Pesan Rahbar

Home » » Pandangan Agama terhadap Kesucian dan Hijab

Pandangan Agama terhadap Kesucian dan Hijab

Written By Unknown on Friday 8 August 2014 | 11:30:00




Kesucian dan hijab merupakan dua nilai luhur yang selalu berdampingan di tengah masyarakat. Sejatinya, hijab adalah perkara zahir, sementara kesucian adalah kondisi batin yang memiliki berbagai dimensi. Sebagian kalangan memandang kesucian jauh melebihi hijab. Karena mereka berkeyakinan, salah satu faktor penyebab munculnya krisis moral dan sosial, karena telah diabaikannya masalah hijab dan kesucian di tengah masyarakat. Filsosof Perancis abad 18, Montesquieu menuturkan, "Dalam gerakan demokrasi, hilangnya kesucian merupakan kesialan dan kerusakan terbesar yang bisa meruntuhkan pondasi pemerintahan".

Menjaga kesucian dan kehormatan memiliki posisi yang penting dalam ajaran agama, dan tergolong sebagai keutamaan akhlak. Betapa banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis nabi yang menegaskan pentingnya masalah kesucian. Sebab tanpa itu, manusia bisa keluar dari alur keseimbangan. Kesucian merupakan salah satu faktor yang efektif untuk mengendalikan syahwat dan hawa nafsu. Terkait hal ini, ustad syahid Mutahhari, menyatakan: "Kesucian dan kehormatan, merupakan kondisi jiwa. Saat daya syahwat tak lagi berkutik lantaran dikendalikan sepenuhnya oleh akal dan iman.

Kesucian merupakan suatu kondisi jiwa yang bisa mencegah manusia dari dosa dan maksiat. Kondisi jiwa semacam ini tidak hanya teruntuk bagi kaum perempuan semata, tapi juga bagi seluruh manusia. Kesucian merupakan akhlak yang utama baik bagi perempuan maupun lelaki. Imam Ali as berkata: "Kesucian adalah sifat yang terbaik dan sumber kebaikan. Derajad orang yang suci seperti halnya derajad dan posisi orang yang syahid di jalan Allah".

Kitab suci Al-Quran menyifatkan nilai kesucian ini, bukan hanya untuk kaum perempuan semata, tapi juga bagi kaum laki-laki. Suatu ketika, nabi Yusuf as dihadapkan dengan gejolak hawa nafsu seorang wanita. Namun dengan bantuan ilahi dan kesucian jiwa, nabi Yusuf pun akhirnya mampu menundukkan hasrat sang wanita, sehingga nabi beliaupun berhasil mencapai derajad yang sempurna.

Begitu juga dengan bunda Mariam. Beliau adalah salah seorang perempuan paling utama karena berhasil menjaga kesucian dirinya. Beliau adalah perempuan yang berhasil menunjukkan bahwa perempuan suci adalah perempuan yang selalu menjaga diri kesucian dirinya di mana pun berada.]

Kesucian tidak hanya terbatas dengan memakai hijab dan pakaian yang tertutup, tapi juga menjelma dalam pikiran, panglihatan, perhiasan, ucapan, dan tindakan. Islam selalu berpesan untuk menjaga penglihatan kita. Imam Ali as, "Mata adalah pemandu hati". Allah swt dalam firmannya dalam surat An-Nur ayat 30 dan 31 terkait masalah hijab, berpesan kepada lelaki dan perempuan agar menjauhkan matanya melihat hal-hal yang diharamkan. Imam Shadiq as berkata: "Pandangan yang haram laksana anak panah beracun dari setan. Barang siapa yang bisa menghindar darinya karena Allah, maka Allah akan memeberinya iman yang bisa dirasakan nikmatnya".

Perempuan dalam masyarakat yang terbiasa dengan budaya syahwat, hanya dipandang sebagai komoditas semata yang harus dipamerkan untuk publik. Dalam situasi masyarakat semacam itu, setiap perempuan saling bersaing untuk menarik perhatian laki-laki. Mereka rela membayar berapapun harganya hanya untuk menghias dan menampilkan dirinya secantik mungkin. Bahkan mereka sudi untuk melakukan operasi kecantikan demi menarik perhatian lelaki. Terkait hal ini, penulis asal AS, Helen Baker, menyatakan: "Dalam masyarakat AS, kosmetika merupakan keperluan primer bagi perempuan yang lebih tua dan memiliki penampilan yang kurang menarik. Mereka mesti bersaing dengan perempuan yang lebih muda dan lebib mempesona. Jika tak mampu membayar biaya kecantikan, mereka pun terpaksa harus bergabung dengan peremupuan tak laku yang tak lagi berhasrat meneruskan hidupnya."

Salah satu dimensi lain kesucian adalah suci dalam berhias diri. Kecendrungan manusia kepada keindahan, adalah salah satu naluri fitri manusia. Islam sebagai ajaran untuk mencapai kebahagiaan, senantiasa memberi perhatian khusus terhadap masalah kebersihan dan keindahan. Imam Shadiq as berkata: "Ketika Tuhan memberikan nikmat pada hambanya, Dia suka melihat pengaruhnya, karena Tuhan itu indah dan mencintai keindahan".

Memakai pakaian yang indah dan berpenampilan yang menarik saat bersosial di lingkungan keluarga dan masyarakat, merupakan salah satu etika Islam. Namun, berhias diri semacam apa yang diperbolehkan oleh Islam, merupakan perkara yang amat penting. Dalam pandangan Islam, kaum perempuan dianjurkan untuk berhias diri di hadapan suaminya, dan memadukannya dengan kasih sayang di lingkungan keluarga. Namun mereka dilarang untuk memamerkan kecantikannya di lingkungan umum dan kepada mereka yang bukan muhrimnya. Pasalnya, selain bisa menyebabkan lelaki lain menjadi tergoda, memamerkan kecantikan perempuan secara bebas, bisa menciptakan krisis moral di tengah masyarakat.

Suci dalam ucapan dan tindakan adalah dimensi lain kesucian. Al-Quranul-Karim, mengajarkan kepada kita cara berbicara yang santun. Ucapan yang suci adalah penuturan yang santun dan suci dari segi cara tuturnya. Nada berbicara harus sedemikian rupa dilantunkan secara etis. Tentu saja, perempuan yang berbicara dengan nada menggoda, bisa manarik naluri lelaki. Karena itu, kaum perempuan harus lebih memperhatikan cara bicaranya dengan yang lain. Allah swt dalam surat Al-Ahzab, ayat 32 berfirman: "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik!".

Kendati ayat tersebut berbicara kepada istri-istri nabi, namun sejatinya hal itu berlaku pula bagi setiap perempuan. Sebaikanya, jika kaum perempuan berbicara, hindarilah penggunaan nada berbicara yang menggoda. Ucapan buruk dan tak sopan, muncul karena diabaikannya etika berbicara. Menyangkut hal ini, Rasulullah saw bersabda: "Tuhan mengharamkan surga bagi manusia yang berlidah buruk yang tak peduli dengan apa yang dikata dan apa yang didengar."

Akal adalah anugrah ilahi yang paling berharga bagi umat manusia. Karena itu, pikiran dan akal kita harus suci pula. Biasanya, manusia berpikir dahulu sebelum bertindak. Karena itu, kesucian batin dan suci dalam berpikir, akan melahirkan tindakan yang suci pula. Sebaliknya pikiran yang kotor akan membuahkan tindakan dan ucapan yang kotor pula. Imam Ali as berkata: "Barang siapa yang berakal, tentu akan menjaga kesucian dirinya". Menjaga pikiran agar tetap suci akan menjauhkan kita dari godaan setan, dan membuat jiwa kita menjadi suci pula.

Secara umum, tak adanya ruang pemisah antara lelaki dan perempuan, bisa menyulut terjadinya pergaulan bebas dan krisis moral. Menurut laporan yang diterbitkan beberapa waktu lalu oleh Institut Nasional untuk Keadilan (NIJ) AS dan Biro Statistik Keadilan (BJS) AS mengenai aksi kekerasan seksual terhadap perempuan, disebutkan, "Setiap seribu mahasiswi di universitas AS, tiap semester terjadi 35 kasus kekerasan seksual terhadap mereka."

Menjaga dan memperhatikan masalah kesucian di lingkungan masyarakat, termasuk di lingkungan belajar dan kerja, merupakan potensi untuk menciptakan kesehatan psikologis, masyarakat yang suci, dan kemajuan kaum perempuan dan lelaki.

Salah satu tanda utama kesucian adalah hijab. Rasa malu, kesucian, dan hijab adalah tiga ihwal yang saling berkaitan erat. Hijab dibangun di atas landasan kesucian, sementara kesucian bersandarkan malu. Sejatinya, rasa malu merupakan pencerminan dari kecendrungan fitrah manusia untuk mengenakan pakaian. Dalam diri manusia, terdapat daya penahan dan pemandu yang disebut malu. Daya ini bisa mencegah manusia dari pelbagai perbuatan yang tidak etis. Terkait hal ini, Al-Quran dalam surat Al-A'raf, ayat 22, mengangkat masalah malu lewat kisah nabi Adam dan Hawa, dan berkata: "Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah terlarang) dengan tipu daya. Tatkala keduanya, telah merasai buah kayu itu, nampakalah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga".

Secara naluriah, manusia tertarik dengan penampilan luar. Kecendrungan ini lebih kuat di kalangan perempuan. Karenanya, kesucian perempuan dalam berbusana, sejatinya merupakan perangkat pengendali hawa nafsu dan mencegah terjadinya sikap pamer diri. Di mata ahli fiqih, hijab adalah sebentuk pakaian yang dikenakan perempuan untuk menutupi tubuhnya dari pandangan lelaki non-muhrim. Allash swt dalam surat Nur ayat 31 berfirman: "Katakanlah pada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali pada suami mereka atau ayah mereka".

Busana hijab yang islami adalah busana yang bisa menutupi tubuh manusia dan terhindar dari kesan memamerkan keindahan tubuh. Jika seorang perempuan mengenakan busana hijabnya secara sempuran, sejatinya ia telah memperhatikan masalah kesucian dalam berpakaian. Hijab juga bisa meminimalisir aksi pelecehan terhadap perempuan. Dalam hadis-hadis Nabi, perempuan diibaratkan laksana wewangi harum ataupun setangkai bunga yang lembut. Karena itu, kelembutan dan kesuciannanya harus selalu terjaga. Mengenai hal ini, Allah swt dalam surat Al-Ahzab, ayat 59 berfirman: "Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya, ke suluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu".

Para ilmuan berpendapat, filosofi diperintahkannya hijab bagi kaum perempuan adalah untuk menyucikan masyarakat, memperkuat keluarga, menjaga harga diri dan posisi perempuan. Ayatollah syahid Motahhari menuturkan: "Filosofi busana muslimah bermula dari masalah yang universal dan mendasar. Islam ingin membatasi segala bentuk kelezatan seksual, baik secara visual, sentuhan maupun bentuk lainnya, hanya terbatas di lingkungan keluarga, dan dalam ikatan pernikahan resmi. Kaum perempuan diperbolehkan berkumpul dengan lelaki non-muhrim, hanya ketika bekerja dan beraktifitas sosial". Dengan demikian, hijab merupakan salah satu faktor yang bisa menciptakan masyarakat yang sehat, dan terjaga dari dekadensi moral. Sehingga manusia bisa memahami nilai-nilai luhur yang sejati dan sempurna.

Saat ini, hijab telah melampaui batas-batas budaya Timur dan Barat. Ketertarikan kaum perempuan untuk mengenakan busana hijab semakin meningkat di berbagai negara. Penulis Barat, Helen Watson, mengkaji beragam pandangan perempuan berhijab di berbagai negara dalam menyikapi fenomena baru kesadaran kaum perempuan untuk berhijab. Dalam tulisannya itu Helen mewawancarai, seorang muslimah Inggris bernama Nadia yang saat ini menjadi mahasiswi jurusan kedokteran. Sejak berumur 16 tahun, Nadia mengenakan busana muslimah. Ketika diminta komentarnya mengenai hijab, Nadia menyatakan: "Kebebasan sejati adalah saat seseorang bisa leluasa melakukan aktifitas sosialnya tanpa harus memerkan kecantikan dirinya. Menurut saya, nilai manusia iotu terletak pada pemikirannya, bukan pada pakaian lahirnya. Saya harus katakan juga, bahwa pilihan mengenakan hijab adalah keputusan pribadi saya. Bagi saya berbusana hijab, adalah simbol kesetiaan dan janji kita, sebagaimana jika kita memakai cincin pernikahan."

Sementara itu, menurut Maryam, muslimah lainnya asal Aljazair, yang telah bermukim di Perancis selama 10 tahun, dan bekerja sebagai buruh pabrik, hijab telah memberikan kebebasan yang lebih padanya di lingkungan kerja. Maryam menuturkan: "Saya adalah perempuan yang berpegang teguh pada malu dan kesucian. Mengenakan hijab, justru membuat kesulitan di tempat kerja saya menjadi lebih mudah. Pada dasarnya, hijab bukanlah ancaman bagi saya.

Helen Watson di akhir kajiannya menyimpulkan, bahwa hijab bagi Nadia dan perempuan sepertinya, merupakan simbol nyata dari iman dan akidah serta sumber kebanggaan bagi mereka. Helen dalam telaahnya itu, tak juga menemukan pandangan perempuan muslimah yang menganggap hijab sebagai masalah yang bisa merendahkan martabat kaum perempuan. Menurutnya, hijab merupakan penegasan nyata untuk menjaga nilai-nilai spritual, dan pentingnya menghidupkan kembali sistem moral. Akhirnya, Helen Watson berkesimpulan, hijab bagi mereka yang terampas hak-hak sosialnya, dan masyarakatnya mengalami krisis sosial, bisa dijadikan sebagai alat protes terhadap konsumerisme dan westernisasi.

Para ilmuan berkeyakinan, diabaikannya masalah hijab bisa menyebabkan martabat kewanitaan kaum perempuan dipertanyakan. Suatu masyarakat yang terbiasa menggunakan perempuan sebagai komoditas ekonomi, niscaya bakal mengalami krisis identitas, kebejatan moral dan berbagai masalah sosial lainnya. Gholam Ali Haddad-Adel, Ketua Parlemen Republik Islam Iran, dalam bukunya, Budaya Telanjang dan Ketelanjangan Budaya, menulis: "Mengenakan hijab secara tidak sempurna, bisa merendahkan martabat perempuan, hingga bisa menghinakkanya menjadi semacam barang dagang. Perempuan yang memamerkan tubuhnya di muka umum, sejatinya tidak lagi memperhatikan identitas kemanusiaan yang disangdangnya. Perempuan semacam itu, pada dasarnya telah menjadi tawanan bagi dirinya sendiri. Ia seperti pemilik toko yang selalu sibuk memikirkan untuk mengubah dekorasi dan etalase tokonya.

Sesungguhnya, mengabaikan hijab, justru bisa merendahkan kedudukan kaum perempuan. Beberapa waktu lalu, salah satu jalan protokol di kota Victoria, Australia, dipasang sebuah papan iklan yang menggambarkan perempuan sebagai alat pemuas seksual. Iklan tersebut sepertinya hendak mengajarkan kepada generasi muda bahwa perempuan bisa dilecehkan. Lembaga Anti-Perdagangan Perempuan Asia Pasifik dalam laporannya menyatakan: "Kini kita hidup dalam dunia bebas yang penuh dengan kebejatan moral. Dalam beberapa dekade terakhir ini kita kian dipenuhi dengan produksi komoditas seksual dan pemanfaatan perempuan sebagai alat bisnis. Selain itu, saat ini kita banyak menjumpai berbagai bentuk kebejatan moral yang bisa merendahkan martabat kaum perempuan. Tenu saja masalah ini memerlukan kajian dan telaah yang mendalam."

Institusi keluarga adalah ikatan pernikahan yang paling suci. Untuk mempertahankan institusi sosial yang paling mendasar ini, hijab dan kesucian merupakan faktor penting yang amat berpengaruh dalam mempertahankan keberadaan institusi keluarga. Para ilmuan sosial meyakini, sikap memegang teguh akidah dan hukum agama, temasuk masalah hijab, bisa meminimalisir terjadinya krisis sosial. Psikolog asal AS, Paul Vitz dalam bukunya Agama, Pemerintah, dan Krisis Keluarga menulis: "Akar persoalan dan masalah yang menjerat Barat sejatinya kembali pada pernyataan Nietzsche yang berkelakar bahwa Tuhan telah mati. Sehingga kita bisa berbuat apa saja". Paul Vitz berpendapat: "Agama memiliki kaitan erat dengan kelestarian keluarga. Selama sekularisme, individualisme, konsumerisme, dan dekadensi moral masih menguasai peradaban Barat, maka proses keruntuhan institusi keluarga dan moral akan terus berlanjut".

Sebagai penutup acara ini, laporan penelitian Agama, Sekularisme dan Hijab dalam kehidupan sehari-hari di Turki menunjukkan bahwa selama empat tahun belakangan, jumlah kaum perempuan berhijab di Turki meningkat lima persen, dari 64,2 persen menjadi 69,4 persen.

(IRIB-Indonesia/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: