Pesan Rahbar

Home » » Pengorbanan Imam Husain demi terjaganya agama dan hukum-hukum Allah swt, Imam Ali Tetap Memimpin Umat, Meskipun Membai’at Abu Bakar

Pengorbanan Imam Husain demi terjaganya agama dan hukum-hukum Allah swt, Imam Ali Tetap Memimpin Umat, Meskipun Membai’at Abu Bakar

Written By Unknown on Wednesday 8 April 2015 | 06:25:00


Berangkatnya Imam Husain as ke Karbala, padahal beliau sendiri tahu bahwa ia, keluarga dan kerabatnya akan mati, apakah tidak bertentangan dengan ayat yang berbunyi: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”[1]?

Penjelasan: berdasarkan ayat di atas, bunuh diri adalah perbuatan yang diharamkan. Perjuangan Imam Husain as adalah apa yang dilarang oleh ayat di atas. Dengan demikian, apakah perjuangan beliau bertentangan dengan ayat tersebut?

Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini:
A. Jawaban yang satu ini akan menjadi jelas dengan beberapa pengantar di bawah ini:
1. Menjatuhkan diri ke dalam kehancuran tidak diharamkan secara total. Dalam keadaan-keadaan tertentu justru wajib hukumnya. Misalnya jika agama Islam berada dalam bahaya dan terancam hancur, dan tidak ada cara lain selain mengorbankan diri, maka pengorbanan itu wajib bagi kita. Namun jika tujuan pengorbanan itu bukanlah hal penting atau bahkan tidak syar’i dan masuk akal, jelas kita dilarang untuk menjatuhkan diri ke dalam kehancuran.
2. Menjatuhkan diri ke dalam kehancuran itu diharamkan jika tidak ada tujuan yang jauh lebih penting di baliknya. Namun jika pengorbanan diri dilakukan demi tujuan yang sangat penting, akal pun juga membenarkannya.
3. Kehancuran yang sebenarnya adalah kehancuran yang diakibatkan mengikuti langkah-langkah setan dan hawa nafsu. Namun seorang yang syahid dan gugur di jalan Allah bukanlah orang yang jatuh ke dalam kehancuran. Kesyahidan Imam Husain as dalam membela agama Islam dan menjaganya bukanlah kehancuran yang dimaksud ayat di atas.

Dengan demikian, maka:
Pertama: jika meskipun kita anggap Imam Husain as telah menjatuhkan diri ke dalam kehancuran, namun dengan melihat kondisi di saat itu, perbuatan Imam Husain as adalah suatu kewajiban. Karena beliau memiliki tujuan yang lebih besar dan lebih penting dari nyawa, yaitu terjaganya agama dan hukum-hukum Allah swt. Perjuangan Imam Husain as bukan saja dibenarkan syari’at, namun akal pun juga mengakui kebenarannya.

Kedua: jihad Imam Husain as melawan Yazid bukanlah menjatuhkan diri ke dalam kehancuran. Karena gugurnya Imam Husain as dalam melawan Yazid, yakni kesyahidannya, bukanlah kehancuran; kesyahidan dan kehancuran adalah dua perkara yang jauh bertentangan. Kehancuran adalah mati sia-sia. Adapun kesyahidan adalah mati di jalan Allah swt dan penggapaian kebahagiaan sejati.[2] Oleh karena itu sebagian ahli tafsir memaknai ayat tersebut begini: “Janganlah kalian menjatuhkan diri kalian dengan tangan kalian sendiri ke dalam kehancuran karena menghindar dari kesyahidan yang merupakan hayat abadi.”[3] Yakni jika kalian melarikan diri dari jihad yang diwajibkan Allah swt, berarti kalian telah menjatuhkan diri ke dalam kehancuran. Namun jika kalian menjalankan kewajiban tersebut, maka kalian telah memilih kehidupan abadi dan terselamatkan dari kehancuran. Jadi, orang yang memilih kesyahidan di jalan Allah swt telah menyelamatkan diri dari kehancuran dan mendapatkan kehidupan suci dan bahagia abadi.

Selama perjalanan Imam Husain as ke Karbala, beliau sering melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam khutbah-khutbahnya untuk menyampaikan pesannya. Suatu saat sekelompok jin menawarkan diri untuk membantu Imam Husain as memenangkan peperangan dengan cara menghancurkan musuh-musuh beliau sebelum perang dimulai. Namun Imam Husain as menolak dan berkata bahwa jika mau menggunakan kekuatan ghaib, beliau lebih kuat dari pada jin-jin.[4] Lalu beliau membaca ayat ini:
“…agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).” (QS. Al-Anfaal [8]:42).

Dengan menyampaikan ayat tersebut Imam Husain as menjelaskan bahwa tragedi Asyura adalah tragedi kemenangan dan kehancuran yang harus berlangsung dengan sempurnanya hujjah.
Penjelasannya begini: Imam Husain as ingin orang-orang yang memusuhinya benar-benar menyadari apa yang sedang mereka lakukan, begitu pula sahabat-sahabat beliau. Yang mana dengan demikian mereka memilih kehancuran dan kemenangan dengan pilihannya sendiri lalu hancur dan hidup dengan usahanya sendiri. Di Asyura musuh-musuh Imam Husain as memilih kehancuran atas keinginanya sendiri dan sahabat-sahabat beliau memilih kehidupan abadi bersama pemimpinnya atas kehendaknya sendiri pula. Kebahagiaan di akherat bagi orang-orang yang gugur di jalan Allah swt adalah kebahagiaan abadi. Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah [2]:154).

Dalam peristiwa Karbala telah sempurna hujjah Allah bagi kedua kelompok. Oleh karena itu kebahagiaan abadi kelompok Imam Husain as dan kehancuran nyata musuh-musuh beliau telah dipilih berdasarkan hujjah yang sempurna dan jelas. Jadi, jangankan Imam Husain as, sahabat-sahabat dan kerabat beliau tidak ada yang jatuh ke dalam kehancuran.

B. Perjuangan yang dilakukan Imam Husain as adalah atas perintah Allah swt dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan Rasulullah saw. Fakta ini dapat difahami dengan menengok tujuan-tujuan yang beliau jelaskan sendiri dan juga riwayat-riwayat yang mejelaskan bahwa nabi dan Imam Husain as sendiri benar-benar tahu akan peristiwa Asyura:
1. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an[5] dan juga riwayat-riwayat[6] dijelaskan bahwa memerangi kebatilan adalah suatu kewajiban. Karena tegaknya agama menuntut ditumpaskannya kebatilan dan perjuangan di jalan Allah swt. Perjuangan Imam Husain as tidak lepas dari perkara penting ini.
2. Rasulullah saw sering kali mengkabarkan tentang peristiwa tragis yang akan menimpa cucunya, Imam Husain as. Riwayat-riwayat tentang hal ini tidak hanya disebutkan dalam buku-buku Syiah saja, namun juga dapat ditemukan dalam referensi-referensi hadits Suni. Bahkan tidak hanya jelas sekali makna riwayat itu, namun juga mutawatir.[7]
Rasulullah saw bersabda: “Malaikat Jibril datang kepadaku dan mengkabarkan bahwa kelak cucuku Al-Husain as akan terbunuh di tanah tandus Karbala, lalu ia membawakan segenggam tanah itu untukku, lalu berkata bahwa di tanah itu ia akan dikuburkan.”[8]
Dalam riwayat lainnya Rasulullah saw berkata kepada Imam Husain as: “Sesungguhnya bagimu ada suatu tempat di surga yang tak akan tergapai kecuali dengan kesyahidan.”[9]
Diriwayatkan dari Anas bin Harits (orang yang menyertai Imam Husain as hingga meninggal) bahwa Rasulullah saw bersabda: “Cucuku Al-Husain as akan terbunuh di tanah Karbala. Barang siapa melihatnya, maka ia harus menolongnya.”[10]
Oleh karenanya, orang yang tidak menolong Imam Husain as, apa lagi orang yang memeranginya, adalah orang yang memerangi Allah swt dan nabinya.
3. Perkataan dan sikap Imam Husain as sejak awal membuktikan bahwa beliau memilih keputusannya dengan penuh kesadaran. Ia pun yakin perjuangannya adalah perintah Allah swt dan rasul-Nya. Misalnya, saat menjawab perkataan saudaranya Muhammad Hanafiah, beliau berkata: “Setelah engkau pergi aku bermimpi melihat Rasulullah saw berkata kepadaku: “Wahai Husain! Pergilah ke Iraq. Karena Allah swt berkehendak untuk melihatmu gugur di jalan-Nya.””[11]

Sanggahan untuk jawaban ini
Apakah jika Imam Husain as tahu bahwa perjuangannya adalah perintah Allah swt berarti ia dipaksa?

Jawaban:
Tentang kehendak Tuhan dalam perkataan Rasulullah saw di mimpi Imam Husain as, kebanyakan ulama menyatakan bahwa kehendak tersebut adalah kehendak tasyri’i, bukan takwini.[12] Kehendak tasyri’i tidak bersifat paksaan dan tiadanya ikhtiar. Maksud dari kehendak tersebut adalah keridhaan Allah swt akan terbunuhnya Imam Husain as dan pengetahuan-Nya tentang bahwa peristiwa itu akan terjadi.[13] Oleh karena itu, kehendak Ilahi yang berarti pengetahuan pasti-Nya akan terjadinya sesuatu bukan berarti paksaan. Karena segala sesuatu yang terjadi pada hambanya dan yang telah Ia ketahui sebelumnya bergantung pada ikhtiar dan kehendak manusia sebagai pelaku itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia “atas kehendaknya masing-masing” telah diketahui Allah swt sebelum semua itu dilakukan, dan dengan demikian disebut dengan kehendak Ilahi.
Meskipun Imam Husain as telah diberitahu tentang apa yang akan terjadi padanya, namun beliau sendiri berusaha agar apa yang diberitahukan kepadanya itu terwujud dengan cara mengumpulkan pasukan dan segala persiapan perjalanannya. Oleh karena itu beliau berikhitiar dan berkehendak dalam keputusan dan perbuatannya.

Kesimpulan:
Jika agama Islam terancam, maka kita wajib melakukan segalanya demi terjaganya Islam, termasuk mengorbankan jiwa sendiri. Seperti itu perjuangan Imam Husain as di Karbala.
Perjuangan beliau bertujuan untuk menyelamatkan Islam dari kehancuran, yang mana Tuhan dan Rasulullah saw juga menginginkannya. Imam pun berjuang atas kehendak nya sendiri dan beliau melakukannya dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu beliau tidak termasuk orang yang menjatuhkan diri sendiri ke dalam kehancuran.

Referensi untuk mengkaji lebih jauh:
1. Ayatullah Shafi Gulpaygani, Partooee az Azamat e Hosain.
2. Ali Asghar Rezvani, Pasokh be Syobahat.
3. Daftar Tablighat e Eslami, Pasokh ha ye Bargozide.

Hadits akhir:
Barra’ bin ‘Azib berkata: “Aku melihat Rasulullah saw menggendong Husain as di atas pundaknya seraya berkata: “Ya Allah! Aku sangat mencintainya, maka cintailah ia pula.”[14]

Referensi:
[1] QS. Al-Baqarah: 195.
[2] Nashir Makarim Syirazi, Al-Amtsal fi Tafsir Kitab Allah Al-Munzal, jil. 2, hal. 38.
[3] Ruhul Bayan, jil. 1, hal. 310; Tabyin Al-Qur’an, hal. 42; Tafsir Jalalain, hal. 34.
[4] Biharul Anwar, jil. 44, hal. 331)
[5] QS. At-Taubah: 29.
[6] Mustadrak Al-Wasail, jil. 11, hal. 17; Al-Kafi, jil. 5, hal. 3.
[7] Luthfullah Shafi Gulpaygani, Partoee az Azamat e Hosain, hal. 50.
[8] Biharul Anwar, jil. 18, hal. 114; Ash Shawaiqul Muhriqah, hal. 190; Maqtal Khwarazmi, pasal 7, hal. 156.
[9] Maqtal Khwarazmi, pasal 8, hal. 170.
[10] Biharul Anwar, jil. 44, hal. 247.
[11] Sayid Ibnu Thawus, Al-Luhuf fi Qatl Ath-Thufuf, hal. 94; Biharul Anwar, jil. 44, hal. 364.
[12] Murtadha Muthahari, Homase e Husaini, jil. 3, hal. 86.
[13] Imam Husain wa Quran, hal. 128.
[14] Biharul Anwar, jil. 43, hal. 264.

Imam Ali Tetap Memimpin Umat, Meskipun Membai’at Abu Bakar

Telah ditentukannya kekhalifahan Imam Ali as




Jika Imam Ali as memang telah ditunjuk oleh Rasulullah saw untuk menjadi khalifah, lalu mengapa beliau bersedia membai’at Abu Bakar? Kalau beliau membai’at Abu Bakar, berarti beliau memang tidak ditentukan nabi sebagai khalifah, atau paling tidak berarti beliau telah menyerahkan haknya kepada orang lain.

Pertanyaan ini memiliki dua sisi:
1. Telah ditentukannya kekhalifahan Imam Ali as oleh nabi.
2. Imam Ali as membai’at Abu Bakar.

Tentang telah ditentukannya kekhalifahan Imam Ali as oleh nabi, dalil-dalilnya sangat banyak dan jelas sekali. Dalil-dalil tersebut tentunya sangat lebih dari cukup bagi orang yang berniat mencari kebenaran tanpa fanatisme. Dalil-dalil tersebut diantaranya adalah:
1. Hadits Yaumul Indzar: Rasulullah saw sejak hari pertama beliau mengumumkan kenabiannya kepada keluarga besarnya telah menjelaskan kekhalifahan Imam Ali as. Di hari yang dikenal dengan Yaumul Indzar atau Yaumud Daar, dalam ucapan-ucapannya kepada Bani Hasyim beliau berkata: “Aku diutus oleh Allah swt untuk mengajakmu kepada kebaikan dunia dan akherat. Siapakah di antara kalian yang bersedia untuk membantuku dalam hal ini?”
Beliau menanyakan hal yang sama sebanyak tiga kali namun tak ada yang menjawab beliau selain Ali bin Abi Thalib as. Dua kali Rasulullah saw memintanya untuk diam, namun kali ketiga beliau menerimanya. Lalu beliau bersabda: “Ia adalah saudaraku, pewarisku, dan khalifah setelahku di antara kalian. Maka dengarkanlah perkataannya dan taati ia.”[1]
2. Hadits Manzilah: Selain itu sering sekali beliau menjelaskan kepada semua orang tentang kedudukan Imam Ali as baginya. Ungkapan-ungkapan yang beliau gunakan dalam ucapannya menunjukkan bahwa Imam Ali as adalah pengganti sepeninggal beliau. Saat Imam Ali as kesal mendengar ucapan-ucapan orang munafik, beliau mengadukannya kepada Rasulullah saw. Kemudian nabi berkata kepadanya: “Wahai Ali, tidakkah engkau ridha di sisiku berkedudukan bagai Harun as di sisi Musa as? Hanya saja tidak ada nabi setelahku.”[2] Di riwayat lain disebutkan: “Bagiku engkau seperti Harun as di sisi Musa as, hanya saja tak ada nabi setelahku.”[3]
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa kedudukan Imam Ali as di sisi nabi bagaikan kedudukan Harun as di sisi Musa as. Jelas jika seandainya dulu nabi Harun as masih hidup, ia pasti menjadi pengganti nabi Musa as.
3. Hadits Tsaqalain: Beberapa kali Rasulullah saw mengucapkan hadits ini. Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku meninggalkan dua hal berharga bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak akan pernah tersesat selamanya, dan salah satunya lebih agung dari lainnya: Kitab Allah swt, tali yang menjulur dari langit ke bumi, dan yang kedua Ahlul Baitku; keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya masuk ke dalam telaga surga. Maka lihatlah bagaimana diri kalian kelak akan bersikap.”[4] Dalam hadits tersebut beliau menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah pegangan utama umat Islam dan Ahlul-Bait adalah penafsir Al-Qur’an yang harus dijadikan rujukan. Karena Imam Ali as adalah Ahlul-Bait nabi, hendaknya umat Islam menjadikannya rujukan sepeninggal nabi.
4. Hadits Ghadir: Begitu juga saat Rasulullah saw berada di Ghadir Khum, setelah beliau meminta kesaksian dari seluruh umat Islam bahwa dirinya lebih dahulu daripada harta dan jiwa mereka, beliau bersabda: “Barang siapa menjadikanku tuannya, maka hendaknya menjadikan Ali sebagai tuannya pula. Ya Tuhan, tolonglah orang yang menolongnya, dan hinakanlah orang yang menghinanya.”[5]

Ahlu Sunah Meragukan Hadits Ghadir
Meskipun Ahlu Sunah dikenal meragukan hadits Ghadir sebagai bukti kekhalifahan Imam Ali as, namun dengan melihat indikasi-indikasi sebelum dan sesudah beliau mengucapkan hadits itu, kenyataannya akan jelas bahwa yang dimaksud “tuan” dalam hadits tersebut berarti “pemimpin”. Sebelum mengucapkan hadits itu Rasulullah saw meminta kesaksian umatnya: “Bukankah aku paling berhak atas kalian? Atas jiwa dan harta kalian?”

Setelah semua orang mengiyakan, beliau menyatakan bahwa demikian juga Ali bin Abi Thalib memilki wewenang yang sama sepertinya. Lalu setelah itu nabi berdoa agar melaknat orang yang memusuhi Ali bin Abi Thalib as dan menolong orang yang menolongnya. Nabi juga menjelaskan bahwa mencintai Ali as berarti mencintai Allah swt dan nabi-Nya, memusuhi Ali as juga berarti memusuhi Allah swt dan nabi-Nya. Hal-hal sedemikian rupa membuktikan bahwa maksud Rasulullah dalam hadits Ghadir adalah menyatakan kepada semua orang bahwa Imam Ali as adalah pengganti sepeninggal beliau.

Alasan Imam Ali as membai’at Abu Bakar
Adapun Imam Ali as membai’at Abu Bakar, jika itu memang benar, hal itu tidak bertentangan dengan telah ditentukannya kekhalifahan Imam as oleh nabi. Karena tugas beliau adalah memimpin umat; entah beliau diangkat oleh umatnya ataupun tidak, beliau tetap dapat menjalankan tugasnya semaksimal mungkin yang beliau bisa. Imam Ali as membai’at Abu Bakar karena tidak ingin menimbulkan kericuhan di dalam umat Islam.

Karena jika tidak maka kekacauan dan perpecahan tersebut akan digunakan oleh musuh-musuh Islam dari Luar, seperti Roma dan Persia saat itu, untuk menyerang dan menghancurkan Islam. Dengan kebijakan tersebut Imam Ali as dapat menghindari keributan di dalam demi memfokuskan fikiran umat Islam bersama untuk menghadapi bahaya musuh-musuh di luar.

Dalam segala keadaan Imam Ali as rela mengorbankan apapun demi Islam. Bagaikan seorang ibu sejati yang rela mengorbankan nyawanya pun demi anaknya.[6] Imam Ali as sendiri berkata: “Demi Allah, aku sama sekali tidak berfikir bahwa Arab akan merampas kekhalifahan dari tangan Ahlul Bait dan menjauhkannya dariku. Aku melihat mereka berbondong-bondong membai’at seseorang. Aku pun enggan untuk membai’atnya. Namun aku melihat ada sekelompok orang yang hendak menghancurkan agama Muhammad saw. Maka aku takut jika aku tidak berbuat apa-apa untuk Islam dan Muslimin maka akan timbul perpecahan di dada Islam, yang mana musibah itu bagiku lebih besar daripada kehilangan kedudukan yang menurut kalian sangat diidamkan.”[7]

Untuk mengkaji lebih jauh:
1. Allamah Sayid Muhammad Husain Husaini Thabthabai, Emam Shenashi, penerbit Hekmat, 1421, jil. 4-7.
2. Sayid Syarafuddin Al-Musawi, Rahbari e Emam Ali as Dar Qor’an va Sonnat, terjemahan Muhammad Ja’far Emami, Moawenat e Farhanggi Sazman e Tablighat, 1370.

Hadits akhir:
Rasulullah saw bersabda: “Wahai Bani Hasyim! Sesungguhnya saudaraku, pewarisku, dan penggantiku di antara keluargaku adalah Ali bin Abi Thalib as. Ia yang akan menunaikan hutang-hutangku dan menjalankan tugas-tugasku.”[8]

Referensi:
[1] Muhammad bin Jarir Thabari, Tarikh Thabari, jil. 2, hal. 321, Tahkik: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim; Abdul Rahman bin Muhammad bin Khuldun, Tarikh Ibnu Khuldun, jil. 1, hal. 647; Al-Kamil, jil. 2, hal. 32.
[2] Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Atsir, Usdul Ghabah Fi Ma’rifati Ash-Shahabah, jil. 3, hal. 601.
[3] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiiz Ash-Shahabah, Tahkik: Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awidh, jil. 3, hal. 1097; Ahmad bin Yahya bin Jabir Baladzari, Ansab Al Asyraf, Tahkik: Muhammad Hamidullah, jil. 2, hal. 94.
[4] Usdul Ghabah, jil. 1, hal. 490.
[5] Ibid, jil. 1, hal. 439; Abul Fida’ Ismail bin ‘Amr bin Katsir Al-Dimashqi, Al-Bidayah wa An-Nihayah, jil. 5, hal. 210.
[6] Di jaman Umar ada dua orang wanita berselisih mengaku seorang bayi sebagai anaknya. Supaya dapat membuktikan siapa ibu anak itu yang sebenarnya, Imam Ali as berencana untuk memotong anak menjadi dua lalu dibagikan tiap potongnya kepada setiap wanita itu. Salah seorang wanita itu bersedia, namun satunya lagi tidak bersedia dan berkata: “Jangan, lebih baik berikan saja jatahku untuk wanita itu.” Lalu akhirnya Imam Ali menyatakan bahwa ibu yang tidak bersedia anaknya dipotong itu adalah ibu yang sebenarnya. (Qezavat Haye Mohayerol Oqul, Sayid Hasan Muhsin Amin ‘Amili, hal. 37)
[7] Nahjul Balaghah, Faidz Al-Kashani, surat ke 62.
[8] Amali Thusi, 602/1244.


Alasan Syiah mengutamakan Ali bin Abi Thalib as

Satu-satunya masalah yang paling besar yang memecahkan umat Islam menjadi Syi’ah dan non Syi’ah adalah kekhilafahan. Syi’ah meyakini Ali bin Abi Thalib adalah khalifah pertama, lalu Hasan dan Husain putranya, lalu Ali Zainal Abidin, dan seterusnya.

Apa alasan Syi’ah?
Sejak awal, Rasulullah saw selalu bersama Ali ke manapun pergi. Di goa Hira, saat beliau menerima wahyu, ia bersama Ali.

Rasul memulai dakwah secara sembunyi-sembunyi. Ia mulai dari keluarganya, Bani Hasyim. Di saat itu ia bertanya, “Siapakah di antara kalian yang bersedia menjadi pendampingku dan pengganti setelahku?” Ali mengangkat tangannya. Rasul menolaknya. Lalu bertanya lagi, namun Ali juga yang menjawab, selain ia tidak ada yang menjawab. Rasul tetap menolaknya. Hingga ketiga kalinya baru Rasul menerima Ali dan berkata
“Inilah pendampingku dan pengganti setelahku. Maka patuhlah padanya.”
(lihat: Tafsir Thabari, jil. 19, hal. 419; Tarikh Thabari, jil. 2, hal. 319 – 321, cet. Darul Ma’arif Mesir; Tarikh Thabari, jil. 2, hal. 216; Tarikh Al Kamil – Ibnu Atsir Syafi’i, jil. 2, hal. 62 & 63, cet. Dar Al Hadzir – Beiriut;Tarikh Al Kamil – Ibnu Atsir, jil. 2, hal. 24; Kanzul Ummal, jil. 15, hal. 115, hadits 334, cet. ke-2 Haidarabad;Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 5, hal. 41 & 42; Sirah Al Halbi, jil. 1, hal. 321).

Di akhir khutbah beliau pada hari Ghadir, dimana pada waktu itu beliau bersama rombongan haji lainnya sedang berjalan pulang. Saat di perempatan jalan turun wahyu yang memerintahkan beliau untuk menyampaikan satu masalah penting, yang jika tidak ia sampaikan berarti risalah kenabiannya percuma. “Wahai nabi, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Tuhanmu. Jika engkau tidak menyampaikannya, maka artinya kamu tidak menunaikan risalahmu.”.

Lalu masalah penting apakah itu? Rasul mengangkat tangan Ali seraya berkata kepada semua orang:
“Barang siapa menjadikan aku sebagai tuannya, maka jadikanlah Ali sebagai tuannya juga. Sungguh aku meninggalkan dua pusaka bagi kalian. Jika kalian berpegang kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya.”
Nabi dengan jelas di awal dan akhir dakwah menunjuk Ali sebagai pemimpinnya. Namun apa sikap Muslimin? Jenazah nabi belum sempat dimandikan mereka semua ribut bercekcok di Saqifah untuk menunjuk khalifah.

Apakah nabi hanya menyinggung kekhilafahan Ali di awal dan akhir dakwahnya saja? Tidak, sungguh sangat sering beliau menjelaskan “siapakah Ali”.

Ali di sisi nabi bagai Harun as di sisi Musa as
Di perang Tabuk Rasulullah saw berkata kepada Ali bin Abi Thalib:
“Engkau di sisiku bagaikan Harun di sisi Musa. Hanya saja tidak ada nabi setelahku.”
(lihat: Kanzul Ummal, jil. 13, hal. 122-123, hadits 36392; Al Manaqib, hal. 54-55, hadits ke-19; Tarikh Dimasq, jil. 1, hal. 321, hadits 401).
Siapakah Harun? Harun adalah wakil Musa. Lalu siapakah Ali kalau bukan wakil nabi?

Kisah Ali yang bersedekah saat ruku’
Pada suatu hari, saat Ali bin Abi Thalib sedang shalat, datang seorang pengemis di dekatnya. Saat ia dalam keadaan ruku’, ia menjulurkan tangannya dan berisyarat agar pengemis tersebut mengambil cincinnya.
Kisah itu terdengar hingga ke telinga nabi. Lalu beliau berdoa:
“Ya Tuhan, sebagaimana Engkau telah memberi Musa pengganti dari keluarganya, maka berilah aku pengganti pula dari keluargaku.”
Lalu turun ayat yang berbunyi:
“Sesungguhnya wali-mu adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang beriman yang mendirikan shalat lalu dalam keadaan rukuk ia bersedekah.”
(QS. Al Maaidah: 55).

Riwayat ini begitu terkenal dan ditukil oleh sahabat-sahabat ternama seperti Ibnu Abbas, Jabir, Abu Rafi’, Anas bin Malik, dan Abdullah bin Salamah.
(silahkan merujuk: Kanzul Ummal, hal. 405, hadits no. 137; Tafsir Fakhr Ar Razi, jil. 12, hal. 26; Tafsir Neysyaburi, jil. 6, hal. 154)

(Hauzah-Maya/Islam-Quest/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: