London – Fenomena radikalisme di tengah-tengah umat Islam hingga mencuatnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dengan segala aksi-aksi brutalnya benar-benar mengejutkan dunia.
Anehnya Barat merasa yang paling terancam atas eksistensi ISIS hingga mereka paranoid seakan mereka musuh utama ISIS. Mereka pun teriak keras membasmi ISIS sampai lumat.
Padahal jauh panggah dari api, hal itu diungkapkan kolomnis politik Timur Tengah the Guardian, Sunny Hundal. Menurutnya keberadaan ISIS memang mengkhawatirkan Barat. Namun, kata dia, ancaman yang utama ISIS justru mengarah kepada umat Islam dan negara-negara Islam di Timur Tengah.
Negara-negara Barat memang takut atas kemungkinan lahirnya sel-sel ISIS di negara mereka. Barat juga, kata Sunny, resah atas kembalinya warga Muslim radikal dari Irak atau Suriah ke negeri mereka yang akan memberikan pengaruh buruk.
“Tapi sebetulnya, yang harus jauh lebih khawatir adalah umat Islam dan negara-negara Timur Tengah yang terkena dampak langsung aksi ISIS,” kata Sunny seperti dikutip Aljazeera, Jumat 29 Agustus 2014.
Pembunuhan brutal terhadap wartawan Amerika Serikat (AS) James Foley oleh ISIS memang begitu menakutkan. Tapi, Sunny mengatakan jumlah warga Irak dan Suriah yang dieksekusi para pejuang ISIS jauh lebih banyak dari itu.
Kapanpun ISIS beraksi, ratusan warga sipil Irak dan Suriah harus menjadi korban karena ISIS memang menyasar kedua negara itu. Kebanyakan korban ISIS berasal dari kalangan Muslim, baik itu Sunni maupun Syiah. Kaum minoritas pun ikut menjadi sasaran kekejaman ISIS seperti Kristen dan Kurdi di Irak.
ISIS semakin besar karena didukung pendanaan yang hebat dari ladang-ladang minyak yang direbut. Selain itu, ISIS menghasilkan uang dari pembangkit-pembangkit listrik yang direbutnya, untuk dijual kepada Pemerintah Suriah dan Irak.
Masih ada pula dugaan ISIS didanai Saudi dan Qatar semenjak munculnya Arab Spring yang mencabik-cabik beberapa negara Arab, utamanya di Suriah dan Irak.
Sunny Hundal adalah penulis buku elektronik berjudul “India Dishonoured: Behind a Nation’s War on Women”. Ia juga penulis tetap di Guardian dan New Statesman.
Post a Comment
mohon gunakan email