Gerombolan Takfiri
Oleh: Haydar Yahya, Pimpinan Manajemen Cinta Rasul
Yang utama, kita sebagai bangsa Indonesia, wajib menjaga keutuhan bangsa ini dari pengaruh kultur buruk Arab yang kini mulai menjarah generasi dan remaja-remaja kita.
Salah satu ciri dasar manusia adalah hidup bermasyarakat. Bila kita cermati dewasa ini, rasanya kita semua setuju, ummat Islam nampak seperti sudah menjadi ummat terburuk yang ada di muka bumi dalam bermasyarakat. Artinya, harkat kemanusiaan ummat ini sedang dalam titik nadir.
karena, diantara kelompok manusia, ada yang mengetahui siapa saudaranya, tapi tidak tahu siapa musuhnya. Ada yang mengetahui siapa musuhnya tapi tidak tahu siapa saudaranya. Sementara ummat yang mengaku muslimin ini, benar-benar tidak mengetahui siapa saudaranya sekaligus siapa musuhnya.
Sebab ambisi dominasi kekuasaan dan saling menaklukkan menjadi ikhwal yang utama. Segala cara sah dilakukan. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain justru dalam hal cara. Dalam hal ini, nampak agama lebih mengatur soal cara. Cara bagaimana hidup dan cara bagaimana mati. Cara bermu’amalat dan cara beribadah. Cara berbicara, cara makan minum sampai cara berperang dan cara membunuh.
Walhasil, agama mengatur semua cara, agar manusia tetap menjadi manusia yang ahsanu taqwim, dan tidak terpuruk dititik aspal. Pujian dan kriteria indah Alquran tentang ummat yang dibanggakan ini tidak ada lagi yang melekat di ummat! Kalimat suci Allahu Akbar bahkan sekedar menjadi ritual belaka yang menyertai pembunuhan keji antar sesamanya.
Siapa itu yang saling bunuh membunuh di Iraq, di Afghanistan, di Pakistan, di Libia, di Siria, di Yaman, di Mesir. Siapa melawan siapa, juga sudah tidak jelas lagi. Yang pasti merekalah kaum muslimin. Bukan lagi antar Sunni dan Syi’ah saja, tapi juga bahkan lebih seru lagi antara Sunni dan “Sunni, Salafi, Wahabi, Khawarij” karena hanya masalah berbeda aspirasi politik, pemahaman agama atau sebab lain yang tidak juga jelas dasarnya.
Bila di dunia akademisi ada seorang profesor menyerukan agar profesor yang berbeda dengannya layak dibunuh, maka pastilah dunia akan heboh besar. Tapi dalam masyarakat muslimin, seorang ulama dengan enteng menyatakan fatwanya untuk membunuh ulama yang berbeda, halal darahnya menurut syari’ah, begitu sederhana. Dan semua berlaku seperti wajar-wajar saja. Di Indonesiapun demikian, meski masih sayup-sayup mulai terdengar sekelompok kecil muslimin yang ikut-ikutan, seperti anak unta mengikuti induknya.
Layaklah bila sebagian orang mulai bertanya-tanya, agama apakah sebenarnya yang dianut ummat ini? Al Kitab apa yang dijadikan sebagai pedomannya!? Siapa gerangan yang telah dijadikan uswah hasanah sebagai teladannya ?! Bagaimana semua hal-hal memalukan, kultur barbarian bisa menjalar mewabah menjangkiti muslimin diseantero dunia ini !?
Duniapun menonton penuh “kekaguman”, adegan ummat bringas layaknya kesurupan, gemar berperang dan membunuh sesamanya. Sementara pada disaat yang sama, tanpa malu dan risih dari atas mimbarnya berkhotbah mengaku sebagai ummat terbaik (“khairu ummah”), kehadirannya untuk menyempurnakan akhlaq (innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq), pembawa rahmat bagi alam semesta (wama arsalnaka illa rahmatan lil’alamien)!?!
Kita mencoba mencermatinya dan sampailah pada sebuah kesimpulan, bahwa dewasa ini, kultur Arab telah menggantikan ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui, bangsa Arab, sejak sebelum Islam, nyaris tidak pernah bisa hidup berdampingan secara damai antar sesamanya. Hidup mereka berkelompok dan bersuku-suku dengan fanatisme agresif. Berseteru, saling membunuh, berperang, layaknya olah raga. Berperang merupakan barang yang menjadi kebutuhan. Kalau tidak ada lawan, tetangga juga bisa diperangi. Islam kemudian datang mencoba menjadikan bangsa Arab sebagai bangsa yang satu dengan ikatan keislaman. Upaya itu agaknya berhasil sebentar saja. Segera sepeninggal Sang Rasul bangsa ini mulai sedikit demi sedikit kembali ke karakter aslinya, barbarian.
Coba simak khutbatul-wada’ (Orasi perpisahan Rasul tidak lama sebelum wafatnya) yang ditujukan kepada bangsa Arab saat itu, antara lain amanatnya :”…Janganlah kalian kembali menjadi kuffaar ingkar sepeninggalku dan saling pukul memukul tengkuk kalian satu sama lain….” (“…La tarji’u ba’diy kuffaron tadzribu ba’dhukum riqoba ba’dh..”).
Siapa yang paling bertanggungjawab dengan carut marut wajah zombie keadaan ini!? Tentu saja para ulama! semua ulama yang Sunnah mapun Syi’ah bahkan sekalipun itu Wahabi, Salafi dan Khawarij, semua paling bertanggungjawab sesuai kapasitasnya untuk melakukan otokritik secara tulus dan merekonstruksi kembali cara keberagamaan, cara bermazhab dan mensosialisasikan secara baik kepada ummat masing-masing. Bila kita benar-benar memang masih cinta Islam, cinta Rasulullah Saaw.
Yang utama, kita sebagai bangsa Indonesia, wajib menjaga keutuhan bangsa ini dari pengaruh kultur buruk Arab yang kini mulai menjarah generasi dan remaja-remaja kita.
Bagi bangsa Indonesia yang besar, rasanya cukuplah wali songo sebagai teladan dalam memandang keberagamaan secara nyata yang dengan itu berhasil mengislamkan kita semua dengan baik.
Saatnya bangsa ini berhenti menjadi murid setia dari bangsa lain dalam beragama. Untuk yang terakhir ini, KAHMI pastinya juga bertanggungjawab!
(Mahdi-News/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email