Ketika terjadi ketegangan antara Iran dan Arab Saudi — yang kadang dipelintir menjadi ketegangan Sunni vs Syiah, ternyata dibarengi dengan upaya media-media tertentu untuk semakin memperkeruh suasana.
Detik.com misalnya. Hari ini, media tersebut merilis artikel yang berjudul“Nasib Muslim Sunni di Negeri Syiah Iran”. Detik.com menggambarkan kehidupan Sunni di Iran sangatlah menyedihkan. Tidak bebas beribadah, masjid-masjid ditutup, dan tidak memiliki perwakilan di pemerintahan yang memadai.
Narasumber dari artikel tersebut adalah Al-Jazeera, yaitu media Qatar. Isi dari artikel Detik.com, hanyalah pengulangan dari media-media corong Zionis yang selalu memuat berita untuk mendeskreditkan Iran dan Syiah. Semuanya telah dibantah diLiputan Islam. Sehingga, dalam tulisan ini kami hanya akan memberikan tautan-tautan-tautan yang berkaitan dengan isi artikel tersebut.
Pertama, Al-Jazeera adalah media propaganda Zionis.
Al-Jazeera selama ini dijalankan oleh orang-orang pro-Israel. Mulai sejak pertama berdirinya, stasiun TV ini telah mempekerjakan banyak pekerja Zionis untuk membentuk program acara dan pemberitaan. Sebab, di kantorAl-Jazeera Qatar yang diback-up Amerika, Hamad BinKhalifa Al-Thani bukanlah orang yang mendirikanAl-Jazeera meskipun ia adalah pendana terbesar.
Al -Jazeera didirikan oleh milioner Zionis bersaudara keturunan Perancis-Israel yaitu David dan Jean Frydman, yang membuat jaringan untuk memasuki media di dunia Islam serta untuk mengendalikan haluan di Timur Tengah dalam pendudukan Zionis di Palestina.
Kedua bersaudara tersebut adalah penasihat senior Perdana Menteri Israel penjahat perang Yitzhak Rabin dan Ehud Barak. Jean Frydman juga pendana pribadi bagi dedengkot program nuklir ilegal Israel, penjahat perang Israel Shimon Peres dan iamenggelontorkan jutaan dolar dalam ‘proses perdamaian Oslo’, yang menguatkan cengkeraman Zionis terhadap Palestina.
Dan untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya terjadi di Iran, mari kita simak penuturan Ahmad Mustafa, seorang jurnalis, analis ekonomi dan politik asal Mesir, yang mengunjungi dan mengelilingi Iran.
Dalam videonya, Mustafa menuturkan kunjungannya di Iran, dan melihat kehidupan Muslim Ahlussunah baik-baik saja. Mereka beribadah dengan tenang, tanpa adanya intimidasi– sebagaimana yang sering digembar-gemborkan media anti-Iran. Juga tidak ada pembantaian, penindasan, pengrusakan masjid, atau hal-hal lain yang dituduhkan oleh media-media intoleran di tanah air.
Di Iran, sebagaimana negara demokrasi lainnya, diselenggarakan pemilu. Tentu saja, siapapun bisa mencalonkan diri, termasuk rakyat kecil tanpa memandang mazhab ataupun agama. Namun apakah terpilih atau tidak, itu urusan lain. Katakanlah pasangan Jokowi-Ahok pada pemilihan gubernur di Jakarta tahun 2012. Ahok adalah seorang Nasrani, sementara penduduk mayoritas Jakarta adalah Muslim.
Namun ia bersama Jokowi berhasil memenangkan pemilu karena masyarakat Jakarta memilihnya. Begitu pula dengan Iran. Siapapun bisa menjadi pejabat negara asalkan memang dipilih rakyat. Buktinya, seorang wanita yang bernama Baluchzehi dari etnis Baluchi yang bermazhab Sunni, terpilih sebagai walikotadi kota Kalat – salah satu kota di provinsi Sistan Baluchistan. Meski peristiwa ini tidak disebarluaskan besar- besaran, Al-Monitor telah membuat laporannya secara ekslusif.
Wanita ini baru berusia 26 tahun, seorang insinyur, dan juga seorang Master dalam pengelolaan sumber daya alam dari Islamic Azad University di Teheran. Dia berasal dari keluarga kaya yang berpengaruh dan memiliki hubungan yang dekat dengan para ulama di wilayahnya. Jadi, memengang tampuk kuasa tidak terletak dari mazhab atau agama apa yang dianut, tetapi bergantung pada pilihan rakyat. Sorry yaa, Iran bukan Arab Saudi negara monarkhi yang seluruh penguasanya berasal dari klan kerajaan.
Tentang Masjid-Masjid Sunni di Iran
Masjid di Iran baik Sunni maupun Syiah bergerak menyerukan persaudaraan, persatuan, cinta pada tanah air dan Islam di antara kaum Muslimin. Jadi di samping ibadah ritual, masjid juga menjadi tempat ibadah sosial, politik, dan kebudayaan. Shalat Jumat dan berjamaah juga dilakukan di masjid Sunni yang bermazhabSyafi’i atau Hanafi yang tersebar di berbagai tempat di Iran. Sesuai dengan pendataan, kelompok Sunni memiliki 12.222 masjid di Iran.
Pembangunan masjid sunni di Iran setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979, semakin pesat dibandingkan dengan pertumbuhannya sebelum revolusi. Misalnya, di Kota Zahidan, sebelum revolusihanya terdapat 16 masjid Sunni, tetapi setelah revolusi, kini terdapat sekitar 516 masjid Sunni. Begitu pula yang terdapat di kota Kermanshah sebelumnya hanya berjumlah 123 masjid, tetapi kini berjumlah 420 masjid.
Jikalaupun ada masjid yang ditutup, alasannya bukan karena masjid tersebut merupakan masjid Sunni, namun lebih kepada alasan tata kota. Iran sangat peduliterhadap tata kota atau perizinan, dan karenanya, jika melanggar aturan, tidak peduli bangunan apapun itu, akan digusur. Bukankah di Indonesia kita sering melihat bagunan anu, atau bangunan itu, diratakan dengan tanah karena tidak memiliki IMB?
Bahkan baru-baru ini Zuhairi Misrawi, cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU) menuturkan pengalamannya ketika menghadiri Konferensi Islam Internasional yang digelar di Iran. Melalui akun Twitternya @zuhairimisrawi, ia mengaku terkesan melihat pluralitas Ahlussunah (Sunni) di Iran.
“Baru bicara dengan orang-orang Sunni diIran. Mereka berkelompok sesuai mazhab mereka. Pluralitas dalam Sunni pun menarik dicermati. Pengikut mazhab Syafiidi Iran membuat komunitas sendiri. Begitu pula, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Ini yang berbeda dengan kaum Sunni di kita (Indonesia-red),” kicaunya.
Tuh kan, di Iran setiap mazhab Ahlussunahmalah punya komunitas sendiri-sendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa membentuk komunitas jika kehidupan mereka dalam tekanan? Ulama-ulama Sunni Iran juga hadir dalam konferensi persatuan Islam yang digelar tiap tahunnya, dan bersama-sama mereka menyuarakan persatuan Sunni-Syiah.(ba)
Ditulis oleh : Rachel
Sumber : liputanislam.com
(Liputan-Islam/Syiah-Menjawab/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email