Sidang memperingati korban Perang Dunia Kedua digelar di Majelis Umum PBB bertepatan dengan 72 tahun berakhirnya perang ini. Sidang ini dihadiri oleh perwakilan lebih dari 30 negara dunia termasuk deputi wakil tetap Iran untuk PBB.
Gholamhossein Dehghani, deputi wakil tetap Iran untuk PBB di pidatonya dalam pertemuan ini seraya menjelaskan poin bahwa korban Perang Dunia Kedua lebih besar ketimbang serdadu negara yang terlibat dalam perang menambahkan, rakyat di sejumlah negara termasuk Iran harus membayar mahal akibat perang tersebut.
Seraya menekankan urgensitas mengenang musibah yang dipaksakan kepada negara-negara seperti Iran di Perang Dunia Kedua, Dehghani mengatakan, serangan sekutu ke Iran dan pendudukan atas negara ini adalah sisi yang jarang diketahui dari Perang Dunia Kedua.
Deputi wakil tetap Iran untuk PBB seraya mengingatkan sikap netral Tehran di Perang Dunia Kedua, juga mengisyaratkan ketidakpedulian negara sekutu akan sikap tersebut. Sejarah kontemporer Iran mencatat peristiwa yang sebagiannya tidak membutuhkan analisa mendalam, karena sejarah dengan sendirinya menjadi bukti paling transparan dalam menjelaskan realita. Pidato Dehghani tersebut mengisyaratkan akan peristiwa seperti ini. Salah satu contoh peristiwa ini adalah paceklik buatan terhadap rakyat Iran dan terjadi saat Perang Dunia Kedua dan ketika negara ini dijajah oleh Rusia serta Inggris.
Meski paceklik biasa diartikan dengan kekeringan dan minimnya curah hujan, namun apa yang terjadi di Iran saat itu, lebih dari arti sebenarnya paceklik. Karena berbagai faktor seperti Perang Dunia dan lemahnya pemerintah Iran saat itu serta gejolak politik yang menguasai dunia ketika itu, di samping minimnya bahan makanan, kemiskinan dan faktor alam, memainkan peran penting dalam tragedi ini.
Keberadaan pasukan sekutu di Iran menimbulkan beragam pengaruh, termasuk dampak ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan pangan pasukan yang berjumlah 200 ribu personil tersebut, sebagian warga Iran harus meregang nyawa akibat kelaparan. Berdasarkan data yang ada, sembilan juta dari 18 juta warga Iran saat ini meninggal akibat kelaparan dan Inggris memiliki peran terbesar di kejahatan ini.
Bahkan Inggris melarang impor makanan dari India dan Bain Al-Nahrain ke Iran. Padahal di dua wilayah ini bahan makanan dan gandum menumpuk, sementara Iran menderita kekurangan bahan makanan. Selain itu, ketika terjadi paceklik seperti ini, Inggris juga menolak membayar penjualan minyak kepada Iran. Aksi tersebut tak ubahnya kejahatan perang dan mengindikasikan bahwa mereka memanfaatkan paceklik sebagai sarana untuk menguasai Iran.
Namun sejarah senantiasa memiliki pelajaran berharga dan peristiwa ini juga termasuk kejadian yang memberikan pelajaran. Tak hanya itu, peristiwa tersebut juga mengingatkan akan tanggung jawab dunia. Sementara itu, sikap Iran yang netral di Perang Dunia Kedua ternyata diabaikan dan independensi sebuah negara dilanggar. Pelanggaran ini dapat ditindaklanjuti serta diproses hukum berdasarkan konvensi internasional.
Iran saat ini meski memiliki posisi unggul dari sisi kekuatan dan kedaulatan, namun hal ini tidak akan mencegah untuk menelusuri masa lampau serta tanggung jawab global dilupakan. Tak diragukan lagi, kritik dan penyelidikan lembaran bersejarah, hukum, politik dan menguak kembali dampak perang serta korbannya, untuk saat ini menjadi kebutuhan yang urgen bagi masyarakat internasional.
Meski penggunaan ancaman dan kekerasan dalam hubungan internasional sampai kini masih juga menjadi retorita politik yang digemari dan belum dihapus dari budaya politik Barat, serta hak dari banyak negara masih dilanggar. Padahal jika negara-negara yang mengklaim pro perdamaian dan keamanan di dunia paling tidak komitmen dengan prinsip dasar ini, maka tragedi seperti ini tidak akan terulang kembali.
(IRIB Indonesia/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email