Pesan Rahbar

Home » » Penghentian Pelaknatan Imam Ali a.s. Inilah Bid’ah Terbesar Sepanjang Sejarah Islam

Penghentian Pelaknatan Imam Ali a.s. Inilah Bid’ah Terbesar Sepanjang Sejarah Islam

Written By Unknown on Wednesday 5 November 2014 | 18:24:00


Jasa Umar Bin Abdul Azis terhadap Penghentian Pelaknatan dan membongkar kepalsuan ucapan Abu Bakar tentang Fadak.

Kisah bagaimana laknatan terhadap Imam Ali AS dihentikan oleh Umar bin Abdul Aziz diceritakan oleh Ibn Athir dan Ibn Abil Hadid seperti berikut :

" Aku (Umar bin Abdul Aziz) belajar Qur'an dari seorang keturunan Atbah bin Masud. Pada suatu hari beliau berjalan melintasi aku ketika aku sedang bermain dengan kawan-kawanku dan melaknat Sayidina Ali. Beliau nampak tidak senang ketika menyaksikan hal ini dan terus ke masjid. Aku mengikuti beliau ke masjid untuk mempelajari al-Qur'an daripadanya.

Guruku tidak memperdulikanku dan memanjangkan solatnya dan nampaknya beliau tidak menyukai perbuatan aku tadi. Aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak menyukai perbuatan aku itu.

Beliau bertanya kepadaku:" Adakah kamu juga melaknat Saydina Ali selama ini?" Aku mengiyakannya.

Beliau berkata:" Dari mana kamu dapat tahu Sayidina Ali dibenci Allah SWT ?”

Aku berkata: " Adakah Ali salah seorang ahli Badar?"

Beliau berkata: "Kejayaan Perang Badar adalah untuk Ali."

Aku berkata: "Aku tidak akan melaknat Sayidina Ali pada masa akan datang."

Guruku meminta aku berjanji bahwa aku tidak akan melakukan perbuatan melaknat Sayidina Ali pada masa akan datang dan aku pun memenuhi permintaannya itu."

Umar bin Abdul Aziz selanjutnya berkata:" pada Hari Jum’at ayahku berdiri di atas mimbar di Madinah menyampaikan khutbah dan berucap dengan fasihnya. Walau bagaimanapun ketika dia sampai kepada kata-kata laknatan kepada Saydina Ali dia menjadi tergagap-gagap, rendah suara dan terlihat sukar untuk menyatakan laknatan itu.

Aku memikirkan hal itu. Pada suatu hari aku bertanya kepada ayahku:" Ayah seorang orator yang fasih."

Ayahku berkata:" Engkau menyedari perkara itu?" Aku menjawab:" Ya."

Ayahku kemudian berkata: "Jika orang-orang Syria dan yang lain-lain mengetahui kebaikan-kebaikan Ali, mereka tidak akan mentaati kita sebaliknya mereka akan berpihak kepada keturunan Ali."

Aku ingat kata-kata ini dan kata-kata guruku semasa aku kecil dulu dan aku berjanji kepada Allah AZWJ seandainya aku menduduki jabatan khalifah, aku akan menghentikan pelaknatan terhadap Sayidina Ali."

Umar bin Abdul Aziz menunaikan janjinya dan melarang pelaknatan terhadap Sayidina Ali di atas mimbar dan memerintahkan ayat berikut dibaca bagi menggantikan laknatan tersebut: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl (16) :90).

Beliau mengirim perintah tersebut ke seluruh pelosok kota. Tindakannya ini di ambil sebagai satu tanggungjawab dan seterusnya menjadi amalan dalam masyarakat. Mereka memuji Ibn Abdul Aziz karena tindakan beliau itu.

Umar juga bertanggungjawab mengembalikan Tanah Fadak kepada keturunan Fatimah AS. Beliau menyerahkan Tanah Fadak kepada Imam Muhammad al-Baqir AS.

Tindakannya itu mendapat kritikan sebahagian Quraisy dan orang-orang Syria karena anggapan mereka mereka bahwa Umar bin Abdul Azis telah menyalahkan keputusan Abu Bakar dan Umar al-Khattab.

Umar bin Abdul Aziz berkata: "Tuntutan Fatimah atas Tanah Fadak adalah berdasar dan tanah itu adalah miliknya. Fatimah sebagai penghulu wanita di syurga sudah tentu tidak akan membuat tuntutan palsu yang disandarkan kepada Rasulullah SAWW. Oleh karena itu dengan tindakan ini aku mengharapkan taqarrub kepada Allah dan Nabi-Nya dan aku mengharapkan syafaat dari Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husayn. Seandainya aku berada di pihak Abu Bakar, aku akan menerima permintaan Fatimah dan tidak akan menuduh beliau (AS) pembohong."

____________________________
Mari kita lihat bukti sebelumnya:

Bid’ah Terbesar Sepanjang Sejarah Islam

APA ITU BID’AH?

Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Maka sebaik-baik perkara adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara itu yang diada-adakan (muhdatsatuha), dan setiap (kullu) yang diada-adakan (muhdatsah) itu adalah bid’ah, dan setiap (kullu) bid’ah itu sesat.” 1]

Hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah, bahwa Rasulullah Saw, “Jika seseorang melakukan perubahan (bid’ah) atas sesuatu dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama, maka tertolak.” 2]

Jadi semua amalan yang tidak pernah dilakukan Nabi Saw adalah bid’ah.


BID’AH TERBESAR SEPANJANG SEJARAH ISLAM

Dari Sa’ad bin Abi Waqqas, katanya : “Muawiyyah bin Abu Sufyan menyuruh Sa’ad (bin Abi Waqqas) dan menanyakan : “Apakah yang menjadi halangan bagimu untuk mencerca Abu Turab (Ali bin Abi Thalib)?” Sa’ad menjawab : “Adapun yang saya ingat ada 3 hal yang diungkap Rasulullah Saw. Karena (ketiga hal) itulah saya tidak akan MENCERCA Ali. Andai saja untuk saya satu dari ketiga hal yang dimilikinya itu, maka itu lebih aku sukai ketimbang memperoleh sejumlah binatang ternak yang sehat-sehat. Saya telah mendengar Rasulullah Saw bersabda ketika beliau menyuruh Ali tinggal (di Madinah) dalam beberapa peperangan, lalu Ali berkata kepada Rasul : “Ya Rasulullah, engkau menyuruhku tinggal bersama kaum perempuan dan anak-anak?” Rasulullah Saw bersabda, “Apakah engkau tidak merasa senang (ridha) kalau engkau bagiku serupa dengan kedudukan Harun dengan Musa, tapi tidak ada kenabian sepeninggalku.” Dan saya (Sa’ad) juga mendengar Nabi Saw bersabda di hari perang Khaibar : “Sesungguhnya aku akan menyerahkan panji-panji ini kepada seorang laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya sedang Allah dan Rasul-Nya mencintainya pula.” Lalu kami (para sahabat) menanti-nantikannya. (berharap memperoleh kedudukkan itu). Kemudian Nabi bersabda, “Panggillah Ali supaya dia datang kepadaku!” Dia dibawa (ke hadapan Nabi) dalam keadaan sakit mata, lalu Nabi meludahi matanya, lalu menyerahkan panji-panji kepadanya. Allah memberikan kemenangan di tangannya. (Yang ketiga) Setelah turun ayat : “Maka katakanlah : “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu…” dan Rasulullah Saw memanggil Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, lalu beliau mengatakan, “Ya Allah! Mereka inilah keluargaku! (Allahumma Haulai Ahly)” 3]

Apa yang disuruh Muawiyah kepada Saad bin Abi Waqqas jelas-jelas tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Tetapi orang ini, setelah duduk di tampuk kekuasaannya melakukan banyak BID’AH, dan salah satu Bid’ah Terbesarnya adalah titah perintahnya kepada kaum Muslim pada masa kekuasaan Bani Umayyah : Mengutuk, mencerca dan menghina Sahabat besar Nabi Saw, Ali bin Abi Thalib.
Apakah ada contoh yang dilakukan Nabi Saw seperti yang dilakukan Muawiyah?
Tidak ada! Jadi ini bid’ah! Tak seorang pun bisa berkelit dengan fakta hadis ini!
Dan apa sabda Nabi Saww terhadap orang yang membenci sahabat Ali bin Abi Thalib? Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan Rasulullah Saw bersabda : “Mencintai Ali adalah tanda keimanan dan membencinya adalah tanda kemunafikan.” 4]
Hadis ini sedemikian masyhur sampai-sampai beberapa sahabat nabi sering berkata, “Kami mengetahui kemunafikan seseorang dari kebenciannya terhadap Ali.” 5]
Lalu bagaimana dengan Muawiyah?
Apakah keterangan ini masih kurang jelas bagi Anda?

Mari kita lihat lagi beberapa riwayat yang semoga akan meyakinkan Anda yang membaca tulisan ini. 6]

Di dalam Shahih Muslim, Ali bin Abi Thalib berkata, “Demi Dia yang membelah biji-bijian dan menghidupkan segala sesuatu, Rasulullah berjanji kepadaku bahwa tiada orang yang mencintaiku kecuali orang mukmin dan tiada orag yang menyimpan kebencian kepadaku kecuali orang munafik. 7]
Pengutukan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib merupakan bid’ah terbesar yang pernah dilakukan seseorang di dalam sejarah Islam. Muawiyah dan keturunananya melakukan bid’ah keji ini selama 65 tahun. Tapi mengapa Kaum Salafy dan Wahaby tidak membicarakan bid’ah keji yang pernah dilakukan oleh Muawiyah? Mengapa? Mengapa ulama-ulama Wahaby yang hidup di bawah ketiak Kerajaan Saudi Arabia tidak membuka hadis-hadis ini? Mengapa mereka menyembunyikan hadis-hadis ini? Mengapa Kerajaan Saudi mendukung ulama-ulama Wahaby? Tak bisa disangkal lagi bahwa mereka ingin KERAJAAN mereka yang didirikan dan dijalankan tidak berdasarkan musyawarah (sekali lagi Bid’ah yang nyata lagi terang!), yang mereka jalankan dengan cara-cara di luar konteks Al-Quran dan Sunnah Nabinya, bisa tetap tegak sebagaimana yang dilakukan Muawiyah. Mereka semua (Ulama Salafy Wahaby dan Kerajaan Saudi Arabia) tidak mengikuti Sunnah Rasulullah Saw, tetapi yang mereka ikuti Bid’ah Muawiyah. Sahabat-sahabat Nabi yang tulus pun enggan mengikuti bid’ah yang diperintahkan Muawiyah. Sebagaian sahabat Nabi Saw, yang melawan BID’AH yang diterapkan Muawiyah ini dibunuh dengan sadis. 8]
Inikah sunnah Nabi? Bukan! Ini bid’ah Muawiyah bukan sunnah Nabi!! Kita membela Sunnah Nabi bukan membela Bid’ah Muawiyah!
Penghinaan dan sumpah serapah yang diperintahkan Muawiyah dan keturunannya terus berlangsung di mimbar-mimbar Jumat di seluruh kekuasaan Bani Umayyah yang terbenatang luas, sampai akhirnya khalifah Umar bin Abdul Azis menghapus bid;ah keji ini, tapi orang baik ini pun dibunuh oleh keluarganya sendiri karena berani menghapus BID’AH Muawiyah. 9]


INILAH BID’AH TERBESAR SEPANJANG SEJARAH UMAT ISLAM!

Anda lihat bagaimana ulama Salafy Wahaby, Kerajaan Saudi Arabia, Amerika Serikat dan Zionis Israel bersahabat erat! Inilah persekutuan yang mengerikan! Tidakkah Anda membuka mata Anda lebar-lebar? Lihat bagaimana mesranya Raja-raja Arab dengan pemeriuntahan Washington! Inilah bid’ah terbesar! Bersahabat dengan orang-orang yang membantai orang-orang Palestina. Lihatlah bagaimana Kerajaan Saudi Arabia bekerja sama dengan AS dan Zionis ingin menghancurkan HAMAS. Mereka mendukung Fatah, karena Fatah mendapat dukungan dari George Bush dan Ehud Olmert! Bukalah mata Anda, jujurlah terhadap diri kita sendiri! Sadarlah!

Di dalam Shahih Bukhari diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Sungguh kamu sekalian akan mengikuti sunah orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan Nasrani) sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta, sehingga walaupun mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu sekalian pun akan mengikuti mereka. Kami (para sahabat) bertanya: “Wahai Rasululah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani? Beliau menjawab : “Lalu siapa lagi kalau bukan mereka!” 10]


Catatan Kaki:
1. Hadits ini diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdullah di dalam Shahih Muslim Kitab Shalat, Bab 4, hadits no. 1885. Ahmad, An-Nasai dan Ibnu Majah juga meriwayatkannya dengan sanad yang shahih.
2. Shahih Bukhari, Jil. 3, Bab 49, no. hadits: 861.
3. Shahih Muslim, Kitab Fadhail Al-Shahabah, Bab 31, hadits no. 5915
4. Shahih Muslim, Jil. 1, hlm. 48; Sahhih al-Turmudzi Jil.3, hlm. 643; Sunan Ibn Majah, Jil.1, hlm.142; Musnad Ahmad ibn Hanbal Jil.1, hlm. 84, hadist no. 95128.
5. Fadhail al-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, Jil. 2, hlm. 639, hadis no. 1086.
6. Namun jika Anda ragu, saya persilahkan Anda membuka kitab-kitab yang saya cantumkan di dalam tulisan ini. Kalau Anda tidak bisa membaca Bahasa Arab, Anda bisa merujuk ke situs Kerajaan Saudi Arabia : http://hadith.al-islam.com/bayan/display.asp?Lang=ind&ID=941. Setelah itu Anda bisa mencari kata-kata yang ingin Anda rujuk pada kolom “cari”. Insya Allah Anda akan menemukan hadis-hadis yang saya ungkapkan di sini. Kalau ada beberapa hadis yang tidak Anda temukan, hal itu karena situs Kerajaan Saudi itu tidak menerjemahkan keseluruhan Kitab Shahih Muslim. Biasalah!
7. Shahih Muslim dalam versi bahasa Inggris, Jilid 1, Bab 34, hal. 46, hadis no. 141.
8. Baca Abul A’la Maududi di dalam bukunya : Khilafah dan Kerajaan, terbitan Mizan, atau baca juga karya Thaha Husain, Malapetaka Terbesar Dalam Sejarah Islam, terbitan Pustaka Jaya. Di dalam kitab-kitab sejarah Islam lainnya hal ini sudah tidak asing lagi.
9. Tarikh al-Thabari Jil. 4, hlm. 188; Tarikh Ibn Katsir Jil. 3, hlm.234, Jil. 4, hlm. 154; Bidayah wa al-Nihayah Jil. 8 hlm. 259, Jil. 9, hlm. 80.
10. Shahih Bukhari, hadis no. 3197
– Shahih Muslim, hadis no. 4822
– Musnad Ahmad bin Hanbal Jil. 3, hlm. 84, 89, dan 94.


Muawiyah Melaknat Imam Ali di Mimbar-mimbar Masjid

Saya benar-benar terkejut mendengar pertanyaan yang bertujuan membela Muawiyah di dalam sebuah komentar di blog ini. Mereka meragukan bahwa Muawiyah telah benar-benar mengutuk Imam Ali as. Apakah peristiwa ini benar-benar perintah Muawiyah? Begitu kata mereka. Mari kita buka kitab-kitab sejarah Islam yang mencatat kejadian tersebut, apakah peristiwa itu benar-benar pernah terjadi? Apakah benar itu pengutukan atau bukan? Jika benar, apakah memang pengutukkan itu atas perintah Muawiyah?

MUAWIYAH TELAH MENGUTUK SAYYIDINA ALI PADA SETIAP KHOTBAH JUMAT DAN HAL INI MENJADI BID’AH YANG TERUS MENTRADISI SELAMA 90 TAHUN SAMPAI BERKUASANYA UMAR BIN ABDUL AZIZ YANG BIJAK.

1. Ibn Abi al Hadid di dalam syarah atau komentarnya atas kitab Nahjul Balaghah Jil. 1 hlm. 464 menyatakan : “Pada akhir khotbah Jumat, Muawiyah mengatakan : “Ya Allah, laknatlah Abu Turab, dia yang telah menentang agama-Mu dan jalan-Mu, laknat dia dan hukum dia di neraka!” Muawiyah inilah yang memperkenalkan bid’ah terbesar dan terburuk ini kepada khalayak umat Islam pada masa kekuasaannya hingga masa Umar bin Abdul Aziz.”

2. Di dalam kitab Mu’jam al-Buldan Jil. 1, hlm 191, ‘Allamah Yaquut Hamawi menyatakan : “Atas perintah Mu’awiyyah, ‘Ali dilaknat selama masa kekuasaan Bani Umayyah dari Masyrik (Timur) hingga Maghrib (Barat) dari mimbar-mimbar Masjid.”

3. Masih di dalam kitab yang sama, Mu’jam al-Buldan Jil. 5, hlm. 35, Hamawi mengatakan : “Salah satu perubahan (bid’ah) terburuk yang telah dimulai sejak awal mula pemerintahan Muawiyah adalah bahwa Muawiyah sendiri dan dengan perintah kepada gubernurnya, membiasakan menghina Imam Ali saat berkhotbah di Masjid. Hal ini bahkan dilakukan di mimbar masjid Nabi di hadapan makam Nabi Muhammad Saw, sampai sahabat-sahabat terdekat Nabi, keluarga dan kerabat terdekat Imam Ali mendengar sumpah serapah ini.”

4. Di dalam kitab Al-Aqd al-Farid Jil. 1 hlm. 246, Anda bisa membaca : “Setelah kematian ‘Ali dan Hasan, Muawiyah memerintahkan sebuah titah ke seluruh masjid termasuk masjid Nabawi agar semua orang turut melaknat ‘Ali!”

5. Di dalam kitab yang sama, Al-Aqd al-Farid Jil. 2 hlm. 300 anda bisa membaca isi surat Ummu Salamah, isteri Rasulullah Saw, yang menulis kepada Muawiyah : “…Engkau sedang mengutuk Allah dan Rasul-Nya di mimbarmu karena engkau mengutuk Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang mencintai Ali, aku bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya mencintainya.” Tetapi tak seorang pun memperhatikan ucapannya.

6. Di dalam kitab al-Nasa’ih al-Kafiyah hlm. 77, Anda juga bisa membaca : “Praktek (pelaknatan) yang berlangsung sekian lama ini memunculkan sebuah asumsi bahwa apabila seseorang tidak melakukan pelaknatan tersebut maka shalat Jumat-nya tidaklah dianggap sah!”

7. Seorang alim dari Pakistan yang bermazhab Hanafi, Maulana Raghib Rahmani, di dalam kitabnya tentang “Hazrat Umar bin Abdul Aziz”, Khalifatul Zahid, hlm. 246 menyampaikan komentarnya dengan tajam : “(Praktek pelaknatan) ini tentu saja tidak menguntungkan, karena ini adalah bid’ah yang telah diperkenalkan ke masyarakat yang telah “memotong hidung” (memalukan) kota-kota, di mana bid’ah ini bahkan dilakukan di mimbar-mibar masjid, bahkan tanpa malu sampai juga ke “telinga” masjid Nabawi. Inilah bid’ah yang diperkenalkan oleh Amir Muawiyah!”

8. Di dalam bukunya Al-Khilafah wal Mulk yang sempat menggemparkan dunia Islam, Abul A’la al-Maududi, seorang alim Pakistan bermazhab Hanafi, menulis :
“Ketika pada zaman Muawiyah dimulai kebiasaan mengutuk Sayyidina Ali dari atas mimbar-mimbar dan pencaci-makian serta pencercaan terhadap pribadinya secara terang-terangan, di siang hari maupun di malam hari, kaum muslimin di mana-mana merasa sedih dan sakit hati sungguh pun mereka terpaksa harus berdiam diri menekan perasaannya itu. Kecuali Hujur bin Adi, yang tidak dapat menyabarkan dirinya…” (Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 209-210, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung)

Dan akhirnya, Muawiyah menyuruh Ziyad untuk membunuh Hujur bin ‘Adi, salah seorang sahabat besar Nabi yang zahid, abid, dan termasuk di antara tokoh-tokoh umat terbaik. Di dalam surat perintahnya, Muawiyah menulis : “Bunuhlah orang ini (Hujur) dengan cara yang seburuk-buruknya.” Maka Ziyad mengubur Hujur dalam keadaan hidup-hidup. (Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 211, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung)

“Kisah terperinci mengenai cobaan berat yang dialami oleh Hujur bin ‘Adi itu banyak terdapat di dalam buku-buku yang ditulis oleh para ahli hadis maupun para ahli sejarah, baik yang sudah tersebar luas maupun yang tidak disebarkan,” Begitu tulis Thaha Husain di dalam bukunya yang terkenal al-Fitnah al-Kubra yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Malapetaka Terbesar Dalam Sejarah Islam pada hlm. 624, yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Cet. I, Tahun 1985.

Inilah sebagian bukti-bukti tertulis di dalam kitab-kitab sejarah yang bisa anda temui hingga saat ini. Apakah masih terbetik keraguan di dalam hati anda tentang bejatnya Muawiyah, si setan berwujud manusia ini?

Dan ketika Hasan bin Ali mengundurkan diri sebagai khalifah, Muawiyah pun akhirnya berdiri sebagai seorang penguasa tunggal, lalu dia menyampaikan pidatonya di kota Madinah :
“Amma ba’du! Sesungguhnya aku, demi Allah ketika menjadi penguasa atas kamu sekalian, bukannya aku tidak mengetahui bahwa kalian tidak menyenangi kekuasaanku ini, tetapi sesungguhnya aku benar-benar tahu apa yang ada dalam hati kalian tentang hal ini, namun aku telah merampasnya dari kalian dengan pedangku ini. Dan sekiranya kalian tidak menadpati diriku telah memenuhi hak-hak kamu seluruhnya, hendaknya kalian memuaskan diri dengan sebagiannya saja dariku!” (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Jil. 8, hlm. 132)

Pada masa kekuasaan Muawiyah, rakyat dibungkam dari menyampaikan kebenaran, mereka hanya boleh memuji-muji atau jika enggan sebaiknya diam. Karena jika rakyat berani memprotes pemerintah pada masa itu maka bersiap-siaplah untuk dijebloskan ke dalam penjara, dibunuh, disiksa atau paling tidak dibuang! (Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 209, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung)

Apakah orang seperti ini yang ingin anda bela mati-matian? Hanya orang-orang yang serupa dengan Muawiyah saja dan pengikutnya yang super dungu yang ngotot membela manusia keji semacam ini! Mereka itulah kaum Wahabi para pemuja kaum durjana seperti Muawiyah bin Abi Sufyan dan Yazid bin Muawiyah. Mereka menjadikan keduanya sebagai pemimpin-pemimpin mereka!

Jika anda membenci kekejaman, kezaliman, dan kebengisan yang dilakukan para diktator dunia seperti Adolf Hitler, Pol Pot, Slobodan Milosevich, Saddam Husein, George W Bush, Ehud Olmert, maka anda juga mesti membenci makhluk durjana seperti Muawiiyah ini. Tapi itu pun jika hati nurani anda masih sehat wal afiat…

Di dalam Musnad Ahmad bin Hanbal Jil. 6, hlm. 33, diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw yang kita cintai telah bersabda, “Barangsiapa yang mengutuk Ali sesungguhnya ia telah mengutukku. Barangsiapa yang berani mengutukku berarti ia telah mengutuk Allah. Barangsiapa yang telah mengutuk Allah, maka Allah akan melemparkannya ke neraka Jahannam!”

Rasulullah Saw telah menubuwatkan bahwa peristiwa pelaknatan atau pengutukan atas sahabat Nabi yang mulia, Ali bin Abi Thalib, yang juga salah seorang anggota Ahlul Bayt akan terjadi. Melalui mata batinnya, Rasulullah Saw telah melihat beberapa sahabatnya yang sangat dengki terhadap Sayyidina Ali as. Allah Swt pun menyingkapkan kedengkian mereka terhadap Nabi Saw dan Ahlul Baytnya :

“Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun kepada manusia. Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.”
(Al-Quran Surah Al-Nisaa [4] ayat 54)

Ingatkah anda, bagaimana anda melafadzkan shalawat kepada Nabi Saw di dalam shalat anda?

Inilah mengapa dengan teramat keras Nabi Saw memperingatkan umatnya untuk tidak melakukan tindakan bodoh tersebut. Dan anda perhatikan, bahwa Ummu Salamah, isteri Nabi telah memperingatkan Muawiyah tentang hal ini, namun lelaki durjana ini tiada mempedulikan peringatan tersebut.

Saya berdoa kepada Allah Swt semoga orang-orang yang tulus namun masih meragukan kebenaran ini menjadi tersadarkan dan semakin mendapatkan keyakinan yang sahih…
_______________________________________

Siapa Muawiyah Sebenarnya?

Menurut kaum Wahabi & Nasibi yang diwakili oleh Abu Sulaiman 1] :
“Muawiyah tidak menginginkan kekuasaan, atau dengan kata lain tidak menolak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ra, tetapi Muawiyah (hanya) meminta Ali agar menyerahkan pembunuh Utsman, dan setelah itu dia (Muawiyah) akan mematuhinya (Ali).”

Pernyataan di atas ini jelas-jelas janggal dan memang salah satu ciri kaum Wahabi & Nasibi yang selalu menggunakan argumen-argumen yang serba janggal. Karena bagaimana pun jika otak kita masih utuh, kita akan sadar bahwa apa yang diminta oleh Muawiyah saat itu adalah Qishash, dan Qishash hanya bisa dilaksanakan oleh seorang khalifah yang sah.

Zamir Sayyid mengomentari hal ini di dalam Sharra Muwaffaq hlm. 530 :
“Tugas seorang Imam (khalifah) adalah menerapkan Syari’ah, menerapkan hukum Qishash, Nikah, Jihad, Eid, dan hukum-hukum seperti itu yang tidak dapat diimplementasikan tanpa seorang Imam (khalifah)”

Di dalam kitab Syarah al-Maqashid hlm. 251 bisa kita dibaca :
“Penunjukkan (pengangkatan) seorang Imam adalah mutlak diperlukan, karena dialah yang mengimplementasikan syariat dan menempatkan batas-batas yang diperlukan atas seseorang”

Jadi, jika seseorang (seperti Abu Sulaiman ini) menggunakan pendirian Muawiyah seperti itu, maka jelas bahwa apa yang diminta oleh Muawiyah adalah aneh, seperti olok-olokan saja, karena bagaimana mungkin Qishash bisa dilaksanakan sementara dia sendiri menolak mengakui kekhalifahan Imam Ali yang sah! Lalu bagaimana suatu sistem pemerintahan yang sehat bisa memberi izin warganya untuk melakukan tindakan BALAS DENDAM? Apakah seseorang warga negara di bawah sistem pemerintahan Islam (atau sistem mana pun) dibolehkan untuk melakukan pembunuhan demi membalaskan dendam atas kematian sanak keluarganya? Apakah “alim” Nasibi ini (Abu Sulaiman) ingin menciptakan suatu sistem anarki yang seperti itu? Tampaknya lelaki ini tidak mengerti apa-apa tentang hal ini!

Argumen-argumen murahan seperti itu jelas-jelas hanya usaha yang dipaksakan untuk membela Muawiyah semata-mata!

Seluruh ulama Ahlus Sunnah juga sepakat bahwa pemerintahan yang sah jelas-jelas dipegang oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. Jadi siapa pun yang menentang pemerintah yang sah saat itu maka dia bughat atau baghy : durhaka atau memberontak!

Itulah sebabnya Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang taat kepada Ali maka berarti ia taat kepadaku dan barangsiapa yang taat kepadaku berarti taat kepada Allah. Dan barangsipa yang tidak taat kepada Ali maka dia tidak taat kepadaku dan barangsiapa yang tidak taat kepadaku berarti dia tidak taat kepada Allah.” (Kanz al-‘Ummal, hadits no. 32973) 2]


MENGGUNAKAN DARAH UTSMAN HANYA UNTUK MENIPU ORANG-ORANG DUNGU

Imam Ali as melayangkan surat kepada Muawiyah yang menyatakan, “(Masyarakat) Makkah dan Madinah sudah memberikan bai’at kepada saya. Anda pun mesti melakukan hal yang sama (seperti mereka) untuk menghindarkan perang antara Iraq (Imam Ali) dan Siria (Muawiyah). Tapi Muawiyah menggunakan darah Utsman untuk menolak memberikan bai’atnya. Dia menggunakan alasan ini untuk menyesatkan orang-orang Arab yang dungu, menyuap banyak orang dengan uang dan tanah!” (Ibn Maghazili, Manaqib Ali bin Abi Thalib, hlm. 128, Bab Perang Shiffin)


APAKAH MOTIF MUAWIYAH SEBENARNYA DIBALIK PENENTANGANNYA TERHADAP IMAM ALI?

Di dalam kitab Ahlus Sunnah, al-Nasa’ih al-Kaafiyah hlm. 19, kita bisa membaca :
“Khalifah Utsman meminta bantuan (tentara) kepada Muawiyah, tetapi Muawiyah tidak mempedulikannya. Ketika situasi semakin memburuk dan hanya tersisa sedikit kesempatan untuk khalifah Utsman dapat bertahan hidup, barulah Muawiyah mengirimkan Yazin bin Asand al-Khasyiri dengan pasukannya dan Muawiyah berkata kepadanya untuk mengamati Zikush dan tetap di sana. Sang panglima (Yazid) mematuhi perintah ini dan ketika Utsman terbunuh, Muawiyah memrintahkan pasukannya untuk kembali (ke Siria). Tindakan Muawiyah ini bertujuan untuk memperlihatkan kepada masyarakat (Siria) bahwa dia telah mengirimkan pasukannya (ke Madinah), padahal kenyataannya semua itu hanya tipu muslihatnya agar dia dapat (nantinya) mengekspolitasi kematian Utsman untuk mengambil alih kekuasaan.”

Muawiyah bukanlah orang yang cerdik. Lelaki ini hanyalah seorang politikus licik yang memanfaatkan kebodohan masyarakat Siria agar dia memperoleh kekuasaan yang lebih besar lagi. Mungkin sebagian kaum Nasibi belum merasa yakin dengan argumen ini, maka mari kita ungkapkan satu argumen lainnya untuk mereka. Mudah-mudahan otak mereka masih utuh sehingga mereka masih bisa menggunakannya untuk berpikir.


SATU BUKTI LAINNYA : PERJANJIAN MUAWIYAH DENGAN AMR BIN ASH

Di dalam kitab ‘Iqd al-Farid Jil. 2, hlm. 238, kita akan membaca sebuah kesaksian dari mulut Imam kaum Nasibi ini, yaitu Muawiyah. “Muawiyah meminta Amr bin Ash agar berbai’at (sumpah setia) kepadanya. Amr menjawab, “Jika bai’at itu berkenaan dengan urusan akhirat, maka pasti Allah tidak besertamu, tapi jika baiat itu berkenaan dengan urusan dunia, maka aku menginginkan bagianku”. Muawiyah menjawab, “Di duniaku ada bagian yang sama”. Amr mengatakan, “Aku ingin engkau menuliskan hal ini (di atas kertas), bahwa engkau akan memberikan wilayah Mesir dan sekitarnya kepadaku”. Muawiyah menyetujuinya dan Amr pun memberikan baiat kepadanya. Amr mengatakan agar hal ini juga tertulis dalam sebuah kesepakatan bersama. Muawiyah pun mengatakan, “Orang tidak akan melihat perjanjian ini.” Maka Amr pun berujar, “Lakukanlah!”. Pada kesempatan itu Umro datang dan Amr berkata, “Muawiyah, aku telah menjual agamaku kepadamu.” Umro berkata, “Sungguh, berilah dia kesepakatan sepenuhnya karena dia adalah sahabat Nabi!” 3]

Orang modern sekarang ini menyebut cara-cara seperti ini sebagai KOLUSI!

Catatan kaki:
Catatan penting : semua kitab-kitab di atas mau pun di bawah ini ditulis oleh para sarjana Muslim Ahlus Sunnah.
1. Abu Sulaiman menggunakan argumen-argumen yang diambilnya dari kitab Siyar A’alam Al-Nubala’a, yang ditulis oleh Al-Tsahabi, Jil. 3hlm. 140.
2. Muttaqi al-Hindi, Kanz ul Ummal, hlm 614, Hadith no. 32974 & 32977:
a. Mustadrak al-Hakim, Jil. 3, hlm. 128.
b. Riyadh al-Nadira, Jil. 3, hlm. 110.
3. Ibn ‘Abd Rabbih, ‘Iqd al-Farid Jil. 2, hlm. 238.
_________________________________________

Seorang ulama Ahlus Sunnah, Shah Abdul Aziz al-Dahlawi, di dalam kitab fatwanya, Fatwa Azizi, Bab 8, Bab Marwan, hlm. 161, membuat pernyataan :

“Para sarjana ahli hadis telah menyimpulkan bahwa tindakan Muawiyah (melawan Ali bin Abi Thalib) didasarkan pada dendam pribadinya dan hawa nafsunya, bukan karena permusuhan yang telah ada antara kaum Quraisy dengan Bani Umayyah menyusul dengan terbunuhnya khalifah Dzun Nurayn (Utsman). Yang sebenarnya adalah bahwa dia (Muawiyah) adalah seorang pelaku dosa-dosa besar, pendurhaka (baghy), pemberontak dan seorang yang fasiq!” 1]

Tidak ada yang meragukan hal ini kecuali kaum Wahabi, yang merupakan produk Inggeris 2] dan Kerajaan Saudi.
Di dalam kitab-kitab sejarah yang ditulis oleh para sarjana Ahlus Sunnah, disebutkan bahwa ketika Muawiyyah bin Yazid (Muawiyyah II) diangkat menjadi khalifah untuk menggantikan Yazid bin Muawiyyah, dia memberikan khotbah sbb :
“Sesungguhnya kekhilafahan itu milik Allah Swt. Kakekku (Muawiyah bin Abu Sufyan) telah memerangi orang yang memang layak atas kekhalifahan, dan orang itu adalah Ali bin Abi Thalib dan dia melakukan tindakan-tindakan seperti itu yang kalian telah menyadarinya dan sebagai konsekuensinya dia menderita karena tindakan-tindakannya itu.” 3]

Yang menarik adalah bahwa pernyataan ini disampaikan oleh cucu Muawiyyah sendiri, atau putra dari Yazid bin Muawiyah. Dan karena pernyataan dan sikap-sikap Muawiyah II ini melawan dan menentang kebijakan-kebijakan Bani Umayyah yang sudah mengakar di kalangan mereka, maka akhirnya cucu Muawiyah ini pun dibunuh dengan diracun oleh kerabatnya sendiri dari Bani Umayyah.

Mengapa Muawiyah menuntut qishash atas darah Utsman kepada Ali bin Abi Thalib, tetapi tidak kepada Amr bin Ash, salah seorag provokator untuk memberontak kepada Utsman bin Affan? Padahal Amr bin Ash telah berkata secara terang-terangan: “Akulah Abu Abdullah! Ketika aku menggaruk borok maka aku telah memotongnya. Aku selalu menyrukan perlawanan terhadapnya (Utsman) dengan penuh nafsu. Aku bahkan telah menghasut para penggembala di puncak pegunungan untuk memberontak kepadanya (Utsman).” 4]

Para sejarawan juga mencatat, bahwa setelah Muawiyah berkuasa, dia justru mengangkat Amr bin Ash menjadi orang kepercayaannya atau penasihatnya. Aneh bukan?

Sebuah komentar terbaru dari seorang akademisi Sunni Professor Masudul Hasan, di dalam kitabnya Hazrat Ali al-Murtadha, halaman. 248 mengatakan :
“Kendati Muawiyah menangis untuk membalas dendam atas darah Utsman, terbuktyi tidak melakukan apa pun, sebaliknya malah melakukan persekutuan dengan laki-laki yang pada kenyataannya telah menimbulkan pemberontakan terhadap Utsman. Kendati Amr bin Ash adalah orang yang paling keras melawan Utsman semasa hidupnya, terlihat seperti orang yang tidak melakukan satu kesalahan dan bergabung (bersama Muawiyah) menjadi kelompok orang-orang yang menuntut balas atas darah Utsman yang padahal dia sendiri terlibat secara langsung atau tidak langsung atas pembunuhannya.”

Catatan Kaki :
Saya tekankan di sini bahwa : semua kitab-kitab yang menjadi referensi tulisan ini adalah kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama Ahlus Sunnah!
1. Banyak sekali hadis Rasulullah Saw yang menyatakan seperti :
– “Memusuhi Ali berarti memusuhi Rasulullah Saw.” Lihat kitab Kanz al-‘Ummal Jil. 15 hlm. 96, hadis no. 273, Cet. Ke-2. (Kitab ini ada lengkap di perpustakaan LIPIA. Saya pernah membacanya di perpustakaan LPBA (sekarang LIPIA) yang dulu berlokasi di Matraman Jakarta Timur)
– “Barangsiapa yang menyakiti Ali berarti telah menyakitiku.” Lihat hadis ini di dalam : * Mustadarak al-Hakim Jil. 2, hlm. 122,
* Musnad Ahmad bin Hanbal Jil 3, hlm. 483.
* Dzakhair al-‘Uqba hlm. 65
* Tarikh al-Khulafa’ li Suyuthi, hlm. 173.
Masih banyak hadis lainnya yang pada kesempatan lain akan saya ungkapkan lebih jauh lagi. Insya Allah!
2. Ada 3 sekte “Islam” yang ketiga-tiganya adalah produk Imperialis Inggeris :
– Di Saudi Arabia adalah Wahabi.
– Di Pakistan adalah Ahmadiyyah Qaddiyan
– Di Iran adalah Bahaiyyah. (Baca buku : Mudzakkarah Mr. Hempher)
3. Tarîkh al-Khamîs, Jil. 2, hlm. 301
– Tarîkh al-Ya’qubi, Jil. 2, hlm. 241;
– Sawâiq al- Muhriqah, hlm. 134;
– Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 325.
4. Al-Thabari, Jil. 4, hlm. 356-57.
_____________________________________

Faktor yang menyebabkan Muawiyah menentang Imam Ali a.s


Pertanyaan:
Apakah faktor yang menyebabkan Muawiyah menentang Imam Ali As?

Jawaban Global:
Penentangan Muawiyah terhadap Imam Ali As merupakan penentangan dan reaksi antara dua budaya dan dua bentuk pemikiran, sehingga dengan demikian faktor penyebabnya harus dicari dari sifat-sifat dan karakter yang terdapat pada kedua belah pihak.

Imam Ali As mempunyai sifat dan karakter-karakter seperti: berilmu, memiliki latar belakang iman, berani, pemurah, rela berkorban, adil, dan lain sebagianya sehingga pengaruh dari sifat-sifat mulia ini telah membuat Allah Swt menempatkan kasih sayang kepada beliau di kalbu-kalbu manusia sehingga telah menyebabkan kedengkian dan permusuhan dalam diri orang-orang yang tak beriman kepada beliau.

Jawaban Detil:
Penentangan Muawiyah pada Imam Ali As bukanlah sebuah penentangan seseorang terhadap orang lain, melainkan sebuah penentangan dan sikap dua budaya dan dua bentuk pemikiran. Faktor penyebab penentangan, permusuhan dan kedengkian terhadap beliau ini harus dicari dalam sifat-sifat dan karakter-karakter yang terdapat dalam diri Imam dan tolok-tolok ukur beliau dalam menghadapi manusia, demikian juga dengan melihat sifat-sifat dan karakter-karakter yang dimiliki oleh Muawiyah.

Imam Ali As memiliki sifat-sifat dan karakter-karakter yang mulia sehingga hal ini telah menyebabkan kegembiraan bagi sahabat-sahabatnya dan kebencian, kedengkian dan permusuhan bagi para penentang beliau.

Sebagian dari sifat dan karakter-karakter ini antara lain adalah:
Ilmu Imam Ali As: Setelah Rasulullah Saw, Imam Ali As merupakan satu-satunya manusia yang paling berilmu dan berpegetahuan dalam bidang ahkam, aturan-aturan Islam, kejadian-kejadian, rahasia dunia dan sistem penciptaan, sedemikian hingga sahabat maupun musuh akan merujuk kepada beliau saat menemukan jalan buntu dalam menghadapi masalah.

Latar belakang dan histori iman: Imam Ali As adalah lelaki pertama yang beriman kepada Rasulullah Saw, dan Rasul memperkenalkannya sebagai penerus (khalifah) dan wasinya.

Keberanian dan kekesatriaannya di medan perang: keberanian luar biasa yang dimilikinya telah menyebabkan beliau senantiasa mendapatkan tanggung jawab dalam perang-perang yang paling susah dan paling berbahaya, dan beliau berhasil mematahkan musuh dengan kesetiaan dan pengorbanannya.

Pemurah dan penuh kasih: Imam Ali As sangat pemurah dalam harta pribadi, sedemikian hingga segala jerih payah dan upaya beliau dalam menggali sumur-sumur, membuat saluran-saluran air dan perkebunan kurma, tak sedikitpun yang beliau sisakan untuk dirinya, melainkan beliau mewakafkan seluruhnya di jalan Allah.

Setia dan penuh pengorbanan: Imam Ali As, selain pemurah dalam masalah harta, dalam banyak kasus, beliau rela mengorbankan kebutuhan yang diperlukan oleh dirinya dan keluarganya untuk orang-orang yang kekurangan, dimana salah satu contohnya telah diceritakan dan dipuji dalam al-Quran.[1]

1. Keadilan: keadilan Imam Ali merupakan sifat beliau yang sangat jelas, sedemikan hingga beliau menjadi teladan bagi seluruh pencari keadilan. Dalam masalah ini beliau bersabda, “Demi Allah, jika ketujuh petala langit dengan seluruh bintang-bintangnya diberikan kepadaku supaya aku mengambil sebutir kulit gandum dari mulut semut secara paksa, maka aku tidak akan pernah melakukanya.”[2]
2. Penghambaan kepada Allah dan penentangan terhadap hawa nafsu: beliau tidak pernah melangkahkan kaki karena hawa nafsu, melainkan senantiasa menekan keinginan dan hawa nafsunya karena Allah dan melakukan segala sesuatunya hanya dalam penghambaan yang ikhlas dan berbuat untuk Allah. Perang dengan Amru bin Abduwud merupakan salah satu dari contoh dari keikhlasannya.

Dikarenakan pengaruh sifat-sifat dan karakter-karakter mulia dan dikarenakan ayat mulia yang berbunyi, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang”[3] inilah Allah Swt menempatkan kasih sayang kepada beliau di dalam kalbu-kalbu manusia dan beliau adalah sosok yang paling mulia di sisi masyarakat. Inilah sebenarnya yang telah menyebabkan kedengkian dan permusuhan orang-orang yang tak beriman kepada beliau, karena mereka yang mengklaim beriman dan memiliki kelebihan ini ternyata tidak mampu sampai pada kedudukan beliau dalam sifat-sifat ini. Akan tetapi satu sifat yang menjadi faktor utama penyebab munculnya permusuhan, terutama permusuhan Muawiyyah, adalah keadilan Imam Ali As.

Setelah menerima kursi kekhalifahan, dalam pidato pertamanya di masjid Madinah, dengan transparansi sempurna, beliau menyampaikan seluruh sikap dan programnya dimana di antaranya adalah ketegasan beliau dalam lintasan utama pemerintahan, beliau berbicara tentang keadilan yang meluas, melawan kezaliman dan menghormati kelayakan, dan mengatakan bahwa beliau pasti akan mengubah kondisi yang ada saat itu, ketertinggalan orang-orang layak pasti akan tergantikan, dan orang-orang tak layak, pasti akan disingkirkan.[4] Harta yang telah terampas akan dikembalikan bahkan kendati telah berada di dalam lemari para perempuan atau telah dibayarkan kepada para kaniz, karena “dalam keadilan terdapat keluasan dan barang siapa yang keadilan sempit baginya, maka kezaliman adalah lebih sempit lagi baginya.”[5]

Dari kutub yang berlawanan, Muawiyah adalah seorang sosok yang ambisius terhadap kekuasaan dimana untuk mencapai kekuasaan ini ia akan melakukan segalanya, sebagaimana yang terdapat dalam sejarah dimana setelah perdamaian dengan Imam Hasan As, pada suatu hari dalam khutbah shalat Id, Muawiyah mengungkap tujuan-tujuannya sendiri dengan mengatakan, “Aku berperang denganmu bukan karena puasa, salat, haji atau pembayaran zakat, karena kami mengetahui engkau melakukan seluruh hal-hal ini, akan tetapi aku berperang denganmu supaya aku bisa menjadi pemimpinmu, Allah telah memberikan kepemimpinanmu kepadaku dan engkau tidak menginginkan.”[6]

Oleh karena itu sangatlah jelas, pemikiran yang seluruh upayanya adalah kekuasaan dan pemerintahan atas rakyat, sudah tentulah tidak akan mampu mengalahkan pemerintahan Imam Ali As yang sangat berharga.

Selain dari itu, terbunuhnya nenek moyang dan orang-orang musyrik terdekat Muawiyah di perang-perang yang terjadi pada awal Islam telah mengobarkan api balas dendam dalam diri mereka terhadap Islam dan Rasulullah, dan ini juga merupakan motivasi penting lain yang memunculkan penentangan pada Imam Ali As sebagai simbol Islam dan orang yang terdekat dengan Rasulullah Saw. Sebagaimana anaknya Yazid, setelah membunuh Imam Husain As, di depan kepala mulia beliau yang terpenggal, ia menguak tirai yang memberikan ketenangan bagi kesulitannya selama ini dan mengumandangkan syair, “Wahai, andai saja ayah-ayahku yang telah tewas di perang Badar menyaksikan kehinaan, kerendahan dan kekacauan kabilah Khazraj ...”. Hal ini merupakan penggalan syair yang dilantunkan oleh Ibnu Zab’ari di perang Uhud setelah umat Muslim mengalami kegagalan dan para sahabat Rasulullah syahid dalam peperangan[7], dan kini Yazid melantunkan syair ini setelah membunuh Imam Husain As, ia mencoba menyerupakan dua kejadian ini dan mengkhayalkan nenek moyang musyriknya berada di sana dan menyaksikan bagaimana Yazid berhasil membalaskan dendam mereka terhadap keturunan Rasulullah Saw.

Oleh karena itu, motivasi utama penentangan Muawiyah dan dinastinya dengan pemerintahan Imam Ali As dan keturunannya, sesungguhnya adalah penentangan mereka dengan prinsip Islam dan asas yang diletakkan oleh Rasulullah Saw.

Referensi:
[1]. “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Mereka hanya berkata), “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih darimu. Sesungguhnya Kami takut kepada Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (Qs. Al-Insan [76]: 8-10).
[2]. Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 13, hal. 211.
[3]. (Qs. Maryam [19]: 96).
[4]. Nahj al-Balâghah, khutbah 16, hal. 57.
[5]. Ibid, Khutbah 15, hal. 57.
[6]. Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Damisyqi, Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 8, hal. 131, Nasyr Dar al-Fikr, Beirut, 1986/1407.
[7]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 8, hal. 204.
________________________________________





SEJARAH - Mu'awiyah bin Abu Sufyan:
Sunni Pencela Sahabat atau Mu’awiyah cs ?

KARENA JASA UMAR BIN ABDUL AZIS TERHADAP PENGHENTIAN PELAKNATAN TERHADAP IMAM ALI KW DAN PEMBONGKARAN KEPALSUAN ABU BAKAR TENTANG FADAK.

Kisah bagaimana laknatan terhadap Imam Ali a.s dihentikan oleh Umar bin Abdul Aziz diceritakan oleh Ibn Athir dan Ibn Abil Hadid seperti berikut :
“Aku (Umar bin Abdul Aziz) belajar Qur’an dari seorang keturunan Atbah bin Masud. Pada suatu hari beliau berjalan melintasi aku ketika aku sedang bermain dengan kawan-kawanku dan melaknat Saydina Ali. Beliau nampak tidak senang ketika menyaksikan hal ini dan terus ke masjid. Aku mengikuti beliau ke masjid untuk mempelajari al-Qur’an daripadanya.

Guruku tidak memperdulikanku dan memanjangkan solatnya dan nampaknya beliau tidak menyukai perbuatan aku tadi. Aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak menyukai perbuatan aku itu.

Beliau bertanya kepadaku:” Adakah kamu juga melaknat Saydina Ali selama ini?” Aku mengiyakannya.
Beliau berkata:” Dari mana kamu dapat tahu Saydina Ali dibenci Allah SWT ?”
Aku berkata: ” Adakah Ali salah seorang ahli Badar?”
Beliau berkata: “Kejayaan Perang Badar adalah untuk Ali.”
Aku berkata: “Aku tidak akan menlaknat Saydina Ali pada masa akan datang.”
Guruku meminta aku berjanji bahawa aku tidak akan melakukan perbuatan menlaknat Saydina Ali pada masa akan datang dan aku pun memenuhi permintaannya itu.”
Umar bin Abdul Aziz selanjutnya berkata:” pada Hari Jum’at ayahku berdiri di atas mimbar di Madinah menyampaikan khutbah dan berucap dengan fasihnya. Walau bagaimanapun ketika dia sampai kepada kata-kata laknatan kepada Saydina Ali dia menjadi tergagap-gagap, rendah suara dan terlihat sukar untuk menyatakan laknatan itu.
Aku memikirkan hal itu. Pada suatu hari aku bertanya kepada ayahku:” Ayah seorang pemidato yang fasih.”
Ayahku berkata:” Engkau menyedari perkara itu?” Aku menjawab:” Ya.”
Ayahku kemudian berkata: “Jika orang-orang Syria dan yang lain-lain mengetahui kebaikan-kebaikan Ali, mereka tidak akan mentaati kita sebaliknya mereka akan berpihak kepada keturunan Ali.”.

Aku ingat kata-kata ini dan kata-kata guruku semasa aku kecil dulu dan aku berjanji kepada Allah AZWJ seandainya aku menduduki jabatan khalifah, aku akan menghentikan laknatan terhadap Saydina Ali.”
Umar bin Abdul Aziz menunaikan janjinya dan melarang laknatan terhadap Saydina Ali di atas mimbar dan memerintahkan ayat berikut dibaca bagi menggantikan laknatan tersebut: ” Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl (16) :90).

Beliau mengirim perintah tersebut ke seluruh pelosok kota. Tindakannya ini di ambil sebagai satu tanggungjawab dan seterusnya menjadi amalan dalam masyarakat. Mereka memuji Ibn Abdul Aziz karena tindakan beliau itu.

Umar juga bertanggungjawab mengembalikan Tanah Fadak kepada keturunan Fatimah AS. Beliau menyerahkan Tanah Fadak kepada Imam Muhammad al-Baqir a.s.

Tindakannya itu mendapat kritikan sebahagian Quraisy dan orang-orang Syria karena anggapan mereka mereka bahwa Umar bin Abdul Azis telah menyalahkan keputusan Abu Bakar dan Umar al-Khattab.

Umar bin Abdul Aziz berkata: “Tuntutan Fatimah atas Tanah Fadak adalah berdasar dan tanah itu adalah miliknya. Fatimah sebagai penghulu wanita di syurga sudah tentu tidak akan membuat tuntutan palsu yang disandarkan kepada Rasulullah SAWW. Oleh karena itu dengan tindakan ini aku mengharapkan taqarrub kepada Allah dan Nabi-Nya dan aku mengharapkan syafaat dari Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husayn. Seandainya aku berada di pihak Abu Bakar, aku akan menerima permintaan Fatimah dan tidak akan menuduh beliau (a.s) pembohong.”.


MUAWIYAH TELAH MENGUTUK SAYYIDINA ALI PADA SETIAP KHOTBAH JUMAT

Pengalaman yang saya alami ketika seorang teman yang bermazhab ASWAJA secara mengejutkan mengaku mengagumi Muawiyah. Biasanya yang terjadi cuma menganggap Muawiyah sebagai salah seorang “sahabat” Nabi… Oke lah kalau Ali disbanding kan dengan Abu Bakar atau Umar. Tapi dengan Muawiyah ? No way ! Seorang Hamka yang Wahabi saja (dalam bukunya Sejarah Umat Islam) menyebut Muawiyah sebagai sangat licik dan cinta dunia.

Salah satu tujuan tulisan2 saya yang membeberkan tentang bid’ah2 yang dilakukan Mua’wiyyah bin Abu Sufyan adalah ingin memperlihatkan ketidakkonsistenan org2 yang senang berkoar2 dengan BID’AH, SYIRIK, TAKHAYUL dsb, yaitu Wahabi_Salafy. Ketika mereka mencerca orang lain dengan bid’ah, tapi anehnya mereka membela Muawiyyah yang jelas2 melakukan bid’ah2 keji. Ada apa ini ? Wahabi Salafy adalah para pengikut Mua’wiyyah yang membenci Imam Ali dan keluarga Rasulullah, dan salah satunya adalah si Abu al-Jauza’ ini. para Wahabiyyun senang memotong/ mensensor keterangan2 yang asli..Kita bisa melihat, betapa semangatnya kaum Wahabi membela Mu’awiyyah sebagaimana Ibn Taymiyyah. Berwali kepada Raja-raja Saudi dan pemimpin2 AS dan Uni-Eropa. Na’udzu billah…Semakin nyata kebencian hebat mereka kepada Imam Ali dan Ahlul Bayt Rasul.

Inilah salah satu bukti kebodohan salafi , coba anda buka ayat2 Quran, bukankah ada ayat2 Quran yang mengecam perbuatan2 para sahabat nabi yang fasiq, zalim dan munafiq? Jika anda baca al-Quran dengan cermat tentang ayat2 Quran yang mengecam sahabat2 Nabi yang lari dari perang, yang kikir dsb. Wah…terlalu banyak ayat2 Quran yang membuktikan bahwa tidak semua sahabat Nabi itu adil, apalagi ditambah bukti2 sejarah Islam.

Inilah bukti bid’ah Mu’awiyah yang mengutuk Imam Ali :
1. Ibn Abi al Hadid di dalam syarah atau komentarnya atas kitab Nahjul Balaghah Jil. 1 hlm. 464 menyatakan : “Pada akhir khotbah Jumat, Muawiyah mengatakan : “Ya Allah, laknatlah Abu Turab, dia yang telah menentang agama-Mu dan jalan-Mu, laknat dia dan hukum dia di neraka!” Muawiyah inilah yang memperkenalkan bid’ah terbesar dan terburuk ini kepada khalayak umat Islam pada masa kekuasaannya hingga masa Umar bin Abdul Aziz.”.
2. Di dalam kitab Mu’jam al-Buldan Jil. 1, hlm 191, ‘Allamah Yaquut Hamawi menyatakan : “Atas perintah Mu’awiyyah, ‘Ali dilaknat selama masa kekuasaan Bani Umayyah dari Masyrik (Timur) hingga Maghrib (Barat) dari mimbar-mimbar Masjid.”.
3. Masih di dalam kitab yang sama, Mu’jam al-Buldan Jil. 5, hlm. 35, Hamawi mengatakan : “Salah satu perubahan (bid’ah) terburuk yang telah dimulai sejak awal mula pemerintahan Muawiyah adalah bahwa Muawiyah sendiri dan dengan perintah kepada gubernurnya, membiasakan menghina Imam Ali saat berkhotbah di Masjid. Hal ini bahkan dilakukan di mimbar masjid Nabi di hadapan makam Nabi Muhammad Saw, sampai sahabat-sahabat terdekat Nabi, keluarga dan kerabat terdekat Imam Ali mendengar sumpah serapah ini.”.
4. Di dalam kitab Al-Aqd al-Farid Jil. 1 hlm. 246, Anda bisa membaca : “Setelah kematian ‘Ali dan Hasan, Muawiyah memerintahkan sebuah titah ke seluruh masjid termasuk masjid Nabawi agar semua orang turut melaknat ‘Ali!”.
5. Di dalam kitab yang sama, Al-Aqd al-Farid Jil. 2 hlm. 300 anda bisa membaca isi surat Ummu Salamah, isteri Rasulullah Saw, yang menulis kepada Muawiyah : “…Engkau sedang mengutuk Allah dan Rasul-Nya di mimbarmu karena engkau mengutuk Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang mencintai Ali, aku bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya mencintainya.” Tetapi tak seorang pun memperhatikan ucapannya.
6. Di dalam kitab al-Nasa’ih al-Kafiyah hlm. 77, Anda juga bisa membaca : “Praktek (pelaknatan) yang berlangsung sekian lama ini memunculkan sebuah asumsi bahwa apabila seseorang tidak melakukan pelaknatan tersebut maka shalat Jumat-nya tidaklah dianggap sah!”.
7. Seorang alim dari Pakistan yang bermazhab Hanafi, Maulana Raghib Rahmani, di dalam kitabnya tentang “Hazrat Umar bin Abdul Aziz”, Khalifatul Zahid, hlm. 246 menyampaikan komentarnya dengan tajam : “(Praktek pelaknatan) ini tentu saja tidak menguntungkan, karena ini adalah bid’ah yang telah diperkenalkan ke masyarakat yang telah “memotong hidung” (memalukan) kota-kota, di mana bid’ah ini bahkan dilakukan di mimbar-mibar masjid, bahkan tanpa malu sampai juga ke “telinga” masjid Nabawi. Inilah bid’ah yang diperkenalkan oleh Amir Muawiyah!”.
8. Di dalam bukunya Al-Khilafah wal Mulk yang sempat menggemparkan dunia Islam, Abul A’la al-Maududi, seorang alim Pakistan bermazhab Hanafi, menulis :
“Ketika pada zaman Muawiyah dimulai kebiasaan mengutuk Sayyidina Ali dari atas mimbar-mimbar dan pencaci-makian serta pencercaan terhadap pribadinya secara terang-terangan, di siang hari maupun di malam hari, kaum muslimin di mana-mana merasa sedih dan sakit hati sungguh pun mereka terpaksa harus berdiam diri menekan perasaannya itu. Kecuali Hujur bin Adi, yang tidak dapat menyabarkan dirinya…”
(Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 209-210, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung).

Dan akhirnya, Muawiyah menyuruh Ziyad untuk membunuh Hujur bin ‘Adi, salah seorang sahabat besar Nabi yang zahid, abid, dan termasuk di antara tokoh-tokoh umat terbaik. Di dalam surat perintahnya, Muawiyah menulis : “Bunuhlah orang ini (Hujur) dengan cara yang seburuk-buruknya.” Maka Ziyad mengubur Hujur dalam keadaan hidup-hidup.
(Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 211, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung).

“Kisah terperinci mengenai cobaan berat yang dialami oleh Hujur bin ‘Adi itu banyak terdapat di dalam buku-buku yang ditulis oleh para ahli hadis maupun para ahli sejarah, baik yang sudah tersebar luas maupun yang tidak disebarkan,” Begitu tulis Thaha Husain di dalam bukunya yang terkenal al-Fitnah al-Kubra yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Malapetaka Terbesar Dalam Sejarah Islam pada hlm. 624, yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Cet. I, Tahun 1985.

Inilah sebagian bukti-bukti tertulis di dalam kitab-kitab sejarah yang bisa anda temui hingga saat ini. Apakah masih terbetik keraguan di dalam hati anda tentang bejatnya Muawiyah, si setan berwujud manusia ini?

Dan ketika Hasan bin Ali mengundurkan diri sebagai khalifah, Muawiyah pun akhirnya berdiri sebagai seorang penguasa tunggal, lalu dia menyampaikan pidatonya di kota Madinah :
“Amma ba’du! Sesungguhnya aku, demi Allah ketika menjadi penguasa atas kamu sekalian, bukannya aku tidak mengetahui bahwa kalian tidak menyenangi kekuasaanku ini, tetapi sesungguhnya aku benar-benar tahu apa yang ada dalam hati kalian tentang hal ini, namun aku telah merampasnya dari kalian dengan pedangku ini. Dan sekiranya kalian tidak menadpati diriku telah memenuhi hak-hak kamu seluruhnya, hendaknya kalian memuaskan diri dengan sebagiannya saja dariku!” (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Jil. 8, hlm. 132).

Pada masa kekuasaan Muawiyah, rakyat dibungkam dari menyampaikan kebenaran, mereka hanya boleh memuji-muji atau jika enggan sebaiknya diam. Karena jika rakyat berani memprotes pemerintah pada masa itu maka bersiap-siaplah untuk dijebloskan ke dalam penjara, dibunuh, disiksa atau paling tidak dibuang! (Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 209, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung).

Apakah orang seperti ini yang ingin anda bela mati-matian? Hanya orang-orang yang serupa dengan Muawiyah saja dan pengikutnya yang super dungu yang ngotot membela manusia keji semacam ini! Mereka itulah kaum Wahabi para pemuja kaum durjana seperti Muawiyah bin Abi Sufyan dan Yazid bin Muawiyah. Mereka menjadikan keduanya sebagai pemimpin-pemimpin mereka!

Jika anda membenci kekejaman, kezaliman, dan kebengisan yang dilakukan para diktator dunia seperti Adolf Hitler, Pol Pot, Slobodan Milosevich, Saddam Husein, George W Bush, Ehud Olmert, maka anda juga mesti membenci makhluk durjana seperti Muawiiyah ini. Tapi itu pun jika hati nurani anda masih sehat wal afiat…

Di dalam Musnad Ahmad bin Hanbal Jil. 6, hlm. 33, diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw yang kita cintai telah bersabda, “Barangsiapa yang mengutuk Ali sesungguhnya ia telah mengutukku. Barangsiapa yang berani mengutukku berarti ia telah mengutuk Allah. Barangsiapa yang telah mengutuk Allah, maka Allah akan melemparkannya ke neraka Jahannam!”

Rasulullah Saw telah menubuwatkan bahwa peristiwa pelaknatan atau pengutukan atas sahabat Nabi yang mulia, Ali bin Abi Thalib, yang juga salah seorang anggota Ahlul Bayt akan terjadi. Melalui mata batinnya, Rasulullah Saw telah melihat beberapa sahabatnya yang sangat dengki terhadap Sayyidina Ali as. Allah Swt pun menyingkapkan kedengkian mereka terhadap Nabi Saw dan Ahlul Baytnya :
“Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun kepada manusia. Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.”
(Al-Quran Surah Al-Nisaa [4] ayat 54).

Ingatkah anda, bagaimana anda melafadzkan shalawat kepada Nabi Saw di dalam shalat anda?
Inilah mengapa dengan teramat keras Nabi Saw memperingatkan umatnya untuk tidak melakukan tindakan bodoh tersebut. Dan anda perhatikan, bahwa Ummu Salamah, isteri Nabi telah memperingatkan Muawiyah tentang hal ini, namun lelaki durjana ini tiada mempedulikan peringatan tersebut.

Saya berdoa kepada Allah Swt semoga orang-orang yang tulus namun masih meragukan kebenaran ini menjadi tersadarkan dan semakin mendapatkan keyakinan yang sahih…

(Yayasan-Al-Jawad/Islam-Quest/Qitori/Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: