Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi ikut angkat bicara soal larangan merayakan hari Asyura di wilayah Bogor, Jawa Barat. Sebagai budayawan Sunda, dia menyangkan kebijakan Pemerintah Kota Bogor yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor 300/1321-Kesbangpol itu.
Menurutnya, aneh jika perayaan Asyura yang merupakan tradisi kaum Syiah itu dipermasalahkan di Indonesia. Pasalnya, konflik Sunni-Syiah tidak ada relevansinya dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
“Saya sebagai warga Sunda, atau kita sebagai warga Indonesia jangan terjebak pada konflik dua keyakinan di negara yang bukan konteks kita sebagai Islam di Indonesia,” ujar Dedi saat dihubungi, Selasa (27/10).
Dedi memandang masalah Sunni-Syiah sebagai pertarungan politik antara dua kubu di kawasan Timur Tengah. Sayangnya, ada pihak-pihak di Indonesia yang termakan bahkan terkesan ingin membawa konflik tersebut ke tanah air.
Karenanya, Dedi menghimbau masyarakat untuk memandang masalah Sunni-Syiah secara objektif. Sehingga tidak terjebak dalam pertarungan kepentingan asing.
“Harus paham yang mana konflik keyakinan, mana politik. Urusan Sunni-Syiah, itu Saudi dengan Iran. Jangan bawa konflik di Timur Tengah ke sini yang tidak ada kaitannya dengan itu semua,” paparnya.
Jika dilihat dari konteks budaya, lanjutnya, Tanah Sunda seharusnya bebas dari perilaku diskriminatif dalam bentuk apapun. Apalagi wilayah Bogor yang dulunya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, tempat Prabu Siliwangi bertahta.
“Prabu Siliwangi itu sangat menjunjung tinggi pluralisme, menghormati untuk hidup secara damai. Dia sendiri menikah dengan seorang muslimah anak dari seorang Syeh di Karawang. Jadi siapapun tokoh Sunda dengan atribut Siliwangi, hendaknya tidak melanggar aspek adat yang dimiliki,” papar Dedi.
Di Purwakarta sendiri, Dedi tegaskan akan berusaha keras dapat melindungi seluruh warganya yang memiliki kepercayaan beraneka ragam. Bahkan, dia mengaku pernah meminta langsung kepada Presiden Joko Widodo agar melindungi seluruh warga negara Indonesia meski tidak memiliki agama formal yang disepakati di negeri ini.
“Sebelum ada agama formal, ada kepercayaan leluhur di Mentawai, Sunda, Kejawen, mereka adalah warga yang menghormati leluhurnya. Karena mereka tidak bisa menulis nama agama di identitasnya, akhirnya tidak punya akta dan kartu identitas, padahal mereka pengikut agama leluhur bangsa,” tandasnya.
Dilansir dari situs resmi Pemkot Bogor di kotabogor.go.id, Kepala Bagian Humas Setdakot Bogor, Encep Moh. Ali Alhamidi, pada hari Jum’at 23 Oktober 2015 menyebutkan surat edaran ini lahir dengan memperhatikan setidaknya tiga hal. Pertama, sikap dan respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor Nomor: 042/SEK-MUI/KB/VI/2015 tentang faham syiah. Ke dua, surat pernyataan ormas Islam di kota Bogor tentang penolakan segala bentuk kegiatan Syiah dan terakhir, ini hasil rapat musyawarah pimpinan daerah.
Encep pun menyambung adanya surat edaran ini hasil dari silaturahim unsur muspida kota Bogor ke tempat-tempat kegiatan ritual Syiah. “Maka Walikota memandang perlu mengeluarkan surat edaran ini,” jelasnya.
(JPNN/Mahdi-News/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email