Pesan Rahbar

Home » » Keutamaan Hadzrat Fatimah Zahra AS

Keutamaan Hadzrat Fatimah Zahra AS

Written By Unknown on Tuesday, 27 January 2015 | 06:23:00


Terkait dengan keutamaan Hadrat Zahra terdapat banyak hadis yang beragam tentang hadhrat Zahra SA pada kitab-kitab sumber di dua mazhab yang menunjukkan keutamaan dan ketinggian derajatnya. Salah satu diantaranya adalah hadis “Fatimah adalah bagian dari diriku” yang mana Nabi Saw menyatakannya dalam berbagai keadaan mengenai derajat hadhrat Zahra.

Namun, ada riwayat yang terdapat pada beberapa sumber, yaitu: “Ali AS melamar putri Abu Jahal, dan Fatimah SA merasa tidak senang atas perbuatan tersebut, dan mengadu kepada Nabi SAW. Nabipun menentang Ali AS dan dalam membela putrinya, beliau melontarkan pernyataan tersebut: “Fatimah adalah bagian dari diriku”, walaupun otentisitas pernyataan Nabi SAW tersebut diriwayatkan secara mutawatir, akan tetapi keadilan para perawinya –yang menganggap dalil (dari) sabda baginda yang mereka muliakan adalah (keinginan) Amirul Mukminin menikah lagi– tidak dapat terbukti. Bahkan pada sebagian dari mereka (justru) kebohongannyalah yang terbukti.

Hadhrat Zahra Sa adalah seperti para wali Allah yang disebutkan dalam beberapa hadis pada literatur-literatur dari dua mazhab mengenai keutamaan dan makam Ilahiahnya, salah satunya adalah hadis “Fatimah adalah bagian dari diriku” yang disampaikan Nabi tentang Fatimah AS dan sebagian ulama Syiah menyimpulkan kemaksuman Hadhrat Zahra Sa dari hadis ini.[1]

Menurut riwayat-riwayat yang ada, Nabi Saw beberapa kali melontarkan kandungan pernyataan ini dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda, salah satu riwayat tersebut adalah demikian: “Abuzar al-Ghifari meriwayatkan: Pada hari-hari dimana penyakit Nabi Saw semakin parah, kami datang menemui beliau. Nabi berkata: “Panggillah anakku Fatimah dan katakan untuk datang kemari.” Kemudian aku berdiri lalu pergi menemui Hadhrat Zahra Sa dan aku berkata “Wahai wanita yang paling mulia! Ayahmu memanggilmu.” Beliau memakai cadur (hijab) lalu keluar dari rumah dan bertemu dengan Nabi. Ketika beliau melihat ayahnya dalam kondisi (seperti) itu beliau mulai menangis, kemudian Nabi pun menangis (oleh karena) tangisnya. Lalu Nabi memeluknya dan berkata: “Fatimah sayang! Demi ayahmu janganlah menangis! Sesungguhnya engkaulah orang pertama (dari orang-orang terdekatku) yang akan bergabung denganku, dalam kondisi terzalimi dan murka… dan engkau akan berjumpa denganku di tepi telaga Kautsar.”
Fatimah berkata: “Dimana aku akan menemuimu?”
Nabi Saw: “Engkau akan menemuiku di tepi telaga Kautsar dalam keadaan aku memberi minum orang-orang Syi‘ah serta orang-orang yang membelamu, dan aku menjauhkan diri dari musuh-musuh serta para pengganggumu.”
Fatimah Sa: “Jika Aku tidak mendapatimu di tepi telaga, dimana Aku dapat menjumpaimu?”
Nabi Saw: “Di dekat mizan Ilahi engkau akan menjumpaiku.”
Fatimah SA: “Ayahku tercinta! Jika aku tetap tidak menemukanmu di tepi telaga dimana aku akan menemukanmu?”
Nabi Saw: “Engkau akan menemukanku di shirat ketika aku sedang memanggil pengikut-pengikut Ali As yang lewat dari shirat tersebut.

Abu Dzar berkata: Seketika itu hatiku menjadi tenang, dan Nabi Saw menenangkannya dengan kata-kata tersebut. Kemudian Nabi Saw menghadap ke arahku dan bersabda  “Wahai Abu Dzar sesungguhnya Fatimah bagian (dari) diriku, barang siapa yang menyakitinya maka (sama saja) menyakiti aku.” Sesungguhnya ia adalah Wanita (termulia di seluruh) alam dan suaminya pun adalah pelanjut para nabi yang paling agung....”[2]

Ungkapan kata: «بَضْعَةٌ مِنِّی» berarti dia adalah bagian dari aku, sebagaimana sepotong daging bagian dari tubuh.[3]

Pada kesempatan lain Nabi pun mengungkapkan kata-kata ini; seseorang buta datang meminta izin kepada Hadhrat Fatimah Sa untuk menemuinya, Fatimah pun memasang tirai dan mengambil tempat di belakangnya, Nabi Saw bertanya: “Mengapa engkau berada di balik tirai, sedang dia tidak melihatmu?” Hadhrat Fatimah menjawab: “Jika dia tidak melihatku, (tapi) aku melihatnya, dan iapun (mampu) merasakan aroma badanku.”
Nabi bersabda: “Aku bersaksi sesungguhnya engkau adalah bagian dari diriku.”[4]

Pokok bahasan terakhir ini, juga disebutkan dalam kitab-kitab rujukan Ahlussunnah.[5] Sebagaimana terdapat pula pokok-pokok bahasan lain dimana Nabi Saw menggunakan ungkapan ini.[6]

Nabi Saw menyampaikan pernyataan-pernyataan ini pada waktu-waktu yang berbeda dengan ungkapan-ungkapan yang beragam. Nabi Saw bersabda: “Fathimah adalah bagian dari diriku, barang siapa menyakitinya maka sama halnya dia menyakitiku, dan barang siapa yang membuatnya marah maka ia telah membuatku marah,dan barang siapa yang menyenangkannya maka ia telah menyenangkan aku.”[7]

dan Nabi SAW bersabda: “Fathimah adalah bagian (dari) diriku dan dia adalah jiwa hidupku yang berada di antara kedua pundakku, aku membenci apa yang dia benci dan aku menyenangi apa yang dia senangi.”[8]

Namun sebagian sumber-sumber yang menukilkan mengenai mengapa ungkapan tersebut keluar dari lisan Nabi Saw, adalah tidak dapat diterima dengan alasan masalah-masalah yang ada padanya:
“Diriwayatkan dari Musawir bin Makhramah bahwa Ali Bin Abi Thalib meminang anak Abu Jahal, berita ini sampai ke telinga Fatimah. Beliau datang kepada Nabi Saw dan berkata:  Ali  menikahi anak Abu Jahal, dan orang-orang menyangka engkau sama sekali tidak perduli (kuatir) akan kesedihan putri-putrimumu! Kemudian Nabi Saw bangun dan bersabda: ...Sesungguhnya Fatimah bagian dari aku dan aku menjadi marah dengan kesedihannya. Aku bersumpah anak Nabi dan anak musuh Tuhan (abu jahal) tidak akan berkumpul (berdampingan) pada satu lelaki! Setelah itu Ali membatalkan pinangan tersebut.”[9]

Dengan pengertian yang sama terdapat pula riwayat-riwayat lain dari Ahlussunnah: “Nabi Saw bersabda di atas mimbar bersabda, “Sesungguhnya keturunan Hisyam bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anaknya dengan Ali bin Abi Thalib! Takkan  kuizinkan! Takkan  kuizinkan! Takkan  kuizinkan! Kecuali anak Abi Thalib –Ali– (dengan) senang (hati) mentalak putriku dan mengikat (tali) pernikahan dengan putri mereka. Sesungguhnya putriku adalah bagian (dari) diriku.”[10] Pada sebagian riwayat-riwayat tersebut terdapat nama Abu Hurairah sebagai perawi[11].

Akan tetapi riwayat tersebut memiliki banyak masalah bagi kebanyakan ulama Syi‘ah dan juga sebagian dari ulama Ahlussunnah; di antaranya yaitu Nabi sendiri juga menikah dengan Ummu Habibah –putri musuh Allah Abu Sofyan, maka apakah beliau (akan menentang dan) menahan diri (dari) menerima (pernikahan) itu? Dan bahkan sebagian dari mereka menilai penyebab adanya riwayat-riwayat yang demikian itu adalah kebencian dan kedengkian terhadap Amirul Mukminin Ali As.[12]

Selain itu, terdapat banyak masalah terkait dengan riwayat tersebut dimana Sayyid Murthada Rah mengemukakan beberapa di antaranya:
Nabi Saw tidak mengingkari apa yang diperbolehkan oleh Islam, dan dalam islam boleh bagi laki-laki dengan menikahi empat perempuan dengan adanya beberapa syarat, jadi bagaimana Nabi akan menolak (perkara) yang boleh tersebut dan menyatakannya di atas mimbar?! (dan mencegah Ali untuk menjalankan perbuatan yang diperbolehkan (agama) ini).

Riwayat ini dapat menyebabkan nabi dicemooh: Sebab Nabi Saw menikahkan Fatimah Sa dengan Ali As berdasarkan titah Ilahi. Jadi, bagaimana (mungkin) Tuhan (akan) memilihnya. (karena) Sangat jelas Tuhan tidak akan memilih orang yang menyakiti dan mengganggu Fatimah dan ini adalah tanda terdapatnya kebohongan (pada) riwayat tersebut.

Sama sekali tak pernah ada sedikitpun pertentangan Imam Ali As  dengan Nabi Saw;  jadi bagaimana dapat diterima beliau melakukan perbuatan seperti itu (perbuatan) yang menyebabkan Nabi marah dan tidak senang?!

Jika riwayat tersebut ternyata benar; musuh-musuh Ali As yang jumlahnya pun tidak sedikit, tentunya di sepanjang sejarah mereka (akan) menggunakannya sebagai (bahan) cemoohan. Namun laporan seperti itu tidak terjadi.
[13]

Ibnu Abi Hadid pun Seperti halnya kebanyakan ulama Ahlusunnah ragu dan menyangsikan riwayat tersebut, dalam penjelasannya ia mengemukakan: “Menurut hemat saya meskipun riwayat ini kita terima, Ali tetap tidak dapat dicemooh, kaum Muslimin bersepakat bahwa tidak ada masalah pernikahan dengan putri Abu Jahal menyertai pernikahan dengan putri Nabi; karena Islam membolehkan empat istri dan demikian pula (dengan) putri Abu Jahal juga seorang muslim,  dan peristiwa ini dilaporkan (terjadi) setelah penaklukan (kota) Makkah dan para penduduknya memeluk Islam. Karena itu, tidak terlihat pelanggaran Ali As. Tetapi yang tersisa poin ini, jika riwayat ini benar adanya, mengapa Nabi Saw tiba-tiba (bersikap) seperti itu, menurut sebab masalah adalah demikian bahwa Nabi Saw melihat tekad dan ketabahan Fatimah Sa dan mengkritik Ali As (dengan) sikap kebapaan sehingga tercipta perdamaian di antara mereka, begitupun juga mungkin yang benar adalah beberapa perkataan tersebut ada dalam riwayat namun muncul dengan melalui beberapa pengurangan dan penambahan lain.”[14]

Di samping hal-hal tersebut, para perawi yang digunakan dalam sumber-sember itu adalah tidak tsiqah menurut Syiah dan perkataan mereka tidak dapat dipercaya, bahkan pada beberapa masalah justru terbukti kebohongan para perawi tersebut.

Pada sumber-sumber Syi‘ah terdapat riwayat-riwayat dimana di dalamnya para imam As memaparkan hadis Ahlusunnah tersebut dan mereka pun memeberikan jawaban. Dalam sebuah riwayat Imam Shadiq cukup hanya dengan menyebut poin ini: “Betapa masayarakat memiliki perkataan yang mengherankan mengenai Ali As, yang satu menganggapnya sesembahan (ma‘bud) dan yang lain (menganggapnya) hamba Tuhan yang berdosa…”[15]

Pada akhirnya harus dikatakan (riwayat-riwayat) itu tidak dapat diterima; pada aspek adanya kritik-kritik yang beragam atas kandungan riwayat-riwayat yang menganggap penyebab munculnya sabda Nabi Saw tersebut adalah mencegah Imam Ali As menikah lagi di masa hadhrat Fatimah Sa masih hidup dan demikian pula dengan dalil lemahnya sanad serta tidak terpercayanya para perawi hadis-hadis tersebut. [iQuest]    

Referensi:
[1]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, I‘lâm al-Warâ bi-A‘lâm al-Hudâ, Jil. 1, h. 294, Muassasah Alu al-Bait As, Qum, Cet. 1, 1417 H; Syeikh Thusi, Talkhish al-Syafi, Pendahuluan dan riset oleh Husain Bahrul Ulum, jil. 3, hal. 122, Intisyarat al-Muhibbin, Qum, Cetakan Pertama, 1382 S; Sayyid  ‘Ali Milani, al-Imâmah fi Ahm al-Kutub al-Kalâmiah wa Aqidah Syi‘ah al-Imâmiah, hal. 67, al-Syarif al-Ridha, Qum, Cetakan Pertama, 1413 H.
[2]. Ali Bin Muhammad Khazaz Razi, Kifâyat al-Âtsâr fi Nash ‘ala al-Aimmah Itsna ‘Asyar, Riset dan edit oleh Abdul Lathif Hussaini Kuhkamari, hal. 36-37, Intisyarat Bidar, Qum, 1401 H.
[3]. Fakhruddin Thuraihi, Majma’ al-Bahrain, Riset oleh Sayyid Ahmad Hussani, jil. 4, hal. 300, Kitab Furusyi Murthadhawi, Teheran, Cetakan Ketiga, Tahun 1373 S.
[4]. Fadhlullahb bin li Rawandi Kashani,, al-Nawâdir, Riset dan edit oleh Shadiqi Ardestani, hal. 13-14, Ahmad, Dar al-Kitab, Qum, Cetakan Pertama; Muhammad Bin Muhammad Asy’ats Kufi,, al-Ja’fariyat (Al-Asy’atsiyat), hal. 95, Maktabah Nainawa al-Haditsah, Teheran, Cetakan Pertama.
[5]. Abu Na’im Ahmad bin ‘Abdullah Ishfahani, Hilyat al-Auliya wa Thabaqât al-Ashfiya, jil. 2, hal. 40, al-Sa’adah, Mesir, 1974 M.
[6]. Ridhauddin ‘Ali bin Yusuf Hilli,, al-‘Adad al-Qawiyah li Daf’i al-Mukhawif al-Yaumiyah,  Riset dan edit oleh Mahdi Rajai dan Mahmud Mar’asyi, hal. 225, Perpustakaan Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qum, Cetakan Pertama, 1408 H.
[7]. Muhammad bin ‘Ali Ibnu Babawaih (Syaikh Shaduq), I‘tiqâdat al-Imâmiah, hal. 105, Kongres Syeikh Mufid, Iran, Cetakan Kedua, 1414 H.
إِنَّ فَاطِمَةَ بَضْعَةٌ مِنِّی‏، مَنْ آذَاهَا فَقَدْ آذَانِی، وَ مَنْ غَاظَهَا فَقَدْ غَاظَنِی‏ وَ مَنْ سَرَّهَا فَقَدْ سَرَّنِی
[8]. Muhammad Baqir Majlisi,, Bihâr al-Anwâr, jil. 29, hal. 32, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H.
فاطمة بضعة منّی، و هی روحی التی بین جنبیّ، یسوؤنی ما ساءها و یسرّنی ما سرّها
[9]. Muhammad bin Isma‘il Abu Abdullah Bukhari, Shahih Bukhâri (al-Jâmi‘ al-Mosnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulullah), Riset oleh Muhammad Zahir bin Nashir al-Nashir, jil. 5, hal. 22, Dar Tsauq al-Najah, 1422 H.
[10]. Muslim bin Hajaj Qusyair al-Naysaburi, Shahih Muslim (al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar bi Naql al ‘Adl ila Rasulillah), Riset oleh Muhammad Fu’ad  Abdul Baqy, jil. 4, hal, 1902, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Tanpa Tahun; Sulaiman bin Asy‘ats Azdi Sijistani, Sunan Abi Daud, Riset oleh Abdul Hamid, Muhammad Muhyiddin, jil. 2, hal. 226, al-Maktabah al-Ashriyah, Beirut, Tanpa Tahun.
[11]. Silahkan lihat, Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 4, hal. 64, Kitabkhaneh Ayatullah Mar‘asyi Najafi, Qum, 1378 S. 
[12]. Muhammad Taqi Majlisi, Raudhat al-Muttaqin fi Syarh Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, Riset dan edit oleh Husain Musawi Qermani dan Ali Panah Isytihardi, jil. 8, hal. 124, Muassasah Farhanggi Islami Kusyanpur, Qum, Cetakan Kedua, 1406 H.
[13].Sayyid Murtadha, Tanzih al-Anbiyâ’, h. 212, dengan menukil dari Ibnu Huyun, Nu‘man bin Muhammad, Syarh al-Akhbar fi Fadhâ’il al-Aimmah al-Athhar As, jil. 3, h. 31, Jamiah Mudarrisin, Qum, Cetakan Kedua, 1409 H.
[14]. Syarh Nahjul Balâghah, jil. 4, hal. 65-66.
[15]. Syaikh Shaduq, al-Âmali, jil. 5, hal. 104, A‘lami, Beirut, 1400 H.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: