Pesan Rahbar

Home » » Abu Hasan Al Asy’ari dan Sebagian Ahlul Hadis Sunni Menganggap Tuhan Benar-benar Mempunyai Anggota Badan Berupa Tangan, Wajah, Mata dan Bersemayam Diatas Arsy.. Sifat Jasmani Tersebut Dianggap Asy’ari Berbeda Dengan Makhluk, Tetapi Sifat Tersebut Menurut Asy’ari Tidak Boleh Diinterpretasikan!! Syi’ah Membantah Pernyataan Wahabi (Bagian 1)

Abu Hasan Al Asy’ari dan Sebagian Ahlul Hadis Sunni Menganggap Tuhan Benar-benar Mempunyai Anggota Badan Berupa Tangan, Wajah, Mata dan Bersemayam Diatas Arsy.. Sifat Jasmani Tersebut Dianggap Asy’ari Berbeda Dengan Makhluk, Tetapi Sifat Tersebut Menurut Asy’ari Tidak Boleh Diinterpretasikan!! Syi’ah Membantah Pernyataan Wahabi (Bagian 1)

Written By Unknown on Saturday 6 December 2014 | 16:45:00

Syi’ah menakwilkan (interpretasi secara metaforis/majazi) semua kata kata yang bersifat jasmani berkaitan sifat sifat Allah, semua kata kata yang bersifat jasmani ditakwilkan kepada kata kata yang bersifat rohani

Lalu bagaimana dengan ahlul hadis sunni ???


IMAM AHMAD BIN HANBAL

Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Dilahirkan pada tahun 164 Hijrah, di kota Baghdad, menurut pendapat yang lebih masyhur, atau di kota Marwa, menurut pendapat yang lebih lemah. Ahmad tumbuh sebagai yatim di bawah asuhan ibunya. Dia sudah mempunyai perhatian kepada ilmu ketika dia berumur lima belas tahun, yaitu pada tahun 179 Hijrah. Dia belajar ilmu hadis, setelah belajar membaca Al-Qur’an dan bahasa. Guru pertama tempat dia menimba ilmu ialah Hisyam bin Basyir as-Silmi, yang wafat pada tahun 183 Hijrah. Ahmad bin Hanbal menyertainya selama tiga tahun atau lebih. Dia telah melakukan perjalanan ke Mekkah, Kufah, Basrah, Madinah, Yaman, Syam dan Irak untuk mencari hadis. Di kota-kota tersebut dia berguru kepada sekumpulan para ulama, yang tidak perlu kita sebutkan di sini, namun yang terpenting dari mereka adalah Syafi’i; sehingga aneh sekali apabila orang-orang Hanbali mengatakan Syafi’i sebagai murid Ahmad bin Hanbal.

Ahmad bin Hanbal mempunyai murid yang banyak sekali, namun yang paling terkenal dari mereka ialah Ahmad bin Muhammad bin Hani, yang terkenal dengan panggilan al-Atsram, yang wafat pada tahun 261 Hijrah, kemudian Shalih bin Ahmad bin Hanbal, putra tertua Ahmad bin Hanbal, dan kemudian Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, yang wafat pada tahun 290 Hijrah, dia meriwayatkan hadis dari ayahnya.


Kitab-Kitab Peninggalan Ahmad

Ahmad tidak pernah menulis sebuah kitab di dalam bidang fikih yang terhitung sebagai kitab induk, yang menjadi tempat pengambilan mazhab fikihnya. Dia hanya mempunyai kitab-kitab yang terhitung sebagai kitab-kitab fikih tematik, seperti kitab al-Manasik al-Kabirah, al-Manasik ash-Shaghirah, dan Risalah Shaghirah fi ash-Shalah. Namun, kitab-kitab tersebut tidak lebih hanya merupakan kitab-kitab hadis, meski pun terhadap beberapa temanya dilakukan penjelasan dan pembahasan.[206].

Dia terkenal tidak mau menulis kitab yang memuat tafri’ (pencabangan) dan ra’yu. Pada suatu hari dia pernah berkata kepada Usman bin Sa’id, “Janganlah kamu melihat kepada isi kitab Abi ‘Ubaid, juga kepada kitab yang ditulis oleh Ishaq, Sufyan, Syafi’i dan Malik. Kamu harus berpegang kepada pokok.”

Yang paling termasyhur dari karyanya di dalam bidang hadis adalah kitab musnadnya, yang mencakup empat puluh ribu hadis, di mana sepuluh ribu hadis darinya disebut berulang. Ahmad bin Hanbal amat percaya dengan kitab musnadnya. Ketika dia ditanya tentang sebuah hadis, dia berkata, “Lihatlah, jika terdapat di dalam musnad maka itu hujjah, namun jika maka itu bukan hujjah.” Banyak dari para huffazh yang meragukannya, dan mereka tidak mempercayai semua yang ada di dalamnya; bahkan dengan lantang mereka mengatakan akan adanya riwayat-riwayat palsu. Namun di sini bukan tempatnya kita membahas masalah ini.


Malapetaka Yang Menimpa Ahmad bin Hanbal

Sesungguhnya tikungan yang paling tampak dalam sejarah kehidupan Ahmad bin Hanbal ialah malapetaka yang menimpanya disebabkan perkataannya bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk. Malapetaka yang menimpa dia dimulai pada zaman Makmun yang memerintahkan manusia dengan kekerasan untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Makmun adalah seorang mutakallim yang alim. Dia mengirimkan surat edaran kepada seluruh gubernurnya, dan memerintahkan kepada mereka untuk menguji manusia akan keyakinan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Di dalam surat edarannya itu dia mengatakan, “Sesungguhnya wajib atas khalifah kaum Muslimin untuk menjaga dan menegakkan agama, serta melaksanakan kebenaran pada rakyat. Amirul Mukminin telah mengetahui bahwa sebagian besar dari kalangan masyarakat umum, yang tidak mempunyai pandangan dan perenungan, tidak mempunyai argumentasi yang berdasarkan petunjuk dan hidayah Allah, dan tidak diterangi oleh cahaya ilmu dan argumentasi, mereka itu orang-orang yang bodoh akan Allah SWT, buta terhadap-Nya, tersesat dari hakikat agama-Nya, tauhid-Nya dan iman kepada-Nya, menyimpang dari tanda-tanda-Nya yang amat jelas, tidak mampu menghargai Allah sesuai dengan kadar-Nya, dan tidak mampu mengetahui hakikat pengenalan-Nya; disebabkan karena lemahnya pandangan-pandangan mereka, kurangnya akal mereka, dan kelalaian mereka dari bertafakkur dan mengambil pelajaran. Oleh karena itu, mereka menyamakan antara Allah dengan apa yang telah diturunkan-Nya, yaitu Al-Qur’an. Lalu mereka sepakat menerapkan bahwa Al-Qur’an itu qadim dan azali, serta tidak diciptakan oleh Allah SWT..”[207].

Dari sinilah dimulai malapetaka “makhluknya Al-Qur’an”. Ibnu Hanbal tidak masuk ke dalam perangkap ujian kecuali pada masa Mu’tashim, disebabkan Makmun meninggal dunia sebelum sempat mengujinya. Mu’tashim sangat keras di dalam menguji orang. Ketika datang giliran Ahmad bin Hanbal, Mu’tashim bersumpah tidak akan membunuhnya dengan pedang, melainkan dia akan memukulinya dengan pukulan demi pukulan, dan kemudian melemparkannya ke dalam ruangan yang gelap gulita yang tidak ada cahaya sama sekali. Ahmad bin Hanbal menjalani ujian selama tiga hari. Setiap hari dia didatangi untuk diajak dialog. Hampir saja dia tunduk kepada pandangan penguasa, namun dengan segera dia berpegang kepada keyakinannya dan menolak pandangan penguasa. Ketika Mu’tashim telah merasa putus asa darinya, maka dia pun memerintahkan supaya Ahmad bin Hanbal dipukul dengan cambuk. Ahmad bin Hanbal dipukul sebanyak 38 cambukkan. Namun, siksaan yang ditimpakan kepada Ahmad bin Hanbal tidak terus berlanjut, bahkan Mu’tashim melepaskannya. Hal ini menimbulkan keheranan. Apakah kejadian ini cukup untuk menjadikan Ahmad sebagai pahlawan sejarah, padahal sejarah telah menyaksikan orang-orang yang mengalami penyiksaan yang lebih kejam dari Ahmad dan mereka sabar?! Kemudian, kenapa siksaan yang ditimpakan kepadanya tidak berlanjut?! Apakah dia telah tunduk kepada perkataan sultan?!

Sebagian dari mereka menyebutkan, bahwa masyarakat umum telah berkumpul mengepung rumah sultan, dan mereka telah bertekad untuk menyerangnya, maka akhirnya Mu’atshim memerintahkan untuk melepaskannya. Perkataan ini tidak sesuai dengan kenyataan. Karena sejarah mencatat Mu’tashim sebagai orang yang kuat dan memiliki kemauan yang keras, di samping besarnya daerah kekuasaan yang dimilikinya, sehingga penolakan masyarakat umum tidak akan berpengaruh kepadanya. Lantas, masyarakat umum yang mana? Apakah mereka itu pengikut Ahmad?! Padahal Ahmad belum dikenal sebelum peristiwa malapetaka itu, sehingga dia mempunyai masyarakat umum. Jika memang mereka itu pengikut Ahmad, Ahmad telah melarang mereka untuk memberontak kepada sultan..! Sehingga dengan demikian, alasan yang dikemukakan di atas tidak memuaskan.

Tampak jelas bahwa yang menjadi sebab kenapa Ahmad dibebaskan adalah karena Ahmad memenuhi keinginan khalifah dan mengatakan apa yang dikatakannya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh al-Jahidz di dalam suratnya yang ditujukan kepada Ahlul Hadis, setelah dia menyebutkan malapetaka dan ujian,
“Sahabat kalian ini —yaitu Ahmad bin Hanbal— mengatakan bahwa tidak ada taqiyyah kecuali di negara syirik. Jika pengakuannya yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk hanyalah merupakan upaya tagiyyah darinya, maka berarti dia telah melakukan taqiyyah di negeri Islam, dan ini berarti dia telah membohongi dirinya. Dan jika pengakuannya itu disertai dengan keyakinan akan kebenaran apa yang diakuinya itu, maka berarti dia bukan lagi dari kamu dan kamu juga bukan lagi dari dia. Padahal dia tidak melihat pedang yang terhunus, dan tidak mendapat pukulan yang banyak. Dia hanya dipukul sebanyak tiga puluh cambukan, sehingga dengan lancar dia mengatakan apa yang diminta oleh sultan. Padahal dia tidak ditempatkan di ruang-an yang sempit, dan tidak diberati dengan besi.”[208].

Juga turut memperkuat apa yang dikatakan oleh al-Jahidz tentang pengakuan Ahmad bin Hanbal bahwa Al-Qur’an itu makhluk, apa yang disebutkan oleh Ya’qubi di dalam kitab tarikhnya.

Ya’qubi berkata, “Mu’tashim menguji Ahmad bin Hanbal di dalam masalah kemakhlukan Al-Qur’an. Ahmad berkata, ‘Saya adalah seorang laki-laki yang mengetahui suatu ilmu, namun tidak mengatakan demikian dalam masalah ini.’ Maka Mu’tashim pun menghadirkan beberapa orang fukaha untuknya, maka Abdurrahman bin Ishaq dan yang lainnya pun berdialog dengannya. Ahmad bin Hanbal tetap tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, sehingga akhirnya dia dipukul dengan beberapa kali cambukan. Ibnu Ishaq berkata, ‘Biar saya, ya Amirul Mukminin, yang berdialog dengannya.’ Mu’tashim berkata, ‘Aku serahkan urusan dia kepadamu.’ Maka Ibnu Ishaq berkata, ‘llmu yang kamu ketahui ini, apakah diturunkan oleh malaikat kepadamu atau kamu mengetahuinya dari beberapa orang?!’

Ahmad menjawab, ‘Tentu, saya mengetahuinya dari beberapa orang.’

Ibnu Ishaq bertanya lagi, ‘Apakah kamu ketahui sedikit demi sedikit atau secara sekaligus?’

Ahmad bin Hanbal menjawab, ‘Saya mengetahuinya sedikit demi sedikit.’

Ibnu Ishaq bertanya, ‘Maka berarti masih ada sesuatu yang tidak kamu ketahui.’

Ahmad bin Hanbal menjawab, ‘Masih ada sesuatu yang saya tidak ketahui.'”

Ibnu Ishaq berkata, “Dan ini termasuk salah satu perkara yang tidak kamu ketahui; yang Amirul Mukminin ajarkan kepadamu.”

Ahmad bin Hanbal menjawab, “Saya akan mengatakan apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin.”

Ibnu Ishaq berkata, “Berkenaan dengan kemakhlukan Al-Qur’an?”

Ahmad menjawab, “Ya, berkenaan dengan kemakhlukan Al-Qur’an.”

Lalu Ahmad bin Hanbal pun memberikan kesaksian tentang kemakhlukan Al-Qur’an, dan Oleh karena itu, mereka membebaskannya kembali ke rumahnya.[209].


Pahlawan-Pahlawan sunni

1. Ahmad bin Nashr al-Khaza’i, yang terbunuh pada tahun 231 Hijrah. Dia adalah salah seorang murid Malik bin Anas. Ibnu Mu’in dan Muhammad bin Yusuf menceritakan bahwa dia termasuk salah seorang ahli ilmu. Al-Watsiq telah mengujinya dengan pertanyaan, apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?

Ahmad bin Nashr al-Khaza’i berkata, “Kalam Allah, dan bukan makhluk.”

Maka al-Watsiq pun memaksanya untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, namun Ahmad bin Nashr al-Khaza’i tetap menolaknya. Kemudian al-Watsiq bertanya lagi kepadanya tentang melihat Allah pada hari kiamat. Ahmad bin Nashr menjawab, “Ya, Allah SWT dapat dilihat pada hari kiamat.” Lalu dia mengutip hadis-hadis yang berbicara tentang hal itu.

Al-Watsiq berkata, “Celaka kamu. Apakah Dia dapat dilihat sebagaimana dapat dilihatnya jisim yang terbatas dan menempati ruang. Sungguh, Anda telah kafir dengan mengatakan Tuhan yang memiliki sifat-sifat ini.”

Manakala Ahmad bin Nashr al-Khaza’I tetap bersikeras dengan pandangannya, maka Khalifah pun mendatangkan sebilah pedang yang dijuluki shamshamah (pedang sekali tebas, karena sangat tajamnya). Khalifah berkata, “Saya akan membuat perhitungan dengan orang kafir ini, yang tidak menyembah Tuhan yang kita sembah, dan mensifati-Nya dengan sifat yang tidak kita akui. Kemudian Khalifah berjalan menghampirinya, dan lalu memenggal lehernya. Selanjutnya Khalifah memerintahkan supaya kepala Ahmad bin Nashr dibawa ke kota Baghdad. Di sana, kepala Ahmad bin Nashr ditancapkan di sebelah timur kota selama berhari-hari, dan kemudian di sebelah barat kota beberapa hari. Ketika tubuh Ahmad bin Nashr disalib, al-Watsiq menulis di atas secarik kertas, dan kemudian menggantungnya pada kepala Ahmad bin Nashr. Bunyi tulisan itu sebagai berikut, “Ini adalah kepala Ahmad bin Nashr bin Malik. Abdullah al-Imam Harun —yaitu al-Watsiq— telah menyerunya kepada keyakinan kemakhlukan Al-Qur’an dan penafian tasybih, namun dia bersikeras menolaknya, maka Allah SWT pun mensegerakan dia ke dalam neraka.”[210].


2. Yusuf bin Yahya al-Buwaithi. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dia adalah salah seorang murid Imam Syafi’i, dan merupakan penggantinya yang meneruskan majlis pelajarannya. Yusuf bin Yahya al-Buwaithi dibawa dari Mesir ke Baghdad dalam keadaan tubuhnya diberati dengan empat puluh potongan besi. Dia diminta untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, namun dia menolaknya. Dia tetap bersikeras menolak bahwa Al-Qur’an itu makhluk sehingga dia meninggal dunia di dalam penjara pada tahun 232 Hijrah.

Dan banyak lagi pahlwan-pahlawan lain, yang tidak mungkin dapat disebutkan di sini secara satu persatu, yang mana mereka lebih teguh dan lebih keras di dalam memegang keyakinannya dibandingkan Ahmad bin Hanbal. Sungguh merupakan kezaliman manakala disebutkan bahwa hanya Ahmad bin Hanbal saja yang mendapat ujian, dan itu dihitung sebagai kepahlawanannya yang terbesar. Padahal -sebagaimana Anda ketahui- Ahmad bin Hanbal sama sekali tidak demikian.

Dia justru tunduk dan mau menerima apa yang dikatakan oleh Mu’tashim.


Ahmad Pada Masa Mutawakkil

Ketika Mutawakkil menduduki puncak kekuasaan, dia mendekati kelompok Ahlul Hadis dan mengintimidasi kelompok Mu’tazilah. Persis kebalikan pada masa Ma’mun, Mu’tashim dan al-Watsiq. Mutawakkil menguji masyarakat tentang kemakhlukan Al-Qur’an. Siapa saja yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk, maka dia akan disiksa dan dibunuh. Maka kelompok Ahlul Hadis pun menemukan sasaran mereka, dan gaung mereka pun menjadi besar. Mereka menempati kedudukan yang tinggi, dan menuntut balas dendam dari kalangan Mu’tazilah dengan sekejam-kejamnya.

Ahmad Amin berkata, “Khalifah Mutawakkil ingin merangkul pendapat umum dan mendapatkan dukungan mereka. Oleh karena itu, dia pun membatalkan perkataannya tentang kemakhlukan Al-Qur’an, membatalkan ujian dan pengadilan, dan menolong para ahli hadis.”[211].

Merupakan keuntungan terbesar bagi Ahmad bin Hanbal manakala dia dekat dengan Mutawakkil. Karena dia adalah orang yang masih tersisa dari malapetka “kemakhlukan Al-Qur’an”, setelah pahlawan-pahlawannya dibunuh. Mutawakkil berpesan kepada para gubernurnya untuk menghormati dan menghargai Ahmad bin Hanbal. Dia juga bersimpati kepadanya dan memberikan empat ribu dirham kepadanya setiap bulan.[212] Maka bersinarlah bintang Ahmad, dan masyarakatpun berbondong-bondong mendatangi pintu rumahnya, begitu juga dengan para pejabat pemerintah. Sebagai gantinya Ahmad mengakui keabsahan kekhilafahan dan kepemimpinan Mutawakkil serta mewajibkan ketaatan kepadanya. Pemerintah sangat mendukung Ahmad dan menguatkan posisinya. Ini tidaklah heran karena Ahmad berpendapat seseorang wajib taat kepada pemimpin, baik itu pemimpin yang baik maupun pemimpin yang jahat.

Ahmad berkata di dalam salah satu risalahnya, “Wajib hukumnya mendengar dan taat kepada para pemimpin dan Amirul Mukminin, baik yang baik maupun yang jahat. Baik yang menduduki kekhilafahan karena kesepakatan manusia dan keridaan mereka kepadanya maupun orang yang mendudukinya melalui ketazaman pedang dan kemudian disebut sebagai Amirul Mukminin. Tidak boleh seorang pun menjelek-jelekan mereka atau menentangnya. Begitu juga sah hukum-nya membayar zakat kepada mereka, baik pemimpin yang baik maupun pemimpin yang jahat. Demikian juga sah hukumnya salat di belakang mereka. Barangsiapa yang mengulangi salatnya maka dia itu pembuat bid’ah dan penentang sunah.

Barangsiapa yang memberontak kepada seoarang pemimpin dari para pemimpin kaum Muslimin, sementara manusia telah sepakat atasnya dan telah mengakui kekhilafahannya, baik karena rida maupun karena terpaksa, maka orang yang memberontak kepadanya berarti telah mematahkan tongkat kaum Muslimin dan telah menentang peninggalan Rasulullah saw. Jika orang yang memberontak itu mati maka dia mati sebagai matinya orang jahiliyyah.”[213].

Abu Zuhrah mengatakan di dalam kitab yang sama, halaman 321, “Ahmad mempunyai pandangan yang sama dengan seluruh para fukaha tentang sahnya kepemimpinan orang yang menguasai kepemimpinan dan kemudian manusia meridainya serta memberlakukan hukum yang sesuai di antara mereka. Bahkan, Ahmad berpendapat lebih jauh dari itu. Dia mengatakan bahwa barangsiapa yang menguasai kepemimpinan, meskipun dia seorang yang suka berbuat maksiat, maka wajib taat kepadanya, supaya tidak timbul fitnah.”

Oleh karena itu, kita mendapati para pengikutnya dari kalangan salafi dan Wahabi, mereka menetapkan Husain bin Ali as sebagai seorang yang durhaka dan wajib dibunuh oleh Yazid, dikarenakan dia telah memberontak kepada pemimpin zamannya. Saya telah mende-ngar sendiri dengan telinga saya bagaimana salah seorang dari mereka mendebat saya dan membela Yazid dengan keras. Dia berkata, “Husain telah memberontak kepada pemimpin zamannya, maka Oleh karena itu, dia wajib dibunuh.” Lihatlah, betapa orang ini telah bertaklid secara buta kepada orang-orang sebelumnya. Apa nilai Ahmad bin Hanbal dihadapan Husain bin Ali as, sehingga saya harus mengatakan apa yang dikatakannya, melakukan apa yang difatwakannya, dan menuduh Husain bin Ali telah berbuat zalim dan durhaka?!

Jika kita melepaskan diri kita dari taklid buta yang semacam ini, lalu kemudian kita merenungi ayat-ayat Al-Qur’an, niscaya yang demikian akan lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran. Allah SWT berfirman,
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.” (QS. Hud: 113).

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. al-Kahfi: 28).

Allah SWT juga berfirman, “Makajanganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah).” (QS. al-Qalam: 8).

Pada ayat yang lain Allah SWT juga berfirman, “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas.” (QS. asy-Syu’ara: 151).

Namun mereka telah meninggalkan Al-Qur’an, dan berhujjah dengan riwayat-riwayat yang dibuat oleh para penguasa Bani Umayyah, supaya manusia tunduk kepada kekuasaan mereka. Ahlul Bait telah menolak hadis-hadis ini dengan hadis-hadis yang benar dan sejalan dengan Al-Qur’an serta selaras dengan ruh Islam.

Imam Ja’far ash-Shadiq as berkata, “Barangsiapa yang suka kelangsungan hidup orang-orang yang zalim maka berarti dia suka Allah didurhakai.” 

Di samping perkataan ini merupakan hadis, dia juga merupakan dalil akal yang kokoh. Karena hadis ini melihat bahwa barangsiapa yang tunduk dan taat kepada orang yang zalim serta tidak melakukan penentangan terhadapnya maka berarti dia suka tetap berlangsungnya kedurhakaan kepada Allah. Allah SWT berfirman,
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah: 44).

“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Maidah: 45).

“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasih. ” (QS. al-Maidah: 47).

Di samping ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang memerintahkan kepada amar makruf dan nahi munkar. Oleh karena itu, tatkala Husain bin Ali as hendak melakukan perlawanan terhadap thagut pada zamannya dia berkata,
“Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda, ‘Barangsiapa yang melihat seorang penguasa zalim yang menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah, melanggar perjanjian Allah, menentang sunah Rasulullah, dan berbuat dosa dan permusuhan terhadap hamba-hamba Allah, lalu dia tidak berusaha untuk merubahnya dengan perkataan dan perbuatan, maka Allah berhak untuk memasukkannya ke dalam tempat masuk penguasa zalim tersebut. Ingatlah, sesungguhnya mereka itu telah mendawamkan ketaatan kepada setan, meninggalkan ketaatan kepada Tuhan, menimbulkan kerusakan, membekukan hukum, memonopoli pampasan perang, serta menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, padahal aku lebih berhak dari selainku.”[214].

Namun, apa yang harus kita katakan kepada orang yang telah meninggalkan para Imam Ahlul Bait dan menggantinya dengan para imam buatan yang tidak Allah SWT perintahkan kepada kita untuk mentaatinya. Allah SWt berfirman,
“Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar. Ya Tuhan kami, berilah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.'” (al-Ahzab: 67 – 68)

Sungguh besar kejahatan terhadap umat Islam yang telah dilakukan oleh para penguasa Bani Umayyah, dengan membuat hadis-hadis palsu ini. Begitu juga, betapa besar dosa dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal ini. Betapa fatwa ini telah mengecewakan generasi revolusioner Islam yang menolak kezaliman dan kediktatoran pada abad yang digambarkan sebagai abad kebangkitan dan pencerahan ini. Jika di sana terdapat kejahatan yang telah dilakukan oleh sekelompok pemuda yang bergabung di bawah bendera ajaran komunis, maka kejahatan terbesar justru dilakukan oleh para ulama jahat.

Masalah inilah yang telah menjadi penyebab perselisihan kaum Muslimin dan terkotak-kotaknya mereka ke dalam berbagai mazhab.

Kelompok Ahlul Hadis sunni, mereka kaku di dalam memahami zhahir nas. Sementara kelompok Mu’tazilah, mereka bersandar kepada takwil. Adapun kelompok Asy’ariyyah, mereka berusaha menggabungkan antara ta’wil dan sikap kaku di dalam menyikapi nas. Sementara kalangan filosof, mereka membangun jalan yang bertentangan dengan jalan Allah bagi diri mereka, dan mengklaim bahwa mereka telah sampai kepada hakikat.

Oleh karena pembicaraan kita sekarang berkenaan dengan kelompok Hanbali, kita perlu kemukakan, bahwa pengingkaran mereka terhadap akal tidak ada dasarnya. Orang yang membaca kitab-kitab Hanbali, niscaya akan menemukan keyakinan-keyakinan yang saling bertentangan, atau keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan akal dan fitrah manusia. Mereka mempercayai riwayat-riwayat yang menetapkan adanya tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk) dan tajsim (penjisiman Allah) bagi Allah SWT. Anda dapat melihat keyakinan-keyakinan mereka tidak banyak berbeda dengan keyakinan-keyakinan Yahudi, Nasrani dan Majusi. Oleh karena itu, muncullah di tengah-tengah mereka mazhab-mazhab yang mengakui paham tajsim, tasybih, ru’yah (Allah dapat dilihat dengan mata), jabr (manusia terpaksa di dalam perbuatannya), dan keyakinan-keyakinan lain yang berasal dari keyakinan-keyakinan Ahlul Kitab.

Ini semua disebabkan perlakuan mereka yang sewenang-wenang terhadap hadis. Mereka tidak membahas hadis dengan teliti dari segi arti dan maksudnya, dan juga tidak memperhatikan sanad-sanadnya, serta tidak membandingkannya dengan Al-Qur’an dan akal, melainkan mereka mempercayainya secara bulat-bulat.

“Taklid mereka sampai tingkat sedemikian rupa sehingga mereka mengambil makna zahir dari semua hadis mawguf, marfu’ dan mawdhu’ yang diriwayatkan oleh para perawi. Meski pun hadis-hadis itu aneh, janggal dan berasal dari riwayat-riwayat Israiliyyat, seperti yang di-riwayatkan oleh Ka’ab, Wahab dan lainnya, atau bertentangan dengan hal-hal yang sudah pasti (gath’iyyat), yang terhitung sebagai nas-nas agama, pemahaman inderawi, dan perkara-perkara yang sangat jelas menurut akal (yaqiniyyat). Dan mereka mengkafirkan orang-orang yang mengingkarinya, dan memfasikkan orang-orang yang menyalahinya….”[357].

Jika kita memperlakukan hadis dengan cara yang seperti ini, tentu tidaklah mustahil akidah Islam akan menjadi tawanan beribu-ribu hadis mawdhu’ (palsu) dan hadis-hadis Israiliyyah, yang disisipkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam akidah Islam.

Klaim kelompok Hanbali yang mengatakan bahawa mereka berpegang kepada al-Kitab dan Sunah, serta tuduhan sesat dan kafir yang mereka lontarkan kepada kelompok di luar mereka, adalah sebuah klaim yang kosong yang tidak mempunyai dalil. Seluruh kelompok mengakui kehujjahan sunnah dan beramal dengannya, akan tetapi kelompok Hanbali, mereka meyakini seluruh yang diriwayatkan sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulallah saw, dengan tanpa melakukan pengecekan, dengan tanpa melakukan usaha untuk memahami dan mengerti akan maksud dan artinya. Zamakhsyari berkata tentang kelompok Hanbali di dalam syairnya,
“Jika kamu bertanya tentang Ahlul Hadis niscaya mereka menjawab, kambing jantan yang tidak memahami dan mengetahui.”

Rasulullah saw telah bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah dia untuk menempati tempatnya di neraka.” 

Di dalam hadis ini, dengan jelas Rasulullah saw mengisyaratkan bahwa musuh-musuh agama akan menisbahkan segala sesuatu yang mendiskreditkan dirinya dan menyelewengkan akidahnya kepada dirinya. Oleh karena itu, mau tidak mau kajian ilmu hadis harus tunduk kepada metoda-metoda ilmiah dan mantiqiyyah, dan bukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh kelompok Hanbali, yang mengimani seluruh yang mereka temukan di dalam kitab-kitab hadis, baik yang logis maupun yang tidak logis, baik yang sejalan dengan Al-Qura’an maupun yang tidak sejalan.

Ahmad bin Hanbal berkata di dalam risalahnya, “Kami meriwayatkan hadis sebagaimana dia diriwayatkan, dan kami membenarkannya serta meyakini bahwa dia sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah saw.”[358].

Seseorang berkata, “Ali bin Isa telah memberitahukan aku bahwa seorang Hanbali telah berkata, ‘Saya bertanya kepada Abu Abdillah tentang hadis-hadis yang mengatakan bahwa Allah SWT turun ke langit dunia setiap malam, Allah dapat dilihat, Allah meletakkan kaki-Nya, dan hadis-hadis lain yang seperti itu. Abu Abdillah menjawab, ‘Kami meyakininya dan membenarkannya, serta tidak memberinya bentuk dan arti. Artinya, kami tidak menyimpangkannya dengan takwil, lalu kami mengatakan maknanya demikian. Kami tidak menolak sedikit pun darinya.'”[359].

Inilah jalan mereka di dalam memperlakukan hadis. Mereka tidak menolak sedikit pun darinya, dan membenarkan segala sesuatu yang disebutkannya. Adapun alasan yang mereka ajukan atas apa yang mereka lakukan itu amatlah lucu. Membenarkan hadis-hadis yang seperti ini adalah sama dengan membenarkan paham tajsim dan tasybih. Sebagian dari mereka telah bertindak ekstrim, yaitu dari kelompok Hasyawiyyah, di mana mereka menetapkan perbuatan fisik bagi Allah SWT.

Syahrestani berkata,
“Adapun penyerupaan yang dilakukan oleh kelompok Hasyawiyyah telah sampai kepada batas di mana mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka dapat disentuh dan diajak berjabat tangan, dan bahwa kaum Muslimin yang mukhlis akan dapat memeluk-Nya di dunia dan di akhirat, ketika mereka telah sampai ke tingkatan ikhlas di dalam riyadhah (latihan spiritual) dan ijtihad.”[360].


Contoh-Contoh Hadis Tajsim

Berikut ini beberapa contoh dari riwayat-riwayat tajsim, yang kami pilih dari kitab as-Sunnah, yang telah diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, dan juga dari kitab at-Tauhid, karya Ibnu Khuzaimah.
1. Abdullah bin Ahmad meriwayatkan, disertai dengan menyebut sanad-sanadnya. Dia berkata, “Rasulullah saw telah bersabda, Tuhan kita telah menertawakan keputus-asaan hamba-hamba-Nya dan kedekatan yang lainnya. Perawi berkata, ‘Saya bertanya, ‘Ya Rasulallah, apakah Tuhan tertawa?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Ya.’ Saya berkata, ‘Kita tidak kehilangan Tuhan yang tertawa dalam kebaikan.”‘[361]

2. Abdullah berkata, “Saya membacakan kepada ayahku. Lalu, dia menyebutkan sanadnya hingga kepada Sa’id bin Jubair yang berkata, ‘Sesungguhnya mereka berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu yaqut-Nya. Saya tidak tahu, apakah dia mengatakan merah atau tidak?’ Saya berkata kepada Sa’id bin Jubair, lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu zamrud dan naskah tulisan emas, yang Tuhan menuliskannya dengan tangan-Nya, sehingga para penduduk langit dapat mendengar suara gerak pena-Nya.”[362]

3. Abdullah berkata, “Ayahku berkata kepadaku dengan sanad dari Abi ‘Ithaq yang berkata, ‘Allah menuliskan Taurat bagi Musa dengan tangan-Nya, dalam keadaan menyandarkan punggungnya ke batu, pada lembaran-lembaran yang terbuat dari mutiara. Musa dapat mendengar bunyi suara pena Tuhannya, sementara tidak ada penghalang antara dirinya dengan Tuhannya kecuali sebuah tirai.'”[363]

Apakah Anda dapat memahami sesuatu selain tajsim dan tasybih dari riwayat-riwayat ini? Sungguh dusta orang yang mempercayai hadis-hadis ini namun mengatakan bahwa dirinya tidak membayangkan Tuhannya. Tidak, mereka pasti membayangkannya.

Telah berlangsung sebuah diskusi di antara saudara saya dengan salah seorang tokoh Wahabi, yang merupakan kepanjangandari keyakinan Hanbali. Diskusi mereka mengenai seputar sifat-sifat Allah. Saudara saya mensucikan Allah dari sifat-sifat yang seperti ini, dan dengan berbagai jalan berusaha membuktikan keburukan keyakinan-keyakinan tersebut. Namun, semuanya itu tidak mendatangkan manfaat, hingga akhimya saudara saya mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya,
“Jika memang SWT mempunyai sifat-sifat ini, yaitu Dia mempunyai wajah, mempunyai dua tangan, dua kaki, dua mata, dan sifat-sifat lainnya yang mereka alamatkan kepada Tuhan mereka, apakah tidak mungkin kemudian seorang manusia membayangkan dan mengkhayalkann-Nya? Dan dia pasti akan membayangkan-Nya. Karena jiwa manusia tercipta sedemikian rupa, sehingga dia akan membayangkan sesuatu yang telah diberi sifat-sifat yang seperti ini.” Jawaban yang diberikan oleh tokoh Wahabi tersebut benar-benar menjelaskan keyakinannya tentang tajsim. Dia berkata, “Ya, seseorang dapat membayangkan-Nya, namun dia tidak diperkenankan memberitahukannya..!!”

Abu Hasan Al Asy’ari dan Sebagian Ahlul Hadis Sunni menganggap Tuhan benar benar mempunyai anggota badan berupa tangan, wajah, mata dan bersemayam di atas arsy.. Sifat jasmani tersebut dianggap Asy’ari berbeda dengan makhluk, tetapi sifat tersebut menurut Asy’ari tidak boleh di interpretasikan !! Syi’ah membantah…

Ahmad bin Hambal menolak ilmu kalam..

Abu Hasan Al Asy’ari menerima akidah Imam Ahmad lalu menggabungkannya dengan ilmu kalam sehingga lahirlah ilmu kalam sunni …

Menurut Asy’ari, ayat ayat antropomorfis (mutasyabihat) tidak boleh diinterpretasikan secara metaforis (majazi) tetapi harus diyakini apa adanya sehingga Asy’ari dan sebagian ahlul hadis sunni menggambarkan Tuhan memiliki sifat sifat jasmani ..

Syi’ah menakwilkan ( interpretasi secara metaforis / majazi ) semua kata kata yang bersifat jasmani, semua kata kata yang bersifat jasmani ditakwilkan kepada kata kata yang bersifat rohani…


http://www.jamaahtabligh.tk/ pemalsuan-kitab-al-ibanah-oleh-salafy-wahaby/ pihak jama'ah tabligh bersikeras Al ibanah telah dipalsukan, berikut ini saya kutip karya tulis Nurcholis Majid:

MASALAH TA'WIL SEBAGAI METODOLOGI PENAFSIRAN AL- QUR'AN

oleh Nurcholish Madjid (2/2)

mereka tetap menolak antropomorfisme, dengan mengatakan bahwa sekali pun disebutkan Tuhan itu mempunyai tangan, wajah, mata dan lain-lain, namun tangan, wajah dan mata Tuhan itu tidak sama dengan yang ada pada makhluk seperti manusia, dan "tanpa bagaimana" (bi-la kayfa). Inilah metode al-Asy'ari, rujukan utama paham Sunni dalam ilmu Ketuhanan atau akidah. [Abu al-Hasan al-Asy'ari, al-Ibanah'an Ushul al-Diyanah (Idarat al-Thiba'at al-Muniriyyah, 1348 H), h. 8-9.]

 ..........................................

Lagi-lagi lagu lama mereka, mereka berkata: “Kitab Al-Ibanah Karya Imam Abul Hasan Al-Asy’ariy Itu Telah Dipalsukan/Didistorsi”???


Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?

Ini adalah tuduhan yang getol dikampanyekan oleh kaum Asy’ariyyah kepada Ahlus-Sunnah. Sebelum ini mereka menolak penisbatan kitab Al-Ibaanah kepada Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Namun karena bukti-bukti yang ada sedemikian kuat menunjukkan bahwa kitab tersebut memang benar-benar karya Al-Imam Al-Asy’ariy[12], maka mereka beralih kepada tuduhan lain tentang adanya pemalsuan kitab tersebut.

Mari kita lihat pembahasan lain mengenai kitab Al-Baanah sebagai berikut:


Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an (Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy)

‘Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?

Ini adalah tuduhan yang getol dikampanyekan oleh kaum Asy’ariyyah kepada Ahlus-Sunnah. Sebelum ini mereka menolak penisbatan kitab Al-Ibaanah kepada Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Namun karena bukti-bukti yang ada sedemikian kuat menunjukkan bahwa kitab tersebut memang benar-benar karya Al-Imam Al-Asy’ariy[12], maka mereka beralih kepada tuduhan lain tentang adanya pemalsuan kitab tersebut. Saya ambil sedikit contoh dari perkataan mereka (yaitu perkataan orang yang sangat benci kepada dakwah salaf : Abu Syafiq Al-Ahbasyiy - yang kemudian banyak ditaqlidi oleh seorang jahil yang menamakan dirinya Salafytobat) :

Al-Allamah al-Kauthari ada menyatakan pada pada muqaddimah kitab tabyin kizb al-muftari : Naskhah kitab al-Ibanah yang dicetak di India adalah merupakan naskhah yang telah dipalsukan sebahagian dari isinya, adalah menjadi kewajipan untuk mencetak semula sebagaimana yang asal dari manuskrip yang dipercayai.

Dr Abd rahman Badawi didalam kitabnya berjodol mazahib islamiyyin menyokong pandangan al-Kauthari dengan katanya :

Apa yang telah disebut oleh al-Kauthari adalah merupakan suatu yang benar , dimana kitab al-Ibanah telah dicetak semula di India dengan permainan pehak-pehak jahat

Kita katakan :

Bagaimana bisa Al-Kautsariy (yang kemudian diamini oleh Abdurrahman Badawiy) mengatakan bahwa manuskrip yang ada di India adalah cetakan yang salah padahal ia tidak melakukan perbandingan dan penelitian di antara manuskrip-manuskrip yang ada ? Tidak lain ia mengatakan hal itu karena bertentangan dengan ‘aqidahnya yang Jahmiyyah.

Bagi para peneliti, tentu tidak asing bagaimana talbis yang biasa dilakukan oleh Al-Kautsari ini, sebagaimana ia lakukan pada kitab Al-Baihaqiy yang berjudul Al-Asmaa’ wash-Shifaat.

Sudah sangat dimaklumi bahwa tahqiq (penelitian) kitab tidaklah berkembang di kalangan ahlul-bida’. Mereka banyak menghukumi bukan berdasarkan ilmu, namun hanya berdasarkan hawa nafsu. Memang benar ada beberapa ‘kekeliruan’ pada manuskrip di India, namun itu jumlahnya sedikit. Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah telah menulis desertasi S3 tentang kitab Al-Ibaanah. Beliau banyak menelaah beberapa manuskrip kitab Al-Ibaanah diantaranya : Manuskrip yang tersimpan di Daarul-Kutub Al-Quumiyyah Al-Mishriyyah di Kairo, bernomor 107 & 377; manuskrip Hindiyyah yang tersimpan di Maktabah Jaami’ah ‘Utsmaniyyah di Heidar-Abad, nomor 502; manuskrip yang tersimpan di Maktabah Azhariyyah, nomor 904; dan lain-lain. Juga beberapa cetakan dari beberapa penerbit seperti : Cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud, Cet. Daarul-Bayan Beirut dengan pentahqiq Basyir ‘Uyuun, Cet. Daarun-Nafaais Beirut dengan pentahqiq ‘Abbas Shabbaagh, dan yang lainnya.

Oleh karena itu, perkataan mereka (= Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) :

Setelah merujuk kepada semua cetakan kitab Al-Ibanah adalah merupakan bualan semata. Kita ketahui bahwa seorang Abu Syafiq Al-Ahbasyiy tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang pentahqiq. Selain disebabkan banyaknya kedustaan yang telah ia lakukan dalam banyak tulisannya, juga perlu kita tanyakan : ‘Dari mana ia mendapati semua cetakan ataupun manuskrip kitab Al-Ibaanah sebagai bahan untuk men-tahqiq satu kitab ? Sedangkan dalam tulisannya hanya tersebut dua cetakan saja (yaitu Cet. Dr. Fauqiyyah dan Cet. Universitas Islam Madinah !?! Bagaimana ia bisa melakukan perbandingan dan penelitian ?

Ia (Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) mengatakan :
Bahkan tertera pada cetakan kitab Al-Ibanah ‘An Usuli Ad-Diyanah oleh Imam Abu Hasan Al-Asya’ry yang diTahkik Oleh Dr. Fauqiyah Husain Mahmoud , Prof Di Universiti ‘ain Syam Kaherah Mesir cetakan 2 Tahun 1987 M didapati dalam kitab Al-Ibanah tersebut Al-Imam Abu Hasan Al-Asya’ary menyatakan : ‘Istiwa Allah bukan bersentuhan, bukan menetap, bukan mengambil tempat, bukan meliputi Arasy, bukan bertukar tempat, bukanlah Allah diangkat oleh Arasy bahkan Arasy dan malaikat pemikul arasy-lah yang diangkat oleh Allah dengan kekuasaan-Nya, dan mereka dikuasai oleh Allah dengan keagungan-Nya”

Pernyataannya dan nukilannya ini justru semakin memperjelas pernyataan bahwa Abu Syafiq bukan merupakan orang berilmu yang mempunyai kemampuan melakukan penelitian terhadap kitab para ulama. Ia hanya membaca, menukil, dan membenarkan satu pernyataan yang berkesesuaian dengan hawa nafsunya.

Saya katakan : Justru cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud yang ia nukil – dan kemudian ia benarkan – tersebut merupakan cetakan yang terdapat banyak kekeliruan. Termasuk diantaranya adalah kalimat yang ia nukil di atas. Kalimat yang ia nukil tersebut merupakan tambahan yang tidak terdapat dalam manuskrip yang mahfudh. Perhatikan lafadh cetakan Dr. Fauqiyyah di bawah :

وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله وبالمعنى الذي أراده استواء منزها عن الممارسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال لا يحمله العرش، بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ومقهورون في قبضته وهو فوق العرش وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى فوقية لا تزيده قربا إلى العرش والسماء بل هو رفيع الدرجات عن العرش كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى وهو مع ذلك قريب من كل موجود وهو أقرب إلى العبد من حبل الوريد وهو على كل شيء شهيد

“Dan bahwasannya Allah ta’ala ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy dalam bentuk sebagaimana yang Ia firmankan. Adapun makna istiwaa’ sebagaimana yang dimaksudkan adalah : Terbebas dari bersentuhan, menetap, bertempat tinggal, mendiami, serta berpindah (tempat). ‘Arsy tidak membawa/mengangkat Allah, namun ‘Arsy dan malaikat pemikulnya lah yang dibawa/diangkat oleh Allah dengan kekuasaannya, serta dikuasai dalam genggaman-Nya; sedangkan Ia berada di atas ‘Arsy. Dan Allah berada di atas segala sesuatu. Keberadaan Allah di atas segala sesuatu (fauqiyyah) tidaklah menambah dekat kepada ‘Arsy dan langit. Namun hal itu menunjukkan makna tingginya kedudukan Allah dari ‘Arsy sebagaimana juga ketinggian kedudukan Allah dari muka bumi. Bersamaan dengan itu, Allah sangat dekat dengan segala sesuatu. Dia lebih dekat dengan hamba dari urat lehernya. Dan Allah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” [selesai].

Yang mahfudh dari perkataan Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sebagaimana terdapat dalam beberapa manuskrip – sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy dalam desertasinya – adalah sebagai berikut :

وأن الله استوى على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى).

“Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5)” [lihat Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ary hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1] – perhatikan kalimat yang saya garis bawah !!
Apalagi hal itu dikuatkan dari nukilan Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar sebagaimana telah lewat penyebutannya - yang persis seperti kalimat di atas tanpa ada penambahan. Hal yang sama oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Tabyiin Kadzibil-Muftariy hal. 158[13]; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fataawaa 5/142, Dar’ut-Ta’arudl Al-‘Aql wan-Naql 7/104, dan Bayaan Talbiisil-Jahmiyyah 2/15; Ibnul-Qayyim dalam Ijtimaa’ul-Juyuusy Al-Islaamiyyah hal. 169; Ibnul-‘Imad dalam Syadzdzaraatudz-Dzahab 2/304; Al-Alusiy dalam Ruuhul-Ma’aaniy 1/60 (dengan peringkasan); ‘Abdul-Baqiy Al-Hanbaliy dalam Al-‘Ain wal-Atsar fii Mawaahibi Ahlil-Atsar hal. 111; dan lain-lain – dimana semua menukil/menyebutkan tanpa adanya penambahan kalimat dalam cetakan Dr. Fauqiyyah.

Perlu diketahui bahwa kalimat tambahan di atas hanya ada dalam naskah/manuskrip yang terdapat di Iskandariyyah yang kemudian dijadikan acuan dalam cetakan Dr. Fauqiyyah. Adapun dalam naskah-naskah (manuskrip) yang lain tidak terdapat tambahan kalimat tersebut. Selain itu, kelemahan naskah/manuskrip ini adalah tidak diketahuinya siapa yang menulisnya/menyalinnya dan tanggal penulisannya. Banyak hal yang menunjukkan kelemahan tambahan ini. Apalagi tambahan lafadh tersebut merupakan gaya khas Mu’tazilah yang banyak melakukan ta’wil (seperti Asy’ariyyuun) dimana madzhab ini telah ditinggalkan – dan bahkan dicela – oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Kuat penunjukkannya adanya tambahan ini berasal dari Al-Ghazaliy rahimahullah, karena tambahan lafadh ini hanya tertulis dalam tiga buah kitabnya, yaitu : Ihyaa ‘Uluumiddin 1/90, Al-Arba’iin fii Ushuuliddiin hal. 7-8, dan Qawaaidul-‘Aqaaid hal. 52.

Scan kitab Al-Ibaanah hal. 9 (Daar Ibni Zaiduun) dapat dilihat di bawah :


*****




ULAMA YANG MENYATAKAN ASY’ARIYAH BUKAN AHLUS SUNNAH
  1.  Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah Ibnu Khuzaimah rahimahullah ditanya oleh Abu Ali ats-Tsaqafi, “Apa yang kau ingkari, wahai ustadz, dari mazhab kami supaya kami bisa rujuk darinya?” Beliau menjawab, “Kalian condong kepada pemahaman Kullabiyah. Ahmad bin Hanbal termasuk orang yang paling keras terhadap Abdullah bin Said bin Kullab dan teman-temannya, seperti Harits dan lainnya.” Perlu diketahui bahwa Kullabiyah adalah masyayikh (guru-guru/senior) Asy’ariyah. Ibnu Taimiyah t berkata, “Kullabiyah adalah guru-guru orang Asy’ariyah….” (Kitab Istiqamah)
  2. Ibnu Qudamah rahimahullah Beliau berkata, “Kami tidak mengetahui kelompok ahlul bid’ah yang menyembunyikan pemikiran-pemikirannya dan tidak berani menampakkannya selain Zanadiqah dan Asy’ariyah.”
  3. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah Beliau berkata, “Asya’irah (Asy’ariyah), Maturidiyah, dan yang semisal mereka bukanlah Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
  4. Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi Pendapat yang benar, Asy’ariyah dan Maturidiyah termasuk kelompok ahlul bid’ah, tidak boleh seorang pun menyatakan Asy’ariyah adalah Ahlus Sunnah. Barang siapa yang menyatakan dua kelompok ini Ahlus Sunnah wal Jamaah berarti telah menjerumuskan dirinya dalam kesalahan fatal dan bahaya yang besar. (at-Ta’kid hlm. 7)
  5. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya, “Apakah Asy’ariyah dan Maturidiyah termasuk Ahlus Sunnah?” Beliau menjawab, “Mereka tidak teranggap sebagai Ahlus Sunnah. Tidak ada seorang pun yang menggolongkan mereka ke dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka memang menamakan diri mereka termasuk Ahlus Sunnah akan tetapi mereka bukanlah Ahlus Sunnah.” (Lihat Ta’kid Musallamat Salafiyah, hlm. 19—30)
  Sumber: Majalah asy Syariah edisi 74

Download: https://drive.google.com/file/d/1TS4kUFev01ysKH2uMSMIWvjy43tiCvhh/view?usp=sharing

Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :

إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.

ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا

“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.

Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 210-211, 218.] ---> Sumber kutipan: Dulu ditulis Oleh https://maktabahonline.wordpress.com/ dan sudah di hapus.

Saya selaku pengikut syi’ah menganggap Abu Hasan Al Asy’ari adalah seorang ahlul kalam yang merasionalkan akidah Imam Ahmad bin Hambal, dengan kata lain Asy’ari adalah penengah antara paham mu’tazilah dan paham ahlul hadis...

Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.


Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260 – 324 H)

1. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy, seorang ahli ilmu kalam, dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin[2] wa Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan yang lainnya, hingga kemudian beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan Ashhaabul-Hadiits (dalam ‘aqidah)

جملة قولهم الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وبما جاء عن الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يردون من ذلك شيئا. وأن الله على عرشه كما قال (الرحمن على العرش استوى) وأنه له يدين بلا كيف كما قال : (لما خلقت بيدي). وأن أسماء الله لا يقال إنها غير الله كما قالت المعتزلة والخوارج. وأقروا أن لله علما كما قال: (أنزله بعلمه) (وما تحمل من أنثى ولا تضع إلا بعلمه). وأثبتوا السمع والبصر ولم ينفوا ذلك عن الله كما نفته المعتزلة. وقالوا : لا يكون في الأرض من خير وشر إلا ما شاء الله وأن الأشياء تكون بمشيئته كما قال تعالى : (وما تشاؤون إلا أن يشاء الله) إلى أن قال : ويقولون : [إن] القرآن كلام الله غير مخلوق.

ويصدقون بالأحاديث التي جاءت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن الله ينزل إلى السماء الدنيا فيقول هل من مستغفر) كما جاء الحديث. ويقرون أن الله يجيء يوم القيامة كما قال : (وجاء ربك والملك صفا صفا) وأن الله يقرب من خلقه كما يشاء قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) إلى أن قال : فهذا جملة ما يأمرون به ويستعملونه ويرونه وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب وما توفيقنا إلا بالله.

“Kesimpulan dari perkataan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Juga (Allah) mempunyai dua tangan, sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah seperti dikatakan Mu’tazilah dan Khawarij.

Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai ilmu, sebagaimana firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 166). ‘Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11).

Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah, dan tidak menafikkannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikkannya. Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan dan kejelekan yang terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki Allah. Segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.

Hingga beliau (Al-Imam Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk”.

Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, dan berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’;

sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan datang pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr : 22).

Dan bahwasannya Allah dekat dengan makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16)”.

Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari apa yang mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan mereka amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka adalah juga yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang memberikan taufiq kepada kita melainkan Allah”.[3]


2. Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata:

إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.

ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا

“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5).

Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75).

Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.

Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[4] ---> Sumber kutipan: Dulu ditulis Oleh https://maktabahonline.wordpress.com/ dan sudah di hapus.


3. Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-Maqaalaat :

رأيته بخط المحدث أبي علي بن شاذان فسرد نحوا من هذا الكلام في مقالة أصحاب الحديث. تركت إيراد ألفاظه خوف الإطالة والمعنى واحد

“Aku melihat tulisan Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang semisal dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan penyebutan lafadhnya karena khawatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal maknanya adalah satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.


4. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :

فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم – إذا دعوا – نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.

“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya: ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5).

‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10).

‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158).

Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta” (QS. Al-Mukmin : 36-37).

Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16).

Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.

Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.

وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.

وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.

“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.

Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”.

Kemudian Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.[5]

ومن دعاء أهل الإسلام إذا هم رغبوا إلى الله يقولون : يا ساكن العرش ومن حلفهم : لا والذي إحتجب بسبع.

“Termasuk salah satu doa orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata : ‘Wahai yang penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’ ; tidak (dikatakan) : ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”.[7]


Catatan Kaki:

[1] Ini sesuai judul pada manuskrip, sedangkan judul pada naskah cetakan terkenal dengan judul : Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.

[2] Dalam beberapa cetakan tertulis : Al-Mudlilliin. Namun yang benar adalah sebagaimana di atas.

[3] Maqaalatul-Islaamiyyin, hal. 290-297.

[4] Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 210-211, 218.

[5] Al-Ibaanah, hal. 34-37.

(7) Al-Ibaanah, hal. 35-36.


Lihat Lengkapnya:



Menjawab Tuduhan: ‘Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?

Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah


Sebagaimana telah diketahui bersama, di akhir usia beliau kembali ke ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah setelah puluhan tahun lamanya beliau tenggelam dalam ‘aqidah Mu’tazillah dan Kullabiyyah [lihat Wifaayatul-A’yaan oleh Ibnu Khalkaan Asy-Syaafi’iy 2/446, Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 11/187, Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa oleh Taajuddin As-Subkiy 2/246, dan yang lainnya]. Adalah keliru jika banyak kaum muslimin mengira beliau masih beraqidah Asy’ariyyah. Seorang imam ahli hadits dan pakar sejarah Islam yang diakui, Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz Ad-Dimasyqiy atau yang lebih dikenal dengan Adz-Dzahabiy rahimahullah, telah mengumpulkan beberapa riwayat dan nukilan ‘aqidah seputar sifat Allah menurut Ahlus-Sunnah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-‘Adhiim[1], diantaranya adalah ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah telah meringkas kitab tersebut dengan judul : Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
Pada kesempatan kali ini, saya akan coba tuliskan ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sebagaimana tertera dalam kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 236-243 (Penerbit Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H) atau Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 159-163 (Penerbit Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H) :
Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260 – 324 H)
1.    Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy, seorang ahli ilmu kalam, dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin[2] wa Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan yang lainnya, hingga kemudian beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan Ashhaabul-Hadiits (dalam ‘aqidah) :
جملة قولهم الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وبما جاء عن الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يردون من ذلك شيئا. وأن الله على عرشه كما قال (الرحمن على العرش استوى) وأنه له يدين بلا كيف كما قال : (لما خلقت بيدي). وأن أسماء الله لا يقال إنها غير الله كما قالت المعتزلة والخوارج. وأقروا أن لله علما كما قال:  (أنزله بعلمه) (وما تحمل من أنثى ولا تضع إلا بعلمه). وأثبتوا السمع والبصر ولم ينفوا ذلك عن الله كما نفته المعتزلة. وقالوا : لا يكون في الأرض من خير وشر إلا ما شاء الله وأن الأشياء تكون بمشيئته كما قال تعالى : (وما تشاؤون إلا أن يشاء الله) إلى أن قال : ويقولون : [إن] القرآن كلام الله غير مخلوق.
ويصدقون بالأحاديث التي جاءت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن الله ينزل إلى السماء الدنيا فيقول هل من مستغفر) كما جاء الحديث. ويقرون أن الله يجيء يوم القيامة كما قال : (وجاء ربك والملك صفا صفا) وأن الله يقرب من خلقه كما يشاء قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) إلى أن قال : فهذا جملة ما يأمرون به ويستعملونه ويرونه وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب وما توفيقنا إلا بالله.
“Kesimpulan dari perkataan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Juga (Allah) mempunyai dua tangan, sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah seperti dikatakan Mu’tazilah dan Khawarij.
Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai ilmu, sebagaimana firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 166). ‘Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11). Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah, dan tidak menafikkannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikkannya. Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan dan kejelekan yang terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki Allah. Segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.
Hingga beliau (Al-Imam Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk”.
Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, dan berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’; sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan datang pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr : 22). Dan bahwasannya Allah dekat dengan makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16)”.
Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari apa yang mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan mereka amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka adalah juga yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang memberikan taufiq kepada kita melainkan Allah”.[3]
2.    Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :
إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.
ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا
“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.
Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu :  dengan ilmu Kami”.[4]
3.    Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-Maqaalaat :
رأيته بخط المحدث أبي علي بن شاذان فسرد نحوا من هذا الكلام في مقالة أصحاب الحديث. تركت إيراد ألفاظه خوف الإطالة والمعنى واحد
“Aku melihat tulisan Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang semisal dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan penyebutan lafadhnya karena khawatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal maknanya adalah satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.
4.    Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :
فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم - إذا دعوا - نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.
“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta" (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.
Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”.
Kemudian Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.[5]
5.    Al-Imam Abu Bakr bin Faurak menukil perkataan di atas dari para ahli hadits, dari Abul-Hasan Al-Asy’ariy dalam kitab Al-Maqaalaatu wal-Khilaaf Bainal-Asy’ariy wa Baina Abi Muhammad ‘Abdillah bin Sa’iid bin Kullaab Al-Bashriy – tulisan Ibnu Faurak. Beliau (Ibnu Faurak) berkata :
الفصل الأول في ذكر ما حكى أبو الحسن رضي الله عنه في كتاب المقالات من جمل مذاهب أصحاب الحديث وما أبان في آخره أنه يقول بجميع ذلك.
 “Pasal Pertama : Penyebutan Apa-Apa yang Dihikayatkan Abul-Hasan Radliyallaahu ‘anhu dalam Kitab Al-Maqaalaat dari Kumpulan Pendapat Ashhaabul-Hadiits dan Apa yang Dijelaskan di Akhir Kitab tersebut Bahwa Beliau Mengatakan Keseluruhan Pendapat Tersebut.”
Ibnu Faurak kemudian menyatakan perkataan tersebut apa adanya, lalu berkata di bagian akhirnya :
فهذا تحقيق لك من ألفاظه أنه معتقد لهذه الأصول التي هي قواعد أصحاب الحديث وأساس توحيدهم
“Ini adalah satu penelitian bagi Anda dari perkataan Al-Asy’ariy bahwasannya beliau berkeyakinan dengan prinsip ini dimana hal itu merupakan kaidah yang dipegang oleh Ashhaabul-Hadiits dan pondasi bagi ketauhidan mereka”.
Telah berkata Al-Haafidh Abul-‘Abbas Ahmad bin Tsaabit Ath-Tharqiy[6] : Aku pernah membaca kitab Abul-Hasan Al-Asy’ariy yang berjudul Al-Ibaanah beberapa dalil yang menetapkan al-istiwaa’ (bersemayam). Beliau berkata dalam kesimpulan atas hal tersebut :
ومن دعاء أهل الإسلام إذا هم رغبوا إلى الله يقولون : يا ساكن العرش ومن حلفهم : لا والذي إحتجب بسبع.
“Termasuk salah satu doa orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata : ‘Wahai yang penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’ ; tidak (dikatakan) : ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”.[7]
6.    Telah berkata Al-Ustadz Abul-Qaasim Al-Qusyairiy rahimahullah dalam Syikaayatu Ahlis-Sunnah :
ما نقموا من أبي الحسن الأشعري إلا أنه قال بإثبات القدر، وإثبات صفات الجلال لله، من قدرته، وعلمه، وحياته، وسمعه، وبصره، ووجهه، ويده، وأن القرآن كلامه غير مخلوق.
سمعت أبا علي الدقاق يقول : سمعت زاهر بن أحمد الفقيه يقول مات الأشعري رحمه الله ورأسه في حجري فكان يقول شيئا في حال نزعه لعن الله المعتزلة موهوا ومخرقوا
“Tidaklah mereka membenci Abul-Hasan Al-Asy’ariy kecuali karena ia telah menetapkan adanya qadar, menetapkan sifat keagungan bagi Allah, mulai dari kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, dan bahwasannya Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Aku pernah mendengar Abu ‘Aliy Ad-Daqaaq berkata : Aku pernah mendengar Zaahir bin Ahmad Al-Faqiih berkata : ‘Ketika Al-Asy’ariy rahimahullah menjelang wafat, kepalanya berada di pangkuanku, maka beliau mengatakan : ‘Semoga Allah melaknat Mu’tazillah. Mereka telah tertipu dan telah berdusta”.[8]
7.    Telah berkata Al-Haafidh Al-Hujjah Abul-Qaasim bin Al-‘Asaakir dalam kitabnya Tabyiinu Kadzibil-Muftariy fii maa Nusiba ilaa Al-Asy’ariy :
فإذا كان أبو الحسن رحمه الله كما ذكر عنه من حسن الإعتقاد، مستصوب المذهب عند أهل المعرفة والإنتقاد، يوافقه في أكثر ما يذهب إليه أكابر العباد، ولا يقدح في مذهبه غير أهل الجهل والعناد، فلا بد أن يحكى عنه معتقده على وجهه بالأمانة، ليعلم حاله في صحة عقيدته في الديانة، فاسمع ما ذكره في كتاب الإبانة فإنه قال : ((الحمد لله الواحد العزيز الماجد، المتفرد بالتوحيد، المتمجد بالتمجيد، الذي لا تبلغه صفات العبيد، وليس له مثل ولا نديد....)). فرد في خطبته على المعتزلة والقدرية والجهمية [والرافضة. إلى أن قال : فإن قال قائل : قد أنكر تم قول المعتزلة والقدرية والجهمية] والحرورية والرافضة والمرجئة، فعرفونا ما قولكم الذي تقولون، وديانتكم التي بها تدينون ؟ قيل له : قولنا الذي به نقول، وديانتنا التي بها ندين، التمسك بكتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم، وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان عليه أحمد بن حنبل نضر الله وجهه قائلون، ولمن خالف قوله مجانبون، لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق عند ظهور الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به المبتدعين، فرحمه الله من إمام مقدم، وكبير مفهم وعلى جميع أئمة المسلمين.
“Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, sebagaimana telah disebutkan dari beliau, adalah seorang yang mempunyai keyakinan (i’tiqad) yang baik, sesuai dengan madzhab yang ditempuh para ulama, dimana sebagian besar perkataannya mencocoki madzhab mereka (para ulama). Tidak ada yang mencela madzhabnya[9] kecuali dari kalangan orang-orang bodoh dan ingkar. Maka, sudah seharusnya bagi seseorang yang ingin menjelaskan i'tiqadnya disertai rasa amanah agar dapat diketahui kebenaran ‘aqidahnya dalam perkara agama. Maka, dengarkanlah apa yang telah ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul Al-Ibaanah : ‘Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung, dan Maha Terpuji. Yang sendiri dengan keesaan-Nya, yang terpuji dengan pujian, yang tidak sampai kepada-Nya sifat-sifat hamba, dan tidak ada kesamaan maupun tandingan bagi-Nya…”.
Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Raafidlah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidlah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu ! Maka katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu. Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya – semoga Allah membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya (Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena ia adalah seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum muslimin.
وجملة قولنا : أن نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله غيره، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وأن له وجها كما قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل يداه مبسوطتان) وأن له عينين بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم الله غيره كان ضالا، وندين أن الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر، يراه المؤمنون - إلى أن قال :
وندين بأنه يقلب القلوب، وأن القلوب بين إصبعين من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما جاء في الحديث، - إلى أن قال : -
وأنه يقرب من خلقه كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) ونرى مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج لما ذكرناه من قولنا وما بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.
Dan kesimpulan perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya, Allah ta’ala bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64). Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14). Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan (mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam purnama”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
Kami berkeyakinan bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
“Dan bahwasannya Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf : 16). ‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm : 8-9). Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah (berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara rinci”.
Kemudian Ibnu ‘Asakir berkata :
فتأملوا رحمكم الله هذا الإعتقاد ما أوضحه وأبينه، واعترفوا بفضل هذا الإمام الذي شرحه وبينه.
“Maka renungkanlah – semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian – i’tiqad/keyakinan ini. Alangkah terang dan jelasnya keyakinan ini. Dan hendaknya kalian mengakui keutamaan imam ini (yaitu Abul-Hasan Al-Asy’ariy) yang telah menjelaskan dan menerangkannya (kepada kalian semua)”.[10]
8.    Telah berkata Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir : “Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah :
ألفنا كتابا كبيرا في الصفات تكلمنا فيه على أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في إثبات الوجه واليدين، وفي إستوائه على العرش.
كان أبو الحسن أولا معتزليا أخذ عن أبي علي الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق أئمة الحديث في جمهور ما يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك وأنه موافقهم. وكان يتوقد ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة أربع وعشرين وثلاثمائة، وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.
“Kami telah menulis satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy”.[11]
Abul-Hasan Hasan pada mulanya adalah seorang Mu’tazillah yang mengambil pemahaman dari Abu ‘Ali Al-Juba’iy. Kemudian beliau meninggalkannya dan menolaknya serta berpaling menjadi seorang mutakallim (ahli ilmu kalam) Sunah. Para imam ahli hadits menyepakati sebagian besar apa yang dikatakannya. Demikianlah yang kami tuturkan dari beliau, bahwasannya beliau mengutip ijma’ mereka dan setuju dengan pendapat mereka. Beliau adalah orang yang cerdas, mempelajari ilmu atsar (hadits) dari Al-Haafidh Zakariyyah As-Saajiy. Beliau wafat pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun. Semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau”.
[selesai]
Scan kitab Al-‘Ulluw oleh Adz-Dzahabi rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205688/Kitab-AlUlluw
Scan kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Al-Albani rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205769/Kitab-Mukhtashar-AlUlluw
Dapat kita lihat dari keterangan di atas bahwa manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah sebagaimana dhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau tangan dengan nikmat. Keyakinan ini adalah keyakinan Mu’tazillah dimana beliau dulu pernah berkeyakinan dengannya. Oleh sebab itu, keyakinan/’aqidah kaum Asy’ariyyah yang ada sekarang ini (dimana mereka gemar menta’wilkan sifat-sifat Allah – dan ini diingkari oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy) adalah keyakinan Mu’tazillah yang telah beliau tinggalkan sebelum taubatnya.
‘Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?
Ini adalah tuduhan yang getol dikampanyekan oleh kaum Asy’ariyyah kepada Ahlus-Sunnah. Sebelum ini mereka menolak penisbatan kitab Al-Ibaanah kepada Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Namun karena bukti-bukti yang ada sedemikian kuat menunjukkan bahwa kitab tersebut memang benar-benar karya Al-Imam Al-Asy’ariy[12], maka mereka beralih kepada tuduhan lain tentang adanya pemalsuan kitab tersebut. Saya ambil sedikit contoh dari perkataan mereka (yaitu perkataan orang yang sangat benci kepada dakwah salaf :  Abu Syafiq Al-Ahbasyiy - yang kemudian banyak ditaqlidi oleh seorang jahil yang menamakan dirinya Salafytobat) :
Al-Allamah al-Kauthari ada menyatakan pada pada muqaddimah kitab tabyin kizb al-muftari : Naskhah kitab al-Ibanah yang dicetak di India adalah merupakan naskhah yang telah dipalsukan sebahagian dari isinya, adalah menjadi kewajipan untuk mencetak semula sebagaimana yang asal dari manuskrip yang dipercayai.
Dr Abd rahman Badawi didalam kitabnya berjodol mazahib islamiyyin menyokong pandangan al-Kauthari dengan katanya :
Apa yang telah disebut oleh al-Kauthari adalah merupakan suatu yang benar , dimana kitab al-Ibanah telah dicetak semula di India dengan permainan pehak-pehak jahat
Kita katakan :
Bagaimana bisa Al-Kautsariy (yang kemudian diamini oleh Abdurrahman Badawiy) mengatakan bahwa manuskrip yang ada di India adalah cetakan yang salah padahal ia tidak melakukan perbandingan dan penelitian di antara manuskrip-manuskrip yang ada ? Tidak lain ia mengatakan hal itu karena bertentangan dengan ‘aqidahnya yang Jahmiyyah. Bagi para peneliti, tentu tidak asing bagaimana talbis yang biasa dilakukan oleh Al-Kautsari ini, sebagaimana ia lakukan pada kitab Al-Baihaqiy yang berjudul Al-Asmaa’ wash-Shifaat. Sudah sangat dimaklumi bahwa tahqiq (penelitian) kitab tidaklah berkembang di kalangan ahlul-bida’. Mereka banyak menghukumi bukan berdasarkan ilmu, namun hanya berdasarkan hawa nafsu. Memang benar ada beberapa ‘kekeliruan’ pada manuskrip di India, namun itu jumlahnya sedikit. Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah telah menulis desertasi S3 tentang kitab Al-Ibaanah. Beliau banyak menelaah beberapa manuskrip kitab Al-Ibaanah diantaranya : Manuskrip yang tersimpan di Daarul-Kutub Al-Quumiyyah Al-Mishriyyah di Kairo, bernomor 107 & 377; manuskrip Hindiyyah yang tersimpan di Maktabah Jaami’ah ‘Utsmaniyyah di Heidar-Abad, nomor 502; manuskrip yang tersimpan di Maktabah Azhariyyah, nomor 904; dan lain-lain. Juga beberapa cetakan dari beberapa penerbit seperti : Cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud, Cet. Daarul-Bayan Beirut dengan pentahqiq Basyir ‘Uyuun, Cet. Daarun-Nafaais Beirut dengan pentahqiq ‘Abbas Shabbaagh, dan yang lainnya.
Oleh karena itu, perkataan mereka (= Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) :
Setelah merujuk kepada semua cetakan kitab Al-Ibanah
adalah merupakan bualan semata. Kita ketahui bahwa seorang Abu Syafiq Al-Ahbasyiy tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang pentahqiq. Selain disebabkan banyaknya kedustaan yang telah ia lakukan dalam banyak tulisannya, juga perlu kita tanyakan : ‘Dari mana ia mendapati semua cetakan ataupun manuskrip kitab Al-Ibaanah sebagai bahan untuk men-tahqiq satu kitab ? Sedangkan dalam tulisannya hanya tersebut dua cetakan saja (yaitu Cet. Dr. Fauqiyyah dan Cet. Universitas Islam Madinah !?! Bagaimana ia bisa melakukan perbandingan dan penelitian ?
Ia (Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) mengatakan :
Bahkan tertera pada cetakan kitab Al-Ibanah ‘An Usuli Ad-Diyanah oleh Imam Abu Hasan Al-Asya’ry yang diTahkik Oleh Dr. Fauqiyah Husain Mahmoud , Prof Di Universiti ‘ain Syam Kaherah Mesir cetakan 2 Tahun 1987 M didapati dalam kitab Al-Ibanah tersebut Al-Imam Abu Hasan Al-Asya’ary menyatakan : ‘Istiwa Allah bukan bersentuhan, bukan menetap, bukan mengambil tempat, bukan meliputi Arasy, bukan bertukar tempat, bukanlah Allah diangkat oleh Arasy bahkan Arasy dan malaikat pemikul arasy-lah yang diangkat oleh Allah dengan kekuasaan-Nya, dan mereka dikuasai oleh Allah dengan keagungan-Nya”
Pernyataannya dan nukilannya ini justru semakin memperjelas pernyataan bahwa Abu Syafiq bukan merupakan orang berilmu yang mempunyai kemampuan melakukan penelitian terhadap kitab para ulama. Ia hanya membaca, menukil, dan membenarkan satu pernyataan yang berkesesuaian dengan hawa nafsunya.
Saya katakan : Justru cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud yang ia nukil – dan kemudian ia benarkan – tersebut merupakan cetakan yang terdapat banyak kekeliruan. Termasuk diantaranya adalah kalimat yang ia nukil di atas. Kalimat yang ia nukil tersebut merupakan tambahan yang tidak terdapat dalam manuskrip yang mahfudh. Perhatikan lafadh cetakan Dr. Fauqiyyah di bawah :
وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله وبالمعنى الذي أراده استواء منزها عن الممارسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال لا يحمله العرش، بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ومقهورون في قبضته وهو فوق العرش وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى فوقية لا تزيده قربا إلى العرش والسماء بل هو رفيع الدرجات عن العرش كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى وهو مع ذلك قريب من كل موجود وهو أقرب إلى العبد من حبل الوريد وهو على كل شيء شهيد
“Dan bahwasannya Allah ta’ala ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy dalam bentuk sebagaimana yang Ia firmankan. Adapun makna istiwaa’ sebagaimana yang dimaksudkan adalah : Terbebas dari bersentuhan, menetap, bertempat tinggal, mendiami, serta berpindah (tempat).  ‘Arsy tidak membawa/mengangkat Allah, namun ‘Arsy dan malaikat pemikulnya lah yang dibawa/diangkat oleh Allah dengan kekuasaannya, serta dikuasai dalam genggaman-Nya; sedangkan Ia berada di atas ‘Arsy. Dan Allah berada di atas segala sesuatu. Keberadaan Allah di atas segala sesuatu (fauqiyyah) tidaklah menambah dekat kepada ‘Arsy dan langit. Namun hal itu menunjukkan makna tingginya kedudukan Allah dari ‘Arsy sebagaimana juga ketinggian kedudukan Allah dari muka bumi. Bersamaan dengan itu, Allah sangat dekat dengan segala sesuatu. Dia lebih dekat dengan hamba dari urat lehernya. Dan Allah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” [selesai].
Yang mahfudh dari perkataan Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sebagaimana terdapat dalam beberapa manuskrip – sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy dalam desertasinya – adalah sebagai berikut :
وأن الله استوى على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى).
“Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5)” [lihat Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ary hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1] – perhatikan kalimat yang saya garis bawah !!
Apalagi hal itu dikuatkan dari nukilan Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar sebagaimana telah lewat penyebutannya - yang persis seperti kalimat di atas tanpa ada penambahan. Hal yang sama oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Tabyiin Kadzibil-Muftariy hal. 158[13]; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fataawaa 5/142, Dar’ut-Ta’arudl Al-‘Aql wan-Naql 7/104, dan Bayaan Talbiisil-Jahmiyyah 2/15; Ibnul-Qayyim dalam Ijtimaa’ul-Juyuusy Al-Islaamiyyah hal. 169; Ibnul-‘Imad dalam Syadzdzaraatudz-Dzahab 2/304; Al-Alusiy dalam Ruuhul-Ma’aaniy 1/60 (dengan peringkasan); ‘Abdul-Baqiy Al-Hanbaliy dalam Al-‘Ain wal-Atsar fii Mawaahibi Ahlil-Atsar hal. 111; dan lain-lain – dimana semua menukil/menyebutkan tanpa adanya penambahan kalimat dalam cetakan Dr. Fauqiyyah.
Perlu diketahui bahwa kalimat tambahan di atas hanya ada dalam naskah/manuskrip yang terdapat di Iskandariyyah yang kemudian dijadikan acuan dalam cetakan Dr. Fauqiyyah. Adapun dalam naskah-naskah (manuskrip) yang lain tidak terdapat tambahan kalimat tersebut. Selain itu, kelemahan naskah/manuskrip ini adalah tidak diketahuinya siapa yang menulisnya/menyalinnya dan tanggal penulisannya. Banyak hal yang menunjukkan kelemahan tambahan ini. Apalagi tambahan lafadh tersebut merupakan gaya khas Mu’tazilah yang banyak melakukan ta’wil (seperti Asy’ariyyuun) dimana madzhab ini telah ditinggalkan – dan bahkan dicela – oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Kuat penunjukkannya adanya tambahan ini berasal dari Al-Ghazaliy rahimahullah, karena tambahan lafadh ini hanya tertulis dalam tiga buah kitabnya, yaitu : Ihyaa ‘Uluumiddin 1/90, Al-Arba’iin fii Ushuuliddiin hal. 7-8, dan Qawaaidul-‘Aqaaid hal. 52.
Scan kitab Al-Ibaanah hal. 9 (Daar Ibni Zaiduun) dapat dilihat di bawah :







Kalangan salaf rahimahullah telah sepakat bahwa Allah ta’ala ber-istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi dari-Nya di antara perbuatan-perbuatan mereka. Makna istiwaa’ Allah adalah hakiki, bukan seperti istiwaa’ (bersemayam)-nya makhluk.
Dalam menafsirkan kata istiwaa’, kalangan salaf mempunyai empat ungkapan : al-‘ulluw (ketinggian), al-irtifa’ (meninggi), as-su’uud (naik), dan al-istiqrar (menetap). Allah ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy bukan karena Dia membutuhkan ‘Arsy.
Banyak dalil yang mendasari tentang ‘aqidah ini, diantaranya :
Firman Allah ta’ala :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy” [QS. Al-A’raf : 54].
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأمْرَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan” [QS. Yunus : 3].
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya” [QS. Huud : 7].
Juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إن الله لما قضى الخلق، كتب عنده فوق عرشه: إن رحمتي سبقت غضبي
“Sesungguhnya Allah ketika Dia selesai menciptakan ciptaan-Nya, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘Arsy-Nya : Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku” [HR. Al-Bukhari no. 7422 dan Muslim no. 2751].
عن أنس قال : فكانت زينب تفخر على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم تقول: زوَّجكنَّ أهاليكنَّ، وزوجني الله تعالى من فوق سبع سماوات
Dari Anas ia berkata : Adalah Zainab membanggakan dirinya atas istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Yang menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang menikahkan aku adalah Allah ta’ala yang berada di atas tujuh langit” [HR. Al-Bukhari no. 7420].
Diriwayatkan oleh Syaikhul-Islaam Abul-Hasan Al-Hakariy dan Al-Haafidh Abu Muhammad Al-Maqdisiy melalui isnad mereka yang sampai kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib; mereka berdua dari Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syaafi’iy, seorang pembela hadits rahimahullah. Beliau berkata :
القول في السنة التي أنا عليها، ورأيت عليها الذين رأيتهم، مثل سفيان ومالك وغيرهما، الإقرار بشهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله، وأن الله على عرشه في سمائه، يقرب من خلقه كيف شاء، وينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء.... وذكر سائر الاعتقاد.
“Pendapatku tentang Sunnah, dimana aku berpegang kepadanya, dan juga berpegang kepadanya orang-orang yang aku lihat semisal Sufyan, Malik, dan lain-lain; yaitu pengakuan terhadap persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, dan bahwa Allah itu berada di atas ‘Arsy-Nya yang ada di langit-Nya. Dia mendekat kepada makhluk-Nya menurut apa yang Dia kehendaki dan turun ke langit terendah menurut apa yang Dia kehendaki”. Lalu beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pun menyebutkan seleuruh i’tiqad-nya” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 176].
Oleh karena itu, makna istiwaa’ adalah sebagaimana dhahirnya. Bukan di-ta’wil dengan istilaa’ (menguasai) sebagaimana diyakini oleh Asy’ariyyah – yang hal ini justru dibantah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitab Al-Ibaanah dan Maqaalatul-Islaamiyyiin, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.
Mereka (ahlul-bida’) juga berkata :
Para pengkaji mendapati dua pasal dari kitab al-Ibanah yang telah dimuatkan di dalam kitab tabyin kizb al-muftari karangan Imam Ibnu Asakir dan kitab al-Ibanah yang berada dipasaran ternyata dengan jelas terdapat pemalsuan.
Contoh pemalsuan kitab al-Ibanah:
Kitab Ibanah yang berada dipasaran : halaman 16 (وأنكروا أن يكون له عينان…. )
Kalimah عينان dengan lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibanah cetakkan Dr Fauqiyyah : halaman 22 (وأن له عينين بلا كيف….)
Kalimah yang digunakan juga adalah dari lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibnu Asakir halaman 158 : (وأن له عينا بلا كيف….)
Kalimah yang digunakan adalah lafaz mufrad ( satu )
Kalimah mufrad adalah bertepatan dan tidak bertentangan dengan al-Kitab ,al-Sunnah dan pendapat-pendapat salaf.Ini kerana lafaz عينين tidak warid (datang) di dalam al-Kitab dan al-Sunnah. Ini kerana menduakan kalimah عين adalah dianggap mengkiaskan Allah dengan makhluk yang sesuatu yang dapat disaksikan secara zahir .Maha suci Allah dari yang demikian itu.
Ini adalah satu kedustaan sekaligus kejahilan dari si empunya kalam. Orang ini – dengan tulisannya di atas – semakin menunjukkan minimnya pengetahuan yang dimiliki. Namun sungguh disayangkan jika ia berpuas diri dengan statement tanpa arti.
Sudah sangat lazim bahwa di alam percetakan kitab terdapat banyak perbedaan lafadh. Jangan buru-buru menuduh adanya pemalsuan. Mungkin disebabkan oleh faktor teknis pencetakan ataupun memang perbedaan manuskrip yang dijadikan acuan. Ini terjadi dalam cetakan kitab para ulama. Misalnya, tahqiq yang dilakukan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Mahmud Syaakir – ahli hadits Mesir -  terhadap Tafsir Ath-Thabariy; Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth terhadap Jaami’ul-Ulum wal-Hikaam; Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman terhadap Al-I’tishaam lisy-Syaathibi; dan yang lainnya yang semuanya menjelaskan pada kita adanya perbedaan lafadh dalam beberapa cetakan kitab yang beredar. Kemudian, para muhaqqiq tersebut melakukan tashhih (koreksi) atas beberapa manuskrip atau cetakan yang ada untuk menghasilkan satu matan kitab yang sesuai dengan aslinya.
Tentu saja kenyataan ini berbeda dengan ahlul-bid’ah yang jarang/tidak pernah melakukan penelitian, sebagaimana telah dikatakan sebelumnya. Jika ia menemukan perbedaan lafadh dalam satu cetakan kitab, maka ia pilih yang sesuai dengan hawa nafsunya serta melemparkan tuduhan kepada pihak yang beseberangan dengannya sebagai pihak yang telah memalsukan kitab.
Kembali kepada kitab Al-Ibaanah, jika yang dipermasalahkan adalah kata mata/‘ain (عَيْنٌ) yang merupakan salah satu sifat dzatiyyah bagi Allah – apakah ia berbentuk mufrad (tunggal) atau mutsanna (mempunyai pengertian dua) –, maka seharusnya kita kembalikan kepada matan kitab Al-Ibaanah itu sendiri. Segala nukilan yang ada di kitab lain, maka itu bukan menjadi acuan utama. Bahkan jika ada perbedaan antara nukilan dengan matan kitab asli, kita harus mengembalikannya kepada matan kitab asli dan mengoreksi nukilan tersebut. Tidak terkecuali dalam permasalahan ini. Terdapat perbedaan lafadh dari manuskrip yang ada. Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah dalam desertasinya terhadap kitab Al-Ibaanah telah menjelaskan bahwa bentuk mufrad (tunggal) memang terdapat dalam salah satu naskah/manuskrip. Namun dalam naskah/manuskrip lainnya menggunakan bentuk mutsannaa (عَيْنَيْنِ). Dan inilah yang mu’tamad (sah) :
وأن له سبحانه عينين بلا كيف كما قال سبحانه : ( تجري بأعيننا ) من الآية ( 14 )
“Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14)”.
Dan seperti itulahlah yang dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw (hal. 262) dari kitab At-Tabyiin karangan Ibnu ‘Asaakir (sebagaimana telah disebutkan di atas).
Kalaulah hal ini dianggap sebagai satu perbedaan, maka perbedaan ini tidaklah bertentangan karena Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah ingin menetapkan sifat ‘ain/mata pada Allah ta’ala – dimana hal itu dinafikkan oleh Asy’ariyyah dan semisalnya.
Dalam Al-Qur’an, kata ‘ain disebutkan dalam bentuk mufrad yang di-idlafah-kan kepada dlamir mufrad, dan juga dalam bentuk jamak yang di-idlafah-kan kepada dlamir jamak.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk mufrad yang di-idlafah-kan kepada dlamir mufrad adalah :
وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي
“Dan supaya kamu diasuh di bawah mata (pengawasan)-Ku” [QS. Thaha : 39].
Penyebutan kata ‘ain (mata) dalam bentuk mufrad di sini tidak berarti hanya menunjukkan satu ‘ain (mata) saja, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya” [QS. Ibraahiim : 34].
Yang dimaksud adalah, kenikmatan-Nya yang bemacam-macam yang tidak termasuk dalam pembatasan dan bilangan.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk jamak yang di-idlafah-kan kepada dlamir jamak adalah :
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri” [QS. Ath-Thuur : 48].
Adapun penetapan sifat bahwasannya Allah mempunyai dua mata (‘ainaan - عَيْنَانِ) adalah hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن الله لا يخفى عليكم، إن الله ليس بأعور - وأشار بيده إلى عينه - وإن المسيح الدجال أعور العين اليمنى، كأن عينه عنبة طافية
“Sesungguhnya Allah tidaklah tersembunyi darimu. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah mata-Nya” - Beliau mengatakan sambil berisyarat kepada matanya - . “Sesungguhnya Al-Masih Ad-Dajjal itu buta sebelah matanya yang kanan, seakan-akan buah anggur yang mengapung (menonjol keluar)” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Perkataan : ‘beliau mengatakan sambil berisyarat kepada matanya’ dalam hadits Dajjaal di atas menunjukkan bahwa makna ‘ain (mata) yang dinisbahkan kepada Allah adalah makna dhahir, bukan ta’wil sebagaimana diyakini oleh Asy’ariyyah. Mereka (Asy’ariyyah) menakwilkan sifat mata (‘ain) dengan ilmu (al-‘ilmu).
Hal senada dengan di atas adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
عن عطاء : عن ابن عباس رضي الله عنه في قوله عز وجل : (تَجْرِيْ بِأَعْيُنِنَا) [القمر : ١٤]. قَالَ : أشار بيده إلى عينيه.
Dari ‘Athaa’ : Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengenai firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14), maka ‘Athaa’ berkata : Ibnu ‘Abbas berisyarat dengan tangannya kepada dua matanya’ [Diriwayatkan oleh Al-Laalika’iy, 3/411; di dalam sanadnya terdapat ‘Aliy bin Shadaqah yang tidak diketemukan biografinya, adapun perawi yang lainnya adalah tsiqah – dinukil melalui perantaraan Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah oleh Faishal bin Qazaar Al-Jaasim, hal. 90; Al-Mabarratul-Khairiyyah li-‘Uluumil-Qur’an was-Sunnah, Cet. Thn. 1428, Kuwait].
Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma di atas untuk menetapkan sifat dua mata bagi Allah ta’ala, dengan perkataannya :
وَأَنَّهُ لَيسَ بِأَعْوَرَ بِقَولِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم  إِذْ ذَكَرَ الدَّجَّالَ فَقَالَ : إِنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ.
“Bahwasannya Allah itu tidak buta sebelah mata-Nya dengan dasar sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan perihal Dajjaal, beliau bersabda : ‘Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya, dan sesungguhnya Rabb kalian tidak buta sebelah mata-Nya” [Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Al-Qadli Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Terbitan Univ. Ummul-Qurra’, Cet. Thn. 1419].
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah juga berdalil dengan hadits di atas ketika menetapkan sifat ‘ain (mata) sebagai salah satu sifat dzatiyyah bagi Allah ta’ala [lihat Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqiy, 2/114-115, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy; Maktabah As-Suwadiy].
I’tiqad bahwasannya Allah mempunyai dua mata adalah i’tiqad para imam salaf Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah :
وقال أهل السنة وأصحاب الحديث‏:‏ ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وأنه على العرش كما قال عز وجل‏:‏ ‏"‏الرحمن على العرش استوى‏"‏ ولا نقدم بين يدي الله في القول بل نقول استوى بلا كيف وأنه نور كما قال تعالى‏:‏ ‏"الله نور السماوات والأرض‏"‏ وأن له وجهاً كما قال الله‏:‏ ‏"‏ويبقى وجه ربك‏"‏ وأن له يدين كما قال‏:‏ ‏"‏خلقت بيدي‏"‏ وأن له عينين كما قال‏:‏ ‏"‏تجري بأعيننا"‏
“Telah berkata Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits : Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai cahaya sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi’ (QS. An-Nuur : 35). Dan bahwasannya Dia mempunyai wajah sebagaimana firman Allah : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dan bahwasannya Dia mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Dia mempunyai dua mata sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14)” [Maqaalatul-Islaamiyyiin oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 260-261, tahqiq : Muhammad Muhyiddin ‘Abdul-Hamiid; Maktabah An-Nahdlah Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H].
Scan kitab Maqaalatul-Islaamiyyiin karya Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, hal. 260-261 (Maktabah An-Nahdlah Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H) dapat dilihat di bawah :



Telah berkata Al-Imam Al-Laalika’iy rahimahullah :
سياق ما دل من كتاب الله عز وجل وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم على أن من صفات الله عز وجل الوجه والعينين واليدين
“Pembicaraan yang ditunjukkan oleh Kitabullah ‘azza wa jalla dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah : Termasuk sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla adalah (bahwa Dia mempunyai) wajah, dua mata, dan dua tangan” [Tahqiq Kitaab Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah li-Abil-Qaasim Hibatullah Al-Laalikaiy oleh Ahmad bin Mas’ud Al-Hamdaan, 3/412; desertasi S3 Universitas Ummul-Qurra’].
Telah berkata Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah :
فواجب على كل مؤمن أن يثبت الخالقه وبارئه ما ثبّت الخالق البارئ لنفسه، من العين، غير مؤمن : من ينفي عن الله تبارك وتعالى ما قد ثبته الله في محكم تنزيله، ببيان النبي صلى الله عليه وسلم الذي جعله الله مبينًا عنه، عز وجل، في قوله : (وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم)، فبين النبي صلى الله عليه وسلم أن الله عينين، فكان بيانه موافقًا لبيان محكم التنزيل، الذي هو مسطور بين الدفتين، مقروء في المحاريب الكتاتيب.
Maka, wajib bagi setiap mukmin untuk menetapkan bagi Al-Khaaliq Al-Baari (Allah) apa-apa yang telah ditetapkan oleh Al-Khaaliq Al-Baari bagi diri-Nya, yaitu sifat ‘ain (mata). Sebaliknya, bukan termasuk golongan mukmin orang yang menafikkan dari Allah tabaaraka wa ta’ala apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam Muhkam At-Tanzil-Nya (Al-Qur’an) dan ditambah penjelasan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memang dijadikan Allah sebagai juru penerang untuk setiap khabar yang berasal dari-Nya, melalui firman-Nya : ‘Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka’ (QS. An-Nahl : 44). Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan bahwa bagi Allah itu mempunyai dua mata, dan penjelasannya itu sejalan dengan penjelasan Muhkam At-Tanzil (Al-Qur’an) yang tertera di antara lembaran-lembaran yang dibaca di mihrab-mihrab ataupun di tempat-tempat pengajian” [Kitaabut-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla oleh Ibnu Khuzaimah, hal. 97, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz bin Ibrahim Asy-Syahwaan; Daar Ar-Rusyd, Cet. 1/1408 H].
Menetapkan sifat dua mata, dua tangan, wajah, kaki, jari-jari, dan yang lainnya dari sifat dzatiyyah Allah sebagaimana dhahir maknanya bukan merupakan tasybih (penyerupaan Allah kepada makhluk-Nya). Apalagi sampai menuduh sebagai mujassimah atau musyabbihah !
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata :
إنما يكون التشبيه إذا قال : يد مثل يدي أو سمع كسمعي، فهذا تشبيه. وأما إذا قال كما قال الله : يد وسمع وبصر، فلا يقول : كيف، ولايقول : مثل، فهذا لا يكون تشبيهاً، قال تعالى : (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69].
Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah berkata :
من شبه الله بخلقه، فقد كفر، ومن أنكر ما وصف به نفسه فقد كفر، وليس ما وصف به نفسه، ولا رسولُه تشبيهاً
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan sanad shahih].
Tuduhan mereka (ahlul-bid’ah) kepada Ahlus-Sunnah sebagai kaum Musyabbihah sudah terjadi semenjak beratus-ratus tahun yang lalu, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy rahimahullah :
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [selesai].
Kesimpulan yang ingin ditekankan di point ini adalah bahwa klaim pemalsuan kitab Al-Ibaanah yang mereka tuduhkan kepada ‘Wahabi’ sama sekali tidak berdasar. Omong kosong belaka. Semakin banyak tuduhan mereka justru semakin mengungkap siapa sebenarnya mereka dan seberapa jauh keilmuan yang mereka miliki. Akhirnya, kita hanya berharap kepada Allah agar memberikan keistiqamahan kepada kita semua di atas manhaj yang haq, sekaligus memberikan petunjuk kepada mereka yang telah tersesat dari jalan-Nya yang lurus.

Abu Al-Jauzaa’ – Perumahan Ciomas Permai, Bogor.


[1]     Ini sesuai judul pada manuskrip, sedangkan judul pada naskah cetakan terkenal dengan judul : Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
[2]     Dalam beberapa cetakan tertulis : Al-Mudlilliin. Namun yang benar adalah sebagaimana di atas.
[3]     Maqaalatul-Islaamiyyin, hal. 290-297.
[4]     Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 210-211, 218.
[5]     Al-Ibaanah, hal. 34-37.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah memberikan ta’liq (komentar) di akhir paragraph ini dengan perkataannya :
قلت : وفي قول الأشعري دليل واضح على بطلان قول الكوثري في تعليقه على ((تبيين كذب المفتري)) (ص ٢٨) أن كتاب الإبانة هذا هو على طريقة المفوضة في الإمساك عن تعيين المراد، وهو مذهب السلف !
فإن كلام الأشعري الذي نقله المصنف رحمه الله عن ((الإبانة)) وأشارنا إلى محله منه صريح في تعيين المراد، وهو أن الاستواء بمعنى العلو، فأين التفويض والإمساك عن تعيين المراد الذي زعمه الكوثري، ولا شك أن قوله ((وهو مذهب السلف))، كذب أيضًا كما يعلمه من درس أقوالهم في كتب أصول السنة التي جمعها المصنف رحمه الله تعالى في كتابه ((العلو)) فأوعى، ثم قربتها إليك في ((مختصره)) هذا، منبهًا على ما صح إسناده منها كما ترى.
“Aku katakan : Dalam perkataan Al-Asy’ariy terdapat dalil yang jelas atas bathilnya perkataan Al-Kautsariy dalam ta’liq-nya terhadap kitab Tabyiinu Kadzibil-Muftariy (hal. 28) bahwasannya kitab Al-Ibaanah ditulis di atas metode Mufawwidlah dalam menahan diri untuk tidak memberikan penjelasan makna (terhadap sifat Allah). Dan (menurut Al-Kautsariy) inilah manhaj salaf !!
Sesungguhnya perkataan Al-Asy’ariy yang dinukil oleh mushannif (Adz-Dzahabiy) rahimahullah dari kitab Al-Ibaanah, dan juga yang telah kami isyaratkan tempat perkataanya; sangat jelas menunjukkan makna sebenarnya. Yaitu istiwaa’ bermakna al-‘ulluw (tinggi).  Lantas, dimana letak tafwidl dan menahan diri dari makna sebenarnya sebagaimana diklaim oleh Al-Kautsariy ? Tidak ragu lagi bahwa perkataannya : ‘dan inilah manhaj salaf’ adalah satu kedustaan juga sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang mempelajari perkataan beliau (Al-Asy’ariy) dari kitab-kitab Ushulus-Sunnah (kitab-kitab ‘aqidah) yang dikumpulkan oleh mushannif (Adz-Dzahabi) rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Al-‘Ulluw. Kemudian telah aku dekatkan hal itu kepada Anda dalam Mukhtashar (ringkasan) ini, dengan disertai pemberitahuan atas apa yang shahih sanadnya sebagaimana yang Anda lihat”.
[6]     Dengan mem-fat-hah huruf tha’ dan men-sukun huruf ra’, merupakan nisbah pada Tharq, sebuah desa di daerah Ashbahan. Beliau wafat setelah tahun 520 H.
[7]     Al-Ibaanah, hal. 35-36.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : “Dan dalam perkataannya : ‘Wahai Penghuni ‘Arsy’, ada pembicaraan, karena sepengetahuanku lafadh tersebut (yaitu : Penghuni) tidak ditemukan dalam khabar yang shahih”.
[8]     At-Tabyiin, hal. 148, dan tambahan itu berasal darinya. Ibnu Qaadliy Syuhbah menisbatkan laknat menjelang kematian tersebut kepada Zaahir bin Ahmad. Hal ini sebagaimana terdapat dalam biografinya dalam kitab Asy-Syadzdzaraat (3/131). Ada kemungkinan bahwa hal itu merupakan kekeliruan dan kekurangan saat ia hendak menisbatkan kepada Al-Asy’ariy, maka pandangannya terhenti pada riwayat dari Zaahir, lantas ia pun menisbatkan laknat itu kepadanya.
Adapun Zaahir, maka ia adalah salah seorang imam dari kalangan Syafi’iyyah. Wafat 389 H pada usia 96 tahun.
[9]     Dalam At-Tabyiin (hal. 152) tertulis : “i’tiqadnya”.
[10]    At-Tabyiin (hal. 152-163) yang telah dinukil oleh mushannif (Adz-Dzahabi) dengan banyak peringkasan. Pernyataan itu terdapat dalam kitab Al-Ibaanah mulai halaman pertama sampai halaman 13.
[11]    At-Tabyiin (hal. 129).
[12]    Banyak ulama telah menuliskan perihal Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah beserta kitab Al-Ibanah-nya, diantaranya adalah : Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir dalam Tabyiinu Kadzibil-Muftariy, Al-Imam Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad, Al-Haafidh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, Al-Imam Ibnul-‘Imad dalam Syadzdzaratudz-Dzahab, dan yang lainnya.
[13]    Namun dalam cetakan yang diberikan ta’liq oleh Al-Kautsariy, tambahan ini ia munculkan. Ia (Al-Kautsariy) melakukannya untuk menuruti hawa nafsunya, padahal hal ini tidak ada dalam naskah/manuskrip aslinya.

 Sumber:
 http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/al-imam-abul-hasan-al-asyariy-asyaairah.html?showComment=1294567428302
Sumber Kutipan: http://elhijrah.blogspot.com/


Scan kitab Maqaalatul-Islaamiyyiin karya Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, hal. 260-261 (Maktabah An-Nahdlah Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H) dapat dilihat di bawah :




Scan kitab Al-Ibaanah hal. 9 (Daar Ibni Zaiduun) dapat dilihat di bawah :



Pemikiran kasb Al Asy’ari merupakan pemahaman yang mendekati paham jabariyah…

Karena Imam Al Ghazali maka kalam Asy’ari jadi lebih dekat dengan irfan (sufisme), sehingga ajaran asy’ari yang asli berubah secara gradual kehilangan warna khasnya… Hal ini bahkan tidak disadari Asy’ariyyah, kaum Asy’ariyyah bahkan tidak tau ajaran asli Asy’ari sangat mengerikan !!

Syi’ah menolak ajaran Abu Hasan Al Asy’ari yang menyatakan Allah berada di arsy, menolak ajaran bahwa Allah punya tangan – wajah – mata yang zhahir

Jika anda melihat sendiri dalam Sahih Bukhari, banyak hadis palsu Nabi s.a.w yang menyebut sifat Tangan, kaki, turun, wajah, dan sebagainya tanpa ditakwil kepada makna lain. Kami syi’ah menolak ajaran menzahirkan tangan-kaki-wajah Allah SWT.


قَالَ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَكَمُ السُّـلَمِى: وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ اُحُدٍوَالْجُوَانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ . فَاِذَا بِالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بَشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَاَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ . اَسَفَ كَمَا يَاْسـفُوْنَ . لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَاَتَيْتُ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ . قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَاَعْتِقُهَا؟ قَالَ: اِئْتِنِيْ بِهَا. فَقَالَ لَهَا: اَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ فِى السَّـمَآءِ . قَالَ: مَنْ اَنَا؟ قَالَتْ اَنْتَ رَسُـوْلُ اللهِ. قَالَ : اَعْتِقْهَا فَاِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Berkata Muawiyah bin Hakam As-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwaiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Kerananya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah! Adakah aku harus memerdekakannya? Jawab Rasulullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasulullah bertanya lagi: Siapakah aku? Dijawabnya: Engkau Rasulullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah wanita ini, kerana dia adalah seorang mukminah”. (H/R Muslim dan Abi Daud).

Menurut syi’ah, hadis ini palsu !!! Allah tidak bertempat dilangit secara zahir, yang benar adalah bahwa pusat pemerintahan Allah SWT ada dilangit dikendalikan malaikat.

Manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah sebagaimana zhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau tangan dengan nikmat.

Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :

إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.

ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا

“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5).

Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.

Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[4]

Saya selaku pengikut syi’ah menganggap Abu Hasan Al Asy’ari adalah seorang ahlul kalam yang merasionalkan akidah Imam Ahmad bin Hambal, dengan kata lain Asy’ari adalah penengah antara paham mu’tazilah dan paham ahlul hadis.

Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya.


PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH 

Perjalanan hidup Imam Asy’ari terdiri dari 3 marhalah (periode) sebagaimana pembagian Ibnu Katsîr j (774 H) yang dinukil oleh Murtadhâ Az-Zabidi (1145 H) dalam Syarah Ihyâ’, yaitu:

Pertama: Marhalah I’tizâl (Mu’tazilah) yang jelas-jelas sudah beliau tinggalkan (260-300 H).

Kedua: Marhalah menetapkan sifat-sifat ‘aqliyah yang tujuh yaitu: hayât, ‘ilmu, qudrah, Irâdah, samâ’, bashar dan kalâm. Serta menakwilkan sifat-sifat khabariyah, seperti: wajah, dua tangan, qadam (tumit, kaki), sâq (betis, kaki) dan lain-lain (300 H – + 320 H).

Ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allâh tanpa takyîf dan tasybîh sebagaimana madzhab salaf, yaitu manhaj beliau yang ditulis dalam kitâbnya yang terakhir, “Al-Ibânah”[2] --->Sumber kutipan dari link wahabi: http://www.gensyiah.com yang sudah di blokir. (320-324/330 H).

[2] Ithâfu `s-Sâdati `l-Muttaqîn, al-Murtadhâ al-Zubaidi, Darul Fikr, juz II hal. 5; Lihat Syu’batu `l-Aqîdah hal. 47; Abdurrahmân Dimisyqiyyah, Mausû’atu Ahli `s-Sunnah 1/430, 2/ 784.

Adapun setelah meninggalkan mu’tazilah maka dia tidak menyatakan ikut Imam Ahmad tapi langsung mengikuti ibnu Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi seperti yang dikatakan oleh Khaldun,

Semua orang itu ditahdzir oleh Imam Ahmad dan lainnya karena kalamnya. Dan kitab yang dihasilkan waktu itu adalah kitab seperti al-Luma’ fi raddi ala ahl az-Zaighi wal bida’. Dan itu adalah kitab yang pertama kali dikarang pasca mu’tazilah seperti dikutip oleh penulis dari Ibn Asakir dan yang sudah jelas kitab al-Luma’ adalah kitab pertama dan al-Ibanah ditulis terakhir, atau diakhir-akhir hidupnya, minimal 20 tahun setelah itu sebab sampai tahun 320 H, imam al-Asy’ari tidak menyebutkan kitab al-Ibanah dalam daftar karangannya.

kembali ke persoalan: tujuan dari pembahasan itu adalah membuktikan adanya 3 fase pemikiran imam asy’ari rahimahullah: i’tizal, keluar dari i’tizal kemudian intisab kepada imam Ahmad rahimahullah. Dan ini diucapkan oleh ibnu katsir dan dikutib oleh az-zabidi. Sudah jelas?

Bukhari adalah Imam al-dunya pada zamannya dan pembawa bendera hadits. Ini tidak mengherankan sebab ia adalah murid imam Ahmad ra, ibn Ruhawaih, Abu Nuaim, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam dan para ulama salaf.

Siapa yang merenungkan kitab Shahihnya dan yang lainnya pasti mengetahui kalau akidahnya adalah akidah salaf ahlil atsar bukan kalam. Dia menetapkan shifat-shifat Allah sesuai dengan kesucian Allah tanpa tasybih, takyif dan tanpa ta’thil. Dalam kitab al-Tauhidnya ia menyebutkan 58 bab dalam menetapkan shifat-sifat Allah. Ia menetapkan nafs, wajh, ‘aibn, yad, syakhsh, syai`, al-qur`an syai`, uluwwillah ala khalqih, istiwa’ ala arsyih, istawa ma’nanya ‘ala, wartafa’a, kalamullah, menetapkan huruf dan suara untuk kalamullah, dll.

Juga kitabnya yang lain Khalq ‘af’al al-Ibad, warraddu ala al-Jahmiyyah wa ashhab al-Ta’thil, ia menetapkan bahwa kalamullah itu dengan suara. Sifat ini secara sepakat diingkari oleh ibn Kullab dan Asyairah karena dianggap tasybih menurut kaidah mereka bahwa kalamullah itu al-kalam an-Nafsi. Metode Bukhari dalam kitab Tauhid dan Khalq ‘af’al al-Ibad nyata membatalkan klaim kullabiyyahnya. Termasuk yang menguatkan adalah tidak satupun imam bukhari menyebut nama ibn Kullab dalam kitab-kitabnya, juga tidak ucapan al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lainnya, tidak dalam shahihnya, maupun tawarikhnya dan kitab-kitabnya yang lain.

Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah , beliau berkata;

Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya,meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu– ragu. Semoga Allah merohmatinya’.

Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya.

الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى

(Thoha ayat 5)


Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya: خَلَقْتُ بِيَدَيً (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya:

بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ

(QS. Al Maidah: 64)

Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14)

Allah bersemayam di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana firman Allah :

الرَّحْمَانُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Artinya :

“Allah itu bersemayam di atas ‘arsy” (QS. Thaha : 5)

Dan bahwasanya Allah itu memiliki wajah sebagaimana telah berfirman :

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبُّكَ ذُوْ الجَلاَل وَالإِكْرَامِ

Artinya :

“Kekallah wajah Allah yang memiliki keagungan” (QS. Ar-Rahman : 27).

Bahwasanya Allah memiliki dua tangan (tanpa membahas bagaimana tangan itu), sebagaimana firman Allah :

…لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ…

“Ketika Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75).

…بَلْ يَدَاهُ مَبْسوطَتَنِ…

Artinya :

“Bahkan kedua tangan Allah iu terbuka” (QS. Al-Maidah : 64).

Dan bahwasanya Allah memiliki dua mata tanpa membahas bagaimana mata itu, sebagaimana firman-Nya:

…تَجْرَيْ بِأَعْيُنِنَا…

Artinya : “Berjalan dengan mata kami ” (QS Al-Qomar :14).

Kita mengatakan bahwa imam yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam itu adalah Abu Bakar as-Shiddiiq radliallahu ‘anhu. Dan bahwasanya melalui dia, Allah telah menjayakan dan mendhahirkan Islam terhadap orang-orang murtad dan kaum muslimin menjadikannya dia sebagai imamah pertama sebagaimana Rasulullah memperlakukannya demikian, dan mereka semua menamakannya sebagai khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kemudian Umar bin Khattab radliallahu ‘anhu, kemudian Utsman bin Affan radliallahu ‘anhu kemudian Ali bin Abi Thalib.

Maka mereka itulah imam setelah Rasulullah saw dan kekhilafahan mereka adalah khilafah kenabian (khilafah nubuwwah).

Kita menyaksikan kepastian masuk surga bagi sepuluh sahabat yang dijamin demikian oleh Rasulullah dan kita mencintai seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhenti dari membicarakan atas apa-apa yang menjadi perselisihan diantara mereka.

Kita meyakini bahwasanya para imam yang empat itu adalah khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk dan keutamaan, yang selain mereka tidak ada yang menandingi mereka.

Kita membenarkan seluruh riwayat dari para rawi yang tsiqah, yang mana menegaskan turunnya Allah ke langit dunia dan bahwasanya Dia mengatakan apakah ada orang yang meminta ampun, dan membenarkan apa-apa yang mereka riwayatkan dan kukuhkan berbeda halnya dengan apa apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyimpang dan sesat.

Kita kembali dalam apa yang kita perselisihkan terhadap Al-Qur’an, sunnah Rasul dan ijma’ kaum muslimin dan apa-apa yang semakna dengan itu, kita tidak berbuat bid’ah yang dilarang dalam Islam ini dan tidak mengatakan apa-apa tentang Allah yang tidak kita ketahui.

Kita mengatakan bahwasanya Allah itu akan datang pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya :

Artinya :

“Dan Allah itu akan datang pada hari kiamat secara bershaf-shaf” (QS. Al-Mutaffifin : 22).

Dan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mendekat terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya :

Artinya :

“Kami lebih dekat daripadanya dari urat kerongkongan” (QS. Qaaf :16)

Artinya :

“Kemudian mendekat dan kemudian lebih mendekat lagi, maka jadilah antara Allah dan Rasulullah antara dua ujung busur panah dan lebih dekat lagi” (QS. An-Najm :8-9).

Dan diantara ajaran dien kita adalah kita menegakkan shalat jum’at, shalat ied dan seluruh shalat jama’ah dibelakang setiap orang baik maupun tidak baik, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliallahu ‘anhu shalat di belakang Al-Hajjaj.

Bahwasanya mengusap kedua sepatu adalah sunnah baik dalam keadaan mukim atau musafir, lain halnya dengan orang yang mengingkari hal itu.

Kita mendo’akan kebaikan para imam dan mengakui keimamahannya dan menghukum sesat bagi yang membolehkan berontak terhadap mereka apabila tampak dari mereka ketidak istiqomahannya.

Kita meyakini kemungkaran adanya pemberontakan dengan menggunakan pedang dan meninggalkan perang dalam keadaan fitnah dan membenarkan keluarnya Dajjal sebagimana riwayat-riwayat dari Rasulullah tentang hal itu.

Bersambung .....

(Syiahali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: