Pesan Rahbar

Home » , » Pahlawan Yang Dikriminalisasi, Sultan Hamid II; Perancang Garuda Pancasila Yang Terlupakan

Pahlawan Yang Dikriminalisasi, Sultan Hamid II; Perancang Garuda Pancasila Yang Terlupakan

Written By Unknown on Saturday, 27 December 2014 | 20:43:00

Sultan Hamid II dari Kerajaan Kadriah Pontianak

Sultan Hamid II merupakan sosok Pahlawan Nasional namun telah diabaikan oleh negara bahkan dalam beberapa media sering disebutkan sebagai pemberontak termasuk Catatan Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Hamid_II) perlu kita benahi, mari kita simak kembali penuturan yang lebih jelas seperti catatan dibawah ini:

Biografi:

Sultan Hamid II adalah Pencipta Lambang Negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila (Elang Rajawali Garuda Pancasila). Namun, nama bekas Menteri Negara RIS (Republik Indonesia Serikat) ini ditenggelamkan pemerintah Sukarno karena dikaitkan dengan pemberontakan Westerling yang sampai dengan sekarang tidak pernah terbukti secara yuridis, pun dengan paham politik yang berseberangan. Di hari peringatan ke-60 Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2005 yang lalu pihak keluarga Sultan Hamid II sempat meminta pemerintah tidak melupakan jasa Tokoh Politik asal Kalimantan Barat tersebut, akan tetapi sampai sekarang sejarah itu tetap disembunyikan pemerintah saat ini.

Namun, pembuktian terhadap fakta sejarah tentang Sultan Hamid II terus dilakukan oleh Yayasan Sultan Hamid II. Max Yusuf Al-Qadrie, Ketua Umum Yayasan Sultan Hamid II, pun seorang yang dulunya Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II, terus melakukan upaya-upaya terhadap pelurusan Sejarah ini, dengan support kepada Peneliti-peneliti Akademik asal Kalimantan Barat.

Turiman Fachturrahman Nur, seorang Peneliti dan Tenaga Pengajar pada sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kalimantan Barat, mencoba membuktikan kebenaran ini dalam Tesisnya di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 11 Agustus 1999 dengan judul “Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Perundang-undangan)”, Turiman mempertahankan secara yuridis dengan data-data yang akurat mengenai siapa sebenarnya pencipta lambang negara Burung Garuda, dari hasil penelitian Tesisnya, Turiman menegaskan bahwa Sultan Hamid II merupakan Perancang/Pencipta Lambang Negara Indonesia. Saat ini penelitian tersebut dilanjutkan dalam jenjang yang lebih tinggi yaitu pada Disertasi Doktoralnya di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Tak sampai disitu penbedahan ulang terhadap Sejarah dilakukan. Pada tanggal 24 Januari 2012, seorang Peneliti Muda asal Tanah Khatulistiwa (Pontianak – Kalimantan Barat) bernama Anshari Dimyati, menerabas sebuah kasus yang telah lama dilupakan, ia mencoba membuktikan kebenaran pada Kasus ‘Makar’ yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II di tahun 1950-1953, yang kasus tersebut atas kaitan dengan pemberontakan Westerling. Peneliti yang juga berprofesi sebagai Konsultan Hukum itu mencoba mempertahankan hasil Penelitian Tesisnya di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tesis tersebut berjudul “Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia; (Suatu Analisis Yuridis Normatif Pada Studi Kasus Sultan Hamid II)”. Alhasil dari penelitian tersebut membuktikan bahwa Sultan Hamid II tak terbukti secara hukum atas tuduhan ‘Makar’ (terkait Westerling) yang dituduhkan kepadanya. Anshari Dimyati membuktikan, mempertahankan, dan mempertanggungjawabkan hasil Penelitian Tesisnya itu dihadapan tiga orang Pakar Hukum Pidana Indonesia.

Allahyarham Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie atau biasa disebut dengan nama Sultan Hamid II adalah Sultan ke-VII Kesultanan Qadriyah Pontianak. Sultan Hamid II adalah Putra Sulung dari Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (Sultan ke-VI Kesultanan Pontianak) dan Shaikha Jamila Sharwani. Sultan Hamid II lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Sultan Hamid II melewati masa kecilnya di Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak yang dibangun pada 1771 Masehi. Sultan Hamid II yang juga seorang Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun 1948 itu dikenal cerdas. Ia juga diangkat menjadi Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah Pangkat Tertinggi sebagai Ajudan Istimewa Ratu Kerajaan Belanda (Ratu Wilhelmina). Sultan Hamid II adalah orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam dunia Kemiliteran di Indonesia (dulu Hindia Belanda), yaitu dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal KNIL. Sultan Hamid menempuh pendidikan “ELS” di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. “HBS” di Bandung satu tahun, “THS” (Sekarang ITB) Bandung tidak tamat, kemudian “KMA” di Breda, Belanda hingga tamat dan berpangkat Letnan pada Kesatuan Tentara Hindia Belanda. Sultan Hamid II adalah orang Indonesia pertama yang menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda, Belanda, seperti AKABRI dengan pangkat Letnan Dua pada tahun 1936.

Sultan Hamid II merupakan salah satu tokoh penting nasional dalam mendirikan Negara di Kepulauan Melayu (the Malay Archipelago) ini bersama rekan sejawatnya, Sukarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Ki Hajar Dewantara, Muhammad Roem, Mohammad Natsir, Muhammad Yamin, Tengku Mansoer, Ide Anak Agung Gde Agung, dan banyak lainnya. Dalam transisi pendirian Indonesia, Sultan Hamid II pernah menjadi Ketua Delegasi BFO (Bijeenkomst Federaale Overleg/Musyawarah Istimewa Kaum Federal dan Strategi Konseptor Negara Federal) dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949, ia pun menjadi Ketua BFO untuk Negara-negara Federal kala itu.

Sepak terjangnya di dunia politik menjadi salah satu alasan bagi Presiden Sukarno untuk mengangkat Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara di Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 1949-1950. Pada 13 Juli 1945 dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu anggota Panitia mengusulkan tentang lambang negara. Pada 20 Desember 1949, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1949, Sultan Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara RIS. Dalam kedudukannya ini, Sultan Hamid II ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk mengkoordinasi kegiatan perancangan Lambang Negara.

Dalam buku Bung Hatta Menjawab, Hatta saat itu menjadi Perdana Menteri RIS – tertulis Menteri Priyono yang ditugaskan oleh Sukarno melaksanakan sayembara lambang negara menerima hasil dua buah gambar rancangan lambang negara yang terbaik. Yaitu Burung Garuda karya Sultan Hamid II dan Banteng Matahari karya Muhammad Yamin. Namun, yang diterima oleh Presiden Sukarno adalah karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin ditolak. Melalui proses rancangan yang cukup panjang, akhirnya pada 10 Februari 1950, Menteri Negara RIS Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang. Hasil akhirnya adalah lambang negara Garuda Pancasila yang dipakai hingga saat ini.

Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (PM RIS) Mohammad Hatta pada 11 Februari 1950. Empat hari berselang, tepatnya 15 Februari, Presiden Sukarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara karya Sultan Hamid II kepada khalayak umum di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) Jakarta. Pada 20 Maret 1950, bentuk final lambang negara rancangan Menteri Negara RIS Zonder Forto Polio, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Sukarno dan mendapat disposisi persetujuan presiden. Selanjutnya Presiden Sukarno memerintahkan pelukis Istana bernama Dullah untuk melukis kembali gambar itu sesuai bentuk final dan aslinya.

Lambang negara ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 111 dan penjelasannya dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 176 Tahun 1951 pada 28 November 1951. Sejak saat itu, secara yuridis gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara Kesatuan RI. Sebelum meninggal dunia, Sultan Hamid II yang didampingi sekretaris pribadinya, Max Yusuf Alkadrie menyerahkan gambar rancangan asli lambang negara yang sudah disetujui Presiden Sukarno kepada Haji Mas Agung–Ketua Yayasan Idayu, pada 18 Juli 1974. Gambar rancangan asli itu sekaligus diserahkan kepada Haji Mas Agung di Jalan Kwitang Nomor 24 Jakarta Pusat.

Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II dikait-kaitkan dengan peristiwa Westerling (yang tidak pernah terbukti secara yuridis/hukum) sehingga harus menjalani proses hukum (tanpa hukum/politisasi) dan dipenjara selama 10 tahun oleh pemerintah Sukarno (dikarenakan pergolakan poltik pada saat itu). Sejak itulah, nama Sultan Hamid II seperti dicoret dari catatan sejarah. Jarang sekali buku sejarah Indonesia yang terang-terangan menyebutkan Sultan Hamid sebagai pencipta lambang negara Burung Garuda. Sejarawan Indonesia lebih sering menyebut nama Muhammad Yamin sebagai pencipta lambang negara. Gelar kepahlawanan yang seharusnya disandang Sultan Hamid II yang sangat berjasa sebagai perancang lambang negara tersebut sengaja dihilangkan oleh pemerintahan Sukarno, Suharto, hingga saat ini. Kesalahan sejarah itu berlangsung bertahun-tahun hingga pemerintahan Orde Baru dan sampai dengan sekarang belum sepenuhnya terungkap.

Dalam tesisnya, Turiman menyimpulkan, sesuai Pasal 3 Ayat 3 (tiga) UUD Sementara 1950 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara. Berdasarkan Pasal 23, 3, jo PP Nomor 60/1951 itu ditentukan bahwa bentuk dan warna serta skala ukuran lambang negara RI adalah sebagaimana yang terlampir secara resmi dalam PP 66/51, Lembaran Negara Nomor 111 serta bentuk lambang negara yang dimaksud adalah lambang negara yang dirancang oleh Sultan Hamid Alkadrie II yaitu Burung Garuda. Bukan lambang negara yang dibuat oleh Muhammad Yamin yang berbentuk banteng dan matahari.

Sultan Hamid II meninggal dunia pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Sudah sepatutnya negara mengembalikan nama baik Sultan Hamid II dan mengakui Sultan Hamid II sebagai Pencipta Lambang Negara Garuda Pancasila, terlepas dari permasalah atau pertentangan paham politik yang terjadi. Pemutarbalikan fakta sejarah yang terjadi saat ini sangat merugikan generasi mendatang. Sejarah harus diletakkan pada porsinya semula dan sejarah harus diluruskan agar generasi mendatang tau tentang pencipta lambang negaranya Burung Garuda, serta generasi bangsa tidak salah dalam melihat sejarah. Begitupula dengan memberikan penghormatan atas maha karya yang dibuat Sultan Hamid II yaitu Lambang Negara Garuda Pancasila, seperti halnya W.R. Supratman sebagai pencipta lagu Indonesia Raya, Fatmawati sebagai pembuat Bendera pusaka Indonesia, dan lainnya.

Sultan Hamid II; Perancang Garuda Pancasila Yang Terlupakan


Berikut ini, Maulanusantara menyajikan prolog buku monumental buah karya Anshari Dimyati, Nur Iskandar, dan Turiman Fachturrahman Nur yang berjudul: Biografi Politik Sultan Hamid II: Sang perancang lambang negara “Elang Rajawali – Garuda Pancasila”

Judul: Biografi Politik Sultan Hamid II: Sang perancang lambang negara “Elang Rajawali – Garuda Pancasila”
Pengarang: Anshari Dimyati, Nur Iskandar, Turiman Fachturrahman Nur
Penerbit: Top Indonesia, bekerja sama dengan Yayasan Sultan Hamid II dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat

Tahun Terbit: 2013
Deskripsi Fisik: xxvi, 562 halaman; 17 x 25 cm
ISBN: 978-602-17664-6-0

DI seluruh Indonesia di setiap ruang kelas, mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi—Kantor-kantor Sipil, Militer, semua memajang potret atau gambar Lambang Negara Garuda Pancasila (selengkapnya berbunyi Elang Rajawali – Garuda Pancasila). Lambang supremasi kebangsaan Indonesia Raya. Posisinya tertinggi. Terhormat. Duduk lebih tinggi di tengah antara potret Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Elang Rajawali Garuda Pancasila itu menatap tajam, seolah menarik perhatian untuk mengatakan lihatlah tubuhku semua syarat makna dan pesan. Sayap kiri-kanan mengembang seimbang dengan kaki mencengkeram pita bertuliskan fatwa Bhinneka Tunggal Ika. Pesan Sanskerta yang bermakna sangat dalam, jauh lebih dalam dari lautan Pasifik dan Atlantik hingga kedalaman hati nurani. Artinya berbeda-beda, namun tetap satu jua. Itulah Indonesia.

Sayap yang mengembang terdiri dari 17 lembar bulu yang berarti tanggal 17. Delapan lembar bulu pada ekor yang menjurai ke bawah perlambang bulan Agustus atau bulan kedelapan. Sementara 45 helai bulu halus di leher penanda tahun ’45. Genaplah 17 Agustus 1945 tanggal, bulan, dan tahun kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Proklamasi itu menutup lara-nestapa penjajahan di bawah rezim Belanda sekira tiga setengah abad lamanya, maupun Dai Nippon Jepang selama lebih kurang tiga tahun.

Di dada Sang Rajawali Garuda bergantung sebuah perisai. Di dalamnya ada cahaya bintang bersudut lima tanda Ketuhanan Yang Maha Esa. Ada rantai yang saling sambung dan tidak putus melambangkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ada simbol pohon beringin tanda Persatuan Indonesia. Terdapat gambar kepala banteng pertanda Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat/Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Ada pula potret padi dan kapas sebagai makna Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Semua pelajar, mahasiswa, guru, pejabat, atau Warga Negara Indonesia pada umumnya tahu apa lambang negaranya. Tau siapa Presidennya. Tahu siapa penggali nilai-nilai luhur Pancasila. Tapi tak banyak yang tau bahwa Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila adalah Sultan Hamid II. Siapakah dia?

Sultan Hamid II adalah nama populernya di dalam sejarah Indonesia. Nama lengkapnya adalah Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie. la adalah Sultan Ketujuh (VII), Kesultanan Pontianak. Lahir pada tanggal 12 Juli 1913 dari ayahnya Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (Sultan Keenam/VI) dan ibunya Syecha Jamilah Syarwani.

Di kalangan generasi muda nama Sultan Hamid II samar-samar terdengar, khususnya di pentas politik nasional. la pernah menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di masa Presiden Soekarno (RIS/Republik Indonesia Serikat) dan Ketua BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) atau Permusyawaratan Negara-negara Federal dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

Figur Sultan Hamid II yang samar perlu diperjelas melalui riset sejarah. Hal ini terkait dengan keterlibatannya di Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), tuduhan ‘keterlibatannya pada Peristiwa Westerling, maupun karya fenomenalnya dalam merancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila.

Perlu dicatat bahwa Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila terus menghiasi perjalanan hidup kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkat karya besarnya itu pula nama Sultan Hamid II dilekatkan sebagai nama salah satu ruas jalan yang menghubungkan Sungai Kapuas dan Sungai Landak, Pontianak -Kalimantan Barat. Jalan ini menghubungkan dua jembatan tol di jantung Kota Pontianak. la sekaligus mengoneksikan Pontianak Timur dan Utara.

Nama Sultan Hamid II samar-samar terdengar karena “black campign” mendera dirinya. la dinisbatkan sebagai “antek-antek” Belanda. Padahal tidak hanya Sultan Hamid II yang berpendidikan Belanda pada saat yang sama, namun banyak sekali tokoh-tokoh pergerakan nasional adalah alumni pendidikan Belanda.

Sultan Hamid II diklaim pula sebagai “pengkhianat” negara terkait peristiwa Westerling dalam Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Namun pledooi dan putusan pengadilan membuktikan bahwa Sultan Hamid II tidak bersalah. Kendati demikian dia tetap dijatuhi vonis 10 tahun penjara dipotong masa tahanan. Putusan itu dijalaninya dengan hati ikhlas, sekaligus sekeluarnya dari penjara tetap menjaga hubungan silaturrahim kepada segenap tokoh nasional lainnya. Tak pelak ketika Bung Karno sakit dan menjelang ajalnya, Sultan Hamid II datang membesuk dan bersua sebagai dua sahabat. Sultan Hamid II adalah Negarawan. Jauh tutur katanya dari fitnah dan dendam.

Seiring waktu terus berjalan sejak masa proklamasi hingga Orde Reformasi satu persatu bukti otentik sejarah kemudian terkuak. Dimulai dengan terbitnya sejumlah buku seperti pengakuan Mohammad Hatta bahwa Sultan Hamid II adalah pencipta Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila, kemudian Ide Anak Agung Gde Agung, sampai pada suatu hari dilakukan riset tesis oleh Turiman Fachturrahman Nur di Universitas Indonesia.

Turiman melakukan riset tesis ini beranjak dari laporan tabloid Mimbar Untan (Universitas Tanjungpura) yang berhasil menguak misteri sejarah yang terputus laksana “missing link”. Lantaran Mimbar Untan memuat gambar karya Sultan Hamid II dan didisposisi oleh Presiden Soekarno.

Riset tesis Turiman tentang Sultan Hamid II kemudian hari disempurnakan dengan riset tesis Anshari Dimyati di Universitas Indonesia. Jika Turiman meneliti soal validitas Perancang Lambang Negara, maka Anshari meneliti sejauh mana Sultan Hamid II terlibat kasus Westerling—apakah dia terlibat pidana?

Kedua tesis itu diramu dengan liputan jurnalistik Nur Iskandar yang intens menghimpun data sejak menjadi reporter Mimbar Untan bersama Syafaruddin Usman maupun Sri Nur Aeni melalui upaya “investigative reporting”. Bertempat di kediaman kolektor benda antik serta purbakala, Ustadz H Asfiyah Mahyus yang berdomisili tak jauh dari Istana Kesultanan Qadriyah Pontianak ditemukan naskah penyambung “missing link” tersebut.

Gayung pun bersambut. Kata pun berjawab. Sejak terbitnya laporan Mimbar Untan, tesis Turiman dan Anshari, maka berdiri pula Yayasan Sultan Hamid II (Sultan Hamid II Foundation) yang secara sadar menggali pemikiran-pemikiran sosok cerdas dan bersahaja itu.

Buku ini salah satu langkah awal publikasi sehingga nama Sultan Hamid II tidak perlu harus ditutup atau samar-samar dalam parade sejarah Negara Indonesia. Figur Sultan Hamid II harus dibuka selebar-lebarnya dan seterang-terangnya. Digali pikiran-pikirannya. Sebab, ternyata isu Federalism perlahan telah pula diterapkan sekarang dalam konteks otonomi daerah di Indonesia.

Lepas dari plus-minus sosok Sultan Hamid II, generasi muda perlu mengetahui melalui buku dan mengambil pelajaran berharga demi meneruskan pembangunan di Kalimantan Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Kesemua itu dalam konteks peran Kalimantan Barat di level lokal, nasional dan internasional.

Lebih jauh daripada itu, dengan membaca buku ini diharapkan warga Kalimantan Barat dan atau Indonesia tidak lagi memiliki stigma negatif ketika nama Sultan Hamid II disebutkan. Dia bukanlah pengkhianat negara seperti “black campign” pada masa kehidupannya, namun Sultan Hamid II adalah Pahlawan Negara yang karya ciptanya menduduki peringkat tertinggi di dalam struktur negara, yakni Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila.

Buku ini diterbitkan dalam rangka memperingati sekaligus memaknai 1 Abad (100 Tahun) kelahiran Sultan Hamid II (12 Juli 1913-12 Juli 2013). Selain itu melalui terbitnya buku ini juga diharapkan, Negara dapat memberikan penghargaan terhadap Sultan Hamid II sebagai Bapak Perancang Lambang Negara; Elang Rajawali – Garuda Pancasila. Namanya parut diakui dan dihargai oleh Konstitusi Indonesia yaitu Undang-undang Dasar 1945, sebagaimana nama WR. Supratman selaku pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai menghargai jasa para pahlawannya.

Sejarah Patut Diluruskan. Salam Damai.

(Maula-Nusantara/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: