A. Latarbelakang
Pokok agama adalah ma’rifat tentang Allah Swt. Dan kesempurnaan makrifat tentang-Nya adalah dengan tashdiq
(membenarkan) terhadap-Nya. Kesempurnaan tashdiq tentang-Nya adalah
dengan tauhid kepadanya dan kesempurnaan tauhid kepadanya adalah dengan
ikhlas kepadanya.[1]
Untuk
mengenal allah swt terdapat berbagai macam cara dan metode yang telah
di jelaskan buku-buku filsafat dan kalam. Pada kesempatan ini kami akan
menguraikan dan memberikan dalil-dalil bahwasanya Allah swt itu adalah
wujud yang pasti (Wajibul Wujud).
Seorang
yang hanya memiliki pikiran yang sederhana , ia dapat mengenal
tuhannya dengan cara yang sederhana pula , tetapi adapun orang yang
pikirannya mampu menampung beban keraguan ia dapat mengenal tuhannya
dengan berdasarkan akal ,sehingga ia menyimpulkan bahwasanya pencipta
alam semesta ini adalah zat yang pasti adanya dan tidak bergantung
kepada yang lain (Mumkinul Wujud).
Sebuah
dalil logika menyatakan setiap wujud pasti ada yang membuatnya menjadi
menjadi wujud,jika wujud itu terjadi melalui perbuatan maka pasti ada
yang melakukan perbuatan itu,jika wujud melalui gerak maka pasti ada
penggeraknya,karena wujud itu akibat maka harus ada sebabnya.rangkaian
sebab-akibat yang akan menjelaskan rangkai wujud memang bisa
bertikat-tingkat,seakan tanpa akhir,namun semua akal berakhir ketika
orang dapat membuktikan adanya pelaku pertama atau sebab
pertama.Begiatu pun juga alam semesta ini,tidak mungkin semua ini
terjadi dan terwujudnya dengan sendirinya dan dengan bukti-bukti nyata
tentang alam semesta ini.alam ini memiliki ketraturan yang begitu
sempurnanya dan alam yang indah serta keseimbangan alam ini,pastinya
akan timbul pertanyaan yang banyak siapakah yang menciptakan alam
ini?siapakah yang mengatur alam semesta yang begitu rapi ini?
B. Rumusan Masalah
1. Bukti keberadan tuhan
2. Dalil-dalil keberadan tuhan
3. Dalil-dalil keberadaan tuhan
4. Dalil-dalil quddus dan qiddimnya tuhan dalil siddiqin.
C. Tujuan
1. Memahami tentang keberadaan tuhan
2. Memahami quddus dan qidamnya tuhan
3. Memahami pandangan-pandangan para filosof tentang dalil keberadaan tuhan.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Dalil keberadan tuhan
Masalah ketuhanan merupakan salah satu persoalan yang menjadi sorotan dalam pembahasan-pembahasan kalam .setiap aliran kalam,baik yang muncul pada preode yang awal maupun kelanjutan, aliran-aliran yang masih berkembang hingga masa ini,dapat di pastikan menaruh perhatian khusus terhadap masalah tersebut.hal yang penting untuk di kemukakan sebelum melanjukan pembahasan adalah bahwa semua mutakallimin yakin dengan keyakinan sepenuhnya mengenai wujud tuhan yaitu bahwa wujud tuhan ada.
Menurut
misbah yaszi, wujud segala sesuatu ”yang mungkin meng-ada” tidak
terlepas dari dua kondisi : wujudnya bersifat niscaya, ada dengan
dirinya sendiri yang di istilahkan denagan wajib al-wujud, atau tidak
bersifat niscaya, namun wujunya tergantung pada yang lain yang di
istilahkan dengan mumkin al-wujud.
Dengan kata lain, sesuatu itu wajib al- wujud atau mumkin al wujud. jelas, jika bersifat mumkin (tidak mungkin),
maka sesuatu sama sekali tidak akan terwujud, dan tidak akan dinilai
sebagai sesuatu apapun. Dengan demikian, setiap sesuatu adalah entah
sebagai wujud niscaya ada (Wajib Al wujud) atau wujud kontingen (Mumkinu Al wujud).
Sesuatu yang wujudnya lemah atau yang bergantung serta bersifat mumkin
al wujud, tentu membutuhkan penyebab. bila dikatakan bahwa “setiap sesuatu”
membutuhkan penyebab, maka itu bukan bermakna bahwa tuhan juga
memerlukannya (penyebab) ,atau bukan bermakna bahwa iman kepada allah ,
zat tak bersebab, bertentangan dengan hukum kausalitas.[2]
Ibnu
sina dalam karyanya mengajukan dalil untuk membuktikan eksistensi sang
pencipta bahwa wujud itu bisa wajib atau mumkin. Wujud mumkin (Mumkin Al-Wujud) mewujud karena beberapa faktor eksternal.
Jika
faktor eksternal itu adalah wujud wajib pada dirinya sendiri, maka
itulah sumber (Wujud) dan pencipta. Jika faktor eksternal itu wujud
mumkin, maka ia pasti akibat atau epek dari sesuatu yang lain ketimbang
dirinya sendiri. Jika rangkaian wujud-wujud mumkin meluas secara tak
terbatas tanpa mencapai titik awal, suatu titik sumber dan eksistensi
wajib tak satupun daari wujud-wujud mumkin dalam rangkaian tak terbatas
ini ada karena aktualisasi dari rangkaian ini tergantung pada adanya
rangkaian sebelumnya. Dan asumsi seperti ini terus berlanjut secara tak
terbatas.
Untuk
menjelaskan argumen ibnu Sina, kami akan memberikan ngulistrasi
berikut. Anggaplah sebuah batu karang yang besar jatuh menimpa jalan,
sehingga menutupinya. Jelaslah,batu karang itu tidak akan bergerak
karena dirinya sendiri pejalan pertam yang melewatinya mendapatkan jalan
tertutup dan berkata kepada kepada dirinya sendiri :” jika ada orang
lain yang menemani niscaya kami bisa memindahkan batu karang tersebut
dan membersihkan jalanya.”. seorang pejalan kedua muncul namun mendengar
ucapan orang pertama, ia menjawab bahwa, “jika ada orang lain yang
menemani maka kami bertiga niscaya bisa memindahkan batu karang
tersebut”. Pejalan ketiga sampai ditempat tersebut, seraya berkata
bahwa: ”jika ada orang ke empat muncul dan membantu, maka kami bisa
menggeser batu karang itu.” Orang ke empat muncul dan menanti kedatangan
orang kelima, dan seterusnya sampai tidak terbatas. Apakah batu karang
itu akan bergerak dalam keadaan semacam itu?
Tentu
saja tidak, batu karang itu akan pindah hanya ketika seseorang datang
dan mau bertindak tanpa menunggu kemunculan orang lain. Dalam
situasi seperti itu baik ia sendirian maupun bersama-sama akan
bertindak dan memindahkan batu karang itu sehingga jalan pun terbuka
lagi.
Demikian
pula dalam rangkaian sebab akibat, sepanjang kita tidak sampai pada
suatu sebab yang ada pada dirinya sendiri lepas dari benda-benda apapun,
maka tak satu rangkaian pun yang niscaya ada dengan kata lain kita
haarus sampai pada wujud yang memiliki eksistensi mandiri atau wajibul
wujud, oleh sebab itu dalam bayangan wujud mutlak inilah segala sesuatu
mencapai keberadaanya.[3]
Ibnu
Sina berusaha mengemukakan pembuktian kebenaran dengan mengambil salah
satu dalil tentang wujud tuhan. Bagi tuhan adalah wajibul wujud,
yaituwujud yang tidakbolehtidak,yangeksistensi-Nyasuatukepastian.
Masalah ketuhanan itu dalam pandanganya berkaitan dengan filsafat wujud
dalam pemikiran metafisika.
Dalam
pembuktian metafisik mengenai wujud, Ibnu Sina menjelaskan bahwa
setiap wujud yang ada dapat dibagi dua yaitu wujud yang mungkin (Mumkin Al-Wujud), dan wujud yang niscaya (Wajib Al-wujud).
Yang
dimaksud mumkinul wujud adalah apa yang ketiadaanya tidak menyebabkan
kemusatahilan, karena ia tidak harus ada, dan peluangnya untuk ada
sebanding dengan peluangnya untuk tidak ada. Sedangkan yang dimaksud
dengan wajibul wujud adalah apa yang jika diduga tidak ada membawa
kepada kemustahilan karena ia harus ada.[4]
B. Pandangan Materialisme Terhadap Tuhan
Para penganut materialism berpen dapat bahwa wujudi tusama dengan materi dan material. Sesuatu itu, dianggap ada bila ia berupa materi dan meliputi tiga dimensi (panjang, lebar dan padat) Atau meliputi tipologimateri sehingga ia di sifati dengan kuantitas dan dapat dibagi.
Para penganut materialism berpen dapat bahwa wujudi tusama dengan materi dan material. Sesuatu itu, dianggap ada bila ia berupa materi dan meliputi tiga dimensi (panjang, lebar dan padat) Atau meliputi tipologimateri sehingga ia di sifati dengan kuantitas dan dapat dibagi.
Bahwa materi bersifat Azali, abadi, tidak dicipta dan tidak membutuhkan
sebaba apapun, yang di dalam filsafat dinamakan wujud niscaya ada (Wajibul Wujud).
Kita
tidak mungkin mengatakan bahwa alam ini memiliki tujuan dan sebab
akhir karena tidak ada pelaku yang memiliki ilmu dan kehendak sehingga
dapat dini bahkan tujuan penciptaan.
C. Sanggahan Para Filosof Terhadap Pandangan Materialisme
Para
ahli filsafat seperti Mulla Sadra, Ibnu Sina dan lain-lainya telah
banyak menyanggah pendapat para kaum materialism tentang eksistensi
Tuhan.
“Al Adamu Al wujdan haya dullu ‘alaa ‘adamilwujud” (Tidak diketahui bukan berarti tidak ada).
Dengan demikian, paling tidak kita harus menerima asumsi
kewujudanya.Tidak berarti bahwa sesuatu yang tidak tampak itu tidak
ada. Contoh sederhana adalah Angin, Suara, dan AliranListrik, karena
walaupun tidak tampak tetapi angin itu bisarasakan, itulah zat ALLAH
swt .
D. DalilQodimnya Allah
a) Pengertian Sifat Qidam
Qidam
untuk sifat Allah menurut ahli kalam adalah “Bahwa Allah Ta’ala tidak
ada awal untuk keberadaannya dan IA tidak didahului dengan
ketidak-adaan, adalah Allah ada dan tidakadasesuatupunselaindiri-Nya,
kemudianiamenciptakanmakhluk” (Iqtinash Al-Awaly Min Iqtishad
Al-Ghazali, oleh DR. Muhammad Rabi’ Jauhari hal. 73).
Adapun Arti Qidam secara harfiyah adalah yang terdahulu, secara ma'any arti Qidam terbagi kepada3 pengertian
a. Qidam
Idlofi, lamanya sesuatu karena disandarkan kepada yang lain, seperti
ayah Qidam kalau disandarkan kepada anak, tetapi
kalaudisandarkankepadakakek, ayah tidakQidam.
b. Qidam
Zamani, lamanya sesuatu karena memang sudah lama zamannya tetapi
didahului dengan tidak ada, seperti Qidamnya alam semesta.
c. Qidam
Dzati, lamanya sesuatu tidak diawali dengan tidak ada, tidak bersandar
kepada adanya yang lain dan tidak terikat zaman, yakni Qidamnya Allah
SWT.
Dengan demikian bahwa Allah itu qadim (tiada permulaan wujud-Nya). Adapun dalil naqli dan naqlinya:
b) Dalil Sifat Qidam
Allah swt berfirman dalam al-quran yang artinya:
Dialah Tuhan yang awal tiada permulaan dan yang akhir tiada kesudahan. (Al- Hadid:3)
Dialah Tuhan yang awal tiada permulaan dan yang akhir tiada kesudahan. (Al- Hadid:3)
Adapaun
Kata Qidam / Qadim dalam Al – Qur’an dan Sunnah Ada empat tempat
penyebutan kata Qadim dalam Al – Qur’an yaitu dalam surat (Qs. Yusuf:
95, Yasin: 39, Al – Ahqaf:11, danAsy – Syu’ara:75-76). Lafadh Qadim yang
ada pada empat tempat tersebut menunjukkan pada sifat bagi makhluk.
(Kekeliruan yang dahulu, sebagai bentuk tanda yang tua, dusta yang lama,
dan nenek moyangmu yang dahulu).
Sedang didalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw apabila masuk masjid beliau berdoa: (Artinya): “Aku
berlindung kepada Allah yang Maha Agung, dengan wajah – Nya yang mulia
dan dengan kekuasaannya yang Qadim (terdahulu) dari syaithan yang
terkutuk”. (HR. Abu Dawud). lafadh Qadim pada hadits ini menunjukkan pada sifat bagi kekuasaan Allah.
Dalil
bagi menunjukkan wujudnya ALLAH SWT ialah dengan baharunya alam ini.
Dan baharunya alam ini adalah kerana ia tergabung di antara jirim dan '
aradh Jirim sepertimana yang kita ketahui adalah sesuatu yang mengambil
tempat lapang. Dengan yang demikian, jirim itu bersifat baharu. Selain
dari itu, 'aradh yang berdiri pada jirim itu, keadaannya sentiasa
berubah-ubah, maka 'aradh itu bersifat baharu. Oleh kerana 'aradh
berdiri di atas jirim, maka baharunya 'aradh membawa kepada baharunya
jirim.
Jadi,
kalau jirim dan 'aradh bersifat baharu sedangkan 'aradh dan jirim
adalah gabungan yang menjadikan alam, maka dengan sendirinya alam juga
baharu. Kalau alam ini baharu, tentulah ada yang membaharukannya. Yang
membaharukannya atau yang menjadikannya adalah ALLAH SWT. Dari itu,
jelas membuktikan wujudnya ALLAH SWT.
Berikutan
dari pengertian kita tentang wujudnya ALLAH SWT itu, maka di sini kita
akan memerhatikan pula tentang dalil yang menunjukkan ALLAH SWT
bersifat Qidam atau bersifat sedia. arti sedia bagi ALLAH SWT ialah
bahawa ALLAH SWT tidak didahului oleh tiada atau dalam artikata yang
lain, ALLAH SWT tidak ada permulaan.
Perbahasan
yang mudah kita fahami yang dapat kita buat secara ringkas bagi
menunjukkan bahawa wajib ALLAH SWT itu bersifat qidam ialah, kalau ALLAH
SWT tidak bersifat Qidam atau sedia, maka tentulah akal kita akan
berkata yang ALLAH itu baharu. Dan kalaulah ALLAH itu baharu, tentulah
ada yang membaharukan-Nya atau yang menjadikan-Nya.
c) Kata Qodim dan Azali
Ada
dua perkataan yang berkaitan dengan Qidam, yaitu Qodim dan Azali, yang
pengertian dan hubungannya dengan Qidam para ‘Ulama berpendapat :
a. Perkataan
Qodim dipergunakan untuk sesuatu yang ada dan adanya tidak ada
permulaan dan tidak terkait zaman, maka yang disebut Qodim adalah Dzat
Allah SWT. Dan sifat Ma'ani di Allah SWT. Perkataan Azali, dipergunakan
untuk yang tidak ada permulaan, maka yang disebut Azali adalah Allah
SWT. Dan semua sifat Allah SWT.
b. Perkataan
Qodim, hanya digunakan untuk yang tidak ada permulaan dan tidak
membutuhkan kepada yang lain maka perkataan Qodim hanya untuk Dzat Allah
SWT, tidak kepada sifatnya, karena sifat membutuhkan kepada Dzat.
Perkataan Azali, untuk yang tidak ada permulaan, baik berdiri sendiri
atau bersandar kepada yang lain, maka perkataan Azali adalah untuk Dzat
Alloh SWT, dan seluruh sifat-sifatNya.
c. Perkataan
Qodim dan Azali, sasarannya sama, untuk yang tidak ada permulaan, maka
seluruh sifat Allah SWT. Dan Dzat Allah SWT. Bisa disebut Qidam bisa
pula disebut Azali.
d) Dalil ‘Aqli Sifat Qidam
Dalil
‘Aqli (logika) yang menunjukan kepada Qidamnya Allah SWT, adalah ;
Apabila Allah tidak Qidam, maka pasti adanya Allah didahului dengan
tidak ada, sedangkan proses dari tidak ada kepada ada, pasti memerlukan
kepada yang mengadakan (pencipta). Andaikan yang menciptakan Allah itu
adalah Allah yang kedua, maka Allah yang keduapun pasti tidak Qidam,
sebab keberadaannya tentu akan membutuhkan pencipta lagi seperti Allah
yang pertama, kalau diperkirakan Allah yang kedua itu adalah Allah yang
pertama maka pasti menimbulkan problema Daor, yakni perkara yang
pertama menunggu kepada yang kedua dan yang keduapun menunggu yang
pertama. Hal seperti ini adalah mustahil wujud (tidak mungkin adanya).
Kalau diperkirakan lagi bahwa pencipta Allah yang ketiga, yang ketiga
diciptakan oleh yang ke empat dan terus berkelanjutan tanpa ada akhirnya
makan akan terjadi proses Tasalsul yakni proses berantai yang tiada
ber-kesudahan, hal ini adalah mustahil wujud seperti Daor. Oleh karena
proses Daor. Oleh karena proses Daor dan Tasalsul adalah mustahil maka
tetaplah bahwa Allah itu Qidam.
Mulla
Sadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan berbagai
argumen-argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya
yang terkenal adalah burhan shiddiqin, inti argumen ini adalah
menempatkan semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak
bergantung kepada Tuhan, semua realitas di alam sebagai hubungan dan
kebergantungan kepada-Nya itu sendiri dan sama sekali tak memiliki wujud
yang mandiri dan bebas. Dalam hal ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang
mandiri dan tak bergantung kepada wujud lain.
Burhan
shiddiqin yang dibangun oleh Mulla Sadra berpijak pada prinsip-prinsip
metafisika yang sangat dalam. Sebenarnya apa yang dibuktikan oleh
Mulla Sadra dalam argumen tersebut bukan menegaskan bahwa Tuhan itu
berwujud, tetapi menegaskan persepsi yang benar bahwa secara hakiki
Tuhan sebagai satu-satunya wujud yang mengadakan segala makhluk dan
menghadirkan semua maujud, Dia meliputi segala sesuatu, Tuhanlah
satu-satunya wujud yang hakiki dan setiap realitas selain-Nya merupakan
manifestasi dan tajalli wujud-Nya[5].
Menempatkan
Tuhan sejajar dengan salah satu sebab dan faktor alami sama dengan
memposisikan Dia setara dengan komunitas wujud-wujud di alam atau
makhluk-Nya; ini berarti bahwa Dia itu bukan Tuhan, bahkan sebagai salah
satu makhluk dari makhluk-makhluk-Nya. Ungkapan lain yang senada
dengan ini adalah memandang alam ini adalah realitas terbatas yang
dibatasi oleh ruang dan waktu dan kemudian menempatkan Tuhan di awal
atau di akhir ruang yang membatasi alam ini atau memposisikan-Nya di
awal waktu terwujudnya alam. Semuanya ini, merupakan gambaran yang
sangat awam tentang Tuhan. Persepsi yang keliru ini menyebabkan
perkara-perkara tentang ketuhanan terpaparkan jauh dari hakikat
kebenaran dan untuk selamanya kita tak sanggup mencari jalan keluarnya.
Semoga
dengan dalil dalil dan argumen ini kita bisa mengambil kesimpulan dan
meyakini bahwasanya allah itu adalah zat yang keberadaan nya adalah
tidak membutuhkan kepada yang lain dan Dia berdiri sendiri dengan zatnya
.
Firman
Allah swt. :“Katakanlah, ‘kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang
ada padanya, jika kamu mengetahui ?’ Mereka akan menjawab, ’Kpunyaan
Allah..’ Katakan lah, ’Siapakah yang mempunyai langit yang tujuh dan
yang mempunyai Arsy yang agung ?’ Mereka menjawab, ’Kepunyaan Allah.’
Katakanlah, ’Maka apakah kamu tidak bertaqwa ?’ Katakanlah, ’Siapakah
yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia
melindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui ?’ Mereka menjawab,
’Kepunyaan Allah.’ Maka dari jalan manakah kamu ditipu ? Sebenarnya kami
telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka
benar-benar orang-orang yang berdusta. Allah sekali-kali tidak mempunyai
anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan lain beserta-Nya. Kalau ada
tuhan lain beserta-Nya masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk
yang diciptakan-Nya, dan sebagian tuhan itu akan mengalahkan sebagian
yang lainnya.” (Al Mu’minun 84-91).
“(Dan) sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan.” (Shaad 65).
“Ataukah mereka mempunyai Tuhan selain Allah?” (Ath Thur 43).
E. Dalil hudust
Dalil
`aqli yang menunjuki bahwa Allah itu wujud adalah hudust alam
(terjadinya alam), arti hudus adalah adanya alam ini di dahului oleh
tiada. Terjadi alam ini menjadi bukti` kepada adanya tuhan karena tidak
mungkin alam ini akan terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang
menciptakannya. Hal tersebut dikarenakan sebelum wujud alamini ada dua
kemungkinan yang memiliki tingkatan yang sama yaitu wujud alam dan
tetap tidak wujud alam ini. Maka bila alamini wujud dengan sendirinya
maka telah terjadi penguatan kepada salah satu dari dua kemungkinan
yang sama (wujud alam dan tidak wujud alam ini) tanpa ada yang
menguatkannya. ini merupakan suatu hal yang mustahil dan tak masukakal.
Maka pada saat alam ini telah ada pasti ada satu zat yang
menciptakannya. Zat tersebut tak lain adalah tuhan yang maha kuasa yang
bernama Allah. Dari dalil ini kita hanya mengetahui adanya tuhan dan
kita belum dapat mengetahui bahwa tuhan yang maha kuasa itu bernama
Allah. Kita dapat mengetahui bahwa tuhan yang maha kuasa itu bernama
Allah melalui perantaraan para nabi – nabi yang telah menjelaskan
kepada kita ummat manusia bahwa Zat yang maha kuasa yang telah
menciptakan alam ini bernama Allah. Adapun dalil Naqli yang menjelaskan
bahwa Allah itu wujud adalah firman Allah dalam Al qur-an yang artinya :
“Tidakkah kamu liat bahwa Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran?”
(QS IBRAHIM :19).
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
- Al-ha’iri,syehfadhlullah,Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku,terjemahanTholib Anis dari Al-imamu Ali : Al-mukhtarMin BayanihiWalhikmah,bandung:PustakaHidayah2005.
- Mishbah Yazdi,M.T, Iman Semesta, Terjemahan A. Marzuki Amin dariAmuzesyeAqayid, Jakarta: Al Huda,2005.
- El Hady, Aminullah,MembelaTuhan, Surabaya: Ipam,2004.
- Bahesti,syayyidmuhamadhusaini,TuhanMenurut Al-quran,jakarta: Al-huda 2003.
- Labib,Drmuhsin,Pemikiran Filsafat AyatullahMizbahYazdi,jakarta: Sadra press 2011.
Referensi:
[1] Syaikh fadluyllah al-ha’iri, tanyalah aku sebelum engkau kehilangan aku hal:15
[2] Dr. muhsin labib, pemikiran filsafat ayatullah M.T. misbah yazdi hal:223
[3] Sayyid muhammad husyaini bahesti, tuhan menurut al-quran hal :46-48
[4] Dr aminullah el-hady, Ibnu rusyd membela tuhan hal :159
[5] Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, hal. 15 dan 16.
(irpanjanom/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email