Pesan Rahbar

Home » » Dialog Ayatullah Syirazi Dengan Ulama Sunni di Makkah dan Madinah

Dialog Ayatullah Syirazi Dengan Ulama Sunni di Makkah dan Madinah

Written By Unknown on Sunday, 12 October 2014 | 00:53:00


Almarhum Ayatullah Syirazi adalah salah seorang dari ulama Syiah dan guru besar Hauzah Ilmiah Najaf. Pada tahun 1361 H., beliau menunaikan ibadah Haji dan dalam perjalanan itu beliau sering berdialog dengan ulama Ahlu Sunah; yang kemudian sepulang beliau dari ibadah tersebut, atas permintaan ulama lainnya, beliau menulis dialog-dialognya. Berikut ini adalah bagian singkat dari dialog-dialog tersebut:

Jika misalnya ada nabi setelah Rasulullah saw, siapakah ia?

Aku ditanya, “Apa pendapat anda tentang sebuah hadits yang kandungannya berbunyi: Jika seandainya setelah aku (Rasulullah saw) ada nabi, maka ia adalah Umar?”

Aku jawab, “Rasulullah saw tidak pernah mengucapkan hadits ini.”

“Mengapa?” Tanya orang itu.

Aku ganti bertanya, “Apa pendapatmu tentang hadits manzilah?, yang mana bagi kami dan kalian adalah hadits yang diterima, di mana Rasulullah saw bersabda, “Wahai Ali, kedudukanmu di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa; hanya saja tidak ada nabi setelahku.”[1]

Ia menjawab, “Ya, kami menerima hadits itu.”

“Bukannya hadits itu menunjukkan bahwa jika seandainya ada nabi lain setelah Rasulullah saw, nabi itu pasti Ali?”

Tentang Mut’ah.

Aku ditanya, “Apakah kalian, orang-orang Syiah, melakukan Mut’ah? Apakah menurut kalian nikah Mut’ah boleh hukumnya?”

Aku jawab, “Ya, memang boleh hukumnya.”

“Apa dalilnya?” Tanya dia padaku.

Aku katakan, “Dengan dalil sebuah hadits terkenal yang kalian tukil dari Umar bin Khattab, bahwa ia pernah berkata, “Ada dua Mut’ah yang di jaman nabi halal hukumnya, namun aku mengharamkannya: Nikah Mut’ah dan Haji Mut’ah.”

Yakni Umar yang mengharamkan keduanya, padahal di jaman nabi halal hukumnya.

Kini jawab pertanyaanku, atas dasar apa dan punya hak apa Umar mengharamkan sesuatu yang dihalalkan nabi? Bukannya nabi pernah berkata bahwa halalnya Muhammad adalah halal hingga hari kiamat, dan haramnya Muhammad saw adalah haram hingga hari kiamat?


Tentang Mencaci Para Khalifah

“Kalian, orang-orang Syiah, terkenal suka mencaci para khalifah. Apakah itu perbuatan yang benar? Apa dalil kalian membenarkan berbuatan itu?” Tanya seseorang padaku.

Aku jawab, “Ya, banyak orang-orang Syiah awam yang suka mencaci para khalifah. Adapun para ulama, mereka berikhtilaf. Sebagian saja yang membolehkan hal itu.”

“Mengapa? Apa alasannya?” Tanya kembali.

Aku bertanya padanya, “Apakah menurutmu mencaci Ali bin Abi Thalib itu boleh? Padahal ia adalah menantu nabi, kemenakan nabi, suami Fathima Zahra, dan ayah Hasan dan Husain cucu kesayangan Rasulullah saw?”

Ia jawab, “Tidak, tak boleh.”

Aku berkata, “Lalu mengapa Mu’awiyah memerintahkan dengan tegas umat Islam di manapun untuk mencaci Ali bin Abi Thalib? Kalau kamu hidup di jaman Mu’awiyah dan antek-anteknya, apakah kamu tidak kesal terhadapnya, lalu melaknat mereka?”

“Tidak, aku tidak akan melaknat mereka.” Begitu katanya.

Aku heran, “Mengapa? Bukannya tadi kamu bilang tidak dibenarkan mencaci Ali bin Abi Thalib? Pasti karena kamu akan berkata bahwa Muawiyah berijtihad, lalu menurut ijtihadnya ia harus memerintahkan umat Islam untuk melaknat Ali; dan bagimu ijtihad itu betul meskipun sebenarnya salah. Iya kan?”

Ia berkata, “Ya, Muawiyah memang berijtihad, dan atas dasar ijtihadnya ia memilih untuk memusuhi Ali bin Abi Thalib.”

Lalu aku menjawab, “Pertama, ulama Syiah juga atas dasar ijtihad mereka membolehkan pengikutnya untuk mencela para khalifah. Lalu orang-orang awam Syiah pun mengikuti fatwa mereka. Kalau begitu apa yang mereka lakukan wajar. Namun mengapa kalian, orang-orang Wahabi, menghalalkan darah orang yang mencaci khalifah-khalifah tapi kalian diam saja saat Ali bin Abi Thalib dicaci Muawiyah dan pengikutnya?

Kedua, Mu’awiyah telah berhasil menjadikan perintahnya itu sebagai tradisi yang terus dijalankan selama 80 tahun! Dengan perbuatan seperti ini mengapa bagi kalian Muawiyah adalah segalanya? Padahal nyata sekali Muawiyah memusuhi Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain as! Padahal nabi pernah bersabda bahwa orang yang menyakiti Ali berarti menyakiti nabi; dan dalam Al Qur’an disebutkan bahwa barang siapa menyakiti Rasulullah saw berarti menyakiti Allah swt dan laknat Allah bagi mereka di dunia dan di akhirat.”[2]


Apakah Sujud Diatas Tanah dan Batu Syirik?

Salah seorang marja’ taqlid bercerita, pada suatu hari, aku menjalankan ibadah shalat subuh di Masjid Nabawi, Madinah. Lalu aku membaca ayat-ayat Al Qur’an. Lalu tak lama kemudian, datang seorang Syiah shalat di sebelah kananku. Di sebela kiriku, ada beberapa orang yang bersandaran di tiang masjid, sepertinya mereka dari Mesir. Orang Syiah itu di dalam shalatnya merogoh kantungnya untuk mengeluarkan turbah, tanah kering yang telah dibentuk dan digunakan untuk bersujud. Ia meletekkannya di atas karpet masjid lalu sujud dengan meletakkan keningnya di atas turbah.

Aku mendengar orang mesir itu berkata kepada temannya, “Lihatlah orang asing itu, ia bersujud kepada tanah.” Saat orang Syiah itu hendak bersujud, dengan segera orang-orang Mesir itu menghampirinya untuk mencegahnya bersujud dan mengambil turbah itu. Namun aku dengan cepat mencegah mereka dan kukatakan, “Mengapa kalian berusaha membatalkan shalat seorang Muslim? Bukankah ini tempat suci? Di dekat makam nabi?”

Salah satu dari mereka berkata, “Ia sedang sujud kepada batu.” Lalu aku bertanya, “Memang kenapa kalau ia sujud di atas tanah? Aku juga sujud di atas tanah.”

“Mengapa dan supaya apa?” Tanya mereka.

Aku jawab, “Ia adalah Syiah, pengikut madzhab Ja’fari. Apakah kalian mengenal Ja’far bin Muhammad As Shadiq?”

Dijawabnya, “Ya.”

Aku bertanya, “Bukankah ia termasuk Ahlul Bait nabi?”

Dijawabnya lagi, “Ya.”

Aku jelaskan, “Ia adalah pemimpin madzhab yang kami anut ini. Ia berkata bahwa kita tidak boleh sujud di atas karpet seperti ini; kita harus sujud di atas tanah atau apapun yang tumbuh dari tanah.”

Orang itu berkata, “Bukannya agama itu satu dan shalat itu juga satu?”

Aku jawab, “Ya, agama dan shalat memang satu. Tapi kalian sendiri mengapa saat berdiri dalam shalat berbeda-beda caranya? Misalnya orang-orang Maliki shalat dengan meluruska tangannya, sebagian lainnya meletakkan tangan di dada, padahal shalat yang diajarkan nabi hanya satu. Tentunya kalian menjawab hal itu dikarenakan perbedaan pendapat Abu Hanifa, Maliki, Hambali dan Syafi’i bukan?”

Mereka menjawab, “Ya memang demikian.”

Aku tambahkan, “Ja’far bin Muhammad As Shadiq yang kalian aku itu adalah bagian dari Ahlul Bait nabi. Dan orang yang termasuk Ahlul Bait nabi lebih tahu tentang nabi ketimbang orang lain. Tidak mungkin Abu Hanifah atau selainnya lebih tau dari Ja’far bin Muhammad. Beliau berkata bahwa kita tidak bisa sujud selain di atas tanah atau apapun yang tumbuh dan berasal (secara langsung) dari tanah. Perbedaan antara kami dengan kalian sama persis dengan perbedaan antara kalian dalam cara berdiri dalam shalat sehari-hari.”

Aku mengingatkan mereka tentang masalah Ahlul Bait as. Dan akhirnya orang-orang yang mendengar pembicaraanku tadi membenarkanku dan menyalahkan orang itu karena berusaha membatalkan shalat seseorang.


Ayat-ayat yang bertentangan?

Seorang murid bertanya, “Mengapa saat aku menyandingkan satu ayat dari ayat-ayat Al Qur’an dengan ayat lainnya, terkadang aku melihat pertentangan di antara mereka? Bukankah kitab Allah tidak ada yang saling bertentangan isinya?”

Aku jawab, “Tidak mungkin ayat-ayat Allah saling bertentangan. Dalam Al Qur’an sendiri kita membaca:

“Jika Qur’an ini tidak diturunkan dari Allah, pasti di dalamnya banyak sekali pertentangan.” (QS An Nisa’ ayat 82)

Ayat itu adalah ayat yang membuktikan kebenaran Al Qur’an; bahwa kitab suci ini memang diturunkan oleh Allah swt.”

Murid berkata, “Lalu mengapa kadang aku merasa ada yang bertentangan?”

Aku bilang, “Coba sebutkan contohnya seperti apa…”

Murid membawakan contoh dengan berkata, “Misalnya dua permasalahan ini:

Yang pertama, di sebagian ayat, Allah swt mengagungkan kedudukan umat manusia. Misalnya Ia berfirman:

“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS Shaad: 72).

Namun di ayat yang lain, Allah swt begitu merendahkan kedudukan manusia. Ia berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al A’raf: 179).

Apa jawaban anda tentang permasalahan pertama ini?”

Aku menjawab, “Tidak ada yang bertentangan antara dua ayat ini. Karena sebenarnya kedua ayat ini secara bersamaan membagi umat manusia menjadi dua kelompok: manusia yang baik, dan manusia yang buruk. Manusia yang baik sangat ditinggikan derjatnya oleh Allah swt. Sedangkan mausia yang buruk, sebaliknya, sangat dihinakan oleh-Nya.”

Murid bertanya lagi, “Adapun masalah yang kedua adalah:

Allah swt berfirman:

“…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS An Nisa': 3).

Namun di ayat lainnya, dan di surah yang sama, Ia berfirman:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…” (QS An Nisa’ : 129).

Saya tidak faham, di ayat pertama Allah membolehkan kita untuk menikahi lebih dari satu wanita, dengan syarat kita harus berbuat adil kepada mereka. Namun di ayat kedua, Ia menyatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa berbuat adil.”

Aku menjawab, “Ya, masalah ini pun pernah dipertanyakan di jaman Imam Ja’far Shadiq as oleh para pengingkar Tuhan, seperti Abil ‘Auja’. Lalu Hisyam bin Hakam mendapatkan jawaban pertanyaan tersebut dari Imam Shadiq as.[3]


Jawabannya begini:

Keadilan yang dimaksud oleh ayat pertama adalah berbuat adil dalam berprilaku sebagai seorang suami kepada istrinya. Seperti memberi nafkah. Adapun di ayat kedua, keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam mencintai; yang maksudnya kita tidak bisa mencintai dua orang dengan cinta yang sama, pasti ada salah satu dari mereka yang lebih dicintai. Oleh karena itu tidak ada yang bertentangan; karena maksud keadilan dalam kedua ayat tersebut tidak sama. Artinya kita tetap boleh menikahi lebih dari seorang wanita asal kita adil dalam memberikan nafkah, meskipun diakui kita tidak bisa adil dalam mencintai.”[4]


Catatan Kaki:

[1] Shahih Muslim, jilid 3, halaman 236; Shahih Bukhari, jilid 2, halaman 185; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 98…

[2] Al Ahzab, ayat 57.

[3] Tafsir Al Burhan, jilid 1, halaman 220.

[4] Seratus Satu Dialog, Muhammad Muhammadi Isytihardi, halaman 430.

(Hauzah-Maya/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: