Terkait dengan keutamaan Hadrat Zahra
terdapat banyak hadis yang beragam tentang hadhrat Zahra SA pada
kitab-kitab sumber di dua mazhab yang menunjukkan keutamaan dan
ketinggian derajatnya. Salah satu diantaranya adalah hadis “Fatimah
adalah bagian dari diriku” yang mana Nabi Saw menyatakannya dalam
berbagai keadaan mengenai derajat hadhrat Zahra.
Namun, ada riwayat yang terdapat pada
beberapa sumber, yaitu: “Ali AS melamar putri Abu Jahal, dan Fatimah SA
merasa tidak senang atas perbuatan tersebut, dan mengadu kepada Nabi
SAW. Nabipun menentang Ali AS dan dalam membela putrinya, beliau
melontarkan pernyataan tersebut: “Fatimah adalah bagian dari diriku”,
walaupun otentisitas pernyataan Nabi SAW tersebut diriwayatkan secara
mutawatir, akan tetapi keadilan para perawinya –yang menganggap dalil
(dari) sabda baginda yang mereka muliakan adalah (keinginan) Amirul
Mukminin menikah lagi– tidak dapat terbukti. Bahkan pada sebagian dari
mereka (justru) kebohongannyalah yang terbukti.
Hadhrat Zahra Sa adalah seperti para wali
Allah yang disebutkan dalam beberapa hadis pada literatur-literatur dari
dua mazhab mengenai keutamaan dan makam Ilahiahnya, salah satunya
adalah hadis “Fatimah adalah bagian dari diriku” yang disampaikan Nabi
tentang Fatimah AS dan sebagian ulama Syiah menyimpulkan kemaksuman
Hadhrat Zahra Sa dari hadis ini.[1]
Menurut riwayat-riwayat yang ada, Nabi Saw
beberapa kali melontarkan kandungan pernyataan ini dengan
ungkapan-ungkapan yang berbeda, salah satu riwayat tersebut adalah
demikian: “Abuzar al-Ghifari meriwayatkan: Pada hari-hari dimana
penyakit Nabi Saw semakin parah, kami datang menemui beliau. Nabi
berkata: “Panggillah anakku Fatimah dan katakan untuk datang kemari.”
Kemudian aku berdiri lalu pergi menemui Hadhrat Zahra Sa dan aku berkata
“Wahai wanita yang paling mulia! Ayahmu memanggilmu.” Beliau memakai
cadur (hijab) lalu keluar dari rumah dan bertemu dengan Nabi. Ketika
beliau melihat ayahnya dalam kondisi (seperti) itu beliau mulai
menangis, kemudian Nabi pun menangis (oleh karena) tangisnya. Lalu Nabi
memeluknya dan berkata: “Fatimah sayang! Demi ayahmu janganlah menangis!
Sesungguhnya engkaulah orang pertama (dari orang-orang terdekatku) yang
akan bergabung denganku, dalam kondisi terzalimi dan murka… dan engkau
akan berjumpa denganku di tepi telaga Kautsar.”
Fatimah berkata: “Dimana aku akan menemuimu?”
Nabi Saw: “Engkau akan menemuiku di tepi
telaga Kautsar dalam keadaan aku memberi minum orang-orang Syi‘ah serta
orang-orang yang membelamu, dan aku menjauhkan diri dari musuh-musuh
serta para pengganggumu.”
Fatimah Sa: “Jika Aku tidak mendapatimu di tepi telaga, dimana Aku dapat menjumpaimu?”
Nabi Saw: “Di dekat mizan Ilahi engkau akan menjumpaiku.”
Fatimah SA: “Ayahku tercinta! Jika aku tetap tidak menemukanmu di tepi telaga dimana aku akan menemukanmu?”
Nabi Saw: “Engkau akan menemukanku di
shirat ketika aku sedang memanggil pengikut-pengikut Ali As yang lewat
dari shirat tersebut.
Abu Dzar berkata: Seketika itu hatiku
menjadi tenang, dan Nabi Saw menenangkannya dengan kata-kata tersebut.
Kemudian Nabi Saw menghadap ke arahku dan bersabda “Wahai Abu Dzar
sesungguhnya Fatimah bagian (dari) diriku, barang siapa yang
menyakitinya maka (sama saja) menyakiti aku.” Sesungguhnya ia adalah
Wanita (termulia di seluruh) alam dan suaminya pun adalah pelanjut para
nabi yang paling agung....”[2]
Ungkapan kata: «بَضْعَةٌ مِنِّی» berarti dia adalah bagian dari aku, sebagaimana sepotong daging bagian dari tubuh.[3]
Pada kesempatan lain Nabi pun mengungkapkan
kata-kata ini; seseorang buta datang meminta izin kepada Hadhrat
Fatimah Sa untuk menemuinya, Fatimah pun memasang tirai dan mengambil
tempat di belakangnya, Nabi Saw bertanya: “Mengapa engkau berada di
balik tirai, sedang dia tidak melihatmu?” Hadhrat Fatimah menjawab:
“Jika dia tidak melihatku, (tapi) aku melihatnya, dan iapun (mampu)
merasakan aroma badanku.”
Nabi bersabda: “Aku bersaksi sesungguhnya engkau adalah bagian dari diriku.”[4]
Pokok bahasan terakhir ini, juga disebutkan
dalam kitab-kitab rujukan Ahlussunnah.[5] Sebagaimana terdapat pula
pokok-pokok bahasan lain dimana Nabi Saw menggunakan ungkapan ini.[6]
Nabi Saw menyampaikan pernyataan-pernyataan
ini pada waktu-waktu yang berbeda dengan ungkapan-ungkapan yang
beragam. Nabi Saw bersabda: “Fathimah adalah bagian dari diriku, barang
siapa menyakitinya maka sama halnya dia menyakitiku, dan barang siapa
yang membuatnya marah maka ia telah membuatku marah,dan barang siapa
yang menyenangkannya maka ia telah menyenangkan aku.”[7]
dan Nabi SAW bersabda: “Fathimah adalah
bagian (dari) diriku dan dia adalah jiwa hidupku yang berada di antara
kedua pundakku, aku membenci apa yang dia benci dan aku menyenangi apa
yang dia senangi.”[8]
Namun sebagian sumber-sumber yang
menukilkan mengenai mengapa ungkapan tersebut keluar dari lisan Nabi
Saw, adalah tidak dapat diterima dengan alasan masalah-masalah yang ada
padanya:
“Diriwayatkan dari Musawir bin Makhramah
bahwa Ali Bin Abi Thalib meminang anak Abu Jahal, berita ini sampai ke
telinga Fatimah. Beliau datang kepada Nabi Saw dan berkata: Ali
menikahi anak Abu Jahal, dan orang-orang menyangka engkau sama sekali
tidak perduli (kuatir) akan kesedihan putri-putrimumu! Kemudian Nabi Saw
bangun dan bersabda: ...Sesungguhnya Fatimah bagian dari aku dan aku
menjadi marah dengan kesedihannya. Aku bersumpah anak Nabi dan anak
musuh Tuhan (abu jahal) tidak akan berkumpul (berdampingan) pada satu
lelaki! Setelah itu Ali membatalkan pinangan tersebut.”[9]
Dengan pengertian yang sama terdapat pula
riwayat-riwayat lain dari Ahlussunnah: “Nabi Saw bersabda di atas mimbar
bersabda, “Sesungguhnya keturunan Hisyam bin Mughirah meminta izin
kepadaku untuk menikahkan anaknya dengan Ali bin Abi Thalib! Takkan
kuizinkan! Takkan kuizinkan! Takkan kuizinkan! Kecuali anak Abi
Thalib –Ali– (dengan) senang (hati) mentalak putriku dan mengikat (tali)
pernikahan dengan putri mereka. Sesungguhnya putriku adalah bagian
(dari) diriku.”[10] Pada sebagian riwayat-riwayat tersebut terdapat nama
Abu Hurairah sebagai perawi[11].
Akan tetapi riwayat tersebut memiliki
banyak masalah bagi kebanyakan ulama Syi‘ah dan juga sebagian dari ulama
Ahlussunnah; di antaranya yaitu Nabi sendiri juga menikah dengan Ummu
Habibah –putri musuh Allah Abu Sofyan, maka apakah beliau (akan
menentang dan) menahan diri (dari) menerima (pernikahan) itu? Dan bahkan
sebagian dari mereka menilai penyebab adanya riwayat-riwayat yang
demikian itu adalah kebencian dan kedengkian terhadap Amirul Mukminin
Ali As.[12]
Selain itu, terdapat banyak masalah terkait
dengan riwayat tersebut dimana Sayyid Murthada Rah mengemukakan
beberapa di antaranya:
Nabi Saw tidak mengingkari apa yang
diperbolehkan oleh Islam, dan dalam islam boleh bagi laki-laki dengan
menikahi empat perempuan dengan adanya beberapa syarat, jadi bagaimana
Nabi akan menolak (perkara) yang boleh tersebut dan menyatakannya di
atas mimbar?! (dan mencegah Ali untuk menjalankan perbuatan yang
diperbolehkan (agama) ini).
Riwayat ini dapat menyebabkan nabi
dicemooh: Sebab Nabi Saw menikahkan Fatimah Sa dengan Ali As berdasarkan
titah Ilahi. Jadi, bagaimana (mungkin) Tuhan (akan) memilihnya.
(karena) Sangat jelas Tuhan tidak akan memilih orang yang menyakiti dan
mengganggu Fatimah dan ini adalah tanda terdapatnya kebohongan (pada)
riwayat tersebut.
Sama sekali tak pernah ada sedikitpun
pertentangan Imam Ali As dengan Nabi Saw; jadi bagaimana dapat
diterima beliau melakukan perbuatan seperti itu (perbuatan) yang
menyebabkan Nabi marah dan tidak senang?!
Jika riwayat tersebut ternyata benar;
musuh-musuh Ali As yang jumlahnya pun tidak sedikit, tentunya di
sepanjang sejarah mereka (akan) menggunakannya sebagai (bahan) cemoohan.
Namun laporan seperti itu tidak terjadi.
[13]
Ibnu Abi Hadid pun Seperti halnya
kebanyakan ulama Ahlusunnah ragu dan menyangsikan riwayat tersebut,
dalam penjelasannya ia mengemukakan: “Menurut hemat saya meskipun
riwayat ini kita terima, Ali tetap tidak dapat dicemooh, kaum Muslimin
bersepakat bahwa tidak ada masalah pernikahan dengan putri Abu Jahal
menyertai pernikahan dengan putri Nabi; karena Islam membolehkan empat
istri dan demikian pula (dengan) putri Abu Jahal juga seorang muslim,
dan peristiwa ini dilaporkan (terjadi) setelah penaklukan (kota) Makkah
dan para penduduknya memeluk Islam. Karena itu, tidak terlihat
pelanggaran Ali As. Tetapi yang tersisa poin ini, jika riwayat ini benar
adanya, mengapa Nabi Saw tiba-tiba (bersikap) seperti itu, menurut
sebab masalah adalah demikian bahwa Nabi Saw melihat tekad dan ketabahan
Fatimah Sa dan mengkritik Ali As (dengan) sikap kebapaan sehingga
tercipta perdamaian di antara mereka, begitupun juga mungkin yang benar
adalah beberapa perkataan tersebut ada dalam riwayat namun muncul dengan
melalui beberapa pengurangan dan penambahan lain.”[14]
Di samping hal-hal tersebut, para perawi
yang digunakan dalam sumber-sember itu adalah tidak tsiqah menurut Syiah
dan perkataan mereka tidak dapat dipercaya, bahkan pada beberapa
masalah justru terbukti kebohongan para perawi tersebut.
Pada sumber-sumber Syi‘ah terdapat
riwayat-riwayat dimana di dalamnya para imam As memaparkan hadis
Ahlusunnah tersebut dan mereka pun memeberikan jawaban. Dalam sebuah
riwayat Imam Shadiq cukup hanya dengan menyebut poin ini: “Betapa
masayarakat memiliki perkataan yang mengherankan mengenai Ali As, yang
satu menganggapnya sesembahan (ma‘bud) dan yang lain (menganggapnya)
hamba Tuhan yang berdosa…”[15]
Pada akhirnya harus dikatakan
(riwayat-riwayat) itu tidak dapat diterima; pada aspek adanya
kritik-kritik yang beragam atas kandungan riwayat-riwayat yang
menganggap penyebab munculnya sabda Nabi Saw tersebut adalah mencegah
Imam Ali As menikah lagi di masa hadhrat Fatimah Sa masih hidup dan
demikian pula dengan dalil lemahnya sanad serta tidak terpercayanya para
perawi hadis-hadis tersebut. [iQuest]
Referensi:
[1]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, I‘lâm
al-Warâ bi-A‘lâm al-Hudâ, Jil. 1, h. 294, Muassasah Alu al-Bait As, Qum,
Cet. 1, 1417 H; Syeikh Thusi, Talkhish al-Syafi, Pendahuluan dan riset
oleh Husain Bahrul Ulum, jil. 3, hal. 122, Intisyarat al-Muhibbin, Qum,
Cetakan Pertama, 1382 S; Sayyid ‘Ali Milani, al-Imâmah fi Ahm al-Kutub
al-Kalâmiah wa Aqidah Syi‘ah al-Imâmiah, hal. 67, al-Syarif al-Ridha,
Qum, Cetakan Pertama, 1413 H.
[2]. Ali Bin Muhammad Khazaz Razi, Kifâyat
al-Âtsâr fi Nash ‘ala al-Aimmah Itsna ‘Asyar, Riset dan edit oleh Abdul
Lathif Hussaini Kuhkamari, hal. 36-37, Intisyarat Bidar, Qum, 1401 H.
[3]. Fakhruddin Thuraihi, Majma’
al-Bahrain, Riset oleh Sayyid Ahmad Hussani, jil. 4, hal. 300, Kitab
Furusyi Murthadhawi, Teheran, Cetakan Ketiga, Tahun 1373 S.
[4]. Fadhlullahb bin li Rawandi Kashani,,
al-Nawâdir, Riset dan edit oleh Shadiqi Ardestani, hal. 13-14, Ahmad,
Dar al-Kitab, Qum, Cetakan Pertama; Muhammad Bin Muhammad Asy’ats Kufi,,
al-Ja’fariyat (Al-Asy’atsiyat), hal. 95, Maktabah Nainawa al-Haditsah,
Teheran, Cetakan Pertama.
[5]. Abu Na’im Ahmad bin ‘Abdullah
Ishfahani, Hilyat al-Auliya wa Thabaqât al-Ashfiya, jil. 2, hal. 40,
al-Sa’adah, Mesir, 1974 M.
[6]. Ridhauddin ‘Ali bin Yusuf Hilli,,
al-‘Adad al-Qawiyah li Daf’i al-Mukhawif al-Yaumiyah, Riset dan edit
oleh Mahdi Rajai dan Mahmud Mar’asyi, hal. 225, Perpustakaan Ayatullah
Mar’asyi Najafi, Qum, Cetakan Pertama, 1408 H.
[7]. Muhammad bin ‘Ali Ibnu Babawaih
(Syaikh Shaduq), I‘tiqâdat al-Imâmiah, hal. 105, Kongres Syeikh Mufid,
Iran, Cetakan Kedua, 1414 H.
إِنَّ فَاطِمَةَ بَضْعَةٌ مِنِّی، مَنْ
آذَاهَا فَقَدْ آذَانِی، وَ مَنْ غَاظَهَا فَقَدْ غَاظَنِی وَ مَنْ
سَرَّهَا فَقَدْ سَرَّنِی
[8]. Muhammad Baqir Majlisi,, Bihâr al-Anwâr, jil. 29, hal. 32, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H.
فاطمة بضعة منّی، و هی روحی التی بین جنبیّ، یسوؤنی ما ساءها و یسرّنی ما سرّها
[9]. Muhammad bin Isma‘il Abu Abdullah
Bukhari, Shahih Bukhâri (al-Jâmi‘ al-Mosnad al-Shahih al-Mukhtashar min
Umur Rasulullah), Riset oleh Muhammad Zahir bin Nashir al-Nashir, jil.
5, hal. 22, Dar Tsauq al-Najah, 1422 H.
[10]. Muslim bin Hajaj Qusyair
al-Naysaburi, Shahih Muslim (al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar bi Naql
al ‘Adl ila Rasulillah), Riset oleh Muhammad Fu’ad Abdul Baqy, jil. 4,
hal, 1902, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Tanpa Tahun; Sulaiman
bin Asy‘ats Azdi Sijistani, Sunan Abi Daud, Riset oleh Abdul Hamid,
Muhammad Muhyiddin, jil. 2, hal. 226, al-Maktabah al-Ashriyah, Beirut,
Tanpa Tahun.
[11]. Silahkan lihat, Ibnu Abi al-Hadid,
Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 4, hal. 64, Kitabkhaneh Ayatullah Mar‘asyi
Najafi, Qum, 1378 S.
[12]. Muhammad Taqi Majlisi, Raudhat
al-Muttaqin fi Syarh Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, Riset dan edit oleh
Husain Musawi Qermani dan Ali Panah Isytihardi, jil. 8, hal. 124,
Muassasah Farhanggi Islami Kusyanpur, Qum, Cetakan Kedua, 1406 H.
[13].Sayyid Murtadha, Tanzih al-Anbiyâ’, h.
212, dengan menukil dari Ibnu Huyun, Nu‘man bin Muhammad, Syarh
al-Akhbar fi Fadhâ’il al-Aimmah al-Athhar As, jil. 3, h. 31, Jamiah
Mudarrisin, Qum, Cetakan Kedua, 1409 H.
[14]. Syarh Nahjul Balâghah, jil. 4, hal. 65-66.
[15]. Syaikh Shaduq, al-Âmali, jil. 5, hal. 104, A‘lami, Beirut, 1400 H.
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email