Pesan Rahbar

Home » , » Mengapa PKS Begitu Membenci Jokowi

Mengapa PKS Begitu Membenci Jokowi

Written By Unknown on Wednesday, 13 August 2014 | 21:38:00


Oleh: Sint Jan
Kita mungkin merasa aneh melihat  kebencian luar biasa yang ditunjukan kader PKS terhadap sosok Jokowi. Bagaimana dengan mudahnya mereka menggadaikan akhlak mulia yang sudah dibangun oleh para perintis Partai Keadilan hingga menjadi Partai Keadilan Sejahtera saat ini. Berbagai fitnah mereka tembakkan kepada Jokowi tanpa menghiraukan logika… Dan pengaruhnya ternyata cukup signifikan, jutaan umat Islam di luar PKS turut memakan fitnahan tersebut sehingga Jokowi dapat dikalahkan di kantung-kantung PKS seperti Jawa Barat dan Sumatera Utara. Apa yang mereka lakukan ini pada dasarnya memang menyumbang suara bagi Prabowo, tapi jelas-jelas menghilangkan simpati dari umat Islam rasional dan kalangan non muslim yang merasa keyakinannya dipojokkan.
Tapi mari mengulas penyebab kebencian PKS terhadap Jokowi… Beginilah awal mulanya…
Pada tahun 2010 yang lampau, PKS sebenarnya telah menjadi salah satu gerbong pendukung Jokowi + Fx. Rudi pada pemilihan walikota Solo. Bahkan Hidayat Nur Wahid aktif menjadi juru kampanye untuk pasangan tersebut. Jokowi-Hadi pun berhasil meraih 90,09 persen suara, mengalahkan pasangan Eddy S Wirabhumi-Supradi Kertamenawi yang diusung Partai Demokrat dan Partai Golkar. Pertanyaanya sekarang, apakah saat itu PKS tidak sadar kalau mereka telah mendukung FX. Rudi yang kristen ? Apakah PKS tidak sadar telah mendukung Jokowi yang antek zionis seperti sering dituduhkan akhir-akhir ini ? Mari kita berbaik sangka saja, mungkin PKS mendukung Jokowi karena sang petahana berhasil memperbaiki kualitas kehidupan warga Solo dalam periode pertama kepemimpinannya. 
Kemudian tibalah event pilgub DKI Jakarta pada tahun 2012. Perlu diingat bahwa ketika pilgub terjadi, posisi PKS masih di atas angin. Mereka belum tersangkut kasus korupsi dan relatif masih dipercaya oleh masyarakat. Salah satu pertaruhannya adalah dengan mengajukan calon sendiri dalam pilgub tersebut, mereka mengajukan pasangan Hidayat Nur Wahid – Didik Rachbini  untuk menghadapi Jokowi-Ahok. PKS sangat percaya diri memenangkan pilgub tersebut mengingat DKI dianggap sebagai basis mereka  dan sempat hampir mengalahkan Foke dalam pilgub sebelumnya. Untuk menghadapi pilgub ini, PKS tidak main-main… Mereka mengajukan HNW, tokoh yang diproyeksikan untuk dicalonkan sebagai Presiden dalam pemilu 2014. Pengajuan ini merupakan pertaruhan besar karena tokoh yang sebelumnya digadang, Bang Sani, terpaksa dikandaskan.
PKS sebenarnya sudah memiliki rencana jangka panjang, dengan HNW sebagai gubernur DKI, maka jalan untuk memenangkan pemilu akan semakin mulus, apalagi dengan sokongan Jabar dan daerah lainnya. Apabila HNW berhasil memenangkan pilgub DKI, ada kemungkinan besar ia akan disokong sebagai Capres dalam pemilu, tanpa mempertimbangkan janji jabatannya.
Sayangnya niat PKS saat itu dihadang oleh Jokowi yang dulu pernah didukungnya.  PKS yang masih percaya diri  memenangkan pilgub saat itu tidak terlalu agresif menyerang Jokowi, mereka masih percaya diri bahwa sosok HNW yang mantan ketua MPR masih lebih bonafide dibandingkan calon-calon lainnya, apalagi Jokowi. Walau demikian mereka cukup memahami bahwa tokoh Jokowi masih memiliki potensi berbahaya, beberapa serangan pun ditembakan. Salah satunya tuduhkan kalau Jokowi tidak amanah karena melanggar janji memimpin Solo.

Tuduhan terhadap Jokowi tampak janggal  karena pada awalnya PKS juga berniat mendukung Jokowi dengan memasangkannya dengan Bang Sani (Triwisaksana),namun Megawati menolak usul tersebut. Jokowi sendiri menolak dipasangkan dengan kader PKS karena adanya “mahar” yang harus dipenuhinya.
Hasil pilgub putaran pertama ternyata kurang menggembirakan. PKS sangat terkejut dengan hasil yang mereka peroleh. Seorang mantan ketua MPR dan tokoh terbaik mereka hanya mendapat sekitar 12 % suara. Jauh dari pasangan Jokowi-Ahok yang mencapai 42%.  Hal ini disebabkan karena warga kota tidak terlalu familiar dengan tokoh HNW. PKS menyadari hal itu sehingga mereka mendorong HNW untuk turun langsung ke lapangan, meniru aksi blusukan Jokowi… Upaya ini tidak berhasil…


Pada putaran kedua, PKS memutuskan untuk mendukung Foke. Menurut kabar yang beredar, hal ini diputuskan setelah permintaan mahar mereka ditolak oleh kubu Jokowi-Ahok. Sejak inilah benih kebencian PKS terhadap Jokowi memuncak, mereka menganggap Jokowi sebagai orang sombong yang tidak menghargai kebesaran PKS. Berbagai serangan membabi buta untuk memuluskan Foke menjadi gubernur pun mulai dilancarkan, salah satunya dengan mengangkat isu SARA.
Kemenangan Jokowi-Ahok dalam pilgub putaran kedua (Foke langsung mengakui kekalahannya setelah melihat hasil Quick Count) semakin memanaskan emosi PKS. Kader-kader tetap dikondisikan untuk merongrong pemerintahan Jokowi-Ahok baik lewat pemerintahan (DPRD) maupun media hingga kepentingan mereka diakomodir. Untungnya Jokowi-Ahok tidak bergeming.

Sejauh ini kita sudah bisa mendapatkan beberapa penyebab kebencian PKS terhadap Jokowi, yaitu :
1. Jokowi menghalangi niat PKS untuk menguasai Jakarta dan Indonesia
2. Jokowi tidak menanggapi permintaan mahar dari PKS
Menjelang Pilpres 2014  terjadi peristiwa penting yaitu ditangkapnya LHI oleh KPK terkait kasus korupsi daging. Peristiwa ini sangat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap PKS sehingga partai itu seringkali diidentikan dengan “sapi”. Berbeda dengan sikap partai-partai lainnya yang seringkali tidak melawan tindakan KPK, PKS secara lantang menuduh terjadinya konspirasi di balik tindakan tersebut. Hingga saat ini, tokoh PKS seperti Fahri Hamzah terus menyuarakan pelemahan atau pembubaran KPK yang dianggapnya telah mencoreng nama baik PKS. Fahri mungkin lupa kalau lebih banyak masyarakat yang bersimpati terhadap KPK daripada PKS. Akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap PKS semakin melemah. Simpatisan non kader yang tadinya mempercayai kebersihan PKS mulai merasa ragu dan mencari tokoh lain yang dianggap bersih.
Pemilu 2014 menjadi hakim bagi PKS. Partai ini hanya mendapatkan 8.480.204 suara atau 6,79%  secara nasional.  Jumlah ini tentunya sangat kecil dilihat dari kiprah PKS yang telah berdiri sejak 1998 atau dibandingkan misalnya Partai Nasdem yang baru berdiri dan sanggup meraih 8.402.812 suara. Perolehan suara PKS bisa jadi merupakan suara kader murni. Pimpinan PKS lagi-lagi terkejut atas hasil ini karena target mereka adalah meraih 3 besar. Mereka pun menyalahkan KPK yang dianggapnya telah merusak nama baik PKS dan menghilangkan suara simpatisan. Mereka tidak sadar kalau penyebab kekalahan tersebut lebih banyak berasal dari masalah internalnya. Berikut adalah beberapa penyebab kekalahan tersebut “
1. Aksi-aksi tidak simpatik tokoh PKS seperti Fahri Hamzah yang kerap menyuarakan pembubaran KPK menghilangkan suara masyarakat yang menaruh kepercayaan pada KPK. Mereka lupa bahwa masyarakat lebih menyoroti keburukan tokoh politik daripada kebaikannya. Segala prestasi dan kredibilitas yang dibangun oleh kader-kader terbaik PKS tertutupi oleh aksi-aksi seorang Fahri Hamzah. Kejadian ini terulang kembali ketika pilpres.
2. PKS tidak memiliki tokoh yang bisa dijual kepada masyarakat. Pasca ditahannya LHI, otomatis PKS tidak memiliki banyak pilihan untuk bisa diajukan sebagai Presiden. Sebenarnya setelah kekalahan HNW dalam pilgub, PKS lebih realistis dengan hanya mengajukan cawapres. Mereka pun mengajukan tiga tokoh capres dalam PEMIRA yaitu Aher, HNW dan Anis Matta. Ketiga tokoh tersebut memiliki kekuarangan masing-masing. Aher belum dikenal secara nasional, HNW terbukti kalah dalam pilgub (apalagi pilpres), sedangkan Anis Matta tidak memiliki keunggulan apa-apa dibandingkan capres lainnya.
Realistis atas keadaan tersebut, para capres hasil pemira melakukan manuvernya masing-masing dengan mendekati capres-capres yang populer. HNW dan Anis Matta tidak terlalu dilirik karena dianggap tidak bonafide. Satu-satunya yang berpeluang adalah Aher, namun melihat perolehan partainya yang kecil ia menurunkan targetnya menjadi cawapres. Aher pun mendekati baik Jokowi maupun Prabowo.

Upaya Aher untuk mendekati Jokowi ternyata terhalang oleh kondisi eksternal dan internal. Jokowi maupun kalangan di sekitarnya menolak Aher karena tokoh no.1 di Jawa Barat tersebut berpotensi terkait korupsi, selain itu permintaan mahar dan menteri tentunya tidak akan diakomodir Jokowi. Di kalangan internal PKS sendiri, Fahri Hamzah dan kawan-kawan sudah kadung menghina Jokowi sehingga keputusan merapat dengan Jokowi akan merusak kepercayaan kader terhadap pimpinan partai. Keputusan partai akhirnya mengalihkan dukungan secara total kepada Prabowo.
Prabowo sangat tertolong berkat masuknya PKS dalam barisan mereka. Tapi tentunya tidak ada yang gratis, PKS memilik mesin yang cukup baik untuk menggerakan massa dan melakukan propaganda, Prabowo mau tidak mau harus mensuplai “bahan bakar” untuk mesin tersebut. Prabowo pada awalnya ingin dipasangkan dengan Aher karena menurutnya suara warga Jabar akan sangat menolong kemenangannya. Tapi sayangnya di detik akhir Hatta Rajasa masuk dengan membawa “mahar” yang lebih besar daripada hanya sekadar janji “suara warga Jabar”. PKS sempat kecewa atas keputusan Prabowo tapi mereka tidak punya pilihan lain kecuali all out mendukung Prabowo.. Toh mereka sudah menerima “bahan bakar” untuk menjalankan mesinnya.
Pasukan PKS ternyata terbilang sangat militan dibandingkan pendukung Prabowo sendiri. Hal ini bisa dipahami karena pimpinan PKS mendoktrin para kadernya untuk memandang pilpres sebagai pertarungan hitam – putih. Prabowo di satu sisi merupakan harapan umat Islam melawan Jokowi yang mewakili “asing, non muslim, dan freemasonry”. Mereka lupa kalau Prabowo didukung oleh organ Kristen yang dipimpin adiknya, mereka lupa kalau keluarga Prabowo adalah non muslim, mereka juga lupa kalau Prabowo bukanlah seorang muslim yang taat. Pokoknya Sami’a watha’na,  perintah pemimpin partai adalah sabda yang harus dipenuhi.  Fitnah pun mengalir dengan derasnya karena para Kader tidak mampu menemukan kesalahan nyata pada Jokowi. Fitnah paling kejam adalah dengan menuduh keluarga Jokowi kafir. Beberapa kali situs propaganda PKS (pkspiyungan) menyuarakan hal ini, yang kemudian disebarkan secara membabi buta oleh para kadernya. Uniknya, seringkali fitnah-fitnah ini tidak konsisten. Satu saat mereka menuduh Jokowi sebagai antek Amerika, di lain waktu Jokowi sebagai antek komunis. Seorang berpikiran sehat tentunya merasa bingung bagaimana seorang antek Kapitalis bisa menjadi antek komunis di waktu yang sama. Tapi begitulah fitnah… Fitnah tidak perlu sejalan dengan logika, fitnah ditujukan untuk meraih simpati 0rang-0rang yang tidak berpikir…
Para pimpinan PKS diam saja menangggapi penyebaran fitnah oleh kader-kadernya. Mereka tidak peduli kalau tindakan ini justru merugikan Prabowo yang sebelumnya memiliki nama baik dan cenderung tidak suka menyerang secara membabi buta. Apabila kita perhatikan, isu yang diangkat Gerindra untuk menyerang Jokowi biasaya berkutat soal pelanggaran amanah, pelanggaran perjanjian batu tulis, dan antek Megawati. PKS di lain pihak mengangkat isu yang lebih liar seperti Jokowi kafir, ibadahnya palsu, menteri agama Syiah, dan lain-lain. Berbagai upaya penipuan lewat media maya pun dilakukan, foto-foto artis dan Jokowi dipalsukan dengan photoshop. Kemampuan ini hanya dilakukan oleh kader PKS karena Gerindra tidak memiliki kemampuan soal itu. Untungnya segala kepalsuan tersebut dengan mudahnya dipatahkan oleh simpatisan Jokowi yang katanya “bodoh-bodoh” itu.
Upaya PKS ini terbukti merusak perolehan suara Prabowo karena kalangan pemilih rasional, minoritas, non muslim, dan santri yang merasa dihina Fahri Hamzah mengalihkan dukungan kepada Jokowi.  Pemilih jenis ini berjumlah puluhan juta, tidak sebanding dengan 8 juta suara yang disumbangkan PKS kepada Prabowo.


Selain menyebar fitnah, PKS juga berusaha terus meraih kepercayaan Prabowo untuk mempertahankan posisi tawarnya. PKS memberikan hasil-hasil survey yang menggembirakan Prabowo walaupun pada kenyataannya survey tersebut fiktif. Secara tidak langsung, PKS telah menjerumuskan Prabowo dalam suatu kenyataan palsu. Ujung-ujungnya ketika mereka memberika hasil real count abal-abal kepada Prabowo yang dijadikan dasar bagi Prabowo untuk mengundurkan diri dari rekapitulasi. Prabowo menuduh terjadinya kecurangan secara sistematis padahal seluruh saksi yang katanya berasal dari PKS sudah menandatangani berita acara di tingkat TPS.
Aksi PKS telah merusak nama baik Prabowo
Kemenangan Jokowi tentunya merupakan mimpi buruk bagi kader PKS. Mereka yang telah berjibaku secara ikhlas (berbeda dengan pendukung Prabowo lainnya yang dimobilisasi) merasa dikalahkan oleh orang “kafir”. Kenyataan ini mengganggu keimanan mereka karena selama ini mereka percaya Tuhan selalu berada di pihaknya. Akibatnya hingga sekarang masih banyak kita temukan kader PKS yang menyuarakan sumpah serapah terhadap Jokowi. Mereka lupa kalau PKS merupakan bagian dari sistem demokrasi dan harus menerima segala keputusan yang dihasilkan sistem itu.
Di tingkat elite, kemenangan Jokowi akan menyulitkan pembiayaan mesin partai. Tanpa menteri di pemerintahan, kas PKS akan berkurang. Mereka tidak bisa selamanya bergantung kepada kepala daerah karena KPK selalu mengawasi. Akhirnya salah satu cara yang akan dijalankan adalah menyandera pemerintahan Jokowi lewat satu-satunya jalur yang masih mereka miliki : legislatif. Menurut prediksi saya, PKS akan terus merongrong pemerintahan Jokowi hingga kepentingan mereka diakomodir. Selama itu pula mereka akan mendekati Prabowo yang bisa menjadi ATM sementara buat mereka…
Semoga tulisan ini bisa memberikan sedikit pencerahan terhadap situasi yang terjadi. Semoga kader PKS semakin sadar kalau mereka hanya menjadi alat bagi manuver politik para elitenya… Semoga PKS bisa kembali menjadi Partai Islam ideal yang menjadi teladan bagi partai lainnya…
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: