Pesan Rahbar

Home » » Agenda Rahasia AS: Perang Non Militer Milenium Ketiga

Agenda Rahasia AS: Perang Non Militer Milenium Ketiga

Written By Unknown on Tuesday, 21 April 2015 | 22:41:00


Agenda dan Setting Tersembunyi AS: Perspektif Perang Non Militer Milenium Ketiga

Melihat perkembangan cara berperang abad 21 yang lebih mengutamakan Perang Non Militer mau tidak mau kita harus mengubah paradigma doktrin pertahanan keamanan yang sudah ada.

Tapi pertama-tama kita harus merumuskan dahulu apa yang dimaksud dengan “Ancaman Non Militer”, kemudian baru membuat “Kontra Skema” sesuai dengan skala prioritas ancaman.


Politik Minyak Amerika di Eropa

Sikap ganas yang ditampilkan oleh AS dalam campur tangannya di Yugoslavia adalah juga isyarat kepada kawan dan lawan untuk bekerjasama sesuai dengan tuntutan kepentingan AS.

Efek pembantaian sipil oleh NATO di Yugoslavia ternyata cukup ampuh menekan Uni Eropa yang kemudian menjadi takut bahwa mereka dapat saja menjadi sasaran yang berikutnya dari aksi militer NATO, jika mereka melawan tuntutan-tuntutan AS.

Jerman, Inggris dan Perancis cukup gelisah melihat tujuan-tujuan AS di Eropa bahkan diperoleh informasi bahwa Pentagon telah mempunyai rencana-rencana untuk perang dengan negara sekutunya sendiri. Hal ini terlihat dari salah satu bukti dari upaya AS, yang selalu berusaha menyadap presiden-presiden, pejabat hingga rakyat negara-negara sekutunya itu dan membuat mereka berang.

Dibawah tanah, Kaum Borjuis Eropa tidak bisa menerima keadaan mereka yang ditekan dan didikte terus-menerus oleh Paman Sam. Perebutan sumber daya alam di Asia Tengah dan Eropa Timur antara AS, Jerman, Perancis, Inggris dan Italia dibayangi ketegangan yang sewaktu-waktu bisa saja meledak.

Ketegangan-ketegangan itu telah kelihatan jelas. Kekuatan-kekuatan Eropa, telah lama mencari sebuah jalan untuk mengurangi peranan besar AS dalam perdagangan internasional. Salah satu kontra skema Uni Eropa adalah dengan penyatuan moneter dan menciptakan Euro untuk menandingi Dollar sebagai cadangan mata uang dunia.

Sedangkan Jerman yang berada dibawah kontrol ketat AS – telah menjadikan Rusia sebagai perpanjangan tangan ekonominya. Oleh karena itu, bila terjadi konflik antara Amerika dan Rusia, maka Jermanlah yang paling merasakan dampaknya.

Bukan itu saja, ketegangan perebutan sumber daya antara AS-Jepang juga akan berlanjut mengikuti perebutan sumber daya alam di Asia Tengah dan Eropa Timur. Kepentingan kedua belah pihak sebagai pengimpor minyak besar sangat membutuhkan cadangan pasokan baru dari wilayah-wilayah jarahan baru.

Demikian pula ketegangan perebutan sumber daya antara AS-China meningkat setelah AS semakin memperluas pengaruhnya menerobos Eropa Timur hingga Kaspia.

USA controlling world’s oil prices.

Seperti kita ketahui, China memiliki kepentingan terhadap saluran pipa yang akan menyalurkan minyak Kaspia ke arah Timur yang ditandatangani pada 1997, sebuah transaksi bernilai 4,3 milyar dollar untuk mendapatkan 60 persen kepemilikan dalam fasilitas minyak Kazakhtan, dan AS tanpanya terus berusaha dengan segala cara untuk mengurangi pengaruh China di daerah ini.

Sebuah perkembangan menarik yang perlu kita cermati juga kedepannya adalah dapatkah AS, Uni Eropa, Jepang dan China saling berbagi kavling secara damai menyangkut perebutan migas dan kontrak-kontrak pembangunan yang bernilai trilyunan dollar di Eropa Timur dan Asia Tengah?

Bila perebutan dilakukan dengan pendekatan konflik maka ketegangan-ketegangan di wilayah yang dijarah pasti akan meningkat – perselisihan etnis bisa saja berubah menjadi sebuah konflik bersenjata bila milyaran dollar terus mengalir sebagai akibat hasil produksi minyak dan gas yang melimpah yang hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Seperti konflik di Abkhazia, bila kita telusuri akar konflik di Abkhazia sudah berusia panjang. Abkhazia dan Ossetia Selatan adalah dua negara Republik pecahan Georgia di Kaukasus. Keduanya telah berupaya melepaskan diri dari Georgia sejak tahun 1920-an. Setelah Revolusi Rusia tahun 1917, Abkhazia dan Ossetia Selatan ditetapkan sebagai dua republik otonom yang merupakan bagian dari Georgia dan termasuk di dalam wilayah Uni Soviet.

Masalah kedaulatan keduanya semakin kompleks ketika Uni Soviet bubar dan Georgia menyatakan kemerdekaannya yang diikuti dengan konflik bersenjata pada 1992 dan 2008. Rusia kemudian mengakui kedua Republik tersebut sebagai negara merdeka yang terpisah dan berdiri sendiri. Putin bahkan berjanji akan memberikan bantuan militer dalam setiap konflik Abkhazia dengan Georgia.

Separatis Abkhazia, yang secara budaya dan agama berbeda dari penduduk Georgia, mengobarkan perang sengit setelah runtuhnya Uni Soviet yang menewaskan lebih dari 250.000 orang. Kremlin mengakui kemedekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 26 Agustus 2008 setelah pasukan Rusia memukul mundur pasukan Georgia yang ingin menguasai lagi Ossetia Selatan. Namun PBB, Uni Eropa dan NATO menolak mengakui kedaulatan Abkhazia dan Ossetia Selatan.

Beberapa saat setelah kemenangan tentara Rusia, Wakil Presiden AS Dick Cheney segera berkunjung ke Azerbaijan, Georgia, dan Ukraina, pada 3-5 September 2008. Kunjungan Cheney tersebut semakin menegaskan kepentingan AS di negara-negara bekas pecahan Uni Soviet itu.


Sejak awal tahun 1990-an, perusahaan-perusahaan raksasa migas AS telah berhasil menguasai hak untuk mengembangkan sejumlah proyek, seperti eksplorasi ladang minyak Tengiz di Kazakhstan, ladang Azeri – Chirag – Guneshi di Azerbaijan, dan ladang gas alam Dauletabad di Turkmenistan. Bukan itu saja, langkah strategis AS lainnya adalah membuat rute baru jaringan pipa migas menghindari Rusia dan Iran.

Jauh sebelum kenaikan harga minyak, yakni tahun 1998, seorang petinggi perusahaan minyak UNOCAL, John J Maresca, saat tampil di depan Komite Hubungan Internasional, sub-komite Asia-Pasifik, House of Representatives AS, memaparkan betapa besar potensi migas di sekitar Kaspia. Menurut Maresca, Kaspia punya cadangan hidrokarbon yang belum tersentuh.

Cadangan gas terukur di Azerbaijan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan lebih dari 236 triliun kaki kubik. Sedangkan total cadangan minyak di wilayah itu kemungkinan lebih dari 60 miliar barrel. Bahkan, ada perkiraan cadangan minyak Kaspia mencapai 200 miliar barrel.

Oleh karena itulah AS sangat berkepentingan membangun rute jaringan pipa migas baru di wilayah Asia Tengah karena jaringan pipa yang ada saat ini masih berada di bawah kekuasaan Rusia. Sampai-sampai Presiden George W Bush, yang mewakili kalangan industri migas AS, mengundang Vladimir Putin ke rumah peristirahatannya secara pribadi, memancing bersama.

Sebelum Bush, pada pertengahan tahun 1990-an, pemerintahan AS di bawah Presiden Clinton telah mendapatkan dua proyek jaringan pipa utama untuk mengekspor migas Kaspia, dengan tidak melalui wilayah Rusia, Iran dan China.

Proyek pertama adalah ekspor gas Turkmenistan melalui Afganistan dan Pakistan ke Samudra Hindia, namun proyek ini gagal karena keamanan di Afganistan dan Pakistan yang tidak mendukung.

Sedang proyek kedua membangun jaringan pipa melingkar ke barat melalui negara-negara di Kaukasus, yaitu Georgia dan Azerbaijan. Jaringan itu akan digabung dengan jaringan pipa bawah laut yang menghubungkan Kazakhstan dan Turkmenistan di sisi timur Kaspia, yang menyambung dengan jaringan pipa Baku (Azerbaijan) – Tbilisi (Georgia) – Ceyhan (Turki).

Jaringan pipa ini menjadi jalur utama ekspor energi Kaspia ke kawasan Mediterania, dan bila berhasil merupakan pukulan telak terhadap dominasi rute energi Rusia dari Kaspia ke Barat.

Tidak mengherankan bila Presiden Clinton menunjuk Condoleezza Rice sebagai Menteri Luar Negeri AS saat itu. Condoleezza Rice, adalah seorang pakar Uni Soviet sekaligus petinggi di perusahaan minyak Chevron, pada 1991-1995. Jadi wajar saja bila Chevron berhasil menguasai hampir seluruh ladang minyak Tengiz dan Kazakhstan yang memiliki cadangan potensial 25 miliar barrel.

Demikian pula halnya dengan Wakil Presiden Dick Cheney yang juga merupakan pucuk pimpinan perusahaan infrastruktur perminyakan Halliburton dan merupakan anggota Dewan Penasihat Tengizchevroil di Kazakhstan, perusahaan perminyakan yang didirikan Pemerintah Kazakhstan setelah runtuhnya Uni Soviet, dengan kepemilikan Chevron 50 persen, Exxon Mobil 25 persen, dan Pemerintah Kazakhstan melalui KazMunazGas 20 persen, sisanya 5 persen dimiliki LukArco Rusia.

Rusia tidak tinggal diam, pada Desember 2007, Rusia berhasil membuat kesepakatan dengan Kazakhstan dan Turkmenistan untuk membangun sebuah jaringan pipa gas baru sepanjang Pantai Timur Kaspia menuju Rusia.


Di Afghanisten, ladang heroin terbesar di dunia dikuasai oleh Inggris.

Pembangunan jaringan pipa yang diharapkan bisa mengekspor 20 miliar meter kubik per tahun dipandang sebagai sebuah pukulan atas harapan AS yang menginginkan pemerintah negara-negara Asia Tengah berkomitmen mengirimkan migasnya ke jaringan pipa Trans–Kaspia yang bersambung dengan jaringan pipa di Kaukasus yang dibangun dengan dukungan AS.

China juga berusaha mengamankan suplai energi melalui jaringan pipa Asia Tengah dari negara-negara tetangganya di barat.

Sebuah jaringan pipa minyak antara Kazakhstan-China, yang menghubungkan ladang minyak Kazakh di utara Kaspia dengan jaringan pipa di China di Wilayah Otonomi Xinjiang, barat laut China, tengah dibangun dan akan beroperasi Oktober 2009.

Sebuah jaringan paralel pipa gas alam juga tengah dibangun menuju ladang-ladang di Uzbekistan dan Turkmenistan. Jadi persoalan utama konflik di Georgia lebih kepada memperebutkan sumber migas di Kaspia, ketimbang berita politik di media massa. AS lupa bahwa biar bagaimanapun Rusia masih jauh lebih berpengaruh di Asia Tengah ketimbang AS. Dan negara-negara di seputar Kaspia masih segan terhadap Rusia.

Salah satu dampak yang paling menyolok dari perebutan pengaruh imperialisme tersebut adalah telah memiskinkan orang-orang di kawasan Asia Tengah dan memperkaya segelintir orang di Rusia, Kaspia dan Republik Kaukasus yang memunculkan “oligarki” Kazakhs, Aseris, Kirgis, Tajiks, Uzbeks, dan sebagainya yang sangat kaya.

Misalnya yang paling terkenal adalah Abramovich. Di Rusia, Abramovich adalah seorang Gubernur untuk provinsi Chukotka, ia terpilih pada tahun 2000. Di luar Rusia, ia terkenal sebagai pemilik klub sepak bola Liga Primer Inggris Chelsea.

Sebaliknya di Republik Kaukasus, yakni sebuah negara pegunungan yang terletak di Kaukasus Utara, yang sekarang lebih kita kenal dengan Republik Chechnya, Ingushetia, Ossetia-Alania Utara, dan Dagestan yang merupakan bagian dari Federasi Rusia, dimana Republik Ingushetia yang kaya akan marmer, kayu, dolomit, granit, batu-batuan, tanah liat, tanah air berkhasiat medis, logam langka, air mineral dan minyak dan gas – tetap menjadi salah satu wilayah termiskin dan tak berdaya di Rusia. Pada 2003, pendapatan per kapita Ingushetia hanya sekitar 678 dollar atau sekitar 7 jutaan rupiah pertahun.

Salah satu kekuatan imperialisme yang mencolok juga terjadi di Afghanisten. Bagaimana AS, Inggris dan sekutunya menguasai ladang heroin di Afghanisten. Ladang heroin terbesar di dunia dikuasai oleh Inggris, dan tambang emas, besi, tembaga sampai tambang Lithium dikuasai oleh AS.


Di Afghanisten, tambang emas, besi, tembaga sampai tambang Lithium dikuasai oleh AS.

Namun dibalik semuanya, mereka beralasan akan memerangi Taliban agar lebih lama berada disana. Sambil menyelam minum air, satu kali dayung dua tiga pulau terlampaui.

Gambaran diatas adalah merupakan potret dari perkembangan perebutan penguasaan sumber daya alam dan jalur distribusinya pada milenium ketiga yang akan lebih banyak diputuskan oleh kekuatan-kekuatan imperialis utama dengan melibatkan perusahaan-perusahaan minyak raksasa mereka, The Seven Sisters.

Konflik-konflik etnis dan militer mendatang tampaknya akan banyak disulut di daerah-daerah yang memiliki cadangan migas besar dunia, seperti di negara-negara bekas pecahan Uni Soviet termasuk di Benua Nusantara tercinta.

Dan tampaknya pernyataan Obama yang akan mengurangi impor minyaknya dari kawasan Timur Tengah ke Asia Tengah bukan basa-basi.


Ancaman Non Militer

Memasuki millenium ketiga, secara teknis dominasi AS di dunia semakin menguat melalui jaringan Bank Sentral di setiap negara yang dikendalikan oleh Federal Reserve dengan IMF dan World Bank sebagai pelaksananya. Demikian pula kontrol perdagangan dunia melalui WTO yang dapat mengendalikan pertumbuhan negara-negara berkembang sesuai dengan kehendak AS.

Survei-survei pertumbuhan ekonomi terhadap negara-negara berkembang yang rutin dirilis oleh AS melalui IMF, World Bank, Goldman Sach, StandChart dan lembaga-lembaga keuangan lain – merupakan bukti nyata dari sistem kontrol AS yang begitu ketat terhadap kemajuan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia ditempatkan dalam kelompok G20, dalam deretan negara dengan kekuatan ekonomi yang besar.

Melalui WTO AS berhasil menghilangkan batas-batas negara dan menaklukan negara berdaulat dengan menjalankan skema liberalisasi, pasar bebas dan privatisasi. Indonesia sendiri sejak Reformasi 1998 telah kembali menjadi ajang rebutan oleh negara-negara industri maju yang sangat membutuhkan bahan baku bagi kelangsungan industrinya.

Melihat gejala bergesernya fokus pertumbuhan ekonomi dunia ke Asia Timur – dimana Indonesia persis berada ditengah-tengah jalur strategis itu, tepat dipersilangan – maka dimasa depan tampaknya Indonesia akan menjadi arena pertempuran Non Militer antara kekuatan negara-negara imperialis utama pada 2020.

Siapa saja yang akan terlibat dalam Pertempuran Non Militer di Bumi Nusantara tersebut? Kita mulai saja dari pemain lama sejak zaman kuno, yakni Negeri Tiongkok. Dengan skema Jalur Sutera Maritim abad 21, China jelas-jelas ingin menguasai Indonesia seutuhnya, kalau bisa.

Menteri Luar Negeri China Wang Yi ketika melawat ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka telah menegaskan bahwa Pemerintah China sangat “terkesan” dengan gagasan poros maritim yang hendak dikembangkan Presiden Joko Widodo lima tahun mendatang.

China siap melakukan kerja sama sepenuhnya seperti investasi membangun pelabuhan di jalur tol laut yang dirancang pemerintahan Jokowi. Dan yang paling penting bagi Beijing adalah mengintegrasikan konsep poros maritim dengan Jalur Sutera Maritim Abad 21.

Sekadar informasi, jalan sutera yang dimaksud adalah rute kapal dari China, melewati Vietnam, serta Thailand lalu melewati Indonesia terus ke Selat Malaka, melalui Riau, Dumai, dan Belawan. Atau masuk lewat Filipina terus melalui Selat Sulawesi, Bitung, Makassar, hingga Surabaya.


Jalur Sutera Maritim Abad 21

China

Untuk itu tidak tanggung-tanggung, China telah menyiapkan dana tidak terbatas, teknologi serta sumber daya manusianya untuk menguasai Indonesia – proyek Jurong, sebut saja Jurong Limited di Singapura – merupakan salah satu skema Perang Non Militer yang telah disiapkan sejak lama.

Sejak kepemimpinan PM Zhurong Ji dekade 1990-an, Jurong Ltd. memang di desain khusus untuk menginvasi Indonesia dalam bidang energi dan industri, baik industri otomotif, manufaktur, smelter dan industri lainnya, termasuk kilang minyak dan pembangkit listrik. Sebagai catatan saja, Sinopec Group telah lama menyiapkan dana sebesar US$ 850 juta untuk membangun kilang minyak di Batam dengan kapasitas 16 juta barel. Namun terus di delay oleh SBY.

Sekarang, China telah siap menginvestasikan US$ 100 milyar di Indonesia, tinggal menunggu tanda tangan Presiden Jokowi saja. Sebagai informasi saja: bila kita bicara investasi perusahaan China artinya dana investasi itu berasal dari negara.


Amerika Serikat

Dedengkot selanjutnya adalah Amerika yang tidak ingin hegemoni globalnya diganggu. Kepentingan nasional AS adalah menjaga stabilitas suplai minyak dan kebutuhan bahan baku bagi pemenuhan kelangsungan industri dalam negerinya. Jumlah impor minyak AS dari Indonesia sendiri masih misteri karena memang kita tidak pernah tahu berapa volumenya.

Tapi yang jelas, AS sangat berkepentingan dengan Indonesia karena faktor minyak dan bahan baku tambang lain yang terkandung di Bumi Ibu Pertiwi. Free Port di Papua misalnya, sejak 1967 tidak pernah berhenti mengeruk emas dari Bumi Papua, demikian pula dengan Exxon dan kawan-kawan yang terus memompa minyak kita tanpa kenal lelah, baik di darat maupun di laut. Dan sekaligus menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran produk-produk pertanian AS dan sekutunya yang tidak terbatas yang diatur melalui tangan WTO.

Diluar semua itu, ada agenda besar AS untuk membangun “Free Port” kedua di Kalimantan, tapi kali ini merupakan proyek raksasa Partai Demokrat Amerika. Konon investornya adalah Bill Gates, orang nomor satu terkaya di Amerika.


Uni Eropa

Tidak mau ketinggalan adalah Belanda dan Uni Eropa (UE). Tampaknya krisis yang berkepanjangan telah menyadarkan Uni Eropa untuk bangkit bergabung dengan dinamika pertumbuhan ekonomi Asia Timur yang sedang menggeliat. Survei-survei lembaga keuangan dunia telah menunjukkan bahwa UE akan disalip oleh negara-negara berkembang seperti China, India, Korea Selatan dan Indonesia dalam satu sampai dua dekade mendatang.

Dan tidak tanggung-tanggung konon Rp. 1.000 trilyun telah disiapkan oleh UE untuk membangun Great Garuda sebagi pusat keuangan dan perdagangan dunia di Utara Jakarta.

Tidak salah juga jika disebut VOC datang lagi. Proyek ini memang dibungkus sebagai sebuah bentuk kerjasama G to G, antara pemerintah Belanda dengan Indonesia. Tidak mengherankan bila Retno Lestari Priansari menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia yang memang karir dan pendidikannya ditempa di Uni Eropa sibuk menjadi tuan rumah yang baik.


Proyek “Great Garuda” Di Utara Jakarta

Masuknya UE ke Indonesia membangun proyek raksasa bukan sekedar pertarungan EURO dan DOLLAR dan transaksi minyak dunia – tetapi lebih perebutan penguasaan SDA Indonesia yang terbukti, seperti migas dan minerba yang sangat berlimpah mulai Aceh sampai Papua. Tinggal bagaimana AS dan UE membagi kavling daratan Sulawesi, Kalimantan dan Aceh yang tersisa.

Sedangkan posisi China tampaknya sudah cukup nyaman dengan menguasai ekonomi, industri dan pasar Indonesia – tinggal bagaimana regulasi pemerintah Indonesia menyikapi investasi, relokasi pabrik dan sdmnya ke Indonesia. Skema Jalur Sutera abad 21, tinggal membereskan Malaysia dan menaklukkan Indonesia.

China tampaknya telah menemukan skema yang pas untuk menguasai Malaysia. Namun menemui kesulitan besar untuk menaklukkan bangsa Indonesia – karena alam bawah sadar bangsa Indonesia memiliki reflek “anti China”. Nah, hal inilah yang menjadi ganjalan terbesar bagi mulusnya skema Jalur Sutera abad 21 tersebut.

Masalah yang krusial dalam waktu dekat ini adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Indonesia jelas tidak siap menghadapi persaingan “pasar bebas” dengan negara tetangga. Terbukanya bursa tenaga kerja asing tentu akan merugikan tenaga kerja potensial Indonesia di tanah air – yang memang kalah tingkat pendidikannya dengan negara tetangga.

Belum lagi relasi konglomerasi asing yang membanjiri Indonesia tentu mereka lebih nyaman mempekerjakan orang mereka sendiri pada level tertentu. Nah, ancaman paling serius mungkin di sektor pariwisata – dimana Indonesia kalah bersaing di kawasan – sehingga bisa saja sektor pariwisata kita akan dikuasai oleh Malaysia, Singapura dan Thailand.

Dan seperti yang sudah-sudah Indonesia tetap dijadikan pasar yang sangat besar dan menguntungkan bagi MEA 2015 dengan 250 juta penduduknya yang sebagian besar sangat konsumtif dan rakus dengan dengan merk dagang asing. Sekali lagi, Indonesia adalah pasar tunggal MEA 2015. No way out!


Kontra Skema

Dari uraian diatas dapat kita bayangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan menjadi arena pertempuran Non Militer dari berbagai kepentingan di atas. Lalu apa persiapan Indonesia menghadapi skema Perang Non Militer tersebut?

Hal pertama yang harus disadari oleh bangsa kita adalah bahwa Indonesia bukan lagi sebuah negara merdeka karena sudah memiliki ketergantungan kebutuhan primer yakni pangan dan energi kepada banyak negara. Indonesia memiliki ketergantungan impor pangan dan energi lebih dari 20 negara. Kalau dengan logika terbalik skema Perang Non Militer, Indonesia saat ini sedang digempur habis-habisan oleh lebih dari 20 negara dunia.

Friedrich Ratzel dengan tegas mengatakan bahwa, “suatu negara yang mempunyai ketergantungan atas kebutuhan primer, tidak dapat dikatakan lagi sebagai negara yang telah merdeka.”.

Oleh karena itu, dalam jangka pendek pemerintah harus segera membentuk sistem Ketahanan pangan dan energi nasional yang terintegrasi dalam rangka menciptakan keamanan nasional.

Memang perlu sebuah paradigma baru doktrin pertahanan keamanan yang berwawasan Nusantara – seperti membuat kontra skema menghadapi ancaman Non Militer yang sudah di depan mata. Misalnya dengan membentuk zona pertahanan keamanan yang terintegrasi sesuai dengan kondisi ancaman yang nyata.

Berikut beberapa ancaman Non Militer yang paling nyata:

Pertama, skema Jalur Sutera Abad 21. Kedua, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Ketiga, Kepentingan Nasional AS. Keempat, Kepentingan Jepang. Dan Kelima, Kembalinya VOC dan kawan-kawan ke Bumi Ibu Pertiwi.

Menghadapi kepentingan besar negara-negara tersebut, maka Indonesia perlu segera merumuskan pola ancaman yang sedang berlangsung secara senyap sekarang ini.

Disamping membentengi geografi dan teritori ketahanan nasional dengan membagi zona pertahanan sebagai doktrin pertahanan, antara lain:

Pertama, Kontra Skema Zona Jalur Sutera Abad 21. Kedua, Kontra Skema Zona Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketiga, Pertahanan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Keempat, Pertahanan Konvensional Teritorial Darat, Laut, dan Udara. Kelima, Pertahanan Distrik.


Komando Pertahanan Nusantara

Solusi untuk mengatasi ancaman pangan dan energi, serta ancaman lain dalam skala yang lebih luas adalah dengan segera membentuk Komando Pertahanan Nusantara yang komprehensif dan terintegrasi. Komando Pertahanan Nusantara (KPN) dibentuk guna kepentingan efisiensi dan efektifitas kerja TNI dalam menyikapi Perang Non Militer yang tengah berlangsung di Bumi Nusantara.

Bila dibiarkan, mungkin pada 2020 kita hanya jadi penonton Perang Non Militer antara negara maju di Indonesia. Jadi hal ini dirasa memang sangat mendesak – mengingat konstitusi kita yang telah di amandemen – sekarang justru menjadi pintu masuk bagi kepentingan asing untuk menguasai ekonomi kita. Bahkan sektor pangan yang tadinya tertutup bagi investasi asing, kini telah dibuka pintunya lebar-lebar oleh Presiden SBY melalui PP Nomor 39 Tahun 2014.

Demikian pula untuk sektor ketahanan energi kita harus menata kembali tata kelola migas nasional. Sesuai dengan semangat UU No. 8 Tahun 1971 – dimana PERTAMINA kembali menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kita harus mencontoh keberanian Chavez dan pada Pemimpin negara-negara Amerika Latin lainnya dalam menghadapi tekanan AS dan sekutunya, khususnya dalam masalah Migas.

Nah, inilah saatnya kita berpacu dengan waktu menyelamatkan NKRI yang sudah diujung tanduk. Tampaknya dimasa pemerintahan Jokowi inilah kesempatan terbaik AS, UE, Jepang dan China untuk “finishing” seluruh agenda kepentingan mereka secara serentak di Bumi Nusantara.

Bila kita cermati, situasi negara sebetulnya sudah genting dengan derasnya arus impor pangan yang telah banyak “membunuh” petani kita pada masa pemerintahan sebelumnya hingga presiden SBY, tercatat pada awal tahun 2014 lalu, ada 280 ribu petani yang sudah meninggalkan profesinya pindah ke sektor lain.

Bahkan menurut beberapa survei independen bila terjadi kenaikan harga BBM dan pemerintah tidak mampu membuka lapangan kerja baru secara besar-besaran, maka pada 2015 angka kemiskinan di Indonesia akan meningkat dengan tajam sampai lebih dari 100 juta orang.

Fakta tersebut diperkuat oleh laporan Bank Dunia bahwa sekitar 68 juta penduduk Indonesia rentan jatuh miskin karena pendapatan mereka hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga miskin, demikian kata Rodrigo A. Chavez Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia. Sedikit guncangan ekonomi seperti jatuh sakit, kehilangan pekerjaan atau kenaikan harga dengan mudah membuat mereka kembali jatuh miskin.


Jadi tujuan utama Komando Pertahanan Nusantara tersebut selain mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI tanpa kompromi dengan membentuk sistem ketahanan dan keamanan pangan dan energi yang komprehensif dan terintegrasi dengan penciptaan lapangan kerja baru secara besar-besaran. Komando pertahanan Nusantara ini terbagi dalam tiga wilayah komando pertahanan yakni: Barat, Tengah dan Timur.

Agar pelaksanaan pembentukan Komando Pertahanan Nusantara berjalan dengan baik, maka perlu dikeluarkan Undang-Undang “Darurat Perang” oleh Presiden sebagai payung hukum “operasi militer” TNI dalam melakukan Perang Non Militer terhadap gempuran ketahanan pangan dan energi nasional.

Sedangkan Panglima Perang bisa dipimpin langsung oleh Menteri Pertahanan. Strategi Perang Non Militer dijalankan dengan sistem “hankamrata” dan “siskamling” yang diperluas. Dan untuk melibatkan masyarakat sipil aktif yang dibiayai oleh negara maka perlu dikeluarkan Undang-Undang Bela Negara (Pasal 30) sebagai bentuk partisipasi sipil mempertahankan kedaulatan NKRI bersama TNI dalam Perang Non Militer.

Dalam skala yang lebih luas UU Bela Negara bisa diintegrasikan dengan program mengatasi pengangguran (Pasal 27), dan sekaligus mengayomi fakir miskin dan anak terlantar (Pasal 34) dalam sistem pertahanan keamanan terpadu sesuai dengan UUD 1945.

Nah, UU Bela Negara ini bisa dijadikan kontra skema menghadapi Perang Non Militer guna mengembalikan kembali kedaulatan pangan dan energi nasional. Dalam bidang energi kita bisa mengembangkan teknologi alternatif yang ramah lingkungan seperti membangun pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga angin. Bahkan kalau perlu segera membangun pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL) yang terintegrasi dengan kluster-kluster perikanan di kepulauan Nusantara. Dan masih banyak lagi jenis-jenis energi yang bisa kita kembangkan bila ada kemauan.

Sedangkan di sektor pangan dengan membangun kluster-kluster pangan dengan sistem pertanian modern yang terintegrasi. Kluster pangan merupakan kontra skema mengatasi ketergantungan impor pangan, sekaligus juga dapat dijadikan solusi jangka pendek untuk membuka lapangan kerja besar-besaran secara nasional sebagai pendukung pasukan ZENI TNI dalam melakukan operasi Perang Non Militer untuk mengembalikan kembali kedaulatan pangan dan energi nasional.


Postur Pertahanan Keamanan TNI Jangka Pendek

Ditengah situasi yang tidak menguntungkan ini, perlu dibangun suatu bentuk kontra skema pertahanan keamanan konvensional jangka pendek yang sederhana tapi memiliki daya tangkal yang tinggi terhadap serangan Militer maupun Non Militer yang memasuki wilayah kedaulatan NKRI. Sistem pertahanan ini harus terintegrasi dengan sistem Komando Pertahanan Nusantara dan Doktrin TNI yang bersifat defensif-preventif aktif.

Pertahanan keamanan sederhana dengan daya tangkal tinggi itu adalah dengan membangun pertahanan “statis” terpadu dengan basis Satelit, Radar, Sonar dan Rudal di ZEE dengan teknologi canggih yang mandiri agar lebih efektif dan efisien menjaga wilayah kedaulatan NKRI. Sehingga alutsista yang ada dapat diberdayakan secara optimal.

Dan untuk kebutuhan perangkat lunak memang dituntut menggunakan produk sendiri guna lebih menjaga keamanan dan kenyamanan tentunya. Sebetulnya sudah banyak generasi muda bangsa Indonesia yang mampu membuat software untuk keperluan militer – membuat sistem pertahanan dan keamanan Nusantara yang handal.

Skema pertahanan sederhana tersebut bisa berupa model “SISKAMLING LAUT” yang merupakan zona pertahanan pertama NKRI. Dengan Sishankamrata yang terintegrasi maka kita dapat menciptakan jaringan pertahanan yang meliputi pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Berikut model siskamling laut yang dimaksud:

Radar dan Rudal Surface to Surface Missile (SSM) ditempatkan disepanjang garis pantai dan dititik-titik rawan yang strategis – terutama diwilayah yang diperkirakan mengandung cadangan migas. Termasuk di pintu-pintu selat yang merupakan lalu lintas perdagangan nasional dan internasional ALKI.

Radar dan Rudal SSM juga ditempatkan di pulau-pulau terluar NKRI yang strategis sebagai pengamanan Kluster Perikanan – yang juga berfungsi sebagai pangkalan armada Kapal Cepat Rudal (KCR) Angkatan Laut Republik Indonesia. Paling tidak Indonesia minimal memiliki pos pertahanan matra terpadu di 12 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga.

Keuntungan lain dari pembuatan pos-pos terluar ini adalah dapat menjangkau wilayah-wilayah yang terpencil secara rutin yang memang sering mejadi lokasi illegal fishing, penyelundupan, dan sebagainya.

Sedangkan “sishankamrata plus” di laut yang “dinamis” dapat dilakukan dengan model daratan, yakni melibatkan semua elemen yang ada, termasuk para nelayan misalnya:

Mendesain khusus kapal-kapal nelayan kita sehingga bisa menjadi mata dan telinga dengan dilengkapi peralatan radar dan sonar sebagai pendukung ‘siskamling’ di laut.

Sedangkan sebagai alat pemukul utama adalah Kapal Cepat Rudal (KCR) sekelas Trimaran yang dilengkapi dengan rudal sekelas Yakhont atau paling tidak C802 yang memiliki jangkauan 200 sampai 400 mil laut.

Kapal Perang kelas KCR Trimaran bertugas mengamankan ZEE dari kapal-kapal asing yang memasuki wilayah kedaulatan NKRI.

Memperbanyak jumlah kapal-kapal patroli cepat, dengan kecepatan diatas 40 knot yang dilengkapi dengan rudal SSM. Kapal-kapal patroli ini ditempatkan di sepanjang ALKI sebagai satpam laut untuk memberantas maling-maling kekayaan laut kita tanpa kompromi.

Untuk pertahanan keamanan teritorial kedaulatan NKRI konvensional adalah dengan membagi kawasan Nusantara dalam distrik-distrik strategis – baik menyangkut pangan, energi, industri, dan sebagainya guna untuk penempatan zona komando matra TNI yang terintegrasi dengan sishankamrata plus. Terutama di daerah-daerah medan pertempuran Non Militer.


Penutup:

Sebagai bahan renungan, diakhir tulisan ini penulis mencoba berimajinasi membuat kontra skema komprehensif Perang Non Militer Jangka Pendek dimasa Presiden Jokowi guna menghadapi gempuran koalisi imperialis global yang mencoba menjarah kekayaan Ibu Pertiwi.

Penulis membayangkan seandainya kita bisa membangun sebuah Kota Mandiri di “Titik Nol Derajad” Kalimantan untuk mengembalikan kedaulatan pangan dan energi sekaligus membuka lapangan kerja baru secara besar-besaran dalam skala nasional dengan melalui Undang-Undang “Darurat Perang” Non Militer dan “Bela Negara” yang diperluas. Maka sebagai tulang punggung operasi Perang Non Militer adalah Pasukan ZENI TNI yang didukung oleh Relawan Bela Negara.

Sedangkan alusista TNI yang digunakan harus dimodifikasi khusus disesuaikan dengan kebutuhan medan tempur guna membuka lahan pertanian dan perkebunan terpadu. Alutsista TNI yang diturunkan diprioritaskan yang sudah tua tapi masih bisa dimodifikasi dan diproduktifkan daripada teronggok menjadi besi tua.

Bayangkan bila ada ribuan Tank dan Panser yang telah dimodifikasi didukung rampur lain masuk ke “Titik Nol Derajad” Khatulistiwa di Kalimantan. Pasti akan mengejutkan banyak negara, terutama negara tetangga.

Nah, sebagai pusat kendali operasi disiapkan pusat komando yang bernama “Jakarta Dua.” Jakarta Dua adalah sebuah konsep kota mandiri yang dijalankan dengan menerapkan manajemen “birokrat minimalis.” Jakarta Dua sengaja dibangun di “Titik Nol Derajad” Khatulistiwa di Kalimantan sebagai “adik” ibukota Jakarta.

Kota Mandiri ini diharapkan dapat menjadi sebuah solusi jangka pendek guna membuka lapangan kerja baru secara besar-besaran dalam rangka menciptakan lumbung pangan dan energi nasional. Membagi beban “Sang Kakak” yang sudah terlampau berat.

Jakarta Dua dibangun terintegrasi dan terkoneksi langsung dengan kawasan pemukiman, kawasan industri terpadu, bandara, Trans Kalimantan, kota-kota perbatasan, kluster pangan, kluster papan, kilang minyak serta pelabuhan. Jakarta Dua menjadi jantung kehidupan yang mensuplai berbagai kebutuhan operasi Non Militer di Kalimantan, khususnya di perbatasan – sekaligus sebagai Pusat Komando Pertahanan Nusantara II yang meliputi kawasan Indonesia bagian Tengah.

Sebagai jalur penghubung utama antar kawasan adalah jalan Tol Samarinda sampai Entikong. Jalan Tol Trans Kalimantan merupakan proyek infrastruktur multifungsi raksasa yang akan menjadi “ikon” Jakarta Dua. Jalan Tol dibangun melintas diatas kluster-kluster pangan hingga menyusuri alur jalur perbatasan. Teknologi pembuatan Tol Trans Kalimantan diharapkan adalah hasil karya anak bangsa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di tanah air .

Dan sebagai pendukung operasi Perang Non Militer, Bandara Jakarta Dua dibangun terintegrasi dengan Jalan Tol Trans Kalimantan. Bandara dibangun dengan konsep minimalis dan terpadu. Bahkan Jalan Tol Trans kalimantan bisa digunakan sebagai landasan pacu pesawat tempur, pesawat angkut Hercules dan komersil sekelas Boeing 737. Demikian pula dengan Bandara Entikong, terintegrasi dengan Jalan Tol Trans Kalimantan.

Bila pembangunan kluster pangan dan kluster papan dan kluster industri sudah berjalan, maka jumlah penerbangan Kalimantan – Jawa akan sangat padat. Seandainya ada 1 juta orang yang berasal dari Pulau Jawa hilir mudik setiap minggu ditambah 1 juta orang pulau Sulawesi juga hilir mudik.

Pesawat terbang bisa menjadi bus “Trans Jakarta” yang mengantar orang hilir mudik setiap 10 menit. Bayangkan berapa besar jumlah penerbangan Jawa – Kalimantan. Disinilah fungsi Jalan Tol Trans Kalimantan yang multifungsi. Bahkan bila perlu bisa diintegrasikan dengan Jalur Kereta Api Trans Kalimantan.

Dream, dream, dream…

Jakarta, 14 Desember 2014.

(Sumber: theglobal-review/ Agus Setiawan, Pegiat Sosial Politik dan Research Associate GFI / IndoCropCircles)

(Indo-Crop-Circles/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: