Pesan Rahbar

Home » » Ketika Fatwa Sesat Penyebab Syahadah Imam Jawad as

Ketika Fatwa Sesat Penyebab Syahadah Imam Jawad as

Written By Unknown on Monday, 18 August 2014 | 03:42:00


Salah satu faktor yang menyebabkan syahadah Imam Jawad as adalah kemampuan ilmunya. Karena kelebihan yang dimilikinya membuat Mu’tashim, Khalifah waktu itu tampil lemah dan bodoh di hadapan beliau. Terlebih lagi banyak yang diam-diam mengakui kekkhalifahan hak Imam Jawad as, dan bukan milik Mu’tashim. Tidak hanya itu, keilmuan Imam Jawad as dengan sendirinya melemahkan ulama istana Bani Abbasiah. Kelebihan beliau tampak dalam diskusi-diskusi yang dihadiri para ulama yang diselenggarakan pihak istana.

Zarqan yang berteman dekat dengan Ibnu Abi Dawud mengatakan, “Suatu hari Ibnu Abi Dawud kembali dari majelis Mu’tashim dengan wajah kusut. Melihat kondisinya yang demikian, saya bertanya, ‘Apa yang menyebabkan engkau terlihat kusut?”

Ibnu Abi Dawud menjawab, “Hari ini saya berharap telah meninggal 20 tahun yang lalu.”

“Mengapa,’” tanyaku.

“Ini semua karena apa yang dilakukan oleh Abu Jakfar (Imam Jawad as) di majelis Mu’tashim,” jawabnya.

Saya bertanya, “Memangnya apa yang terjadi di sana.”

Ibnu Abi Dawud menjelaskan:
“Ada seorang pencuri yang mengakui perbuatannya. Pencuri itu meminta kepada Khalifah Mu’tashim untuk menerapkan hukumannya. Untuk itu Khalifah memanggil semua ulama dan Muhammad bin Jakfar (Imam Jawad as) juga diundang. Khalifah kemudian bertanya kepada kami dari mana harus dipotong tangan pencuri itu?

Saya menjawab, “Dari pergelangan tangan.”

Khalifah bertanya lagi, “Apa dalilmu?”

“Karena maksud dari tangan dalam ayat Tayammum “Famsahuu Bi Wujuuhikum Wa Aidiikum” hingga ke pergelangan tangan,” ujarku.

Sebagian besar ulama setuju dengan pendapatku. Mereka mengatakan, “Tangan pencuri harus dipotong dari pergelangan tangannya.”

Tapi kelompok yang lain mengatakan, “Tangannya harus dipotong dari siku.”

Ketika Mu’tashim bertanya dalil dari pendapat mereka, dengan sigap mereka menjawab, “Maksud dari tangan dalam ayat Wudhu “Faghsiluu Wujuuhakum Wa Aidiikum Ilal Maraafiq” sampai pada siku.”

Setelah itu Mu’tashim melihat ke arah Muhammad bin Ali as dan bertanya kepadanya, “Apa pendapatmu dalam masalah ini?”

Beliau menjawab, “Mereka telah menyampaikan pendapatnya. Tidak perlulah saya berpendapat.”

Mu’tashim bersikeras dan bersumpah agar beliau menyatakan pendapatnya.

Muhammad bin Ali as berkata, “Karena engkau telah bersumpah, maka saya akan menyampaikan pendapatku. Saya katakan bahwa pendapat mereka semua salah. Karena hanya jari-jari pencuri saja yang harus dipotong.”

Mu’tashim bertanya, “Apa argumentasimu?”

Ia berkata, “Karena Rasulullah Saw bersabda, ‘Sujud harus dilakukan dengan tujuh anggota badan. Oleh karenanya, bila tangan pencuri dari pergelangan atau siku harus dipotong, maka ia tidak punya tangan lagi untuk menunaikan shalat dan bersujud. Allah Swt juga berfirman, ‘Al-Masajid Lillah Falaa Tad’u Ma’allahi Ahadan‘ (Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. QS. 72: 18)”

(IRIB-Indonesia/ABNS)


Ibnu Abi Dawud berkata, “Mu’tashim menerima jawaban yang disampaikan Muhammad bin Ali dan memerintahkan agar jari-jari pencuri dipotong. Menyaksikan itu saya berharap tiba-tiba mati di sana.”

Tiga hari berlalu. Ibnu Abi Dawud menemui Mu’tashim dan berkata, “Sudah merupakan kewajiban bagi saya untuk senantiasa mengharapkan kebaikan Amirul Mukminin (Imam Ali As). Saya ingin berbicara dengan Baginda demi kebaikan, sekalipun saya tahu dengan ucapan ini saya akan dilemparkan ke api neraka.”




Mu’tashim bertanya, “Pembicaraan tentang masalah apa?”

Ibnu Abi Dawud berkata, “Bagaimana mungkin terkait masalah agama yang baru-baru saja terjadi, Amirul Mukminin menolak ucapan seluruh ulama dan menerima pendapat dan hukum seorang pria yang mengaku ia lebih layak menjadi Khalifah dari Amirul Mukminin dan setengah dari masyarakat meyakini Imamahnya?”

Mendengar ucapanku, air muka Mu’tashim langsung berubah. Ia mengerti peringatan yang saya sampaikan kepadanya dan berkata, “Semoga Allah memberikan pahala kebaikan atas niat baikmu ini.”




Setelah pertemuan itu, Mu’tashim memutuskan untuk membunuh Muhammad bin Ali.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: