Pesan Rahbar

Home » » Salafi wahabi adalah Jama’ah Peliharaan Amerika di Indonesia untuk menghadang pengaruh Iran dan syi’ah

Salafi wahabi adalah Jama’ah Peliharaan Amerika di Indonesia untuk menghadang pengaruh Iran dan syi’ah

Written By Unknown on Tuesday, 20 January 2015 | 18:57:00


Salafi wahabi adalah Jama’ah pengkhianat islam.

Bocoran telegram diplomat Amerika Serikat di situsWikiLeaks semestinya membuka mata siapa saja pada spionase, paranoia, gila urusan, standar ganda dan mulut ‘ember’ penulisnya – tentu saja kalangan diplomat Amerika, atau begitu lah keinginan awal para pendiri situs semisal Julian Assange. Tapi di Jakarta di awal Syawal ini, konteks besar itu ‘secara misterius’ hilang dalam liputan hampir semua media besar dan ini dampaknya membunuh: lambung pemerintah kita sobek di sana-sini akibat gossip ini itu dalam telegram sementara diplomat Amerika, alih-alih terpojok dan menanggung malu, justru terkesan sebagai pahlawan, penegak pilar demokrasi dan, bahkan, penjaga ‘kewarasan’ orang sebangsa. Ini khususnya tampak dalam pemberitaan pers Jakarta atas isi telegram yang mereka gadang-gadang sebagai ‘fakta percintaan gelap’ antara Front Pembela Islam dan kalangan petinggi polisi dan intelijen, seperti yang dilaporkan diplomat Amerika di Jakarta ke bos-bos mereka di Washington.

Dari pemeriksaan yang lebih dalam atas sejumlah telegram bersubjek Indonesia yang telah terpajang di WikiLeaks dalam dua pekan terakhir, dan membandingkannya dengan isi pers Jakarta, Islam Times juga mendapati adanya semacam ‘permakluman’ yang besar – jika tidak self-censorship – di kalangan redaksi media yang berujung pada keputusan mereka untuk, sejauh ini, tak menuliskan detil-detil ‘sensitif’ dalam telegram di berita mereka, sebuah isyarat adanya kemungkinan pengkhianatan besar pada janji profesi mereka untuk meletakkan kepentingan publik di atas segalanya.

Pemeriksaan lebih jauh dengan membandingkan naskah utuh sejumlah telegram yang terpajang diWikiLeaks dengan isi liputan The Age, koran Australia yang lebih dulu mendapatkan akses ‘eksklusif’ pada arsip WikiLeaks dan mempublikasikan laporannya pada 11 Maret 2011 — The Agehingga kini tak pernah mempublikasikan naskah utuh telegram yang mereka klaim terima secara khusus dari WikiLeaks, Islam Times mendapati media Australia itu cenderung hanya memberitakan apa yang menurut mereka perlu publik ketahui dan bukan pada informasi utuh yang tertera dalam telegram. Bahkan, kami mendapati ada kesan media Australia itu dengan sengaja menyitir pemberitaan.

Kami juga mendapati adanya ‘keanehan besar’ dalam pemberitaan media-media besar Jakarta yang dalam beberapa hari terakhir ini seolah terobsesi menyoroti ‘koneksi’ FPI-Polisi-Intelijen meski faktanya, dalam telegram yang sama, ada banyak subjek lain yang penting, menarik dan patut diketahui publik.

Dalam ulasan bersambung berikut, telegram pertama yang menjadi subjek pemeriksaan kami adalah kawat diplomatik berjudul “Indonesian Biographical and Political Gossip”. Kode Q4 2005/Q1 2006 di kepala dokumen mengisyaratkan gossip politik dalam kawat ini adalah yang muncul di jagad politik nasional dalam rentang kuartal IV 2005 hingga kuartal pertama 2006. Temanya beragam dengan jumlah total dua lusin lebih:

1. Soal ‘Peran Informal’ Keluarga Presiden

Diplomat Amerika dalam subjek ini menyandarkan gosip yang mereka kirim ke Washington pada Roy Janis, bekas politisi PDI-Perjuangan. Kata telegram, dari Roy lah diplomat Amerika di Jakarta mendengar kalau keluarga besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya peran yang lebih besar dalam penentuan kebijakan negara. (Roy dalam bagian ini digambarkan tetap bisa menjalin hubungan ‘tak langsung’ dengan Presiden Susilo via ‘keluarga presiden’, bahkan setelah dia keluar dari PDI-P pada 2005). Digambarkan sebagai ‘kelompok informal’, keluarga besar presiden disebutkan ‘rutin bertemu’ untuk mendiskusikan ‘urusan-urusan kebijakan’. Rapat, kata telegram, dihadiri oleh istri presiden, Kristiani Yudhoyono; Gatot Suwondo (ipar presiden yang sekaligus pejabat senior di Bank BNI); Brigadir Jenderal Pramono Edhi Wibowo (ipar lain presiden yang, kala telegram dikawatkan ke Washington, masih menjabat sebagai Komandan Kopassus). Roy, kata telegram, juga mengklaim kalau Hadi Utomo, juga ipar presiden, baru menjadi peserta tetap rapat keluarga itu setelah dia menjadi petinggi di Partai Demokrat, partai rintisan presiden.

(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak mencantumkan teks telegram bagian ini saat menurunkan laporannya bertajuk “Yudhoyono abused power”, 11 Maret 2011. Pihak Presiden Susilo juga telah melayangkan bantahan keras sejak The Age melansir berita yang di dalamnya menyebut-nyebut peran sentral Ibu Negara Kristiani Yudhoyono dalam pengambilan kebijakan pemerintahan).

2. Soal Hubungan Presiden dan Taufik Kiemas

Sumber gossip yang dalam tema ini dari T.B. Silalahi, penasihat presiden di tahun 2005. Kata telegram, Silalahi berbicara dengan diplomat Amerika di Jakarta pada Oktober 2005 dan membisikkan kalau Hendarman Supandji, seorang jaksa senior kala itu, yang kebetulan memimpin tim pemberantasan korupsi di kejaksaan usat, telah mengantongi cukup bukti untuk mengeluarkan surat penangkapan atas apa yang digambarkan dalam telegram sebagai ‘korupsi’ Taufik Kiemas. Tapi, kata Silalahi, Presiden Susilo sendiri yang mengistruksikan ke Hendarman untuk menghentikan penyidikan atas diri Taufik.

(Catatan Islam Times: dalam telegram yang lain, T.B Silalahi digambarkan oleh diplomat Amerika di Jakarta sebagai “sepupu” Sudi Silalahi).

(Catatan Islam Times: The Age memuat utuh isi telegram bagian ini).

3. Soal Dana Kampanye Presiden Susilo
Gossip dalam subjek ini bersumber dari Silo Marbun, orang dekat Vence Rumengkang, politisi yang pernah menjabat sebagai Deputi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat. Telegram bilang kalau usai Pemilu 2004, Presiden Susilo menawarkan jabatan ke Vence, plus cek Rp 5 miliar. Yang terakhir digambarkan sebagai imbalan atas kontribusi besar Vence pada Partai. (“Marbun menggambarkan Vence sebagai donatur utama Demokrat di tahun-tahun awal partai). Vence kabarnya menolak dua tawaran Presiden Susilo itu dan bilang dia hanya berharap berlanjutnya sokongan Presiden. Marbun juga bergosip dan bilang kalau Aburizal Bakrie menyumbang Rp 200 miliar untuk kampanye Presiden Susilo pada Pemilu 2004.

(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyebut bagian ini).

4. Soal ‘Pembangkangan’ Yusril Ihza Mahendra
Gossip dalam subjek ini bersumber dari Yahya Asagaf yang disebutkan sebagai “asisten Kepala Badan Intelijen Negara”, Syamsir Siregar. Yahya, kata telegram, bilang kalau Presiden Susilo pernah memanggil Syamsir dan minta yang terakhir mengirim spion untuk memata-matai gerak Sekretaris Kabinet, Yusril Ihza Mahendra. Presiden Yudhoyono, kata telegram, marah sebab Yusril berdalih minta izin cuti sepekan untuk kembali ke kampung halaman demi mengurus urusan keluarga tapi belakangan diketahui bepergian ke Singapura dan Vietnam. Kata Yahya, pejabat di Singapura belakangan mengetahui kalau Yusril datang untuk bertemu kalangan pebisnis China. Yahya, kabarnya berada di ruang yang sama saat Syamsir menerima telepon dari Presiden Susilo, bilang kalau ini sudah kali kedua Yusril melakukan perjalanan yang tak disetujui presiden.

(Catatan Islam Times: Laporan The Age dan pers Jakarta sejauh ini ‘menyembunyikan’ sosok Yahya, menggambarkannya ‘hanya’ sebagai “agen BIN”, dan seperti sengaja ‘menceraikannya’ dengan sosok Syamsir Siregar dalam telegram. Laporan The Age juga menyebutkan kalau pengutusan intel BIN untuk memata-matai gerak Yusril semata karena dia adalah musuh politik presiden dan bukan karena soal Yusril sudah dua kali mengajukan alasan izin palsu: … “The cables say Dr Yudhoyono has personally intervened to influence prosecutors and judges to protect corrupt political figures and pressure his adversaries, while using the Indonesian intelligence service to spy on political rivals and, at least once, a senior minister in his own government.”)

5. Soal Dugaan ‘Simpati’ Seorang Menteri pada Ba’asyir
Sumber dalam gossip tema ini masih Yahya Asagaf. Yahya bergosip ke diplomat Amerika di Jakarta kalau Menteri Agama di tahun itu, Maftuh Basyuni, bersimpati pada Abu Bakar Ba’asyir, sosok kontroversial yang, dalam telegram, digambarkan sebagai bos besar ‘Jamaah Islamiyah’. Kata Yahya, usai mengikuti sebuah seminar di pesantren Ba’asyir, Maftuh kembali ke Jakarta dan bilang ke Yahya kalau orang-orang Ngruki “baik” dan “intelektual”. Yahya juga bilang kalau Mahfuh berencana mendukung pembangunan jalan baru menuju kawasan pesantren. Kata Yahya lagi, berdasarkan yang dia dengar dari Maftuh, bos besar BIN, Syamsir Siregar, pernah mengirim donasi untuk Ngruki. Di telegram, Yahya bilang kalau dia belum mengkonfirmasi soal yang terakhir ini ke Syamsir kendati dia bilang dia menduga ini benar adanya, mengingat Syamsir ingin mendukung kalangan ‘moderat’ di Ngruki.

(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung tema ini)

6. Soal Tuduhan Menteri Sudi Terkait Rusuh di Ambon
Gossip dalam tema ini bersumber dari Roy Janis. Tanggal gossip tak disebutkan. Intinya: Roy kabarnya pernah mendengar kalau Sudi Silalahi, kala itu adalah Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), berada di balik pecahnya kekerasan sektarian di Maluku. Roy, kata telegram, telah mengecek kabar ini ke Engelina Pattiasina, seorang anggota parlemen dari Maluku, dan mengeluhkan kekerasan di Maluku dan sosok Sudi di baliknya. Tak berapa lama lepas itu, kekerasan di Maluku berhenti dan Roy menangkap kejadian itu sebagai ‘bukti’ kemampuan Sudi mengontrol situasi dan, sebab itu, dia punya saham di balik kekerasan di Ambon. (Catatan Islam Times: dalam telegram, tak ada penjelasan apa kaitan antara Engelina dan Sudi).

Sumber gossip kedua dalam tema ini adalah “seorang diplomat Singapura” yang identitasnya tak disebutkan. Intinya, sang diplomat Singapura mendapati kesan kalau Sudi membina hubungan dengan “kelompok-kelompok radikal Islam”. Kata sang diplomat Singapura, beberapa editor senior media secara terpisah menaikkan berita seputar sebuah pertemuan di bulan Ramadhan 2005 yang dihadiri oleh seorang perwakilan Noordin Top (buron, tokoh sentral Jamaah Islamiyah kala itu) dan seorang wakil Sudi, kalau tidak Sudi sendiri. Kalangan editor berbisik ke sang diplomat Singapura kalau wajar Sudi hadir dalam rapat seperti itu mengingat dia punya koneksi dengan kalangan kelompok Islam. Ada catatan dalam telegram sekaitan hal ini. Disebutkan bahwa pada 15 November 2005, Harian Kompas menggambarkan terjadinya sebuah pertemuan pada 7 November, beberapa hari sebelum polisi membunuh Azahari dalam sebuah penggerebekan. Tujuan pertemuan disebutkan untuk memfasilitasi gencatan senjata agar JI berhenti dari menebar teror bom dan sebagai gantinya pemerintah tak akan mengejar mereka lagi.

(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung tema ini)

7. Soal Tuduhan Presiden Menekan Hakim
Telegram bilang kalau Yenny Wahid (kala itu masih menjabat sebagai Deputi Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa) telah berbicara ke diplomat Amerika di Jakarta dan bilang kalau PKB “tak punya pilihan” kecuali mengatur mendukung Presiden Susilo di tengah perlawanan keras Abdurrahman Wahid (ayahnya, sekaligus bekas presiden) pada rezim yang berkuasa. Yenny disebutkan bilang orang-orang sangat berpengaruh di lingkaran Presiden Susilo telah mencoba mempengaruhi hasil persidangan, dengan mengintimidasi hakim, terkait sengketa dualisme PKB di pengadilan. Telegram bilang Yenny nampaknya merujuk ke sosok Sudi Silalahi. Kata telegram, Sudi mengirim orang-orangnya ke hakim yang menangani perkara dan bilang kalau Wahid adalah pembuat onar, dan jika putusan memenangkan Wahid, bisa jadi pemerintah tumbang. Yenny kemudian bilang kalau hakim yang kena tekanan melaporkan insiden ini ke tokoh PKB, yang kemudian mengajukan komplain ke Presiden Susilo. Yenny lalu bilang kalau presiden kala itu terlihat ‘terperajat’ dan ‘kecewa’ mendengarnya. Yenny juga bilang penunjukan Erman Suparno sebagai Menteri Tenaga Kerja kala itu nampaknya sebagai kompensasi atas intervensi rezim dalam kasus sengketa dualisme PKB.

(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung tema ini. Di sejumlah media Jakarta, lepas The Age menurunkan berita eksklusif yang antara lain menggambarkan adanya tekanan Sudi pada hakim yang mengadili sengketa dualisme kepengurusan PKB, Yenny termasuk yang menyayangkan adanya intervensi dari pemerintah).

8. Soal Tudingan Aksa Mahmud ‘Bermain’ di PKB
Gosip dalam tema ini masih bersumber pada sosok Yenny Wahid. Yenny, kata telegram, membisikkan ke telinga diplomat Amerika di Jakarta kalau Aksa Mahmud, besan Jusuf Kalla (dalam telegram digambarkan salah sebagai “saudara” Jusuf Kalla), menggelontorkan banyak uang demi kemenangan kubu Alwi Shihab dalam Kongres PKB pada 2005.

Sumber lain gosip dalam tema ini adalah bekas politisi Partai Amanat Nasional, Alvin Lie. Dalam telegram, Alvin disebutkan membisikkan gosip kalau Ali Masykur Musa (kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi PKB di DPR) bentrok dengan bos besar partai kala itu, Abdurrahman Wahid. Ceritanya, dalam sebuah debat soal pemotongan subsidi bensin di DPR pada Maret 2005, Ali Masykur menerima “banyak uang” dari Aksa Mahmud sebagai gantinya PKB akan mendukung rencana pemerintah memangkas subsidi bensin. Kendati, kata telegram, Ali Masykur memakan sendiri uang itu dan sebab itulah partai tak mendapat dukungan rezim.

(Catatan Islam Times: bagian ini sama sekali tak tercantum dalam laporan The Age).

9. Soal Yenny Wahid yang Dianggap Belum Lihat Membagi Amplop
Yenny jadi subjek gosip dalam tema ini. Sumbernya: diplomat Singapura yang tak disebutkan identitasnya. Kata sang diplomat Singapura, berdasarkan informasi yang dia dengar dari Khofifah Indar Parawansa, Yenny mencoba mempengaruhi delegasi Kongres Fatayat NU agar mendukung kandidat lawan Khofifah dengan membagi-bagikan sendiri ‘amplop’ ke peserta kongres. Sang diplomat menggambarkan Yenny bukan juru bayar yang ‘baik’. Langkahnya mudah dibaca, sosoknya selalu terlihat, dan kerap membagikan uang justru ke asisten peserta kongres dan bahkan ke peserta kongres yang telah berniat memilih Khofifah. Yang terakhir menang telak dalam kongres kala itu.

(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung subjek ini, begitupun dengan hampir semua media Jakarta hingga hari ini).

10. Soal Tuduhan Hubungan Gelap FPI-Polisi-Intelijen
Yahya Asagaf kembali jadi sumber gosip dalam tema ini. Kata telegram, Yahya punya hubungan yang cukup baik dengan FPI sehingga bisa membisikkan sejak awal ke kalangan diplomat Amerika di Jakarta kalau FPI bakal menggelar ‘vandalisme’ di depan Kedutaan pada 19 Februari. (CatatanIslam Times: informasi ini mungkin bisa menjawab keheranan banyak kelangan kenapa diplomat Amerika di Jakarta begitu sigap dan siap merekam kekerasan yang terjadi di luar pagar kedutaan tempo hari). Yahya, kata telegram, sebelumnya juga membisikkan kalau bos besar Polisi Indonesia kala itu, Sutanto (kini Kepala BIN), telah mengalokasikan sejumlah dana ke FPI namun pasca insiden itu dia memutuskan menghentikannya. Yahya, saat ditanya oleh diplomat Amerika di Jakarta kenapa Sutanto mau berbuat seperti itu, menjawab kalau Sutanto mendapati FPI baik jika bisa menjadi “anjing penyerang”. Saat dikejar dengan pertanyaan kegunaan FPI bagi Sutanto, mengingat polisi juga bisa mengintimidasi (jika mau), Yahya lalu menggambarkan FPI sebagai alat multiguna yang bisa menyelamatkan ‘aparat keamanan’ dari kena kritik sebagai pelanggar hak asasi. Dia juga bilang kalau kebijakan aparat keamanan mendanai FPI sudah jadi sebuah “tradisi”. Kata Yahya, Ali As’ad, bekas deputi BIN, adalah tokoh intelejen utama yang mendanai FPI. Yahya bilang kalau dana FPI bersumber dari kalangan aparat keamanan, namun sejak medio Februari, FPI mendadak kesulitan dana.

[(Catatan Islam Times: sejauh ini, setidaknya ada enam lembar telegram di WikiLeaks yang memuat nama Yahya Asagaf. Di masing-masingnya, tercantum keterangan yang bervariasi soal siapa dia. Dia sekali digambarkan sebagai “seorang penasihat yang dekat dengan Kepala BIN Syamsir Siregar”, sekali sebagai “penasihat Syamsir Siregar untuk urusan Timur Tengah, dua kali sebagai “a political appointee at the State Intelligence Agency (BIN)”, sekali sebagai “ State Intelligence Agency (BIN) Chairman)”, sekali sebagai “State Intelligence Agency (BIN) official”, sekali sebagai “an assistant to State Intelligence Agency (BIN) Chief, Syamsir Siregar”.

Sementara itu, di TempoInteraktif.com, 4 September 2011, Ketua Dewan Pengurus Pusat FPI, Munarman, menggambarkan Yahya sebagai “antek Amerika”, “pengkhianat”, penjual “informasi negara”, dan bilang kalau salah seorang anak Yahya, Hani Y Assegaf, sebagai pendiri Indonesia Israel Publik Affair Commitee (IIPAC), kelompok lobi pro Israel berbasis Jakarta, yang belakangan sempat memicu kontroversi dengan menggusung rencana Perayaan Hari Kemerdekaan Israel di Jakarta.

Kendati, sumber-sumber Islam Times di jalur keamanan non-formal menegaskan kalau Yahya Asagaf bukan personel BIN meski lembaga intelijen negara pernah menggunakan ‘jasanya’ (kemungkinan dalam kaitannya kontak dengan pemerintah Israel). Seorang sumber menggambarkan Yahya sebagai warga keturunan Arab kelahiran Jawa Tengah yang tak memiliki “darah Assegaf”, punya koneksi luas di dalam dan luar negeri (termasuk Eropa dan Israel), dan “tak tersentuh” bahkan oleh pejabat BIN yang masih aktif sekalipun. Sejauh ini belum ada respon dari intelijen negara sementara polisi telah menyatakan bantahan keras atas tuduhan mereka ‘memelihara’ FPI. )]

11. Soal Majalah Playboy dan FPI
Sumber gosip tema ini adalah Ponti Carolus Pandean, bos PT Velvel Silver Media, penerbit Majalah saru Playboy. Telegram bilang kalau Ponti berbicara ke diplomat Amerika di Jakarta kalau dia beberapa kali mencoba ‘membeli’ petinggi FPI demi kelancaran peluncuran perdana majalahnya. Ponti, digambarkan masih tercatat sebagai Deputi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat hingga 2005), pernah menyerahkan sekitar US$ 1.500 ke Rizieq Shihab, bos besar FPI, sebagai kompensasi Rizieq bersedia diwawancarai. Saat Playboy terbit dan kontroversi membara, dia juga bilang ke diplomat Amerika kalau dia kembali menemui Rizieq dan menyerahkan uang sekitar Rp 40 juta, sebagai hadiah lebaran Idul Adha. Kata Ponti lagi, pengurus FPI kelas cere juga kerap datang ke kantornya meminta uang yang nilainya sekitar US$ 50. Telegram lalu mencantumkan informasi bahwa FPI cenderung diam saat peluncuran Playboy namun pada 12 April, saat majalah terbit pertama kali, massa FPI menyambangi dan merusak kantor majalah.

Kata Ponti lagi, Presiden Susilo awalnya setuju diinterview di edisi perdana Playboy. Presiden, katanya lagi, juga awalnya setuju hadir dalam peluncuran perdana majalah di Bali (sekalipun belakangan batal seiring pecahnya kontroversi akibat kehadiran majalah). Kata Ponti, Presiden Susilo sempat memberi sumbang saran agar wanita yang pose syurnya terpajang di majalah itu bukan warga Indonesia.)

12. Soal Keinginan Agung Laksono Merintis Poros Jakarta-Tehran
Sumber gosip soal ini adalah Arief Budiman, yang dalam telegram digambarkan sebagai bos Kelompok Intelektual Muda Partai Golkar. Kata Arief, Ketua DPR kala itu, Agung Laksono, sempat berkonsultasi dengan figur terkenal Shiah di Indonesia, Jalaluddin Rakhmat, menjelang kunjungannya ke Tehran.

Agung kabarnya mengharapkan ada jalinan kerjasama antara DPR dan parlemen di Iran, dan mengharapkan Jalaluddin bisa membantu dengan menggalang dukungan via majelis ulama di Iran. Arief, kata telegram, mengklaim kalau Agung terlihat simpatik pada proyek pembangkit listrik nuklir Iran dan percaya kalau langkah pemerintah Iran di bidang itu sepenuhnya dalam tujuan damai.

13. Soal Hubungan PKS-Hamas-Ikhwanul Muslimin
Telegram bilang kalau Zulkiflimansyah, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, mengklaim kalau PKS, dalam kontak-kontaknya dengan pihak Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Hamas di Palestina, mendorong kelompok-kelompok itu untuk menggapai kekuasaan via pemilu. Zulkiflimansyah, kata telegram, menyebut Anis Matta sebagai kanal komunikasi utama partai dengan Hamas dan Ikhwan di Mesir.

14. Soal Fuad Bawasyir dan Al-Irsyad
Telegram bilang kalau diplomat Amerika sempat bersua Fuad Bawazier dan menanyakan kabar burung kedekatannya dengan organisasi Al-Irsyad. Fuad, kata telegram, bilang dia tak punya koneksi apapun, meski pernah sempat mencoba mendamaikan faksi-faksi dalam organisasi tersebut. Di bagian ini, gosip lain bersumber dari Yahya Asegaf (digambarkan sebagai pejabat BIN). Telegram bilang kalau Yahya percaya kalau dalam Al-Irsyad ada veteran Perang Afghanistan dan sekitar 50 orang di antara anggota organisasi itu telah menerima militer di Yaman. Yahya bilang bakal sulit bagi pemerintah memberangus Al Irsyad sebab Jaksa Agung Abdurrahman Saleh adalah anggota organisasi.

15. Soal Kemampuan Berbahasa Inggris Hadi Utomo
Bagian ini bukan gosip. Telegram bilang Duta Besar Amerika bersua bos besar Partai Demokrat, Hadi Utomo, dan para pejabat senior partai lainnya, di markas besar partai. Kata telegram, bahasa Inggris Hadi pas-pasan. Tiap kali pembicaraan berpusar pada soal politik, dia memilih menggunakan Bahasa Indonesia. Bahkan dalam pertemuan yang digambarkan dalam telegram sebagai “informal”, Hadi berpatokan pada tulisan yang telah dikonsep sebelumnya dan memilih ‘menitip’ pertanyaan ke bawahannya untuk duta Amerika.

16. Soal Suripto: Pengaruh dan Latar Belakang
Gosip soal ini bersumber dari “seorang bekas pejabat Kementrian Pertanian”. Kata telegram, lepas Anton Apriyantono jadi Menteri Pertanian, Ketua Dewan Pakar PKS, Suripto, menempatkan orang-orang PKS di beberapa posisi eselon satu di kementrian, demi memastikan adanya loyalitas pada partai. Sumber lain gosip dalam tema ini adalah Hariman Siregar. Kata telegram, diplomat Amerika bersua dengan Hariman mendiskusikan ‘tuduhan’ kalau Suripto ikut terlibat dalam Kerusuhan Malari 1972. Hariman lalu bilang ke diplomat Amerika kalau Suripto tak ikut dalam kejadian itu, sekalipun rumor bilang sebaliknya. Kendati, kata Hariman, rumor bahwa Suripto tersangkut kejadian itu menjadi penyebab istri Suripto sakit dan akhirnya meninggal. Hariman mengklaim kalau Suripto adalah tangan kanan Fuad Hassan saat Fuad menjabat Menteri Pendidikan (1985-1993). Telegram bilang kalau anggota DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, Amris Hassan (anak Fuad Hassan), telah berbicara ke diplomat Amerika di Jakarta dan bilang kalau Fuad dan Suripto punya hubungan dekat. Amris juga menggambarkan ke diplomat Amerika kalau Suripto punya koneksi terbaik ke seluruh spektrum organisasi mahasiswa, dari ekstrim kiri hingga ekstrim kanan.

17. Soal Koneksi Penasihat Presiden ke Kubu Megawati
Telegram bilang kalau penasihat Presiden Susilo, T.B. Silalahi, membisikkan ke diplomat Amerika di Jakarta kalau dia telah berulang kali membujuk Megawati Soekarnoputri untuk bertemu Presiden Susilo, namun Megawati selalu menolak. Telegram lalu menyebut alternatif kanal hubungan Silalahi ke Megawati: Puan Mahari (putri Megawati), Guruh Soekarnoputra dan Tjahjo Kumolo, politisi senior PDI-P.

18. Soal Hendropriyono Mengincar Kursi Gubernur Jakarta?
Sumber gosip soal ini adalah Yahya Asagaf. Telegram bilang kalau Yahya pernah mendengar sendiri dari bekas Kepala BIN, Hendropriyono, pada akhir 2005 kalau dia mengincar jabatan Gubernur DKI Jakarta pada Pemilu 2007. Kata telegram, sejak saat itu Yahya tak pernah lagi mendengar kabar lain soal rencana ini. Informan-informan diplomat Amerika lainnya bilang kalau Hendropriyono memang pernah serius dengan ide itu, namun hanya sedikit yang menyokong.

19. Soal Kedekatan PKS dan Menteri Kesehatan
Kata telegram, anggota Majelis Syuro PKS, Syahfan Badri, pernah bilang ke diplomat Amerika di Jakarta kalau PKS punya hubungan dekat dengan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari. Badri, kata telegram, bilang kalau Siti kerap mengundang anggota parlemen dari PKS untuk berkunjung ke kawasan yang kena krisis kesehatan. Telegram memberi catatan: informasi ini mengisyaratkan reputasi PKS di bidang penangangan bencana dan penyaluran bantuan).

20. Soal Amien Rais Mengecam Amerika
Telegram bilang kalau menurut Alvin Lie, dulunya anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, hubungan Amien Rais dan Soetrisno Bachir memburuk pada akhir 2005. Dalam konteks itulah, kata Alvin, Amien kemudian secara sengaja fokus pada soal-soal internasional, guna membangun citra pemimpin yang berkelas sekaligus menghindari konflik dengan Soetrisno. Telegram lalu mendaftar nada-nada “anti Amerika” dalam pernyataan Amien Rais. Amien disebutkan mengkritik invasi Amerika atas Irak dan Afghanistan, skandal penyiksaan tahanan di Irak dan Guantanamo, dan menyebut respon pemerintah Amerika pada korban Badai Katrina menunjukkan “sikap rasis”. Amin, kata telegram, juga mengingatkan pemerintah untuk menghindar dari rencana penggerebekan pesantren (disebutkan sebagai bagian dari counter-terrorisme) dan bila pemerintah berkeras dalam melakukannya maka pemerintah beresiko kena stigma sebagai “alat imperialisme Amerika Serikat.”

21. Soal Daftar Calon Menteri Partai Golkar
Telegram bilang kalau berdasarkan informasi dari Arief Budiman, diplomat Amerika di Jakarta mengetahui 10 nama yang diusulkan Partai Golkar saat Presiden Susilo merencanakan kocok ulang susunan kabinet. Nama-nama tersebut adalah: Theo Sambuaga (Menteri Pertahanan), Andi Mattalatta (Menteri Hak Asasi Manusia), Burhanuddin Napitupulu (Menteri Perumahan), Aulia Rachman (Menteri Hak Asasi Manusia atau Jaksa Agung), Rully Azwar (Menteri Perindustrian), Paskah Suzetta (Menteri Keuangan), Yuddy Krisnandi (Menteri Pemuda dan Olah Raga), Firman Subagio (Menteri Kooperasi), Yuniwati (Menteri Peranan Wanita), Agus Manafendi (Menteri Energi). Telegram membubuhkan catatan yang berisi ‘keyakinan’ diplomat Amerika pada Arief yang mereka anggap punya cukup akses untuk mendapatkan daftar calon menteri usulan partai dari Ketua Umum Golkar, Agung Laksono.

22. Soal Hubungan Mitra Tomy Winata dengan Presiden Susilo
Soal ini, telegram diplomat Amerika di Jakarta ke Washington merujuk pada informasi dari Alvien Lie, anggota parlemen yang digambarkan berdarah China-Indonesia. Kata telegram, saat masa kampanye Pemilu 2004, dua warga berdarah China aktif mendorong dia untuk bergabung dalam kubu Presiden Susilo. Alvien menyebut nama: Ridwan Soeriyadi (yang digambarkan oleh diplomat Amerika sebagai punya koneksi dengan Partai Demokrat) dan Sugima Kusuma alias Sugianto Kusuma alias Aguan. Telegram bilang kalau dalam sesi terpisah, diplomat Amerika di Jakarta mendengar dari David Lin, bos Kamar Dagang dan Industri Taiwan, kalau dia kerap bertemua Aguan, dan bilang kalau Aguan adalah parner bisnis senior Tomy Winata (digambarkan dalam telegram sebagai “underworld figure”). Lin, kata telegram lagi, mengisyaratkan kalau Aguan punya kepentingan yang sama dengan Tomy meski dia pada dasarnya lebih nyaman dalam berhubungan dengan kalangan diplomat. Telegram lalu membubuhkan catatan akhir: Pada Maret 2003, MajalahGatra mewawancarai Tomy yang isinya antara lain pernyataan Tomy kalau dia dan Sugiyanto punya hubungan. Dalam laporan Gatra, kata telegram, Tomy menggambarkan Sugiyanto sebagai seorang “bos”. Kata telegram, ada kabar burung kalau Sugiyanto dan Tomy adalah anggota “Gang of Nine” atau “Sembilan Naga”, sindikat perjudian papan atas.

[(Catatan Islam Times: dalam mewartawan bagian ini, The Age sama sekali tak menyebut nama Alvien Lie dan Aguan saat menggambarkan Tomy sebagai “underworld figure”. (Tomy belakangan membantah isi pemberitaan The Age). Media Australia itu terkesan hanya mengambil bagian ‘sensasional’ dan menggabungkannya dengan isi telegram lain.

The Age menulis: “In the course of investigating the President’s private, political and business interests, American diplomats noted alleged links between Yudhoyono and Chinese-Indonesian businessmen, most notably Tomy Winata, an alleged underworld figure and member of the “Gang of Nine” or “Nine Dragons,” a leading gambling syndicate.

In 2006, Agung Laksono, now Yudhoyono’s Co-ordinating Minister for People’s Welfare, told US embassy officers that TB Silalahi “functioned as a middleman, relaying funds from Winata to Yudhoyono, protecting the president from the potential liabilities that could arise if Yudhoyono were to deal with Tomy directly”.

Tomy Winata reportedly also used prominent entrepreneur Muhammad Lutfi as a channel of funding to Yudhoyono. Yudhoyono appointed Lutfi chairman of Indonesia’s Investment Co-ordinating Board.

Senior State Intelligence Agency official Yahya Asagaf also told the US embassy Tomy Winata was trying to cultivate influence by using a senior presidential aide as his channel to first lady Kristiani Herawati.”

Dari pemeriksaan telegram yang, semestinya, jadi rujukan The Age, Islam Times mendapati dua paragraf bersambung berikut yang intinya menunjukkan The Age melakukan ‘kesalahan fantastis’ dalam memahami dan memberitakan isi telegram:

“(C/NF) Dave Laksono told us presidential advisor T.B. Silalahi functioned as a middleman, relaying funds from Tomy to President Yudhoyono, protecting Yudhoyono from the potential liabilities that could arise if Yudhoyono were to deal with Tomy directly.”

“(C/NF) State Intelligency Agency (BIN) official Yahya Asagaf told us that Tomy Winata was trying to cultivate influence by using Presidential Secretary Kurdi Mustofa as his channel to First Lady Kristiani Herawati. A contact from the Golkar party told us that, during the 2004 campaign, Tomy also had sought to use Muhammad Lutfi (now Chairman of the Investment Coordination Board) as a channel of funding to Yudhoyono’s campaign.”

Telegram Dari Setan Besar (2):


Salafi wahabi adalah Jama’ah Peliharaan Amerika di Indonesia untuk menghadang pengaruh Iran dan syi’ah.


Salafi wahabi adalah Jama’ah pengkhianat.

Ini bagian kedua dari pemeriksaan Islam Timesatas gulungan kawat diplomat Amerika Serikat di Jakarta yang jatuh ke tangan pengelola situs WikiLeaks dan kini bisa diakses oleh siapa saja. Kami memutuskan memberi perhatian khusus di tengah keputusan banyak media menutup mata pada informasi penting dalam dokumen. Ini lah kisah yang tak ingin didengar diplomat Amerika di Jakarta dan seluruh aset dan orang-orang yang pernah dan mungkin masih bermitra dengan mereka, swasta, partikelir, ataupun pejabat. Sebuah drama berbalut kasak-kusuk, spionase, dan cerita tentang loyalitas yang tergadai.

*****

Dalam tulisan sebelumnya, Islam Times telah memaparkan ‘kesalahan fantastis’ koran tersohor Australia, The Age, dalam memahami dan melaporkan isi sebuah kawat diplomat Amerika di Jakarta yang mereka dapatkan secara eksklusif dari WikiLeaks pada Maret 2011. Pemeriksaan lanjutan menunjukkan kalau koran menerapkan sejenis apartheisme atas mereka yang namanya muncul dalam telegram sebagai informan kedutaan. Koran, misalnya, tak masalah memberitakan kedekatan khusus T.B. Silalahi (bekas pejabat istana) dan Yahya Asagaf (orang dekat Syamsir Siregar, bekas Kepala BIN) dengan kalangan diplomat Amerika di Jakarta. Tapi, saat yang sama, koran seperti sengaja menyembunyikan identitas Yenny Wahid dan Dave Laksono meski telegram yang menjadi rujukan mereka adalah telegram yang sama yang memuat cerita T.B. Silalahi dan Yahya.

Yenny Wahid , bedasarkan sebuah telegram bertajuk “A Cabinet Of One — Indonesia’s First Lady Expands Her Influence (dikawatkan dari Jakarta pada 17 Oktober 2007 dengan status “Rahasia” oleh Joseph Legend Novak, perwira politik kedutaan), adalah “staf kepresidenan yang mengklaim pada medio Juni 2007 kalau sejumlah keluarga Ibu Negara Kristiani Yudhoyono secara khusus mengincar peluang-peluang bisnis di Badan Usaha Negara”. Yenny, kata telegram, menggambarkan Presiden Susilo bermain cantik, mendorong operator-operator terdekatnya (semisal Sudi Silalahi) di depan dan dia sendiri mempertahankan cukup jarak demi mencegah kemungkinan tersangkut.

Dave Laksono adalah putra Agung Laksono (bekas Ketua DPR) yang, dalam sejumlah telegram, digambarkan sebagai “operator politik Agung”. Dia lah yang menyebutkan kalau dalam sebuah pertemuan dengan Agung pada 5 Juni 2007, Presiden Susilo mengeluhkan kegagalannya membangun benteng bisnis yang memadai. “Dave – yang tidak mengindikasikan apakah dia turut hadir dalam diskusi itu – bilang Yudhoyono merasa perlu “mengejar ketertinggalan” dan berspekulasi kalau Presiden mungkin ingin memastikan kelak dia bisa mewariskan harta yang cukup besar untuk anak-anaknya.”.

Dari pemeriksaan lebih jauh, Islam Times mendapati kalau dalam kawat ke Washington, pihak kedutaan juga menerapkan perlakukan berbeda atas informan mereka di Jakarta. Sebagian mereka sebut begitu saja, nama, jabatan ataupun profesi lalu informasi yang mereka bisikkan ke pihak kedutaan. Ini misalnya terjadi pada informan semacam Dave Laksono, T.B. Silalahim, Yahya Asegaf, Fachri Hamzah, Dzulkiflimansyah dan masih banyak lagi. Tapi sebagian nama informan lainnya mereka sebut dengan catatan khusus, “Strictly Protect”, dan sejumlah nama lainnya lagi mereka beri catatan “Please Protect” dan inilah subjek seri tulisan kali ini.


Makna “Strictly Protect” & “Please Protect”

Belum ada informasi resmi, dan mungkin tak akan pernah ada, soal apa makna “Strictly Protect”, secara harfiah berarti “Lindungi Ketat”, dan “Please Protect” (“Tolong Lindungi”) dalam telegram diplomat Amerika. Tapi sebagian kalangan percaya kalau kedua frase ini ‘sensitif’ dan merujuk pada orang-orang yang berbicara dalam kerahasiaan dengan pihak kedutaan. Ada pula yang berpendapat kalau kedua predikat itu berlaku bagi mereka yang memberi informasi secara reguler dan sensitif dan sebab itu lah kedutaan meminta Washington menjaganya rapat-rapat.

(Catatan Islam Times: keberadaan frase “Strictly Protect” dan “Please Protect” dalam telegram telah mendorong pejabat Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat dan kalangan “pegiat hak asasi” menyesalkan keputusan WikiLeaks memajang telegram tanpa sensor. Mereka bilang pemuatan nama bisa membawa dampak memukul bagi kalangan aktivis, jurnalis dan tokoh-tokoh masyarakat sipil yang menjadi informan kedutaan Amerika, utamanya mereka yang tinggal di negara “otoriter”).

Dari pemeriksaan, Islam Times mendapati kalau frase “Strictly Protect” ada di setengah lusin lebih telegram dari Kedutaan Amerika di Jakarta sementara “Please Protect” muncul dalam 38 telegram – dari total 3.059 telegram sekaitan Indonesia sejauh ini. Pemeriksaan lainnya menunjukkan kalau pada setiap mereka yang berstatus khusus itu punya kisahnya tersendiri, yang kemudian menjadi bagian dari informasi penting, dan juga kabar burung, yang dikawatkan para diplomat Amerika di Jakarta ke bos-bos mereka di Washington.

Berikut nama sejumlah pihak yang dalam telegram diplomat Amerika diberi predikat “Strictly Protect”:

1. Yenny Wahid
Nama Yenny Wahid muncul di 16 kawat diplomatik, sejauh ini. (Sebagai perbandingan, “Dave Laksono” muncul di delapan telegram, “Yahya Asagaf” enam telegram, “T.B Silalahi” 17 telegram dan “Kristiani Yudhoyono” delapan telegram). Diplomat Amerika umumnya menggambarkan Yenny sebagai pejabat senior Partai Kebangkitan Bangsa, sekali sebagai staf presiden (catatan: Yenny memang pernah bekerja sebagai staf Presiden Susilo), yang membagi banyak cerita, termasuk kirsuh dualisme kepemimpinan di PKB, soal hubungan khusus FPI dan dan pihak-pihak keamanan (polisi dan intelijen), soal dukungan diam-diam PKB pada pemerintahan Presiden Susilo (di saat Wahid menampilkan diri di media sebagai musuh presiden) dan beberapa soal lainnya.

Namun dari semua itu, di sebuah telegram (bertajuk “Indonesian Biographical And Political Gossip, Q2 2006”, dikawatkan dari Jakarta pada 3 Juli 2006 oleh perwira politik kedutaan, David R. Greenberg), frase “strictly protect” muncul setelah penulisan nama Yenny: “Dalam sebuah pertemuan pada Juni, Deputi Sekretaris Jenderal PKB Yenny Wahid (strictly protect) mengkonfirmasi ke kami kalau orang dekat Yudhoyono yang telah menekan seorang jaksa untuk menjatuhkan putusan yang merugikan Gus Dur dalam kasus yang telah disebutkan lebih dulu … adalah Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi … .”

2. Eko Sandjojo
Sejauh ini, nama Eko Sandjojo hanya muncul sekali dalam kawat diplomatik: “Indonesian Biographical And Political Gossip, Q2 2006”, dikawatkan dari Jakarta pada 3 Juli 2006 oleh perwira politik kedutaan, David R. Greenberg. Dalam sub judul “PKB BUYS FAVORABLE COURT VERDICT”, Greenberg menulis: “Orang yang bersimpati pada Tuan Besar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdurrahman Wahid (alias Gus Dur), membayar hakim Rp 3 miliar (sekitar US$ 322.000), sebagai sogok guna memenangkan sebuah persidangan pada 2006, agar hakim memberi wewenangan sah kepengurusan pada kubu Wahid dan bukan pada musuh-muuhnya. Cerita ini datang dari Presiden Direktur Sierad, Eko Sandjojo (strictly protect), yang juga punya hubungan dekat dengan PKB. Eko mengklaim tahu informasi ini sebab salah seorang pengacara ternama, Soesilo Aribowo, yang juga bekerja untuk Eko (atau Sierad), telah menyalurkan uang itu ke hakim-hakim.”

(Catatan Islam Times: PT Sierad Produce Tbk adalah perusahaan pakan ternak yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek Jakarta.)

3. Poempida Hidayatulloh
Nama Peompida muncul di setidaknya sembilan kawat diplomatik. Diplomat Amerika memasang frase “Strictly Protect” untuk dia saat mengirim kabar berikut ke Washington pada 3 Juni 2006: “Bekas Komando Kopassus Prabowo Subianto kerap naik penerbangan komersil ke Bangkok untuk bersua pacarnya, seorang gadis Thailand yang tinggal di sana, menurut Deputi Bendahara Partai Golkar Poempida Hidayatulloh (strictly protect), yang sebelumnya punya hubungan dekat dengan Prabowo. Poempida mengklaim kalau Prabowo telah membuatkan sebuah perusahaan bisnis untuk pacarnya itu, dan pasangan itu cukup akrab hingga mereka semestinya sudah menikah andai Prabowo tak mencemaskan dampak berlanjut punya seorang istri berkewarganegaraan asing pada ambisinya merebut kursi kepresidenan.”

4. S. Eben Kirksey
Telegram menggambarkan dia adalah “seorang akademisi Amerika” yang ikut menulis laporan kemungkinan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam kasus terbunuhnya dua orang warga Amerika dan seorang warga lokal di Timika, Papua, pada tahun 2002. Saat menuliskan nama Eben dalam telegram, diplomat Amerika memasang himbauan “please strictly protect”.

Islam Times mendapati kalau ada cerita besar yang mengiringi masuknya nama Eben dalam telegram. Sebuah kontroversi yang lain dan ini melibatkan nama Andreas Harsono, seorang yang dalam telegram digambarkan sebagai “penulis freelance tersohor”, dan menjadi mitra Eben dalam menulis laporan kontroversial soal insiden berdarah di Timika. (Catatan Islam Times: Lebih jauh soal laporan bersama Eben dan Andreas soal insiden berdarah di Timika, berjudul Murder at Mile 63 bisa dilihat di http://andreasharsono.blogspot.com/2008_08_01_archive.html dan http://www.etan.org/news/2007/04mile63.htm)

Telegram bertajuk “Labor/human Rights Contacts Allege Harassment, Possibly By Goi Agencies”, dikawatkan dari Jakarta pada 2 September 2008, oleh perwira politik kedutaan, Joseph L. Novak, merangkum isi pertemuan antara pihak kedutaan dan Andreas pada 26 Agustus 2008. (Andreas digambarkan lebih jauh sebagai seorang tokoh pergerakan demokrasi dan kebebasan pers di era-Suharto dan juga sebagai penerima beasiswa ternama Nieman Fellow di Harvard University).

Dalam rangkuman atas laporan, Novak menulis: “Seorang penulis freelance ternama Indonesia – dan seorang bekas fellow di Harvard – bilang ke Labatt (Labour Attache, red. Islam Times) kalau dia percaya dia sedang dalam intaian lembaga-lembaga intelejen pemerintah Indonesia. Dia bilang kalau ini mungkin karena laporan investigasinya atas isu-isu hak asasi manusia. Dia meminta USG (United Stated Goverment, red. Islam Times) menyimpan rapat-rapat urusan ini sementara waktu agar tak menambah besar perhatian atas dirinya. Kontak-kontak di organisasi buruh juga membisikkan ke Labatt seputar apa yang mereka tuduhkan sebagai pengintaian dan pelecehan oleh lembaga-lemabga intelijen. Jika akurat, kasus-kasus ini mungkin terkait dengan meningkatnya kepekaan Pemerintah Indonesia menjelang Pemilu 2009 … .”

Telegram lebih jauh juga menjelaskan hal yang melatari terjadinya briefing Andreas pada pihak kedutaan. Kata telegram: Andreas mengirim sebuah pesan ke organisasi hak asasi manusia di Amerika, yang memuat kecemasannya, yang kemudian diteruskan oleh DRL (Departement of Right & Labour, red. Islam Times) ke Labatt. Harsono bilang ke Labatt kalau pihak kedutaan maupun DRL sebaiknya tak mengambil langkah apapun yang bisa mengundang perhatian atas dirinya, dan pesan apapun yang mungkin kita sampaikan ke Pemerintah Indonesia atas nama dirinya mungkin tak akan membantu. Dia bilang dia tak begitu percaya kalau dirinya dalam bahaya meski dia sedikit cemas. Kami berjanji untuk bertemu secara reguler untuk memonitor situasi.”

(Catatan Islam Times: dari pemeriksaan arsip media Jakarta, Andreas pernah diberitakan bekerja untuk Human Right Watch, organisasi pemantau hak asasi berbasis New York. Dia juga belakangan sempat diberitakan sebagai pihak awal yang ikut mempublikasi video sadis pembantaian orang-orang Ahmadiyah di Banten ke situs YouTube.com yang kemudian memicu kehebohan publik lalu kecaman dari Kementrian Luar Negeri Amerika yang menuding minimnya perlindungan negara pada apa yang mereka sebut sebagai kelompok-kelompok minoritas. Pada 5 September, Kantor Berita 68H sempat mewawancarai Andreas, meminta komentarnya sekaitan apa yang mereka sebut keyakinan FPI kalau dokumen WikiLeaks hanya ‘permainan’ kedutaan Amerika. Andreas nampaknya belum sadar – atau mungkin pura-pura tidak tahu – kalau namanya ikut menghiasi dokumen WikiLeaks. Soal terakhir bisa dilihat di: http://www.kbr68h.com/berita/wawancara/11813-andreas-harsono-buktikan-kedekatan-polisi-fpi-)

5. Agus Mantik, A.S. Kobalen, Made Erata, Gusti Widana
Keempat nama ini hanya sekali muncul dalam telegram, yakni telegram bertajuk “Hindus Lament “islamization” Of Indonesia”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Sanjay Ramesh, pada 1 Februari 2007: “Pada 24 Januari, Poloff (political officer, red. Islam Times) menggelar pertemuan dengan beberapa pejabat Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) termasuk pimpinannya Agus Mantik, Direktur Komunikasi Internasional A.S. Kobalen, Kepala Pengurus Harian Made Erata, dan Sekretaris Jenderal Gusti Widana. (Strictly Protect) … .”

Dalam rangkuman telegram, Ramesh menulis: “Beberapa pemimpin ternama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PDHI) bilang ke kami kalau komunitas Hindu menghadapi peningkatan diskriminasi di tangan sebuah pemerintah dan komunitas Muslim Indonesia yang gemar mengislamkan kalangan lain. Dalam sebuah diskusi pada 24 Januari, mereka mengklaim kalau “Islamisasi Indonesia” telah berujung pada sebuah peraturan pemerintah tentang pembangunan tempat beribadah, yang telah diberlakukan dan mereka anggap punya syarat-syarat yang berat bagi kelompok-kelompok agama minoritas yang ingin membangun tempat ibadah yang baru. Bos-bos PHDI menuduh kalau umat Hindu di Jawa yang ingin mendapatkan layanan publik, termasuk akte lahir dan surat nikah, menghadapi diskriminasi yang menyeluruh. Bos-bos PHDI bilang kalau nestapa umat Hindu hanya mendapat sedikit perhatian mengingat komunitas Hindu tak punya dukungan internasional dan sumber-sumber keuangan seperti halnya umat Kristiani … .”

6. Georges Paclisanu
Nama Georges Paclisanu, bos besar Palang Merah Internasional, muncul dalam telegram bertajuk “Acehnese Villagers Exhuming Conflict Victims’ Graves”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Stanley J. Harsha, pada 18 Oktober 2006.

“Orang-orang desa di Aceh menggali kuburan mereka yang mati dibunuh dalam konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia, kata George Paclisanu (strictly protect), Kepala Delegasi Parang Merah Internasional (ICRC), ke kami belum lama ini,” kata telegram.

Isi telegram selebihnya menceritakan apa yang didengar dan dilihat sendiri oleh Georges saat menyaksikan pembongkaran kubur itu dalam sebuah kunjungan ke Aceh, plus penilaiannya atas dampak konflik di Aceh, sebuah isyarat adanya pelanggaran janji ‘kenetralan’ dalam kerja ICRC di Indonesia.

7. Wakil Indonesia dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan Timor Leste-Indonesia (CTF)
Dalam telegram bertajuk “East Timor/Indonesia Final Report Holds Goi Institutions Accountable”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Joseph Legend Novak, pada 24 April 2008, seseorang yang digambarkan sebagai “wakil Indonesia” di CTF menunjukkan ke seorang perwira politik kedutaan Excutive Summary laporan final CTF pada 22 April.

Kata telegram, laporan intinya menyebutkan kalau secara institusi, Pemerintah Indonesia, bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi berat di Timor Timur pada 1999. “Laporan menyebut personel militer, polisi dan pejabat sipil yang berkontribusi pada kekerasan via kerjasama mereka dengan milisi-milisi pro-integrasi.”

Telegram juga bilang: “Sumber orang Indonesia ini (strictly protect) telah meminta kalau semua referensi yang bisa merujuk pada dirinya dan fakta dari laporan yang kami lihat dirahasiakan mengingat laporan itu belum beredar secara resmi di pihak pemerintah Indonesia dan Timor Leste. Executive Summary dan naskah lengkap laporan final baru akan diserahkan ke presiden masing-masing negara dalam beberapa hari ke depan.”

8. Court Monitor
Court Monitor adalah nama sebuah lembaga berbasis Indonesia yang menyediakan jasa pengintaian dan pengamatan untuk Kedutaan Amerika. Ada sejumlah telegram yang menggambarkan tentang sepak terjang lembaga ini, meski tak ada satupun nama yang muncul tentang siapa sosok di baliknya.

Tapi sebuah telegram bertajuk “Terrorist Trials — New Funding Needed For Court Monitor”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Stan Harsha (kemungkinan ini nama pendek Stanley R. Harsha, red. Islam Times), pada 28 November 2007, dengan status RAHASIA, mungkin bisa memberi pengancar yang cukup. Dalam rangkuman telegram, Stanley menulis: “Dalam dua tahun terakhir, sebuah lembaga sewaan lokal, Court Monitor, telah menyediakan informasi berharga sekaitan persidangan hampir semua teroris paling berbahaya Indonesia. Di tengah kondisi kas yang menipis, Kedutaan meminta pendanaan baru dari Departemen (Luar Negeri, red. Islam Times) agar hubungan produktif ini bisa berlanjut. Dengan dukungan dana Tahun Anggaran 2005, Court Monitor telah mengamati dan secara rahasia melaporkan ke kami persidangan lebih dari 75 teroris, umumnya terkait jaringan teror Jamaah Islamiyah, dan menyediakan ke kami salinan dokumen pengadilan yang biasanya tak bisa diperoleh. Monitor juga telah membina hubungan dengan pihak pengacara yang tergabung dalam Tim Pembela Muslim (TPM), yang kemudian menjadi sumber informasi tambahan. Monitor adalah aset berharga dalam upaya counter-terorisme Kedutaan di Indonesia, dan sebab itu menjadi penting menjaga keberlanjutannya.”

Isi telegram memberi gambaran lebih dalam soal Court Monitor. Telegram menggambarkan tokoh utama dalam Court Monitor adalah “seorang perempuan” yang secara rutin menyediakan ke pihak Kedutaan informasi sekaitan dakwaan atas terdangka kasus-kasus terorisme, kualitas dakwaan, dan strategi tim pengacara yang terlibat. Perempuan ini – disebutkan juga digambarkan menyerahkan seabrek dokumen, termasuk dokumen dakwaan, replik, duplik, dan putusan pengadilan, sesuatu yang membuat Kedutaan punya “otoritas” dalam melaporkan jalannya persidangan.

Telegram juga bilang kalau hubungan sang perempuan pemilik Court Monitor dan Kedutaan “so sensitif” hingga tak dipublikasi dan identitasnya “strictly protected”. Informasi lain menggambarkan dia sebagai “perempuan Indonesia yang mampu berbahasa Inggris, punya latar belakangan hukum dan kehadirannya di banyak persidangan kasus terorisme menjadi leluasa dan tak mengundang perhatian sebab dia menggunakan jubah “penelitian hukum”, dan sebab itu pula kaitannya dengan Kedutaan tak terungkap. Telegram juga bilang kemampuan sang perempuan melakukan semua itu “sangat penting”, menghilangkan relevansi kedutaan mengirim orang ke persidangan yang justru bisa “memperkuat kredibilitas tim pengacara terdakwa terorisme”.

Telegram juga bilang kalau Kedutaan meminta pendanaan tambahan US$ 20.000 untuk “membina hubungan” dengan Court Monitor hingga dua tahun setelahnya. Kata telegram, angka itu adalah “investasi murah” untuk hasil yang “substansial”.

Dalam telegram lain, kedutaan menggambarkan perempuan pemilik Court Monitor bisa mengakses ‘pertahanan terdalam’ TPM, termasuk pembicaraan rahasia antara TPM dan para terdakwa yang mereka dampingi, tanpa identitasnya sebagai kontraktor untuk Kedutaan pernah terbongkar. Sang karyawan kontraktor juga disebutkan melaporkan banyak kerjasama dan kendala pihak kejaksaan dan Datasemen 88 dalam persiapan dakwaan atas para terdakwa kasus terorisme, kelemahan-kelemahan tim pengacara terdakwa.

(Catatan Islam Times: Islam Times sejauh ini tak menemukan ada referensi di media Jakarta soal Court Monitor sama sekali. Di sisi lain, sukar pula untuk membayangkan cerita yang hendak dibangun pihak kedutaan kalau seorang perempuan tangguh bisa mengikuti banyak persidangan kasus-kasus terorisme yang kerap berlangsung di hari yang sama di provinsi yang terpisah jauh. Ini kemudian membuka peluang hipotesa kalau Court Monitor bisa jadi adalah sebuah lembaga yang melibatkan banyak kepala dengan sang perempuan cakap berbahasa Inggris itu sebagai pimpinannya. Sekaitan dengan itu, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah reporter kami mendengar kalau Sydney Jones, peneliti Internasional Crisis Group, telah merekrut dan memperkerjakan wartawan dalam jumlah yang tak diketahui untuk mengumpulkan dokumen persidangan kasus-kasus terorisme, kurang lebih seperti gambaran kegiatan Court Monitor dalam kawat diplomat Amerika. Sydney cukup fasih berbahasa Indonesia meski, harus kami sebutkan, dia bukan warga negara Indonesia. Beberapa reporter kami juga mendengar kalau beberapa wartawan dan peneliti yang bekerja untuk dia cukup lihai untuk membangun kedekatan dan koneksi dengan kubu TPM. Dari pemeriksaan dokumen WikiLeaks, Islam Times tidak ada atribusi “strictly protect” dalam sejumlah telegram yang di dalamnya menyebut Sydney Jones. Namun, dalam beberapa telegram yang lain, ada atribusi “Please Protect” untuk Sydney Jones.)

Berikut adalah sejumlah orang dan lembaga yang dalam telegram kedutaan mendapat predikat “Please Protect”:

1. Sydney Jones
Dalam sebuah telegram bertajuk “With Death Of Key Terrorist Confirmed, Police Continue Full-court Press”, dikawatkan dari Jakarta pada 23 September 2009 oleh perwira politik kedutaan, Joseph L. Novak, disebutkan: “Banyak ahli konterterorisme telah berspekulasi ihwal siapa yang bisa mengambil alih pucuk pimpinan organisasi pecahan JI … Penasihat Senior International Crisis Group (ICG) Sidney Jones (Amcit—please protect) berspekulasi bahwa seorang teroris bernama Reno (hanya satu nama) bisa jadi mengambilalih pucuk pimpinan organisasi pecahan, kendati dia dengan cepat bilang bahwa JI tak perlu struktur pimpinan formal untuk menggelar operasi … .”

(Catatan Islam Times: atribusi Please Protect juga melekat pada nama Sydney Jones dalam sedikitnya lima telegram lain bertema penungkapan kasus “terorisme”.)

2. Kontak di Indonesia Corruption Watch (ICW)
Sebuah telegram bertajuk “Scrutiny Of Bank Century Bailout Iccreases”, dikawatkan dari Jakarta pada 6 November 2009, langsung oleh Duta Besar Cameron Hume, menyebutkan: “Seorang informan Kedutaan yang terpercaya di Indonesia Corruption Watch (PLEASE PROTECT) bilang ke kami kalau dia mengetahui bahwa dana-dana Bank Century telah digunakan untuk membiayai kampanye pemilihan ulang Presiden Yudhoyono. Dia percaya kalau informasi itu kredibel … .” (Catatan Islam Times: penulisan huruf kapilita “Please Protect” hanya tercantum dalam telegram ini dari 3.059 telegram yang berasal dari Kedutaan Amerika di Jakarta di situs WikiLeaks sejauh ini).

3. Henry Durant Centre for Humanitarian Dialogue
Sebuah telegram bertajuk “Papua — Tentative New Efforts To Address Grievances”, dikawatkan dari Jakarta pada 6 Maret 2009, membahas penilaian diplomat Amerika atas The Papua Roadmap besutan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Di salah satu bagian telegram tertera keterangan: “para pejabat LIPI terus membangun dukungan untuk Roadmap dalam pemerintahan dan telah mencari masukan dari Henry Durant Centre for Humanitarian Dialogue yang berbasis di Jenewa (please protect).”

4. David Cohen
Dalam telegram bertajuk “Human Rights — Encouraging Indonesia To Implement Truth Commission Report”, dikawatkan dari Jakarta pada 20 Oktober 2008, perwira politik kedutaan, Joseph L. Novak, menyebutkan kalau dalam sebuah pertemuan, seorang warga Amerika yang bekerja sebagai penasihat untuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste (CTF) telah mengungkap sejumlah cara “mempercepat implementasi rekomendasi CTF untuk reformasi sektor keamanan di Indonesia via pendidikan hak asasi”. Sang penasihat itu juga menyarankan kalangan LSM melapangkan jalan dengan gencar mempublikasi laporan CTF, agar kesimpulan tentang pelanggaran hak asasi di Timor Timur dan perlunya reformasi bisa diketahui orang banyak. Telegram menggambarkan lebih jauh tentang sang penasihat: “David Cohen (AmCit – please protect), Direktur Barkeley War Crimes Studies Center di University of California, membriefing DepPol/C pada 10 Oktober sekaitan kemajuan implementasi laporan CTF, disebarkan untuk umum pada 15 Juli. (Catatan: Cohen saat ini adalah seorang konsultan bagi pemerintah Indonesia dan Sekretaris ASEAN, di luar pekerjaannya di Berkeley … .”

5. Komunitas Yahudi Surabaya
Dalam sebuah telegram bertajuk “Special Envoy Rickman Meets With Jewish Community In Surabaya”, dikawatkan dari Jakarta pada 7 Augustus 2008, Principal Officer Konsulat Amerika di Surabaya, Caryn R. McClelland, menuliskan ikhtisar berikut: “Utusan Khusus untuk Pengamatan & Perlawanan Anti Semitisme, Gregg Rickman, berkunjung ke Surabaya pada 30 Juli 2008, usai mampir di Jakarta. Rickman, ditemani Karen Paikin, dari Kantor Pengamatan dan Perlawanan Anti-Semitisme, dan Yakov Barouch, seorang Rabbi yang tinggal di Jakarta, berkunjung ke synagogue, satu dari hanya dua di Indonesia, dan sebuah pekuburan Yahudi, dan bertemu dengan anggota komunitas Yahudi, yang jumlahnya kurang dari 20 orang.”

Telegram lalu menjelaskan lagi: “Sinagog di Surabaya, awalnya sebuah rumah dan kantor dari seorang dokter warga negara Belanda, telah berfungsi sebagai sinagog sejak 1939. Tak ada pengamanan kcuali sebuah pagar besi rendah yang membalut bangunan. Anggota Keluarga Sayur bertindak sebagai pengurus sinagog dan tinggal di sebuah rumah yang bertetanggaan … Joseph Sayer dan istrinya Rivka tinggal di sana dengan seorang anak perempuan, Hanna, dan seorang cucu (please protect). Dua cucu lainnya saat ini sedang belajar di luar negeri: satu di Inggris dan satu di Amerika. Keluarga Sayer memegang paspor Belanda, tapi menetap di Indonesia seumur hidup mereka.

“…Rickman juga menemui Helen Nasim (please protect) di kediamannya. Dia punya seorang putra dan seorang cucu. Dia mengungkapkan pesimisme seputar peluang keluarganya tetap di Indonesia, dan bilang kalau dia selalu berusaha merahasiakan identitas keyahudiannya … .”

7. Doug Ramage
Dalam sebuah telegram bertajuk “Major Political Party Under Pressure”, dikawatkan dari Jakarta pada 16 Juli 2008, diplomat Amerika di Jakarta menuliskan: “ … Doug Ramage (AmCit–please protect), pimpinan Asia Foundation Office di Jakarta, bilang ke kami belum lama ini kalau “Golkar tak memproyeksikan sebuah citra bahwa ia siap menyelesaikan persoalan-persoalan yang ditanggung rata-rata orang.” … .”

8.Arief Budiman
Diplomat Amerika menggambarkan Arief sebagai “asisten” Ketua DPR Agung Laksono. Beberapa telegram menunjukkan kalau dari Arief lah kalangan diplomat Amerika bisa mengetahui langkah-langkah Agung dalam membina hubungan dengan kalangan parlemen di Iran. Dari sumber yang sama pula, diplomat Amerika bisa mendengar lebih awal tentang langkah-langkah politik pilihan pemerintah sekaitan program pembangkit nuklir Iran yang ditentang habis-habisan oleh Amerika, tentang hal-hal yang dikerjakan Presiden Yudhoyono kala berkunjung ke Tehran dan apa saja isi pembicaraan antara Agung dan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, saat yang terakhir berkunjung ke Jakarta. Di telegram lainnya, diplomat Amerika menggambarkan Agung sebagai sudah lama bersimpati pada Iran.

9. Michael Vatikiotis
Dalam sebuah telegram tertanggal 31 Oktober 2007, diplomat Amerika di Jakarta menggambarkan pertemuan mereka dengan Michael Vatikiotis, Direktur Regional Henry Dumont Centre for Humanitarian Dialogue, sehari sebelumnya. Subjek diskusi adalah politik Myanmar. Kata telegram: “Vatikiotis, (please protect), yang berbasis di Singapura, rutin dan very lucid interlocutor dalam sejumlah isu resolusi konflik, termasuk di Timur Tengah.” Telegram lebih jauh menyebutkan gagasan Vatikiotis seputar diplomasi di Myanmar dan bilang kalau pandangannya saat pertemuan “tidak sepenuhnya menggambarkan pandangan pemerintah Indonesia.”

10. Edwin Gerungan
Sebuah telegram sekaitan langkah Bank Mandiri membekukan rekening perusahaan Korea Utara menyebut nama Edwin Gerungan. Dalam telegram bertajuk “Bank Mandiri Closes Dprk Accounts”, dikawatkan pada 14 Agustus, disebutkan: “Pimpinan Board of Commissioners di Bank Mandiri Indonesia, Edwin Gerungan (please protect), bilang ke kedutaan pada 9Augustus kalau Mandiri telah menghentikan hubungan dengan dua bank Korea Utara pada Juli: Korea Daesong Bank dab Foreign Trade Bank … .”

12. Dr. Djaloeis
Dalam rangkuman telegram bertajuk “Political Intrigue Imperils Bapeten’s Chairman Job”, dikawatkan pada 28 Mei 2004, tercantum keterangan: Pimpinan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) Dr. Djaloeis (please protect) mengungkapkan ke kami pada 25 Juli bahwa sebuah intrik politik yang melibatkan salah seorang deputinya dan Menteri Riset dan Teknologi Hatta Rajasa, dan sebuah kelompok radikal yang sebelumnya tak diketahui dan bernama Tharbyah kemungkinan mengancam posisinya.” Djaloies, kata telegram, juga mengungkapkan kalau sebuah surat yang memuat pencapaiannya dan rencana-rencananya untuk Bapeten di masa datang berhasil meyakinkan Presiden Megawati untuk memperpanjang masa jabatannya lebih dari usia pensiun pegawai negeri umumnya, yakni 60 tahun.

*****

Di Jakarta hari-hari ini, orang-orang yang berstatus “strictly protect” dan “please protect” di dalam dokumen WikiLeaks mungkin masih bisa sedikit tenang. Pemerintahan Presiden Susilo sejauh ini memilih ‘menganggap sepi’ semua bocoran WikiLeaks, mungkin sebab banyak di antaranya bercerita tentang rumor miring keluarga presiden, mungkin pula sebab membicarakan dokumen sama saja ‘mengamputasi’ diri sendiri, di tengah fakta banyaknya telegram yang memuat cerita kontak rutin hampir semua kalangan, dari politisi, pejabat, polisi, tentara, birokrat, pegiat media dan LSM, dengan kalangan diplomat Amerika (bagian ini bakal menjadi subjek pembahasan Islam Times berikutnya).

Sementara itu, media-media nasional, besar maupun kecil, nampaknya memilih menggunakan ‘kaca mata kuda’; seperti sengaja hanya memfokuskan pemberitaan pada informasi ‘percintaan gelap’ FPI-Polisi-Intelijen plus soal kasus pembunan Munir dalam dokumen WikiLeaks dan melupakan puluhan ribu dokumen lainnya yang notabene menawarkan kontroversi dan keaktualan yang tinggi — dan semua ini otomatis menjadikan publik buta dari kebenaran.

Di sisi lain, pihak Kedutaan Amerika di Jakarta – sejauh ini memilih tak mengomentari apapun sekaitan dokumen di WikiLeaks– mungkin pula telah menghubungi para penyandang status “strictly protect” untuk meminta ‘permakluman’, meredam ‘kekagetan’ dengan harapnya bisa tetap mendapatkan ‘loyalitas’ dari pihak yang telah mereka sedot informasinya.

Tapi dokumen WikiLeaks adalah gulungan kawat rahasia yang kini bebas diakses siapa saja. Cepat atau lambat, mata orang banyak bakal terbuka. Kini, di hadapan penguasa Jakarta, ada peluang emas, kesempatan besar untuk menunjukkan moral tinggi bangsa. Mereka hanya perlu merangkul kembali anak-anak mereka yang telah terpedaya oleh ‘kedigdayaan’ dan mulut manis para diplomat Amerika di Jakarta. Siapa tahu dari situ kita semua bisa melihat sisi-sisi lain laku diplomat Amerika yang tak terekam dalam gulungan kawat WikiLeaks. [Islam Times/K-014/Redaksi Islam Times]


Telegram dari Setan Besar (Tamat); Sangkur Besar

Ini tulisan ketiga sekaligus yang terakhir dari Islam Times sekaitan kawat diplomat Amerika Serikat yang jatuh ke tangan pengelola website WikiLeaks. Bahannya merujuk pada 3.000 lebih telegram yang bersumber dari Kedutaan Amerika di Jakarta – muncul tanpa sensor pertama kali di WikiLeaks pada awal September dan hingga kini, secara misterius, tak tersentuh oleh hampir semua media di Jakarta. Inilah kisah yang tak ingin didengar kalangan diplomat Amerika dan semua informan mereka. Sebuah cerita tentang tusukan infiltrasi yang sistematis dan perihnya nasib republik yang takluk di kaki Kedutaan Amerika.

*****

PADA 5 September 2011, koran berbahasa Inggris, The Jakarta Globe, menurunkan komentar seorang juru bicara presiden atas bocoran telegram diplomat Amerika di situs WikiLeaks. Pemerintah “tak akan memberi tanggapan apapun”, kata Julian Aldrin Pasha, menyampaikan sikap resmi pemerintah. Katanya: informasi yang tertera di WikiLeaks “jauh dari kredibel” sebab berasal dari “sumber-sumber sekunder”.

Tapi dari pemeriksaan sepekan lebih atas gulungan kawat kontroversial di WikiLeaks, Islam Timesmendapati kalau Julian cenderung menutup fakta dan hanya mengungkap apa yang dia ingin publik dengarkan. Dari penelisikan, khususnya atas 3.059 kawat diplomatik yang bersumber dari Kedutaan Amerika di Jakarta, kami justru menemukan kalau porsi terbesar telegram diplomat Amerika datang dari ‘tangan pertama’ – dan sebab itu layak beli dan mendapat perhatian pemerintah, atau begitulah hemat kami. Kami telah mengungkap sebagian kecil isi telegram yang seperti itu dalam dua tulisan sebelumnya. Tapi sejatinya, masih banyak yang tak tersentuh dan hingga detik ini tetap jadi misteri bagi publik, utamanya di tengah kekompakan banyak media untuk menutup mata pada informasi sensitif, kontroversial dan menyangkut hajat hidup dan maruah bangsa di dalamnya. Ini misalnya termasuk sejumlah telegram yang merekam konsesi besar yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Kedutaan Amerika dan pilihan presiden untuk bermanis-manis dengan Israel – anak bejat Amerika di Timur Tengah yang hingga kini tak diakui keberadaannya oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Ambil contoh telegram bertajuk “President’s Chief Of Staff Ready To Make Potus Visit To Indonesia A Success”, dikawatkan oleh Duta Besar Amerika saat itu, Cameron R. Hume, pada 10 September 2009, menjelang rencana kunjungan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama (yang kemudian batal dan baru terlaksana pada November 2010). Dalam subjudul “Embassy Land”, Hume menulis: “Rajasa mengkonfirmasi kalau Presiden Yudhoyono tak mengharuskan adanya persetujuan parlemen sebelum memberikan restu pada Kedutaan Amerika Serikat untuk membeli MMS3, petak lahan yang diperlukan untuk membangunan sebuah chancery (nampaknya ini istilah untuk gedung arsip, red. Islam Times). Dia menambahkan kalau Menteri Keuangan telah menyetujui pembelian itu, dan bahwa tak ada lagi hambatan bagi terbitnya surat presiden yang memungkinkan transaksi terlaksana.”

Rajasa dalam telegram merujuk pada sosok Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dari pemeriksaan arsip media Jakarta di Internet, kami gagal mendapati jejak kabar adanya transaksi penjualan tanah negara ke pihak Kedutaan Amerika dalam rentang lima tahun terakhir.

Pemeriksaan lanjutan atas empat telegram bermarka SECRET lainnya, menunjukkan kalau Kedutaan Amerika telah meniatkan perluasan bangunan kedutaan sejak akhir 2007. Yang mereka incar adalah dua petak lahan yang, dalam sejumlah telegram, mereka beri kode MMS3 dan MMS4. Satu lahan digambarkan sebagai lahan siap beli dan satunya lagi mereka niatkan kepemilikannya via transaksi tukar guling lahan. Tak ada informasi pasti soal lokasi persis kedua lahan. Tapi sejumlah detil dalam telegram memberi gambaran kalau dua petak tanah itu adalah milik negara dan dalam penguasaan Kementrian Keuangan, kala itu.

Telegram bilang lokasi kedua tanah itu “berdekatan” dengan Kantor Wakil Presiden. Informasi lain dalam telegram bilang kalau di kedua tanah itu, Kedutaan Amerika akan mendirikan gedung baru kedutaan yang “lebih tinggi” dari kantor Wakil Presiden, dengan total dana proyek US$ 300 juta (setara Rp 3 triliun dengan kurs 1US$=Rp 10.000). Kalangan diplomat Amerika juga terekam bilang kalau soal “ketinggian bangunan” dan “keamanan” rancang gedung baru Kedutaan Amerika “sudah selesai”. Mereka telah meminta restu pada Jusuf Kalla (wakil presiden saat itu) dan juga pemerintah kota Jakarta. Mereka juga telah meminta Kalla untuk membantu pengurusan pembelian tanah ke Kementrian Keuangan.

Sementara itu, dalam sebuah telegram lainnya, Duta Besar Amerika, Cameron Hume, terekam menekan Sri Mulyani (Menteri Keuangan saat itu) untuk merespon pertanyaan kedutaan terkait harga MMS3 dan nilai tukar guling MMS4. Hume bilang kalau Sri Mulyani menerima “sudut pandang kedutaan” kalau Undang-Undang Perbendaharaan Negara No. 1 Tahun 2004 “nampaknya memberi pengecualian pada tanah yang digunakan untuk kantor-kantor kedutaan asing”. (Catatan Islam Times: Pasal 45 dan 46 Undang-Undang Perbendaraan Negara memestikan adanya persetujuan DPR/DPRD dalam setiap transaksi “pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan,dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah”. Kekecualian, seperti disebutkan dalam pasal 46, hanya berlaku pada tanah yang :

(1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
(2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran;
(3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
(4) diperuntukkan bagi kepentingan umum;
(5) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.)

Telegram juga bilang kalau Sri “percaya tak ada hambatan legal untuk tukar guling properti” dengan pihak Kedutaan Amerika.

Di arsip WikiLeaks sejauh ini, tak ada telegram yang memuat informasi seputar detil transaksi, khususnya waktu pelaksanan, nilai transaksi, dan siapa-siapa saja yang terlibat. Tapi bila fakta di lapangan jadi rujukan, transaksi yang digambarkan dalam telegram nampaknya telah terlaksana.

Dalam satu dua tahun terakhir, Islam Times mendapati tanah kosong (bekas markas Polisi Militer) yang bersisian dengan sisi selatan tembok Kedutaan Amerika, telah dipagari dan dipasangi plang bertuliskan bertuliskan: “Tanah Ini Milik Perusahaan Swasta … .” Meski diklaim sebagai “milik swasta”, sejumlah reporter kami melaporkan kalau petugas keamanan Kedutaan Amerika kerap keluar masuk lahan “milik swasta” itu. Petak tanah itu bersebelahan dengan sebuah petak tanah lain yang tak berpenghuni, bersisian dengan kantor milik PT Telkom. Jika Kedutaan Amerika Serikat benar telah menjadi pemilih sah kedua lahan itu, ini nampaknya sebuah ironi yang lain. Di Stasiun Gondangdia, hanya selemparan batu dari lokasi bakal bangunan baru Kedutaan Amerika, ada ratusan tunawisma yang setiap malam tidur di emper stasiun hanya beralaskan selembar koran.

Tapi soal transaksi penjualan tanah negara itu mungkin belum serapa dibanding kontroversi yang bisa muncul dari telegram yang merekam langkah rahasia Presiden Susilo membangun komunikasi dengan Israel. Dalam telegram berjudul “Indonesia Seeking Higher Profile In Middle East?”, dikawatkan pada 31 Januari 2007 oleh perwira politik kedutaan, Catherine E. Sweet, menulis: “SBY telah mengirim para penasihatnya untuk bertemu dengan pihak-pihak di Lebanon, Palestina dan, secara rahasia, Israel.” Catherine bilang semua itu dilatari keinginan presiden “memainkan peran di Timur Tengah”. Detail dari kisah ini berlimpah dalam tiga paragraf berikut (markas S di awal paragraf merujuk pada kode SECRET, rahasia):

“(S) Di belakang layar SBY sudah dua kali mengirim penasihat khususnya, T.B. Silalahi, ke Israel. Menurut Ilan Ben-Dov, Duta Besar Israel di Singapura, Silalahi bertemu dengan Perdana Menteri Olmert sebelum pengerahan pasukan UNIFIL (Tentara Indonesia masuk dalam formasi pasukan penjaga perdamaian UNIFIL di Lebanon, red. Islam Times). Meski Israel tak berharap bakal ada hubungan diplomati penuh atau kunjungan balasan dari seorang menteri kabinet, Ben-Dov bilang, mereka tertarik untuk membuka sebuah jalur dengan Indonesia dan sementara mencari jalan kemungkinan penyaluran bantuan.

(S) Mengingat sensitivitas politik, SBY menjadikan perjalanan Silalahi sangat tertutup, bahkan bagi kalangan orang-orang pemerintahan. Ben-Dov melaporkan kalau saat dia mengungkap perjalanan Silalahi ke Israel pada juru bicara SBY, Dino Patti Djalal, yang terakhir mengisyaratkan kalau dia tak ingin terlibat, memilih Silalahi yang mengontrol penuh urusan. Sebagai seorang Kristen tanpa ambisi politik, kata Djalal, Silalahi “aman”. Saat pemerintah Israel mendekati Utusan Khusus SBY untuk Timur Tengah, Alwi Shihab, Ben-Dov bilang kalau Silalahi marah, bilang kalau SBY tak ingin Shihab terlibat … .”

“(S) Pada 26 Januari, Silalahi membriefing kami sekaitan perjalanan keduanya ke Timur Tengah atas nama SBY, kali ini ke Israel dan Lebanon pada akhir November. Sekalipun dia tak secara khusus bercerita banyak seputar kunjungannya ke Israel, dia menyebut pertemuannya dengan Presiden Olmert “produktif”.”

Di paragraf terakhir, telegram mencantumkan “pandangan Silalahi kalau Indonesia tak ingin memainkan peran lebih aktif di Timur Tengah”. Usai berkunjung dan memberikan rekomendasi sekaitan Timur Tengah, kata Silalahi dalam telegram, Presiden SBY bilang Indonesia “masih perlu fokus pada urusan dalam negeri”. Kata Silalahi, pernyataan itu adalah “gaya Jawa SBY untuk bilang kalau dia tak ingin meneruskan urusan ini lebih jauh lagi”.

*****


Di luar telegram yang bercerita soal rahasia gelap Presiden Susilo, Islam Times juga menelisik hampir 200 telegram bermarka “SECRET”, “SECRET/NOFORN” dan “CLASSIFIED” yang tak terjamah dalam dua tulisan kami sebelumnya. Pemeriksaan membawa kami pada sebuah gambaran besar tentang laku dan kegiatan ‘ekstra kulikuler’ kalangan diplomat Amerika di Jakarta dalam rentang 10 tahun terakhir; sebuah potret otentik yang bisa menuntun orang banyak membaca sendiri siapa kawan dan siapa lawan Kedutaan Amerika di Jakarta, mana kecap yang kerap mereka jual ke publik nasional, mana racun yang mereka simpan di kolong meja dan mana sangkur yang mereka siapkan untuk orang-orang yang mereka anggap musuh:


Kedutaan Amerika Mewakili Kepentingan Israel di Indonesia
Banyak orang menganggap demonstrasi anti-Israel yang kerap terjadi di depan Kedutaan Amerika di Jakarta dalam beberapa tahun terakhir, lebih dilatari karena tiadanya kedutaan Israel di Jakarta dan juga karena kalangan demonstran meyakini pembelaan Amerika pada Israel lah yang menyebabkan penjajahan Palestina tetap langgeng hingga hari ini.

Tapi sejumlah telegram di WikiLeaks menunjukkan kalau Kedutaan Amerika di Jakarta secara diam-diam aktif memposisikan diri sebagai wakil Israel di Indonesia – dan ini atas sepengetahuan orang-orang di lingkaran dalam Istana Negara:

1. Dalam telegram bertajuk “More Activity In Indonesia On Middle East Issues”, dikawatkan pada 15 Februari 2007, seorang diplomat Amerika menulis: “Seorang informan di kantor Presiden Yudhoyono bilang ke kami kalau sebuah delegasi yang tiga kementrian di Israel, Direktur Kementrian Luar Negeri Aharon Ambramovitch, Direktur Biro Kementrian Luar Negeri Israel di Asia Tenggara, Giora Becher, dan Duta Besar Israel di Singapura, Ilan Ben-Dov, bakal berkunjung ke Jakarta pada 21-22 Februari. Pejabat Israel itu berencana bertemu dengan tiga orang: Juru bicara Presiden, Dino Patti Djalal, Menteri Kelautan Freddy Numberi dan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Syaifullah Yusuf. (Catatan. Dalam sebuah pertemuan pada November 2006, Duta Besar Ben Dov meminta pandangan soal bidang-bidang dimana Israel bisa memfokuskan bantuan. Duta besar Pascoe menyarankan Israel mungkin bisa mulai dengan sejumlah program di kawasan pulau-pulau terpencil dimana populasinya mayoritas Kristen. Dia menyarakan Israel membagi keahliannya dalam pengelolaan kawasan kering, yang bisa berguna bagi pulau-pulau seperti Flores. Pertemuan dengan Menteri Perikanan dan Pembangunan Daerah Tertinggal menjadi masuk akal dalam soal ini. Akhir catatan.) Penasihat khusus SBY, T.B. Silalahi, mengatur seluruh urusan kedatangan, yang sangat tertutup rapat (menurut seorang asisten Silalahi, hanya SBY, Silalahi, Dirjen Kementrian Luar Negeri, Cotan – yang mengeluarkan visa untuk pejabat Israel itu – yang tahu soal perjalanan ini). Saat kami tanya apakah SBY mendukung konsep kunjungan itu, asisten Silalahi bilang kalau SBY hanya “tahu soal itu”. Perempuan asisten itu memperkuat dan bilang kalau SBY akan menjaga jarak dengan detail kunjungan itu agar ada selimut politik sekiranya kunjungan itu bocor ke media.”

2. Telegram berjudul “World Ocean Conference — Raising Israeli Participation”, dikawatkan pada 1 April 2009, menyebutkan: “Kedutaan telah mengetahui kalau Indonesia tak berniat mengundang perwakilan Israel dalam World Ocean Conference (WOC) yang bakal mereka selenggarakan, 11-15 Mei. Kami telah menyatakan kalau kegagalan mengundang perwakilan Israel bisa menggerus klaim WOC sebagai konferensi dunia. Dengan pertimbangan itu, orang-orang Indonesia yang bertindak sebagai penghubung kami, menyarankan kalau kehadiran pihak LSM Israel mungkin bisa. Poloff (political officer, red. Islam Times) juga membahas soal ini dengan Yahya Asagaf, seorang penasihat urusan Timur Tengah untuk Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar. (Catatan: BIN tetap menjadi kanal utama bagi Pemerintah Indonesia untuk kontak dengan pejabat Israel.) … .”

3. Telegram bertajuk “Discouraging Tni From Taking Manpads To Unifil Mission”, dikawatkan dari Jakarta pada 3 Oktober 2006 merekam pernyataan Charge d’Affaires Kedutaan Amerika, John A. Heffern, dengan kalangan birokrat di Jakarta sekaitan masuknya senjata MANPADS (man-portable air-defense systems) dalam daftar persenjataan yang bakal dibawa oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia yang ikut dalam misi pasukan penjaga perdamaian PBB (UNIFIL) di Lebanon.

Heffern bilang kalau dia mengangkat soal ini saat bertemu Penasihat Luar Negeri Presiden Indonesia , Dino Patti Djalal (saat ini Duta Besar Indonesia di Washington) pada 2 Oktober. Heffern bilang kalau pasukan Indonesia bisa menciptakan “persoalan besar” jika memutuskan membawa senjata MANPADS ke Lebanon dan meminta pemerintah Indonesia “mempertimbangkan” kembali niat itu. Heffern juga menyarankan agar perwakilan Amerika Serikat di markas PBB di New York untuk membujuk Departemen Operasi Penjaga Perdamaian PBB (DPKO) agar bersedia berbicara ke Djalal dan penasihat presiden, TB Silalahi, saat keduanya berkunjung ke New York. Heffern, kata telegram, berharap DPKO mau membujuk Djalal dan Silalahi agar bersedia menafsirkan kalau ROE (rules of engagement, aturan penugasan) pasukan PBB di Lebanon tak memestikan perlunya persenjataan anti pertahanan udara dan meminta mereka menghapus MANPADS dari daftar persenjataan pasukan Indonesia.

Telegram juga bilang kalau atase militer Kedutaan Amerika juga telah membicarakan soal ini ke Asisten Operasi Mabes TNI, Brigadir Jenderal Bambang Darmono dan Wakil Asisten Intelijen, Brigadir Jenderal Eddi Budianto, pada 2 Oktober. Dari pertemuan, atase militer kemudian dapat gambaran soal jumlah pasukan yang bakal diterjunkan, jenis peralatan dan mulai penugasan. Kata telegram, Darmono bilang Indonesia bakal membawa 12 unit misil pertahanan udara QW-1. Kata Darmono lagi, dia percaya PBB telah memberi lampu hijau atas daftar persenjataan tentara Indonesia, termasuk MANPADS, dan bilang kalau “bakal jadi persoalan” jika TNI diminta tak membawa misil itu.

(Catatan Islam Times: tak ada informasi lanjutan dalam telegram lainnya sekaitan jadi tidaknya TNI membawa MANPADS ke Lebanon Selatan. Sebagai pelontar misil yang gahar, MANPADS bisa ‘mengerem’ keberingasan pasukan Israel di perbatasan Lebanon – dan sebab itu lah Kedutaan Amerika di sini sejak awal ingin memastikan senjata itu tak masuk dalam daftar persenjataan TNI di Lebanon.)

Terorisme: Pintu Masuk Infiltrasi Kedutaan dan Militer Amerika di Kepolisian, Kejaksaan & Kementrian Luar Negeri Indonesia

Ada belasan telegram yang merekam proyek kontra terorisme Kedutaan Amerika di Jakarta. Detil yang tertara di dalamnya memunculkan persepsi kalau Kedutaan Amerika di Jakarta adalah pihak yang paling diuntungkan dari setiap teror bom yang terjadi di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Teror bom, seperti terekam dalam telegram, melapangkan jalan bagi Kedutaan untuk membangun jalan tol kemesraan dengan pihak polisi, kejaksaan, kementrian luar negeri, kementrian kehakiman dan hak asasi, KPK, BPK, Kementrian Keuangan, PPATIK dan masih banyak lagi. Dalam soal dukungan mereka pada Datasemen Khusus 88, telegram bahkan seolah bercerita kalau via kerjasama kontraterorisme, Kedutaan Amerika – dan bahkan Komando Militer Amerika Serikat di Pasifik – bisa punya pasukan sendiri dalam tubuh kepolisian Indonesia; pasukan yang mereka bentuk, mereka latih, mereka biayai dan mereka perhatian setiap langkah dan kebutuhannya. Telegram juga merekam kalau terorisme membuka jalan bagi Kedutaan Amerika untuk membangun semacam pangkalan di pusat pendidikan dan pelatihan polisi di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Dan dalam soal ini, Australia, New Zealand, Canada dan Singapura ikut menancapkan kukunya:

1. Telegram berjudul “Prosecutors Unfazed By Amrozi’s Testimony For Ba’asyir”, dikawatkan pada 20 April 2006, antara lain mengungkap ‘pembicaraan akrab’ antara seorang Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Jakarta Pusat, Salman Maryadi – juga disebutkan sebagai bekas jaksa penuntut utama dalam kasus Ba’asyir – dengan kalangan diplomat Amerika di Jakarta. Kata telegram: “Maryadi bilang ke kami (diplomat Amerika, red. Islam Times) kalau urusan Peninjauan Kembali (oleh kubu pengacara Baasyir) tak boleh jatuh ke tangan pejabat di Kantor Kejaksaan Tinggi hanya karena jabatannya, tapi harus tetap di tangan jaksa yang dia percaya dan berpengalaman dalam kasus Baasyir. Dia juga bilang kalau dia telah memilih sendiri jaksa-jaksa dari Jakarta untuk pergi ke Cilacap dan mengamati sesi dengan Amrozi. Kejaksaan mengirim Kuntadi (peserta International Visitors Program 2005), Narendra Jatna (peserta Paris Program 2005), Nanang Sigit (parserta Program IV 2006). (Catatan: Maryadi belum pernah ke Amerika meski telah mengungkapkan keinginannya untuk bisa dalam beberapa kali pertemuan. Akhir catatan.)”

(Catatan Islam Times: Telegram lain menggambarkan Gugus Kerja Terorisme dan Kejahatan Transnasional di Kejaksaan Agung sebagai ‘kelompok elit dukungan Amerika’ yang berhasil memenangkan perkara atas 13 tersangka Jamaah Islamiyah pada 2007. Kami juga menemukan sebuah telegram yang merekam pengiriman sekitar 100 orang birokrat, dari kejaksaan, kepolisian, kehakiman, PPATK, BPK, KPK, Kementrian Keuangan, dalam proyek “peningkatan kapasitas” sekaitan “ perang melawan kejahatan keuangan, termasuk kontra keuangan terorisme” di Seattle, New York, Washington, Bangkok dan Singapura. Telegram bilang pendanaan proyek ini bersumber dari USAID, FBI, Kejaksaan Amerika, dan Kementraian Keuangan Amerika dan terlaksana via “kanal bilateral”.)

2. Sebuah telegram bertajuk “Ct Rewards Program Update”, dikawatkan dari Jakarta pada 27 Juni 2007, merekam penyerahan hadiah uang tunai untuk empat orang informan polisi Indonesia yang membantu mengungkap sebuah kasus terorisme. Telegram bilang uang hadiah itu bersumber dari program hadiah Departemen Pertahanan Amerika dalam anggaran U.S. Pacific Command, komando militer Amerika Serikat di Pasifik, yang kemudian diserahkan oleh Kedutaan Amerika ke polisi Indonesia: “Pada 20 Juni, investigator senior polisi di Yogyakarta menyerahkan hadiah uang tunai dalam rupiah pada keempat kandidat. Mereka adalah yang pertama yang menerima hadiah kontraterorisme dalam upaya di balik layar untuk membantu polisi Indonesia mengembangkan program hadiah dengan fokus pada kontraterorisme. Keempat kandidat telah membantu polisi menemukan jejak Azahari, Jabir dan Abdul Hadi.”

Telegram juga bilang kalau penyerahan uang hadiah berlangsung pada 20 Juni di Yogyakarta, di sebuah tempat yang dipilih oleh Polisi Indonesia dan disetujui oleh Rewards Working Group, gugus kerja pembagian hadiah di Kedutaan Amerika. Kata telegram, dua orang pejabat kedutaan dan dua perwakilan PACOM (Komando Militer Amerika di Pasifik) di Kedutaan datang ke Yogyakarta dan menyaksikan penyerahan hadiah dari sebuah ruang yang bersebelahan dengan tempat acara, via kamera CCTV. Inspektur Gories Mere, kata telegram, memberikan pengantar singkat saat acara dan menyampaikan ucapan terima kasih dari bos besar Polisi Indonesia, Sutanto. Pejabat lainnya yang hadir adalah Brigadir Jenderal Surya Dharma (Komandang Gugus Kerja Kontraterorisme), Petrus Golose dan Rycko Amelza.”

Lepas penyerahan, telegram bilang kalau RWG bertemu lagi (dengan pihak polisi Indonesia) pada 25 Juni. Bersama-sama, katanya, mereka mengevaluasi penyerahan hadiah pekan sebelumnya. “Baik Kedutaan dan Polisi Indonesia tetap setuju kalau bantuan Amerika dan program hadiah harus tetap dirahasiakan dan tak diketahui publik. Baik upaya penyerahannya dan informannya tak bakal diungkap ke publik,” kata telegram.

Di bagian akhir, telegram menyebut kalau ada anggaran US$ 800.000 (sekitar Rp 8 miliar) dari U.S. Special Operations Command ( Komando Operasi Khusus Militer Amerika, USSOCOM) untuk pengembangan, produksi dan diseminasi produk TV, radio, cetak, dan material promo yang mendukung Program Anti Kekerasan di Indonesia. Sebagian dana itu, kata telegram, juga bakal digunakan untuk penyiapan perangkat nomer telpon pengaduan setiap aktivitas kriminal/terorisme di Indonesia.

(Catatan Islam Times: telegram ini nampaknya bisa menjelaskan kemunculan mural dan pamflet yang mengutuk terorisme di sudut-sudut Jakarta sejak beberapa tahun silam – sebagiannya hingga kini masih bisa disaksikan. Ia juga nampaknya bisa menjelaskan sumber pendanaan acara di sejumlah tv nasional yang formatnya mirip acara perburuan buronan di tv Amerika.)

3. Pada 7 September 2007, dalam sebuah telegram bertajuk “Request For Dod Rewards Program Assistance For Indonesian Police”, kedutaan melaporkan kalau mereka telah mengkaji peristiwa penangkapan Abu Dujana dan percaya kalau kerja polisi patut mendapat hadiah. Dalam kaitan itu, mereka meminta agar unit polisi di Jawa Tengah “dipertimbangkan untuk mendapat hadiah” dari anggaran USPACOM.

4. Pada 12 Juni 2008, dalam sebuah telegram bertajuk “Dod Rewards — Indonesian Police Pay 13 Informants For Abu Dujana Arrest”, kedutaan melaporkan kalau polisi – dengan dana dari USPACOM — telah menyerahkan masing-masing US$ 3.000 ke 13 orang yang membantu polisi menangkap Abu Dujana setahun sebelumnya. Telegram bilang ini adalah pemberian hadiah yang kedua untuk informan polisi. “Kemampuan polisi untuk memberi hadiah pada warga yang membantu mereka menangkap teroris adalah penting pada upaya kontraterorisme polisi. Jumlah yang diberikan ke setiap informan (US$ 3.000) adalah realistis, jika tak berlebih, mengingat standar hidup indonesia dan memberi kredibilitas pada presentasi program yang disebutkan diatur dan didanai oleh polisi. Polisi mengapresiasi bantuan Amerika, dengan dasar polisi Indonesia sejauh ini telah menyerahkan hadiah uang tunai yang totalnya mencapai US$ 187.000 untuk 17 informan.”

(Catatan Islam Times: Sebuah telegram bertajuk “Indonesia’s Top Three Wanted Terrorists And A Promising New Lead”, dikawatkan pada 18 Desember 2006, mengungkap kalau polisi Indonesia sudah lama mengetahui keberadaan Abu Dujana, memantau pergerakannya setiap saat dan baru memutuskan melakukan penangkapan pada 9 Juni 2007: “Laporan seorang Polisi Federal Australia (AFP) yang dibagi ke kami belum lama ini mengkonfirmasi kalau polisi Indonesia telah mengetahui keberadaan Dujanah dan saat ini telah menempatkan dia dalam penyelidikan di Jawa Tengah. Tim pengintaian polisi telah mengamati pertemuan Dujanah dengan anaknya, Yusuf. Laporan AFP selanjutnya mengkonfirmasi niat polisi menggelar pemantauan guna mencari tahu adakah dari situ bisa terbaca kaitan dia dengan Noordin Top.”

(Catatan Islam Times: Telegram bilang Ainul Bahri alias Abu Dujana adalah veteran Perang Afghanistan, fasih berbahasa Arab dan pernah menajdi sekretaris pribadi Abu Bakar Baasyir.)

5. Sebuah telegram bertajuk “Jakarta – Ds/ata And Special Detachment 88”, dikawatkan pada 15 November 2007, memberi gambaran hubungan mesra antara Kedutaan Amerika Serikat, Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat dan polisi Indonesia via Diplomatic Security Anti-terrorism Assitance Program (DS/ATA). Telegram antara lain bilang kalau ada Memorandum of Intent (nota kesepahaman) antara Kedutaan Amerika dan Polisi Indonesia dalam soal kontraterorisme. Memorandum ini antara lain membuka jalan DS/ATA untuk mendukung program kontraterorisme Datasemen Khusus 88. Kata diplomat Amerika, mereka sempat terpikir menggunakan personel militer Amerika untuk melatih polisi Indonesia, tapi kecemasan kalau TNI mengetahui soal ini dan lalu marah, membuat pilihan mereka jatuhkan pada “sipil dengan pengalaman SWAT”. Telegram juga bilang kalau sebuah tim penasihat teknis DS/ATA bakal merancang evaluasi kemampuan Datasemen 88 dan pengembangannya, dan menerapkan sebuah program training yang “bisa membawa Datasemen 88 ke level berikutnya”.

Telegram bilang, Datasemen masih perlu latihan beragam jenis operasi taktis – kota ataupun desa. Personel Datasemen 88 juga perlu mengembangkan kemampuan pengintaian dan investigasi, kemampuan intelijen teknis, dan tekni “room entry”. Telegram juga bilang kalau penting bagi DS/ATA untuk tetap low profile dan berada “di balik layar” dan di luar jangkauan media dan memberi kredit “ke pihak seharusnya”, yakni polisi Indonesia. Telegram juga bilang, guna menjadikan Datasemen 88 lebih efektif dan unit yang kohesif, DS/ATA sedang dalam proses membangun sebuah pusat pelatihan khusus untuk SD-88 di pusat pelatihan kontra terorisme Polisi Indonesia. Fasilitas berlokasi di Cikeas yang nantinya berisi pusat komando dan briefing room. Pembangunan diperkirakan kelar pada Mei 2008.

Telegram juga mencantumkan nama dan nomer telpon Regional Security Officer (RSO) Kedutaan Amerika di Jakarta: Jeff Lischke, 62-21-3435-9013.

6. Telegram berjudul “Indonesian Counterterrorism And Deradicalization Initiatives”, dikawatkan pada 6 Februari 2008, merekam pertemuan pejabat senior Kedutaan Amerika dengan koordinator desk kontraterorisme Indonesia, Inspektur Jenderal Ansyaad Mbai, pada 30 Januari. Mbai, digambarkan dalam telegram sebagai “pensiunan polisi”, “koordinator kontra terorisme di Kantor Kementrian Politik dan Keamanan”. Telegram bilang Mbai telah menjabat sejak Bom Bali I pada 2002, saat Presiden Susilo masih menjabat sebagai Menteri Koordinator di era Megawati. “Mbai ditemani oleh bekas duta besar Rousdy Soeriaatmadja, kontak langsung Kedutaan dalam program bantuan kontraterorisme”.

Telegram bilang Mbai mengungkapkan terima kasih pada Kedutaan yang ikut menangkal “rekrutmen teroris” lewat kampanye via media tradional, seperti pagelaran wayang, klinik sepak bola dan workshop kontraterorisme. Kata telegram, Mbai “menekankan dampak negatif jika publik luas mengetahui Amerika mensponsori program-program itu” dan meminta agar kerjasama di antara mereka tetap tidak didiskusikan ke publik”.

7. Sebuah telegram berjudul “Counterterrorism — Indonesian Developments”, dikawatkan dari Jakarta pada 19 Maret 2009, mengungkap sosok “Team Bomb”. Isi telegram bilang kalau inilah gugus kerja ad hoc kontraterorisme di kepolisian Indonesia, yang memainkan peran utama, kadang lebih berpengaruh dari Datasemen 88, dalam melacak orang-orang Jamaah Islamiyah dan kelompok-kelompok militant lainnya. Kode “protect” di belakang penyebutan nama “Team Bomb” dalam telegram, mengisyaratkan kalau polisi yang bergabung dalam tim ini rutin memasok informasi rahasia ke Kedutaan Amerika. Telegram juga bilang kalau “… Team Bomb (protect), yang mengorganisir pembayaran hadiah untuk informan polisi dan bekerja dengan pejabat Kementrian Pertahanan dan Kementrian Luar Negeri Amerika “agar uang bisa sampai ke markas polisi di Jakarta”.)

Telegram juga bilang kalau “Team Bomb dan Datasemen Khusus 88 (SD-88) punya target dan misi kontraterorisme yang saling mendukung. Operasi Team Bomb pada dasarnya bagian dari SD-88 dan unit kepolisian lainnya karena alasan keamanan dan konterintelijen, dan pemisahan unit kerja ini “berkontribusi pada kesuksesan Team Bomb”. Team Bomb disebutkan juga sebagai “gugus kerja kontra terorisme yang “pre-eminent”, paling mantap. Telegram lain bilang: sementara SD-88, digambarkan sebagai tim respon kontraterorisme, yang banyak menerima kredit publik atas penangkapan tokoh-tokoh JI, khususnya Zarkasih dan Abu Dujani pada Juni 2007, Team Bomb lah yang sebenarnya mengumpulkan informasi sekaitan sejumlah teroris, mengeksekusi serangan ke rumah-rumah persembunyian, dan melakukan penangkapan. Telegram juga bilang dengan satunya pimpinan Team Bomb dan Densus 88, yakni di bawah komando Surya Dharma, kedutaan berharap koordinasi upaya kontra terorisme menjadi lebih baik.

8. Sebuah telegram berjudul “Counterterrorism — Goi Deradicalization Efforts Show Promise”, dikawatkan pada 24 Maret 2009, menyebutkan “… “Bersama Team Bomb, gugus kerja polisi ad hoc dalam urusan kontra terorisme, pejabat SD-88 mengindentifikasi tersangka dan terpidana terorisme di penjara yang cenderung pada ide –ide moderat dan membina hubungan dengan mereka. Pejabat ini, yang semua muslim, menyediakan bagi keluarga radikal yang ditahan bantuan uang dan membuka peluang para teroris untuk berhubungan dengan keluarga dan masyarakat selama masa penahahan. Dengan shalat dan makan bersama tersangka teroris, pejabat memperlihatkan alternatif dalam berislam. Individual ini terus mendampingi terpidana selama masa persidangan, pemenjaran dan pelepasan dari tahanan.

(Catatan Islam Times: sebuah telegram lain mengungkap kalau Mbai pernah bilang ke diplomat Amerika di Jakarta kalau Brigadir Jenderal Surya Dharma punya daftar 100 orang terpidana teroris yang berpotensi untuk dijinakkan, dijadikan berpandangan moderat sekaligus informan polisi. Mereka, katanya, umumnya miskin dan bakal senang jika ada yang membantu pendanaan lepas dari penjara).

9. Telegram bertajuk “Jakarta Resolute In Aftermath Of Bomb Blasts”, dikawatkan pada 21 Juli 2009, merekam kerjasama polisi Indonesia dan Biro Penyidik Federal Amerika Serikat, FBI, dalam penyelidikan Tragedi Bom Marriott dan Ritz Carlton. Telegram bilang: “Sekalipun Pemerintah Indonesia di muka umum bilang kalau mereka tak memerlukan bantuan dalam penyelidikan dan tak secara formal menerima bantuan, Polisi Nasional Indonesia diam-diam telah meminta bantuan FBI untuk meningkatkan kualitas footage video pengamatan di kedua hotel. Agen-agen FBI, yang akan membantu permintaan ini, akan tiba di Jakarta pada 25 Juli … (Catatan: sekaitan peristiwa 17 Juli, pertukaran informasi kontraterorisme menjadi kian penting. Publikasi adanya bantuan FBI akan … menjadikannya tak efektif dan membahayakan kepercayaan yang telah kami bangun dengan penegak hukum Indonesia. Akhir Catatan.)”

(Catatan Islam Times: di bagian lain dokumen ada tertulis kalau Herry Nurdi, digambarkan sebagai Editor-In-Chief Majalah Sabili, “majalah paling populer yang menawarkan pandangan anti Barat dan anti Semit paling keras, bilang ke kami kalau majalahnya akan mengeluarkan sebuah edisi yang berisi kututkan atas serangan”.)

10. Telegram bertajuk “Counterterrorism — Proposal For Additional Usg Involvement In Key Law Enforcement Training Center”, dikawatkan pada 14 September 2009, antara lain menyebutkan: “Pemerintah Amerika Serikat berhasil menggelar kelas dan konferensi anti-terorisme di JCLEC (Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation, pusat pendidikan kontra terorisme kerjasama polisi Indonesia dan Australia) di masa lalu, tapi pengajaran yang reguler di JCLEC kerap jadi persoalan karena jadwal yang tak pas. Sejak 2006, Kedutaan Amerika telah mendukung pelatihan tahunan kontra terorisme di JCLEC … Program Diplomatic Security’s Anti-Terrorism Assistance telah menggelar pelatihan di JCLEC di masa lalu (sebagai tambahan atas pelatihan yang dilaksanakan di pusat pelatihan milik DS/ATA sendiri di Megamendung, Jawa Barat).”

(Catatan Islam Times: pusat pelatihan DS/ATA berada dalam kompleks pendidikan polisi di Megamendung, Bogor. Kabarnya, Kedutaan Amerika ‘menyewa’ sebuah ruangan di situ selama berlangsungnya pelatihan kontra terorisme.)

11. Telegram bertajuk “Jayapura – Special Detachment 88”, tertanggal 9 November 2007, merekam perjalanan ‘nyaman’ Duta Besar Amerika berkeliling kawasan Freeport – dengan penjagaan lengkap pasukan Densus 88. Telegram dikawatkan oleh Regional Security Officer Kedutaan Amerika di Jakarta, Jeff Lischke. Jeff menulis: “1. (U) RSO belum lama ini menemani Duta Besar ke Jayapura di Papua. Alasan utama kunjungan ini adalah bertemu pejabat Indonesia dan berkunjung ke kawasan tambang Freeport McMoRan di Timika dan BP di Babo. Selama kunjungan, RSO bertanya soal Datasemen 88 untuk mencari tahu adalah personel awal unit ini, yang mendapat pelatihan di fasilitas pelatihan DS/ATA pada Februari 2007, masih utuh. 2. (C) Kami bertemu Komandan Datasemen Khusus 88, Kolonel S.H. Fachruddin, dan bertanya padanya tentang Datasemen Khusus 88. Dia bilang kalau bawahannya adalah petugas pengamanan polisi Indonesia selama Duta Besar berada di Jayapura. Dia bilang kalau kantornya tak jauh dari komplek Gubernur, Kapolda dan Panglima Daerah Militer. Sekalipun kami tak sempat mengunjungi kantor mereka dan menginspeksi peralatan mereka, sang Kolonel bilang kalau semua peralatan dan kendaraan yang diberikan DS/ATA masih ada dan dalam kondisi bagus. (Harap dicatat kalau salah satu kendaraan yang digunakan dalam iring-iringan kendaraan Duta Besar adalah mobil Datasemen Khusus 88 dan mobil itu dalam kondisi sempurna). … .”


Standar Ganda Kedutaan dalam soal Kasus Pembunuhan Munir

Setidaknya ada 94 telegram yang memuat nama Munir dalam kawat diplomatik yang bersumber dari Kedutaan Amerika di Jakarta. Jumlah itu menggambarkan ‘kegigihan’ Kedutaan Amerika untuk menggunakan kasus pembunuhan Munir sebagai pintu masuk untuk mempererat hubungan dengan sejumlah institusi negara – senyampang mengarahkan tombak mematikan ke tubuh Badan Intelijen Negara, pihak yang mereka sebut patut diduga berada di balik pembunuhan Munir.

Dalam sebuah telegram bertajuk “Munir Case: Ambassador Signals Continued U.s. Focus On Justice; Widow Plans Second Visit To Dc”, dikawatkan pada 13 April 2006, tertulis kalau Duta Besar Hume mengundang Suciwati ke kedutaan pada 11 April “untuk mendiskusikan nasib … almarhum Munir, yang mati diracun pada September 2004”. Suciwati, kata telegram, datang ditemani empat aktivis hak asasi: Usman Hamid (Kontras); Rachland Nashidik (Imparsial); Rafendi Djamin (Koalisi HAM); Binny Buchori (Infid). Telegram bilang ini adalah pertemuan kedua Hume dan Suciwati, lepas yang pertama pada November 2004. Hume, kata telegam, mempertegas sokongan Amerika agar Suciwati dapat keadilan, termasuk usahanya mengeluarkan “pertanyaan keras” lepas Pollycarpus dinyatakan bersalah pada Desember 2005. Hume, kata telegram lagi, juga bilang kalau dia telah mengungkapkan keprihatinannya sekaitan kasus Munir ke Presiden Yudhoyono dan bos polisi, Jenderal Sutanto.

Telegram selanjutnya menyebut rencana Suciwati berkunjung ke Amerika pada sekitar 23 April untuk “mempertahankan perhatian masyarakat internasional pada kasus” Munir sekaligus untuk bertemu dengan anggota dan staf di KongresAmerika. Telegram bilang, Suciwat ingin bertanya ke Kongres “adakah mereka telah mendapatkan respon dari Presiden Yudhoyono atas surat mereka (terkait kematian Munir, red. Islam Times) di awal tahun.

“Meski masih menimbang pendekatan yang bakal dia pilih,” kata Hume dalam telegram, “Suciwati berpikiran kalau Amerika Serikat bisa memberi tekanan “dengan meninjau ulang bantuan pada polisi dan militer Indonesia”. Lepas itu, tertera respon Hume yang “menasehati Suci untuk menarik diri dari meminta pembatasan bantuan Amerika (atas polisi dan militer Indonesia, red.Islam Times) dan tetap fokus pada tujuan mendapatkan keadilan untuk suaminya yang terbunuh.

(Catatan Islam Times: Agak aneh sebenarnya membaca ‘kepedulian’ Kedutaan Amerika pada kasus Munir. Ini bila mengingat Kedutaan pernah menolak visa perjalan almarhum Munir ke Amerika Serikat hanya karena dia pernah ikut berdemo membela Palestina dan mengecam Israel dan Amerika di depan Kedutaan Amerika di Jakarta. Di sisi lain, ada banyak telegram yang mengungkap keengganan Kedutaan untuk mengikutkan Kopassus dalam program kerjasama militer antarnegara dengan dalih Kopassus “pernah terlihat pelanggaran hak berat”. So, orang kini bisa melihat betapa Kedutaan menerapkan standar ganda. Densus 88 dan “Team Bomb”, dua tim kontraterorisme bentukan Amerika, kerap membunuh para tersangka kasus-kasus terorisme tanpa izin pengadilan; sebuah laku kontroversial yang belakangan bahkan mengundang kritik tajam langsung dari Kepala Badan Intelijen Strategis TNI. Tapi alih-alih menarik diri, menjauh dan menghentikan dukungan pada Densus 88, seperti halnya yang mereka lakukan pada Kopassus, Kedutaan Amerika justru ‘menasehati’ Suciwati untuk tak bicara apapun soal “penghentian bantuan ke polisi”.)

(Catatan Islam Times: masih dalam telegram yang sama yang merekam pertemuan Hume dan Suciwati, ada tertera informasi kalau kalau diplomat Amerika punya hubungan mesra dengan penyidik Anton Charilyan. Kode “protect” setelah penyebutan nama Anton dalam telegram nampaknya mengisyaratkan kalau dia kerap membagi informasi rahasia ke Kedutaan Amerika. Telegram bilang, pejabat kedutaan “bertemu Anton Charilyan (protect) pada 22 Maret lalu membangun komunikasi lagi pada 12 April. Anton merespon via sms, sebagai berikut: “Terhadap kasusnya (Munir), hingga saat ini kami masih menyelidiki secara intensif, tapi kami melakukan ini dengan sangat rahasia karena kami tidak berhadapan dengan (tersangka) orang biasa. Suci, di lain pihak, ingin kami mengumumkan setiap perkembangan. Jika ini dilakukan seperti dalam fase investigasi terakhir, hanya sebagai sarana untuk mengangkat popularitas individu tertentu, maka pada akhirnya ini bakal menyibak ke musuh-musuh kami setiap langkah penyelidikan polisi. Kami sudah mengungkap jalan cerita utama, tapi kami masih berupaya mendapatkan saksi-saksi pendukung dan bukti-bukti lain, masih minim hingga saat ini, agar nantinya kesimpulan kami bisa menjadi bukti legal yang kuat di pengadilan. Dan kerja-kerja ini, tentu saja, tak bisa diselesaikan dalam tempo yang singkat. Lebih jauh, jika ada tenggat waktu yang ditetapkan untuk investigasi ini, ini akan menciptakan kesulitan tersendiri bagi kami.” Telegram yang lain bilang kalau belakangan Kedutaan Amerika kehilangan kontak dengan Anton yang disebutkan resah di tengah banyak kabar informasi yang terbagi ke pihal lain.)


Birokrat Negara Tunduk pada Tekanan Kedutaan Amerika untuk Menekan Iran

Di forum-forum resmi internasional, Indonesia nyaris tak pernah menyetujui saksi apapun atas Iran. Pernyataan pejabat negara sekaitan program pembangkit nuklir Iran selalu bernada positif, mendukung hak Iran dalam pengembangan energi nuklir damai, dan cenderung jauh dari keinginan Amerika dan negara-negara sekutu yang gemar menhancurkan citra Iran dan menghukum Iran lewat aneka sanksi ekonomi. Tapi sejumlah telegram WikiLeaks menunjukkan kalau Jakarta bermuka dua dengan mendukung diam-diam sanski ilegal Amerika atas Iran di dalam negeri. Telegram juga memunculkan kesan kalau Amerika begitu paranoid pada setiap kabar yang berisi kemungkinan Iran bisa berinvestasi dan membangunan hubungan dengan kalangan sipil dan militer di Indonesia:

1. Telegram bertajuk “Demarche Delivered Regarding Preventing Establishment Of Iranian Joint Bank In Indonesia”, dikawatkan pada 10 September 2008, menyebutkan kalau: “orang-orang penghubung di pemerintah Indonesia telah mengkonfirmasi kalau Bank Melli telah menanyakan aturan bisnis bank asing di Indonesia, tapi belum melayangkan surat permohonan untuk membuka cabang, anak perusahaan atau bermitra dengan Bank Panin atau institusi keuangan Indonesia lainnya. Seorang pejabat di Kementrian Luar Negeri bilang kalau Deplu belum lama ini menggelar pertemuan antarlembaga dan sebuah pertemuan dengan kalangan bank dan komunitas bisnis dan membriefing mereka sekaitan implikasi saksi atas Iran dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSCR) belakangan ini.”

(Catatan Islam Times: telegram lainnya mengungkap keleluasaan diplomat Amerika mencari tahu segala hal terkait bisnis perusahaan Iran di Indonesia, utamanya via Pusat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang dalam telegram digambarkan sebagai “lembaga penerima bantuan USAID”. Telegram lain menyebut adanya permintaan bantuan dari Yunus Hussein, bos besar PPATK, ke DOJ/OPDAT (Departement of Justice/ Office of Overseas Prosecutorial Development, Assistance and Training) agar pemerintah Amerika “membantu perumusan draft Rancangan Undang-Undang Pendanaan Terorisme”. Yunus kini tercatat sebagai salah satu kandidat Pimpinan KPK.)

2. Dalam sebuah telegram bertajuk “Iran — Indonesia To Urge For Release Of Detained Amcits”, dikawatkan pada 19 Februari 2010 dengan marka SECRET//NOFORN, Duta Besar Amerika, Cameron Hume, menulis: “Jurubicara presiden, Dino Djalal, bilang ke DCM pada 19 Februari kalau Indonesia akan meminta Iran melepas tiga warga Amerika yang ditahan di Iran dengan peritmbangan kemanusiaan. Bekas Sekretaris Jenderal D-8, Dipo Alam (kini Menteri Sekretaris Kabinet) akan bertandang ke Tehran pada 1 Maret sebagia bagian dari serangkaian kunjungan ke para pemimpin negara-negara D-8. Alam dijadwalkan bertemu Menteri Luar Negeri Manouchehr Mottaki dan kemungkinan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Djalal bilang ke kami kalau atas nama Pemerintah Indonesia (dan bukan Amerika Serikat), Alam akan meminta Iran melepas warga Amerika yang ditahan dengan pertimbangan kemanusiaan … .”

(Catatan Islam Times: di telegram lain, ada terekam kalau Djalal menjadi ‘mata dan telinga’ Kedutaan Amerika dalam melaporkan pertemuan antara Presiden Yudhyono dan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Sayyid Ali Khamenei.)


Kedutaan Amerika ‘Memberi Restu’ pada Rencana Jahat Eksekutif Newmont

Sebuah telegram bertajuk “Rick Ness Testifies In Newmont Case This Week”, dikawatkan dari Jakarta pada 24 Agustus 2006, merekam pengamatan diplomat Amerika atas persidangan Richard Ness, bos besar PT Newmont Minahasa Raya. Lepas memaparkan jalannya persidangan, telegram menyebutkan: “di sela-sela persidangan, kami mendengar sejumlah isyarat dari eksekutif NMR kalau mereka telah menyiapkan sebuah rencana darurat sekiranya Ness diputus bersalah. Dalam sebuah pertemuan sosial lepas persidangan di Manado, mereka memberi isyarat kalau Newmont telah mengontak sebuah perusahaan keamanan swasta untuk menyelundupkan Ness ke luar Indonesia sekiranya dia dinyatakan bersalah setelah semua peluang banding habis. Mengingat minimnya bukti-bukti adanya kejahatan, dan nada-nada politik yang jelas di balik keputusan masuknya kasus ini ke pengadilan, eksekutif Newmont memberi kesan pembenaran pada rencana mereka melarikan Ness ke luar negeri agar dia tak sehari pun menginap di terungku.”

(Catatan Islam Times: Dalam telegram, tak ada informasi apapun yang mengungkap adanya keberatan diplomat Amerika lepas mendengar rencana penyelundupan Ness oleh para pejabat senior Newmont. Pada 2007, pengadilan di Manado membebaskan Richard Ness dan PT Newmont Minahasa Raya dari semua tuduhan sekaitan gugatan pencemaran di Teluk Buyat.)


Kedutaan Amerika Ingin Menaklukkan Setiap Penentangan atas Hegemoni Amerika

Pada 12 November 2009, dalam sebuah telegram bertajuk “Indonesian Foreign Policy–realizing The Potential Of President Yudhoyono’s Second Term”, Ted Osius, Charge d’Affaires menulis kebijakan yang patut diambil Washington seiring kembali terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pemilu di bulan sebelumnya. Marka “CONFIDENTIAL” di awal telegram mengisyaratkan kalau semua yang dia kawatkan hari itu bisa ‘merusak’ keamanan nasional Amerika bila sampai terungkap ke publik.

Pemeriksaan Islam Times menunjukkan kalau dokumen ini memuat semacam grand desainkedutaan yang ingin memotong kaki perlawanan anak bangsa atas hegemoni Amerika – dan juga Israel yang diam-diam mereka wakilkan kepentingannya – atas Jakarta. Sebuah skenario besar berbungkus sarung tangan belundru “Kemitraan Komprehensif”, dengan Presiden Susilo sebagai partner utama mereka.

Di awal bagian awal dari telegram, Osius (masih aktif sebagai Wakil Duta Besar Amerika di Jakarta hingga saat ini) banyak bercerita tentang sosok Presiden Susilo. Osius bilang presiden ingin ‘tampil’ di forum internasional di luar Asia, (forum G20 mungkin venue yang tepat, katanya), ingin dilihat sebagai sosok yang bisa menjembatani perbedaan-perbedaan dunia. Dengan “pendekatan yang tepat”, kata Osius, besar kemungkinan Presiden Susilo berdiri di belakang Amerika dalam soal Afghanistan, Myanmar, Iran, Climate Change dan Palestina. Katanya, Misi Amerika di Jakarta “sedang mengekspolorasi kemungkinan melibatkan Indonesia dalam melatih polisi di Afghanistan”. Jika ini berhasil, Indonesia bisa berperan lebih besar di Afghanistan, katanya. Dia juga bilang kalau dalam periode kedua pemerintahan Presiden Yudhoyono, Indonesia ada kemungkinan menunjukkan “kelonggaran” atas Israel.

Osius lalu bercerita tentang orang-orang yang bisa membantu mewujudkan visi Presiden – dan sekaligus Amerika. Dia menyebut nama Menteri Marty Natalegawa, yang dia gambarkan sebagai sosok yang ‘berpikiran terbuka’, pragmatis dan menyukai ‘pendekatan inklusif dalam diplomasi’. Dia juga ada menyebut nama Kemal Stamboel, wakil Partai Keadilan Sejahtera di Komisi I DPR (bidang luar negeri, keamanan) yang, menurutnya, berpandangan positif dalam soal climate change, anti korupsi dan isu-isu lain ‘yang penting bagi Amerika’.

Di bagian berikutnya, dia menyebut pihak-pihak yang berpotensi mengganjal visi presiden. Yang paling pertama adalah yang dia identifikasi sebagai pejabat Kementrian Luar Negeri – “khususnya yang berada di level madya”, katanya – yang “masih penuh dengan pandangan dunia kabur Gerakan Non-Blok yang anti-Barat”. “Reaksi pertama mereka biasanya menentang inisiatif-inisiatif kita, khususnya dalam konteks multilateral. Mereka juga cenderung memberontak dalam sejumlah pesoalan semisal protokol, hak-hak istimewa dan imunitas, dan banyak urusan formal lainnya.”

Pihak kedua yang disebutkan bisa menggalkan langkah Presiden Yudhoyono – dan ini juga berarti inisiatif Amerika Serikat di Indonesia – adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Kata telegram, suara-suara moderat (baca: pro Amerika) di DPR kerap dalam tekanan saat yang jadi urusan adalah hal-hal yang sensitif terhadap Muslim.

Telegram juga menyebut kalau Indonesia secara reguler masih mengekor pada sikap Negara-negara Non-Blok dan OKI dalam penentuan suara di PBB, seperti yang terkait Laporan Goldstone soal konflik Gaza. Ada juga keluhan soal “lambatnya kemajuan pendirian Indonesia-United States Center for Biomedical and Public Health Research akibat kecangnya serangan bermotif politik pada Menteri Kesehatan (Endang Sedyaningsih, red. Islam Times), yang telah dituduh terlalu dekat pada Amerika”.

“Hambatan serupa ini tak bakal hilang dalam semalam,” kata Ted.

Di bagian akhir, Ted menuliskan resep yang dia anggap manjur agar Amerika bisa keluar dari semua kemelut dan sampai pada tujuannya: “Sebuah visi strategis yang menjangkau jauh dan pelibatan kukuh pejabat senior pemerintahan Amerika dengan pihak Indonesia adalah sebuah kemestian demi mewujudkan potensi penuh peluang-peluang kerjasama.

Ted juga bilang kalau Amerika “perlu menaklukkan kebiasaan-kebiasaan yang ternanam dalam di birokrasi Kementrian Luar Negeri dan legislatif”. Katanya lagi: “Kita juga perlu memenangkan opini publik yang tak selalu simpati pada posisi Amerika. Pengembangan Kemitraan Komprehensif Indonesia-Amerika adalah mekanisme kunci untuk menjalankan semua itu. Seiring upaya kita mengembangkan Kemitraan, kita seharusnya bisa mencapai kesepakatan atas sejumlah prinsip-prinsip strategis bersama. Penting pula bagi kita untuk melembagakan forum-foum konsultasi bilateral yang rutin di tingkat kementrian dan level di bawahnya.”

*****
(Syiah-Ali/Islam-Times/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: