Pesan Rahbar

Home » » Menolak Keraguan Seputar Riwayat Fadak

Menolak Keraguan Seputar Riwayat Fadak

Written By Unknown on Sunday 26 April 2015 | 21:45:00


Berkaitan dengan tulisan saya yang berjudul Analisis Riwayat Fadak Antara Sayyidah Fatimah Az Zahra AS Dan Abu Bakar RA., telah muncul beberapa komentar yang menanggapi tulisan tersebut.

_________________________________

Analisis Riwayat Fadak Antara Sayyidah Fatimah Az Zahra AS Dan Abu Bakar RA.

Perhatian sebelumnya tulisan ini sangat panjang dan membutuhkan sedikit analisis yang rumit, jadi diingatkan jangan salah paham dan cobalah mengerti kalau ini hanya pandangan. :D

:) ………………….Eng ing eng……………………. :)






Sudut Pandang dan Hujjah


Muqaddimah

1. Hadis Tentang Fadak
2. Analisis Riwayat Fadak
3. Bagaimana Menyikapi Riwayat Fadak

Apakah masalah ini tidak penting dan membuka aib keluarga Nabi SAW?

Pembahasan:
1. Analisis Terhadap Kedudukan Sayyidah Fatimah AS
2. Kedudukan Sayyidah Fatimah AS sebagai Ahlul Bait
3. Kedudukan Sayyidah Fatimah AS Sebagai Ahli Waris Nabi SAW
4. Analisis Terhadap Hadis Yang Disampaikan Abu Bakar RA.
5. Bertentangan Dengan Hadis Lain
6. Perbedaan Pendapat Abu Bakar dan Umar bin Khattab Serta Pendirian Ali dan Abbas
7. Bertentangan Dengan Al Quranul Karim
8. Al Kitab Juga Menyatakan Nabi Mewariskan Harta


Kesimpulan Analisis


…………………..Mari Kita Mulai……………………

Muqaddimah

Selepas kematian Junjungan yang mulia Rasulullah SAW terjadi suatu perselisihan antara Ahlul Bait yang dalam hal ini Sayyidah Fatimah Az Zahra AS dengan sahabat Nabi yaitu Abu Bakar ra. Perselisihan ini berkaitan dengan tanah Fadak. Fadak adalah tanah harta milik Rasulullah SAW. Sayyidah Fatimah Az Zahra AS menuntut bagiannya dari tanah Fadak karena itu adalah haknya sebagai Ahli Waris Rasulullah SAW. Abu Bakar ra dalam hal ini menolak permintaan Sayyidah Fatimah Az Zahra AS dengan membawakan hadis “Kami para Nabi tidaklah mewarisi dan apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah”. Berdasarkan hadis ini Abu Bakar ra menolak permintaan Sayyidah Fatimah AS karena harta milik Nabi Muhammad SAW tidak menjadi milik Ahli Waris Beliau SAW tetapi menjadi sedekah bagi kaum muslimin.

Tulisan ini akan membahas lebih lanjut masalah ini. Sebelumnya akan dijelaskan bahwa masalah ini memang sensitif dan tidak jarang menimbulkan rasa tidak senang di kalangan tertentu. Masalah ini sudah menjadi isu yang seringkali dipermasalahkan oleh dua kelompok besar Islam yaitu Sunni dan Syiah. Sunni dalam hal ini cenderung tidak menganggap penting masalah ini. Kebanyakan dari Sunni berpendapat bahwa perselisihan itu adalah ijtihad dari masing-masing pihak sedangkan Syiah cenderung membela Ahlul Bait atau Sayyidah Fatimah Az Zahra AS dan dalam hal ini mereka tidak segan-segan menyalahkan Abu Bakar ra. Pendapat Syiah ini ditolak oleh Sunni karena Abu Bakar ra dalam hal ini hanya berpegang pada hadis Rasulullah SAW.

Perselisihan antara Islam Sunni dan Syiah memang sudah sangat lama dan masing-masing pihak memiliki dasar dan dalil sendiri. Sayangnya perselisihan ini justru menimbulkan persepsi yang aneh di kalangan tertentu.

Ada sebagian orang yang memiliki persepi yang buruk tentang Syiah tidak segan-segan menolak riwayat Fadak dan menuduh itu Cuma cerita buatan Syiah.

Sebagian lagi suka menuduh siapa saja yang mengungkit kisah Fadak ini maka dia adalah Syiah.
Siapa saja yang berpendapat kalau Abu Bakar ra salah dalam hal ini maka dia adalah Syiah.

Persepsi aneh tersebut muncul karena pengaruh propaganda pihak-pihak tertentu yang suka menyudutkan dan mengkafirkan Syiah. Sehingga nama Syiah selalu menimbulkan persepsi yang buruk dan mempengaruhi jalan pikiran orang-orang tertentu. Orang-orang seperti ini yang menjadikan prasangka sebagai keyakinan dan yah bisa ditebak kalau mereka ini sukar sekali memahami pembicaraan dan dalil orang lain. Karena semua hujjah dan dalil orang lain dinilai dengan prasangka yang belum tentu benar.

Singkatnya semua persepsi aneh ini tidak terlepas dari kerangka kemahzaban. Seolah-olah pendapat yang benar dalam masalah ini adalah apa yang bertentangan dengan pendapat Syiah. Seolah-olah siapa saja yang berpendapat seperti yang Syiah katakan maka dia jelas salah. Yang seperti ini tidak lain hanya fanatisme belaka. Kebenaran tidak diukur dari golongan tetapi sebaliknya golongan itulah yang mesti diukur dengan kebenaran.

Dalam pembahasan masalah Fadak ini penulis akan berlepas diri dari semua fanatisme mahzab dan berusaha menganalisisnya secara objektif. Walaupun pada akhirnya tetap ada saja yang suka menuduh macam-macam :D


Hadis Tentang Fadak

Hadis ini terdapat dalam Shahih Bukhari Kitab Fardh Al Khumus Bab Khumus no 1345. Berikut adalah hadis tentang Fadak yang dimaksud yang penulis ambil dari Kitab Mukhtasar Shahih Bukhari oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani jilid 3 hal 608 dengan no hadis 1345 terbitan Pustaka Azzam Cetakan pertama 2007 dengan penerjemah :Muhammad Faisal dan Thahirin Suparta.

Dari Aisyah, Ummul Mukminah RA, ia berkata “Sesungguhnya Fatimah AS binti Rasulullah SAW meminta kepada Abu Bakar sesudah wafat Rasulullah SAW supaya membagikan kepadanya harta warisan bagiannya dari harta yang ditinggalkan Rasulullah SAW dari harta fa’i yang dianugerahkan oleh Allah kepada Beliau.[Dalam riwayat lain :kamu meminta harta Nabi SAW yang berada di Madinah dan Fadak dan yang tersisa dari seperlima Khaibar 4/120] Abu Bakar lalu berkata kepadanya, [Dalam riwayat lain :Sesungguhnya Fatimah dan Abbas datang kepada Abu Bakar meminta dibagikan warisan untuk mereka berdua apa yang ditinggalkan Rasulullah SAW, saat itu mereka berdua meminta dibagi tanah dari Fadak dan saham keduanya dari tanah (Khaibar) lalu pada keduanya berkata 7/3] Abu Bakar “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “Harta Kami tidaklah diwaris ,Harta yang kami tinggalkan adalah sedekah [Sesungguhnya keluarga Muhammad hanya makan dari harta ini, [maksudnya adalah harta Allah- Mereka tidak boleh menambah jatah makan] Abu Bakar berkata “Aku tidak akan biarkan satu urusan yang aku lihat Rasulullah SAW melakukannya kecuali aku akan melakukannya] Lalu Fatimah binti Rasulullah SAW marah kemudian ia senantiasa mendiamkan Abu Bakar [Ia tidak mau berbicara dengannya]. Pendiaman itu berlangsung hingga ia wafat dan ia hidup selama 6 bulan sesudah Rasulullah SAW.
Ketika Fatimah meninggal dunia, suaminya Ali RA yang menguburkannya pada malam hari dan tidak memberitahukan kepada Abu Bakar. Kemudian Ia menshalatinya.

Di kitab yang sama Mukhtasar Shahih Bukhari hal 609, disebutkan:
Aisyah berkata “Fatimah meminta bagiannya kepada Abu Bakar dari harta yang ditinggalkan Rasulullah SAW berupa tanah di Khaibar dan Fadak dan sedekah Beliau624 di Madinah. Abu Bakar menolak yang demikian kepadanya dan Abu Bakar berkata “Aku tidak meninggalkan sesuatu yang dulu diperbuat oleh Rasulullah SAW kecuali akan melaksanakannya, Sesungguhnya aku khawatir menyimpang dari kebenaran bila aku meninggalkan sesuatu dari urusan Beliau”. Adapun sedekah Beliau di Madinah, oleh Umar diserahkan kepada Ali dan Abbas. Adapun tanah Khaibar dan Fadak maka Umarlah yang menanganinya, Ia berkata “Keduanya adalah sedekah Rasulullah keduanya untuk hak-hak Beliau yang biasa dibebankan kepada Beliau dan untuk kebutuhan-kebutuhan Beliau. Sedangkan urusan itu diserahkan kepada orang yang memegang kekuasaan.

Di catatan kaki no 624 disebutkan bahwa sedekah Beliau SAW di Madinah yang dimaksud adalah Kurma Bani Nadhir yang jaraknya dekat dengan Madinah.


Analisis Riwayat Fadak

Riwayat pertama dan kedua dengan jelas menunjukkan bahwa Sayyidah Fatimah meminta bagian warisnya dari harta yang ditinggalkan Rasulullah SAW salah satunya adalah tanah Fadak. Hal ini menunjukkan Sayyidah Fatimah AS tidak tahu bahwa harta yang ditinggalkan Nabi SAW adalah sedekah(berdasarkan hadis yang dikatakan Abu Bakar). Sebenarnya tidak hanya Sayyidah Fatimah yang meminta bagian waris dari Harta Nabi SAW, Paman Nabi Abbas RA dan Istri-istri Nabi SAW selain Aisyah juga meminta bagian waris mereka. Jadi kebanyakan keluarga Nabi SAW yang adalah Ahli waris Nabi tidak mengetahui kalau harta yang ditinggalkan Nabi SAW adalah sedekah(berdasarkan hadis yang dikatakan Abu Bakar).

Abu Bakar RA dalam hal ini menolak permintaan Sayyidah Fatimah AS dengan membawakan hadis bahwa Para Nabi tidak mewarisi, apa yang ditinggalkan menjadi sedekah. Setelah mendengar pernyataan Abu Bakar, Sayyidah Fatimah AS marah dan mendiamkan atau tidak mau berbicara kepada Abu Bakar sampai Beliau wafat yaitu selama 6 bulan. Semua penjelasan ini sudah cukup untuk menyatakan memang terjadi perselisihan paham antara Abu Bakar RA dan Sayyidah Fatimah AS.


Bagaimana Menyikapi Riwayat Fadak

Banyak hal yang akan mempengaruhi orang dalam mempersepsi riwayat ini.
1. Ada yang beranggapan kalau masalah ini adalah perbedaan penafsiran atau ijtihad masing-masing dan dalam hal ini keduanya benar
2. Ada yang beranggapan bahwa masalah ini tidak perlu dibesar-besarkan karena menganggap permasalahan ini tidak penting dan hanya membuka aib keluarga Nabi SAW.
3. Ada yang beranggapan dalam masalah ini yang benar adalah Abu Bakar RA
4. Ada yang beranggapan bahwa yang benar dalam masalah ini adalah Sayyidah Fatimah AS.

Riwayat di atas memang menunjukkan perbedaan pandangan Abu Bakar RA dan Sayyidah Fatimah AS. Sayangnya pernyataan keduanya benar adalah tidak tepat. Alasannya sangat jelas keduanya memiliki pandangan yang benar-benar bertolak belakang. Artinya jika yang satu benar maka yang lain salah begitu juga sebaliknya. Mari kita lihat:

Sayyidah Fatimah AS tidak menganggap bahwa harta peninggalan Rasulullah SAW adalah sedekah. Beliau berpandangan bahwa harta peninggalan Rasulullah SAW menjadi milik ahli waris Beliau SAW oleh karena itu Beliau meminta bagian warisan tanah Fadak.

Abu Bakar menolak permintaan Sayyidah Fatimah AS dengan membawakan hadis bahwa para Nabi tidak mewarisi apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah.

Sayyidah Fatimah AS setelah mendengar perkataan Abu Bakar menjadi marah dan tidak berbicara dengan Abu Bakar sampai Beliau wafat. Artinya Sayyidah Fatimah tidak sependapat dengan Abu Bakar oleh karena itu Beliau marah.

Jadi tidak bisa dinyatakan bahwa keduanya benar. Yang benar dalam masalah ini terletak pada salah satunya.


Apakah masalah ini tidak penting dan membuka aib keluarga Nabi SAW?

Jawabannya ini hanya sekedar persepsi. Dari awal orang yang berpikiran kalau masalah ini adalah aib pasti memiliki prakonsepsi bahwa memang terjadi perselisihan antara Abu Bakar dan Sayyidah Fatimah AS. Masalahnya kalau memang tidak ada apa-apa atau hanya sekedar beda penafsiran jelas tidak perlu dianggap aib. Kemungkinan besar dari awal orang yang berpikiran seperti ini menyatakan bahwa Abu Bakar RA benar dalam hal ini. Sehingga dia beranggapan ketidaktahuan Sayyidah Fatimah dengan hadis Abu Bakar dan sikap marah serta mendiamkan oleh Sayyidah Fatimah sebagai aib yang tidak perlu diungkit-ungkit. Menurutnya tidak mungkin Sayyidah Fatimah pemarah dan pendendam. Orang seperti ini jelas tidak memahami dengan baik. Maaf ya :)

Sebenarnya hadis diatas tidak menyatakan bahwa Sayyidah Fatimah seorang pemarah, yang benar bahwa Sayyidah Fatimah marah kepada Abu Bakar. :( Marah dan pemarah adalah dua hal yang berbeda karena Pemarah menunjukkan sikap atau pribadi yang mudah marah sedangkan Marah adalah suatu keadaan tertentu bukan sikap atau kepibadian. Mengkaitkan kata pendendam pada riwayat ini juga tidak relevan. Sikap marah dan mendiamkan Abu Bakar RA yang dilakukan Sayyidah Fatimah berkaitan dengan pandangan Beliau bahwa Beliau jelas dalam posisi yang benar sehingga sikap tersebut justru menunjukkan keteguhan Sayyidah Fatimah pada apa yang Beliau anggap benar. Sayyidah Fatimah tidaklah sama dengan manusia lain, yang bisa sembarangan marah dan hanya meluapkan emosi semata. Kemarahan Beliau selalu terkait dengan kebenaran oleh karenanya Rasulullah SAW bersabda

“Fathimah adalah bahagian dariku, barangsiapa yang membuatnya marah, membuatku marah!”(Hadis riwayat Bukhari dalam Shahih Bukhari jilid 5 Bab Fadhail Fathimah no 61).

Jelas sekali kalau kemarahan Sayyidah Fatimah AS adalah kemarahan Rasulullah SAW. Apa yang membuat Sayyidah Fatimah marah maka hal itu juga membuat Rasulullah SAW marah. Oleh karena itu berkenaan dengan perselisihan pandangan Sayyidah Fatimah dan Abu Bakar RA saya beranggapan bahwa kebenaran terletak pada salah satunya dan tidak keduanya. Dalam hal ini saya beranggapan bahwa kebenaran ada pada Sayyidah Fatimah Az Zahra AS. Berikut pembahasannya:


Analisis Terhadap Kedudukan Sayyidah Fatimah AS

Analisis pertama dimulai dari kedudukan Sayyidah Fatimah Az Zahra AS, Dalam tulisan saya sebelumnya saya telah membahas masalah Siapa Sebenarnya Sayyidah Fatimah Az Zahra AS?.

_________________________________

Siapakah Fatimah Az Zahra AS?


Siapakah Fatimah Az Zahra AS?.

Beliau AS adalah Putri tercinta Rasulullah SAW. Beliau AS lahir dari Keluarga yang paling mulia dan dididik dalam lingkungan Kenabian. Beliau AS adalah sosok yang mulia dan panutan bagi umat muslim setelah Rasulullah SAW. Beliau AS adalah semulia-mulia teladan bagi wanita yang mukmin.. Beliau AS adalah pribadi yang selalu berada dalam kebenaran. Beliau AS adalah Pribadi yang disucikan oleh Allah SWT dari segala dosa.

Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Wanita penghuni surga yang paling utama:
Rasulullah SAW bersabda” Wanita penghuni surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Mazahim istri Firaun.(Hadis shahih riwayat Ahmad,Thabrani,Hakim,Thahawi dalam Shahih Al Jami’As Saghir no 1135 dan Silsilah Al Hadits Al Shahihah no1508).


Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Pemimpin atau penghulu seluruh wanita di surga

Bahwa ada malaikat yang datang menemui Rasulullah SAW dan berkata “sesungguhnya Fathimah adalah penghulu seluruh wanita di dalam surga”.(Hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak dengan sanad yang baik).

Rasululah SAW bersabda kepada Fathimah“Tidakkah Engkau senang jika Engkau menjadi penghulu bagi wanita seluruh alam” (Hadis riwayat Al Bukhari dalam kitab Al Maghazi) .


Beliau AS adalah semulia-mulia wanita dan Sayyidah wanita sedunia.

Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Fathimah, tidakkah anda puas menjadi sayyidah dari wanita sedunia (atau) menjadi wanita tertinggi dari semua wanita dari ummat ini atau wanita mukmin”(Hadis dalam Sahih Bukhari jilid VIII, Sahih Muslim jilid VII, Sunan Ibnu Majah jilid I hlm 518 ,Musnad Ahmad bin Hanbal jilid VI hlm 282,Mustadrak Al Hakim jilid III hlm156).

Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah bagian dari diri Rasulullah SAW. Siapapun yang meragukan Beliau AS berarti meragukan Rasulullah SAW. Kemarahan Beliau AS adalah Kemarahan Rasulullah SAW. Tentu kemarahan ini selalu berada dalam kebenaran dan tidak hanya berlandaskan emosi semata.

Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Fathimah adalah bahagian dariku, barangsiapa yang membuatnya marah, membuatku marah!”(Hadis riwayat Bukhari dalam Shahih Bukhari Bab Fadhail Fathimah no 61).

Rasulullah SAW bersabda “Fathimah adalah sebahagian daripadaku; barangsiapa ragu terhadapnya, berarti ragu terhadapku, dan membohonginya adalah membohongiku”(Hadis riwayat Bukhari dalam Shahih Bukhari kitab nikah bab Dzabb ar-Rajuli).

Sayyidah Fatimah AS adalah Ahlul Bait yang disucikan sesuci-sucinya oleh Allah SWT dari segala dosa. Oleh karena itu Beliau AS terhindar dari kesalahan dan perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah SWT.

Diriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah yang berkata, “ Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad SAW, Sesungguhnya Allah bekehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.(QS Al Ahzab 33). Ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah , lalu Nabi Muhammad SAW memanggil Fathimah,Hasan dan Husain, lalu Rasulullah SAW menutupi mereka dengan kain sedang Ali bin Abi Thalib ada di belakang punggung Nabi SAW .Beliau SAW pun menutupinya dengan kain Kemudian Beliau bersabda” Allahumma( ya Allah ) mereka itu Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.Ummu Salamah berkata,” Dan apakah aku beserta mereka wahai Rasulullah SAW? . Beliau bersabda “ engkau mempunyai tempat sendiri dan engkau menuju kebaikan. (Hadis Sunan Tirmidzi no 3205 dan no 3871 dishahihkan oleh Syaikh Nashirudin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi ).


Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Ahlul Bait yang disucikan dan oleh karenanya Beliau jelas sekali adalah Ahlul Bait yang dimaksud dalam hadis Tsaqalain bahwa Mereka selalu bersama Al Quran dan selalu bersama kebenaran.

Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh. (Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148 Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).


Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Ahlul Bait tempat berpegang umat Islam agar terhindar dari kesesatan.

Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).


Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Ahlul Bait pemberi petunjuk keselamatan bagi umat Islam

Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Bintang-bintang adalah petunjuk keselamatan penghuni bumi dari bahaya tenggelam di tengah lautan.Adapun Ahlul BaitKu adalah petunjuk keselamatan bagi umatKu dari perpecahan.Maka apabila ada kabilah arab yang berlawanan jalan dengan Mereka niscaya akan berpecah belah dan menjadi partai iblis”.(Hadis riwayat Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 3 hal 149, Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih sesuai persyaratan Bukhari Muslim).

Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Ahlul Bait laksana Bahtera Nabi Nuh AS yang barangsiapa menaikinya mereka akan selamat dan barangsiapa yang tidak mengikutinya maka mereka akan tenggelam

Hanash Kanani meriwayatkan “aku melihat Abu Dzar memegang pintu ka’bah (baitullah)dan berkata”wahai manusia jika engkau mengenalku aku adalah yang engkau kenal,jika tidak maka aku adalah Abu Dzar.Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda “Ahlul BaitKu seperti perahu Nabi Nuh,barangsiapa menaikinya mereka akan selamat dan barangsiapa yang tidak mengikutinya maka mereka akan tenggelam”.(Hadis riwayat Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 2 hal 343 dan Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih).

Semua keutamaan di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Sayyidah Fatimah AS tidak sama dengan sahabat-sahabat Nabi ra. Beliau AS memiliki keutamaan jauh di atas mereka. Mereka para sahabat Nabi lebih layak merujuk dan berpedoman kepada Beliau Sayyidah Fatimah AS yang merupakan Ahlul Bait Rasulullah SAW. Bukankah mereka para sahabat Nabi ra telah mendengarkan wasiat Rasulullah SAW dalam hadis Tsaqalain bahwa mereka harus berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait. Jadi sungguh aneh sekali kalau ada yang berkata bahwa Sayyidah Fatimah AS layaknya sahabat Nabi yang lain yang juga bisa salah atau dipengaruhi kecenderungan pribadi, atau pendapat Beliau AS hanyalah penafsiran yang juga bisa salah, pendapat ini jelas bertentangan dengan dalil yang shahih. Oleh karena itu Seandainya ada perselisihan antara Sayyidah Fatimah AS dan sahabat Nabi ra maka sudah pasti kebenaran ada pada Sayyidah Fatimah AS karena Beliau AS adalah pribadi yang disucikan oleh Allah SWT dan senantiasa berada dalam kebenaran.

_________________________________

Kesimpulan tulisan itu bahwa Sayyidah Fatimah AS adalah Ahlul Bait yang senantiasa bersama kebenaran.

Sebelumnya akan ditanggapi terlebih dahulu pernyataan sebagian orang “Kenapa dalam masalah Fadak yang dibahas hanya Sayyidah Fatimah AS saja, bukankah ada juga yang lain yang menuntut waris?”. Sebenarnya pernyataan Ada yang lain justru memperkuat kebenaran Sayyidah Fatimah AS, apa sebenarnya masalah orang yang berkata seperti ini?. Padahal kalau saja mereka tahu kedudukan Sayyidah Fatimah AS yang sebenarnya maka mereka tidak perlu bertanya yang aneh seperti ini. Sayyidah Fatimah berbeda dengan yang lain karena Beliau AS adalah Ahlul Bait yang disucikan oleh Allah SWT dan salah satu Tsaqalain yang menjadi pegangan umat Islam. Sayyidah Fatimah AS berbeda dengan yang lain karena kemarahan Beliau AS adalah kemarahan Rasulullah SAW dan menjadi hujjah akan benar atau tidaknya sesuatu.


Kedudukan Sayyidah Fatimah AS sebagai Ahlul Bait

Mari kita lihat kembali hadis Tsaqalain. Hadis itu disampaikan oleh Rasulullah SAW sebelum Beliau SAW wafat, Beliau SAW berpesan kepada sahabat-sahabatnya untuk berpegang teguh pada Al Quran dan Ahlul Bait agar tidak sesat. Sabda Rasulullah SAW ini adalah bukti jelas bahwa sahabat diperintahkan untuk berpedoman kepada Ahlul Bait dan bukan sebaliknya. Ahlul Bait yang dimaksud juga sudah saya jelaskan dalam tulisan saya Al Quran dan Ahlul Bait selalu dalam kebenaran.

_________________________________

Al Quran Dan Hadis Menyatakan Ahlul Bait Selalu Dalam Kebenaran


Ahlul Bait adalah Pribadi-pribadi yang selalu berada dalam kebenaran

Mereka mendapat kemuliaan yang begitu besar yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan Hadis. Banyak sekali isu-isu seputar masalah ini yang membuat orang enggan membahasnya. Yang saya maksud itu adalah Bagaimana sebenarnya kedudukan Ahlul Bait Rasulullah SAW dalam Islam. Ada sebagian kelompok yang sangat memuliakan Ahlul Bait, berpedoman kepada Mereka dan Mengambil Ilmu dari Mereka. Ada juga kelompok yang lain yang juga memuliakan Ahlul Bait dan mendudukkan mereka layaknya seperti Sahabat Nabi SAW yang juga memiliki keutamaan yang besar. Ada perbedaan yang besar diantara kedua kelompok ini.
Kelompok yang pertama memiliki pandangan bahwa Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat islam agar tidak sesat sehingga Mereka adalah Pribadi-pribadi yang ma’sum dan terbebas dari kesalahan. Kelompok yang pertama ini adalah Islam Syiah.
Kelompok yang kedua memiliki pandangan bahwa Ahlul Bait tidak ma’sum walaupun memiliki banyak keutamaan sehingga Mereka juga tidak terbebas dari kesalahan. Kelompok yang kedua ini adalah Islam Sunni.

Tulisan ini adalah Analisis tentang bagaimana sebenarnya kedudukan Ahlul Bait dalam Islam. Sumber-sumber yang saya pakai sepenuhnya adalah hadis-hadis dalam Kitab Hadis Sunni. Sebelumnya perlu ditekankan bahwa tulisan ini berusaha untuk menelaah pandangan manakah yang benar dan sesuai dengan dalil perihal kedudukan Ahlul Bait Rasulullah SAW. Sebaiknya perlu juga dijelaskan bahwa pembahasan seputar kemuliaan Ahlul Bait ini tidak perlu selalu dikaitkan dengan Sunni atau Syiah. Maksudnya bagaimanapun nantinya pandangan saya tidak perlu dikaitkan dengan apakah saya Sunni atau Syiah karena memang bukan itu inti masalahnya. Cukup lihat dalil atau argumen yang dipakai dan nilailah sendiri benar atau tidak.


Kemuliaan Ahlul Bait Dalam Al Quran

Al Quran dalam Surah Al Ahzab 33 telah menyatakan kedudukan Ahlul Bait bahwa Mereka adalah Pribadi-pribadi yang disucikan oleh Allah SWT.

Mari kita lihat Al Ahzab ayat 33 yang berbunyi:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.

Jika kita melihat ayat sebelum dan sesudah ayat ini maka dengan sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlul Bait yang dimaksud itu adalah istri-istri Nabi SAW karena memang ayat sebelumnya ditujukan pada istri-istri Nabi SAW. Pemahaman seperti ini dapat dibenarkan jika tidak ada dalil shahih yang menjelaskan tentang ayat ini. Mari kita bahas.

Kita sepakat bahwa Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur, artinya tidak diturunkan sekaligus dalam bentuk kitab yang utuh melainkan diturunkan sebagian-sebagian. Untuk mengetahui kapan ayat-ayat Al Quran diturunkan kita harus merujuk kepada Asbabun Nuzulnya. Tapi sayangnya tidak semua ayat Al Quran terdapat asbabun nuzul yang shahih menjelaskan sebab turunnya. Berdasarkan hal ini maka ayat-ayat dalam al Quran dibagi menjadi:
Ayat Al Quran yang memiliki Asbabun Nuzul atau sebab turunnya. Maksudnya ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa atau tujuan tertentu. Hal ini diketahui dengan hadis asbabun nuzul yang shahih.
Ayat Al Quran yang tidak memiliki Asbabun Nuzul atau sebab turunnya karena memang tidak ada asbabun nuzul yang shahih yang menjelaskan sebab turunnya

Lalu apa kaitannya dengan pembahasan ini?. Ternyata terdapat asbabun nuzul yang shahih yang menjelaskan turunnya penggalan terakhir surah Al Ahzab 33 yang lebih dikenal dengan sebutan Ayat Tathhir(ayat penyucian) yaitu penggalan:

Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33)

Yang arti atau terjemahannya adalah
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.

Ternyata banyak Hadis-hadis shahih dan jelas yang menyatakan bahwa ayat Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33) turun sendiri terpisah dari ayat sebelum dan sesudahnya. Artinya ayat tersebut tidak terkait dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang ditujukan untuk istri-istri Nabi SAW. Ayat tersebut justru ditujukan untuk Pribadi-pribadi yang lain dan bukan istri-istri Nabi SAW. Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa yang seperti ini sama halnya dengan Mutilasi ayat, hal ini jelas tidak benar karena ayat yang dimaksud memang ditujukan untuk pribadi tertentu sesuai dengan asbabun nuzulnya.

Sebenarnya Ada dua cara untuk mengetahui siapa yang dituju oleh suatu Ayat dalam Al Quran.
1. Cara yang pertama adalah dengan melihat ayat sebelum dan ayat sesudah dari ayat yang dimaksud, memahaminya secara keseluruhan dan baru kemudian menarik kesimpulan.
2. Cara kedua adalah dengan melihat Asbabun Nuzul dari Ayat tersebut yang terdapat dalam hadis yang shahih tentang turunnya ayat tersebut.

Cara pertama yaitu dengan melihat urutan ayat, jelas memiliki syarat bahwa ayat-ayat tersebut diturunkan secara bersamaan atau diturunkan berkaitan dengan individu-individu yang sama. Dan untuk mengetahui hal ini jelas dengan melihat Asbabun Nuzul ayat tersebut. Jadi sebenarnya baik cara pertama atau kedua sama-sama memerlukan asbabun nuzul ayat tersebut. Seandainya terdapat dalil yang shahih dari asbabun nuzul suatu ayat tentang siapa yang dituju dalam ayat tersebut maka hal ini jelas lebih diutamakan ketimbang melihat urutan ayat baik sebelum maupun sesudahnya. Alasannya adalah ayat-ayat Al Quran tidaklah diturunkan secara bersamaan melainkan diturunkan berangsur-angsur. Oleh karenanya dalil shahih dari Asbabun Nuzul jelas lebih tepat menunjukkan siapa yang dituju dalam ayat tersebut.

Berbeda halnya apabila tidak ditemukan dalil shahih yang menjelaskan Asbabun Nuzul ayat tersebut. Maka dalam hal ini jelas lebih tepat dengan melihat urutan ayat baik sebelum maupun sesudahnya untuk menangkap maksud kepada siapa ayat tersebut ditujukan.

Jadi ini bukan mutilasi ayat tapi memang ayatnya turun sendiri terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya dan ditujukan untuk pribadi-pribadi tertentu. Hal ini berdasarkan hadis-hadis yang menjelaskan Asbabun Nuzul Ayat Tathir, Hadis ini memiliki derajat yang sahih dan dikeluarkan oleh Ibn Abi Syaibah, Ahmad, Al Tirmidzi, Al Bazzar, Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Hatim, Al Hakim, Ath Thabrani, Al Baihaqi dan Al Hafiz Al Hiskani. Berikut adalah hadis riwayat Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi.

Diriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah yang berkata, “Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad SAW, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.(QS Al Ahzab 33). Ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah , lalu Nabi Muhammad SAW memanggil Fathimah, Hasan dan Husain, lalu Rasulullah SAW menutupi mereka dengan kain sedang Ali bin Abi Thalib ada di belakang punggung Nabi SAW .Beliau SAW pun menutupinya dengan kain Kemudian Beliau bersabda” Allahumma( ya Allah ) mereka itu Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata,” Dan apakah aku beserta mereka wahai Rasulullah SAW? . Beliau bersabda “ engkau mempunyai tempat sendiri dan engkau menuju kebaikan”. (Hadis Sunan Tirmidzi no 3205 dan no 3871 dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi).

Dari hadis ini dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut:
Bahwa ayat ini turun di rumah Ummu Salamah ra, dan terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya. Hadis itu menjelaskan bahwa yang turun itu hanya penggalan ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.

Ahlul Bait yang dimaksud dijelaskan sendiri oleh Nabi SAW melalui kata-kata Beliau SAW “Ya Allah, mereka adalah Ahlul BaitKu” Pernyataan ini ditujukan pada mereka yang diselimuti kain oleh Rasulullah SAW yaitu Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.

Ayat ini tidak ditujukan untuk istri-istri Nabi SAW. Buktinya adalah Pertanyaan Ummu Salamah. Pertanyaan Ummu Salamah mengisyaratkan bahwa ayat itu tidak ditujukan untuk istri-istri Nabi SAW, karena jika Ayat yang dimaksud memang turun untuk istri-istri Nabi SAW maka seyogyanya Ummu Salamah tidak perlu bertanya Dan apakah aku beserta mereka wahai Rasulullah SAW?. Bukankah jika ayat tersebut turun mengikuti ayat sebelum maupun sesudahnya maka adalah jelas bagi Ummu Salamah bahwa Beliau ra selaku istri Nabi SAW juga dituju dalam ayat tersebut dan Beliau ra tidak akan bertanya kepada Rasulullah SAW.

Adanya pertanyaan dari Ummu Salamah ra menyiratkan bahwa ayat ini benar-benar terpisah dari ayat yang khusus untuk Istri-istri Nabi SAW. Sekali lagi ditekankan kalau memang ayat itu jelas untuk istri-istri Nabi SAW maka Ummu Salamah ra tidak perlu bertanya lagi “Dan apakah aku bersama mereka wahai Nabi Allah?”.

Penolakan Rasulullah SAW terhadap pertanyaan Ummu Salamah, Beliau SAW bersabda “ engkau mempunyai tempat sendiri dan engkau menuju kebaikan”. Hal ini menunjukkan Ummu Salamah selaku salah satu Istri Nabi SAW tidaklah bersama mereka Ahlul Bait yang dituju oleh ayat ini. Beliau Ummu Salamah ra mempunyai kedudukan tersendiri dan bukanlah Ahlul Bait yang dimaksud dalam ayat ini.

Kesimpulan dari hadis-hadis Asbabun nuzul ayat tathhir adalah Ahlul Bait dalam Al Ahzab 33 itu adalah
Rasulullah SAW sendiri karena ayat itu turun untuk Beliau berdasarkan kata-kata Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad SAW.

Mereka yang diselimuti kain oleh Rasulullah SAW dan dinyatakan bahwa mereka adalah Ahlul Bait Rasulullah SAW yang dimaksud yaitu Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.

Terdapat beberapa ulama ahlus sunnah yang menyatakan bahwa ayat tathiir adalah khusus untuk Ahlul Kisa’ (Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as) yaitu
Ibnu Jarir Ath Thabari dalam kitab Tafsir Ath Thabary juz I hal 50 ketika menafsirkan ayat ini beliau membatasi cakupan Ahlul Bait itu hanya pada diri Nabi SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan menyatakan bahwa ayat tersebut hanya untuk Mereka berlima (merujuk pada berbagai riwayat yang dikutip Thabari).

Abu Ja’far Ath Thahawi dalam kitab Musykil Al Atsar juz I hal 332-339 setelah meriwayatkan berbagai hadis tentang ayat ini beliau menyatakan bahwa ayat tathiir ditujukan untuk Rasulullah SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan tidak ada lagi orang selain Mereka. Beliau juga menolak anggapan bahwa Ahlul Bait yang dituju oleh ayat ini adalah istri-istri Nabi SAW. Beliau menulis Maka kita mengerti bahwa pernyataan Allah dalam Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. (Al-Ahzab :33) ditujukan pada orang-orang yang khusus dituju olehNya untuk mengingatkan akan derajat Mereka yang tinggi dan para istri Rasulullah SAW hanyalah yang dituju pada bagian yang sebelumnya dari ayat itu yaitu sebelum ditujukan pada orang-orang tersebut”.

Mungkin terdapat keraguan sehubungan dengan urutan ayat Al Ahzab 33, kalau memang ayat tersebut hanya ditujukan untuk Ahlul Kisa’ kenapa ayat ini terletak diantara ayat-ayat yang membicarakan tentang istri-istri Nabi. Perlu ditekankan bahwa peletakan susunan ayat-ayat dalam Al Quran adalah dari Nabi SAW dan juga diketahui bahwa ayat ayat Al Quran diturunkan berangsur-angsur, pada dasarnya kita tidak akan menyelisihi urutan ayat kecuali terdapat dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa ayat tersebut turun sendiri dan tidak berkaitan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya. Berikut akan diberikan contoh lain tentang ini, yaitu penggalan Al Maidah ayat 3

“Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

Ayat di atas adalah penggalan Al Maidah ayat 3 yang turun sendiri di arafah berdasarkan Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari no 4606 , Muslim dalam Shahih Muslim, no 3017 tidak terkait dengan ayat sebelum maupun sesudahnya yang berbicara tentang makanan yang halal dan haram.

Dari Thariq bin Syihab, ia berkata, ‘Orang Yahudi berkata kepada Umar, ‘Sesungguhnya kamu membaca ayat yang jika berhubungan kepada kami, maka kami jadikan hari itu sebagai hari besar’. Maka Umar berkata, ‘Sesungguhnya saya lebih mengetahui dimana ayat tersebut turun dan dimanakah Rasulullah SAW ketika ayat tersebut diturunkan kepadanya, yaitu diturunkan pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan Rasulullah SAW berada di Arafah. Sufyan berkata: “Saya ragu, apakah hari tsb hari Jum’at atau bukan (dan ayat yang dimaksud tersebut) adalah “Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (H.R.Muslim, kitab At-Tafsir)


Makna Ayat Tathir

Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33)


Innama

Setelah mengetahui bahwa ayat ini ditujukan untuk ahlul kisa’(Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS) sekarang akan dibahas makna dari ayat tersebut. Ayat ini diawali dengan kata Innama, dalam bahasa arab kata ini memiliki makna al hashr atau pembatasan. Dengan demikian lafal ini menunjukkan bahwa kehendak Allah itu hanya untuk menghilangkan ar rijs dari Ahlul Bait as dan menyucikan Mereka sesuci-sucinya. Allah SWT tidak menghendaki hal itu dari selain Ahlul Bait as dan tidak juga menghendaki hal yang lain untuk Ahlul Bait as.


Yuridullah

Setelah kata Innama diikuti kata yuridullah yang berarti Allah berkehendak, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa iradah Allah SWT terbagi dua yaitu iradah takwiniyyah dan iradah tasyri’iyyah. Iradah takwiniyyah adalah iradah Allah yang bersifat pasti atau niscaya terjadi, hal ini dapat dilihat dari ayat berikut:
“Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadaNya ‘Jadilah ‘maka terjadilah ia”(QS Yasin :82)
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apanila Kami menghendakinya,Kami hanya berkata kepadanya ‘Jadilah’maka jadilah ia”(QS An Nahl :40)
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki”(QS Hud:107)

Sedangkan yang dimaksud Iradah tasyri’iyah adalah Iradah Allah SWT yang terkait dengan penetapan hukum syariat bagi hamba-hambanya agar melaksanakannya dengan ikhtiar mereka sendiri. Dalam hal ini iradah Allah SWT adalah penetapan syariat adapun pelaksanaannya oleh hamba adalah salah satu tujuan penetapan syariat itu, oleh karenanya terkadang tujuan itu terealisasi dan terkadang tidak sesuai dengan pilihan hamba itu sendiri apakah mematuhi syariat yang telah ditetapkan Allah SWT atau melanggarnya. Contoh iradah ini dapat dilihat pada ayat berikut:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)bulan ramadhan,bulan yang didalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda(antara yang haq dan yang bathil).Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur”.(QS Al Baqarah :185).

“Hai orang-orang beriman apabila kamu hendak mengerjakan sholat,maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku dan sapulah kepalamu dan kakimusampai dengan kedua mata kaki dan jika kamu junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air,maka bertanyamumlah dengan tanah yang baik(bersih) sapulah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu supaya kamu bersyukur”.(QS Al Maidah : 6)

Iradah dalam Al Baqarah 185 adalah berkaitan dengan syariat Allah tentang puasa dimana aturan-aturan yang ditetapkan Allah itu adalah untuk memudahkan manusia dalam melaksanakannya,sehingga iradah ini akan terwujud pada orang yang berpuasa. Sedangkan yang tidak mau berpuasa jelas tidak ada hubungannya dengan iradah ini. Begitu juga Iradah dalam Al Maidah ayat 6 dimana Allah hendak membersihkan manusia dan menyempurnakan nikmatnya bagi manusia supaya manusia bersyukur, iradah ini jelas terkait dengan syariat wudhu dan tanyamum yang Allah tetapkan oleh karenanya iradah ini akan terwujud bagi orang yang bersuci sebelum sholat dengan wudhu dan tanyamum dan ini tidak berlaku bagi orang yang tidak bersuci baik dengan wudhu atau tanyamum. Dan perlu ditekankan bahwa iradah tasyri’iyah ini ditujukan pada semua umat muslim yang melaksanakan syariat Allah SWT tersebut termasuk dalam hal ini Ahlul Bait as.

Iradah dalam Ayat tathhiir adalah iradah takwiniyah dan bukan iradah tasyri’iyah artinya tidak terkait dengan syariat tertentu yang Allah tetapkan, tetapi iradah ini bersifat niscya atau pasti terjadi. Hal ini berdasarkan alasan-alasan berikut:
Penggunaan lafal Innama yang bermakna hashr atau pembatasan menunjukkan arti bahwa Allah tidak berkehendak untuk menghilangkan rijs dengan bentuk seperti itu kecuali dari Ahlul Bait, atau dengan kata lain kehendak penyucian ini terbatas hanya pada pribadi yang disebut Ahlul Bait dalam ayat ini.

Berdasarkan asbabun nuzulnya ayat ini seperti dalam hadis riwayat Turmudzi di atas tidak ada penjelasan bahwa iradah ini berkaitan dengan syariat tertentu yang Allah tetapkan.

Allah memberi penekanan khusus setelah kata kerja liyudzhiba(menghilangkan) dengan firmannya wa yuthahhirakum tathiira. Dan kata kerja kedua ini wa yuthahhirakum(menyucikanmu) dikuatkan dengan mashdar tathiira(sesuci-sucinya)yang mengakhiri ayat tersebut. Penekanan khusus ini merupakan salah satu petunjuk bahwa iradah Allah ini adalah iradah takwiniyah.


Li yudzhiba ‘An kumurrijsa Ahlal bait

Kemudian kalimat selanjutnya adalah li yudzhiba ‘an kumurrijsa ahlal bait . Kalimat tersebut menggunakan kata ‘an bukan min. Dalam bahasa Arab, kata ’an digunakan untuk sesuatu yang belum mengenai, sementara kata min digunakan untuk sesuatu yang telah mengenai. Oleh karena itu, kalimat tersebut memiliki arti untuk menghilangkan rijs dari Ahlul Bait (sebelum rijs tersebut mengenai Ahlul Bait), atau dengan kata lain untuk menghindarkan Ahlul Bait dari rijs. Sehingga jelas sekali, dari kalimat ini terlihat makna kesucian Ahlul Bait dari rijs. Lagipula adalah tidak tepat menisbatkan bahwa sebelumnya mereka Ahlul bait memiliki rijs kemudian baru Allah menyucikannya karena Ahlul Bait yang disucikan dalam ayat ini meliputi Imam Hasan dan Imam Husain yang waktu itu masih kecil dan belum memiliki rijs.


Ar Rijs

Dalam Al Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata rijs, diantaranya adalah sebagai berikut:
“Sesungguhny,a (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijs) termasuk perbuatan setan” (QS Al Maidah: 90).
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis (rijs) dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS Al Hajj: 30).
“Dan adapun orang orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran (rijs) mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir” (QS At Taubah: 125).
“Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis (rijs)” (QS At Taubah: 95).
“Dan Allah menimpakan kemurkaan (rijs) kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya” (QS Yunus: 100).

Dari semua ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa rijs adalah segala hal bisa dalam bentuk keyakinan atau perbuatan yang keji, najis yang tidak diridhai dan menyebabkan kemurkaan Allah SWT.

Asy Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir jilid 4 hal 278 menulis,
“… yang dimaksud dengan rijs ialah dosa yang dapat menodai jiwa jiwa yang disebabkan oleh meninggalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan melakukan apa-apa yang dilarang oleh-Nya. Maka maksud dari kata tersebut ialah seluruh hal yang di dalamnya tidak ada keridhaan Allah SWT”.

Kemudian ia melanjutkan,
“Firman `… dan menyucikan kalian… ‘ maksudnya adalah: `Dan menyucikan kalian dari dosa dan karat (akibat bekas dosa) dengan penyucian yang sempurna.’ Dan dalam peminjaman kata rijs untuk arti dosa, serta penyebutan kata thuhr setelahnya, terdapat isyarat adanya keharusan menjauhinya dan kecaman atas pelakunya”.

Lalu ia menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Hakim, At Turmudzi, Ath Thabarani, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dalam kitab Ad Dalail jilid 4 hal 280, bahwa Nabi saw. bersabda dengan sabda yang panjang, dan pada akhirnya beliau mengatakan “Aku dan Ahlul BaitKu tersucikan dari dosa-dosa”. (kami telah membahas secara khusus hadis ini di bagaian yang lain)

Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki dalam kitab Ash Shawaiq hal 144-145 berkata,
“Ayat ini adalah sumber keutamaan Ahlul Bait, karena ia memuat mutiara keutamaan dan perhatian atas mereka. Allah mengawalinya dengan innama yang berfungsi sebagai pengkhususan kehendakNya untuk menghilangkan hanya dari mereka rijs yang berarti dosa dan keraguan terhadap apa yang seharusnya diimani dan menyucikan mereka dari seluruh akhlak dan keadaan tercela.”

Jalaluddin As Suyuthi dalam kitab Al lklil hal 178 menyebutkan bahwa:
kesalahan adalah rijs, oleh karena itu kesalahan tidak mungkin ada pada Ahlul Bait.

Semua penjelasan diatas menyimpulkan bahwa Ayat tathiir ini memiliki makna bahwa Allah SWT hanya berkehendak untuk menyucikan Ahlul Bait dari semua bentuk keraguan dan perbuatan yang tercela termasuk kesalahan yang dapat menyebabkan dosa dan kehendak ini bersifat takwiniyah atau pasti terjadi. Selain itu penyucian ini tidak berarti bahwa sebelumnya terdapat rijs tetapi penyucian ini sebelum semua rijs itu mengenai Ahlul Bait atau dengan kata lain Ahlul Bait dalam ayat ini adalah pribadi-pribadi yang dijaga dan dihindarkan oleh Allah SWT dari semua bentuk rijs. Jadi tampak jelas sekali bahwa ayat ini telah menjelaskan tentang kedudukan yang mulia dari Ahlul Bait yaitu Rasulullah SAW, Imam Ali as, Sayyidah Fathimah Az Zahra as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Penyucian ini menetapkan bahwa Mereka Ahlul Bait senantiasa menjauhkan diri dari dosa-dosa dan senantiasa berada dalam kebenaran. Oleh karenanya tepat sekali kalau mereka adalah salah satu dari Tsaqalain selain Al Quran yang dijelaskan Rasulullah SAW sebagai tempat berpegang dan berpedoman umat islam agar tidak tersesat.


Kemuliaan Ahlul Bait Dalam Hadis Rasulullah SAW

Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“ (Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148 Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).

Hadis-hadis Shahih dari Rasulullah SAW menjelaskan bahwa mereka Ahlul Bait AS adalah pedoman bagi umat Islam selain Al Quranul Karim. Mereka Ahlul Bait senantiasa bersama Al Quran dan senantiasa bersama kebenaran.

Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761)

Hadis ini menjelaskan bahwa manusia termasuk sahabat Nabi diharuskan berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait. Ahlul Bait yang dimaksud dijelaskan sendiri dalam Hadis Sunan Tirmidzi di atas atau Hadis Kisa’ yaitu Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.


Selain itu ada juga hadis

Hanash Kanani meriwayatkan “aku melihat Abu Dzar memegang pintu ka’bah (baitullah)dan berkata”wahai manusia jika engkau mengenalku aku adalah yang engkau kenal,jika tidak maka aku adalah Abu Dzar.Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda “Ahlul BaitKu seperti perahu Nabi Nuh, barangsiapa menaikinya mereka akan selamat dan barangsiapa yang tidak mengikutinya maka mereka akan tenggelam”.(Hadis riwayat Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 2 hal 343 dan Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih).

Hadis ini menjelaskan bahwa Ahlul Bait seperti bahtera Nuh dimana yang menaikinya akan selamat dan yang tidak mengikutinya akan tenggelam. Mereka Ahlul Bait Rasulullah SAW adalah pemberi petunjuk keselamatan dari perpecahan.

Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Bintang-bintang adalah petunjuk keselamatan penghuni bumi dari bahaya tenggelam di tengah lautan.Adapun Ahlul BaitKu adalah petunjuk keselamatan bagi umatKu dari perpecahan.Maka apabila ada kabilah arab yang berlawanan jalan dengan Mereka niscaya akan berpecah belah dan menjadi partai iblis”.

(Hadis riwayat Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 3 hal 149, Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih sesuai persyaratan Bukhari Muslim).

Begitu besarnya kemuliaan Ahlul Bait Rasulullah SAW ini membuat mereka jelas tidak bisa dibandingkan dengan sahabat-sahabat Nabi ra. Tidak benar jika dikatakan bahwa Ahlul Bait sama halnya sahabat-sahabat Nabi ra sama-sama memiliki keutamaan yang besar karena jelas sekali berdasarkan dalil shahih di atas bahwa Ahlul Bait kedudukannya lebih tinggi karena Mereka adalah tempat rujukan bagi para sahabat Nabi setelah Rasulullah SAW meninggal. Jadi tidak tepat kalau dikatakan Ahlul Bait juga bisa salah, atau sahabat Nabi bisa mengajari Ahlul Bait atau Menyalahkan Ahlul Bait. Sekali lagi, Al Quran dan Hadis di atas sangat jelas menunjukkan bahwa mereka Ahlul Bait akan selalu bersama kebenaran oleh karenanya Rasulullah SAW memerintahkan umatnya(termasuk sahabat-sahabat Beliau SAW) untuk berpegang teguh dengan Mereka Ahlul Bait.

_________________________________


Sudah jelas sekali kalau Sayyidah Fatimah AS adalah Ahlul Bait Rasulullah SAW.

Mari kita lihat hadis Fadak, dari hadis itu didapati bahwa Sayyidah Fatimah tidak mengetahui kalau Para Nabi tidak mewariskan atau harta peninggalan para Nabi menjadi sedekah. Hal ini menimbulkan kemusykilan karena Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Ahlul Bait yang menjadi pedoman bagi sahabat, Beliau Sayyidah Fatimah AS adalah Ahlul Bait yang selalu bersama Al Quran dan kebenaran sehingga tidak mungkin tidak mengetahui perkara seperti ini.
1. Menerima kalau Sayyidah Fatimah AS tidak tahu itu berarti menerima kalau Beliau pada awalnya menuntut sesuatu yang bukan haknya.
2. Menerima kalau Sayyidah Fatimah AS tidak tahu itu berarti menerima bahwa Beliau pada awalnya adalah keliru.

Mungkinkah Ahlul Bait yang menjadi tempat pedoman para sahabat agar tidak sesat bisa tidak mengetahui hadis ini?, Mungkinkah Ahlul Bait yang selalu bersama Al Quran dan selalu bersama kebenaran bisa keliru?, Mungkinkah Ahlul Bait yang disucikan oleh Allah SWT menuntut sesuatu yang bukan haknya?. Jawabannya jelas tidak.

Kemudian mari kita lihat lagi, ternyata setelah mendengar pernyataan Abu Bakar RA yang membawakan hadis Para Nabi tidak mewariskan atau harta peninggalan para Nabi menjadi sedekah, Sayyidah Fatimah menjadi marah dan mendiamkan Abu Bakar selama 6 bulan. Mungkinkah Sayyidah Fatimah AS atau Ahlul Bait akan menjadi marah mendengar hadis Rasulullah SAW? Jawabannya juga tidak, seandainya hadis itu memang benar maka Sayyidah Fatimah dengan kedudukan Beliau AS yang mulia pasti akan menerima hadis Rasulullah SAW. Bagaimana mungkin Pribadi yang merupakan salah satu dari Tsaqalain dan selalu bersama Al Quran akan menolak hadis Rasulullah SAW.

Lihat kembali hadis Rasulullah SAW yang menyatakan apa saja yang membuat Sayyidah Fatimah AS marah maka itu juga membuat Rasulullah SAW marah. Dalam hadis fadak, Sayyidah Fatimah marah setelah mendengar hadis Rasulullah SAW yang disampaikan Abu Bakar. Hal ini berarti jika Rasulullah SAW ada disitu saat itu maka Rasulullah SAW pun akan marah juga berdasarkan hadis di atas. Jadi mungkinkah Rasulullah SAW marah dengan apa yang Beliau katakan sendiri?, atau justru sebenarnya hadis yang disampaikan Abu Bakar RA itu tidak benar. Lihat banyak sekali kemusykilan yang ditimbulkan hadis yang disampaikan Abu Bakar RA.


Kedudukan Sayyidah Fatimah AS Sebagai Ahli Waris Nabi SAW

Sayyidah Fatimah AS adalah Putri tercinta Rasulullah SAW yang dalam hal ini jelas merupakan Ahli waris Beliau SAW. Oleh karena itu tentu sebagai Ahli waris, Beliau lebih layak untuk mengetahui apapun perihal hak warisnya termasuk hadis yang disampaikan Abu Bakar RA. Mari kita lihat hadis Fadak, dari hadis itu didapati Ahli waris Nabi SAW ternyata tidak mengetahui hadis ini. Padahal Ahli waris Nabi SAW tentu lebih layak mengetahui hadis ini karena masalah ini adalah urusannya. Mari kita lihat kemungkinannya
Ahli waris Nabi SAW dalam hal ini Sayyidah Fatimah AS pura-pura tidak tahu dengan hadis ini.

Kemungkinan ini jelas tidak benar, mempercayai kemungkinan ini berarti Sayyidah Fatimah AS telah mengabaikan perintah Rasulullah SAW. Hal ini jelas tidak mungkin bagi Ahlul Bait yang disucikan dan selalu bersama Al Quran.

Ahli waris Nabi SAW dalam hal ini Sayyidah Fatimah AS lupa dengan hadis ini. Pernyataan ini juga tidak tepat, kalau memang lupa kenapa pula menjadi marah setelah diingatkan dengan hadis yang disampaikan Abu Bakar RA. Kemarahan Sayyidah Fatimah AS menunjukkan ketidaksukaan dan penolakan Beliau terhadap hadis yang disampaikan Abu Bakar RA.

Rasulullah SAW tidak memberitahu Sayyidah Fatimah AS tentang hadis ini. Mungkinkah yang seperti ini terjadi, Bagaimana mungkin Rasulullah SAW tidak memberitahu kepada Ahli waris Beliau SAW?.

Sedangkan Beliau SAW justru memberitahu hadis ini kepada Abu Bakar RA yang justru bukanlah Ahli Waris Beliau SAW. Apakah Rasulullah SAW lupa? Atau Apakah Rasulullah SAW sengaja tidak memberitahu hal ini yang ternyata menimbulkan perselisihan?. Jawabannya tidak karena kesucian Rasulullah SAW jelas tidak memungkinkan hal ini terjadi. Kemungkinan ini ternyata juga sama tidak benarnya dengan yang lain.


Analisis Terhadap Hadis Yang Disampaikan Abu Bakar RA.

Hadis yang disampaikan oleh Abu Bakar RA bahwa Para Nabi tidak mewariskan atau harta peninggalan para Nabi menjadi sedekah ternyata bertentangan dengan hadis lain dan Al Quranul Karim.


Bertentangan Dengan Hadis Lain

Dari Ali bin Husain bahwa ketika mereka mendatangi Madinah dari sisi Yazid bin Muawiyah di masa pembunuhan Husain bin Ali RA, Al Miswar bin Makhramah menjumpainya, lalu ia berkata kepadanya ” Adakah sesuatu hajat kepadaku yang dapat kau perintahkan kepadaku”. Aku berkata kepadanya “tidak”. Dia berkata kepadanya “Maka apakah engkau memberikan kepadaku pedang Rasulullah SAW karena aku khawatir terhadap kaum akan mengalahkanmu sementara pedang itu berada di tangan mereka. Demi Allah sungguh bila engkau memberikannya kepadaku maka tidaklah pedang itu lepas kepada mereka selama-lamanya sehingga nyawaku direnggut (Mukhtasar Shahih Bukhari Syaikh Nashiruddin Al Albani jilid 3 hadis no 1351 hal 619 cetakan pertama Pustaka Azzam 2007, penerjemah M Faisal & Thahirin Suparta).

Hadis di atas menyatakan bahwa Ali bin Husain RA (Keturunan Ahlul bait) memiliki pedang Rasulullah SAW. Bukankah pedang Rasulullah SAW adalah harta milik Beliau SAW. Tentu berdasarkan hadis Abu Bakar RA maka harta Rasulullah SAW menjadi sedekah dan milik kaum Muslimin. Jadi mengapa pedang Rasulullah SAW ada pada Ahlul Bait Beliau SAW. Bukankah itu berarti Pedang tersebut diwariskan kepada Ahlul Bait Rasulullah SAW.

Nah sudah mulai pusing belum :mrgreen:

Perbedaan Pendapat Abu Bakar dan Umar bin Khattab Serta Pendirian Ali dan Abbas

Abu Bakar dan Umar bin Khattab memiliki sedikit pandangan yang berbeda soal hadis yang dibawa Abu Bakar tersebut. Lihat riwayat Fadak yang kedua, mula-mula Abu Bakar menolak semua permintaan sayyidah Fatimah:
Aisyah berkata “Fatimah meminta bagiannya kepada Abu Bakar dari harta yang ditinggalkan Rasulullah SAW berupa tanah di Khaibar dan Fadak dan sedekah Beliau(kurma bani Nadhir) di Madinah. Abu Bakar menolak yang demikian kepadanya dan Abu Bakar berkata “Aku tidak meninggalkan sesuatu yang dulu diperbuat oleh Rasulullah SAW kecuali akan melaksanakannya, Sesungguhnya aku khawatir menyimpang dari kebenaran bila aku meninggalkan sesuatu dari urusan Beliau”.

Sedangkan pada masa pemerintahan Umar sedekah Nabi SAW di Madinah justru diserahkan kepada Ali dan Abbas. Setidaknya ada beberapa hal yang ditangkap dari hal ini. Kemungkinan Ali dan Abbas kembali meminta seperti apa yang diminta Sayyidah Fatimah pada masa pemerintahan Umar, ini berarti mereka tetap menolak pernyataan hadis yang dibawa Abu Bakar. Kemudian Umar bin Khattab RA menolak memberikan tanah Khaibar dan Fadak tetapi memberikan sedekah Nabi SAW(kurma bani Nadhir) di Madinah, lihat lanjutan hadisnya:

Adapun sedekah Beliau di Madinah, oleh Umar diserahkan kepada Ali dan Abbas. Adapun tanah Khaibar dan Fadak maka Umarlah yang menanganinya, Ia berkata “Keduanya adalah sedekah Rasulullah keduanya untuk hak-hak Beliau yang biasa dibebankan kepada Beliau dan untuk kebutuhan-kebutuhan Beliau. Sedangkan urusan itu diserahkan kepada orang yang memegang kekuasaan.

Sebenarnya baik tanah Khaibar, Fadak dan sedekah Nabi SAW di madinah adalah sama-sama sedekah kalau menurut apa yang dikatakan Abu Bakar RA dan Umar RA tetapi anehnya Umar RA justru memberikan sedekah Nabi SAW di Madinah kepada Ahlul Bait yaitu Ali dan Abbas. Padahal berdasarkan hadis Shahih sedekah diharamkan bagi Ahlul Bait. Jadi jika hadis yang dinyatakan Abu Bakar itu benar maka pendapat Umar yang menyerahkan sedekah Nabi SAW di Madinah adalah keliru karena bertentangan dengan hadis shahih bahwa sedekah diharamkan bagi Ahlul Bait.

Mari kita lihat dari sisi yang lain, Ali RA dan Abbas RA ternyata tetap menerima sedekah Nabi SAW di Madinah(kurma bani Nadhir) itu bisa berarti:
1. Mereka keliru karena menerima sedekah
2. Mereka menganggap kurma bani Nadhir bukanlah sedekah tapi harta milik Rasulullah SAW.

Imam Ali dalam hal ini adalah Ahlul Bait yang disucikan Allah SWT dan telah jelas sabda Rasulullah SAW bahwa Beliau Imam Ali selalu bersama Al Quran dan Al Quran bersama Imam Ali berdasarkan hadis

bahwa Rasulullah SAW bersabda “Ali bersama Al Quran dan Al Quran bersama Ali. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya menemuiku di telaga Haudh”.(Hadis riwayat Al Hafidz Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain juz 3 hal 124. Hadis ini dishahihkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain yang berkata “ini hadis yang shahih tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya”. Dalam Talkhis Mustadrak Adz Dzahabi juga mengakui keshahihan hadis ini).

Dan juga hadis berikut menunjukkan Imam Ali selalu bersama Allah dan RasulNya.

bahwa Rasulullah SAW bersabda “barangsiapa taat kepadaKu, berarti ia taat kepada Allah dan siapa yang menentangKu berarti ia menentang Allah dan siapa yang taat kepada Ali berarti ia taat kepadaKu dan siapa yang menentang Ali berarti ia menentangKu.” (Hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 3 hal 121. Al Hakim dalam Al Mustadrak berkata hadis ini shahih sanadnya akan tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Adz Dzahabi juga mengakui kalau hadis ini shahih dalam Talkhis Al Mustadrak).

Jadi adalah tidak mungkin Imam Ali keliru dalam hal ini sehingga yang benar adalah pernyataan bahwa Ali RA dan Abbas RA menganggap kurma bani Nadhir bukanlah sedekah tapi harta milik Rasulullah SAW.

Jika benar seperti ini maka Ali RA dan Abbas RA telah mewarisi harta Rasulullah SAW dan hal ini jelas bertentangan dengan hadis Abu Bakar RA.

Bagaimana sedikit rumitkah? :)


Bertentangan Dengan Al Quranul Karim

Al Quranul Karim telah menjelaskan banyak hukum tentang waris, salah satunya:
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu(seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis didalam Kitab (Allah).(QS :Al Ahzab ayat 6).

Al Quran jelas-jelas menyatakan bahwa Yang mempunyai hubungan darah itu berhak untuk saling waris- mewarisi berdasarkan ketentuan Allah SWT. Dalam hal ini Sayyidah Fatimah AS berhak mewarisi Rasulullah SAW yang adalah ayah Beliau . Sebagian orang membela hadis Abu Bakar RA dengan mengatakan Ayat Al Quran di atas telah ditakhsis oleh hadis tersebut. Jadi ayat ini tidak berlaku untuk para Nabi. Sayangnya pendapat ini juga keliru karena Al Quran juga menjelaskan bahwa para Nabi juga mewarisi.

Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata “Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata”.(QS: An Naml ayat 16).

(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakariya, yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhan-Nya dengan suara yang lembut. Ia berkata”Ya Tuhan-ku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepadaku telah ditumbuhi uban dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhan-ku. Dan sesungguhnya aku khawtir tentang mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub dan jadikanlah ia, ya Tuhan-ku seorang yang diridhai.(QS:Maryam ayat 2-6).

Al Quran pun dengan jelas menyatakan bahwa para Nabi juga mewariskan. Sebagian orang tetap berkeras dengan mengatakan bahwa yang dimaksud mewariskan di atas adalah mewariskan kenabian, hikmah atau ilmu bukan masalah harta. Pendapat ini pun keliru karena Kenabian tidaklah diwariskan tapi diangkat atau dipilih langsung oleh Allah SWT begitu juga hikmah dan ilmu para Nabi adalah langsung pemberian Allah SWT. Cukuplah bagi mereka Al Quran sendiri yang mengatakan

Berkata Isa “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab(Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi“.(QS :Maryam 30).

Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.(QS :Al Baqarah 130)

Allah berfirman “hai Musa sesungguhnya Aku memilih kamu dari manusia yang lain untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.(QS :Al A’raf 144).

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariyya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab(katanya) “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya yang membenarkan Kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh“.(QS Ali Imran 39).

Allah memilih utusan-utusan-Nya dari malaikat dan dari manusia, Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(QS :Al Hajj 75).

Hikmah dan Ilmu para Nabi adalah pemberian langsung dari Allah SWT, dalilnya adalah sebagai berikut

Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya Hikmah selagi ia masih kanak-kanak(QS Maryam 12)

Dan Kepada Luth Kami berikan Hikmah dan Ilmu dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik.(QS Al Anbiya’ 74)

Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan Ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kami-lah yang melakukannya.(QS Al Anbiya’ 79)

Dan Sesungguhnya Kami telah memberikan Ilmu kepada Daud dan Sulaiman, dan keduanya mengucapkan “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman”.(QS An Naml 301).


Al Kitab Juga Menyatakan Nabi Mewariskan Harta

Dalam Al Kitab Taurat dijelaskan ternyata Nabi itu juga mewariskan, Nabi Ibrahim misalnya mewariskan harta untuk keturunannya.

Kemudian datanglah Firman Tuhan kepada Abram dalam suatu penglihatan “Janganlah takut Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar”. Abram menjawab “Ya Tuhan Allah, apakah yang Engkau akan berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku adalah Elizer orang Damsyik itu“. Lagi kata Abram “Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku”. Tetapi datnglah firman Tuhan kepadanya, demikian “Orang ini tidakakan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu”. Lalu Tuhan membawa Abram ke luar serta berfirman “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya”. Maka firman-Nya kepadanya “demikianlah nanti banyaknya keturunanmu”. Lalu percayalah Abram kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran (Kejadian 15, 1-6 Perjanjian Allah dengan Abram ; Janji tentang keturunannya).


Kesimpulan Analisis

Semua pembahasan diatas menunjukkan bahwa dalam masalah Fadak kebenaran berada pada Sayyidah Fatimah Az Zahra AS. Walaupun begitu tidak ada niat sedikitpun bagi saya untuk mengatakan bahwa Abu Bakar RA adalah pembuat hadis palsu. Dalam masalah ini saya mengambil pandangan bahwa Abu Bakar RA telah keliru dalam memahami hadis tersebut. Mungkin saja beliau memang mendengar sendiri hadis tersebut tetapi berbeda pemahamannya dengan pemahaman Ahlul Bait oleh karena itu Sayyidah Fatimah Ahlul Bait Nabi menolak hadis Abu Bakar dengan menunjukkan sikap marah dan mendiamkan Abu Bakar RA. Wallahu ‘alam

Salam damai

_________________________________


Walaupun sedikit mengecewakan (sayangnya tanggapan itu malah mengabaikan sepenuhnya panjang lebar tulisan saya) tetap saja komentar tersebut layak untuk ditanggapi lebih lanjut.

Di antara komentar-komentar itu ada juga yang berlebihan dengan mengatakan bahwa yang saya tuliskan itu adalah salah kaprah alias mentah. Anehnya justru sebenarnya dialah yang mengemukakan argumen yang mentah. Sejauh ini saya berusaha menulis dengan menggunakan dalil-dalil yang shahih dan argumen yang logis , makanya saya heran dengan kata salah kaprah itu, Kira-kira dimana letak salah kaprahnya ya? Mari kita bahas.

Ada beberapa orang yang menolak riwayat Fadak bahwa Sayyidah Fatimah AS marah dan mendiamkan Abu bakar selama 6 bulan dengan alasan tidak mungkin seorang putri Rasul SAW bersikap seperti itu kepada sahabat Rasulullah SAW. Padahal telah jelas sekali berdasarkan dalil yang shahih seperti yang saya kemukakan yaitu dalam Shahih Bukhari dinyatakan Sayyidah Fatimah marah dan mendiamkan Abu Bakar selama 6 bulan.

Dari Aisyah, Ummul Mukminah RA, ia berkata “Sesungguhnya Fatimah AS binti Rasulullah SAW meminta kepada Abu Bakar sesudah wafat Rasulullah SAW supaya membagikan kepadanya harta warisan bagiannya dari harta yang ditinggalkan Rasulullah SAW dari harta fa’i yang dianugerahkan oleh Allah kepada Beliau.[Dalam riwayat lain :kamu meminta harta Nabi SAW yang berada di Madinah dan Fadak dan yang tersisa dari seperlima Khaibar 4/120] Abu Bakar lalu berkata kepadanya, [Dalam riwayat lain :Sesungguhnya Fatimah dan Abbas datang kepada Abu Bakar meminta dibagikan warisan untuk mereka berdua apa yang ditinggalkan Rasulullah SAW, saat itu mereka berdua meminta dibagi tanah dari Fadak dan saham keduanya dari tanah (Khaibar) lalu pada keduanya berkata 7/3] Abu Bakar “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “Harta Kami tidaklah diwaris ,Harta yang kami tinggalkan adalah sedekah [Sesungguhnya keluarga Muhammad hanya makan dari harta ini, [maksudnya adalah harta Allah- Mereka tidak boleh menambah jatah makan] Abu Bakar berkata “Aku tidak akan biarkan satu urusan yang aku lihat Rasulullah SAW melakukannya kecuali aku akan melakukannya] Lalu Fatimah binti Rasulullah SAW marah kemudian ia senantiasa mendiamkan Abu Bakar [Ia tidak mau berbicara dengannya]. Pendiaman itu berlangsung hingga ia wafat dan ia hidup selama 6 bulan sesudah Rasulullah SAW.

Ketika Fatimah meninggal dunia, suaminya Ali RA yang menguburkannya pada malam hari dan tidak memberitahukan kepada Abu Bakar. Kemudian Ia menshalatinya (Mukhtasar Shahih Bukhari Kitab Fardh Al Khumus Bab Khumus oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani jilid 3 hal 608 dengan no hadis 1345 terbitan Pustaka Azzam Cetakan pertama 2007 dengan penerjemah :Muhammad Faisal dan Thahirin Suparta.)

Ada juga orang yang mempermasalahkan hadis itu atas dasar penolakannya terhadap Syaikh Al Albani, padahal jelas sekali bahwa saya hanya mengutip hadis dalam Shahih Bukhari. Kitab Shahih Bukhari Syarh siapa saja baik Fath Al Bari Ibnu Hajar, Irsyad Al Sari Al Qastallani atau Umdah Al Qari Badrudin Al Hanafi pasti memuat hadis itu. Jadi tidak ada masalah dengan referensi hadis yang saya kemukakan.

Sebagian orang lain menolak bahwa Sayyidah Fatimah marah dan mendiamkan Abu Bakar sampai beliau meninggal berdasarkan riwayat Baihaqi dalam Sunan Baihaqi atau Dalail An Nubuwwah berikut

Diriwayatkan oleh Al Hafidz Al Baihaqi dari Amir As Sya’bi, dia berkata, ketika Fatimah sakit Abu Bakr datang menemuinya dan meminta diberi izin masuk. Ali berkata padanya, “Wahai Fatimah, Abu Bakr datang dan meminta izin agar diizinkan masuk.” Fatimah bertanya, “Apakah engkau ingin agarku memberikan izin baginya?” Ali berkata, “Ya!” Maka Abu Bakr masuk dan berusaha meminta maaf kepadanya sambil berkata, “Demi Allah tidaklah aku tinggalkan seluruh rumahku, hartaku, keluarga dan kerabatku kecuali hanya mencari redha Allah, redha RasulNya dan Redha kalian wahai Ahlul Bayt.” Dan Abu Bakr terus memujuk sehingga akhirnya Fatimah rela dan akhirnya memaafkannya. (Dala’il An Nubuwwah, Jil. 7 Hal. 281).

Seseorang yang dikenal sebagai Ustad dari Malay(Asri) menyatakan berkaitan dengan riwayat ini

Riwayat tersebut datang dengan sanad yang baik dan kuat. Maka jelas sekali di situ bahawa Fatimah meninggal akibat sakit, dan bukanlah disebabkan oleh penyeksaan dari Abu Bakr. Malahan di situ turut dijelaskan bahwa Fatimah telah memilih untuk memaafkan Abu Bakr di akhir hayatnya.

Sayang sekali bahwa apa yang dikatakan sang Ustad itu tidak benar, sama seperti halnya dengan tuduhan aneh beliau terhadap Ibnu Ishaq(saya sudah menanggapi tuduhan beliau itu lihat Pembelaan Terhadap Ibnu Ishaq),

_________________________________
Pembelaan Untuk Ibnu Ishaq


PENOLAKAN TERHADAP MUHAMMAD BIN ISHAQ


Pemurnian Sejarah atau Penyimpangan Sejarah.

Sejarah atau Sirah Nabi Muhammad SAW adalah wujud hidup dari ajaran Islam karena di dalamnya kita dapat mengetahui dengan jelas kehidupan Pribadi yang paling agung yaitu junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang tentu saja merupakan panduan bagi kita semua umat Islam dalam mengarungi kehidupan di dunia ini demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat,semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Beliau SAW dan KeluargaNya yang suci. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mendapatkan atau mempelajari sirah Nabi Muhammad SAW yang benar atau shahih.

Memang dalam kenyataannya sebagian besar kitab-kitab Sirah memuat riwayat-riwayat yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’ dengan kata lain memasukkan semua riwayat yang berkenaan tanpa memperhatikan kedudukannya. Hal inilah yang mendorong para ulama untuk terus melakukan kajian terhadap semua kitab sirah dan menyaring yang shahih agar nanti hasilnya dapat dipelajari oleh setiap umat Islam. Salah satu kajian ini adalah analisis terhadap sanad riwayat berdasarkan kaidah Jarh wat Ta’dil. Kajian ini diterapkan pada kitab-kitab Sirah yang masyhur seperti Sirah Ibnu Hisyam, Tarikh Ath Thabari, Tarikh Ibnu Asaqir, Tarikh Al Kamil, Ansab Al Asyraf Al Baladzuri, Muruj adz Dzahab Al Masudi dan kitab-kitab sirah yang lain. Kajian-kajian seperti ini mungkin bisa disebut usaha pemurnian sejarah karena melalui kajian ini akan didapatkan riwayat-riwayat Sirah yang shahih.

Usaha-usaha seperti ini jelas sangat diperlukan sekarang ini , apalagi sejarah atau sirah ini sekarang sering dijadikan argumentasi atau dalil dalam pertentangan mazhab atau keyakinan. Mungkin sebagai contoh hal ini akan sangat jelas terlihat dalam polemik yang berkepanjangan antara Islam Sunni dan Islam Syiah. Kedua belah pihak seringkali membawakan riwayat dalam kitab Sirah untuk menguatkan pendapat Mereka.

Walaupun begitu, usaha-usaha tersebut sebenarnya juga layak untuk dikritisi, apalagi jika hasil dari usaha pemurnian tersebut ternyata bertentangan dengan pendapat atau kajian banyak ulama lain baik dari generasi lalu maupun sekarang. Misalnya baru-baru ini kami mengetahui penolakan seorang penulis terhadap Muhammad bin Ishaq dan tuduhannya bahwa Muhammad bin Ishaq adalah seorang Syiah yang telah merusak dan menyimpangkan sejarah Islam. Beliau Muhammad bin Ishaq adalah salah satu pencatat Sirah awal dan terkenal dengan kitabnya Sirah Ibnu Ishaq yang telah disadur oleh murid beliau Ibnu Hisyam dalam Sirah Ibnu Hisyam. Oleh karena itu tulisan ini dibuat untuk perbandingan bagi pembaca bahwa terdapat banyak ulama yang telah menetapkan bahwa Muhammad bin Ishaq ini bisa dipercaya.


Jarh wat Ta’dil Terhadap Muhammad bin Ishaq

Kenyatannya memang terdapat perbedaan pandangan ulama-ulama terhadap Muhammad Ibnu Ishaq, ada yang menta’dilkannya, ada yang menjarhkannya dan ada yang dalam hal tertentu menerima riwayatnya tetapi dalam hal yang lain (halal dan haram misalnya) tidak memakai riwayatnya. Berikut ini beberapa pandangan yang menguatkan ta’dil Ibnu Ishaq.

Muhammad bin Ishaq merupakan perawi dari kitab-kitab hadis Kutub As Sittah, Bukhari meriwayatkan dari beliau dalam Shahih Bukhari secara ta’liq, Muslim meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dalam Shahih Muslim, Ibnu Ishaq juga merupakan perawi hadis dalam Sunan At Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasai dan Sunan Ibnu Majah. Hal ini telah dinyatakan oleh Prof.DR.Faruq Hamadah dalam bukunya Mashaadirus Siirah an Nabawiyah wa Taqwiimuhaa (terjemahannya Kajian Lengkap Sirah Nabawiyah hal 72).

Dalam Kitab Tahzib Al Kamal karangan Ibnu Zakki Al Mizzi, terdapat ulama-ulama yang menta’dilkan Ibnu Ishaq;
• Muhammad bin Muslim Al Zuhri menyatakan “Madinah berada dalam ilmu selama ada Ibnu Ishaq,orang yang paling tahu tentang sirah”.
• Ibnu Hibban menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah tsiqah(dapat dipercaya)
• Yahya bin Ma’in menyatakan Muhammad bin Ishaq itu tsiqah dan hasanul hadis tetapi di tempat lain Beliau menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah dhaif.
• Muhammad bin Idris As Syafii(Imam mazhab Syafii) memuji Ibnu Ishaq dan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama sirah.
• Syu’bah bin Al Hajjaj berkata tentang Ibnu Ishaq “Dia adalah amirul mukminin dalam hadis”.
• Ali bin Al Madini menyatakan bahwa “Ibnu Ishaq adalah sumber hadis,hadisnya disisiku adalah shahih”.
• Asim bin Umar bin Qatadah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber utama ilmu.
• Salih bin Ahmad bin Abdullah bin Salih Al Ajiliy menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang yang tsiqah.
• Abu Muawiyah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq termasuk diantara orang yang paling kuat ingatannya.
• Muhammad bin Saad menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah.
• Abdullah bin Mubarak menyatakan Ibnu Ishaq shaduq.
• Abu Zur’ah juga menyatakan Ibnu Ishaq shaduq.
• Abu Ya’la Al Khalili menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah.
• Al Busyanji menyatakan Ibnu Ishaq tsiqah-tsiqah.
• Muhammad bin Abdullah bin Numai menyatakan “Ibnu Ishaq adalah hasanul hadis walaupun kadangkala meriwayatkan hadis-hadis batil yang diambil dari orang yang majhul. Beliau Ibnu Ishaq juga dituduh penganut Qadarriyah Sedangkan beliau amat jauh dari hal itu”.

Dalam kitab Taqribut Tahdzib, Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqallani menyatakan bahwa Muhammad bin Ishaq adalah Imam al Maghazi(sirah), Dalam kitab Zadul Ma’ad juz 1 hal 99 terdapat perkataan Al Baihaqi tentang Ibnu Ishaq”Muhammad bin Ishaq,jika dia menyebutkan sama’nya(bahwa dia mendengar langsung) dalam riwayat dan sanad, itu dapat dipercaya dan berarti sanadnya baik”. Selain itu Adz Dzahabi dalam Mizan Al Itidal mengatakan “hadis Ibnu Ishaq itu hasan di samping itu sikapnya baik dan jujur. Meskipun riwayat yang disampaikannya seorang diri dinilai mungkar karena hafalannya sedikit, banyak para imam hadis menjadikannya sebagai hujjah”.

Memang pada kenyataannya terdapat juga ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq, hal ini dapat dilihat dalam kitab Tahzib Al Kamal sebagai berikut:
• Malik bin Anas menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah salah seorang dajjal.
• Hisyam bin Urwah menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.
• Yahya bin Said Al Qattan menyatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah seorang penipu.
• Wuhaib bin Khallid menyatakan Ibnu ishaq seorang penipu.
• Sulaiman Al Taimi menyatakan bahwa Ibnu Ishaq seorang pembohong.
• Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Ibnu Ishaq bukanlah hujjah, tidak memilih dari siapa dia mengambil hadis, bukan hujjah pada sunan, dhaif ketika tafarrud. Tetapi Ahmad bin Hanbal juga menyatakan bahwa sebagian hadis Ibnu Ishaq hasan.
• An Nasai menyatakan bahwa Ibnu Ishaq tidak kuat.
• Al Daruquthni menyatakan Ibnu Ishaq bukan hujjah.
• Al Zanbari menyatakan Ibnu Ishaq dihukum karena menganut paham Qadariyah.
• Jauzajani menyatakan bahwa Ibnu Ishaq dituduh karena beberapa bid’ah.

Walaupun terdapat ulama-ulama yang menjarhkan Ibnu Ishaq diatas, hal itu ternyata tidak menghalangi jumhur ulama untuk mengambil riwayat dari beliau. Hal ini dikarenakan banyak para ulama yang telah menilai jarh dan ta’dil ibnu Ishaq secara mendalam dan telah membantah keberatan terhadap Ibnu Ishaq. Bid’ah Ibnu Ishaq yang dimaksud Jauzani kemungkinan adalah paham Qadariyah yang dinyatakan oleh Al Zanbari tetapi hal ini telah dibantah oleh Muhammad bin Abdullah An Numai yang menyatakan bahwa Ibnu Ishaq jauh sekali dari paham Qadariyah.(lihat Tahdzib Al Kamal) . Selain itu Jauzani juga dikenal sebagai pembid’ah yang pernyataannya kurang bernilai dalam hal ini. (lihat Sunni Yang Sunni hal 33 Mahmud Az Za’by).

Sebagian ulama yang didakwa menjarhkan Ibnu Ishaq ternyata juga memberikan sifat ta’dil kepada beliau dan menerima sebagian riwayat Ibnu Ishaq seperti Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Muin, Ali Al Madini, Al Dzahabi, An Nasai, Abu Dawud, Sufyan bin Uyainah, dan Ibnu Hajar.

Dalam kitab Ad Duafa Wa Al Matrukin hal 41 karangan Ibnul Jauzi menyatakan bahwa ulama yang menolak Ibnu Ishaq seperti Wuhaib bin Khallid hanyalah mengikut terhadap pandangan ulama besar Madinah yaitu Malik bin Anas dan Hisyam bin Urwah,yang ternyata kedua ulama ini mempunyai persengketaan dengan Ibnu Ishaq.

Malik bin Anas mengkritik Ibnu Ishaq ketika beliau mengetahui bahwa Ibnu Ishaq telah mengkritik beliau dan kitab Al Muwatta karangan beliau,seperti yang tertera pada kitab Mu’jam al ‘Udaba jilid 18 hal 7 oleh Yaqut Al Hamawi dan Wafayat Al a’yan hal 227 oleh Ibnu Khallikan.

Wan Kamal Mujani dalam artikelnya Pandangan Ulama Terhadap Karya dan Ketokohan Ibnu Ishaq telah menulis bahwa:
persengketaan antara Malik bin Anas dan Ibnu Ishaq bermula apabila Ibn Ishaq menafikan Malik bin Anas berasal daripada keturunan salah seorang raja Yaman iaitu Dhu Asbah. Ibn Ishaq menyatakan bahwa hubungan keluarga Malik bin Anas dengan raja tersebut hanyalah melalui ikrar taat setia sahaja dan bukannya pertalian darah. Ini telah menimbulkan rasa tidak puas hati kepada Malik bin Anas. Perang mulut antara mereka berterusan sehinggalah sampai kemuncaknya setelah Malik menulis Kitab al-Muwatta’ dan mendapat kritikan daripada Ibn Ishaq. Bagaimanapun, hubungan mereka berdua terjalin semula setelah Malik bin Anas mendengar berita bahwa Ibn Ishaq berhasrat untuk meninggalkan Madinah dan berhijrah ke Iraq. Malik bin Anas telah memberi sebanyak 50 Dinar kepada Ibn Ishaq

untuk menampung perbelanjaannya di sana (Ibn Ishaq 1981, 23). Malik bin Anas juga tidaklah menolak keseluruhan hadis Ibn Ishaq. Beliau hanya sekadar tidak menerima riwayat-riwayat Ibn Ishaq mengenai beberapa peperangan Rasulullah s.a.w. yang bersumberkan masyarakat Yahudi (Ibn Ishaq 1981, 23). Ibn Ishaq pula mempunyai hujah tersendiri ketika mencatatkan riwayat-riwayat tersebut kerana beliau mengambilnya daripada periwayat periwayat Yahudi yang telah memeluk agama Islam. Beliau berpandangan bahwa mereka adalah diantara sumber yang paling hampir dengan peristiwa peristiwa tersebut dan mempunyai kaitan yang rapat dengannya.

Adapun tentang persengketaan dengan Hisyam bin Urwah telah dijelaskan oleh Al Dazahabi dalam Mizan Al Itidal jilid 4 hal 469, bahwa:
penolakan sebenarnya Hisham bin Urwah terhadap Ibn Ishaq karena beliau tidak menyetujui perbuatan Ibn Ishaq menemui isterinya Fatimah binti al Mundhir dan meriwayatkan hadis-hadis daripadanya.

Dalam hal ini beberapa ulama telah memepertahankan kedudukan Ibnu Ishaq seperti Yahya bin Ma’in dan Ali bin Al Madini. Wan Kamal Mujani dalam artikelnya Pandangan Ulama Terhadap Karya dan Ketokohan Ibnu Ishaq telah menulis:
“Jelas bahwa peristiwa ini berlaku disebabkan perasaan terlalu cemburu Hisham bin Urwah,sedangkan isterinya lebih tua (37 tahun) daripada Ibn Ishaq. Pertemuan Ibnu Ishaq dengan Fatimah binti al-Mundhir hanyalah sekadar untuk mengambil hadis-hadis sahaja, kerana Fatimah berkesempatan meriwayatkan daripada beberapa sahabat nabi. Di samping itu, beliau menganggap Fatimah sebagai salah seorang gurunya”.

Oleh karena itulah banyak ulama yang lebih menguatkan ta’dil terhadap Ibnu Ishaq dan tidak menerima Jarh terhadap Ibnu Ishaq. Hal ini seperti dikemukakan oleh Al Hafizh Abul Fath Ibnu Sayyidin Nas dalam kitabnya ‘Uyunul Atsar fi Fununil Maghazi was Siyar yang telah menyebutkan seluruh kritikan terhadap Ibnu Ishaq kemudian membatalkannya satu-persatu. Beliau condong untuk menguatkan Ibnu Ishaq dan keautentikannya dan berkata:
”Ibnu Ishaq adalah pegangan dalam Maghazi(sirah) bagi kami dan bagi orang lain”.

Selain itu Al Hafizh Abu Ahmad bin Adiy dalam kitabnya Al Kamil telah meneliti tentang Ibnu Ishaq dan berkata:
”Aku telah memeriksa hadis Ibnu Ishaq yang begitu banyak .Tidak kudapati sesuatu yang kelihatannya dapat dipastikan dhaif terkadang ia salah atau keliru dalam sesuatu sebagaimana orang lain juga dapat keliru” .

Jadi kami simpulkan bahwa Ibnu Ishaq dapat dipercaya dan dijadikan pegangan dalam masalah sirah. Adapun tentang tuduhan sebagian penulis bahwa Ibnu Ishaq seorang Syiah adalah tidak beralasan apalagi tuduhan beliau telah merusak sejarah islam(tuduhan ini sungguh sangat mengherankan karena banyak sekali sejarawan dan ulama yang telah mengutip dari Ibnu Ishaq) karena banyak ulama yang telah memberikan predikat dipercaya kepada beliau, seandainya beliau banyak meriwayatkan banyak keutamaan Imam Ali itu tidak membuktikan bahwa Ibnu Ishaq adalah syiah lagipula jika ternyata beliau sangat condong ke Imam Ali itu hanya menunjukkan bahwa beliau tasyayyu dan tentu saja riwayat seorang tasyayyu tetap dapat diterima karena cukup banyak perawi hadis yang tasyayyu dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Ashabus Sunan

Wallahu A’lam.

_________________________________


apa yang beliau kemukakan itu adalah Apologia semata. Beliau telah dipengaruhi dengan kebenciannya terhadap syiah alias Syiahphobia dan juga dipengaruhi kemahzaban Sunninya yang terlalu kental hingga berusaha meragukan dalil yang shahih dalam hal ini Shahih Bukhari dengan dalil yang tidak shahih dalam hal ini adalah riwayat Baihaqi. Tujuannya sederhana hanya untuk membantah orang Syiah. Tidak ada masalah soal bantah-membantah, yang penting adalah berpegang pada dalil yang shahih.

Saya sependapat dengan Beliau bahwa Sayyidah Fatimah meninggal bukan disebabkan penyiksaan dari Abu Bakar tetapi saya tidak sependapat dengan dakwaan beliau bahwa riwayat Baihaqi itu memiliki sanad yang kuat.

Dhaifnya Riwayat Baihaqi

Riwayat Baihaqi yang dikemukakan Ustad Malay itu memiliki cacat pada sanad maupun matannya. Berikut analisis terhadap sanad dan matan riwayat tersebut.


Analisis Sanad Riwayat

Sebelumnya Mari kita bahas terlebih dulu apa syarat hadis atau riwayat yang shahih

Ibnu Shalah merumuskan bahwa hadis shahih adalah hadis yang musnad, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang berwatak adil dan dhabith dari orang yang berwatak seperti itu juga sampai ke puncak sanadnya, hadis itu tidak syadz dan tidak mengandung illat.(Hadis Nabi Sejarah Dan Metodologinya hal 88 Dr Muh Zuhri , cetakan I Tiara Wacana :Yogyakarta, 1997). Atau bisa juga dilihat dalam Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulumul Hadis.

Mari kita lihat Riwayat Baihaqi, baik dalam Sunan Baihaqi atau Dalail An Nubuwwah Baihaqi meriwayatkan dengan sanad sampai ke Asy Sya’bi yang berkata (riwayat hadis tersebut).

Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari berkata bahwa sanad riwayat ini shahih sampai ke Asy Sya’bi.

Walaupun sanad riwayat ini dinyatakan shahih oleh Ibnu Hajar sampai ke Asy Sya’bi tetapi riwayat ini adalah riwayat mursal artinya terputus sanadnya. Asy Sya’bi meriwayatkan seolah beliau sendiri menyaksikan peristiwa itu, lihat riwayat tersebut.

Diriwayatkan oleh Al Hafidz Al Baihaqi dari Amir As Sya’bi, dia berkata, ketika Fatimah sakit Abu Bakr datang menemuinya dan meminta diberi izin masuk. Ali berkata padanya,

Padahal pada saat Sayyidah Fatimah AS dan Abu Bakar RA masih hidup Asy Sya’bi jelas belum lahir.

Amir bin Syurahbil Asy Sya’bi adalah seorang tabiin dan beliau lahir 6 tahun setelah masa khalifah Umar RA (Shuwaru Min Hayati At Tabiin, Dr Abdurrahman Ra’fat Basya, terjemah : Jejak Para Tabiin penerjemah Abu Umar Abdillah hal 153).

Hal ini menimbulkan dua kemungkinan:
1. Asy Sya’bi mendengar riwayat tersebut dari orang lain tetapi beliau tidak menyebutkan siapa orang tersebut, atau.
2. Asy Sya’bi membuat-buat riwayat tersebut.

Singkatnya kemungkinan manapun yang benar tetap membuat riwayat tersebut tidak layak untuk dijadikan hujjah . Dalam hal ini saya lebih cenderung dengan kemungkinan pertama yaitu Asy Sya’bi mendengar dari orang lain, dan tidak diketahui siapa orang tersebut. Hal ini jelas menunjukkan mursalnya sanad riwayat ini. Riwayat mursal sudah jelas tidak bisa dijadikan hujjah.

Dalam Ilmu Mushthalah Hadis oleh A Qadir Hassan hal 109 cetakan III CV Diponegoro Bandung 1987. Beliau mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan tidak boleh menjadikan hadis mursal sebagai hujjah,

Ibnu Hajar berkata”Boleh jadi yang gugur itu shahabat tetapi boleh jadi juga seorang tabiin .Kalau kita berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabiin boleh jadi tabiin itu seorang yang lemah tetapi boleh jadi seorang kepercayaan. Kalau kita andaikan dia seorang kepercayaan maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari seorang shahabat,tetapi boleh juga dari seorang tabiin lain. Demikianlah selanjutnya memungkinkan sampai 6 atau 7 tabiin, karena terdapat dalam satu sanad ,ada 6 tabiin yang seorang meriwayatkan dari yang lain”. Pendeknya gelaplah siapa yang digugurkan itu, sahabatkah atau tabiin?. Oleh karena itu sepatutnya hadis mursal dianggap lemah.


Analisis Matan Riwayat

Perhatikan Riwayat Baihaqi itu:
dari Amir As Sya’bi, dia berkata, ketika Fatimah sakit Abu Bakr datang menemuinya dan meminta diberi izin masuk. Ali berkata padanya, “Wahai Fatimah, Abu Bakr datang dan meminta izin agar diizinkan masuk.” Fatimah bertanya, “Apakah engkau ingin agarku memberikan izin baginya?” Ali berkata, “Ya!” Maka Abu Bakr masuk dan berusaha meminta maaf kepadanya sambil berkata, “Demi Allah tidaklah aku tinggalkan seluruh rumahku, hartaku, keluarga dan kerabatku kecuali hanya mencari redha Allah, redha RasulNya dan Redha kalian wahai Ahlul Bayt.” Dan Abu Bakr terus memujuk sehingga akhirnya Fatimah rela dan akhirnya memaafkannya. (Dala’il An Nubuwwah, Jil. 7 Hal. 281).

Matan riwayat ini menunjukkan bahwa Sayyidah Fatimah AS berbicara kepada Abu Bakar RA, padahal berdasarkan riwayat Aisyah Shahih Bukhari dinyatakan Sayyidah Fatimah marah dan mendiamkan Abu Bakar RA sampai Beliau AS meninggal. Lihat kembali hadis Shahih Bukhari;

Lalu Fatimah binti Rasulullah SAW marah kemudian ia senantiasa mendiamkan Abu Bakar [Ia tidak mau berbicara dengannya]. Pendiaman itu berlangsung hingga ia wafat dan ia hidup selama 6 bulan sesudah Rasulullah SAW.

Dalam hal ini kesaksian Aisyah bahwa Sayyidah Fatimah AS marah dan mendiamkan Abu Bakar RA hingga beliau wafat lebih layak untuk dijadikan hujjah karena Aisyah RA melihat sendiri sikap Sayyidah Fatimah AS tersebut sampai akhir hayat Sayyidah Fatimah AS. Seandainya apa yang dikatakan Asy Sya’bi itu benar maka sudah tentu Aisyah RA akan menceritakannya.


Salah Satu Kekeliruan Asy Sya’bi Berkaitan Dengan Tasyayyu

Asy Sya’bi pernah menyatakan dusta terhadap Al Harits Al Hamdani Al A’war hanya karena Al Harits mencintai Imam Ali dan mengutamakannya di atas sahabat Nabi yang lain. Pernyataan Asy Sya’bi telah ditolak oleh ulama, salah satunya adalah Syaikh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy yang menyatakan tsiqah pada Al Harits Al Hamdani dan menolak tuduhan terhadap Al Harits . Selain itu,

Al Qurthubi mengatakan “Al Harits Al A’war yang meriwayatkan hadis dari Ali dituduh dusta oleh Asy Sya’bi padahal ia tidak terbukti berdusta, hanya saja cacatnya karena ia mencintai Ali secara berlebihan dan menganggapnya lebih tinggi daripada yang lainnya, dari sini Wallahu a’lam ia dianggap dusta oleh Asy Sya’bi . Ibnu Abdil Barr berkata “Menurutku Asy Sya’bi pantas dihukum untuk tuduhannya terhadap Al Harits Al Hamdani. (Jami Li Ahkam Al Quran Al Qurthubi 1 hal 4&5 Terbitan Darul Qalam Cetakan Darul Kutub Al Mashriyah).

Pernyataan di atas hanya menunjukkan bahwa apa yang dikatakan Asy Sya’bi tidak selalu benar. Bukan berarti saya menolak kredibilitas beliau sebagai perawi hadis, yang saya maksudkan jika beliau menyampaikan riwayat dengan cara mursal atau tanpa sanad yang jelas atau tidak menyebutkan dari siapa beliau mendengar maka riwayat itu tidak layak dijadikan hujjah karena dalam hal ini beliau Asy Sya’bi juga bisa saja keliru seperti tuduhan yang beliau kemukakan terhadap Al Harits. Kekeliruan itu sepertinya didasari rasa tidak senang dengan orang-orang yang mencintai Imam Ali di atas sahabat Nabi yang lain. Kekeliruan seperti itu jelas dipengaruhi oleh unsur kemahzaban semata.

Sudah jelas sekali kesimpulan saya adalah hadis riwayat Baihaqi yang dikemukan Ustad Asri itu adalah mursal atau dhaif.

Sayangnya ada orang yang begitu mudahnya bertaklid,

untuk mereka “ya terserah”

Sekali lagi tulisan ini hanya memaparkan analisis penulis berdasarkan dalil yang penulis anggap kuat. Oleh karenanya kritik yang substantif dan fokus pada tulisan jelas diharapkan.

Saya sudah bosan dengan tuduhan dan semua bentuk Ad Hominem, Tapi ya tidak dipaksa Kan. Sudah biasa memang siapa saja yang memihak Sayyidah Fatimah dan menyalahkan Abu Bakar maka ia akan langsung dituduh Syiah. Dan seperti biasa Yang syiah akan selalu dihina-hina

Ah penyakit ini memang kronis sekali, Syiahphobia

Salam damai

Nb: tulisan ini tidak dikhususkan buat menjawab seseorang, tetapi secara umum untuk tulisan blog yang membantah tulisan sebelumnya, tulisan Ustad Asri atau komentar dari salah seorang yang sering berkomentar

(Secondprince/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: