Dalam Dzakhair Al-‘Uqba, halaman 20:
Ali bin Abi Thalib (as) berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
إنّ الله حرم الجنة على من ظلم أهل بيتي أو قاتلهم أو أغار عليهم أو سبهم
“Sesungguhnya Allah mengharamkan surga bagi orang yang menzalimi Ahlul baitku, atau memerangi mereka, atau menyerang mereka, atau mencerca mereka.”.
Dalam Nurul Abshar, Asy-Syablanji, halaman 100:
Rasulullah saw bersabda:
حرمت الجنة على من ظلم أهل بيتي وآذاني في عترتي … الحديث
“Diharamkan surga bagi orang yang menzalimi Ahlul baitku dan menyakitiku karena menyakiti ‘itrah(keturunan)ku….”
Hadis ini dan yang semakna terdapat dalam:
1. Kanzul Ummal, jilid 7 halaman 273. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik.
2. Tafsir Ad-Durrul Mantsur Jalaluddin As-Suyuthi, tentang tafsir surat Al-Kautsar.
Penyerangan Rumah Fatimah AS Membuktikan Abubakar cs Mustahil Dijamin Surga ! Akhirnya Kutemukan Kebenaran.
syiah, mereka bukan mencaci maki sahabat tetapi lebih kepada memberikan penjelasan secara lebih proposional antara sahabat nabi : mana yang jujur dan mana yang tidak/kurang jujur…
_____________________________________
Apakah Islam melarang mengkritisi orang yang bersalah?
Dalil Naqli Dan Aqli Adanya Penyerangan Rumah Fatimah AS.
Abu Bakar berkata:Aku menyesal terhadap tiga perkara yang telah ku lakukan, aku suka sekali sekiranya tidak melaksanakannya. Salah satunya ialah serangan terhadap rumah Fathimah Az-Zahra. Aku suka sekali kalau tidak merusak rumah Fathimah untuk membongkar apapun sekalipun aku…
لا تحزن ان الله معنا
Janganlah kamu takut karena Allah bersama kita.
Janganlah kamu takut karena Allah berada dikelompok kita.
Janganlah kamu takut karena Allah yang menjadi pendukung kita.
Janganlah kamu takut karena Allah yang menjadi penolong kita.
Janganlah kamu takut karena Allah swt yang menjadi pembela kita.
Janganlah kamu takut karena Allah swt yang menjadi penunjuk kita.
Syiah juga menghormati sahabat. Tetapi sahabat yang mana, apakah semua sahabat tanpa terkecuali, hatta sahabat yang saling membunuh (padahal membunuh sesama muslim adalah haram dalam Islam)? Itu letak perbedaan antara anda dengan kami.
Ini bukti bahwa anda tidak memahami relasi antara tawalli (mahabbah) dan tabarri (bughd). Syiah tidak pernah menyatakan ungkapan seperti: “Sahabat sayyidina Ammar Yasir radhiyallahu anhu telah dibunuh oleh sahabat Muawiyah ”.
Karena mustahil dalam peristiwa pembunuhan itu keduanya benar. Syiah akan meneliti kasusnya dan menyatakan siapa yang benar dan siapa yang salah. Yang salah harus dilepastangani (tabarri) dan yang benar harus ditiru (tawalli). Ini berbeda dengan konsep “kebaikan (’udul) semua sahabat” yang diyakini oleh Ahlusunnah secara umum. Sehingga dari situ mereka akan terpaksa membenarkan dua sahabat dalam kasus saling caci, saling fitnah, bahkan saling bunuh.
Saya hanya ingin mengajak berpikir, agar kita kritis dalam menghadapi hal-hal semacam itu, apalagi pembohongan atas nabi.
Sebuah syubhat yang kerap ditudingkan kelompok wahabi adalah syubhat yang berkaitan erat dengan para ahlul bait yang lima, baik terhadap imam Ali, Fatimah sa, imam Hasan dan Husain.
Pada kesempatan ini mari kita urai terkait syubhat yang ditujukan pada kelompok syiah atau sunni. Syubhat yang berkaitan langsung dengan empat orang ahlul bait Nabi Muhammad saaw, syubhat kasus penyerangan rumah Fatimah sa.
Dalam syubhat itu dipertanyakan bagaimana mungkin Ali bin Abi Thalib sang Haidar, sang jagoan dimedan laga membiarkan non mahram menyerang istrinya, menyerang rumahnya, padahal sebagai seorang muslim maka Ali bin Abi Thalib harus melakukan jihad pembelaan diri?
Disini dalam syubhat ini ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan:
Pertama, Ali as itu seorang pemberani.
Kedua, dalam syubhat ini digambarkan Ali itu tidak mau melakukan pembelaan diri. Beliau membiarkan keluarganya diserang oleh orang-orang yang disebut sebagai sahabat-sahabat Nabi Muhammad saaw. Beliau diam sama sekali tanpa melakukan perlawanan apalagi mengangkat pedang.
Ketiga, membela diri dan keluarga adalah salah satu kewajiban seorang muslim.
Keempat, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan karena untuk keberanian Imam Ali as tidak ada sedikitpun keraguan, karena orang arab sendiri ketika ada keluarganya mati di medan laga dan yang membunuh adalah Ali maka mereka akan bangga, sebab tidak ada seorang musuh pun yang selamat ketika berperang melawan Ali as.
Kelima, jadi dengan syubhat diatas diangkat tujuan untuk menolak bahwa sebenarnya tidak pernah terjadi penyerangan terhadap rumah Fatimah sa.
Sesungguhnya syubhat ini tidak hanya datang dari kalangan wahabi yang memang gemar sekali mencipta fitnah untuk menyerang syiah, tapi juga dikalangan interen syiah sendiri. Namun ada perbedaan diantara keduanya walau syubhat isinya sama. Ketika syubhat itu ditanyakan interen syiah tujuannya untuk mengetahui apa hikmat dan tujuan dari Imam Ali mengapa melakukan seperti itu jika memang itu beliau lakukan. Mengingat prilaku seorang imam jaman jelas hal itu pasti berdasarkan pada pemikiran dan pertimbangan yang luas. Sedang ketika syubhat ini dilayangkan kelompok takfiri tujuannya lain, tujuan mereka tidak lain adalah untuk mengingkari kejadian pemakaman sayidah Fatimah sa yang dilakukan secara rahasia, sehingga manusia terutama umat Islam tidak perlu bingung dengan pertanyaan dimanakah tempat Fatimah sa dimakamkan?
Seperti kita tahu, ketika ada yang menanyakan dimana makam Fatimah sa maka otomatis dia akan sampai pada pertanyaan mengapa sampai makam beliau tidak diketahui, mengapa beliau mewasiatkan untuk dimakamkan dimalam hari, mengapa Abu Bakar bin Kuhafah dan Umar bin Khatab tidak diberitahu untuk datang mengiring kepergian jenazah Fatimah sa dst sampai pada pertanyaan alasan apa yang membuat sayidah Fatimah sa melakukan tindakan tersebut.
Terkait Penyerangan rumah dan syahâdah Fatimah Zahra sa kami akan mengutip beberapa matan dari kitab-kitab Ahlusunnah sehingga menjadi jelas bahwa masalah penyerangan kediaman Hadhrat Fatimah Zahra Sa merupakan sebuah peristiwa sejarah faktual serta bukan sebuah mitos dan legenda!! Meski pada masa para khalifah terjadi sensor besar-besaran terhadap penulisan keutamaan dan derajat (para maksum); akan tetapi kaidah menyatakan bahwa “hakikat (kebenaran) adalah penjaga sesuatu.” Hakikat sejarah ini tetap hidup dan terjaga dalam kitab-kitab sejarah dan hadis. Di sini kami akan mengutip beberapa referensi dengan memperhatikan urutan masa semenjak abad-abad pertama hingga masa kini.
1. Ibnu Abi Syaibah dan kitab “Al-Musannif”.
Abu Bakar bin Abi Syaibah (159-235 H) pengarang kitab al-Mushannif dengan sanad sahih menukil demikian:
“Tatkala orang-orang memberikan baiat kepada Abu Bakar, Ali dan Zubair berada di rumah Fatimah berbincang-bincang dan melakukan musyawarah. Hal ini terdengar oleh Umar bin Khattab. Ia pergi ke rumah Fatimah dan berkata, “Wahai putri Rasulullah, ayahmu merupakan orang yang paling terkasih bagi kami dan setelah Rasulullah adalah engkau. Namun demi Allah! Kecintaan ini tidak akan menjadi penghalang. Apabila orang-orang berkumpul di rumahmu maka Aku akan perintahkan supaya rumahmu dibakar. Umar bin Khattab menyampaikan ucapan ini dan keluar. Tatkala Ali As dan Zubair kembali ke rumah, putri Rasulullah Saw menyampaikan hal ini kepada Ali As dan Zubair: Umar datang kepadaku dan bersumpah apabila kalian kembali berkumpul maka ia akan membakar rumah ini. Demi Allah! Apa yang ia sumpahkan akan dilakukannya![1]
2. Baladzuri dan kitab “Ansab al-Asyrâf”.
Ahmad bin Yahya Jabir Baghdadi Baladzuri (wafat 270) penulis masyhur dan sejarawan terkemuka, mengutip peristiwa sejarah ini dalam kitab “Ansab al-Asyrâf” sebagaimana yang telah disebutkan.
Abu Bakar mencari Ali As untuk mengambil baiat darinya, namun Ali tidak memberikan baiat kepadanya. Kemudian Umar bergerak disertai dengan alat untuk membakar dan kemudian bertemu dengan Fatima di depan rumah. Fatimah berkata, “Wahai putra Khattab! Saya melihat kau ingin membakar rumahku? Umar berkata, “Iya. Perbuatan ini akan membantu pekerjaan yang untuknya ayahmu diutus.”[2]
3. Ibnu Qutaibah dan kitab “Al-Imâmah wa al-Siyâsah”.
Sejarawan kawakan Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Dainawari (216-276) yang merupakan salah seorang tokoh dalam sastra dan penulis kawakan dalam bidang sejarah Islam, penulis kitab “Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits” dan “Adab al-Kitab” dan sebagainya. Dalam kitab “Al-Imamah wa al-Siyasah” ia menulis sebagai berikut:
“Abu Bakar mencari orang-orang yang menghindar untuk memberikan baiat kepadanya dan berkumpul di rumah Ali bin Abi Thalib. Kemudian ia mengutus Umar untuk mendatangi mereka. Ia datang ke rumah Ali As dan tatkala ia berteriak untuk meminta mereka keluar namun orang-orang dalam rumah tidak mau keluar. Melihat hal ini Umar meminta supaya kayu bakar dikumpulkan dan berkata, “Demi Allah yang jiwa Umar di tangan-Nya! Apakah kalian akan keluar atau aku akan membakar rumah (ini).” Seseorang berkata kepada Umar, “Wahai Aba Hafs (julukan Umar) dalam rumah ini ada Fatimah, putri Rasulullah.” Umar menjawab: “Sekalipun.”!![3]
Ibnu Qutaibah sebagai kelanjutan kisah ini, menulis lebih mengerikan, “Umar disertai sekelompok orang mendatangi rumah Fatimah. Ia mengetuk rumah. Tatkala Fatimah mendengar suara mereka, berteriak keras: “Duhai Rasulullah! Selepasmu alangkah besarnya musibah yang ditimpakan putra Khattab dan putra Abi Quhafah kepada kami.” Tatkala orang-orang yang menyertai Umar mendengar suara dan jerit tangis Fatimah, maka mereka memutuskan untuk kembali namun Umar tinggal disertai sekelompok orang dan menyeret Ali keluar rumah dan membawanya ke hadapan Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Berbaiatlah.” Ali berkata, “Apabila Aku tidak memberikan baiat lantas apa yang akan terjadi?” Orang-orang berkata, “Demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya, kami akan memenggal kepalamu.”[4]
Tentu saja penggalan sejarah ini sangat berat dan pahit bagi mereka yang mencintai syaikhain (dua orang syaikh, Abu Bakar dan Umar). Karena itu, mereka meragukan kitab ini sebagai karya Ibnu Qutaibah. Padahal Ibnu Abil Hadid, guru sejarah ternama, memandang bahwa kitab ini merupakan karya Ibnu Qutaibah dan senantiasa menukil hal-hal di atas. Namun amat disayangkan kitab ini telah mengalami distorsi dan sebagian hal telah dihapus tatkala dicetak sementara hal yang sama disebutkan dalam Syarh Nahj al-Balâghah karya Ibnu Abil Hadid.
Zarkili menegaskan bahwa kitab “Al-Imâmah wa al-Siyâsah” ini merupakan karya Ibnu Qutaibah dan mengimbuhkan bahwa sebagian memiliki pendapat terkait dengan masalah ini. Artinya keraguan dan sangsi disandarkan kepada orang lain bukan kepada mereka, sebagaimana Ilyas Sarkis[5] memandang bahwa kitab ini merupakan salah satu karya Ibnu Qutaibah.
4. Thabari dan kitab “Târikh”.
Muhammad bin Jarir Thabari (W 310 H) dalam Târikh-nya peristiwa penyerangan ke rumah wahyu menjelaskan demikian:
Umar bin Khattab mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib sementara sekelompok orang-orang Muhajir berkumpul di tempat itu. Umar berkata kepada mereka: “Demi Allah! Saya akan membakar rumah ini kecuali kalian keluar untuk memberikan baiat.” Zubair keluar dari rumah sembari membawa pedang terhunus, tiba-tiba kakinya terjungkal dan pedangnya terjatuh. Dalam kondisi ini, orang lain menyerangnya dan mengambil pedang darinya.[6]
Penggalan sejarah ini merupakan sebuah indikator bahwa pengambilan baiat dilakukan dengan intimidasi dan ancaman. Seberapa nilai baiat semacam ini? Kami persilahkan Anda untuk menjawabnya sendiri.
5. Ibnu Abdurabih dan kitab “Al-‘Aqd al-Farid”.
Syihabuddin Ahmad yang lebih dikenal dengan Ibnu Abdurabih Andalusi (463 H) penulis kitab al-Aqd al-Farid dalam kitabnya menulis sebuah pembahasan rinci terkait dengan sejarah Saqifah dengan judul “Orang-orang yang menentang baiat kepada Abu Bakar.” Berikut tulisannya, “Ali, Abbas dan Zubair duduk di rumah Fatimah dimana Abu Bakar mengutus Umar bin Khattab untuk mengeluarkan mereka dari rumah Fatimah. Ia berkata kepadanya, “Apabila mereka tidak keluar, maka berperanglah dengan mereka! Dan ketika itu, Umar bin Khattab bergerak menuju ke rumah Fatimah dengan membawa api untuk membakar rumah tersebut. Dalam kondisi seperti ini, ia berjumpa dengan Fatimah. Putri Rasulullah Saw berkata, “Wahai putra Khattab! Kau datang untuk membakar (rumah) kami. Ia menjawab: “Iya. Kecuali kalian memasuki apa yang telah dimasuki umat![7]
Kiranya kami cukupkan sampai di sini penggalan kisah tentang adanya keinginan untuk menyerang rumah Fatimah. Sekarang mari kita mengulas pembahasan kedua kita yang menunjukkan alasan adanya niat untuk menyerang ini.
Apakah penyerangan itu benar-benar terjadi?
Di sini ucapan-ucapan kelompok yang hanya menyinggung niat buruk khalifah dan para pendukungnya berakhir sampai di sini saja. Sebuah kelompok yang tidak ingin atau tidak mampu menyuguhkan laporan tragedi yang terjadi dengan jelas, sementara sebagian kelompok menyinggung inti tragedi yaitu penyerangan terhadap rumah dan sebagainya, sehingga tersingkap kedok yang sebenarnya meski pada tingkatan tertentu. Di sini kami akan menyebutkan beberapa referensi terkait dengan penyerangan dan penodaan kehormatan (pada bagian ini juga dalam mengutip beberapa literatur dan referensi ghalibnya dengan memperhatikan urutan masa penulis atau sejarawan):
1. Abu Ubaid dan kitab “Al-Amwâl”.
Abu Ubaid Qasim bin Salam (W 224 H) dalam kitabnya “Al-Amwâl” yang menjadi sandaran para juris Islam menukil: “Abdurrahman bin Auf berkata, “Aku datang ke rumah Abu Bakar untuk membesuknya yang tengah sakit. Setelah berbicara panjang-lebar, ia berkata: “Saya berharap kiranya saya tidak melakukan tiga perbuatan yang telah saya lakukan. Demikian juga saya berharap saya bertanya tiga hal kepada Rasulullah Saw. Adapun tiga hal yang telah saya lakukan dan saya berharap kiranya saya tidak melakukannya adalah: “Kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah dan membiarkanya begitu saja meski pintunya tertutup untuk (siap-siap) perang.”[8]
Abu Ubaid tatkala sampai pada redaksi ini, tatkala sampai pada redaksi ini, alih-alih menulis “Lam aksyif baita Fatima wa taraktuhu…” Ia malah menulis, “kadza..kadza..” dan menambahkan bahwa saya tidak ingin menyebutkannya!
Namun kapan saja Abu Ubaid berdasarkan fanatisme mazhab atau alasan lainnya menolak untuk menukil kebenaran dan hakikat ini; namun para peneliti kitab al-Amwâl menulis pada catatan kaki: Redaksi kalimatnya telah dihapus dan disebutkan pada kitab “Mizân al-I’tidâl” (sebagaimana yang telah dijelaskan). Di samping itu, Thabarani dalam “Mu’jam” dan Ibnu Abdurrabih dalam “Aqd al-Farid” dan lainnya menyebutkan redaksi kalimat yang telah dihapus itu. (Perhatikan baik-baik).
2. Thabarani dan kitab “Mu’jam al-Kabir”.
Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad Thabarani (260-360 H) dimana Dzahabi bercerita tentangnya dalam Mizân al-I’tidâl: Ia adalah seorang yang dapat dipercaya.[9] Dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir yang berulang kali telah dicetak, terkait dengan Abu Bakar, khutbah-khutbah dan wafatnya, Thabarani menyebutkan: “Abu Bakar sebelum wafatnya ia berharap dapat melakukan beberapa hal. Kiranya saya tidak melakukan tiga hal. Kiranya saya melakukan tiga hal. Kiranya saya bertanya tiga hal kepada Rasulullah. Ihwal tiga perkara yang dilakukan dan berharap kiranya tidak dilakukannya, Abu Bakar menuturkan, “Saya berharap saya tidak melakukan penodaan atas kehormatan rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja![10] Redaksi-redaksi ini dengan baik menunjukkan bahwa ancaman Umar itu terlaksana.
3. Ibnu Abdurrabih dan “Aqd al-Farid”.
Ibnu Abdurrabih Andalusi (W 463 H) penulis kitab “Aqd al-Farid” dalam kitabnya menukil dari Abdurrahman bin Auf: ““Aku datang ke rumah Abu Bakar untuk membesuknya yang tengah sakit. Setelah berbicara panjang-lebar, ia berkata: “Saya berharap kiranya saya tidak melakukan tiga perbuatan yang telah saya lakukan. Salah satu dari tiga hal tersebut adalah. Kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah dan membiarkanya begitu saja meski pintunya tertutup untuk (siap-siap) perang.”[11] Dan juga nama-nama dan ucapan-ucapan orang-orang yang menukil ucapan khalifah ini akan disebutkan bagian mendatang.
4. Nazzham dan “Al-Wâfi bi al-Wafâyât”.
Ibrahim bin Sayyar Nazzham Muktalizi (160-231) yang lantaran keindahan tulisannya dalam puisi dan prosa sehingga ia dikenal sebagai Nazzham. Dalam beberapa kitab menukil tragedi pasca hadirnya beberapa orang di rumah Fatimah sa. Ia berkata, “Umar, pada hari pengambilan baiat untuk Abu Bakar, memukul perut Fatimah dan ia keguguran seorang putra yang diberi nama Muhsin yang ada dalam rahimnya.”[12] (Perhatikan baik-baik).
5. Mubarrad dan kitab “Kâmil”.
Muhammad bin Yazid bin Abdulakbar Baghdadi (210-285), seorang sastrawan, penulis terkenal dan pemilik karya-karya terkemuka, dalam kitab “Al-Kâmil”-nya, mengutip kisah harapan-harapan khalifah dari Abdurrahman bin Auf. Ia menyebutkan, “Saya berharap kiranya saya tidak menyerang rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja pintunya (meski) tertutup untuk (siap-siap) perang.”[13]
6. Mas’udi dan “Murûj al-Dzahab”.
Mas’udi (W 325 H) dalam Murûj al-Dzahab menulis: “Tatkala Abu Bakar menjelang wafatnya berkata demikian, “Tiga hal yang saya lakukan dan berharap kiranya saya tidak melakukannya. Salah satunya adalah: Saya berharap kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah. Hal ini banyak (kali) ia sebutkan.”[14]
Mas’udi meski ia memiliki kecendrungan yang baik kepada Ahlulbait namun sayang ia menghindar untuk mengungkap ucapan khalifah dan menyampaikannya dengan bahasa kiasan. Akan tetapi Tuhan mengetahui dan hamba-hamba Tuhan juga secara global mengetahui hal ini!
7. Ibnu Abi Daram dalam Mizân al-I’tidâl.
Ahmad bin Muhammad yang dikenal sebagai “Ibnu Abi Daram” ahli hadis Kufa (W 357 H), adalah seseorang yang dikatakan oleh Muhammad bin Ahmad bin Himad Kufah: “Ia adalah orang yang menghabiskan seluruh hidupnya di jalan lurus.”
Dengan memperhatikan martabat ini, ia menukil bahwa di hadapannya berita ini dibacakan, “Umar menendang Fatimah dan ia keguguran seorang putra bernama Muhsin yang ada dalam rahimnya![15](Perhatikan baik-baik)
8. Abdulfatah Abdulmaqshud dan kitab “Al-Imâm Ali”.
Ia menyebutkan dua hal terkait dengan penyerangan ke rumah wahyu dan kita hanya menukil satu darinya: “Demi (Dzat) yang jiwa Umar berada di tangan-Nya. Apakah kalian keluar atau aku akan membakar rumah ini (berikut penghuninya). Sebagian orang yang takut (kepada Allah) dan menjaga kedudukan Rasulullah Saw dari akibat perbuatan ini, mereka berkata: “Aba Hafs, Fatimah dalam rumah ini.” Tanpa takut, Umar berteriak: “Sekalipun!! Ia mendekat, mengetuk pintu, kemudian menggedor pintu dengan tangan dan kaki untuk masuk ke dalam rumah secara paksa. Ali As muncul.. pekik jeritan suara Zahra kedengaran di dekat tempat masuk pintu rumah… suara ini adalah suara meminta pertolongan..”[16]
satu hadis lainnya dari “Maqatil Ibnu ‘Athiyyah” dalam kitab al-Imâmah wa al-Siyâsah (Meski masih banyak yang belum diungkap di sini!)
Ia menulis dalam kitab ini sebagai berikut:
“Tatkala Abu Bakar mengambil baiat dari orang-orang dengan ancaman, pedang dan paksaan, Umar, mengirim Qunfudz dan sekelompok orang ke rumah Ali dan Fatimah sa dan Umar mengumpulkan kayu bakar dan membakar pintu rumah…”[17]
Ibnu Zanjawaih di dalam al-Amwal, Ibnu Qutaibah Dainuri di dalam kitab al-Imamah Was-Siyasah, Thabari di dalam kitab Tarikhnya, Ibnu Abd Rabbah di dalam kitab al-ʽAqdul Farid, Masʽudi di dalam kitab Muruj al-Zahab, Thabari di dalam kitab al-Muʽjam al-Kabir, Muqaddasi di dalam kitab al-Ahadis al-Mukhtarah, Shamsuddin Zahabi di dalam kitab Tarikh al-Islam dan banyak lagi… telah menukilkan Pengakuan Abu Bakar dengan sedikit perbedaan teks. Kami ingin bawakan di sini matan dari kitab al-Amwal ibnu Zanjawaih yang merupakan salah satu tokoh Ahlusunnah kurun ke-tiga:
أنا حميد أنا عثمان بن صالح، حدثني الليث بن سعد بن عبد الرحمن الفهمي، حدثني علوان، عن صالح بن كيسان، عن حميد بن عبد الرحمن بن عوف، أن أباه عبد الرحمن بن عوف، دخل على أبي بكر الصديق رحمة الله عليه في مرضه الذي قبض فيه … فقال [أبو بكر] : « أجل إني لا آسى من الدنيا إلا على ثَلاثٍ فَعَلْتُهُنَّ وَدِدْتُ أَنِّي تَرَكْتُهُنَّ، وثلاث تركتهن وددت أني فعلتهن، وثلاث وددت أني سألت عنهن رسول الله (ص)، أما اللاتي وددت أني تركتهن، فوددت أني لم أَكُنْ كَشَفْتُ بيتَ فاطِمَةَ عن شيء، وإن كانوا قد أَغْلَقُوا على الحرب… .
Telah menceritakan kepada kami Hamid, telah menceritakan kepada kami Usman bin Shalih, telah menceritakan kepada kami al-Lays bin Saʽd bin Abdul Rahman al-Fahmi, telah menceritakan kepada kami ʽUlwan, daripada shalih bin Kaysan, daripada Hamid bin Abdul Rahman bin ʽAuf, sesungguhnya ayahnya Abdul Rahman bin ʽAuf bertemu dengan Abu Bakar ketika sedang sakit yang bakal membawa kematiannya…. Maka Abu Bakar berkata:
Aku menyesal terhadap tiga perkara yang telah ku lakukan, aku suka sekali sekiranya tidak melaksanakannya. Salah satunya ialah serangan terhadap rumah Fathimah Az-Zahra. Aku suka sekali kalau tidak merusak rumah Fathimah untuk membongkar apapun sekalipun aku…[18-19]
Sekarang jelas bahwa tidak ada jalan lagi untuk mengingkari kejadian penyerangan rumah Fatimah sa.Dan ketentuannya barangsiapa mengakui bahwa penyerangan ini terjadi dan dilakukan khalifah waktu itu maka harus percaya bahwa Sayidah Fatimah telah marah kepada mereka, dan ini berlanjut hingga wafat beliau, sehingga beliau tidak mengijinkan dua syaikh tadi untuk datang kepemakaman beliau.
Permasalahan selanjutnya, apakah benar Imam Ali as hanya berdiam diri?
Keheroan seseorang tidak hanya dilihat dari perlawanan fisik saja, dalam membela kebenaran. jika begitu, maka anda akan terpaksa akan malas mendengar kisah para nabi yang terbunuh karena dianiaya tanpa perlawanan, seperti nabi Yahya. Perlawanan fisik tidak meniscayakan keberanian. Banyak kasus perlawanan fisik yang berartikan kekonyolan, karena tanpa melihat sikon yang ada. Maslahat adalah salah pertimbangan dari sikon tersebut. Imam Ali diam, bukan berarti tidak berani. Tetapi beliau melihat maslahat umat Muhammad. Jika beliau memaksakan untuk melawan fisik maka beliau tergolong melawan maslahat dan masuk kategori konyol. Anda sudah tahu keberanian Ali di hadapan yang jelas-jelas musuh Islam kan?
Tapi Ali bersedia mengalah ketika berhadapan dengan orang-orang yang zahirnya saudaranya seiman dan seakidah, demi kmaslahatan umat Muhammad secara umum. Ali mengalah untuk menang. Jika anda ingin melihat betapa beratnya Ali menahan derita (mengalah) ketika ia dizalimi, silahkan baca khotbah ketiga beliau di Nahjul Balaghah yang dijkenal dengan klhutbah syiqsyiqiyah. Buku itu juga direkomendasikan oleh para ulama sunni seperti Muhammad Abduh dan ibnu Abdul Hadid sendiri.
Sebelum menjawab pertanyaan ini mari kita Tanya, pada masa Nabi Muhammad masih hidup dimana banyak orang munafik dan musyrik yang ada disekitar beliau, banyak para pemeluk agama Islam diserang dan dibunuh namun nabi tidak dating mengangkat pedang melakukan pembelaan, apakah dengan semua kenyataan ini kita akan berkata bahwa Nabi Muhammad saw itu pengecut, nauzubillah minzalik, jelas kita tidak akan berbuat lancang mengatakan hal demikian ini.
Dalam hal ini sebenarnya Imam Ali as tidak hanya berdiam diri, beliau melakukan perlawanan, walau perlawanan beliau tidak dengan menyabetkan pedang sehingga para penyerang harus bergelimang darah. Perlawanan dengan sebuah tujuan yang akan kami jelaskan nantinya.
Sebelum menjawab pertayaan diatas mari kita telusur berbagai kemungkinan ketika Imam Ali mengangkat pedang dan membunuh semua orang yang menyerang rumah beliau.
Ketika Imam Ali mengangkat pedang maka beliau dan keluarga beliau akan dicap sebagai pemberontak yang melakukan pemeberontakan kepada khalifah yang “sah” sesuai pemilihan sepihak di Saqifah bani Saidah. Ketika hal ini terjadi maka dengan mudah dan tanpa arti para musuh islam itu akan menyerang Imam Ali as dan keluarga membunuh mereka tanpa ada bekas dan arti bagi umat Islam, umat Islam hanya akan mengenang mereka sebagai seorang pemberontak tidak lebih. Berbeda dengan kasus pengangkatan pedang yang dilakukan Imam Husain as.
Ketika Imam Ali as melakukan perlawanan pedang maka islam akan musnah, tidak akan pernah terdengar adzan sehari-hari. Waktu itu musuh Islam menunggu titik-titik lemah Islam dan peperangan saudara peperangan interen ditengah umat Islam jelas akan melemahkan Islam yang memang baru berdiri. Roma dan Persia jelas akan girang mendengar berita peperangan intern ditengah umat Islam, dan jelas mereka akan mencari waktu tepat untuk membumi hangus islam sampai keakar-akarnya. Bagaimana dengan tugas Imam Ali as untuk menjaga Islam, mengembangkan Islam, mendakwahkan Islam, apakah hal itu bisa terwujud jika beliau memulai peperangan intern dalam Islam sendiri? Selain itu apa yang akan dilakukan para munafikin, bukankah ketika ada peperangan didalam islam ini kesempatan emas buat mereka, bagaimana dengan para Nabi Palsu, bukankah para nabi Palsu akan berpesta dan berkata, nih lihatlah agama islam, penuh dengan kekacauan, maka dari itu ikutilah aku, ikuti ajaranku.
Ketika Imam Ali sampai meninggal dalam perlawanan maka tidak ada lagi yang mengawasi pemerintahan Islam, dalam sejarah kita bisa membaca bahwa walau bagaimana Imam Ali as tetap berperan dalam menjaga Islam, berulang kali khalifah bertanya dan merujuk kepada beliau, sebuah pengakuan secara tidak langsung bahwa mereka kalah ilmu dibanding Ali as. Ketika Imam Ali as tidak ada maka islam yang ada adalah islam versi khulafa yang tiga dimana dalam kasus pemilihan Imam Ali as untuk dipilih menjadi khalifah menggantikan Umar, beliau menolak persyaratan untuk mengikuti apa-apa yang sudah dilakukan dua khalifah pertama kedua, sebab itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi saw.
Kedua, perlu diketahui bahwa waktu itu Imam Ali as tidak memiliki jumlah pendukung yang cukup, hanya sahabat setia pada wasiat nabi saja yang mengikuti beliau hingga akhir, dan mereka sedang berkumpul dirumah Ali as pada saat dilakukan penyerangan dan pembakaran pintu rumah Ali as. Mungkin ada sahabat lain yang tidak ada disana tapi jumlahnya tidaklah seberapa.
Ketiga, apa yang dilakukan Imam Ali as dengan tidak mengangkat pedang dan dengan melarang para sahabat setia beliau untuk tidak melakukan perlawanan tidak jauh beda dengan tindakan Allah yang masih membiarkan setan tetap ada dimuka bumi padahal setan itu membuat manusia sengsara, menipu sehingga banyak manusia tidak menyembah Allah. Padahal Allah kuasa dan Maha segala, jika Allah berkehendak maka setan dan iblis akan binasa tanpa tersisa namun kenyataannya Allah tidak melakukan hal ini. Apakah masih eksisnya setan dan iblis menunjukkan bahwa Allah itu pengecut?
Keempat, pada jaman Nabi banyak sahabat yang disiksa dan dibunuh kaum musyrik, namun Nabi tidak mengangkat pedang dan melakukan peperangan pada mereka, apakah hal itu berarti Nabi saw itu pengecut tidak berani?
Kelima, ketika Imam Ali as melakukan perlawanan maka beliau akan dibilang telah murtad dan layak dibunuh. Sebab telah melawan khalifah yang “sah”.
Keenam, kondisi waktu itu sungguh kacau sehingga sahabat yang membunuh sahabat lain lalu mezinai wanita itu dihitung sebagai sebuah ijtihad yang salah dan itu mendapat pahala satu. Khalid bin al-Walid membunuh sahabat Malik bin Nuwairah, petugas pengumpul zakat Nabi SAW hanya karena ingin memiliki isteri Malik yang cantik jelita bernama Ummu Tamim.
Cerita ini diangkat berdasarkan apa yang dicatat oleh Tabari dalam Tarikhnya ketika Umar berkata keras kepada Khalid :”Kamu telah membunuh seorang Muslim kemudian kamu memperkosa isterinya. Demi Allah aku akan merajam kamu dengan batu.”[20]
Dan juga tercatat dalam al-Isabah bahwa Khalifah Abu Bakar tidak mengenakan hukum hudud ke atas Khalid bin al-Walid yang telah membunuh Malik bin Nuwairah dan kabilahnya. Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib menuntut supaya Khalid dihukum rajam. [21]
Sebenarnya mengapa Imam Ali as tidak melakukan perlawanan bersenjata tidak perlu kita buktikan dengan nash dan riwayat, sesungguhnya dengan akal sehat pun sudah bisa memahami mengapa beliau melakukan langkah itu, dari sisi islam yang masih baru, islam yang masih rentan, jelas Imam tidak mungkin bertindak gegabah dengan melakukan perlawanan bersenjata.
Alasan mengapa Imam Ali as tidak melakukan perlawanan bersenjata adalah untuk maslahat umat, untuk menjaga agar Islam tetap eksis, untuk menjaga islam yang hakiki, sebuah tindakan yang sudah semestinya dilakukan seorang imam umat. Dia melakukan segala hal dengan penuh pertimbangan. Tidak hanya melihat dari satu sisi saja, yang diukur sebagai pengecut atau penakut.
Wallahu ‘alam Bishshawwab
Catatan Kaki:
[1]. Ibnu Abi Saibah, al-Musannif, 8/572, Kitab al-Maghazi:
« انّه حین بویع لأبی بکر بعد رسول اللّه(صلى الله علیه وآله) کان علی و الزبیر یدخلان على فاطمة بنت رسول اللّه، فیشاورونها و یرتجعون فی أمرهم. فلما بلغ ذلک عمر بن الخطاب خرج حتى دخل على فاطمة، فقال: یا بنت رسول اللّه(صلى الله علیه وآله) و اللّه ما أحد أحبَّ إلینا من أبیک و ما من أحد أحب إلینا بعد أبیک منک، و أیم اللّه ما ذاک بمانعی إن اجتمع هؤلاء النفر عندک أن امرتهم أن یحرق علیهم البیت. قال: فلما خرج عمر جاؤوها، فقالت:تعلمون انّ عمر قد جاءَنى، و قد حلف باللّه لئن عدتم لیُحرقنّ علیکم البیت، و أیم اللّه لَیمضین لما حلف علیه.»
[2]. Ansab al-Asyrâf, 1/582, Dar Ma’arif, Kairo:
«انّ أبابکر أرسل إلى علىّ یرید البیعة فلم یبایع، فجاء عمر و معه فتیلة! فتلقته فاطمة على الباب. فقالت فاطمة: یابن الخطاب، أتراک محرقاً علىّ بابى؟ قال: نعم، و ذلک أقوى فیما جاء به أبوک…»
[3]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 12, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
[3]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 12, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
« انّ أبابکر رضی اللّه عنه تفقد قوماً تخلّقوا عن بیعته عند علی کرم اللّه وجهه فبعث إلیهم عمر فجاء فناداهم و هم فی دار على، فأبوا أن یخرجوا فدعا بالحطب و قال: والّذی نفس عمر بیده لتخرجن أو لاحرقنها على من فیها، فقیل له: یا أبا حفص انّ فیها فاطمة فقال، و إن!! »
[4]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 13, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
« ثمّ قام عمر فمشى معه جماعة حتى أتوا فاطمة فدقّوا الباب فلمّا سمعت أصواتهم نادت بأعلى صوتها یا أبتاه رسول اللّه ماذا لقینا بعدک من ابن الخطاب، و ابن أبی قحافة فلما سمع القوم صوتها و بکائها انصرفوا. و بقی عمر و معه قوم فأخرجوا علیاً فمضوا به إلى أبی بکر فقالوا له بایع، فقال: إن أنا لم أفعل فمه؟ فقالوا: إذاً و اللّه الّذى لا إله إلاّ هو نضرب عنقک…!»
[5]. Mu’jam al-Mathbu’ât al-Arabiyah, 1/212.
[6]. Târikh Thabari, 2/443:
« أتى عمر بن الخطاب منزل علی و فیه طلحة و الزبیر و رجال من المهاجرین، فقال و اللّه لاحرقن علیکم أو لتخرجنّ إلى البیعة، فخرج علیه الزّبیر مصلتاً بالسیف فعثر فسقط السیف من یده، فوثبوا علیه فأخذوه.»
[7]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu Hilal:
.« فأمّا علی و العباس و الزبیر فقعدوا فی بیت فاطمة حتى بعثت إلیهم أبوبکر، عمر بن الخطاب لیُخرجهم من بیت فاطمة و قال له: إن أبوا فقاتِلهم، فاقبل بقبس من نار أن یُضرم علیهم الدار، فلقیته فاطمة فقال: یا ابن الخطاب أجئت لتحرق دارنا؟! قال: نعم، أو تدخلوا فیما دخلت فیه الأُمّة!»
[8]. Al-Amwâl, Catatan Kaki 4, Nasyr Kulliyat Azhariyah, al-Amwal, hal. 144, Beirut dan juga dinukil Ibnu Abdurrabih dalam Aqd al-Farid, 4/93:
« وددت انّی لم أکشف بیت فاطمة و ترکته و ان اغلق على الحرب»
[9]. Mizân al-I’tidâl, jil. 2, hal. 195.
[10]. Mu’jam Kabir Thabarani, 1/62, Hadis 34, Tahqiq Hamdi Abdulmajid Salafi:
« أمّا الثلاث اللائی وددت أنی لم أفعلهنّ، فوددت انّی لم أکن أکشف بیت فاطمة و ترکته. »
[11]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu al-Hilal:
« وودت انّی لم أکشف بیت فاطمة عن شی و إن کانوا اغلقوه على الحرب.»
[12]. Al-Wâfi bil Wafâyât, 6/17, No. 2444. Al-Milal wa al-Nihal, Syahrastani, 1/57, Dar al-Ma’rifah, Beirut. Dan pada terjemahan Nazzham silahkan lihat, Buhuts fi al-Milal wa al-Nihal, 3/248-255.
« انّ عمر ضرب بطن فاطمة یوم البیعة حتى ألقت المحسن من بطنها.»
[13]. Syarh Nahj al-Balâghah, 2/46-47, Mesir:
« وددت انّی لم أکن کشفت عن بیت فاطمة و ترکته ولو أغلق على الحرب.»
[14]. Muruj al-Dzahab, 2/301, Dar Andalus, Beirut:
« فوددت انّی لم أکن فتشت بیت فاطمة و ذکر فی ذلک کلاماً کثیراً! »
[15]. Mizân al-I’tidâl, 3/459:
«انّ عمر رفس فاطمة حتى أسقطت بمحسن.»
[16]. Abdulfattah Abdulmaqshud, ‘Ali bin Abi Thalib, 4/276-277:
« و الّذی نفس عمر بیده، لیَخرجنَّ أو لأحرقنّها على من فیها…! قالت له طائفة خافت اللّه، و رعت الرسول فی عقبه: یا أبا حفص، إنّ فیها فاطمة…! فصاح لایبالى: و إن..! و اقترب و قرع الباب، ثمّ ضربه و اقتحمه… و بداله علىّ… و رنّ حینذاک صوت الزهراء عند مدخل الدار… فان هى الا طنین استغاثة…»
[17]. Maqatil ibn ‘Athiyyah, Kitâb al-Imâmah wa al-Khilâfah, hal. 160-161, diterbitkan dengan kata pengantar Dr. Hamid Daud, dosen Universitas ‘Ain al-Syams, Kairo, Cetakan Beirut, Muassasah al-Balagh:
« ان ابابکر بعد ما اخذ البیعة لنفسه من الناس بالارهاب و السیف و القوّة ارسل عمر، و قنفذاً و جماعة الى دار علىّ و فاطمه(علیه السلام) و جمع عمر الحطب على دار فاطمه و احرق باب الدار..»
[18]. Jawaban ini diadaptasi dan diringkas dari makalah Ayatullah Makarim Syirazi. Demikan juga Anda dapat mengklik tebyan.net untuk telaah lebih jauh.
[19] – Al-Kurasani, Abu Ahmad Hamid bin Makhlad bin Qutaibah bin Abdullah al-maʽruf bi Ibnu Zanjawaih (meninggal dunia pada tahun 251 Hijarah), al-Amwal, jilid 1 halaman 387. Abna Melayu
- Al-Dainuri, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Ibnu Qutaibah (meninggal dunia pada tahun 276 Hijrah), Al-Imamah Was Siyasah, jilid 1 halaman 21, tahqiq: Khalil al-Manshur, penerbit Dar Kutub Al-ʽIlmiyyah, Beirut 1418 Hijrah – 1997 Miladi, tahqiq Shiri, jilid 1 halaman 36, tahqiq Zaini, jilid 1 halaman 24;
- Al-Thabari, Muhammad bin Jarir (meninggal dunia 310 Hijrah), Tarikh al-Thabari, jilid 2 halaman 353, penerbit Darul Kutub al-ʽIlmiyyah, Beirut.
- Al-Andalusi, Ahmad bin Muhammad bin Abdul Rabbah (meninggal dunia pada tahun 328 Hijrah), al-ʽAqdul Farid, Jilid 4 halaman 254, penerbit Dar Ihya al-Turats al-ʽArabi, Lubnan, cetakan ke-tiga, 1420 Hijrah – 1999 Miladi.
- Al-Masʽudi, Abul Hasan Ali bin al-Husain bin Ali (meninggal dunia tahun 346 Hijrah), Muruj al-Dhahab, Jilid 1 halaman 290;
- Al-Thabrani, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abul Qasim (meninggal dunia pada tahun 360 Hijrah), al-Muʽjam al-Kabir, jilid 1 halaman 62 Hijrah), tahqiq Hamdi bin Abdul Majid al-Salafi, Penerbit Maktabah al-Zahra, al-Maushul, cetakan ke-dua, 1404 Hijrah 1983 Miladi;
- al-ʽAshimi al-Makki, Abdul Malik bin Husain bin Abdul Malik al-Shafiʽi (meninggal dunia pada tahun 1111 Hijrah), Samṭ al-nujūm al-ʻawālī fī anbāʼ al-awāʼil wa-al-tawālī, jilid 2 halaman 465, tahqiq: ʽAdil Ahmad Abdul Maujud – Ali Muhammad Muʽawwadh, penerbit Darul Kutub al-ʽIlmiyyah, Beirut, 1419 Hijrah 1998 Miladi.
[20] [Al-Tabari,Tarikh ,IV, hlm.1928].
[21] [Ibn Hajr, al-Isabah , III, hlm.336].
_______________________________________
Pembagi Surga dan Neraka itu Siapa?
baca disini: http://ahlulbaitnabisaw.blogspot.com/2016/02/imam-ali-as-dalam-kaca-mata-hadist.html
Imam Ali (as) dalam Kaca Mata Hadist
1.Kelompok Hadis Pertama
Hadis-hadis kelompok ini memuat berbagai macam bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap Imam Ali as. dan penegasan atas keutamaan-nya. Hadis-hadis tersebut adalah berikut ini:
a. Kedudukan Imam Ali as. di Sisi Nabi saw.
Amirul Mukminin Ali as. adalah satu-satunya orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Ali as. adalah ayah untuk kedua cucunya dan pintu kota ilmunya. Nabi saw. sangat menghormati dan mencintai Ali as. Beberapa hadis Nabi saw. menegaskan betapa kecintaannya saw. kepada Ali as. sangat besar. Mari kita simak bersama beberapa hadis berikut ini.
Imam Ali as. sebagai Diri Nabi saw.
Ayat Mubâhalah menegaskan kepada kita bahwa Imam Ali as. adalah diri dan jiwa Nabi saw. Kami telah memaparkan hal ini pada pembahasan yang lalu. Nabi saw. sendiri telah menjelaskan dalam berbagai hadis bah-wa Ali as. adalah diri dan jiwanya.
Pada suatu hari, Walîd bin ‘Uqbah memberikan informasi kepada Nabi saw. bahwa Bani Walî‘ah telah murtad dari Islam. Mendengar itu, Nabi saw. sangat murka dan bersabda: “Apakah Bani Walî‘ah menghen-tikan perbuatan mereka itu atau aku akan utus kepada mereka seorang laki-laki yang merupakan diri dan jiwaku; ia akan memerangi mereka dan menyandera kaum wanita mereka. Laki-laki itu adalah orang ini.” Setelah bersabda demikian, Nabi saw. menepuk pun-dak Imam Ali as.[1]
Dalam sebuah hadis, ‘Amr bin ‘Ash berkata: “Ketika aku kembali dari perang Dzâtus Salâsil, aku mengira bahwa tidak seorang pun yang lebih dicintai oleh Rasulullah saw. daripada aku. Aku bertanya kepadanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah yang paling Anda cintai?’ Rasulullah saw. menyebutkan nama beberapa orang. Aku bertanya lagi, ‘Ya Rasulallah, di manakah Ali?’ Nabi saw. menoleh kepada para sahabat seraya bersabda, ‘Sesungguhnya ia bertanya kepadaku tentang jiwaku.’”[2]
Imam Ali as. sebagai Saudara Nabi saw.
Nabi saw. pernah mengumumkan di hadapan para sahabat bahwa Ali as. adalah saudaranya. Masalah ini telah direkam oleh banyak hadis. Antara lain ialah:
At-Turmudzî meriwayatkan dengan sanad dari Ibn Umar. Ibn Umar berkata: “Rasulullah saw. telah mempersaudarakan para sahabatnya. Ke-mudain datanglah Ali as. dengan air mata yang berlinang seraya berkata: ‘Ya Rasulallah, engkau telah mempersaudarakan para sahabatmu. Tetapi mengapa Anda tidak mempersaudarakanku dengan siapa pun?’ Rasulu-llah saw. Bersabda: ‘Engkau adalah saudaraku di dunia dan di akhirat.’”[3]
Nabi saw. mempersaudarakan Ali dengan dirinya bukan hanya di dunia ini saja. Tetapi persaudaraan antaranya Imam Ali as. ini berlanjut hingga hari akhirat yang tak berbatas.
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah saw. naik ke atas mimbar. Setelah usai berpidato, ia bertanya, ‘Di manakah Ali bin Abi Thalib?’ Ali as. segera bangkit dan berkata: “Aku di sini, ya Rasulullah.’ Tak lama kemudian Nabi saw. memeluk Ali as. dan mencium keningnya seraya bersabda dengan suara yang lantang: ‘Wahai kaum Muslimin, Ali adalah saudaraku dan putra pamanku. Dia adalah darah dagingku dan rambutku. Dia adalah ayah kedua cucuku Hasan dan Husain, penghulu para pemu-da penghuni surga.’”[4]
Dalam sebuah riwayat, Ibn Umar berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda pada saat melaksanakan haji Wadâ‘ semen-taranya menunggangi unta sembari menepuk pundak Ali as.: “Ya Allah, saksikanlah. Ya allah, aku telah menyampaikan seruan-Mu bahwa orang ini adalah saudaraku, putra pamanku, menantuku, dan ayah kedua cucu-ku. Ya Allah, sungkurkanlah orang yang memusuhinya ke dalam api ne-raka.’”[5]
Nabi saw. dan Imam Ali as. Berasal dari Satu Pohon
Nabi saw. pernah menegaskan bahwa ia saw. dan Ali as. berasal dari satu pohon yang sama. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa hadis. Berikut ini adalah contoh dari hadis-hadis tersebut:
Dalam sebuah hadis, Jâbir bin Abdillah berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda kepada Ali as.: ‘Hai Ali, sesungguh-nya umat manusia berasal dari berbagai pohon yang berbeda. Sementara engkau dan aku berasal dari satu pohon yang sama.’ Kemudian beliau membacakan ayat:
“Dan di atas bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdam-pingan (tapi berbeda-beda), dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang bercAbâng dan yang tidak bercAbâng, disirami dengan air yang sama ...” (QS. Ar-Ra’d [13]:4)
Rasulullah saw. bersabda: “Aku dan Ali as. berasal dari satu pohon, se-dangkan umat manusia berasal dari pohon yang berbeda-beda.”[6]
Sungguh betapa agung dan mulia pohon tersebut yang telah melahirkan junjungan alam semesta, Rasulullah saw., dan pintu kota ilmunya, Amirul Mukminin Ali as. Pohon ini adalah pohon yang penuh berkah; pohon yang akarnya menghujam ke dalam bumi dan ranting-ran-tingnya menjulang ke langit, dan membuahkan hasil bagi umat manusia pada setiap generasi.
Imam Ali as. sebagai Wazîr Nabi saw.
Dalam beberapa hadis, Nabi saw. sangat menekankan bahwa Ali as. adalah wazîrnya. Di antara hadis-hadis tersebut ialah berikut ini:
Dalam sebuah hadis, Asmâ’ binti ‘Umais berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku ber-kata sebagaimana saudaraku, Mûsâ berkata: ‘Ya Allah, jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku, yaitu saudaraku Ali. Kokohkanlah aku dengannya, sertakanlah dia dalam urusanku agar kami banyak bertasbih kepada-Mu dan senantiasa mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui kondisi kami”.[7]
Imam Ali as. sebagai Khalifah Nabi saw.
Nabi saw. memproklamasikan bahwa Ali as. adalah khilafah sepeninggal-nya dari sejaknya memulai dakwah. Hal itu terjadi Ketika ia mengundang kaum Quraisy agar memeluk Islam. Di akhir pertemuan tersebut, ia saw. berkata kepada mereka: “Dengan demikian, orang ini—yaitu Ali as.—adalah saudaraku, washî-ku, dan khalifahku setelahku untuk kalian. De-ngarkan dan taatilah dia!”[8]
Rasulullah saw. telah menggandengkan kekhalifahan Ali as. sepe-ninggalnya dengan permulaan dakwah Islam. Ia juga telah menying-kirkan kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala. Banyak sekali riwayat yang telah menegaskan kekhalifahan Ali as. ini. Berikut ini seba-gian darinya:
Rasululllah saw. bersabda: “Hai Ali, engkau adalah khalifahku untuk umatku.”[9]
Beliau saw. juga bersabda: “Di antara mereka, Ali bin Abi Thalib paling dahulu memeluk Islam, paling banyak ilmu pengetahuannya, dan dia adalah imam dan khalifah setelahku.”
Imam Ali as. di Sisi Nabi saw. Sepadan Hârûn di Sisi Mûsâ
Banyak sekali hadis dan riwayat telah diriwayatkan dari Nabi saw. yang memiliki kandungan yang sama. yaitu ia bersabda kepda Ali as.: “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harus di sisi Mûsâ as. ...” Berikut ini kami nukilkan sebagian hadis tersebut:
Nabi saw. bersabda kepada Ali as.: “Tidakkah engkau rela bahwa engkau di sisiku sebagaimana kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as., hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku?”[10]
Sa‘îd bin Mûsâyyib meriwayatkan hadis dari ‘Âmir bin Sa‘d bin Abi Waqqâsh, dari ayahnya, Sa’d. Sa‘d berkata: “Rasulullah saw. pernah ber-sabda kepada Ali as.: “Engkau di sisiku seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as., hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku.’”
Sa‘îd berkata: “Aku ingin menyampaikan informasi tersebut kepada Sa‘d. Aku menjumpainya dan kuceritakan apa yang diceritakan oleh ‘Âmir. Sa‘d berkata: “Aku pun telah mendengarnya.’ Aku bertanya: “Sungguh engkau telah mendengarnya?” Ia meletakkan jarinya di kedua telinganya seraya berkata: “Ya, aku telah mendengarnya. Jika tidak, berarti aku tuli.’”[11]
Imam Ali as. sebagai Gerbang Kota Ilmu Nabi saw.
Satu hal lagi tentang ketinggian dan keagungan kedudukan Ali as. yang ditegaskan oleh Nabi saw. adalah bahwa ia telah menjadikannya sebagai pintu kota ilmunya. Hadis-hadis mengenai hal ini telah diriwayatkan melalui beberapa jalur sehingga mencapai peringkat qath‘î (meyakinkan). Hadis-hadis ini telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. pada beberapa kesempatan. Di antaranya adalah berikut ini:
Jâbir bin Abdillah berkata: “Pada peristiwa Hudaibiyah, aku mende-ngar Rasulullah saw. bersabda sambil memegang tangan Ali as.: “Orang ini adalah pemimpin orang-orang saleh, pembasmi orang-orang zalim, akan ditolong siapa yang membelanya, dan akan terhina siapa yang menghinanya.’ Lalunya mengeraskan suaranya: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki rumah, hendaklah ia masuk melalui pintunya.’”[12]
Ibn Abbâs berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki kota, maka hendaklah ia mendatangi pintunya.”[13]
Rasulullah saw. bersabda: “Ali adalah pintu ilmuku dan penjelas risalahku kepada umatku sepeninggalku nanti. Mencintainya adalah iman, memurkainya adalah kemunafikan, dan memandangnya adalah kasih sayang.”[14]
Amirul Mukminin Ali as. adalah pintu kota ilmu Nabi saw. Setiap ajaran agama, hukum syariat, akhlak yang mulia, dan tata krama luhur yang datang darinya, semua itu bersumber dari Nabi saw. Konse-kuensinya, kita harus mematuhi dan mengikutinya.
Sesungguhnya Nabi saw. telah meninggalkan sumber ilmu pengetahuan untuk memenuhi kehidupan ini dengan hikmah dan kesejahteraan. Sumber itunya titipkan kepada Ali as. agar umat ini dapat menimba darinya. Tetapi sangat sekali, kekuatan zalim yang dengki kepada Imam Ali as. telah menutup jendela cahaya tersebut, mencegah umat untuk mengambil manfat darinya, dan membiarkan mereka terperosok ke dalam kebodohan hidup ini.
Imam Ali as. Serupa dengan Para Nabi
Suatu ketika Nabi saw. berada di tengah-tengah para sahabat. Ia berkata kepada mereka: “Jika kalian ingin melihat ilmu pengetahuan Adam as., kesedihan Nuh as., ketinggian akhlak Ibrahim as., munajat Mûsâ as., usia Isa as., dan petunjuk serta kelembutan Muhammad saw., maka hendaklah kalian melihat orang yang akan datang sebentar lagi.” Setelah agak lama mereka menanti-nanti siapa yang akan datang, tiba-tiba Amirul Mukmini Ali as. muncul.”
Seorang penyair terkenal, Abu Abdillah Al-Mufajji‘, telah banyak menyusun bait- bait syair tentang keagungan dan kemuliaan Imam Ali as. Ketika mengungkapkan realita tersebut di atas, ia menulis:
Wahai pendengki kekasihku Ali, masuklah ke dalam neraka Jahim dengan terhina.
Masihkah engkau menyindir manusia terbaik, sedang engkau tersingkir-kan dari petunjuk dan cahaya?
Dialah yang mirip para nabi di kala kanak dan muda, di kala menyusu, disapih dan di kala makan.
Ilmunya bagai Adam di kala ia menjelaskan nama-nama dan alam semesta.
Bagai Nuh di kala selamat dari maut ketika ia turun di bukit Jûdî.[15]
Mencintai Ali as. adalah Keimanam; Membencinnya adalah Kemunafikan
Nabi Muhammad saw. menegaskan kepada umat bahwa mencintai Ali as. adalah tanda keimanan dan ketakwaam. Sementara membencinya adalah kemunafikan dan maksiat. Beriktu ini sebagian riwayat yang telah diri-wayatkan darinya tentang hal ini:
Ali as. berkata: “Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan mencip-takan manusia, sesungguhnya janji Nabi yang ummî kepadaku adalah bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali orang mukmin dan tidak membenciku melainkan orang munafik.”[16]
Al-Musâwir Al-Humairî meriwayatkan hadis dari ibunya. Ibunya berkata: “Ummu Salamah datang menjumpaiku dan aku mendengar ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Orang munafik tidak akan mencintai Ali dan orang mukmin tidak akan membencinya.’”[17]
Ibn Abbâs pernah meriwayatkan sebuah hadis. Ia berkata: “Rasu-lullah saw. memandang kepada Ali as. seraya bersabda: “Tidak mencin-taimu melainkan orang mukmin dan tidak membencimu kecuali orang munafik. Barang siapa yang mencintaimu, berarti ia mencintaiku. Barang siapa yang membencimu, berarti ia membenciku. Kekasihku adalah kekasih Allah dan pendengkiku adalah pendengki Allah. Sungguh celaka orang yang mendengkimu setelahku nanti.’”[18]
Dalam sebuah riwayat, Abu Sa‘îd Al-Khudrî berkata: “Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali as., ‘Mencintaimu adalah keimanan dan membencimu adalah kemunafikan. Orang yang pertama masuk surga adalah pecintamu dan orang pertama yang masuk neraka adalah pen-dengkimu.’”[19]
Hadis-hadis di atas telah tersebar luas di kalangan para sahabat nabi saw. Mereka menerapkan hadis-hadis tersebut kepada orang yang mencintai Ali as. dan menyebutnya sebagai orang mukmin. Sementara orang yang mendengkinya mereka sebut sebagai orang munafik.
Seorang sahabat terkemuka yang bernama Abu Dzar Al-Gifârî pernah berkata: “Kami tidak mengenal orang-orang munafik, kecuali ketika mereka berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya, meninggalkan salat, dan mendengki Ali bin Abi Thalib as.”[20]
Seorang sahabat Nabi terkemuka lainnya yang bernama Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî juga pernah berkata: “Kami tidak pernah mengenal orang-orang munafik kecuali ketika mereka mendengki Ali bin Abi Thalib as.”[21]
b. Kedudukan Imam Ali as. di Sisi Allah swt.
Selanjutnya kita beralih menjelaskan sebagian hadis yang telah diriwa-yatkan dari Nabi saw. berhubungan dengan keagungan Imam Ali as. di sisi Allah swt. dan kemuliaan-kemuliaan yang ia miliki.
Sejumlah hadis yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. Ber-hubungan dengan kemuliaan Imam Ali as. di sisi Allah di akhirat kelak. Sebagian hadis tersebut adalah berikut ini:
Imam Ali as. sebagai Pembawa Bendera Pujian
Banyak sekali hadis sahih dari Nabi saw. yang menjelaskan bahwa Imam Ali as. pada Hari Kiamat kelak akan diberikan kemuliaan oleh Allah swt. untuk membawa bendera pujian. Hal ini adalah anugerah khusus yang tidak diberikan kepada siapa pun selainnya. Di antara hadis-hadis terse-but adalah hadis berikut ini:
Rasulullah saw. bersabda kepada Imam Ali as.: “Pada Hari Kiamat kelak, engkau akan berada di hadapanku. Ketika itu aku diberi bendera pujian, lalu bendera tersebut kuserahkan kepadamu. Sementara engkau sedang mengusir orang-orang (yang tidak berhak) dari telagaku.”[22]
Imam Ali as. sebagai Pemilik Telaga Haudh Nabi saw.
Banyak sekali hadis Nabi saw. yang menjelaskan bahwa Imam Ali as. adalah pemilik telaga Haudh Nabi saw., sungai di surga yang paling sejuk, paling manis, dan sangat indah dipandang mata itu. Tak seorang pun da-pat meneguk airnya kecuali orang yang ber-wilâyah dan mencintai Imam Ali as. Berikut ini kami paparkan sebagian hadis tersebut:
Rasulullah saw. bersabda: “Ali bin Abi Thalib as. adalah pemilik te-laga Haudh-ku kelak di Hari Kiamat. Di sekelilingnya berjejer gelas-gelas sebanyak bilangan bintang di langit. Luas telaga Haudh-ku itu sejauh antara Jâbiyah dan Shan’a.”[23]
Imam Ali as. sebagai Pemilah Surga dan Neraka
Di antara posisi agung dan mulia yang diberikan oleh Rasulullah saw. kepada pintu kota ilmunya ini adalah bahwa ia adalah pemilah surga dan nereka. Ibn Hajar pernah meriwayatkan sebuah hadis bahwa Imam Ali as. pernah berkata kepada anggota Dewan Syura yang telah dipilih oleh Umar: “Demi Allah, apakah di antara kalian ada seseorang yang pernah disebut oleh Rasulullah saw. dengan sabda: ‘Wahai Ali, engkau adalah pe-milah surga dan neraka pada Hari Kiamat kelak’, selainku?”
“Tak seorang pun”, jawab mereka pendek.
Ibn Hajar memberikan catatan atas hadis ini. Ia menulis: “Maksud-nya ialah ucapan yang pernah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. Sabda Nabi saw. kepada Ali as.: ‘Engkau adalah pemilah surga dan neraka pada Hari Kiamat kelak’, berarti engkau, hai Ali, berkata kepada neraka: ‘Ini adalah bagianku dan yang ini adalah bagianmu.’”[24]
Dapat dipastikan bahwa tak seorang wali Allah pun, baik sebelum maupun setelah Islam, yang pernah memperoleh kemuliaan tak berbatas ini seperti yang pernah diperoleh oleh Imam Ali as. Allah swt. telah menganugerahkan kemulian itu kepadanya sebagai penghargaan atas jerih payah dan jihadnya di jalan Islam, dan atas usahanya dalam mengikis habis egoisme dan kerelaannya berkhidmat kepada kebenaran.
2. Kelompok Hadis Kedua
Tidak sedikit hadis yang telah diriwayatkan dari Nabi saw. tentang keu-tamaan Ahlul Bait Nabi saw. yang suci, keharusan mencintai dan berpegang teguh kepada mereka. Berikut ini adalah sebagian dari hadis-hadis tersebut:
Hadis Tsaqalain
Hadis Tsaqalain termasuk hadis Nabi saw. yang paling indah, paling sahih, dan paling tersebar luas di kalangan muslimin. Hadis ini telah diabadikan oleh Enam Kitab Sahih (Al-Kutub As-Sittah), dan para ulama juga mene-rimanya.
Perlu diingatkan di sini bahwa Nabi saw. telah menyampaikan hadis tersebut di beberapa tempat dan kesempatan. Di antaranya berikut ini:
Zaid bin Arqam meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Sesung-guhnya aku tinggalkan dua pusaka berharga untuk kalian. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya sepeninggalku nanti. Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya. Yaitu Kitab Allah, tali yang membentang dari langit ke bumi, dan yang kedua adalah ‘Itrahku, Ahlul Baitku. Keduanya itu tidak akan per-nah berpisah sampai menjumpaiku di telaga Haudh kelak. Perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya itu sepeninggalku kelak.”[25]
Nabi saw. juga pernah menyampaikan hadis ini ketika sedang melaksanakan haji Wada’ pada hari Arafah. Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî meriwayatkan hadis seraya berkata: “Aku melihat Rasulullah saw. pada haji Wada’ pada hari Arafah. Ketika itunya berpidato sedangnya berdiri di atas punggung untanya yang bernama Al-Qashwâ’. Aku mendengarnya berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian mengikutinya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan ‘Itrahku, Ahlul Baitku.’”[26]
Rasulullah saw. juga pernah berpidato di hadapan para sahabat Ketika ia berada di atas ranjang pada saat mendekati wafat. Ia saw. Ber-sabda: “Wahai manusia, sebentar lagi nyawaku akan diambil dengan cepat, lalu aku pergi. Dan sebelum ini aku pernah menyampaikan suatu ucapan kepada kalian. Yaitu aku tinggalkan untuk kalian Kitab Tuhanku Yang Mulia nan Agung dan ‘Itrahku, Ahlul Baitku.” Kemudian ia saw. memegang tangan Ali as. seraya berkata: “Inilah Ali yang selalu bersama Al-Qur’an dan Al-Qur’an pun senantiasa bersamanya. Keduanya tidak akan pernah berpisah hingga mendatangiku di telaga Haudh.”[27]
Hadis Bahtera Nuh as.
Dalam sebuah riwayat, Abu Sa‘îd Al-Khudrî berkata: “Aku pernah men-dengar Rasulullah saw. Bersabda: ‘Sesungguhnya perumpamaan Ahlul Baitku di tengah-tengah kalian bagaikan bahtera Nuh as. selamatlah orang yang menaikinya, dan bnasalah orang yang meninggalkannya, maka ia akan tenggelam. Dan perumpamaan Ahlul Baitku di tengah-tengah kalian bagaikan pintu Hiththah (pengampunan) bagi Bani Isra’il. Barang siapa yang memasukinya, dosanya akan diampuni.”[28]
Hadis tersebut menegaskan agar umat manusia berpegang teguh kepada ‘Itrah suci. Karena mereka adalah kunci keselamatan mereka dari tenggelam dan kebinggungan hidup ini. Ahlul Bait adalah bahtera penye-lamat dan pengaman bagi umat manusia.
Imam Syarafuddin menulis: “Anda tahu bahwa maksud dari penye-rupaan mereka dengan bahtera Nuh as. adalah bahwa barang siapa yang bersandar kepada mereka di dunia dan akhirat; yaitu mengambil ajaran agama, baik pondasi maupun cAbângnya, dari para imam suci, maka ia akan selamat dari azab api neraka. Dan barang siapa mem-belakangi mereka, maka ia seperti orang yang berlindung kepada bukit ketika topan bergemuruh kencang agar selamat dari ketentuan Allah. Perbedaannya, ia hanya tenggelam di air. Sedangkan orang yang mening-galkan para imam suci akan terjerumus ke dalam neraka Jahanam. Semoga Allah melin-dungi kita.
“Adapun sisi penyerupaan mereka dengan pintu pengampunan, artinya adalah Allah swt. menjadikan pintu tersebut sebagai salah satu lambang kerendahan diri terhadap keagungan-Nya dan ketundukan kepa-da ketentuan-Nya. Dengan demikian pintu itu menjadi faktor pengam-punan dosa. Ini adalah rahasia penyerupaan tersebut”.
Akan tetapi Ibn Hajar berupaya mengutarakan rahasia yang lain di balik penyerupaan itu. Setelah memaparkan hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang serupa, ia menuliskan: “Sisi penyerupaan mereka dengan bahtera Nuh as. yaitu bahwa barang siapa yang mencintai dan menghormati mereka karena mensyukuri nikmat kemuliaan mereka dan mengikuti petunjuk ulama mereka, maka ia akan selamat dari kegelapan pertentangan. Dan barang siapa yang meninggalkan mereka, maka ia akan tenggelam di lautan pengingkaran nikmat dan terjerumus ke dalam lembah kesesatan ... Adapun faktor penyerupaan mereka dengan pintu Hiththah adalah bahwa sesungguhnya Allah swt. telah menjadikan masuk ke pintu Araiha atau Baitul Maqdis dengan rasa rendah hati dan beris-trigfar sebagai faktor pengampunan dosa, dan juga menjadikan kecintaan kepada Ahlul Bait sebagai sebab pengampunan dosa bagi umat ini, (tidak lebih dari itu).[29]
Hadis Ahlul Bait Pengaman Umat
Nabi saw. mewajibkan kecintaan kepada Ahlul Bait atas umat ini. Ia menegaskan bahwa berpegang teguh kepada mereka adalah faktor pengaman dari kehancuran. Ia saw. bersabda: “Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam. Dan Ahlul Baitku adalah pengaman bagi umatku dari pertentangan dan pertikaian. Apabila salah satu kabilah Arab menentang mereka, ini berarti mereka telah bertikai. Akibatnya, mereka menjadi pengikut Iblis.”[30]
1. [1]Majma‘Az-Zawâ’id, Jil. 7/110. Ternyata Walîd berdusta. Maka turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan ....” (QS. Al-Hujurât [49]:6)
1. [2]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/400.
2. [3]Shahîh At-Turmudzî, Jil. 2/299; Mustadrak Al-Hâkim, Jil. 3/14.
3. [4]Dzakhâ’ir Al-‘Uqbâ, hal. 92.
1. [5]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 3/61.
2. [6]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/154.
3. [7]Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, Jil. 2/163.
1. [8]Târîkh At-Thabarî, Jil. 2/127; Târîkh Ibn Atsîr, Jil. 2/22; Târîkh Abi Al-Fidâ’, Jil. 1/116; Mus-nad Ahmad, Jil. 1/331; Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/399.
2. [9]Al-Murâja‘ât, hal. 208.
3. [10]Musnad Abu Daud, Jil. 1/29; Hilyah Al-Awliyâ’, Jil. 7/195; Musykil Al-Âtsâr, Jil. 2/309; Mus-nad Ahmad bin Hanbal, Jil. 1/182; Târîkh Bagdad, Jil. 11/432; Khashâ’ish An-Nasa’î, hal. 16.
1. [11]Usud Al-Ghâbah, Jil. 4/26; Khashâ’ish An-Nisa’î, hal. 15; Shahîh Muslim, kitab Fadhâ’il Al-Ashhâb, Jil. 7/ 120.
2. [12]Târîkh Bagdad, Jil. 2/ 377.
3. [13]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/ 401.
4. [14]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/ 156; As-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 73.
1. [15]Mu‘jam Al-Udabâ’, Jil. 17/200.
2. [16]Shahîh At-Turmudzî, Jil. 1/ 301; Shahîh Ibn Mâjah, Jil. 12; Târîkh al-Baghdad, Jil. 1/255; Hilyah Al-Awliyâ’, Jil. 4/ 185.
3. [17]Shahîh At-Turmudzî, Jil. 1/ 299.
1. [18]Majma‘ Az-Zawâ’id, Jil. 9/ 133.
2. [19]Nûr Al-Abshâr, hal. 72.
3. [20]Mustadrak Al-Hâkim, Jil. 3/ 129.
4. [21]Al-Istî‘âb, Jil. 2/ 464.
1. [22]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/ 400.
2. [23]Majma‘ Az-Zawâ’id, Jil. 1/ 367.
3. [24]Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 75.
1. [25]Shahîh At-Turmudzî, Jil. 2/ 308.
2. [26]Ibid; Jil. 2/ 308; Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 1/ 84.
1. [27]Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 75.
2. [28]Majma‘ Az-Zawâ’id, Jil. 9/168; Al-Mustadrak, Jil. 2/ 43; Târîkh al-Baghdad, Jil. 2/120; Al-Hilyah, Jil. 4/ 306; Adz-Dzakâ’ir, hal. 20.
1. [30]Mustadrak Al-Hâkim, Jil. 3/ 149; Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/116. Dalam kitab Faidh Al-Qadîr dan Majma‘ Az-Zawâ’id, Nabi saw. bersabda: “Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk bumi dan Ahlu Baitku adalah pengaman bagi umatku.”
2. [31]Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, Jil. 2/ 252. Hadis serupa terdapat dalam Shahîh At-Turmudzî, Jil. 2/ 319 dan Sunan Ibn Mâjah, Jil. 1/ 52.
(Syiah-Ali/Islam-Quest/ABNA/Prajurit-Al-Mahdi/Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email