Sejak dahulu kala berbagai kalangan berdebat mengenai kehendak, takdir dan paksaan. Sebagian kelompok meyakini segala yang kita perbuat, semuanya telah ditakdirkan, yakni Tuhan yang telah mengatur segalanya sehingga kita melakukan apa yang kita lakukan secara terpaksa.
Kelompok lain sebaliknya, meyakini bahwa kita semua memiliki kehendak mutlak, segalanya dapat kita pilih dan kita berikhtiar penuh atas segala yang terjadi di dunia ini.
Namun Syiah, mengambil jalan tengah antara pemikiran-pemikiran tersebut. Bagi Syiah, kita tidak sepenuhnya berikhtiar dalam hidup ini, dan tidak sepenuhnya pula terkekang dalam takdir.
Banyak sekali faktor-faktor yang sifatnya “telah ditakdirkan” oleh Tuhan untuk kita. Misalnya, kita sudah ditakdirkan untuk menjadi lelaki atau perempuan. Kita telah ditakdirkan untuk memiliki paras wajah sedemikian rupa sejak lahir. Hal-hal seperti itu tidak berada di bawah kendali diri kita.
Namun kebanyakan dari apa yang ada, berada di bawah ikhtiar kita sendiri. Misalnya, kita sendiri yang berkehendak untuk duduk atau berdiri, tanpa ada satupun yang memaksa kita, mentakdirkan kita atau mengkekang kita dalam perbuatan tersebut.
Kebanyakan orang salah mengerti artian takdir. Saat mereka tertimpa suatu kemalangan, mereka hanya bisa pasrah dan berkata “mau apa lagi, ini sudah ditakdirkan oleh Tuhan.”.
Padahal, jika ia merenungi kembali apa yang telah dilakukannya sebelumnya, ia bakal sadari bahwa tidak ada kata “takdir” sebagaimana yang telah ia fahami.
Perhatikan contoh di bawah ini:
Seseorang berada di antara dua pilihan: Pertama, ia dapat melakukan perjalanan ke luar kota; kedua, ia dapat juga menunda perjalanannya hingga esok hari.
Orang itu memilih pilihan pertama, dan berangkat ke luar kota hari itu juga. Namun di perjalanan ia mengalami kecelakaan, dan akhirnya dirawat di rumah sakit.
Saat di rumah sakit itulah ia berkata “ini semua telah ditakdirkan Tuhan.” Padahal sebenarnya ia berikhtiar penuh untuk memilih antara berangkat hari itu juga ke luar kota atau esok harinya. Jelas kita tidak bisa mengatakan Tuhan mentakdirkan, dan menginginkan orang itu kecelakaan.
Seandainya ia memilih pilihan kedua, misalnya berangkat esok hari, pasti ceritanya lain lagi.
Coba dalam contoh ini, kita kembalikan orang itu ke masa lalunya, dan kembali ke saat ia berhadapan di antara dua pilihan tersebut. Kali ini ia memilih pilihan kedua, dan ia pergi ke luar kota esok harinya demi menunaikan hajat. Ternyata saat tiba di tujuan, ia tidak bisa bertemu dengan orang yang ia perlukan karena orang itu tak ada di rumah. Saat itu pula ia juga berkata, “sudah ditakdirkan aku jauh-jauh datang dan tak ada hasilnya.” Kembali ia mengucapkan kata “takdir” yang ia salah pahami. Ia berfikiran hal itu telah diinginkan Tuhan untuknya; padahal tidak, ia berada di antara dua pilihan sebelumnya.
Begitulah hidup ini. Kita berada di hadapan jutaan pilihan yang dapat kita putuskan untuk dijalani dalam hidup, yang mana setiap pilihan, entah kita sadari atau tidak, mengandung konsekwensinya masing-masing.
Untuk contoh di atas, bisa dikatakan, jika orang itu memilih pilihan pertama, berarti ia memilih pilihan yang, sekali lagi, baik disadari atau tidak, memiliki konsekwensi kecelakaan; namun jika ia memilih pilihan kedua, konsekwensinya adalah perjalanan yang sia-sia. (Terlepas kenyataan bahwa pilihan itu tidak hanya dua, namun lebih dan bahkan tak terbatas.)
Bisa juga kita buat istilah sendiri, bahwa kita dapat memilih takdir-takdir yang kita inginkan! Begini contohnya: kita dapat memilih antara pergi naik bus dengan takdir kita harus membayar tarif lebih murah, atau kita memilih pergi naik taksi dengan takdir membayar lebih mahal. Nah, saat kita hendak memilih antara kedua pilihan tersebut, saat itu kita berikhtiar penuh. Namun ketika salah satu telah kita pilih, maka kita harus menerima takdir dan konsekwensi pilihan kita. Misalnya dalam kasus ini, jika kita memilih naik taksi, maka kita harus terima bahwa kita ditakdirkan untuk membayar lebih mahal.
Post a Comment
mohon gunakan email