsekuensi demikian sungguh membingungkan. Betapa tidak, dua kalimat syahadat itu adalah intisari dari totalitas dan iman dan Islam.
Ketiga:
Dalam rumusan rukun Islam. shalat menempati urutan kedua setelah syahadat. Padahal secara sistematis, syahadat tidak berdiri sejajar dengan shalat, karena shalat memerlukan syahadat, sedangkan syahadat tidak memerlukan shalat. Mestinya shalat tidak berada dalam posisi berurutan dengan syahadat, atau syahadat semestinya tidak berada dalam satu kavling dengan shalat. Shalat bahkan tidak sah tanpa syahadat. Itu artinya, syahadat menjadi syarat bagi keabsahan shalat. Relasi antara keduanya tidak bersifat mutual. Bila diposisikan sejajar, maka ia menjadi semacam poin optional sebagai puasa dan zakat. Seseorang tetap disebut Muslim bila bersyahadat meski tidak shalat, puasa dan zakat. Sebailnya, tanpa syahadat, shalat dan puasa tak sah. Dengan kata lain, akan lebih aman secara sistematis, bila syahadat tidak menjadi salah satu bagian dalam rukun Islam.
Keempat:
Menempatkan puasa sebagai bagian dari rukun Islam setelah shalat memang tepat, karena ia dan shalat sama-sama bersifat ritual dan praktis. Ini sama sekali berbeda dengan syahadat yang lebih ditekankan aspek pemikiran dan teoritikalnya. Zakat dan haji pun demikian, sudah tepat berada dalam urutan berikutnya. Hanya saja,shalat, puasa, zakat dan haji terasa lebih bersifat ritual. Akan lebih sempurna, bila ibadah sosial juga masuk di dalamnya seperti Amar makruf dan Nahi Mungkar yang bias ditafsirkan sebagai kewajiban menegakkan keadilan sosial dan memberantas kezaliman termasuk korupsi.
Interpretasi Sektarian.
Rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam adalah konsensus atau konvensi, sementara sesungguhnya banyak dasar yang menunjukkan bahwa Rukun Islam dan Rukun Iman bisa didefinisikan dan ditetapkan sebagai memiliki jumlah dan kandungan yang berbeda.
Pertama:
Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat di Indonesia hanyalah interpretasi spekulatif (pemikiran) yang tidak mewakili pandangan teologi Sunni secara menyeluruh, karena Asyariyah adalah satu satu mazhab dalam himpunan mazhab Ahlussunnah.
Mazhab teologi Almaturidiyah dan Mu’tazilah, yang notabene lebih “sunni” dari Syiah mempunyai rumusan sendiri tentang substansi rukun Iman dan rukun Islam yang berbeda dengan rumusan Asya’riyah.
Ahlulhadits dan Teologi Salafi yang mengaku menganut teologi Ahmad bin Hanbal juga memberikan rumusan detail tentang akidah yang berbeda dengan Asy’ariyah. Sejarah membuktikan adanya ketegangan berdarah antara penganut Asy’ariyah dan Ahlul-Hadits, yang sama-sama Sunni, dalam sengketa seputar Kalam Allah.
Kedua:
Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya adalah salah satu penafsiran teologis yang dirumuskan dari sebagian riwayat-riwayat dalam khazah hadis dan Sunnah.
Dalam literatur hadis Ahlussunnah sendiri terdapat banyak riwayat yang menyebutkan versi berbeda dengan Rukun Iman dan Rukun Islam yang dibakukan dalam teologi Asy’ariah.
Di bawah ini sebagian buktinya, sesuai dengan hadis-hadis sahih di kalangan Ahlus-sunnah:
Hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,1/30 Bab al Imân Ma Huwa wa Bayâni Khishalihi:
Riwayat dari Bukhari:
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan Anda percaya kepada yang ghaib.’”.
Riwayat dari Muslim:
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan Anda percaya kepada yang ghaib.’”.
Hadis di atas menyebutkan bahwa Rukun Iman itu hanya:
(1) Beriman kepada Allah,
(2) Kepada para malaikat,
(3) Kepada kitab-Nya,
(4) Perjumpaan dengan-Nya,
(5) Kepada para rasul.
Tidak ada sebutan apapun tentang kewajiban percaya kepada Qadha’ dan Qadar
Hadis sahih dalam riwayat Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,1/35 Bab al Amru Bil Imân Billah wa rasûluhi, seperti di bawah ini:
قال امرهم بالايمان بالله وحده، وقال هل تدرون مالايمان بالله ؟ قالوا
الله ورسوله اعلم، قال شهادة ان لااله الا الله وأن محمدا رسول الله واقام
الصلاة وايتاء الزكاة وصوم رمضان وان تؤدوا خمسا من المغنم
“Aku perintahkan kamu agar mengesakan keimanan hanya kepada Allah! Tahukan kamu apa iman kepada Allah itu?” Mereka menjawab, ”Tidak.” Beliau bersabda, ”Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan membayar khumus (seperlima dari keuntungan/perolehan).”
Hadis di atas menegaskan bahwa inti keimanan itu sebagai berikut:
1. Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah,
2. Dan bersaksi Muhammad adalah rasul Allah,
3. Menegakkan shalat,
4. Membayar zakat,
5. Berpuasa di bulan Ramadhan
6. Membayar khumus.
Dengan demikian, ketiadaan unsur-unsur tertentu dalam rumusan Rukun Islam dan Rukun Iman tak boleh dipahami bahwa unsur-unsur tersebut adalah prinsip yang niscaya dalam keislaman dan keimanan seseorang.
Ketiga :
Kata “rukun iman” dan “rukun Islam” adalah rumusan yang dibuat berdasarkan interpretasi kelompok dan aliran Asy’ariyah, bukan dogma final yang “wajib” diterima tanpa bias didiskusikan oleh siapapun, sehingga tidak akan pernah absah menjadi parameter menilai sesat dan tidak sesat. Dengan kata lain, tidak mengikuti rumusan teologi Asy’ariyah yang lazim disebut “Rukun Iman” dan “Rukun Islam” tidak bisa serta merta ditafsirkan sebagai menolak prinsip-prinsip dasar akidah Islam. Menilai apalagi mensesatkan keyakinan orang yang tidak sekeyakinan dengan dasar keyakinan sendiri tidaklah bijak dan menghalangi harapan kerukunan antar Muslim.
Akhirnya, tujuan penulisan artikel ini tidak mempersoalkan atau menyalahkan rumusan akidah Asy’ariyah, namun sekedar klarifikasi bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh msyarakat Muslim di Tanah Air bukanlah doktrin yang diterima oleh semua mazhab islam, termasuk mazhab Sunni non Asy’ariyah. Karenanya, bila ada yang meyakini rumusan akidah tidak sama dengan rumusan akidah Asy’ariyah, maka hal itu semata-mata karena berbeda landasan argumentatif dan metode perumusannya. Bila demikian, rumusan tersebut (Rukun Iman dan Rukun islam versi Asy’ariyah) tidak bisa dijadikan sebagai parameter menilai apalagi mensesatkan selainnya. Semoga umat Islam Indonesia makin dewasa dan sadar bahwa Islam itu satu selamanya, namun cara pandang dan penafsirannya tidak selalu satu.
Perbedaan Rukun Iman Syi’ah Dan Ahlusunnah!
Upaya Terakhir Membodohi Kaum Awam, Persembahan Untuk Para Tukang Fitnah.
3100. Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah
mengabarkan kepada kami Sufyan telah bercerita kepada kami Al Mughirah
bin an-Nu’man berkata telah bercerita kepadaku Sa’id bin Jubair dari
Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan (pada hari qiyamat) dalam
keadaan telanjang dan tidak dikhitan. Lalu Beliau membaca firman Allah
QS al-Anbiya’ ayat 104 yang artinya (Sebagaimana Kami telah memulai
penciptaan yang pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu
janji yang pasti dari Kami. Sesungguhnya Kamilah yang akan
melaksanakannya). Dan orang yang pertama kali diberikan pakaian pada
hari qiyamat adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan ada segolongan orang
dari sahabatku yang akan diculik dari arah kiri lalu aku katakan: Itu
Sahabatku, Itu sahabatku. Maka Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya
mereka menjadi murtad sepeninggal kamu. Aku katakan sebagaimana ucapan
hamba yang shalih (firman Allah dalam QS al-Maidah ayat 117 – 118 yang
artinya (Dan aku menjadi saksi atas mereka selagi aku bersama mereka.
Namun setelah Engkau mewafatkan aku…) hingga firman-Nya (….Engkau Maha
Perkasa lagi Maha bijaksana).
Rukun[1] Imam Syi’ah Vs Rukun Imam Ahlusunnah!
Ahlussunnah : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a) Syahadatain.
b) As-Sholah.
c) As-Shoum.
d) Az-Zakah.
e) Al-Haj.
Syiah : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a) As-Sholah.
b) As-Shoum.
c) Az-Zakah.
d) Al-Haj.
e) Al wilayah
2. Ahlussunnah : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a) Iman kepada Allah
b) Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c) Iman kepada Kitab-kitab Nya
d) Iman kepada Rasul Nya
e) Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f) Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a) At-Tauhid.
b) An Nubuwwah.
c) Al Imamah.
d) Al Adlu.
e) Al Ma’ad.[2]
Lalu setelahnya mereka menyimpulkan bahwa Syi’ah tidak beriman kepada: Qadha’ dan Qadar, para malaikat dan kitab-kitab Allah!
Kami Jelaskan:
Alhamdulillah, saya tidak pernah terkejut dengan kejahilan mereka yang memusuhi Ahlulbait Nabi dan Syi’ahnya, sebab jika mereka tidak sejahil itu tidak mungkin mereka bergabung bersama kaum munafik untuk memusuhi kebenaran! Tetapi yang saya agak heran, mengapa mereka tidak malu memamerkan kejahilan memalukan yang mencerminkan kebangkrutan logika sehat itu! Mungkin mereka beranggapan bahwa para pembaca tulisan mereka itu adalah kaum sufahâ’ (kaum bodoh lagi dungu) padahal justru merekalah yang sufahâ’. Allah berfirman:
أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لاَّ يَعْلَمُوْنَ
“Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang tolol, akan tetapi mereka tidak tahu.” (QS. 2;13).Dengan logika jongkok kaum kerdil itu, Syi’ah segera dituduh tidak percaya kepada para malaikat, kitab-kitab dan qadha dan qadar!
Dan kerananya pula Syi’ah divonis sesat dan kafir!
Sungguh hebat “kejelian penyimpulan” kaum Pemfitnah bayaran itu! Hanya demi uang ia membuat kibul.
Karena Syi’ah tidak menyebutnya dalam Rukun Iman mereka maka berarti Syi’ah tidak beriman kepadanya!
Tidak banyak yang ingin saya katakan dalam menjawab kejahilan kaum Pemfitnah itu sebab waktu saya jauh lebih berharga dari menanggapi kejahilan murahan kaum jahil itu.
Saya hanya ingin mengatakan:
A) Apa pendapat kalian tentang hadis shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya,1/30 Bab al Imân Ma Huwa wa Bayâni Khishalihi:
Hadis Bukhari:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ
(http://hadith.al-islam.com/Page.aspx?pageid=192&BookID=24&TOCID=40)Hadis Muslim:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَارِزًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِيمَانُ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكِتَابِهِ وَلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ الْآخِرِ
(http://hadith.al-islam.com/Page.aspx?pageid=192&TOCID=10&BookID=25&PID=81)Hadis di atas menyebutkan bahwa Rukun Imam itu hanya:
(1) Beriman kepada Allah,
(2) Kepada para malaikat,
(3) Kepada kitab-Nya,
(4) Perjumpaan dengan-Nya,
(5) Kepada para rasul.
Tidak ada sebutan apapun tentang kewajiban percaya kepada Qadha’ dan Qadar?!
Apakah berarti Rukun Imannya Rasulullah saw. berbeda dengan Rukun Imannya Ahlusunnah?
Sehingga beliau harus dituduh tidak berimam karena tidak mengimani qadha’ dan qadar?!
Dan yang lebih konyol lagi, bahwa Rukun Iman itu tidak menyebut-nyebut Keimanan kepada Kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. secara khusus!
B) Apa Pendapat Anda terhadap hadis shahih dalam riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya,1/35 Bab al Amru Bil Imân Billah wa rasûluhi, seperti di bawah ini:
قَالَ أَمَرَهُمْ بِالْإِيمَانِ بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَقَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَا الْإِيمَانُ بِاللَّهِ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَأَنْ تُؤَدُّوا خُمُسًا مِنْ الْمَغْنَمِ
“Aku perintahkan kamu agar berngesakan keimanan hanya kepada Allah! Tahukan kamu apa iman kepada Allah itu? Mereka menjawab: Tidak. Beliau bersabda: Bersaksi bahwa tiada Tuhan slain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakan shalat, membayar zakat, puasa bulan ramadhan dan membayar khumus (seperlima dari keuntungan/perolehan).”(http://hadith.al-islam.com/Page.aspx?pageid=192&TOCID=15&BookID=25&PID=95)
Hadis di atas menegaskan bahwa inti keimanan itu sebagai berikut:
(1) Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah,
(2) Dan bersaksi Muhammad adalah rasul Allah,
(3) menegakkan shalat,
(4) membayar zakat,
(5) dan membayar khumus.
Sementara dalam riwayat lain selanjutnya disebutkan poin yang berbeda yaitu: (*) berpuasa bulan ramadha, sehingga pilar keimanan itu menjadi berbeda. Dalam hadis pertama tidak ada sebutan tentang puasa bulan Ramadhan, sementara dalam hadis kedua ada sebutan tentang puasa Ramadhan!
Selain itu, apakan tiga atau empat poin selain beriman kepada Allah dan Rasul-Nya juga termasuk dalam Rukun/Pilar keimanan? Lalu apa bedanya dengan Rukun Islam yang diyakini Ahlusunnah?!
C) Dalam Rukun Imam Ahlusunnah tidak disebutkan keimanan kepada keadilan Allah yang Maha Adil. Lalu apakah itu berarti Ahlusunnah tidak mengimani bahwa itu Maha Adil. Atau dengan kata lain bahwa Ahlusunnah mengimani bahwa Allah itu ZALIM?!
D) Jika jawaban kalian mengatakan tidak demikian keimanan kita. Kami beriman bahwa Allah Maha Adil. Lalu mengapakah tidak kalian sebut dalam poin Rukun Imam!
E) Apapun jawaban para ulama Ahlusunnah terhadapnya itu juga jawaban kami dalam membantah kaum Pemfitnah, khuususnya kaum Wahhâbi-Salafi (yang sudah mulai mempekerjakan sebagian uztadz-ustadz Sunni untuk menggempur Mazhab Syi’ah!) ketika mereka menuduh Syi’ah tidak mengimani kitab-kitab- para rasul dan qadha’ dan qadar hanya kerena alasan lugu (baca: dungu) bahwa hal-hal tersebut tidak disebutkan dalam poin Rukun Imam Syi’ah!
F) Jika benar demikian bahwa Rukun Iman kalian adalah seperti yang kalian sebutkan, lalu mengapakah kalian begitu “ngotot” sampai-sampai kerongkongan para penjaual fitnah di atas-atas mimbar naas itu seakan hendak meladak menghujat Syi’ah karena mereka tidak mengimani kekhalifahan tiga Khalifah sebelum Imam Ali as.?! Mengapakah demikian?
Bukankan ia bukan bagian dari Rukun Iman?
Bahwa sama sekali ia bukan bagian dari keyakinan. Ia bagian dari urusan fikih. Bukankah demikian?!
Jika kalian tidak mengerti bahwa masalah imamah/khilafah itu adalah bagian dari masalah furûiyah, maka alangkan jahil dan memalukannya kalian!!
Jika sudah mengerti, lalu mengapakah kalian berlakan seperti orang jahil?!
G) Dan akhirnya, saya hendak bertanya, apa yang akan kalian lakukan terhadap hadis-hadis shahih dari Nabi saw. dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang menegaskan bahwa dengan sekedar mengiman Allah dan kerasulan Nabi Muhammad saw. seorang telah dipastikan beriman dan pasti masuk surga?
Akhirul Kalam.
Dan akhirnya, saya berharap kalian mau membuka mata kalian untuk membaca ulasan akidah Islam yang ditulis oleh para ulama Syi’ah, baik klaisk maupun kontemporer…
baca kitab-kitab Syeikh Shadûq, Syeikh Mufid, Sayyid al Murtadha, al Karâjiki, Allamah al Hilli, Khawaja Syeikh Nashiruddîn ath Thusi…
juga kitab-kitab Syeikh Muhammad Ridha al Mudhaffar, Syeikh Kyif al Ghithâ’, Allamah Thabathabai, Syeikh Allamah ja’far Subhâni, Syeikh Allama Abdullah Jawadi Amuli, Sayyid Allamah Kamâl al Haidari… pasti kalian akan melihat bagaiamana sebenarnya akidah Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah..
dan bagaimana argumentasi naql dan aqli yang mereka paparkan untuk mendukung masing-masing poin akidah yang diyakini…
dan akhirnya saya jamin setiap yang berakal pasti mengakui bahwa itulah akidah Islam yang murni, berbasis logika sehat dan nash shahih dan sharih serta jauh dari penyimpangan.
Dari pada kebeeja siang malam memerangi agama Allah yang telah dijamin untuk dijaga, dibela dan dimenangkan oleh Allah lebih baik kalian mencari lowongan kerja lain yang lebih terhormat dan tidak mencelakakan dunia akhirat! Itu sekedar saran dari lubuk hati yang ikhlas buat para pedagang fitnah!
Wassalam.
[1] Istilah
Rukun Iman itu sendiri sepertinya perlu dipastikan dari mana? Sebab
jika istilah itu tidak berbasis nash, maka dikhawatirkan terjebak dalam
BID”AH!
[2] (http://www.albayyinat.net/ind1.html)
*****
Mengimani Wilayah Ahlulbait as. Adalah Jaminan Keselamatan Dari Api Neraka Jahannam
Allah SWT berfirman:
Keterangan:
Di antara peristiwa-peristiwa mengerikan nun menentukan nasib di hari kiamat adalah diberhentikannya manusia di jembatan pemeriksaan di atas neraka Jahim. Allah memerintahkan para malaikat-Nya agar menahan umat manusia karena akan ada pertanyaan yang mesti mereka jawab. Pertanyaan yang akan mengungkap jati diri setiap orang. Allah berfiaman, “Hentikan (tahan) mereka karena mereka akan ditanyai.”
Tentang apa yang akan ditanyakan kepada umat manusia kelak di hari kiamat, di antara para ulama dan ahli tafsir ada yang mengatakan pertanyaan itu terkait dengan konsep Tauhid; Lâ Ilâha Illallah/Tiada Tuhan selain Allah! Ada pula yangt mengatakan mereka akan ditayai dan dimintai pertanggung-jawaban tentang WilâyahImam Ali as.
Akan tetapi di sini perlu diketahui bahwa apa yang disebutkan di atas adalah penyebutan mishdâq dari apa yang akan ditanyakan…
ia tidak sedang membatasai…
bukan hanya itu yang akan ditanyakan….
Inti dari pertanyaan itu tentang kebenaran apapun yang mereka abaikan di dunia, baik ia berupa I’tiqâd/keyakinan yang intinya adalah Syahâdatain…
Tentunya dan juga tentang Wilâyah Imam Ali as. yang akan menentukan nilai Syahâdatain di sisi Allah SWT. …
Atau berupa amal shaleh yang mereka tinggalkan kerena keangkuhan dan sikap takabbur kepada atasnya.
Riwayat Tafsir Nabi saw.
Para muhaddis telah meriwayatkan bahwa Nabi saw. telah menyebut bahwa di antara pertanyaan penting yang akan ditanyakan adalah tentang Wilâyah Imam Ali as., karenanya para ulama Ahlusunnah meriwayatkan dari para mufassir Salaf; sahabat dan tabi’în, di antara mereka Abu Said al Khadri, Ibnu Abbas, Abu Ishaq as Subai’i, Jabir al Ju’fi, Mujahid, Imam Muhammad al Baqir as. dan Mandal bahwa kelak pada hari kiamat Allah SWT akan menanyai setiap orang akan sikapnya terhadap wilayah/kepemimpinan Ali dan Ahlulbait as.
Riwayat Abu Sa’id al Khadri:
Ibnu Hajar (dan juga para ulama lainnya) menggolongkan ayat di atas sebagai ayat yang turun menjelaskan keagungan, keutamaan dan maqam mulia Ahlulbait as., ia berkata: “(Ayat Keempat) Firman Allah –Ta’âlâ-:
Ad Dailami meriwayatkan dari Abu Sa’id al Khadri bahwa Nabi saw. bersabda:
Sepertinya sabda ini yang dimaksud oleh al Wâhidi dengan ucapannya, ‘“Dan Hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.” tentang wilayah Ali dan Ahlubait, sebab Allah telah memerintah Nabi-Nya saw. agar memberitahui umat manusia bahwa ia tidak meminta upah atas jerih payah mentablîghkan Risalah (agama) kecuali kecintaan kepada keluarga beliau. Maknanya, bahwa mereka akan ditanyai apakah mereka mengakui Wilâyah mereka dengan sepenuh arti seperti yang diwasiatkan Nabi saw. kepada mereka atau mereka menyia-nyiakan dan mengabaikannya, maka mereka akan dituntut dan dikenakan sanksi.’
Dan dengan ucapannya ‘seperti yang diwasiatkan Nabi saw. kepada mereka’ ia menunjuk kepada hadis-hadis yang datang dalam masalah ini, dan ia sangat banyak sebagainnya akan kami sebutkan pada pasal kedua nanti.”[1]
Sumber Riwayat:
Hadis Abu Sa’id telah diriwayatkan para ulama Ahlusunnah dari banyak jalur. Dalam riwayat al Wâhidi di atas hadis itu diriwayatkan dari jalur: Qais ibn Rabî’i dari’Athiyyah dari Abu Sa’id dari Nabi saw.
Al Hakim al Hiskâni meriwayatkannya dari dua jalur; 1) dari Qais ibn Rabî’ dari Abu Harun al Abdi dari Abu Sa’id dari Nabi saw…. 2) dari Isa ibn Maimun dari Abu Harun al Abdi dari Abu Sa’id dari Nabi saw. hadis
Riwayat Ibnu Abbas ra.
Al Hakim al Hiskâni juga meriwayatkan tafsir serupa dari Nabi saw. dari riwayat Ibnu Abbas ra…..
Dari ‘Athâ’ ibn Sâib dari Sa’id ibn Jubair dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
“Kelak di hari kiamat aku dan Ali diberdirikan di atas Shirâth (jembatan pemeriksaan), maka tiada seorang pun yang melewatinya melainkan kami tanyai tentang WilâyahAli. Maka barang siapa memilikinya (maka ia boleh berjalan terus), dan yang tidak akan kami lemparkan ke dalam api neraka. Itu adalah firman Allah:
Dalam riwayat lain, Al Hakim meriwayatkan tentang firman Allah SWT.:
Status Hadis:
Seperti Anda saksikan bahwa Nabi saw.[4] sendirilah yang menafsirkan ayat di atas dengan Wilâyah Ali as….
Bahwa perkara terpenting yang akan ditanyakan kepada setiap manusia kelak di hari kiamat setelah tentang keesaan Allah dan kerasulan Mahammad saw. adalah Wilayah/kepemimpinan Ali dan Ahlulbait as. dan berdasarkan sikap setiap orang, nasib mereka akan ditentukan di sana!
Apabila seorang dalam hidupnya mengimani Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa dan Muhammad ibn Abdillah sebagai Rasul penutup Allah serta mengimani Ali dan Ahlulbait as. sebagai para Wali (pemimpin)nya, maka ia akan mendapat rahmat dan nikmat dari Allah dan apabila tidak maka Allah akan memintainya pertangung-jawaban atas sikapnya tersebut dan memberinya sanksi, seperti yang ditegaskan Al Wâhidi di atas.
Lalu bagaimana sikap Anda?
Apakah Anda telah mempersiapkan jawaban untuk intrograsi para malaikat Allah kelak di hari Pengadilan Akbar; hari kiamat terkait dengan sikap Anda terhadap kepemimpinan Imam Ali dan Ahlulbait as.?
Apakah Anda termasuk orang yang peduli akan nasib abadi Anda di alam akhirat sana?
Atau Anda termasuk mereka yang acuh terhadap apapun tentang tanggung jawab di hadapan Tuhan?
Jawabnya terserah Anda!!
Catatan:
Hadis Abu Sa’id dan keterangan Al Wâhidi, selain dikutip dan dibenarkan oleh Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab ash Shawâiq-nya juga dikutip dan dibenarkan oleh banyak ulama Ahlusunnah lainnya, di antaranya:
A) Syihâbuddîn al Khaffâji dalam kitab tafsir Ayat al Mawaddah-nya:82, seperti disebutkan dengan lengkap oleh az Zarandi dalam Nadzm Durar as Simthain:109.
B) Syeikhul Islam al Hamawaini dalam Farâid as Simthain,1/78-79 ketika menyebut hadis no.46 dan 47.
C) As Samhûdi dalam Jawâhir al Iqdain,2/108.
Mereka menyebut dan menukilnya serta mendukungnya dengan beberapa bukti pendukung lainnya.
Tafsir Para Sahabat Dan Mufassir Salaf.
Selain dua sahabat yang telah kami sebutkan tafsir mereka, para mufassir Salaf juga menafsirkan ayat di atas sesuai denga tafsir Nabi saw. di antara tafsir yang diriwayatkan dari mereka adalah sebagai berikut:
(1) Abu Ishaq as Subai’i.
Al Khawârizmi meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Abu Ahwash dari Abu Ishaq as Subai’i tentang ayat: “Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.” Yaitu tentang Wilâyah Ali.[5]
(2) Mujahid.
Adz Dzahabi menykil riwayat dari jalur Israil dari Ibnu Najîh dari Mujahid tentang ayat:“Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.” Yaitu tentang Wilâyah Ali.[6]
(3) Imam Muhammad al Baqir as.
Al Hiskani meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Daud ibn Hasan ibn Hasan dari ayahnya dari (Imam) Abu Ja’far tentang ayat: “Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.” Yaitu tentang Wilâyah Ali.
Hadis serupa juga diriwayatkan dari jalur Abu Ishaq as Subai’i dari Jabir al Ju’fi.[7]
Hadis-hadis Pendukung!
Selain itu hadis tafsir Nabi saw. di atas dan juga tafsir para sahabat telah dikuatkan dan didukung oleh banyak bukti… di antara bukti-bukti itu adalah:
Hadis ini diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al Mu’jam al Awsath, dan pada sanadnya terdapat Husain al Asyqar, ia dianggap lemah oleh sebagian ulama, akan tetapi Ibnu Hibbân mentsiqahkannya.
Al Haitsami juga meriwayatkannya dari jalur lain dari Abu Barzah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
Lalu ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa tanda kecintaan kepada kalian Ahlulbait?’
Maka beliau menunjuk Ali sambil menepuk pundaknya.“
Ia berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam Awsath.
Perhatikan di sini, al Haitsami hanya mencacat hadis dengan jalur pertama yaitu disebabkan Husain al Asyqar. Sementara terhadap hadis dengan jalur kedua ia mendiamkan dan tidak mencacatnya dengan sepatah kata pun.
Dan dalam sumber aslinya disebutkan bahwa Nabi menjawab si penanya dengan sabda beliau, “Tanda kecintaan kepada kami adalah kecintaan kepada orang ini sepeninggalaku.” Sabda ini tidak disebutkan oleh al Haitsami. Adapun pencacatannya atas Husain al Asyqar sangat tidak berdasar. Perawi yang satu initsiqah dan adil seperti telah dibuktikan pada tempatnya.
Ikhtisar kata, hadis ini termasuk dari hadis-hadis terkuat tentang keutamaan Ali dan Ahlulbait as. tidak ada tempat untuk pencacatan!
A) Hadis riwayat Imam Ali as.
Al Hafidz Abul Khair al Hâkimi ath Thâliqâni berkata, “Dan dengannya al Hâkim berkata…. Dari Ali, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
B) Hadis Anas ibn Malik.
Ibnu al Maghâzili meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Anas ibn Malik, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
Dan selain dua hadis di atas banyak hadis lainnya dari riwayat Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas dan Abu Bakar.
Setelah ini semua adalah sebuah sikap gegabah jika ada yang meragukan kesahaihan tafsir ayat di atas dengan Wilayah Imam Ali ibn Abi Thalib as., apalagi mengatakannya sebagai hadis palsu!!
Wallahu A’lam.
*****
Mengimani Wilayah Ahlulbait as. Adalah Jaminan Keselamatan Dari Api Neraka Jahannam
Allah SWT berfirman:
و قِفُوْهُمْ إنَّهُم مَسْؤُوْلُونَ
“Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.” (QS. ash Shaffat:24).Keterangan:
Di antara peristiwa-peristiwa mengerikan nun menentukan nasib di hari kiamat adalah diberhentikannya manusia di jembatan pemeriksaan di atas neraka Jahim. Allah memerintahkan para malaikat-Nya agar menahan umat manusia karena akan ada pertanyaan yang mesti mereka jawab. Pertanyaan yang akan mengungkap jati diri setiap orang. Allah berfiaman, “Hentikan (tahan) mereka karena mereka akan ditanyai.”
Tentang apa yang akan ditanyakan kepada umat manusia kelak di hari kiamat, di antara para ulama dan ahli tafsir ada yang mengatakan pertanyaan itu terkait dengan konsep Tauhid; Lâ Ilâha Illallah/Tiada Tuhan selain Allah! Ada pula yangt mengatakan mereka akan ditayai dan dimintai pertanggung-jawaban tentang WilâyahImam Ali as.
Akan tetapi di sini perlu diketahui bahwa apa yang disebutkan di atas adalah penyebutan mishdâq dari apa yang akan ditanyakan…
ia tidak sedang membatasai…
bukan hanya itu yang akan ditanyakan….
Inti dari pertanyaan itu tentang kebenaran apapun yang mereka abaikan di dunia, baik ia berupa I’tiqâd/keyakinan yang intinya adalah Syahâdatain…
Tentunya dan juga tentang Wilâyah Imam Ali as. yang akan menentukan nilai Syahâdatain di sisi Allah SWT. …
Atau berupa amal shaleh yang mereka tinggalkan kerena keangkuhan dan sikap takabbur kepada atasnya.
Riwayat Tafsir Nabi saw.
Para muhaddis telah meriwayatkan bahwa Nabi saw. telah menyebut bahwa di antara pertanyaan penting yang akan ditanyakan adalah tentang Wilâyah Imam Ali as., karenanya para ulama Ahlusunnah meriwayatkan dari para mufassir Salaf; sahabat dan tabi’în, di antara mereka Abu Said al Khadri, Ibnu Abbas, Abu Ishaq as Subai’i, Jabir al Ju’fi, Mujahid, Imam Muhammad al Baqir as. dan Mandal bahwa kelak pada hari kiamat Allah SWT akan menanyai setiap orang akan sikapnya terhadap wilayah/kepemimpinan Ali dan Ahlulbait as.
Riwayat Abu Sa’id al Khadri:
Ibnu Hajar (dan juga para ulama lainnya) menggolongkan ayat di atas sebagai ayat yang turun menjelaskan keagungan, keutamaan dan maqam mulia Ahlulbait as., ia berkata: “(Ayat Keempat) Firman Allah –Ta’âlâ-:
و قِفُوْهُمْ إنَّهُم مَسْؤُوْلُونَ
“Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.”Ad Dailami meriwayatkan dari Abu Sa’id al Khadri bahwa Nabi saw. bersabda:
{و قِفُوْهُمْ إنَّهُم مَسْؤُوْلُونَ} عن وِلايَةِ علِيٍّ.
“Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.”tentang wilayah Ali.”Sepertinya sabda ini yang dimaksud oleh al Wâhidi dengan ucapannya, ‘“Dan Hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.” tentang wilayah Ali dan Ahlubait, sebab Allah telah memerintah Nabi-Nya saw. agar memberitahui umat manusia bahwa ia tidak meminta upah atas jerih payah mentablîghkan Risalah (agama) kecuali kecintaan kepada keluarga beliau. Maknanya, bahwa mereka akan ditanyai apakah mereka mengakui Wilâyah mereka dengan sepenuh arti seperti yang diwasiatkan Nabi saw. kepada mereka atau mereka menyia-nyiakan dan mengabaikannya, maka mereka akan dituntut dan dikenakan sanksi.’
Dan dengan ucapannya ‘seperti yang diwasiatkan Nabi saw. kepada mereka’ ia menunjuk kepada hadis-hadis yang datang dalam masalah ini, dan ia sangat banyak sebagainnya akan kami sebutkan pada pasal kedua nanti.”[1]
Sumber Riwayat:
Hadis Abu Sa’id telah diriwayatkan para ulama Ahlusunnah dari banyak jalur. Dalam riwayat al Wâhidi di atas hadis itu diriwayatkan dari jalur: Qais ibn Rabî’i dari’Athiyyah dari Abu Sa’id dari Nabi saw.
Al Hakim al Hiskâni meriwayatkannya dari dua jalur; 1) dari Qais ibn Rabî’ dari Abu Harun al Abdi dari Abu Sa’id dari Nabi saw…. 2) dari Isa ibn Maimun dari Abu Harun al Abdi dari Abu Sa’id dari Nabi saw. hadis
Riwayat Ibnu Abbas ra.
Al Hakim al Hiskâni juga meriwayatkan tafsir serupa dari Nabi saw. dari riwayat Ibnu Abbas ra…..
Dari ‘Athâ’ ibn Sâib dari Sa’id ibn Jubair dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
“Kelak di hari kiamat aku dan Ali diberdirikan di atas Shirâth (jembatan pemeriksaan), maka tiada seorang pun yang melewatinya melainkan kami tanyai tentang WilâyahAli. Maka barang siapa memilikinya (maka ia boleh berjalan terus), dan yang tidak akan kami lemparkan ke dalam api neraka. Itu adalah firman Allah:
و قِفُوْهُمْ إنَّهُم مَسْؤُوْلُونَ
“Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.”[2]Dalam riwayat lain, Al Hakim meriwayatkan tentang firman Allah SWT.:
و قِفُوْهُمْ إنَّهُم مَسْؤُوْلُونَ
“Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.” Tentang Wilayah Ali ibn Abi Thalib.”[3]Status Hadis:
Seperti Anda saksikan bahwa Nabi saw.[4] sendirilah yang menafsirkan ayat di atas dengan Wilâyah Ali as….
Bahwa perkara terpenting yang akan ditanyakan kepada setiap manusia kelak di hari kiamat setelah tentang keesaan Allah dan kerasulan Mahammad saw. adalah Wilayah/kepemimpinan Ali dan Ahlulbait as. dan berdasarkan sikap setiap orang, nasib mereka akan ditentukan di sana!
Apabila seorang dalam hidupnya mengimani Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa dan Muhammad ibn Abdillah sebagai Rasul penutup Allah serta mengimani Ali dan Ahlulbait as. sebagai para Wali (pemimpin)nya, maka ia akan mendapat rahmat dan nikmat dari Allah dan apabila tidak maka Allah akan memintainya pertangung-jawaban atas sikapnya tersebut dan memberinya sanksi, seperti yang ditegaskan Al Wâhidi di atas.
Lalu bagaimana sikap Anda?
Apakah Anda telah mempersiapkan jawaban untuk intrograsi para malaikat Allah kelak di hari Pengadilan Akbar; hari kiamat terkait dengan sikap Anda terhadap kepemimpinan Imam Ali dan Ahlulbait as.?
Apakah Anda termasuk orang yang peduli akan nasib abadi Anda di alam akhirat sana?
Atau Anda termasuk mereka yang acuh terhadap apapun tentang tanggung jawab di hadapan Tuhan?
Jawabnya terserah Anda!!
Catatan:
Hadis Abu Sa’id dan keterangan Al Wâhidi, selain dikutip dan dibenarkan oleh Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab ash Shawâiq-nya juga dikutip dan dibenarkan oleh banyak ulama Ahlusunnah lainnya, di antaranya:
A) Syihâbuddîn al Khaffâji dalam kitab tafsir Ayat al Mawaddah-nya:82, seperti disebutkan dengan lengkap oleh az Zarandi dalam Nadzm Durar as Simthain:109.
B) Syeikhul Islam al Hamawaini dalam Farâid as Simthain,1/78-79 ketika menyebut hadis no.46 dan 47.
C) As Samhûdi dalam Jawâhir al Iqdain,2/108.
Mereka menyebut dan menukilnya serta mendukungnya dengan beberapa bukti pendukung lainnya.
Tafsir Para Sahabat Dan Mufassir Salaf.
Selain dua sahabat yang telah kami sebutkan tafsir mereka, para mufassir Salaf juga menafsirkan ayat di atas sesuai denga tafsir Nabi saw. di antara tafsir yang diriwayatkan dari mereka adalah sebagai berikut:
(1) Abu Ishaq as Subai’i.
Al Khawârizmi meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Abu Ahwash dari Abu Ishaq as Subai’i tentang ayat: “Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.” Yaitu tentang Wilâyah Ali.[5]
(2) Mujahid.
Adz Dzahabi menykil riwayat dari jalur Israil dari Ibnu Najîh dari Mujahid tentang ayat:“Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.” Yaitu tentang Wilâyah Ali.[6]
(3) Imam Muhammad al Baqir as.
Al Hiskani meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Daud ibn Hasan ibn Hasan dari ayahnya dari (Imam) Abu Ja’far tentang ayat: “Dan hentikan mereka sesungguhnya mereka akan ditayai.” Yaitu tentang Wilâyah Ali.
Hadis serupa juga diriwayatkan dari jalur Abu Ishaq as Subai’i dari Jabir al Ju’fi.[7]
Hadis-hadis Pendukung!
Selain itu hadis tafsir Nabi saw. di atas dan juga tafsir para sahabat telah dikuatkan dan didukung oleh banyak bukti… di antara bukti-bukti itu adalah:
- Hadis-hadis yang menegaskan bahwa kelak di hari kiamat Nabi saw. akan meminta dari umat Islam pertanggung-jawaban sikap terhadap Kitabullah dan Ahlulbait as. Di antara hadis-hadis itu dalah sebagai berikut ini:
يَا أيُّها الناسُ إِنِّيْ فَرَطُكُمْ, إِنَّكُمْ وَارِدُونَ عَلَيَّ الْحَوْضَ أَعْرَضَ مِمَّا بين بُصْرَى إلى صَنْعاءَ فيهِ عَدَدُ النُّجُومِ قَدْحانَ فِضَّةٍ، و إِنِّيْ سائِلُكُمْ حين تَرِدُوْنَ عَنِ الثَّقَليْنَ ، فَانْظُرُوا كيفَ تَخْلُفُونِيْ فيهِما: الثقل ألأكْبَرُ كتابَ اللهِ عز و جلَّ سببٌ طَرَفُهُ بِيَدِ اللهِ و طرفُهُ بِأَيْدِيْكُمْ، فاسْتَمْسِكُوا بِهِ و لا تَضِلُّوا و لا تُبَدِّلُوا، وَعِتْرتِيْ أَهلَ بيتِيْ، فَإِنَِّ اللطيفَ الخبيرَنَبَّأَنِيْ أَنَّهُما لَنْ يَنْقَضِيا حتى يرِدَا عليَّ الْحَوْضَ.
“Wahai sekalian manusia sesungguhnya Aku akan mendahului kalian menuju telaga dan kalian pasti mendatangiku di telaga, sebuah telaga yang lebih lebar dari kota Bushra hingga kota Shan’a’, di dalamnya terdapat cawan-cawan sejumlah bintang di langit. Aku akan meminta pertanggung-jawaban kalian ketika menjumpaiku akanTsaqalaian. Maka perhatikan, bagaimana perlakuan kalian terhadap keduanya.Tsaqal pertama adalah Kitabullah ‘Azza wa Jalla, sebab penyambung yang satu ujungnya di tangan Allah dan satu ujungnya lagi di tangan kalian, maka berpegang teguhlah dengan Kitabullah; jangan kalian menyimpang dan mencari ganti selainnya, dan kedua adalah Itrah-ku yaitu Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui telah memberitauku bahwa keduanya tidak akan berakhir sehingga menjumpaiku di haudh (telaga).”[8]- Hadis akan ditanyakannya empat perkara di hari kiamat. Di antaranya adalah riwayat di bawah ini:
لاَ تزولُ قَدَما عبْدٍ يومَ القيامة حتَّى يُسْأَلَ عَن أربَع: عَن عُمُرِهِ فِيمَ أفناه عَن جسدِه فِيمَ أبلاهُ و عن ماله فِيمَ أنْفَقَهُ و مِنْ أين إكْتَسَبَهُ و عن حُبِّنا أَهْلَ البيتِ.
“Tiada akan beranjak dua kaki seorang pada hari kiamat sehingga ia ditanyai tentang empat perkara; tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk ia pakai, tentang hartanya untuk apa ia belanjakan dan dari mana ia perolah dan tentang kecintaan kepada kami Ahlulbait.”Hadis ini diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al Mu’jam al Awsath, dan pada sanadnya terdapat Husain al Asyqar, ia dianggap lemah oleh sebagian ulama, akan tetapi Ibnu Hibbân mentsiqahkannya.
Al Haitsami juga meriwayatkannya dari jalur lain dari Abu Barzah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
تزولُ قَدَما عبْدٍ حتَّى يُسْأَلَ عَن أربَع: عَن جسدِه فِيمَ أبلاهُ وَ عَن عُمُرِهِ فِيمَ أفناه و عن ماله مِنْ أين إكْتَسَبَهُ وَ فِيمَ أنْفَقَهُ و عن حُبِّنا أَهْلَ البيتِ.
“Tiada akan beranjak dua kaki seorang sehingga ia ditanyai tentang empat perkara; tentang jasadnya untuk ia pakai, tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang harta dari mana ia perolahnya dan untuk apa ia belanjakan dan tentang kecintaan kepada kami Ahlulbait.”Lalu ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa tanda kecintaan kepada kalian Ahlulbait?’
Maka beliau menunjuk Ali sambil menepuk pundaknya.“
Ia berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam Awsath.
Perhatikan di sini, al Haitsami hanya mencacat hadis dengan jalur pertama yaitu disebabkan Husain al Asyqar. Sementara terhadap hadis dengan jalur kedua ia mendiamkan dan tidak mencacatnya dengan sepatah kata pun.
Dan dalam sumber aslinya disebutkan bahwa Nabi menjawab si penanya dengan sabda beliau, “Tanda kecintaan kepada kami adalah kecintaan kepada orang ini sepeninggalaku.” Sabda ini tidak disebutkan oleh al Haitsami. Adapun pencacatannya atas Husain al Asyqar sangat tidak berdasar. Perawi yang satu initsiqah dan adil seperti telah dibuktikan pada tempatnya.
Ikhtisar kata, hadis ini termasuk dari hadis-hadis terkuat tentang keutamaan Ali dan Ahlulbait as. tidak ada tempat untuk pencacatan!
- Hadis yang mengatakan bahwa manusia tidak akan diizinkan melewati jembatan penyeberangan di Shirâth kelak kecuali setelah terbutki ia meyakiniWilayah Imam Ali as.
A) Hadis riwayat Imam Ali as.
Al Hafidz Abul Khair al Hâkimi ath Thâliqâni berkata, “Dan dengannya al Hâkim berkata…. Dari Ali, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا جمَع اللهُ الأولين و الآخرين يوم القيامة و نصب الصراطَ على جسر جهنمَ ما جازاها أحدٌ حتى كانت معه برآءَةٌ بِولايةِ عليِّ بن أبي طالبِ.
“Jika kelak pada hari kiamat Allah mengumpulkan manusia yang pertama hingga yang terakhir dan Dia menegakkan Shirâth di atas jembatan neraka Jahannam, maka tidak seorang pun melewatinya sehingga ia memiliki surat jalan berupa (keyakinan akan) Wilâyah Ali ibn Abi Thalib.”[9]B) Hadis Anas ibn Malik.
Ibnu al Maghâzili meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Anas ibn Malik, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
إذا كان يوم القيامة و نُصِبَ الصراطُ على شَفِير جهنمَ لَمْ يَجُزْ إلاَّ مَن معه كتابُ بِولايةِ عليِّ بن أبي طالبِ.
“Jika kiamat terjadi dan Shirath dibentangkan di atas bantaran nereka Jahannam, maka tidak ada yang dapat melewatinya kecuali orang memiliki catatan berupa Wilayah kepada Ali ibn Abi Thalib.”[10]Dan selain dua hadis di atas banyak hadis lainnya dari riwayat Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas dan Abu Bakar.
Setelah ini semua adalah sebuah sikap gegabah jika ada yang meragukan kesahaihan tafsir ayat di atas dengan Wilayah Imam Ali ibn Abi Thalib as., apalagi mengatakannya sebagai hadis palsu!!
Wallahu A’lam.
[1] Ash Shawâiq al Muhriqah:149. Cet. Maktabah al Qahirah. Thn.1385 H/1965 M. dengan tahqiq Abdul Wahhâb Abdul Lathîf..
[2] Syawâhid at Tanzîl,2/162 hadis no..789.
[3] Ibid. no790.
[4] Pada
riwayat-riwayat Abu Sa’id dan Ibnu Abbas ra. di atas Anda dapat
saksikan bahwa sesekali mereka menukil tafsir ayat tersebut dari Nabi
saw. dan sesekali mereka memauqufkan (tidak menyandarkannya) kepada Nabi saw.! Untuk bentuk yang kedua (yang mauqûf)
para ulama Ahlusunnah telah membangun sebuah kaidah bahwa ucapan para
sahabat tentang tafsir ayat-ayat Al Qur’an yang tidak ada ruang bagi
ijtihad dan pendapat maka dihukumi marfû’ (diambil dari Nabi
saw.) sebab tidak mungkin para sahabat itu membuat-buat keterangan palsu
tentang masalah yang tidak ada ruang bagi berijtihad. Dan kasus kita
sekarang ini termasuk darinya… pertanyaan di hari kaimat termasuk berita
ghaib, maka pastilah ucapan Abu Sa’id dan Ibnu Abbas dalam masalah ini
bersumber dari Nabi saw. Apalgi telah terbukti bahwa Nabi saw. telah
menafsirkan sendiri makna ayat tersebut seperti mereka berdua sampaikan!
[5] Manâqib:275 hadis no.256.
[6] Mâzân al I’tidâl,5/145 ketika menyebut sejarah hidup Ali ibn Hatim.
[7] Syawâhid at Tanzîl,2/164 hadis no.790.
[8] Hadis ini telah diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir,
Hilyah al Awliyâ’,1/355 dan 9/64, Tarikh Damasqus,1/45 tentang sejarah
hidup Imam Ali as., 3/180, hadis no. 3052, Al Haitsami dalam Majma’ az Zawaid,
9/165, Tarikh Ibnu Katsir,7/348, as Sirah al Halabiyah,3/301, ash
Shaw^aiq al Muhriqah:25, Farâid as Simthain,2/274, Nadzm Durar as
Simthain:231 dan al Fushûl al Muhimmah:23.
[9] Kitâb al Arba’în al Muntaqâ Min Manâqib Ali al Murtadhâ, hadis no 40.
[10] Manâqib Ali ibn Abi Thalib:243.
Post a Comment
mohon gunakan email