Pesan Rahbar

Home » » Agama meliputi politik atau negara karena agama dan Negara tidak dapat dipisahkan atau bersatu tanpa dikotomi. Ahli hukum agama (faqih) memimpin Negara selama keghaiban imam Mahdi, Demokrasi Islam Syi’ah vs Demokrasi Syirik Barat Sekuler

Agama meliputi politik atau negara karena agama dan Negara tidak dapat dipisahkan atau bersatu tanpa dikotomi. Ahli hukum agama (faqih) memimpin Negara selama keghaiban imam Mahdi, Demokrasi Islam Syi’ah vs Demokrasi Syirik Barat Sekuler

Written By Unknown on Wednesday 15 April 2015 | 03:31:00


Agama meliputi politik atau negara karena agama dan Negara tidak dapat dipisahkan atau bersatu tanpa dikotomi. Ahli hukum agama (faqih) memimpin Negara selama keghaiban imam Mahdi.

Secara kronologis, sejarah lahirnya Syi’ah dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sejarah mencatat, bahwa hari-hari pertama setelah wafatnya Nabi SAW, persoalan yang timbul adalah persoalan kekuasaan, yaitu menyangkut sosok figur yang dianggap paling pantas menggantikan kepemimpinan Nabi SAW. Meskipun masalah itu untuk sementara waktu berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah, akan tetapi hal itu oleh sebagian kelompok dipandang masih menyisakan agenda persoalan.

Reaksi keras segera dimunculkan oleh para pendukung Ali yang mengklaim bahwa masalah kepemimpinan adalah hak mutlak Ali dan keturunannya atau Ahlul Bait, yang diyakini para pendukungnya dimana Ali telah menerima wasiat pengangkatan langsung dari Nabi SAW. Wasiat ini diberikan sekitar 80 hari sebelum Nabi SAW meninggal, di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum.

Dewasa ini, Syi’ah dan politik seringkali diletakkan sebagai dua kata yang tidak mungkin dipisahkan. Dibanding dengan paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), Syi’ah dianggap lebih politis. Dilihat dari aspek sejarahnya pun, Syi’ah memang lahir karena faktor politik, yakni menyangkut masalah siapa yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sepeninggal beliau. Masalah politik (kekuasaan) dalam Islam inilah yang menjadi sumber “perpecahan” antara Sunni dan Syi’ah.

Keterkaitan yang sangat erat antara Syi’ah dan politik, memang dapat dimaklumi. Sayid Muhammad Husein Jafri mengatakan: “Sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang pada dasarnya seorang guru keagamaan, namun pada saat yang sama, karena keadaan, juga sekaligus sebagai penguasa duniawi dan negarawan.” Begitu juga Syi’isme, dalam watak yang dibawanya selalu bersifat religius dan politik, dan oleh sebab itu, pada tingkat eksistensinya, sulit dibedakan mana “Syi’ah religius” dan mana “Syi’ah politik.”.

Di kalangan umat Syi’ah hampir tidak dikenal pemisahan antara agama dan politik, baik dalam tataran konseptual maupun praktek politik. Setiap bentuk ritual keagamaan selalu dikaitkan dengan “ritual politik”. Dengan kata lain, hampir selalu ada dimensi sosio-politik dalam setiap upacara keagamaan.

sebagaimana diketahui, secara historis sistem pemerintahan Syi’ah mengacu pada sistem imamah, yaitu suatu doktrin politik yang menyebutkan bahwa pemerintahan Islam sepeninggal Nabi SAW adalah hak mutlak ahlul bait (keluarga Nabi SAW.) yakni Ali bin Abi Thalib dan sebelas keturunannya. Hal ini oleh banyak pengamat dianggap tidak memberikan peluang bagi pihak lain untuk mendapat hak yang sama, yaitu hak untuk dipilih sebagai pemimpin negara.

Di kalangan Syi’isme dikenal istilah konsep Wilayat al-Faqih (kekuasaan para faqih), atau ahli hukum Islam. Dengan sistem baru ini, maka Islam Syi’ah telah mengawali babak baru sistem pemerintahan yang cukup demokratis. Oleh sebab itu, dapat dimengerti jika pemerintahan Islam di Iran menggunakan sistem “republik”, yaitu Republik Islam Iran.

Dalam sistem Wilayat al-Faqih, menurut Ayatullah Khomeini (seorang tokoh penggagas konsep tersebut), menyatakan bahwa negara Islam akan menjamin keadilan sosial, demokrasi yang sebenarnya dan kemerdekaan yang murni. Islam dan pemerintah Islam adalah fenomena Ilahi, yang penggunaannya menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Sebuah sistem pemerintahan yang mengamalkan hukum Tuhan, yang mendapat pengawasan dari para ahli hukum agama (faqih), sebagaimana dalam praktek sistem Wilayat al-Faqih, akan mengungguli semua sistem pemerintahan yang tidak adil di dunia ini. Sebab dengan sistem pemerintahan seperti ini maka umat Islam akan terhindar dari kesalahan dalam melaksanakan roda pemerintahan.

Menurut Ayatullah Khomeini, Islam bukan sekedar agama etika (ethical religion) tetapi di dalam Islam terkandung seluruh hukum dan prinsip-prinsip yang diperlukan bagi pemerintahan dan administrasi sosial. Karena itu, pemerintahan Islam yang benar adalah sebuah pemerintahan konstitusional dengan Qur’an dan Hadis sebagai undang-undangnya. Kendati tidak ada aturan khusus di dalam Qur’an dan Hadis bagi ditegakkannya suatu pemerintahan selama kegaiban Imam al-Mahdi, tetapi tatanan sosial tetap diperlukan bagi pelaksanaan syari’at.


Wilayat al-Faqih Sebagai Pemegang Kekuasaan Para Imam

Dalam konsep pemerintahan Wilayat al-Faqih, kaum ulama memiliki kewenangan sebagai pengawal, penafsir maupun pelaksana hukum-hukum Tuhan. Oleh sebab itu, pemerintahan yang demikian merupakan pemerintahan Islam yang sebenarnya dan adil. Dalam hubungan ini Imam Khomeini mengatakan:

Wilayat yang ditetapkan bagi Nabi SAW. dan para Imam as. dalam menegakkan pemerintahan, melaksanakan hukum dan mengatur urusan-urusan juga diperuntukkan bagi seorang faqih. Tetapi seorang faqih tidak mempunyai wilayat mutlak atas fuqaha lain di masa hidupnya, seperti menunjuk atau memberhentikan mereka. Tidak ada suatu tingkatan hirarkis yang menunjukkan bahwa faqih yang satu lebih unggul (kedudukannya) dari yang lainnya atau yang satu memiliki wilayat yang lebih dari yang lain.

Setelah permasalahan ini menjadi jelas, maka wajib bagi fuqaha untuk menegakkan pemerintahan yang telah disyari’atkan, baik secara kolektif maupun individu, demi terlaksananya hukum-hukum Islam dan terlindunginya batas-batas teritorial Islam. Jika tugas ini telah dibebankan kepada salah satu dari mereka (fuqaha), maka wajib baginya untuk melaksanakan tugas itu, yakni wajib ‘ain (kewajiban yang mengikat ke seluruh orang tanpa kecuali). Bahkan jika tidak mungkin bagi mereka untuk melaksanakan tugas itu, wilayat para fuqaha tetap tidak menjadi batal (tetap berlaku) karena wilayat mereka merupakan ketetapan dari Allah swt. Namun, Jika mereka mampu melaksanakannya, maka mereka harus memungut pajak, seperti zakat, khumus dan kharaj dan memanfaatkannya bagi kesejahteraan kaum Muslim serta melaksanakan berbagai hukuman sesuai dengan hukum Islam. Kenyataan bahwa kita sekarang tak dapat menegakkan bentuk pemerintahan Islam yang lengkap dan menyeluruh tidak berarti kita hanya duduk berpangku tangan. Kita harus bangkit, dengan segala kemampuan kita, untuk mewujudkan hal yang dibutuhkan oleh kaum Muslim tersebut dan tugas-tugas yang harus dipikul oleh pemerintahan tersebut.

Sebagai pemegang kekuasaan para imam, maka para faqih memiliki tanggung jawab dan tugas melanjutkan misi kenabian, sebagaimana tugas yang diemban oleh para imam. Aspek terpenting secara politis di sini adalah bagaimana mengatakan pemerintahan yang adil berdasarkan hukum Tuhan. Atas dasar itu, maka dalam pemerintahan Wilayat al-Faqih tidak dikenal pemisahan antara agama dan politik. Karena secara subtansial, keduanya sama-sama mengandung misi dan tujuan yang sama, yaitu menciptakan tatanan yang adil berdasarkan hukum Tuhan.

Menurut Ayatullah Khomeini, pemisahan agama dan politik serta adanya tuntutan bahwa ulama tidak boleh ikut campur dalam masalah-masalah sosial politik merupakan bagian dari propaganda imperialisme. Ia mengecam para ulama yang enggan melibatkan diri dalam masalah sosial-politik. Mereka itu oleh Imam Khomeini dinilai sebagai orang-orang yang menolak kewajiban dan misi yang didelegasikan kepada mereka oleh para imam.

Jika tonggak utama politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan yang adil berdasarkan hukum Tuhan, maka misi meraih kekuasaan menjadi sesuatu yang wajib dan jika cita-cita untuk menegakkan hukum Tuhan tersebut hanya bisa dilakukan dengan sarana politik, maka upaya untuk merebut wilayah politik menjadi wajib adanya. Dalam pandangan Hamid Enayat, kekuasaan merupakan sarana pokok utama untuk mencapai cita-cita tersebut. Al-Qur’an menyeru orang-orang beriman untuk mengikuti teladan Nabi Muhammad, yang dijuluki sebagai “paradigma mulia”. Karena pencapaian utama Muhammad adalah keberhasilannnya meletakkan landasan sebuah negara yang berdasarkan pada ajaran-ajaran Islam, maka kaum Muslimin juga berkewajiban untuk mengikuti suri tauladan tersebut.

Teladan yang telah diberikan Nabi Muhammad tersebut, secara konsisten dilanjutkan oleh para imam. Para imam merupakan manusia-manusia suci pilihan Tuhan setelah wafatnya Nabi Muhammad. Mereka dengan penuh kesabaran dan tanpa mengenal lelah terus berusaha semaksimal mungkin untuk menegakkan hukum Tuhan. Menegakkan hukum Tuhan di muka bumi ini adalah kewajiban bagi setiap manusia, karena tanpa penegakan hukum Tuhan, maka yang terjadi di dunia adalah tindakan-perilaku yang penuh kedlaliman dan kedurhakaan.

Ketika para imam tersebut telah wafat, maka misi ini kemudian dilanjutkan oleh para faqih, yaitu orang yang ahli dalam hukum Islam. karena pengetahuan mereka tentang agama yang melebihi dari orang-orang lain pada umumnya, maka tugas berat tersebut dibebankan di pundak mereka. Dengan demikian secara de jure mereka adalah pengganti para imam dalam hal menegakkan hukum Tuhan.

Manakala cita-cita tersebut tidak bisa dicapai tanpa adanya kekuatan yaitu kekuatan untuk memaksa dan memerintah, maka mau tidak mau para faqih tersebut merasa terpanggil untuk merebut kekuasaan politik itu. Dalam konteks ini, kekuasaan politik bukanlah tujuan yang utama, melainkan sekedar sarana untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu memberlakukan kehidupan di dunia berdasarkan hukum Tuhan

Ada alasan yang lebih sederhana mengapa kaum Muslimin harus peduli dengan politik, yaitu bahwa sejumlah “fardlu kifayah” kaum Muslimin, di mana yang terpenting di antaranya adalah “amar ma’ruf nahyi munkar” dan mempertahankan wilayah Islam (dar a-Islam), dan hal itu hanya bisa dilaksanakan di dalam suatu negara yang sepenuhnya terikat pada Islam, paling tidak bersimpati terhadap tujuan-tujuan Islam. Dengan alasan ini, seorang Muslim yang hidup di bawah suatu rejim yang mengabdi atau bahkan hanya menunjang kepada Islam wajib aktif bekerja demi keberlangsungan rejim tersebut, sebaliknya seorang Muslim yang hidup di bawah suatu rejim yang memusuhi Islam wajib berjuang untuk menggulingkannya manakala hal itu dimungkinkan. Terakhir, jika pertanyaan mengenai “siapa yang harus berkuasa” dan mengapa kita harus taat kepada penguasa” adalah persoalan politik, maka tak seorang pun Muslim yang sadar dapat mengkaji sejarah Islam, sekalipun secara dangkal, tanpa terdorong untuk menanyakan kedua pertanyaan tersebut dan mendiskusikannya dengan sesama penganut agamanya. Dorongan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut akan jauh lebih kuat lagi manakala kaum Muslimin dipaksa tunduk kepada penguasa-penguasa asing atau antek-anteknya, sebagaimana yang dialami oleh sebagian besar negara mereka selama empat abad terakhir ini.

Bahkan apabila dirunut ke belakang sejarah awal datangnya Islam, ia selalu tidak terlepas dari persoalan politik. Sebagaimana diketahui, bahwa sejak pertama misi keagamaan yang disampaikan Nabi Muhammad adalah ditunjukkan kepeda “qaum” atau “ummah”, suatu lembaga politik yang modelnya lebih dikenal oleh orang-orang Arab. Islam, sejak awal mulanya telah memiliki relevansi dengan organisasi sosial politik di masyarakat, dan kepemimpinan negara dalam Islam adalah dimaksudkan untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur urusan dunia.

Dengan dasar-dasar argumentasi semacam itu, kaum Syi’ah pada umumnya memandang bahwa politik merupakan lahan yang sangat vital untuk digunakan sebagai alat perealisasian hukum-hukum Tuhan. Di dunia modern, di mana kecenderungan di sebagian negara-negara Muslim untuk melakukan sekularisasi (pemisahan agama dan politik) berkembang begitu kuat, yang pada gilirannnya diikuti dengan adanya merginalisasi syari’ah dalam pranata hukum, maka hal ini semakin memperkuat alasan bagi Syi’isme untuk kembali mempertimbangkan signifikansi politik bagi kepentingan agama. Apabila memberlakukan hukum syari’ah adalah wajib, sementara hal itu hanya bisa direalisasikan jika didukung oleh kekuatan politik (kekuasaan), maka menjadi jelas bahwa meraih kekuasaan politik juga menjadi wajib hukumnya.


Kedudukan Wilayat al-Faqih

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa dalam sistem pemerintahan Wilayat al-Faqih, kaum ulama (para faqih) menduduki posisi, baik sebagai pengawal, penafsir, maupun pelaksana hukum-hukum Tuhan. Sedangkan kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang) sepenuhnya menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, pemerintahan Islam yang didasarkan pada konsep Wilayat al-Faqih juga bisa disebut “pemerintahan hukum Tuhan atas manusia”.

Posisi para faqih ini mirip sekali dengan posisi para imam. Namun ini bukan berarti bahwa kedudukan para faqih sederajat dengan kedudukan para imam. Dalam konteks ini, posisi para faqih hanyalah mengisi kekosongan kekuasaan ketika Imam al-Mahdi yang ditunggu-tunggu itu belum datang, namun jika Imam al-Mahddi sudah kembali, maka para faqih secara otomatis tidak memiliki kekuasaan lagi, karena kekuasaan keagamaan dan politik akan dipegang oleh Imam al-Mahdi.

Dengan demikian, jika para imam bertugas membimbing umat setelah berakhirnya “siklus wahyu”, dengan satu perbedaan, jika para imam memiliki atribut keistimewaan, seperti memiliki sifat ma’shum, sementara para faqih tidak memilikinya.

Pertanyaan yang seringkali muncul adalah, mengapa hanya para faqih atau ulama saja yang berhak memegang jabatan kekuasaan tertinggi? Jawaban yang dikemukakan adalah karena hanya para faqih sejalan sesungguhnya yang paling memahami dan mengerti hukum-hukum Tuhan dan dapat dipercaya untuk menjaga kemurniannya. Atas dasar pertimbangan inilah, maka dalam konsep Wilayat al-Faqih ulama memegang peranan penting dalam kepemimpinan Islam.

Praktek pemerintahan dalam sistem Wilayat al-Faqih yang berlaku di Republik Islam Iran, sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin Rahmat, dikenal tiga pemilu, yaitu: pemilihan presiden, pemilihan Majelis Syura dan pemilihan Majelis Khubregan (Dewan Ahli). Ketiga lembaga ini dipilih oleh rakyat.

Tugas presiden adalah menjalankan roda pemerintahan, terutama di bidang politik. Majelis Syura mengajukan perundang-undangan untuk dilaksanakan oleh presiden. Sedangkan Majelis Khubregan adalah bertugas memilih Rahbar (pemimpin revolusi atau pemimpin tertinggi). Karena posisi Majelis Khubregan sangat penting, maka hanya orang-orang yang sudah mencapai tingkatan ulama mujtahid sajalah yang dapat mencalonkan diri, yakni dengan cara melalui tes tertulis dan wawancara yang dilakukan oleh Asosiasi Guru Besar Ilmu-Ilmu Islam (Jami’yat-e Modarresen-e Hawzeh-ye Ilmiyeh). Sementara untuk jabatan Rahbar tidak dibatasi oleh waktu, melainkan sejauhmana ia mampu menjaga kualifikasi-kualifikasi yang dimiliki. Sebagai catatan, salah satu kualifikasi Rahbar adalah hidup sederhana. Jadi, begitu ia kelihatan hidup mewah, ia segera diturunkan.

Pada masa pemerintahan Islam Iran sejak tahun 1979, sampai saat ini baru dua orang yang pernah menduduki jabatan Rahbar: yang pertama adalah Ayatullah Khomeini dan setelah beliau wafat, murid nya, yang bernama Ali Khamenei terpilih untuk menduduki jabatan Rahbar menggantikan ayahnya.


Fungsi dan Bentuk Pemerintahan dalam Wilayat Al-Faqih

Pemerintahan Islam adalah pemerintahan rakyat dengan berpegang pada hukum Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya pembuat undang-undang. Selama kegaiban al-Mahdi, pemerintahan tetap diperlukan bagi pelaksanaan syari’at. Pemerintahan Islam haruslah adil (yang berarti harus bertindak sesuai dengan syari’at) dan karenanya dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai syari’at di mana semua tindakan harus sesuai dengannya. Syarat-syarat ini hanya bisa dipenuhi oleh para faqih, ahli di bidang hukum Islam. Karenanya faqih merupakan figur yang paling siap untuk memerintah masyarakat Islam. Inilah sebenarnya gagasan inti Wilayat al-Faqih. Sebagai penguasa, faqih memiliki otoritas yang sama dan dapat menjalankan fungsi sebagai imam, walaupun ia tidak dengan sendirinya sama dengan imam.

Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa dalam pandangan Ayatullah Khomeini, selama gaibnya Imam al-Mahdi, kepemimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqih (ulama). Sekali seorang faqih berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqih lain wajib mengikutinya. Karena ia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki Nabi SAW dan para imam terdahulu. Tetapi, menurut Khomeini, tidak setiap faqih qualified sebagai pemimpin.

Sekurang-kurangnya ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam, yaitu:
(1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam,
(2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi,
(3) dapat dipercaya dan berbudi luhur,
(4) jenius atau cerdas,
(5) memiliki kemampuan administratif,
(6) bebas dari segala pengaruh asing,
(7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyawa dan
(8) hidup sederhana.

Menurut Ayatullah Khomeini, banyak ahli hukum pada zaman kita ini yang memiliki kualitas yang dibutuhkan itu, yaitu orang yang pandai dan sederhana serta menguasai ilmu hukum Tuhan.

Mengklaim kekuatan politik yang dimiliki Nabi SAW dan Ali bukan berarti bahwa orang itu menyatakan dirinya sama dengan mereka dalam hal kesucian ruhaninya, sebab kesucian mereka bukanlah merupakan jaminan bagi mereka untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar daripada yang telah ditetapkan bagi semua pemerintah oleh hukum Tuhan. Masing-masing imam itu di masa hidup mereka memiliki kekuasaan atas diri orang lain, termasuk pewaris mereka, maka para ahli hukum itu tidak bisa memiliki “hak pengawasan mutlak” atas ahli hukum lain, dia pun tidak bisa memilih atau memecat mereka. Tidak ada hirarki di antara mereka. Ahli hukum itu boleh membentuk pemerintahan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Jika seseorang ahli hukum melanggar hukum, berarti dia melakukan tindakan yang salah dan dengan sendirinya dapat didiskualifikasi.

Ayatullah Khomeini menegaskan, bahwa Islam itu bersifat politik, jika tidak, maka agama hanyalah omong kosong belaka. Qur’an memuat seratus kali lebih banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial daripada soal-soal ibadah. Dari lima puluh buku hadis, barangkali hanya ada tiga atau empat yang mempermasalahkan soal sembahyang atau kewajiban manusia terhadap Tuhan, sebagian kecil mengenai moralitas dan selebihnya selalu ada sangkut pautnya dengan masalah kemasyarakatan, ekonomi, hukum, politik dan negara. Ayatullah Khomeini menyatakan: “jangan sekali-kali mengatakan bahwa Islam itu hanya terdiri dari satu pengertian kecil; yang cuma menyangkut hubungan antara Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya. Masjid itu bukan gereja. Hukum Tuhan menyangkut seluruh kehidupan sejak manusia diciptakan di dalam kandungan sampai dia masuk liang kubur. Hukum Islam itu bersifat progresif, perfeksional dan universal”.

Negara Islam adalah negara hukum. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional. Namun menurut Ayatullah Khomeini, pengertian konstitusional di sini berbeda dengan apa yang selama ini dikenal. Pengertian konstitusional yang merujuk pada “hukum yang disesuaikan dengan pendapat mayoritas”, tidak dikenal dalam sistem pemerintahan Islam. Karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah ada, yaitu hukum Tuhan. Dengan kata lain, Tuhanlah pemegang kekuasaan legislatif dan sepenuhnya menjadi hak-Nya. Oleh sebab itu, pemerintahan Islam juga bisa disebut sebagai “pemerintahan hukum Tuhan atas manusia”. Tetapi bukan berarti tidak diperlukan parlemen. Parlemen (majelis) diperlukan guna ‘menyusun program untuk berbagai kementerian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri.

Sesuai dengan tujuan dan misinya, pemerintah Islam dalam konsep Wilayat al-Faqih memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
(1) mempertahankan lembaga-lembaga dan hukum Islam;
(2) melaksanakan hukum Islam;
(3) membangun tatanan yang adil;
(4) memungut dan memanfaatkan pajak sesuai dengan ajaran Islam;
(5) menentang segala bentuk agresi, mempertahankan kemerdekaan dan integrasi teritorial tanah Islam;
(6) memajukan pendidikan;
(7) memberantas korupsi dan segala jenis penyakit sosial lainnya;
(8) memberikan perlakuan yang sama kepada semua warga tanpa diskriminasi;
(9) memecahkan masalah kemiskinan dan
(10) memberikan pelayanan kemanusiaan secara umum.

Berdasarkan tujuan dan misi pemerintahan semacam itu, maka cita-cita untuk menciptakan tatanan sosial yang adil sesuai dengan ketentuan syari’at akan bisa direalisasikan. Cita-cita keadilan berdasarkan syari’at sebagaimana telah diuraikan di atas, merupakan cita-cita ideal bagi suatu pemerintahan Islam di bawah sistem Wilayat al-Faqih.


Tujuan Pemerintahan Dalam Wilayat al-Faqih

Esensi dari tujuan pemerintahan Islam yang diakui secara umum adalah merealisaiskan pelaksanaan syari’ah dalam pemerintahan. Tujuan umum ini secara praktis dapat diterjemahkan sebagai upaya menegakkan keadilan di muka bumi. Tentu saja, keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan berdasarkan syari’at.

Lalu apa sebenarnya keadilan itu ? Murtadha Muttahhari mendefinisikan dalam empat hal:
1. keadilan adalah keadaan sesuatu yang seimbang. Apabila kita melihat kelompok tertentu yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang beragam yang menunjukkan satu tujuan tertentu, maka di situ pasti terdapat banyak syarat, dari segi kadar yang dimiliki oleh setiap bagian tersebut. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok tersebut dapat bertahan dan dapat memberikan pengaruh yang dikehendaki darinya, serta dapat menentukan tugas yang diletakkan untuknya.
2. yang dimaksud keadilan adalah persamaan dan penafikan terhadap perbedaan apapun. Ketika dikatakan bahwa “si fulan adalah orang adil”, maka yang dimaksudkan adalah bahwa fulan tersebut memandang sama setiap individu tanpa melakukan perbedaan.
3. keadilan adalah memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya dan menjaga dari kedzaliman. Pengertian keadilan seperti ini, yaitu keadilan sosial, adalah keadilan yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu benar-benar diperintahkan untuk menegakkannya.
4. pengertian keadilan ialah memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi dan tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan peralihan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk eksis dan melakukan transformasi.


Implementasi Perundang-undangan dalam pemerintahan Wilayat al-Faqih

Konstitusi Republik Islam Iran merupakan satu-satunya undang-undang dasar di dunia yang secara eksplisit mencantumkan konsep Wilayat al-Faqih-nya Ayatullah Khomeini.

Pada bagian Pembukaan Konstitusi 1979, antara lain tertulis: “Rencana Pemerintahan Islam yang berdasarkan Wilayat al-Faqih yang diwakili oleh Imam Khomeini…” Juga disebutkan bahwa, “Berdasarkan prinsip-prinsip Wilayat al-Faqih dan kepemimpinan yang terus-menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan oleh faqih…”

Atas dasar suatu “reinterpretasi revolusioner” dari setiap konsep Wilayat al-amr dan konsep imamah sebagai suatu prinsip kesinambungan (musiamar) kepemimpinan teokratis, maka ulama yang memegang tampuk kekuasaan diidentifikasikan sebagai wali al-amr (yang memiliki kekuasaan) dan jabatan tertingginya didefinisikan sebagai “kepemimpinan” (rahbani). Pasal 2 Konstitusi 1979 misalnya, menyebutkan Republik Islam sebagai suatu tatanan yang berdasarkan keyakinan pada: (1) tauhid, kemahakuasaan-Nya dan syari’at-Nya…(5) imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam.

Oleh karena itu, sebagai realisasi dari pasal-pasal tersebut, langkah Islamisasi masyarakat Iran mencanangkan penghapusan unsur-unsur yang tidak Islami dan pelaksanaan secara optimal tatanan Islam. Perubahan besar dalam personal dan komite revolusi diikuti dengan penerapan hukum dan kebijakan-kebijakan baru untuk mendidik dan memelihara masyarakat Islam. Dewan Penyeru Kebajikan dan Pencegah Dosa dibentuk untuk memantau kerusakan moral dalam masyarakat. Musik dan tarian di depan umum dilarang, klab malam dan bar ditutup. Begitu juga alkohol, perjudian yang cepat dan hukuman yang berat diterapkan oleh pengadilan-pengadilan revolusi. Pelacuran, perdagangan obat terlarang dan bentuk-bentuk kemaksiatan lain dijatuhi hukuman mati. Masjid-masjid dan media massa dimanfaatkan untuk menyebar tuntunan dan ideologi Islami negara.


Draf pertama Konstitusi Republik Islam Iran disusun pada Juni 1979 oleh Majelis Muassisan (Majelis Konstitusi) yang dibentuk berdasarkan dekrit Ayatullah Khomeini. Para anggota Majelis Muassisan, yang kemudian diubah menjadi Majelis-i Khubregan (Majelis Ahli) ini dipilih oleh rakyat. Ketika bersidang untuk membahas konstitusi itu, para anggota majelis dari Partai Republik Islam memperkenalkan pembaharuan penting yang mengubah sifat dasar konstitusi secara fundamental dengan memasukkan pasal 5 mengenai Wilayat al-Faqih. Pasal itu berbunyi sebagai berikut:
Sepanjang kewajiban Imam segala zaman (semoga Tuhan mempercepat penjelmaannya yang diperbaharui), perintah dan kepemimpinan bangsa ada di tangan faqih yang adil dan alim, paham tentang keadaan zamannya, berani, bijak dan memiliki kemampuan administratif. Pada saat tidak ada faqih yang sangat dikenal oleh mayoritas, maka suatu dewan kepemimpinan yang terdiri dari fuqaha yang memiliki kecekapan seperti tersebut di atas akan memikul tanggung jawab sesuai pasal 107.

Pasal 107 Konstitusi 1979 pada prinsipnya mensahkan Ayatullah Khomeini sebagai Wilayat al-Faqih, marja’ al-Iqlid yang terkemuka dan pemimpin revolusi. Kecakapan khusus pemimpin atau Dewan Kepemimpinan menurut pasal 109 adalah:
(1) memenuhi persyaratan dalam hal keilmuan dan kebijakan yang esensial bagi kepemimpinan agama dan pengeluaran fatwa:
(2) berwawasan sosial, berani, berkemampuan dan mempunyai cukup keahlian dalam pemerintahan.

Wilayat al-Faqih, menurut pasal 110 Konstitusi diberi tugas dan kekuasaan untuk menunjuk fuqaha pada Dewan Perwalian (Shuraye Nigabhan), wewenang pengadilan yang tertinggi, untuk mengangkat dan memberhentikan penglima tertinggi angkatan bersenjata dan panglima tertinggi pasukan pengawal revolusi Islam, untuk mengangkat keadaan perang dan damai, untuk menyetujui kelayakan calon-calon presiden dan untuk memberikan “presiden republik berdasarkan pada rasa hormat terhadap kepentingan negara”. Oleh karena itu Konstitusi 1979 memberikan wewenang negara yang tertinggi dan berakhir kepada Wilayat al-Faqih (atau Dewan Fuqaha bila tidak ada Wilayat al-Faqih).

Dari sedikit gambaran tentang konsep Wilayat al-Faqih dalam Konstitusi 1979 Iran, maka nampak jelas bahwa ia tetap didasarkan pada prinsip imamah yang menjadi salah satu “rukun iman” dalam mazhab Syi’ah Imamiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilayat al-Faqih dimaksudkan untuk “mengisi kekosongan politik selama masa gaibnya Imam kedua belas (Imam al-Mahdi). Pada masa kegaiban itu, faqih yang memenuhi syarat berperan selaku wakil Imam al-Mahdi, guna membimbing umat, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial-politik. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep Wilayat al-Faqih, keberadaan sebuah pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis.

Pada ulama Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiah doktrin imamah, dengan tetap berpegang pada keyakinan bahwa “hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang berhak membuat keputusan mengikat dalam masalah yang mempengaruhi kesejahteraan umat manusia. Karena Imam itu ma’shum dan penafsir otoritatif wahyu Islami, maka ia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintahan Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, imamah menjadi terbagi keadilan dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal Imam dipandang sebagai telah direbut oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh Imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual pada pengikutnya sebagai “Imam sejati”. Tetapi dengan berdirinya Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep Wilayat al-Faqih, maka untuk sementara waktu otoritas temporal dan spiritual itu dapat dipadukan dalam diri para faqih.

Salah satu kritik yang muncul berkenaan dengan konsep Wilayat al-Faqih adalah soal kriteria faqih yang bisa diangkat sebagai pemimpin. Jelas tidak mudah (bahkan sangat sulit) menemukan seorang faqih yang bisa memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi 1979 Iran di atas. Hal ini juga terlihat di Iran sesudah wafatnya Ayatullah Khomeini. Kendati proses pemilihan Ayatullah Ali Khomeini sebagai pengganti Ayatullah Khomeini berjalan cukup mulus, namun banyak kalangan yang berpendapat bahwa “kelas” Ali Khomeini masih “jauh di bawah” tokoh yang digantikannya itu.

Evaluasi atas pengalaman Iran sebagai sebuah Republik Islam sangat bervariasi, tetapi hanya sedikit yang meragukan bahwa perubahan-perubahan besar telah terjadi. Ketika menilai perubahan-perubahan selama ini setelah satu dasawarsa kepemimpinan Khomeini, Fouad Ajmi, seorang analis yang kritis mengenai struktur negara Timur Tengah, menyatakan: “Iran yang telah lahir setelah terjadinya pergeseran kekuasaan politik …oleh para teokrat dan kelompok mereka…Jika kita nilai catatanya sela satu dasawarsa, Iran merupakan sebuah negara yang mampu mengorganisasikan kampaye-kampaye besar yang mungkin dan tidak mungkin”.

Negara yang tercipta melalui revolusi mempunyai kekuatan populis yang istimewa. Para faqih mampu memimpin negara jauh lebih mantap daripada sistem sebelumnya. Republik teokratis itu telah menutup kesenjangan yang melumpuhkan antara negara dan masyarakat yang sebelumnya menjadi ciri kehidupan politik Persia. Apakah upaya menjembatani kesenjangan antara negara dan masyarakat ini menandai adanya gerakan menuju sistem politik yang lebih demokratis atau tidak, hal ini masih diperdebatkan. Namun, ia telah memberikan landasan yang lebih memungkinkan terjadinya transisi yang sukses menuju era baru yang lebih baik.

Kesimpulan:
Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik di sini:
1. Di dalam pandangan kaum Syi’ah Imamiyah, terdapat kaitan yang sangan erat antara konsep imamah dan konsep Wilayat al-Faqih. Kedua-duanya merupakan pelanjut bagi misi kenabian guna memlihara agama dan mengatur urusan dunia. Jika para imam berkewajiban membimbing umat setelah berakhirnya “siklus wahyu”, artinya setelah wafatnya Rasulullah saw, maka para faqih bertugas membimbing umat setelah berakhirnya “siklus imamah”, dengan satu perbedaan, jika para imam memiliki sifah ma”shum, maka para faqih tidaklah memiliki sifat ishmah atau atribut-atribut istimewa lainnya sebagaimana yang dimiliki para imam.
2. Implementasi perundang-undangan dalam pemerintahan Wilayat al-Faqih, adalah, jika kekuasaan eksekutif dan yudikatif ada pada faqih yang menjalankan fungsi selaku wakil para imam, maka kekuasaan legislatif sepenuhnya menjadi hak Tuhan. Oleh sebab itu, pemerintahan dalam Wilayat al-Faqih juga bisa disebut sebagai “pemerintahan hukum Tuhan atas manusia”. Tetapi, ini bukan berarti tidak diperlukan adanya parlemen. Parlemen (majelis) diperlukan guna menyusun program untuk berbagai kementrian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri. Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam konstitusi di Republik Islam Iran.

3. Dengan demikian, dalam sistem Wilayat al-Faqih, kaum ulama menduduki posisi, baik sebagai pengawal, penafsir maupun pelaksana hukum-hukum Tuhan. Kedudukan dan fungsi yang sangat spesifik dan istimewa ini adalah bertujuan agar cita-cita menegakkan keadilan di muka bumi berdasarkan hukum Tuhan dapat direalisasikan secara baik dan benar.


DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar, Syi’ah Rasionalisme dalam Islam, (Solo: Ramadhani, 1998).
Budiarjo, Mariam, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1993)
Elwa, Mohammad S., Sistem Politik dalam Islam, terj. Ansori Thoyib, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983).
Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni-Syi’ah, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 1988).
Esposito, John L. dan John O. Vall, Demokrasi di Negara-negara Muslim, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1999).
Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, (yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1984).
Hashem, O., Saqifah, Awal Perselisihan Umat, (Jakarta: Yapi, 1989).
Hassan, Riaz, Islam: Dari Konservatisme samapi Fundamentalisme, (Jakarta: Rajawali Press, 1985).
Huwaidy, Fahmi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1996).
Iver, Mc., Jaringan-jaringan Pemerintahan, terj. Laila Hasyim, Jilid I, (Jakarta: Aksara Baru, 1983).
Jafri, Sayid Muhammad Husein, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Meth Kierena, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989).
Khomeini, Imam, Sistem Pemerintahan Islam, terj. Muhamad Anis Maulachela, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2000)
Maududi, Abul A’la, Khalifah dan Kerajaan, terj. Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan, 1987).
Mawardi, Imam Abu Hasan, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, terj. Kartami dan Nurdin (Jakarta: Gema Insani Press, 2000)
Mortimer, Edward, Islam dan Kekuasaan, terj. Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1984).
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: PP.Krapyak, 1990).
Musawi, A.Syarafuddin, Dialog Sunnah-Syi’ah, terj. Muhamamad Baqir, (Bandung: Mizan, 1990)
Musawwi, Ahmad, dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, terj. Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1993).
Mutahhari, Murtadha, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, terj. Agus Efendi, (Bandung: Mizan, 1992).
Muzaffari, Mehdi, Kekuasaan Dalam Islam, terj. Abdurrahman Ahmed, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994).
Najjar, Fauzi M., “Demokrasi dalam Filsafat Politik Islam”, Al-Hikmah, Oktober 1990.
Puar, Yusuf Abdullah, Perjuangan Ayatullah Khomeini, (Jakarta: Pustaka Antara, 1979).
Rahmat, Jalaluddin, “Demokrasi Tanap Batas: Melihat Pemilud di Iran”, Republika, 15 Januari 1993.
Raziq, Ali Abd, Islam: Dasar-dasar Pemerintahan, terj. Zaid Su’udi, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002)
Sabon, Max Boli, Ilmu Negara , (Jakarta: Gramedia, 1992).
Sachedina, Abdul Azis A., “Penciptaan Tatanan Sosial yang Adil dalam Islam”, dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-masalah teori Politik Islam, terj. Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1993).
——————–, Kepemimpinan Dalam Islam: Prespektif Syi’ah, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1991).
Shadr, Muhammad Baqir, Sistem Politik Islam, terj. Arif Mulyadi, (Jakarta: Lentera, 2001)
Sihbudi, M. Riza, “Tinjauan Teoritis dan Praktis atas Konsep Wilayat al-Faqih”, makalah seminar, (Jakarta: 1993).
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992)
Syafi’i, Inu Kencana, Pengantar Ilmu Pemerintahan, (Jakarta: Eresco, 1992).
Syamsuddin, Din, “Beberapa Catatan Kritis di Sektar Usaha Pencarian Konsep tentang Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, Makalah Seminar, Jakarta, 28 Januari 1993.
Syari’ati, Ali, Islam Mazhab Aksi dan Pemikiran, terj. Afif Muhammad, (bandung: Mizan, 1995).
Tabattaba’i, Sayid Husein Islam Syi’ah: Asal-usul dan Perkembangannya, terj. Djohan Efendi, (jakarta: Grafiti, 1993).
Taimiyah, Ibnu, Siyasah Syar’iyah, terj. Rofi’ Munawar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995).
Watt, William Montgomery, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Helmi Ali, (Jakarta: P3M, 1988).
_____________________________________


Demokrasi Islam Syi’ah vs Demokrasi Syirik Barat Sekuler

Sungguh menggelikan sunni yang memfitnah bahwa Nabi SAW tidak menunjuk siapapun sebagai khalifah .. Dalam Islam kepemimpinan bersifat tunggal dan tidak mengenal kepemimpinan kolektif.

Tunggalnya kepemimpinan tersebut didasarkan pada hadits-hadits Nabi saw. Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah saw bersabda:

لا يحل لثلاثة نفر يكونون بأرض فلاة إلا أمروا عليهم أحدهم

Tidak halal bagi tiga orang yang melakukan perjalanan, kecuali mereka (bertiga) dipimpin oleh seorang di antara mereka (HR Ahmad).

Dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw bersabda:

إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدخم

Apabila ada tiga orang keluar untuk bepergian, hendaknya mereka (bertiga) dipimpin oleh salah seorang di antara mereka (HR Abu Dawud).

Kata أحد menunjukkan bilangan (adad) yakni jumlah satu. Karena lafadz yang menunjukkan bilangan dapat digunakan mafhum mukhalafah, selama tidak ada dalil lain yang menggugurkannya. Berdasarkan mafhum mukhalafah hadits-hadits diatas dapat dipahami bahwa kepimpinan yang ada dalam Islam tidak diperbolehkan lebih dari satu orang. Ini diperkuat oleh perbuatan Rasulullah saw dalam berbagai peristiwa yang beliau pimpin. Dalam berbagai peristiwa itu beliau selalu memimpin sendiri dengan seorang diri tanpa yang lain.

Berdasarkan hadits-hadits tersebut maka kepemimpinan yang ada di dalam Islam harus dipegang satu orang. Tidak diperbolehkan dalam satu urusan atau satu tempat dipimpin lebih dari satu orang.

Beberapa waktu lalu, Rahbar Revolusi Islam Iran menghadiri Seminar Internasional Kebangkitan Islam yang telah diselenggarakan di Tehran, Republik Islam Iran. Pada kesempatan pembukaan seminar, Rahbar menguraikan substansi kebangkitan-kebangkitan rakyat ini dan hal-hal yang harus dilakukan. Rahbar menegaskan, “Unsur paling penting untuk seluruh revolusi ini adalah kehadiran sejati seluruh rakyat di arena amal, pertarungan, dan jihad.”.

Poin utama yang dinilai oleh Rahbar sebagai pilar utama bagi percaturan kawasan Timur Tengah akhir-akhir ini adalah jihad seluruh rakyat dan kehadiran meriah mereka untuk menentang hagemoni para penguasa thagut.

Salah aktifitas Ayatullah Uzhma Alawi Gurgani salah seorang marja’ agung Mazhab Syiah Imamiah hari ini adalah menerima kunjungan para pegawai Angkatan Udara Sepah Pasdaran. Dalam kesempatan ini, ia menekankan supaya setiap orang alim harus mengamalkan ilmunya. “Sebagian ulama tidak mengingatkan khumus dan zakat kepada masyarakat. Kita berkewajiban mengutarakan seluruh kewajiban kepada masyarakat, sekalipun kita memperoleh perlakuan tak senonoh,” tegasnya.

“Banyak hukum yang tidak terlaksana di tengah masyarakat lantaran mereka tidak mengatahui masalah,” lanjutnya.

Ayatullah Alawi Gurgani pada kelanjutan uraiannya menguraikan hakikat kehidupan dunia yang sedang dijalani oleh manusia.

“Perumpamaan umur manusia adalah seperti tanah yang hijau rindang. Keindahan ini akan sirna ketika angin musim semi tiba,” pesannya.

Iya. Jihad adalah sebuah anugerah Ilahi yang telah dilupakan oleh Muslimin selama bertahun-tahun. Dan sekarang, ia telah kembali ke kehidupan sosial mereka. Ia kembali dengan meniupkan napas baru dan menyeret para penguasa lalim satu per satu.

Jihad adalah sebuah anugerah Ilahi yang telah menciptakan bahaya besar bagi kaum imperialis setelah mereka berhasil menguasai dunia, baik dalam bidang politik, sosial, maupun ekonomi selama 2 abad lamanya.

Para pemikir Muslim maupun non-Muslim pernah memprediksikan bahwa medan yang akan keluar sebagai pemenang dalam percaturan internasional adalah medan Islam. Hantington seorang pemikir Barat pernah memprediksikan bahwa Barat akan stagnan dalam menghadapi kekuatan Islam. Syiah meyakini bahwa masa depan hanya dimiliki oleh Islam.

Pihak-pihak penguasa imperialis senantiasa berusaha untuk menghentikan gerak kebangkitan Islami di kawasan Timur Tengah ini dengan cara kudeta, memberikan dukungan kepada negara-negara totaliter, memasyarakatkan arus pemikiran laik dan sekularis di negara-negara Islam, mengarahkan gerakan-gerakan cendekiawan Muslim, dan yang lebih penting, mendukung penuh rezim despotik Zionisme. Sekalipun demikian, gerak natural kebangkitan sudah dimulai bertahun-tahun yang lalu di kalangan masyarakat Islam. Dengan kemenangan Revolusi Islam Iran dan kemunculan seorang pemikir ulung seperti Imam Khomeini ra, periode baru kebangkitan ini telah dimulai.

Sekalipun umat Islam telah berhasil mewujudkan tujuan pertama mereka; yakni menggulingkan penguasa-penguasa anti-Islam, antirakyat, dan hanya berfungsi sebagai kaki tangan imperialisme dunia. Akan tetapi, seluruh tujuan umat Islam belum terwujud seutuhnya dan masih banya jenjang yang harus ditempuh.

Dari satu sisi yang lain, musuh yang telah terluka lantaran kebangkitan Islami ini selalu mencari-cari kesempatan untuk menenamkan pengaruh dan memaksakan kepentingan-kepentingannya terhadap seluruh bangsa yang ada di kawasan ini. Ia senantiasa berusaha untuk menyelewengkan kebangkitan-kebangkitan ini guna menguasai seluruh negara Islam dan mendominasi hasil-hasil yang telah diperoleh oleh seluruh kebangkitan ini.

Pada kondisi seperti ini, cara paling benar untuk melawan seluruh inspirasi ini adalah melanjutkan garis jihad dan perlawanan. Pada langkah pertama, jihad ini bertujuan mendepak musuh dan pada langkah kedua berguna untuk membangun sebuah sistem negara yang berlandaskan pada prinsip demokrasi dan ajaran-ajaran Islam.

Ketika berpesan kepada seluruh bangsa yang sudah bangkit ini, Rahbar Revolusi Islam Iran menegaskan, “Jangan Anda biarkan model-model pemerintahan sekular, Liberalisme Barat, Nasionalisme, aliran-aliran kiri, atau Markisme memaksakan kehendak mereka atas kalian.”

Demokrasi sekular Barat tidak memiliki hubungan sama sekali dengan demokrasi Islam yang memegang teguh nilai-nilai dan prinsip-prinsip utama Islami. Aliran pemikiran liberal demokrasi yang disebarkan oleh bangsa Barat dengan sangat sulit ke seluruh masyarakat dunia, khususnya dunia Islam, sekarang dalam pandangan masyarakat dunia tidak lebih dari sebuah pemikiran yang gagal, penimbul penyakit, dan distruktif.

Aliran pemikiran ini tidak hanya berbau syirik, tetapi sangat bertentangan dengan fitrah insani dan kemauan seluruh bangsa dunia yang sekarang sedang haus terhadap keadilan. Sekarang, bangsa barat sedang berusaha keras untuk mengekspor seluruh pemikiran yang telah dicanangkan rapi di negara-negara mereka. Padahal seluruh bangsa Muslim di dunia belum melupakan kenangan pahit atas penyelewengan kebangkitan-kebangkitan terdahulu dan aliran-aliran pemikiran impor perusak seperti nasionalisme, sosialisme, dan sekularisme.

Pada hakikatnya, kebangkitan-kebangkitan Islami sekarang ini merupakan sebuah balas dendam terhadap hegemoni ratusan tahun liberal demokrasi Barat atas dunia. Gerakan-gerakan ini dalam dirinya bukan hanya menyimpan pesan penafian terhadap hegemoni pemikiran ini atas seluruh bangsa Islam ini, tapi juga merupakan sebuah langkah permulaan untuk menyingkirkan liberal demokrasi yang digunakan oleh imperialisme sebagai senjata tajam untuk membunuh seluruh hak manusia di ranah dunia.

Demokrasi Islami adalah sebuah model yang bisa menciptakan sebuah sistem negara yang berlandaskan pada syariat dan kekuatan rakyat. Pengalaman berharga bagi keberhasilan konsep ini adalah pembentukan negara Republik Islam Iran sebagai sebuah buah kemenanganRevolusi Islam.

Islam syi’ah tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi barat adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler.

Demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.

Sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi barat menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi barat yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya,Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, syi’ah menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan.

Dalam demokrasi barat, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem islam syi’ah kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.

Jadi dalam islam, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.

Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi.


SUARA artis seksi SAMA DENGAN SUARA ustad, SUARA PELACUR SAMA DENGAN SUARA “ULAMA, dimanakah persamaan demokrasi barat dengan demokrasi islam syi’ah ??

Dalam pandangan Islam Syi’ah, Allah-lah pemegang otoritas tersebut.
Allah berfirman : “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”(al-A’râf: 54).

Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam syi’ah dan Demokrasi Barat.

Pilpres iran merupakan bukti Adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam.

Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan itrah ahlulbait. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.

Tujuan orang musyrik menyembah berhala juga mengandung tujuan menyembah Allah, lihat Qs.39:3,
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”.

Agar lebih jelas mari kita lihat Qs.9:31,
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab (Tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Rabb yg ahad, tidak ada Ilah(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.

Didalam tafsir dijelaskan bahwa ketika mendengar ayat ini, seorang nasrani kemudian masuk Islam yg bernama adi bin hatim ‘protes kpd rasulullh saw, “ya rasulullah, kami (kaum nasrani) tidak menyembah, sholat ruku dan sujud kpd mereka (rahib dan pendetanya),” kemmudian rasulullah bertanya, “bukankah mereka menghalalkan yg Allah haramkan dan kalian mengitkuti? dan bukankah mereka menghalakan apa yg Allah haramkan kalian mengikuti?
adi menjawab, “betul ya rasulullah,”
“itulah penyembahan kalian…”
Maka, siapapun yg menghalalkan hukum thaghut jahiliyah, maka dia kafir murtad menurut kesepakatan para fuqaha,, sebab apa? sebab UU jahiliyah bertentangan dg hukum Allah,,

utk itu Allah beriman dalam Qs.4:60,
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”.

Di antaranya: dalil-dalil yang mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara mutlak (QS al-Nisa’: 59, 65, 105, 115; al-Baqarah: 20); mengembalikan semua persoalan hukum kepada syara’ (QS al-Syura: 10, al-Nisa’: 59), mengecam semua hukum selain hukum Allah dengan sebutan hukum thagut dan hukum jahiliyyah (QS al-Nisa’: 60, al-Maidah: 50), dan menyebut orang-orang yang berhukum kepada selain hukum Allah sebagai kafir, dzalim dan fasiq (QS al-Maidah: 44, 45, 47).

Allah SWT berfirman:

إن الحكم إلا لله أمر ألا تعبدوا إلا إياه ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لايعلمون

Menetapkan hukum hanya hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Yusuf: 40).

(Syiah-Ali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: