Pesan Rahbar

Home » » Musyawarah Ulama dan Umat Islam Indonesia Ke-2, Pernyataan FUUI Yang Menyatakan ‘Syi’ah Sesat’ Karena Ikut-ikutan Wahabi Pro AS/Israel, Bukan Berdasarkan Ilmu dan Pengetahuan

Musyawarah Ulama dan Umat Islam Indonesia Ke-2, Pernyataan FUUI Yang Menyatakan ‘Syi’ah Sesat’ Karena Ikut-ikutan Wahabi Pro AS/Israel, Bukan Berdasarkan Ilmu dan Pengetahuan

Written By Unknown on Wednesday 3 September 2014 | 22:37:00


- Di hampir semua negara-negara Sunni, terdapat enclave (kantong) Shiah. Mereka tidak menjadi ancaman terhadap kekuasaan Sunni di manapun. Gerakan mereka sangat politis. Mereka akan menyusup dalam jaringan kekuasaan.MUSYAWARAH ‘ULAMA DAN UMMAT ISLAM INDONESIA KE-2 dan pernyataan FUUI yang menyatakan ‘Syi’ah SESAT’ karena ikut-ikutan Wahabi pro AS/israel, bukan berdasarkan ilmu dan pengetahuan. Orang awam yang memakai jubah ulama susah dihadapi.


Berita Bandung:
Tak kurang dari 200 ulama dari berbagai wilayah di Indonesia hadir dalam Musyawarah Ulama dan Umat Islam di Masjid al-Fajr (21/4/2012) Kota Bandung. Acara ini digelar oleh Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) untuk “Merumuskan Langkah Strategis Untuk Menyikapi Penyesatan dan Penghinaan Para Penganut Syi’ah”. Kegiatan ini dibuka oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, dan dihadiri oleh Wali Kota Bandung, Dada Rosada.
Ulama-ulama yang hadir tersebut datang dari berbagai pesantren dan ormas Islam yang ada di Indonesia seperti Persis, Muhamadiyah, NU, Hidayatullah, Al Irsyad, DDII, PUI, termasuk MUI Pusat.Melalui musyawarah ulama, diharapkan dapat mengingatkan umat Islam, khususnya di Jawa Barat dan sekitarnya untuk membentengi aqidah yang menyimpang.

Dalam sambutannya Ahmad Heryawan menyambut baik acara tersebut. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa salah satu tugas ulama adalah menjaga aqidah umat.“Fatwa ulama sudah jelas tentang posisi Syi’ah ini dalam keyakinan Ahlu Sunnah wal Jamaah,maka sikap kita juga harus jelas juga,”katanya
FUUI keluarkan Fatwa Sesatnya Syi’ah karena perintah Wahabi yang memusuhi NU. Yang hadir dalam acara tersebut dan memusuhi syi’ah tidak lebih dari orang orang awam yang tidak tau apa apa tentang agama.

Kehadiran kelompok Islam Sunni dan Syiah di Indonesia sudah sejak lama sebelum kemerdekaan Indonesia. Bahkan harmonisasi kedua kelompok ini juga sudah terjalin sejak lama.
Demikian dikatakan Pakar Syiah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zulkifli dalam sebuah seminar di Jakarta, Rabu (25/1).

Menurutnya, tokoh-tokoh awal Syiah di Indonesia sangat menoleransi paham fiqih Syafiiyah dengan tetap menjalankan fiqh bersama. Walaupun di dalam jiwa dan keyakinan mereka adalah Ahlul Bait atau Syiah.
“Kebanyakan mereka dimasa lalu yang meyakini Syiah di Indonesia sangat mentoleransi faham Sunni dan begitu pula sebaliknya,” ujarnya yang juga Dosen Sosiologi UIN Jakarta tersebut.

Contoh dari toleransi yang telah lama terbangun ini seperti budaya Tabot di Sumatra Barat dan Jambi. Budaya ini menurut Zulkifli, merupakan bagian dari toleransi Syiah-Sunni.
Hal itu juga disampaikan Pakar Syiah UIN, Dosen Paska Sarjana UIN, Dr. Fuad Jabali. Menurutnya, toleransi Sunni-Syiah hadir ketika keduanya begabung dalam ruang kultural dan intelektual.

Budaya Tabot itu adalah ruang toleransi Sunni-Syiah dalam kultural. Dan toleransi dalam intelektual adalah hadirnya pemikiran-pemikiran perjuangan Islam seperti Ali Syariati, Murtada Muthahari, dan lainnya. Dan pemikiran inilah yang menjadi semangat perjuangan Islam melawan kekuatan imperialisme, seperti Amerika dan Barat.

“Kerancuan dan hilangnya toleransi keduannya ketika masuk dalam ranah politik, dan adanya keinginan pengaruh luar dari Arab Saudi yang Sunni-Wahabi dan Amerika yang memang tidak senang dengan kebangkitan Islam, ” ujar Fuad.

Karenanya Syiah di Indonesia tidak perlu meminta legalitas dari pemerintah. “Biarkanlah itu berjalan. Jangan seperti Ahmadiyah. Walaupun paham Syiah sangat berbeda dengan Ahmadiyah yang merusak masalah-masalah fundamental dalam Islam,”pungkasnya.

Dosen Sosiologi Peneliti Syiah di Indonesia dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Dr. Zulkifli mengatakan sulit memberikan fatwa haram Syiah di Indonesia. “Paham Syiah tidak bisa dibuat fatwa haram karena tidak menyentuh sisi fundamental keislaman di indonesia,” ujarnya kepada Republika,  dalam seminar ‘Membincang Syiah di Indonesia’.

Karenanya ia meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat harus berhati-hati dalam memutuskan fatwa syiah. Karena kecenderungan paham syiah terus dipolitisasi untuk memenangkan dominasi sunni.

Umar Shahab, Ketua Dewan Syura organisasi Syiah, Ahlul Bait Indonesia (ABI), kepada pers menjelaskan bahwa hadits-hadits tentang ketidakaslian Al-Quran yang terdapat pada kitab-kitab induk ajaran Syiah, dinilai lemah (dhaif), bahkan palsu (maudhu’). Umar mengakui, kitab Ushul Al-Kaafi adalah kitab hadits paling besar yang menjadi rujukan Syiah. Tapi, katanya, tidak semua hadits di kitab itu shahih.

“Banyak juga yang dhaif, bahkan maudhu’”, kata Umar yang pernah belajar lima tahun di Qom, Iran ini.Ribuan hadits palsu dalam Al-Kaafi, katanya, yang bercerita tentang tahrif (perubahan) Al-Quran, tentang caci maki para sahabat dan istri-istri Nabi Saw dan tentang cerita-cerita yang tidak rasional mengenai kedudukan para Imam Syiah.

Pertarungan paham hubungan Sunni-Syiah hanyalah warisan sejarah Sunni akan kebencian Syiah di Timur Tengah, dan begitupula sebaliknya bagi Syiah.

Hal itu disampaikan Dosen Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, Dr. Fuad Jabali bahwa paham Islam Sunni-Syiah di Indonesia bagian dari pendidikan sejarah.

“Masa lalu dan bagian sejarah itu harus dinegosiasikan jangan ditelan mentah-mentah, dan mengakui bahwa itulah bagian keberagaman Islam di Indonesia,” ujarnya. Karena kebencian Sunni-Syiah adalah bagian sejarah dari Muawiyah dan kelompok Ali, dan itu terus diturun temurunkan ke dakwah Islam termasuk di Indonesia.

“Apa yang terjadi pada Islam di Timur Tengah maka akan terjadi pula di umat Islam Indonesia,” jelasnya. Sehingga kebencian Islam Sunni Indonesia telah lama teridiologisasi dan terstigma terhadap Syiah, dengan membentuk istilah kesesatan bagi paham Syiah.

KH Achmad Zein Alkaf, pengamat Syiah dari Yayasan Albayyinat, Surabaya. Menurutnya keabsahan kitab Al-Kaafi diakui oleh para ulama Syiah.”Ulama Syiah penulis dialog palsu Dialog Sunni-Syiah, Syarafuddin al-Musawi mengatakan, 16 ribuan hadits di Al-Kaafi riwayatnya mutawatir, kebenaran akan isinya adalah pasti,” kata Habib Achmad.Habib Achmad balik bertanya, kita lebih percaya para ulama Syiah atau orang Syiah Indonesia yang baru belajar Syiah 4 – 5 tahun di Iran? Dia menjelaskan, hadits-hadits atau keyakinan tentang tahrif Al-Quran ditulis oleh ulama-ulama utama Syiah seperti al-Kulaini (Ushul Kaafi), Al-Qummi (Tafsir Qummi), Ni’matullah Jaza’iry (Anwar an-Nu’maniyah), Baqir al Majlisi, dan lainnya.Habib Achmad mengatakan, jika Syiah mengatakan beriman terhadap kesempurnaan Al-Quran, apa pendapat mereka terhadap para mujtahid Syiah yang mengakui ada perubahan dalam Al-Quran. “Apakah mereka para ulama utama Syiah dianggap kafir oleh Syiah di sini?” pungkasnya.

jawaban kami : “Apakah kelakuan segelintir  ulama  lantas dibebankan ke mazhab syi’ah ?
Ya, tidak bisa demikian, tidak semua ulama syi’ah melaknat apalagi mencela SAHABAT, apa guna melaknat orang mati..

Bani Umayyah menegakkan kekuasaan dengan mengalirkan darah orang yang tidak bersalah, menumpuk kekayaan dengan merampas hak orang-orang kecil, dan menyebarkan ideologi “Might is right” yang berkuasa adalah yang benar..

Perlu digarisbawahi disini  Yang kita bicarakan adalah peristiwa peristiwa yang terjadi 1400 tahunan yang lalu… sangat jauh jaraknya dengan kita saat ini… jangankan yang 1000 tahun, yang berjarak 50 tahunan dengan generasi kita saat ini saja seperti sejarah orba dengan Soehartonya bisa terdistorsi… Contoh sejarah supersemar, serangan umum 1 Maret 1949 dll.. yang masih menjadi polemik…

Janganlah sunni  jadi korban sejarah yang terdistorsi…

“Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan !!!” yang saya tangkap adalah bahwa diantara umat islam akan selalu ada yang berpegang teguh kepada kebenaran ( yaitu  kaum  syi’ah  imamiyah ) …

Para pengikut madzhab Ahlul Bayt (yang saya tahu dan saya kenal) mengakui keadilan para sahabat. Namun harus digaris bawahi, sahabat yang bagaimana dulu, baik atau tidak baik perangainya..

Sunni  menolak  mengakui  12  Imam  adalah  maksum tetapi mengakui dan  menggeneralisir bahwa setiap sahabat ADIL.

Eksistensi Sunni-Syiah di Indonesia tidak harus dipertentangkan. Jika, keduanya terus dipertentang, maka tidak akan menemukan kata akhir. Sebab, Sunni-Syiah tak ubahnya seperti NU dan Muhammadiyah.
“Karena itu kita melihat sisi yang tidak mempertentangkan, diluar sisi keyakinan Ahlul Bait, Imamah dan bagaimana cara beribadah,” ujar Peneliti dan Pakar Syiah Indonesia dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Zulkifli, Rabu (25/1).Menurut dia, masyarakat Indonesia harus melihat sisi lain dari Syiah yang lebih menjawab problematika Islam kekinian. Salah satunya adalah menentang penindasan hegemoni yang ingin menghancurkan Islam, seperti Amerika, Barat dan Zionisme Israel.

Mufti Agung Mesir: Syiah Bukan Ancaman, Fiqih Jafari Diajarkan di Al-Azhar

Mufti Agung Mesir, Sheikh Ali Jumah memandang Syiah bukan ancaman bagi Mesir dan juga umat Islam dunia.

Menurut Kantor Berita ABNA, Mufti Agung Mesir, Sheikh Ali Jumah memandang Syiah bukan ancaman bagi Mesir dan juga umat Islam dunia. Sheikh Ali Jumat kepada koran al-Ahram Mesir menilai perselisihan antara Sunni dan Syiah tidak perlu dibesar-besarkan.

“Perselisihan antara Sunni dan Syiah bukan perbedaan mengenai prinsip agama, tapi perselishan dalam cabang agama,” kata Mufti Agung Mesir itu menyikapi peringatan Asyura oleh komunitas Syiah di negara Afrika Utara itu.

Terkait perbedaan antara Sunni dan Syiah yang dinilainya wajar, Sheikh Ali Jumah mengatakan, “Antar mazhab di tubuh Sunni sendiri terdapat perbedaan, dan perselisihan itu tidak lebih kecil dari perbedaan antara Sunni dan Syiah.”.

Mengenai pengajaran fiqih Syiah di Universitas al-Azhar, Mufti Agung Mesir menuturkan bahwa Universitas al-Azhar merupakan satu-satunya Universitas Islam di kalangan Sunni yang mengajarkan fiqih Jafari.
Menyikapi kekhawatiran segelintir ulama Mesir bahwa Al-Azhar akan menjadi target ekspansi penyebaran Syiah, Sheikh Ali Jumah mengungkapkan, “Saya tidak melihat penyebaran Syiah akan menjadi ancaman di Mesir, sebab muslim negara ini adalah Sunni yang taat.”.

“Meski Muslim Mesir Sunni, mereka mencintai Ahlul Bait, dan dalam sejarah orang Mesir tidak pernah memusuhi Syiah,” tegas ulama terkemuka Negeri Piramida itu. 
______________________________________

Al-Zuhaili : Syi’ah Bukan Ancaman

Jakarta, NU.Online

Pakar Fiqh kenamaan dari Syiria Dr. Wahbah Al-Zuhaili mengatakan syi’ah bukanlah ancaman bagi dunia islam, yang menyebabkan mereka terpisah dari kelompok islam lain adalah akibat pemikiran politik mereka yang telah diwariskan secara turun temurun. Fiqih yang dianut Syiah tak jauh berbeda dengan fiqih yang dianut madzhab-madzhab lain dalam Islam. Mereka tidak berbahaya. ungkap Wahbah kepada NU.Online di Hilton Jakarta, Senin (22/02/2012).

Jika selama ini, kata Wahbah, beberapa kalangan menganggap Syiah sebagai salah satu kelompok sempalan dalam Islam, hal itu tidak bisa dinafikan, namun sejalan dengan waktu dan perkembang pemikiran dalam dunia Islam tentu tidak menutup kemungkinan terjadi paradigma baru dalam berfikir dan bersikap bagi kaum Syi’ah.Bahkan para cendekiawan Syiah dewasa ini menyerukan untuk menyatukan aksi kerja dan pandangan politik dalam satu barisan demi menggalang persatuan untuk menghadapi musuh, tambahnya.

Selain itu sudah ada kecenderungan masyarakat muslim yang menggunakan hukum Positif bukanlah Kafir, “sikap kelompok ini meskipun kecil tapi ada dan mau menerima pemahaman ini,” ungkapnya.
Sementara itu pada bagian lain Al-Zuhaili menolak pendapat sebagian kalangan yang mengkafirkan umat Islam yang tidak menerapkan hukum Islam. Menurutnya, selama umat Islam tidak menganggap hukum positif lebih baik, ia tidak mejadi kafir meskipun ia tidak menggunakan hukum Islam. Namun, harus mempunyai keinginan di masa mendatang untuk menerapkan hukum Allah secara lebih luas.


Wakil PBNU: Bahaya Wahabi Mengancam Keutuhan NKRI

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H As’ad Said Ali meminta kepada segenap pengurus dan warga NU untuk mewaspadai gerakan Wahabi di lingkungan masing-masing.

Dirinya menengarai, saat ini gerakan Wahabi tidak masuk di tengah-tengah masyarakat saja, akan tetapi telah masuk ke jajaran pemerintah, sehingga pemerintah nampaknya tidak berdaya menghadapinya.
Hal tersebut dikatakan wakil ketua umum PBNU saat berdiskusi dengan jajaran Pengurus Cabang NU Kota dan Kabupaten Pekalongan, Ahad sore  (25/3/2012) di Gedung Aswaja Pekalongan.

Lebih lanjut dikatakan, Gerakan Wahabi selain membid’ahkan amaliyah warga nahdliyyin, juga berusaha sekuat tenaga merebut posisi strategis di tengah tengah masyarakat maupun di jajaran eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Oleh karena itu, dirinya meminta kepada warga nahdliyyin melalui pengurus NU di semua tingkatan untuk merapatkan barisan dengan cara memberikan pencerahan secara rutin kepada warga nahdliyyin tentang amaliyah yang diajarkan oleh para ulama NU bukan merupakan perbuatan bid’ah.

Dan yang lebih penting, menurut As’ad, adalah memberikan pengertian secara komprehensif kepada warga NU tentang bahaya gerakan Wahabi baik bagi Nahdlatul Ulama dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sementara itu, dalam sesi dialog salah satu peserta meminta kepada PBNU untuk kembali mempertegas gerakan NU sebagaimana yang tercantum dalam Mukadimah Qonun Asasi yang dibuat oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama, dengan cara ini NU akan bisa selamat dan warga nahdliyyin yang ada di bawah tidak ragu lagi untuk berbuat dan bertindak.

“Selama ini, PBNU belum melakukan aksi apapun, kecuali hanya wacana belaka, sementara di bawah gerarakan wahabi semakin mengkhawatirkan,” ujar Muhibbin.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua PCNU Kota Pekalongan Drs. H. Ahmad Marzuki. Dikatakan, warga nahdliyyin di Pekalongan dan sekitarnya mulai resah atas sikap dan gerakan Wahabi, akan tetapi sampai saat ini belum ada petunjuk apapun dari PBNU, bagaimana NU di cabang harus bersikap dalam menghadapi gerakan ini.


Pengkhianatan Arab Saudi Kepada Kaum Muslimin

Negara-negara Arab hingga kini tetap anteng menjalankan propaganda strategi asing terkait kunjungan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad ke pulau Abu Musa, Iran, Teluk Persia. Indikasi tersebut jelas, sebab para pemimpin Arab tetap bungkam mengenai pendudukan Israel atas kepulauan Tiran dan Sanafir milik Arab Saudi.

Sementara terkait tiga pulau milik Iran, enam negara Teluk Arab akan bertemu di ibu kota Saudi, Riyadh, membahas kepemilikan ketiga pulau yang diklaim oleh Uni Emirat Arab (UEA), kata Gulf News Jumat, 13/04/12.

Para menteri luar negeri dari anggota Dewan Kerja sama Teluk (GCC), yaitu Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, UAE dan Oman, akan bertemu pada Rabu ini, 18/04/12 untuk pertemuan darurat guna menentukan strategi bersama berkaitan dengan Iran.

Menurut laporan itu, Sekretaris Jenderal GCC Abdul Latif Al Zayani mengecam perjalanan Ahmadinejad itu sebagai “pelanggaran yang jelas atas kedaulatan UEA” dan “tidak sejalan dengan kebijakan GCC menjaga hubungan bertetangga baik dengan Iran.”

Hebatnya mereka. Soal kepulauan milik Iran, mereka kompak menyudutkan Iran, namun ironisnya Arab Saudi dan para pemimpin Arab, tidak pernah mempermasalahkan dua pulau; Tiran dan Sanafir yang sampai saat ini tetap diduduki oleh Rezim Zionis Israel.

Secara historis, pasukan Israel menduduki kedua pulau tersebut sejak tahun 1967 tetapi raja Saudi tidak pernah mempersoalkan atau bersuara merebut kembali kedua wilayah yang diduduki oleh Israel tersebut.
Dua pulau tersebut awalnya oleh Saudi Arabia disewakan kepada Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, untuk keperluan logistik dalam Perang Enam Hari tahun 1967 dengan pasukan Israel. Namun, pulau-pulau tersebut malah dicaplok tentara Tel Aviv sejak Mesir mengalami kekalahan.

Anehnya, Uni Emirat Arab tanpa memiliki bukti kuat ngotot dan mengklaim tiga pulau Abu Musa, Tunb Kecil dan Tunb Besar sebagai miliknya. Bahkan Uni Emirat Arab memanfaatkan isu Arabisme dan propaganda internasional untuk mengusik ketiga pulau ini.


Urgensi Pulau Tiran dan Sanafir

Pelabuhan Elat yang terletak di Teluk Aqabah sangat strategis bagi Rezim Zionis Israel, karena sebagian besar aktivitas ekspor dan impor rezim Zionis melalui pelabuhan ini. Pelabuhan Elat menjadi penghubung Israel dengan pesisir timur dan selatan Afrika dan negara-negara selatan dan barat daya Asia.

Pelabuhan ini dihubungkan dengan pelabuhan Asqalan pesisir timur Laut Mediterania lewat jalur pipa minyak dan jalur darat. Dengan memiliki pelabuhan ini, Israel sudah tidak lagi membutuhkan Terusan Suez, dan kenyataannya menunjukkan strategis pelabuhan Elat bagi rezim penjajah ini.

Namun apakah satu-satunya jalur hubungan Israel dengan laut melalui Selat Tiran?

Selat Tiran adalah pulau yang menghubungkan Teluk Aqabah dengan Laut Merah. Mulut Selat Aqabah adalah pulau Tiran dan Sanafir. Mantan Duta Besar Rezim Zionis Israel untuk Amerika Ishaq Rabin pernah mengatakan, “Pulau Tiran dan Sanafir sangat strategis. Pertikaian tiga orang bersenjata saja mampu menutup selat ini.”

Sebegitu strategisnya selat ini hingga banyak pengamat menilai salah satu pemicu perang Arab-Israel tahun 1967 adalah sikap Mesir menutup selat ini bagi armada laut Israel.


Kronologi Sejarah Urgensi Pulau Tiran dan Sanafir

Mesir pada tahun 1949 menutup Terusan Suez untuk kapal-kapal Rezim Zionis Israel. Sikap Mesir ini secara otomatis mengangkat posisi Pelabuhan Elat menjadi sangat strategis bagi Israel. Karena dengan ditutupnya Terusan Suez tanpa memiliki pelabuhan tersebut, itu berarti kapal-kapal dagang rezim Israel  setelah melakukan transaksi untuk kembali ke asaknya, harus memutari Afrika Selatan terlebih dahulu.
Pada tanggal 13 September 1955, Mesir mengeluarkan peraturan bagi kapal-kapal yang ingin melewati Teluk Aqabah harus mendapat izin negaranya. Sebaliknya, Israel melihat kendala dalam upayanya untuk mengakses laut bebas.

Saat Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir menasionalisasikan Terusan Suez, negara-negara Perancis, Inggris dan Rezim Zionis Israel menyerang Mesir. Hasil dari perang ini adalah terealisasinya keinginan Rezim Zionis Israel dengan dibukanya kembali Selat Tiran dan ditempatkannya pasukan internasional di Teluk Aqabah dan Gurun Sina.

Pulau Sanafir untuk pertama kalinya diduduki Rezim Zionis Israel dalam perang tahun 1956 selama 10 bulan. Sebelum perang tahun 1967 Mesir menyewa pulau ini dari Arab Saudi dengan tujuan menutup Selat Tiran untuk armada kapal Israel. Namun setelah perang pulau ini menjadi jajahan Israel.

Sebelum terjadi perang, Mesir menuntut penarikan pasukan penjaga perdamaian PBB dari garis gencatan senjata dengan Israel. Pasukan perdamaian PBB pada tanggal 23 Mei 1967 menarik pasukannya dari sana. Mesir tetap menutup Selat Tiran bagi armada kapal Rezim Zionis Israel.

Pendudukan ilegal Pelabuhan Elat di kawasan Umm Al-Rashrash oleh Rezim Zionis Israel setelah gencatan senjata tahun 1949, Luas Teluk Aqabah lebih banyak dimiliki oleh Mesir dan keyakinan negara ini bahwa Selat Tiran bukan kawasan bebas menjadi alasan Mesir untuk menutup selat ini.

Langkah yang dilakukan Mesir menunjukkan negara ini telah siap untuk melakukan perang paling menentukan dengan Rezim Zionis Israel. Namun Rezim Zionis Israel mendahului Mesir dengan lampu hijau yang diberikan Amerika, pagi hari tanggal 5 Juni 1967 membombardir 9 bandar udara Mesir selama 3 jam dan setiap kalinya selama 10 menit.

Pasukan darat rezim ini siang hari itu juga menyerang perbatasan Mesir dan kemudian merangsek maju mendekati terusan Suez. Sore hari kedua perang (6 Juni), Panglima Tertinggi Militer Mesir Abdul Hakim Amir memerintahkan pasukannya segera mundur dari Gurun Sina. Menyusul perintah ini, Mesir pada tanggal 7 Juni menerima dihentikannya perang dan menginformasikannya kepada Sekjen PBB, sementara militer Israel pada tanggal 8 Juni tengah berusaha untuk menduduki Gurun Sina secara keseluruhan.

Ada sejumlah capaian penting Rezim Zionis Israel setelah berakhirnya perang ke-3 tahun 1967 antara Arab dan Israel. Hasil-hasil itu sebagaimana berikut:
1. Rezim Zionis Israel tetap menguasai dan menduduki daerah-daerah seperti Tepi Barat Sungai Jordan, Jalur Gaza, Gurun Sina milik Mesir, Dataran Tinggi Golan milik Suriah dan pulau Tiran dan Sanafir milik Arab Saudi;
2. Sekitar 330 ribu warga Palestina menjadi pengungsi;
3. Rezim Zionis Israel menguasai sumber air Sungai Jordan dan Selat Tiran dan Teluk Aqabah terbuka bagi armada kapal rezim ini;
4. Rezim Zionis Israel berhasil menciptakan garis pertahanan baru yang strategis untuk menghadapi serangan asing;
5. Sejumlah daerah telah diduduki Rezim Zionis Israel. Setelah ini tujuan Arab hanya berusaha untuk mengembalikan tanah-tanah yang telah diduduki baik tahun 1948 atau 1967;
6. Kekuatan militer Mesir, Yordania dan Suriah telah hancur;
7. Ketidakmampuan para pemimpin Arab, ketidakkompakan dan ketidakseriusan mereka untuk membebaskan Palestina semakin tampak jelas;
8. Perlawanan Palestina muncul dan dari hari ke hari semakin menguat. Menyusul ketidakmampuan dunia Arab, bangsa Palestina menemukan jati dirinya dan berusaha dengan melakukan berbagai inovasi untuk membebaskan tanah airnya.

Perang tahun 1967 bukan akhir dari perseteruan Arab-Israel. Karena pada tahun 1973 perang kembali terjadi yang menjadi pendahuluan terjadinya Perjanjian memalukan Camp David yang ditandatangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Rezim Zionis Israel Menachem Begin pada tanggal 17 September 1978. Dalam perundingan itu tidak disebutkan mengenai pulau-pulau milik Arab Saudi dan kawasan Umm Ar-Rashrash milik Mesir sebelum perang 1967 yang diduduki Rezim Zionis Israel.


Pengkhiatan Arab Saudi atas Cita-Cita Palestina dan Umat Islam

Mencermati kronologi pendudukan pulau Tiran dan Sanafir milik Arab Saudi oleh Rezim Zionis Israel dan bungkam pemerintah Arab Saudi atas kenyataan ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Apakah mungkin ada kesepakatan rahasia antara pemerintah Arab Saudi dan Rezim Zionis Israel?

Perlu diketahui bahwa satu tahun setengah sebelum terjadinya perang Gaza, Arab Saudi menyakan akan membangun jembatan yang menghubungkan kedua negara ini dari Ra’s Al-Sheikh Hamid, Arab Saudi hingga Sharm Al-Sheikh, Mesir. Pernyataan ini kontan direaksi keras oleh Rezim Zionis Israel. Kerasnya pernyataan Israel ini dapat ditelusuri dalam tulisan yang dimuat dalam Situs Debka bahwa pembangunan jembatan itu dapat memicu perang besar di Timur Tengah. Alasan perang tahun 1967 antara Arab dan Israel dibesar-besarkan agar para pejabat Arab Saudi segera menarik kembali keputusannya itu.
Jembatan dengan panjang 50 kilometer itu diperkirakan akan menghabiskan biaya sebesar 3 miliar dolar dan direncanakan akan selesai selama tiga tahun. Hampir dua tahun dari pengumuman rencana dan peletakan batu pertama dilakukan, namun sampai kini tidak ada informasi baru mengenai kemajuan proyek ini.

Agresi brutal militer Rezim Zionis Israel dan bungkamnya Arab Saudi menyaksikan kebiadaban rezim ini membuat opini umum dunia bertanya-tanya. Apakah bungkamnya pejabat Arab Saudi dan para pemimpin Arab berigal saat militer Israel melakukan kebiadaban terhadap bangsa tertindas Palestina adalah bagian dari kesepakatan rahasia Arab Saudi dan Israel dalam masalah proyek jembatan pulau Tiran?
Terlebih lagi setelah sejumlah pakar menyebut-nyebut adanya sumber minyak di pulau Tiran dan Sanafir.
Waktu jugalah yang akan menjawab apa sebenarnya di balik kemungkinan kesepakatan rahasia antara pengkhianat dan munafik umat Islam dengan Rezim Zionis Israel.

Saat menulis surat kepada Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniyah, Pemimpin Besar Revolusi Islam, Ayatullah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei mengatakan; “Para pengkhianat Arab juga harus tahu bahwa nasib mereka tidak akan lebih baik dari orang-orang Yahudi dalam perang Ahzab”,  sambil menyebut ayat ke-26 surat Al-Ahzab yang berbunyi, “Dan dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan.”.
______________________________________

Arab Saudi-Israel Sepakat Jadikan Iran Musuh Bersama
“Arab Saudi dan Israel dengan dukungan Amerika Serikat sepakat untuk lebih meningkatkan kerjasama dan menegaskan Iran adalah musuh bersama.”.

Menurut Kantor Berita ABNA, surat kabar terbitan Israel ‘Haartesh’ menurunkan berita mengenai perjanjian peningkatan kerja sama antara Israel dengan Arab Saudi. Surat kabar berita tersebut menulis, “Arab Saudi dan Israel dengan dukungan Amerika Serikat sepakat untuk lebih meningkatkan kerjasama dan menegaskan Iran adalah musuh bersama.”.

Media pers Israel tersebut menambahkan, kerjasama saling menguntungkan antara rezim Zionis Israel dengan keluarga Su’ud yang telah terjalin lama tersebut akan semakin ditingkatkan. Pertemuan antara Al Amir Salman, Menteri Pertahanan Arab Saudi dengan pejabat AS beberapa waktu sebelumnya adalah untuk memperbincangkan masalah tersebut dan Gedung Putih menyatakan dukungannya.

Disebutkan pula, diantara poin kerjasama Israel dengan Arab Saudi adalah upaya untuk menekan Iran untuk tidak menggunakan tenaga nuklirnya, kedua Negara tersebut berjani menggunakan pengaruhnya di dunia internasional untuk lebih menekan Iran secara politik dan ekonomi.
 Lebih dari itu, Arab Saudi memanfaatkan isu perbedaan mazhab untuk lebih mengucilkan Iran di dunia Islam. Lewat dukungan fatwa kesesatan Syiah (mazhab mayoritas warga Iran) yang dilontarkan ulama-ulama Wahabi diharap Iran semakin tertekan dan kehilangan simpatik dari masyarakat muslim dunia.

(Syiah-Ali/ABNA/NU-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: