Pesan Rahbar

Home » » Penyebab Tidak (Belum) Terwujudnya Masyarakat Ideal dalam Pemerintahan Agama

Penyebab Tidak (Belum) Terwujudnya Masyarakat Ideal dalam Pemerintahan Agama

Written By Unknown on Sunday, 25 January 2015 | 01:56:00


Sebelum mengulas pembahasan utama kiranya kita perlu mengurai beberapa pembahasan penting lainnya supaya persoalan ini menjadi lebih jelas dan terang bagi Anda:

1. Mengingat bahwa di antara seluruh agama Ilahi, agama Islam diperuntukkan bagi “setiap orang” dan “setiap ruang” serta “setiap waktu” hingga kiamat. Islam adalah agama yang bersifat umum dan universal. Karena itu, Islam pada masa okultasi (ghaibat) Imam Maksum As juga, tanpa ragu, tetap memiliki pemerintahan.[1]
Allamah Thabathabai berkata, “Al-Qur’an tidak menyeru manusia mendirikan pemerintahan dan kekuasaan politik karena keduanya merupakan salah satu urusan di antara urusan urgen dan harus ada sehingga tidak memerlukan seruan, motivasi dan anjuran. Apa yang diseru al-Qur’an adalah kesepakatan dan konsensus dengan menjadikan agama sebagai sentralnya.”[2]

Karena itu, menghapus Islam dari medan sosial dan politik lalu merubahnya menjadi agama personal dan seklusif akan menyebabkan munculnya penyimpangan dan memisahkan agama dari hakikatnya sendiri.

Kita ketahui bahwa terdapat negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam di dunia dan masing-masing memiliki model pemerintahan khusus sebagian berbentuk republik dan sebagian lainnya kerajaan dan lain sebagainya.[3]
Keragaman dalam model pemerintahan ini tidak menjadi dalil bahwa pemerintahan sebagian dari mereka bukan pemerintahan religius karena Islam tidak menyuguhkan ragam dan model pemerintahan karena satu-satunya pemerintahan legal dalam pandangan Islam adalah pemerintahan agama dan Ilahi.
2. Pemerintahan agama adalah sebuah pemerintahan yang menerima peran sentral seluruh dimensi agama dalam panggung politik dan kehendak masyarakat. Artinya pemerintah dan ragam institusinya committed dan memiliki komitmen terhadap seluruh ajaran agama. Dalam hal ini, pemerintah dan ragam institusinya berusaha dalam mengatur, menetapkan aturan, menata pelbagai hubungan sosial dengan mengambil inspirasi dari ajaran-ajaran agama.[4] Dalam implementasi kesemua ini, pemerintah menjadikan fikih, pakem-pakem dan nilai-nilai agama sebagai kerangka acuan dalam memecahkan pelbagai problema sosial, menyusun agenda dan managemen pemerintahan.[5]
3. Dalam pemerintahan agama, pemimpin masyarakat adalah media dan wasilah untuk agama. Karena itu, tujuan pemimpin masyarakat tidak terlepas dari tujuan-tujuan agama; artinya pemerintahan tidak memiliki nilai independen melainkan kriteria penilaiannya terletak pada implementasi tujuan-tujuan agama.[6]
4. Demokrasi adalah pemerintahan rakyat atas rakyat yang umumnya dijalankan dengan media suara mayoritas rakyat melalui pemilihan representasi dan wakil serta pembentukan DPR dan kehendak urusan pemerintahan diberikan kepada suara mayoritas yang sesuai dengan konstitusi memiliki hak suara.[7]
Demokrasi merupakan bentuk terbaik pemerintahan manusia dewasa ini. Sebagai tandingan pemerintahan-pemerintahan manusia terdapat pemerintahan Ilahiah dan agama. Dalam pemerintahan Ilahi, pengangkatan dan pemakzulan pemimpin masyarakat berada di tangan Tuhan. Ketaatan kepadanya bersifat wajib bagi rakyat. Pada masa para nabi, mereka adalah para penguasa yang dipilih Allah Swt. Kemuian pada masa pasca kenabian, para imam dua belas Syiah adalah para pilihan Allah Swt yang memikul tanggung jawab ini; lalu pada masa okultasi Imam Keduabelas Ajf tanggung jawab ini diserahkan di pundak para mujtahid adil dan memiliki kecerdasan dan kapabilitas dalam manajemen politik masyarakat.[8]
5. Islam, berseberangan dengan mazhab Materialisme, sangat menaruh hormat terhadap kedudukan dan posisi manusia. Islam berkata, “Darah manusia harus dihormati. Reputasinya harus dihormati; bahkan kematiannya pun tetap mendapatkan kehormatan.[9]


Dalam perspektif Islam, manusia adalah pribadi mandiri dan merdeka namun memikul tanggung jawab dan memiliki risalah serta pemegang amanah Ilahi.[10]

Apa yang telah diuraikan di atas adalah beberapa contoh dari nilai-nilai seorang manusia dalam pandangan Islam.

Coba Anda temukan dimana di dunia ini yang menaruh kehormatan sedemikian kepada manusia. Pada Perang Dunia Pertama (PD I) sepuluh juta manusia terbunuh dan pada Perang Dunia Kedua (PD II) seratus juta nyawa melayang atau mengalami cacat. Para pemimpin dunia setitik pun tidak meneteskan air mata dan memandang bahwa hal itu merupakan hasil dari determinisme zaman dan tuntutan natural penciptaan manusia.

Islam menaruh nilai terhadap manusia pada tataran tertentu sepanjang seluruh anggota masyarakat memandang diri mereka sebagai satu bagian anggota tubuh. Islam menyebutkan bahwa membunuh seorang manusia sebanding dengan membunuh seluruh manusia.[11]


Apakah pelbagai penghormatan dan nilai-nilai seperti ini terdapat di dunia dan di negara-negara yang berkoar-koar tentang hak azasi manusia dan kecintaan terhadap manusia?

Betapa banyak negara-negara penjajah menyulut api peperangan di pelbagai belahan dunia untuk kepentingan dan kemaslahatan mereka sendiri? Betapa banyak orang yang menjadi korban, puing-puing berserakan dan pembunuhan secara biadab terjadi buah dari penjajahan tersebut?

Mengapa sebagian negara-negara Barat seperti Perancis yang mengklaim sebagai bangsa berperadaban, negara demokrasi, menjunjung tinggi kebebasan dan hak asazi manusia menghalangi kaum Muslimah di negara mereka sendiri untuk mengenakan jilbab dan hijab?

Mengapa tatkala segala bentuk penindasan dan kejahatan yang ditimpakan ke rakyat Palestina, mengusir mereka dari negeri mereka sendiri dan setiap harinya sebagian besar dari mereka dibunuh dan sebagian lainnya di penjara namun tiada satu pun negara Barat yang melancarkan protes bahkan mereka menyokong kezaliman dan kejahatan ini terjadi. Apakah hal ini adalah tindakan menjaga nilai kemanusiaan sebagaimana yang mereka klaim?

Apakah pada tahun-tahun belakangan kita tidak menjadi saksi pembunuhan ribuan kaum Muslimin yang dilakukan secara keji oleh orang-orang Serbia? Bukankah mereka ini adalah orang-orang Eropa?

Apakah di Afganistan dan Irak kita tidak menjadi saksi pembunuhan rakyat (pria dan wanita, anak dan bocah belia) tak berdosa oleh Amerika? Apakah mereka itu bukan manusia sehingga nilai-nilai kemanusiaan tidak diberlakukan kepada mereka?

Apakah kita tidak menjadi saksi pada tahun-tahun sebelumnya perbudakan bangsa Afrika oleh negara-negara Barat yang menyebut diri mereka sebagai negara-negara berperadaban?

Apakah di negara-negara Amerika dan Eropa setiap hari kita tidak menyaksikan keterbatasan dan penghinaan terhadap kaum Muslimin? Dan seterusnya

Amat disayangkan dewasa ini dengan kemajuan ilmu pengetahuan, ekonomi, militer, kesehatan sebagian negara Barat telah membuat mata kita terlena dan terpesona sehingga tidak melihat jurang yang menganga dalam masalah kemanusiaan dan nilai-nilai kemanusiaan dan menutup mata atas kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa mereka.


Barangkali tepat kiranya apabila kita menyinggung peradaban Islam di sini:

Islam muncul di daerah Hijaz yang tergolong sebagai daerah paling tertinggal dari sudut pandang peradaban dan kebudayaan. Masa sebelum kemunculan Islam disebut sebagai masa jahiliyah.

Pasca masa risalah Rasulullah Saw masa khilafah dimulai dan berlanjut hingga abad keduabelas. Pada masa-masa ini, peradaban Islam merupakan peradaban yang paling berkilau dan bersinar di dunia.

Khususnya pada abad ketiga, keempat, kelima, para ilmuan yang jarang tandingannya berada pada tataran memproduksi ilmu dan pengetahuan dan mempersembahkan pelayanan kepada umat manusia. Di antara ilmuan tersebut kita bisa menyebut, sebagai contoh, Farabi, Abu Raihan, Ibnu Sina, Khaja Nashiruddin Thusi dimana buku-buku mereka diajarkan di universitas-universitas Barat selama beberapa abad dan menjadi sebagai referensi ilmu di belahan dunia Barat. Sebagaimana dalam literatur-literatur sejarah disebutkan bahwa pada masa ini Eropa dan Barat tidak memiliki kemajuan, perkembangan dan produksi ilmu. Pada masa itu adalah masa-masa penjajahan dan despotisme yang merajalela di seluruh benua Eropa.

Abad kedelapan hingga kesebelas, Islam menggondol gelar keemasannya dan pada abad itu dikenal sebagai masa keemasan Islam.

Para ilmuan Barat mengakui bahwa pada masa ini dunia Islam mencapai puncak keemasan peradaban dan kebudayaan. Pada waktu itu, Barat dan Eropa sedang berada dalam masa bulan madu pemikiran abad pertengahan sementara Islam dan Iran memiliki masa peradaban yang paling bersinar dan berkilau sepanjang masa.[12]

Peradaban agung dan menakjubkan Eropa yang menguasai seluruh dunia hari ini, berdasarkan pengakuan dan konfesi para periset netral Barat, sebelum segala sesuatu, mengambil bahan dasarnya dari peradaban besar Islam.

Misalnya Gustav Lebon berkata, “Sebagian orang mengakui bahwa satu kaum kafir dan atheis (kaum Muslimin) telah menjadi sebab keluarnya Eropa yang beragama Kristen dari barbarian dan kebodohan karena itu mereka menyembunyikan hal ini. Penetrasi moral kaum Muslimin telah menempatkan kaum-kaum barbarian yang berada di bawah dominasi Emperium Roma pada rel kemanusiaan. Demikian juga penetrasi rasional kaum Muslimin telah membuka gerbang ilmu dan pengetahuan serta filsafat yang sama sekali tidak diketahui di dunia Eropa. Kaum Muslimin telah menjadi guru-guru kami orang-orang Eropa selama enam ratus tahun.[13]


Namun apa yang menjadi sebab ketertinggalan masyarakat Muslimin?

Dalam menjawab pertanyaan ini kami hanya akan menyebutkan sebagian sebab penting di sini secara ringkas sebagaimana berikut ini:
1. Kaum Muslimin tidak mengamalkan instruksi-instruksi agama Islam setelah Rasulullah Saw kecuali untuk beberapa masa tertentu.
2. Adanya perang-perang saudara dan konfrontasi militer pada wilayah geografis Islam dan Iran serta invasi-invasi militer terhadap peradaban Islam dan negeri-negeri Islam; misalnya invasi-invasi Mongol, perang-perang yang diletupkan oleh Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Jelas bahwa produksi ilmu yang muncul di sebagian belahan dunia Islam dikarenakan adanya perdamaian dan ketenangan. Misalnya usaha-usaha ilmiah yang dilakukan Ibnu Sina (Avicenna) dan Farabi (Averroes) pada masa-masa tenang itu.
3. Tiadanya persatuan dan ruang pemikiran brilian dalam menyebarluaskan geografis dunia Islam.[14]
4. Munculnya fenomena kolonialisme dan imperialisme dalam ragam bentuk yang menjarah kekayaan-kekayaan negeri-negeri Islam dan menyebarluaskan kebudayaan mereka sendiri di negeri-negeri Islam dan mendesakkan kebudayaan mereka di negeri-negeri ini. Dan sebagai konsekuensinya, SDM (human resources) di negeri-negeri ini dijadikan sebagai pelayan untuk melaksanakan agenda-agenda imperialis mereka.
5. Dilupakannya pesan revolusioner dan reformis Islam yang telah terbentuk pada masa Rasulullah Saw, seperti persatuan, keadilan, kebudayaan dan pengetahuan. Pada masa empat belas abad, pemerintahan-pemerintahan yang ada secara praktis tidak berperan sebagai pembela Islam dan pembawa pesan dan kebudayaan islami.[15]
6. Tiadanya kecapakan pada sebagian penguasa negeri-negeri Islam.


Di negeri Iran, dengan kemenangan Revolusi Islam, Iran telah berhasil memotong proses ketertinggalannya dan masyarakat muda Iran dengan semangat dan daya juang yan tinggi, meski intrik yang tak kenal lelah musuh-musuh, berusaha mengejar ketertinggalannya. Atas dasar ini, setiap hari kita menyaksikan kesuksesan para pemuda Iran dalam pelbagai bidang keilmuan dan kebudayaan. Meski masih terdapat banyak kekurangan dalam hal ini namun dengan semangat para ilmuan dan cendekiawan negara menggerakan Iran ke depan dengan posisi yang lebih kokoh dan konstan dari yang sebelum-sebelumnya.


Makna rusyd dalam ayat yang dimaksud (qad tabayyana al-rusyd min al-ghayyi)

Rusyd secara leksikal jalur untuk mengakses fakta dan realitas. Makna kebalikannya adalah ghayyi yang bermakna menemukan jalan menyimpang dari hakikat dan menjauh dari kebenaran.”[16]

Dengan demikian pada ayat mulia ini, rusyd tidak bermakna kemajuan dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kemajuan atau ketertinggalan kaum Muslimin.


Referensi:

[1]. Mazhahiri, Nukte-hâ-ye Pairamûn Wilâyat Faqih wa Hukûmat-e Dini, hal. 20 – 22, Intisyarat Bashair, Cetakan Razhawi, Cetakan Ketiga, 1378 S.
[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 3, hal. 144, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1393 H.
[3]. Silahkan lihat, Abdullah Jawadi Amuli, Nisbat-e Din wa Dunyâ, hal. 20, Markaz Nasyr Isra, Cetakan Pertama, 1381 S.
[4]. Ahmad Waizhi, Hukûmat-e Islâmi, hal. 30 – 31, Daftar-e Ta’lif wa Nasyr-e Mutun Darsi Hauzah, Nasyr Samir, Cetakan Pertama, 1380 S, Qum.
[5]. Abdullah Jawadi Amuli, Nisbat-e Din wa Dunya, hal. 22, Markaz Nasyr Isra, Cetakan Pertama, 1381 S.
[6]. Ibid, hal. 25.
[7]. Ali Rabbani Gulpaigani, Din wa Daulat, hal. 25, Markaz Nasyr Atsar Pazyuhesygah Farhangg wa Andisye Islami, Cetakan Ketiga, 1381 S.
[8]. Ibid, hal. 27.
[9]. “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. Al-Nisa [4]:93)
[10]. “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan khawatir akan mengkhianatinya. Tetapi manusia (berani) memikul amanat itu. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (lantaran ia tidak mengenal amanat itu dan menzalimi dirinya sendiri).“ (Qs. Al-Ahzab [33]:72)
[11]. “Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Isra’il bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah menghidupkan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” (Qs. Al-Maidah [5]:32) Ja’far Subhani, Kitâb Simâi Insân Kâmil dar Qur’ân, hal. 300 – 307, Markaz Cap wa Nasyr Daftar Tablighat-e Islami Hauzah Ilmiyah Qum, Cetakan Kesembilan, 1385 S.
[12]. Tarikh-e Ilm Cambridge, Collin, Penerjemah Hasan Afsyar, hal. 281 – 350, Cetakan Kedua, Nasyr Markaz, Teheran, 1371 S.
[13]. Murtadha Muthahhari, Insân wa Sarnewesyt (Manusia dan Takdir), hal. 6-9, Cetakan Keenam, Intisyarat-e Shadra, 1361 S. Will Durant, Târikh Tamaddun (History of Civilization), jil. 4, hal. 815, Intisyarat-e Ilmi wa Farhanggi, Cetakan Keempat, 1373 S.
[14]. Samih ‘Athif al-Zain, Risye-ha-ye Dha’f wa ‘Aqab Mandegi Muslimin, Penerjemah Rajabi, Mahmud dan Kamaliniya, hal. 41 – 68, Cetakan Pertama, Hijrat, Qum.
[15]. Alamdar Kazhim, Cerâ Irân ‘Aqab Mand wa Gharb Pisyraft?, jil. 1, hal. 293 – 363, Nasyr Tause’e, Cetakan Ketujuh, Teheran, 1381 S.
[16]. Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 204, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Ketujuh Belas, Teheran, 1365 S.

(Islam-Quest/Syiah-Menjawab/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: