Presiden Iran Hassan Rouhani berbicara dalam pertemuan gabungan pemeintah dan anggota Parlemen Iran pada tanggal 12 April 2015 di Teheran. (Berkas Foto)
Oleh : ABU MURTADHA
Pada akhirnya, setelah perundingan yang alot dan panjang serta memberikan berbagai ekspektasi yang beragam tentang nuklir Iran, kesepakatan antara Iran dan negara-negara G5+1 telah terjadi meski masih pada batas frame (ithâr) dan akan disusul dengan penandatangan pada akhir bulan Juni mendatang. Selaiknya perundingan, maka ada tawar- menawar antara pihak yang berunding; dalam hal ini pihak Iran, yang diduga akan mengembangkan senjata nuklir, dan pihak Barat, khususnya Amerika, yang siap mencabut embargo ekonomi, militer dan politik atas Iran.
Sejak meletusnya Revolusi Iran 1979 sampai saat ini, Iran dan Amerika bermusuhan. Revolusi ini telah merubah wajah Iran yang monarki-sekuler menjadi negara demokrasi-teokrasi-agama. Melalui referendum yang diadakan beberapa hari setelah tumbangnya rezim Syah Reza Pahlevi dan kedatangan Ayatullah Khomeini dari tempat pengasingannya di Perancis, rakyat Iran menentukan pilihannya yang nyaris aklamasi yaitu Republik Islam Iran (RII). Ke-islaman negara ini diperkuat dengan Undang-Undang Dasar (Qânûn Asâsi)nya sebagai negara Islam yang berasaskan Islam dan bahkan menjadikan wilâyat al faqîh sebagai rujukan utama dalam urusan politik, sosial dan hukum. Boleh jadi, hanya RII yang secara tegas mendeklasikan dirinya sebagai Republik Islam tanpa ragu dan segan dari masyarakat dunia. Sementara negara-negara Islam lainnya, masih ragu dan segan untuk melakukan itu. Untuk disebut pemerintahan Islam mereka malu, tapi disebut tidak Islam mereka enggan (ogah).
Sejak tumbangnya khilafah Othmaniah Turkia pada perang Dunia Pertama, RII menjadi sebuah eksperimen baru untuk pemeritahan Islam di dunia modern dewasa ini. RII ingin membuktikan ke dunia yang sekuler bahwa agama Islam masih bisa tampil untuk memerintah negara dan menata dunia, dan siap menjadi alternatif baru dalam sebuah sistem pemerintah yang modern. Karena upaya dalam mewujudkan gagasan pemerintah Islam ini, RII dimusuhi, diperangi dan dikucilkan hingga saat ini. Namun seiring dengan berjalannya waktu; sejak berdiri pada tahun 1979 hingga saat ini, RII mampu mempertahankan jatidirinya sebagai pemerintahan Islam, bahkan dapat tampil sebagai negara yang kuat dan maju disaat menghadapi berbagai tekanan militer, embargo ekonomi dan isu sektarian (Sunni-Syiah).
Pada akhirnya, dunia harus mengakui RII sebagai negara yang kuat dan bersanding sejajar dengan negara-negara besar (G5+1) untuk membicarakan peta dunia baru. Pembicaraan tentang nuklir hanya sebagai isu yang mengemuka, tapi sesungguhnya yang terjadi adalah munculnya kekuatan baru sebagai pembanding negara-negara Barat, yaitu; Rusia, China dan Iran. Di masa-masa yang akan datang negara-negara Barat, khususnya Amerika, tidak sendiri menentukan arah dunia. Mereka harus mempertimbangkan poros kekuatan baru; Rusia, Cina dan Iran. Masyarakat dunia mempunyai dua pilihan dan bisa melakukan tarik-ulur dengan dua kekuatan dunia. Karena itu, Saudi Arabia dan Israel geram dan marah. Dua negara ini tidak lagi bisa melakukan apapun sekehendak mereka karena dukungan Amerika. Gerakan mereka terbatas, karena Amerika tidak lagi menjadi kekuatan tunggal di dunia. Ada kekuatan baru yang dapat menghadang Amerika, dan RII menjadi salah satu dari kekuatan itu.
Sebuah realita yang tidak dapat diingkari bahwa masyarakat dunia hanya akan menghormati dan mengikuti negara yang kuat. Realita ini lah yang ditangkap oleh RII. Karena itu, ia berusaha untuk menjadi kuat. Sejak kesepakatan nuklir tercapai beberapa hari yang lalu, maka dunia harus mengakui bahwa RII negara yang kuat. Seharusnya, negara-negara Islam senang dan mendukung RII, karena mereka tidak akan lagi menjadi negara yang dijajah secara ekonomi maupun politik oleh Barat. RII siap membantu negara-negara Islam dan membebaskan mereka dari pengaruh Barat serta menjadikan mereka sebagai negara yang merdeka.
(Mahdi-News/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email