Pesan Rahbar

Home » , , » IMAM SYAFI’I Dan Tikaman Terhadap Syafi’i

IMAM SYAFI’I Dan Tikaman Terhadap Syafi’i

Written By Unknown on Friday, 17 October 2014 | 12:15:00


Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi'. Dia dilahirkan pada tahun 150 Hijrah, dan ada yang mengatakan dia dilahirkan pada hari wafatnya Abu Hanifah. Orang-orang berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya, antara Ghazzah, 'Asqalan dan Yaman, dan pendapat lemah mengatakan bahwa dia dilahirkan di Mekkah. Dia meninggal dunia di Mesir pada tahun 204 Hijrah.
Ketika kecil dia hijrah bersama ibunya ke kota Mekkah. Di Mekkah dia belajar Al-Qur'an, sehingga hafal Al-Qur'an. Kemudian dia belajar menulis, dan setelah itu pergi ke pedalaman padang pasir, dan menetap dengan suku Hudzail selama 20 tahun, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, atau tujuh belas tahun sebagaimana yang diceritakannya sendiri di dalam kitab Mu'jam al-Buldan. Maka dia pun memperoleh kefasihan suku Hudzail. Sepanjang waktu tersebut Syafi’i tidak mempunyai perhatian kepada bidang keilmuan dan fikih. Dia baru mempunyai perhatian kepada bidang keilmuan dan fikih pada dekade ketiga dari umurnya. Jika dia tinggal selama 20 tahun di pedalaman padang pasir, maka dia baru mulai belajar fikih pada dekade keempat dari umurnya. Artinya, setelah melewati umur tiga puluh tahun.

Syafi’i berguru kepada guru-guru yang ada di Mekkah, Madinah, Yaman dan Baghdad, dan orang yang pertama menjadi gurunya ialah Muslim bin Khalid al-Makhzumi, yang dikenal dengan sebutan az-Zanji. Dia termasuk orang yang tidak bisa dipercaya ucapannya. Banyak dari kalangan para huffazh yang mendhaifkan dan mengecamnya, seperti Abu dawud, Abi Hatim dan an-Nasa'i.[200]

Kemudian Syafi’i belajar kepada Sa'id bin Salim al-Qaddah. Sa'id bin Salim al-Qaddah telah dituduh sebagai orang murji'ah. Syafi’i juga belajar kepada Sufyan bin Uyaynah, salah seorang murid Imam Ja'far ash-Shadiq as. Dia adalah salah seorang pemilik mazhab yang musnah. Syafi’i juga belajar kepada Malik bin Anas di Madinah, dan juga guru-guru lainnya. Ibnu Hajar menyebutkan Syafi’i telah belajar dari delapan puluh orang guru. Sebuah angka yang berlebihan. Ar-Razi menolak perkataan Ibnu Hajar tersebut. Syafi’i juga telah mengambil ilmu dari Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, seorang qadhi yang merupakan salah seorang murid dari Abu Hanifah. Tidak ada tempat bagi kefanatikan di sini, karena Syafi’i sendiri telah mengakui bahwa dirinya telah mengambil ilmu darinya.

Adapun murid-murid Syafi’i sebagiannya orang-orang Irak dan sebagiannya lagi orang-orang Mesir. Mereka menjadi faktor penting di dalam penyebaran mazhabnya. Adapun murid-murid Syafi’i yang berasal dari Irak ialah Khalid al-Yamani al-Kalbi, Abu Tsaur al-Baghdadi, yang terhitung sebagai pemilik mazhab tersendiri dan mempunyai muqallid (pengikut) hingga abad kedua hijrah, dan dia wafat pada tahun 240 Hijrah. Kemudian, Hasan bin Muhammad bin ash-Shabbah az-Za'farani, Hasan bin Ali al-Karabisi, Ahmad bin Abdul Aziz al-Baghdadi, dan Abu Abdurrahman Ahmad bin Muhammad al-Asy'ari. Ahmad bin Muhammad al-Asy'ari diidentikkan dengan Syafi’i, karena dia memperkuat mazhabnya dan membela para pengikutnya, disebabkan kedudukan tinggi yang dimilikinya di mata sultan. Juga teimasuk salah seorang dari murid Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal, meskipun orang-orang Hanbali mengatakan bahwa Syafi’i pernah mengambil hadis dari Ahmad dan belajar kepadanya, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah.

Adapun murid-muridnya di Mesir, mereka amat berperan di dalam penyebaran mazhabnya dan penulisan buku-buku. Yang paling terkenal dari mereka ialah Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi, yang merupakan pengganti Syafi’i di dalam memberikan pelajaran, dan termasuk penyeru terbesar kepada mazhabnya.
Dia mendekati orang-orang asing dan memperkenalkan kepada mereka keutamaan Syafi’i, hingga banyak pengikutnya dan tersebar mazhabnya. Ibnu Abi Laits al-Hanafi merasa hasud kepadanya dan kemudian mengeluarkannya dari Mesir, sehingga akhirnya Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi meninggal dunia di dalam penjara di kota Baghdad.

Di antara murid-murid Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi ialah Ismail bin Yahya al-Mazni dan Abu Ibrahim al-Mishri, yang memiliki ber-bagai tulisan di dalam mazhab Syafi’i yang membantu penyebaran mazhab tersebut, seperti kitab al-Jami' al-Kabir, al-Jami' ash-Shaghir, al-Mantsur, dan yang lainnya.
Seseorang yang mempelajari sejarah mazhab Syafi’i akan menemukan bahwa murid-murid dan sahabat-sahabatnyalah yang telah membantunya dan menyebarkan mazhabnya.

Terdapat perbedaan antara madrasah Syafi’i di Irak dengan madrasah Syafi’i di Mesir. Suatu hal yang perlu kita cermati. Sebagaimana diketahui bahwa Syafi’i telah berpaling dari fatwa-fatwa yang dikeluarkannya ketika berada di Irak, yang kemudian dikenal dengan mazhab qadim, yang dipegang oleh murid-muridnya di Irak. Di antara kitab-kitab yang berasal dari mazhab qadim ialah kitab al-Amali dan kitab Majma' al-Kafi. Ketika pindah ke Mesir dia mengharamkan berpegang kepada mazhab qadim, setelah mazhab itu tersebar dan dipraktekkan oleh masyarakat umum. Apakah Syafi’i menarik diri darinya karena mazhab qadim itu batil?! Atau, apakah ijtihadnya ketika di Baghdad tidak sempurna, dan kemudian menjadi sempuma di Mesir?!

Kemudian, apa yang menjadi jaminan kebenaran mazhabnya yang baru di Mesir?!
Apakah kalau sekiranya umurnya panjang dia pun akan berpaling dari mazhab barunya itu?! Oleh karena itu, Anda menemukan dua pendapat dalam satu masalah di dalam mazhab Syafi’i. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab al-Umm. Ada orang yang menganggap bahwa perbedaan ini sebagai akibat tidak adanya ketetapan hati dari Syafi’i, dan ini merupakan sebuah kekurangan di dalam ijtihad dan ilmu.

Al-Bazzaz menyokong makna ini dengan mengatakan, "Ketika di Irak Syafi’i menulis beberapa kitab, namun para sahabat Muhammad asy-Syaibani mendhaifkan perkataannya dan mempersulitnya, sementara para ahlul hadis tidak memperhatikan perkataannya, dan bahkan menuduhnya sebagai mu'tazilah. Ketika di Irak pasar sudah tertutup baginya, maka Oleh karena itu, dia pun pindah ke Mesir, yang ketika itu belum ada seorang fakih yang dikenal di sana, dan pasar pun berpihak kepadanya."[201]

Keadaan berubah ketika dia pindah ke Mesir. Karena Syafi’i dikenal sebagai murid Malik dan sekaligus penolong dan pembela mazhabnya. Inilah faktor yang membentangkan jalan kesuksesan Syafi’i di Mesir. Karena watak umum masyarakat Mesir bermazhab Maliki. Di samping itu, kedatangan Syafi’i ke Mesir berdasarkan rekomendasi khalifah saat itu kepada gubernur Mesir, maka Oleh karena itu, Syafi’i memperoleh perhatian yang cukup di Mesir, terutama dari kalangan para pengikut Malik.

Namun itu tidak berlangsung lama sehingga akhirnya Syafi’i menulis kitab-kitab yang menolak Malik dan menentang perkataan-perkataannya. Ar-Rabi' berkata, "Saya mendengar Syafi’i mengatakan,
'Saya datang ke Mesir dalam keadaan tidak tahu bahwa Malik berlawanan dengan ucapan-ucapannya kecuali hanya enam belas ucapan. Saya perhatikan, dan kemudian saya mendapati dia mengatakan yang pokok dan meninggalkan cabang atau mengatakan cabang dan meninggalkan pokok.' Abu Umar berkata, 'Abdul Aziz bin Abi Salma dan Abdurrahman bin Zaid juga telah berkata tentang Malik, sebagaimana yang disebutkan oleh as-Saji di dalam kitab al-'llal, mereka menjelek-jelekkan beberapa hal tentang mazhab Malik.' Hingga Abu Umar berkata, 'Syafi’i telah berbuat zalim kepada Malik, dan begitu juga sebagian pengikut Abu Hanifah, berkenaan dengan sesuatu dari pendapatnya, karena merasa hasud akan kedudukan keimamahannya.'"[202]

Orang-orang Maliki telah habis kesabarannya terhadap Syafi’i, dan mereka menunggu saat yang tepat hingga akhirnya mereka membunuhnya. Ibnu Hajar mengatakan, mereka memukul Syafi’i dengan kunci besi hingga meninggal dunia.[203] Abi Hayyan menyebutkan peristiwa ini di dalam kasidah pujiannya terhadap Syafi’i,
"Tatkala datang ke Mesir dia menentang berbagai hal
menyakitkan yang ditujukan kepadanya.
Sementara orang-orang menyembunyikan kebencian kepadanya.
Dia datang mengkritik apa yang telah mereka peroleh
dan menghancurkan apa yang telah mereka tegakkan karena memang bangunan mereka lemah.
Maka mereka pun memperdayanya tatkala mereka berduaan
dengannya di tempat yang sepi.
Kecelakaan bagi mereka yang Allah telah lumpuhkan
kedua tangan mereka terhadapnya.
Mereka merobek keningnya dengan kunci besi
hingga pergilah dia tanpa dibentahukan kematiannya."

Maka Syafi’i pun meninggal dunia sebagai korban dari kefanatikan mazhab pengikut Malik.
Meski pun demikian, Mesir merupakan benih pertama, yang darinya tersebar luas mazhab Syafi’i, sebagai hasil dari upaya dan jerih payah para sahabat dan murid-muridnya. Apabila tidak ada mereka, mungkin nasib yang dialami mazhab Syafi’i tidak berbeda dengan nasib mazhab-mazab lain yang musnah.

Mazhab Syafi’i berhasil menyebar luas di Syam dan mampu mengalahkan mazhab mazhab al-Awza'i, setelah jabatan kehakiman dipegang oleh Muhammad bin Usman ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Dengan gigih dia berusaha menyebarkan mazhab Syafi’i di Syam, dan Oleh karena itu,lah mazhab al-Awza'i menjadi musnah. Kemenangan mazhab Syafi’i menjadi sempurna pada masa Dinasti Ayubiyyah, yang mana para rajanya merupakan para pemeluk mazhab Syafi’i yang setia. Hal ini merupakan faktor yang amat membantu sekali di dalam memperkokoh mazhab Syafi’i. Ketika datang Dinasti Mamalik di Mesir, langkah mereka tidak bergeser dari mazhab Syafi’i. Seluruh raja-raja mereka bermazhab Syafi’i kecuali Saifuddin yang bermazhab Hanafi, namun dia tidak mampu memberikan pengaruh terhadap penyebaran mazhab Syafi’i.

Dengan demikian, nama Syafi’i menjadi harum dan terkenal karena perantaraan raja dan sultan. Jika tidak, maka tentu mazhabnya akan menjadi mazhab yang terlupakan.

Tikaman Terhadap Syafi’i

Setiap imam diikuti dua kelompok manusia yang saling berlawanan. Kelompok yang fanatik kepadanya dan kelompok yang membencinya. Sebagaimana yang telah disebutkan.
Demikian juga halnya dengan Syafi’i. Orang-orang yang fanatik kepadanya mensifatinya dengan sifat-sifat kesempurnaan sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang makhluk pun yang mampu menggapainya. Sebaliknya, orang-orang yang membencinya membuat hadis-hadis yang menurunkan derajatnya hingga tingkatan Iblis.

Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari meriwayatkan dari Abdu bin Ma'dan, dari Anas, dari Rasulullah saw yang bersabda, "Akan datang pada umatku seorang laki-laki yang dipanggil dengan nama Muhammad bin Idris, dia lebih berbahaya bagi umatku dibandingkan Iblis. Juga akan datang pada umatku seorang laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, dia adalah pelita bagi umatku."[204]

Tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa hadis ini palsu.
Sebaliknya, Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dengan bersanad kepada Suwaid bin Sa'id yang berkata, "Kami pernah bersama Sufyan bin 'Uyaynah di Mekkah. Lalu datang seorang laki-laki memberitahukan bahwa Syafi’i telah meninggal dunia. Kemudian Sufyan berkata, 'Jika Muhammad bin Idris meninggal dunia maka sungguh telah meninggal seutama-utamanya manusia pada zamannya."'[205]

Ini juga merupakan kabar bohong, karena Sufyan bin 'Uyaynah meninggal dunia pada tahun 198 Hijrah, yaitu enam tahun sebelum Syafi’i meninggal dunia.
Tuduhan yang dilontarkan kepada Syafi’i terkadang tuduhan bahwa dia itu Syi'ah, dia itu Mu'tazilah, dia itu meriwayatkan dari orang-orang yang suka dusta, dan dia itu orang yang sedikit bersandar kepada hadis.
Yahya bin Mu'in ditanya, "Apakah Syafi’i pernah berdusta?"

Yahya bin Mu'in menjawab, "Saya tidak ingin membicarakannya dan tidak ingin menyebut namanya."
Al-Khatib meriwayatkan dari Yahya bin Mu'in yang berkata, "Syafi’i bukan orang yang dapat dipercaya."
Di sana terdapat tuduhan-tuduhan yang tidak ada nilainya, yang tidak perlu kita kaji di sini. Namun yang menarik perhatian saya ialah tuduhan yang mengatakan bahwa Syafi’i itu Syi'ah. Tuduhan ini terhitung sebagai  tuduhan yang amat berbahaya pada saat itu, di mana pada saat itu kalangan Alawi dan Syi'ah dikejar-kejar dan dibunuh dengan cara yang paling keji. Sehingga sikap menampakkan permusuhan kepada Ali, anak-anaknya dan para pengikutnya menjadi suatu fenomena yang lumrah. Untuk lebih mengetahui hal ini secara mendalam silahkan Anda merujuk kepada kitab-kitab sejarah, seperti kitab Magatil ath-Thalibin, karya Abu Faraj al-Isfahani, sehingga Anda dapat mengetahui sedikit tentang berbagai macam siksaan yang ditimpakan kepada Ahlul Bait dan para pengikutnya. Oleh karena itu, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok: Kelompok yang sabar dan berkorban untuk tetap berpegang kepada kepemimpinan Ahlul Bait, jumlah mereka sedikit sekali, sedangkan kelompok kedua yang merupakan kelompok mayoritas, mereka tunduk dan menukar agamanya dengan dunia para sultan. Sungguh benar apa yang telah dikatakan oleh Imam Husain, "Manusia itu hambanya dunia, dan agama hanya sebatas di lidah mereka. Mereka akan mengelilingi agama selama kehidupan masih mengalir kepada mereka, namun jika mereka diuji dengan bala maka sedikit sekali dari mereka yang benar-benar berpegang kepada agama."

Pada situasi yang dipenuhi dengan kegelapan ini Syafi’i menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Dan karena semata-mata kecintaannya kepada Ahlul Bait inilah Syafi’i dituduh Syi'ah. Padahal sesungguhnya Syafi’i bukanlah seorang Syi'ah. Yaitu orang yang berpegang kepada kepemimpinan para Imam Ahlul Bait dan mengikuti jalan mereka. Melainkan itu hanya semata-mata kecintaan yang melekat pada fitrah setiap manusia. Oleh karena itu, Syafi’i berkata di dalam syairnya,
"Wahai Ahlul Bait Rasulullah, kecintaan kepadamu
merupakan kewajiban dari Allah di dalam
Al-Qur'an yang telah diturunkan-Nya.
Cukup menjadi bukti bagi keagungan kedudukanmu
bahwa barangsiapa yang tidak membaca salawat kepadamu
maka tidak ada salat baginya."

Dengan bersandar kepada firman Allah SWT yang berbunyi, "Katakanlah. 'Aku tidak meminta kepadamu suatu upah apa pun atas risalah yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku." (QS. asy-Syura: 23)

Yaitu sebuah ayat yang dengan jelas mengatakan wajibnya mencintai Ahlul Bait as. Saya pernah heran, kenapa Allah SWT menjadikan upah penyampaian risalah-Nya terletak di dalam kecintaan kepada Ahlul Bait?! Masalah ini tetap belum jelas bagi saya kecuali setelah saya mengetahui betapa besarnya nilai cobaan yang terkandung di dalam kecintaan kepada Ahlul Bait dan berpegang kepada mereka. Inilah Syafi’i sebagai contoh yang ada di hadapan Anda, tatkala dia menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait, maka dengan serta mereka menuduhnya sebagai rafidhi. Syafi’i berkata di dalam syairnya,
"Mereka berkata, 'Engkau telah menjadi rafidhi.'
Aku jawab, 'Sekali-kali tidak.
Aku bukan rafldhi, baik secara agama maupun keyakinan.
Namun tidak diragukan —memang— aku mencintai sebaik-baiknya Imam dan sebaik-baiknya penunjuk.
Jika kecintaan kepada al-washi dikatakan sebagai rafidhi,
maka ketahuilah sesungguhnya aku ini hamba yang paling rafidhi.'"
Tatkala Syafi’i menampakkan kecintaannya kepada Ali as, beberapa orang para penyair mengejeknya dengan mengatakan,
"Syafi’i mati dalam keadaan tidak tahu
apakah Ali Tuhannya atau Allah Tuhannya."

Pada situasi yang dipenuhi dengan kebencian dan penentangan terhadap Ahlul Bait dan para pengikutnya ini, Syafi’i tidak kendur di dalam menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Bahkan dengan lantang dia mengatakan,
"Jika karena kecintaan kepada keluarga Muhammad seseorang dikatakan rafidhi,
maka biarlah jin dan manusia bersaksi bahwa aku ini seorang rafidhi."

Syafi’i juga menamakan orang yang memberontak dan memerangi Ali as sebagai orang pembuat makar. Tuduhan Syi'ah kepada Syafi’i adalah sesuatu yang memang ada. Namun setelah kami melakukan pengkajian, tampak jelas bagi kami bahwa Kesyi'ahan Syafi’i adalah semata-mata Kesyi'ahan apabila dibandingkan dengan masyarakatnya yang tenggelam di dalam kebencian kepada Ahlul Bait, karena mengikuti raja-raja mereka. Oleh karena itu, Syafi’i dituduh Syi'ah. Jika kita membebaskan masyarakat tersebut dari kepatuhan kepada penguasa dan politiknya, maka kita tidak akan mendapati seorang pun yang membenci Ahlul Bait, kecuali orang-orang Khawarij dan orang-orang yang mengikuti jejaknya. Hati seorang Muslim tidak akan kosong dari kecintaan kepada Ahlul Bait. Maka dengan begitu, Syafi’i hanyalah seorang pecinta Ahlul Bait, dan bukan seorang Syi'ah. Terdapat perbedaan yang besar di antara keduanya. Karena setiap orang yang mencintai nilai-nilai kebajikan maka dia pasti akan mencintai Ahlul Bait, yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebajikan tersebut, meski pun dia bukan seorang Muslim. Bukti-bukti yang menunjukkan kepada hal itu banyak sekali. Beberapa di antaranya ialah: Seorang penulis Kristen yang bernama George Jordaq. Dia menulis sebuah ensiklopedia tentang Imam Ali as yang terdiri dari lima jilid. Dia menggambarkan Imam Ali dengan sifat-sifat yang amat agung. Dia juga menulis sebuah buku tentang Sayyidah Fatimah az-Zahra as, yang diberi judul Fatimah Witrfi Ghamad. Berikutnya adalah Salma Kattani, penulis buku al-lmam Ali Nibras wa Mitras. Demikian juga, qashidah terpanjang di dunia yang terdiri dari lima ribu bait, ditulis oleh seorang Kristen berkenaan dengan hak Imam Ali bin Abi Thalib as. Berikutnya, qashidah terpanjang kedua yang terdiri dari tiga ribu bait, yang juga ditulis oleh seorang Kristiani, juga berbicara tentang keutamaan Imam Ali as. Adapun qashidah terpanjang ketiga adalah qashidah yang terdiri dari seribu bait, yang juga ditulis oleh seorang Kristiani berkenaan dengan Imam Ali as. Namun ini semua tidak cukup untuk menunjukkan Kesyi'ahan mereka. Semata-mata hanya kecintaan tidaklah cukup. Karena kecintaan yang hakiki adalah berarti tunduk dan patuh kepada mereka, dan mengambil ajaran agama hanya dari mereka. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair,
"Jika cintamu memang benar maka tentu kamu mentaatinya
karena sesungguhnya orang yang mencintai akan mentaati orang yang dicintainya.".
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: