Pesan Rahbar

Home » » BAB 3: Mahdiisme, Bangsa Yahudi, dan Bangsa Iran

BAB 3: Mahdiisme, Bangsa Yahudi, dan Bangsa Iran

Written By Unknown on Saturday, 20 February 2016 | 17:45:00


SEDIKIT demi sedikit orang-orang mulai berkumpul di rumah Dr.Fahimi. Setelah sambutan dan ramah tamah, diskusi dimulai pada pukul delapan tepat. Kali ini, Ir. Madani yang membuka diskusi.

Ir. Madani: Saya ingat pernah membaca sebuah buku beberapa waktu lalu. Di dalamnya penulis mengatakan bahwa Mahdiisme dan juru selamat Tuhan merupakan gagasan yang dipercayai oleh bangsa Yahudi dan bangsa Iran pra-Islam yang kemudian menyebar kepada kaum Muslimin. Bangsa Iran percaya bahwa seorang laki-laki bernama Saoshyant dari keturunan Zoroaster suatu saat akan muncul dan menghancurkan Ahriman, kekuatan kegelapan, juga membersihkan bumi dari penyimpangan. Mengenai orang Yahudi, lantaran mereka telah kehilangan tanah air mereka dan diperbudak oleh bangsa Chaldea dan Assiria, salah seorang nabi mereka meramalkan bahwa seorang juru selamat (mesiah) akan bangkit, membebaskan mereka, dan mengembalikan mereka ke tanah yang dijanjikan kepada mereka di masa depan. Karena asal-usul ide juru selamat itu ditemukan di kalangan bangsa Iran dan Yahudi, kita bisa mengatakan bahwa konsep ini muncul ke kalangan Muslim melalui saluran-saluran mereka, dan dengan demikian, tidak bisa menjadi sesuatu daripada sekadar sebuah legenda.

Tn. Hosyyar: Saya setuju bahwa konsep itu demikian dan berkembang lain di kalangan bangsa dan masyarakat lain. Akan tetapi, semata-mata merata di kalangan masyarakat tidak menyebabkannya sebuah legenda! Karena konsep-konsep dan aturan-aturan Islam adalah autentik, apakah perlu bahwa mereka mesti tidak bersesuaian dengan agama-agama dulu? Siapapun yang ingin menyelidiki topik tertentu tanpa pemahaman berpraduga harus memulai risetnya dengan sumber-sumber primer hadis tertentu berkaitan dengan subjek itu untuk menegaskan keabsahannya atau kelemahannya. Adalah tidak layak memulai penyelidikan ini dengan sumber-sumber hadis yang ada sebelumnya dan kemudian mengklaim bahwa orang telah menemukan asal-usul kepercayaan takhayul itu! Adalah mustahil menyatakan bahwa karena bangsa Iran kuno adalah orang-orang yang beriman kepada Yazdan, Tuhan, dan mengakui kejujuran sebagai bagian dari adab yang mulia, yang oleh karenanya menyembah Tuhan mestilah legenda dan kejujuran bukan bagian dari moral yang baik? Maka itu, hanya karena bangsa lain juga menantikan kedatangan seorang juru selamat dan mesiah tidaklah menghilangkan kepercayaan di kalangan Muslimin; ataupun ia tidak bisa digunakan sebagai bukti bagi orisinalitas kepercayaan tersebut.


Latar Belakang Kemunculan Akidah Mahdiisme

Dr. Fahimi: Salah seorang penulis telah meriwayatkan asal-usul ide juru selamat masa depan. Jika saya diizinkan, saya akan menyampaikannya secara ringkas kepada Anda.

Hadirin: Silakan!

Dr. Fahimi: Saya akan menyebutnya secara ringkas. Legenda asli tentang imam mesianik diadopsi oleh kaum Syi`ah dari masyarakat agama lainnya. Kepadanya mereka telah menambahkan detail-detail mereka sendiri sampai mencapai bentuknya yang sekarang. Ini dilakukan karena dua alasan:

Pertama, keyakinan tentang kelahiran dan kemunculan juru selamat Tuhan tetap terbangun dengan baik di kalangan bangsa Yahudi. Mereka percaya bahwa Eliyah telah naik ke langit dan akan turun ke bumi di akhir zaman untuk menyelamatkan Bani Israil.

Pada masa awal-awal Islam, sekelompok Yahudi telah memeluk Islam karena alasan material dan untuk menghancurkan Islam dari pijakannya. Sebagian dari mereka telah memperoleh kedudukan tinggi di tengah-tengah Muslimin melalui tipu daya dan penyamaran. Padahal, tujuan utama mereka adalah untuk memecah belah masyarakat Muslim dan menyebarkan permusuhan di antara mereka. Contoh paling tersohor dari karakter subversif ini adalah Abdullah bin Saba.

Kedua, setelah wafatnya Nabi, para anggota keluarganya, terutama Ali bin Abi Thalib, menganggap mereka sendiri yang lebih berhak atas kekhalifahan ketimbang tokoh-tokoh Muslim lain yang terkenal. Sejumlah kecil sahabat Nabi saw juga bersimpati terhadap tuntutan mereka. Akan tetapi, bertolak belakang dengan harapan mereka, khilafah boleh dijabat oleh yang lain di luar Ahlulbait. Ini menyebabkan kegetiran dan kesulitan di kalangan mereka sampai masa ketika, menyusul pembunuhan atas Utsman, kekhalifahan kembali kepada Ali. Para pendukungnya puas dan berharap khilafah tidak beralih dari tangan keluarga Nabi. Dirundung oleh perang sipil, bagaimanapun Ali, tidak bisa berbuat banyak dan akhirnya dibunuh oleh Ibn Muljam. Putranya, Hasan, yang menggantikan kedudukannya, tidak berhasil menegakkan aturan dan akhirnya menyerahkan kekhalifahan kepada Umayyah.

Hasan dan Husain, dua cucu Nabi, tetap di rumah mereka ketika kekuasaan berpindah dari tangan yang satu ke tangan yang lain. Keluarga Nabi dan para pendukungnya hidup dengan penuh penderitaan ketika Umayyah dan Abbasiyyah menghabiskan harta Muslimin. Peristiwa ini berakibat kian bertambahnya jumlah pengikut keluarga Nabi dan menampakkan permusuhan mereka terhadap para penguasa yang korup di seluruh kerajaan. Namun, alih-alih memperbaiki tindakan-tindakan keji yang dilakukan terhadap masyarakat tak bersalah, para penguasa kian menambah intensitas tindak kekerasan dengan membunuh atau mengasingkan mereka.

Pendeknya, setelah wafatnya Nabi, Ahlulbait, dan para pendukungnya mengalami penindasan. Fathimah ditolak haknya untuk mewarisi harta Nabi. Hak Ali atas khilafah ditolak. Hasan diracun. Husain bin Ali, keluarga, dan para sahabatnya, dibunuh di Karbala dan mereka yang hidup dalam peristiwa itu dijadikan tawanan. Muslim bin Aqil dan Hani bin Urwah dibunuh tanpa ampun setelah diberi amnesti. Abu Dzarr al-Ghiffari diasingkan ke Rabadzah. Hujr bin Adi, Amr bin Humq, Maytsam Tammar, Sa`id bin Jubair, Kumail bin Ziyad dan ratusan pendukung lain dieksekusi. Atas perintah Yazid, Madinah dijarah dan ratusan penduduknya dibantai. Ada sejumlah laporan yang mengisi halaman-halaman sejarah.

Di bawah kondisi opresif demikian, kehidupan para pendukung Ahlulbait nyaris mustahil. Mereka mulai mencari keselamatan. Dari masa ke masa kaum seorang Alawi senantiasa mengangkat senjata untuk bertempur melawan para penindas. Namun pemberontakan itu akhirnya bisa diatasi oleh kekuatan pemerintah yang juga akan membunuhnya. Keadaan yang tidak nyaman ini menjadi sebab utama bagi minoritas pendukung Ahlulbait untuk berputus asa dan mencari seberkas cahaya harapan bagi penyelamatan. Jelaslah, kondisi-kondisi ini memberi mereka untuk sepenuhnya menerima keyakinan akan juru selamat Tuhan atau Mahdiisme.

Pada saat ini, kaum Yahudi oportunis dan yang baru masuk Islam menarik manfaat dari situasi tersebut guna menyebarkan keyakinan mereka akan juru selamat yang dijanjikan Tuhan. Kaum Syi`ah, setelah mengalami kecewa berat dan menderita kehilangan nyawa dan tirani di bawah kekuasaan yang berjalan, menemukan keyakinan tersebut untuk membenarkan dan menerimanya sepenuh hati. Oleh karena itu, mereka merekayasanya, sembari mengatakan: “Juru selamat dunia ini secara khusus berasal dari kalangan Ahlulbait yang tertindas.” Pelan-pelan, mereka menghiasinya dan menambah detail-detailnya sampai akhirnya ide itu mencapai keadaannya yang sekarang.1


Apakah Ini Membutuhkan Penjelasan Lagi?

Tn. Hosyyar: Penderitaan dan diskriminasi atas keluarga Nabi, Ahlulbait, dan para pendukung mereka, sebagaimana diperinci oleh buku yang Anda baca, memang benar. Namun, analisis terperinci dari peristiwa-peristiwa tersebut yang mengakibatkan munculnya kepercayaan seperti itu di kalangan Syi`ah menjadi penting hanya jika kita tidak punya pengetahuan tentang asal-usul ide tersebut dalam Islam. Jika Anda ingat, kami membuktikan bahwa Nabi sendiri menyebarkan keyakinan ini di tengah-tengah Muslimin dan menginformasikan kepada mereka ihwal sang pembaharu masa depan. Untuk mendukung ini, kami mengutip sejumlah hadis, tidak hanya dari jalur Syi`ah, namun juga dari kumpulan hadis Sunni, Shihâh. Setelah menyampaikan seluruh bukti yang penting tersebut saya tidak yakin perlunya dokumentasi yang lebih jauh.

Pada paparan Anda sebelumnya, Anda menyebutkan meratanya keyakinan tersebut di kalangan bangsa Yahudi. Ini pun benar adanya. Namun kutipan Anda berkaitan dengan Abdullah bin Saba yang menyebarkan kepercayaan tersebut di kalangan Muslimin sepenuhnya salah. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, tidak kurang dari Nabi sendiri yang menjadi penyebar informasi tentang pembaharu masa depan Islam ini. Namun, sangat mungkin bahwa Muslim yang sebelumnya Yahudi membenarkan keyakinan ini.


Legenda Abdullah bin Saba

Mari saya tunjukkan bahwa eksistensi seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba itu tiada lain hanyalah dusta sejarah. Sebagian ulama malah percaya bahwa legenda tersebut dibuat-buat oleh mereka yang memusuhi kaum Syi`ah. Selain itu, meski secara hipotetis diketahui bahwa ia memang ada, penyandaran keyakinan yang disebutkan sebelumnya kepadanya adalah tanpa bukti. Tak seorang pun manusia yang berakal menganggapnya bisa dipercaya bahwa seorang Yahudi yang baru masuk Islam memiliki keterampilan politik luar biasa dengan menyebarkan secara terang-terangan perihal datangnya juru selamat Islam dari kalangan Ahlulbait pada kondisi opresif yang berlangsung di bawah pemerintahan Umayyah.

Bahkan, mustahil kiranya orang seperti itu menjalankan dan mengorganisasikan pemberontakan secara rahasia dan mengajak manusia untuk bersumpah setia kepada seorang individu dari kalangan Ahlulbait untuk menggulingkan khalifah dan menggantinya dengan imam yang ditunjuk Tuhan, tanpa pejabat-pejabat pemerintahan yang mengetahui tentangnya. Menurut mereka yang menganut pendapat tersebut, tampaknya seorang Yahudi yang baru masuk Islam bisa mulai menghancurkan agama Muslim tanpa seorang Muslim pun yang mengacungkan jari melawannya! Pendapat seperti ini hanya ada di alam fantasi!2


Pemimpin Mesianik, Mahdi3, dalam Agama-agama Lain

Ir. Madani: Apakah keyakinan akan Mahdi yang dijanjikan terdapat pada para pengikut Islam, atau apakah ia pun ada pada agama-agama lain?

Tn. Hosyyar: Sebenarnya kepercayaan ini tidak terbatas di kalangan Muslim saja. Pada hampir semua agama dan keyakinan samawi siapapun bisa menemukan keyakinan serupa akan juru selamat Tuhan. Para pengikut agama ini percaya bahwa akan ada suatu masa ketika dunia mengalami kerusakan dan terpuruk dalam krisis. Kejahatan dan kezaliman menjadi penguasa pada masa itu. Kekufuran akan menutupi seluruh dunia. Pada saat itu, juru selamat dunia akan bangkit. Dengan pertolongan Tuhan yang luar biasa ia akan memperbaharui kesucian iman dan mengalahkan materialisme dengan bantuan para hamba Allah. Kabar gembira ini tidak hanya dijumpai dalam kitab-kitab wahyu seperti Zand dan Pazand, dan Jamaspnameh dari pemeluk Zoroaster, Taurat, dan kitab-kitab Biblikal lain dari pemeluk Yahudi, dan Injil kaum Kristiani, keterangan seperti itu bisa juga dilihat di kalangan Brahmana dan Budha secara relatif.

Para pengikut semua agama dan tradisi meyakini keyakinan semacam itu dan menunggu kemunculan juru selamat tersebut di bawah penjagaan Ilahi. Setiap tradisi mengakui tokoh ini dengan berbagai nama dan gelar khusus. Zoroaster menyebutnya Saoshyant (bermakna ‘juru selamat dunia’); kaum Yahudi menyebutnya sebagai messiah, sedangkan Kristiani menyebutnya sebagai Mesiah Sang Juru Selamat. Bagaimanapun, masing-masing kelompok percaya bahwa juru selamat yang ditunjuk Tuhan ini berasal dari mereka. Kaum Zoroaster percaya, ia seorang Persia dan termasuk pengikut Zoroaster. Yahudi percaya, ia berasal dari Bani Israil dan pengikut Musa. Kristen berpendapat, ia berasal dari golongan mereka. Kaum Muslim percaya, ia berasal dari Bani Hasyim dan merupakan keturunan langsung dari Nabi saw. Dalam Islam, ia sepenuhnya diperkenalkan, sedangkan dalam agama lain tidak demikian.

Yang luar biasa adalah bahwa semua ciri dan tanda yang disebutkan untuk juru selamat universal ini dalam agama lain bisa disematkan kepada al-Mahdi yang dijanjikan, putra Imam Hasan al-Askari. Adalah mungkin untuk menganggapnya berdarah ras Iran lantaran di antara nenek moyangnya terdapat seorang putri Persia. Yakni, ibunya Imam Zain al-Abidin, Syahrbanu, putri Yazdgard, Raja Sassania, Persia. Dia juga bisa dianggap keturunan Bani Israil, karena Hasyimi dan Israil merupakan keturunan Abraham. Hasyimi merupakan keturunan Isma`il dan Israil merupakan keturunan Ishaq. Jadi, Hasyimi dan Israil satu keluarga. Ia juga bisa dihubungkan dengan orang Kristen, lantaran menurut beberapa riwayat, ibu imam sekarang adalah seorang putri Romawi bernama Narjis (Nargis), yang merupakan bagian dari kisah menakjubkan yang dilaporkan dalam beberapa sumber.

Adalah tidak sepantasnya untuk membatasi penyelamat dunia, al-Mahdi, kepada satu bangsa tertentu. Sesungguhnya ia akan bangkit memerangi semua klaim diskriminatif berupa perbedaan rasial, keyakinan, dan kebangsaan. Maka itu, ia harus dianggap sebagai Mahdi bagi seluruh manusia. Dialah juru selamat manusia yang menyembah Allah. Kemenangannya merupakan kemenangan para nabi dan orang-orang takwa di muka bumi. Ia akan memperbaharui agama Ibrahim, Musa, Isa, dan semua wahyu Ilahi, yakni Islam. Ia akan membangkitkan kembali agama murninya Musa dan Isa yang telah menubuatkan kenabian Muhammad saw.

Jelaslah kami tidak bermaksud membuktikan eksistensi al-Mahdi yang dijanjikan dengan merujuk kepada kitab-kitab kuno, ataupun kita tidak perlu melakukan demikian. Tujuan kami adalah memperlihatkan bahwa keyakinan akan munculnya juru selamat dunia merupakan keyakinan agama umum yang bersumber dari wahyu Ilahi. Darinya, semua nabi telah memberi kabar gembira. Semua bangsa menantikan kemunculannya, namun mereka telah melakukan kesalahan dalam menetapkan jati dirinya.


Al-Quran dan Mahdiisme

Dr. Fahimi: Jika riwayat tentang Mahdi begitu autentik, sahih, maka niscaya hal tadi disebutkan dalam al-Quran. Padahal, bahkan kata mahdi pun tidak tercantum dalam kitab suci!

Tn. Hosyyar: Pertama, adalah tidak penting dan wajib bahwa setiap topik yang benar harus disebutkan dalam al-Quran secara amat terperinci dan khusus. Kenyataannya, ada banyak detail khusus yang benar dan sahih, namun tidak disebutkan dalam kitab suci. Kedua, ada sejumlah ayat dalam kitab suci yang, betapapun ringkasnya, memberi kabar gembira tentag hari ketika para penyembah sejati Tuhan dan mereka yang mendukung agama hakiki dan yang bernilai yang akan memerintah bumi secara menyeluruh. Dan, agama Tuhan, Islam, akan menjadi agama besar di seluruh penjuru dunia. Misalnya, dalam surah al-Anbiyâ` ayat 105, Allah berfirman:

Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahsawanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.

Dalam surah an-Nûr ayat 55, Allah menjanjikan:
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku.

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). (QS al-Qashash [28]: 5)

Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama meski orang-orang musyrik benci (QS ash-Shaff [61]: 9)

Dari semua ayat ini, secara ringkas bisa disimpulkan bahwa dunia bisa menantikan hari ketika kekuasaan dan pengaturannya akan diserahkan ke tangan kaum mukminin dan mereka yang memiliki keyakinan Ilahi tersebut menjadi pemimpin dan memimpin manusia serta peradabannya menuju kesempurnaannya. Di saat itu, Islam menjadi agama dominan, dan monoteisme akan menggusur politeisme. Periode cemerlang tersebut akan ditandai dengan revolusi sang reformer yang diangkat Tuhan dan juru selamat manusia, al-Mahdi yang dijanjikan. Selain itu, revolusi universal akan digerakkan oleh Muslimin yang berhak.


Kenabian Umum dan Imamah

Dr. Fahimi: Saya tidak tahu mengapa Anda, sebagai Syi`ah, menandaskan bahwa Anda akan membuktikan eksistensi imam. Anda begitu bersemangat dalam keyakinan Anda bahwa jika imam tidak eksis secara fisik, Anda mengatakan ia ada dalam kegaiban. Karena para nabi telah menyampaikan perintah-perintah dari Tuhan, mengapa harus ada kebutuhan akan eksistensi seorang imam?

Tn. Hosyyar: Semua bukti itu dikembangkan guna membuktikan keniscayaan kenabian umum dan kepentingan Tuhan untuk menyampaikan perintah-perintah-Nya kepada manusia, juga mensyaratkan adanya seorang imam sebagai bukti atas eksistensi perintah-perintah tersebut berikut penjagaannya. Untuk menerangkan tentang apa yang telah kami katakan, adalah perlu, betapapun ringkasnya, untuk menyajikan bukti-bukti yang mensyaratkan eksistensi kenabian umum dan kemudian membuktikan eksistensi imam.

Jika Anda ingat pada awal diskusi dan yang akan kami singgung secara ringkas di sini, masalah yang berkenaan dengan kemestian adanya kenabian umum akan menjadi jelas bagi Anda.

(1) Seorang manusia telah diciptakan sedemikian rupa sehingga ia tidak bisa menjalankan urusan-urusannya berdasarkan pandangan dirinya. Ia perlu bantuan dan kerja sama dengan pihak lain. Dengan kata lain, secara inheren ia diciptakan sebagai makhluk sipil dan sosial. Oleh karenanya, ia harus bertindak dalam masyarakat. Adalah jelas bahwa kepentingan-diri dan pertahanan hidup merupakan akar konflik dalam kehidupan sosial. Setiap orang di masyarakat terlibat dalam menggunakan semua ikhtiarnya untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terbatas. Untuk mencapai tujuan ini, ia harus menaklukkan sejumlah rintangan dan bersaing dengan individu-individu lain yang sama-sama mengambil bagian dalam meraih tujuan tersebut. Dalam kondisi demikian, setiap orang menjadi penghalang bagi yang lainnya kepada tujuan yang sama dan, maka itu, saling mengakhiri langkah-langkah hak-hak yang lainnya. Pada titik ini, hukum dibutuhkan guna mengatur relasi sosial sehingga hak-hak manusia akan terlindungi dari pelanggaran dan konflik-konflik akan teratasi tanpa menciptakan kekacauan dan kevakuman hukum. Adalah mungkin menyimpulkan bahwasanya hukum-hukum merupakan harta yang berharga yang telah ditemukan oleh manusia. Bahkan, adalah mungkin bahwa sejak masa-masa awal pengaturan masyarakat mereka, manusia telah memiliki akses terhadap hukum dan senantiasa menghormatinya demi kebaikan mereka sendiri.

(2) Seorang manusia secara fitrah telah dikaruniai dengan kapasitas untuk menyempurnakan dirinya dan memperoleh kesejahteraan. Dalam perjuangannya yang berkepanjangan, ia tidak punya tujuan lain selain mencapai kesempurnaan sejati. Segenap upayanya diarahkan menuju pencapaian tujuan kesempurnaan yang besar.

(3) Karena manusia ada dalam perjalanan menuju kesempurnaan, perhatian terhadap makna sejati kesempurnaan telah menjadi dari watak alamiahnya. Jadi, adalah mungkin bagi manusia untuk mendapatkan kesempurnaan tadi, lantaran Allah tidak menciptakan sesuatu dalam kesia-siaan.

(4) Pandangan bahwa seorang manusia tersusun dari tubuh dan ruh adalah benar adanya. Ia bersifat materi dari tubuhnya, sedangkan ruhnya meski secara intim terkait dengan tubuhnya dianggap termasuk dunia wujud spiritual.

(5) Karena manusia tersusun dari dua unsur, yakni tubuh dan ruh, ia terikat pada dua jenis kehidupan: dunia sekarang, terkait dengan tubuhnya dan dunia spiritual dan kontemplatif, terkait dengan jiwanya. Akibatnya, berkenaan dengan salah satu dari keduanya, ia memiliki kehidupan kesejahteraan dan kutukan.

(6) Sebagaimana ada hubungan antara tubuh dan ruh, dengan menghasilkan kesatuan, maka ada hubungan dan kaitan sempurna antara kehidupan material dan spiritual. Dengan kata lain, kualitas kehidupan di dunia ini berpengaruh langsung pada kehidupan spiritual. Demikian pula, kondisi-kondisi psikis dan watak spiritual lain memiliki dampak seketika pada cara tindakan manusia secara fisik.

(7) Seorang manusia berada di jalan kesempurnaan dan penuh perhatian terhadap kebutuhan fitrah dan kesempurnaan alamiahnya. Bahkan, Allah tidak menciptakan kehidupan tanpa suatu tujuan. Allah berkewajiban untuk menyiapkan sarana-sarana guna mencapai tujuan tadi dan memperoleh kesempurnaan itu yang ditujukan kepada manusia agar bisa membedakan dan menelusuri jalan tersebut yang mengarah kepada tercapainya kebahagiaan dan terhindar dari perbuatan yang mengarah kepada penyimpangan dosa.

(8) Secara alamiah, manusia mencintai dirinya dan mengejar kepentingan-kepentingannya. Ia tidak tertarik pada hal-hal lain selain membaktikan kebaikan dan kepentingannya sendiri. Pada kenyataannya, ia berupaya menggali potensi manusia dan mengambil keuntungan dari usaha-usaha mereka untuk memenuhi kebutuhannya.

(9) Kendati manusia tersedot dalam mengejar kesempurnaan hakikinya dan ditarik dalam penelitian yang kuat akan kebenaran yang ia percaya akan mengantarnya kepada peleburan, seseringnya ia gagal mencapai tujuan tadi. Alasannya, keinginan egosentrisnya sendiri dan emosi internalnya menaklukkan kemampuannya untuk membedakan jalan yang lurus. Kondisi ini sebenarnya merintangi kemampuan akal praktis untuk mengantarkan manusia kepada kesempurnaan yang diinginkan tadi, dan sebaliknya malah menyesatkan orang kepada jalan yang terkutuk dan penghancuran-diri.


Sistem Apakah Yang Bisa Menyejahterakan Manusia?

Karena manusia harus hidup dalam suatu masyarakat dan karena batasan-batasan untuk memelihara kepentingan seseorang dan menghindari ekploitasi terhadap manusia merupakan bagian penting dari kehidupan sosial, maka ada kebutuhan terhadap hukum untuk mengendalikan kepentingan yang berorientasi pribadi yang bisa menggiring kepada kekacauan di antara manusia. Hukum seperti itu bisa menciptakan tatanan di masyarakat hanya ketika syarat-syarat berikut dipenuhi:

(1) Hukum tersebut harus lengkap dan efektif yang meliputi dan mengatur seluruh ruang lingkup aktivitas individu dan kolektif. Ia harus menyediakan kebutuhan bagi segenap lapisan manusia tanpa mengabaikan salah satu aspek kehidupan sosial. Sistem legal seperti itu memproduksi hukum-hukum yang akan sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan alamiah dan aktual dari individu, memantulkan realitas internal berikut kondisi eksternal manusia.

(2) Hukum tersebut harus mengantarkan manusia kepada kebahagiaan hakiki dan bukan semata-mata kesempurnaan imajiner dan spekulatif mereka.

(3) Hukum tersebut harus memperhatikan kebahagiaan seluruh manusia, bukan hanya untuk sekelompok masyarakat atau individu tertentu.

(4) Hukum tersebut harus meletakkan pijakan sebuah masyarakat didasarkan pada kebaikan manusia dan kesempurnaan insan. Ia mengantarkannya kepada pencapaian tujuan-tujuan luhur itu dengan memberikan nilai tinggi terhadap kehidupan duniawi sebagai sebuah sarana meraih kebajikan-kebajikan dan kesempurnaan insan tadi, dan tidak sebagai yang terlepas darinya.

(5) Hukum tersebut harus memiliki efisiensi untuk melindungi manusia dari penyelewengan dan kekacauan, dan menjamin hak-hak semua individu tanpa pandang bulu.

(6) Dalam pencapaiannya, hukum ini harus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritual dari masyarakat dengan sedemikian cara sehingga tak satu pun dari hukum-hukum tadi menjadi sebab yang membahayakan bagi eksistensi manusia yang bermakna. Atau, hukum tadi tidak mengarah kepada penyimpangan dari jalan kesempurnaan.

(7) Hukum tadi harus melindungi masyarakat agar mereka tidak berpaling dari jalan eksistensi manusiawi yang benar dan dari memilih jalan kehancuran.

(8) Pemberi hukum sistem seperti itu niscaya sangat mengetahui tentang semua aspek yang menyimpang dan yang lurus dari kebutuhan manusia dan sangat memahami tentang semua keputusan yang disampaikan di berbagai ruang dan waktu.

Tak syak lagi, seorang manusia membutuhkan jenis hukum seperti ini dan itu diakui sebagai kebutuhan hidupnya. Tanpa sistem seperti itu kehidupan manusia akan terperosok dalam bahaya. Dalam sorotan kebutuhan vital ini, kiranya relevan untuk mengajukan pertanyaan tentang apakah hukum buatan manusia itu mampu mengatur masyarakat manusia secara adil.

Kita percaya, hukum yang diundang-undangkan oleh manusia—yang dipengaruhi oleh pikiran picik manusia—tidaklah sempurna dan tidak mengandung kemampuan untuk mengurus masyarakat manusia dengan adil. Beberapa contoh berikut akan menjelaskan ungkapan tadi:

(1) Pengetahuan dan informasi manusia bersifat terbatas dan lemah. Manusia biasa tidak mengetahui semua kebutuhan orang dan hukum-hukum alam. Ia juga tidak mempunyai pengetahuan memadai tentang baik dan buruk serta semua aspek kepentingan yang saling berlomba di antara pelbagai hukum dan dampaknya pada rumusan keputusan akhir di berbagai ruang dan waktu.

(2) Secara hipotetis jika diakui bahwa adalah mungkin bagi legislator manusia untuk menebarkan hukum-hukum tadi, sudah pasti mustahil untuk menjamin bahwa para legislator ini mengetahui cara-cara yang di dalamnya kehidupan duniawi dan spiritual berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan tindakan yang menampilkan akar-akar utama mereka pada watak manusia. Dan, kendati mereka memiliki kesadaran semacam itu, hal itu tidaklah penting. Gamblangnya, menjaga dan memelihara kehidupan spiritual berada di luar program legislatif mereka. Dengan demikian, kesejahteraan manusia hanya ditilik dari sisi material saja. Padahal, dua sisi eksistensi manusia tersebut berjalin-berkelindan, dan pembagian dua sisi tersebut di luar perkiraan.

(3) Karena manusia berorientasi pada dirinya (self-centered), manipulasi dan eksploitasi terhadap sesama manusia menjadi bagian dari sifatnya. Setiap orang lebih mengedepankan kepentingan dirinya di atas kepentingan orang lain. Dengan demikian, penanggulangan konflik dan pencegahan eksploitasi di luar kesanggupannya. Alasannya, tujuan-tujuan melayani diri sendiri dari para legislator manusia tidak akan pernah membiarkan mereka mengabaikan kepentingan-kepentingan mereka dan para pendukung mereka serta kerja-kerja demi kebaikan manusia.

(4) Para legislator senantiasa menyebarkan hukum secara picik. Selain itu, mereka dipengaruhi oleh duga-sangka, kebiasaan, dan pikiran-pikiran lemah mereka sendiri. Akibatnya, hukum-hukum tadi dijalankan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan segelintir orang, tanpa memperhatikan manfaat dan mudarat yang bisa merembet kepada yang lain. Dalam hukum-hukum ini, kesejahteraan umum manusia bukanlah bagian dari sumber legislasi.

Sesungguhnya, hanya sistem hukum yang diturunkan Tuhan yang senapas dengan hukum alam dan yang diturunkan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, sistem hukum ini bersih dari setiap motif yang berorientasi pada kepentingan manusia. Tentu saja, lebih jauh ini diturunkan demi kesejahteraan manusia secara umum. Jadi, jelas kiranya bahwa manusia membutuhkan hukum Tuhan dan rahmat-Nya meniscayakan bahwasanya Ia memberikan sistem yang lengkap dan sempurna kepada manusia melalui para utusan-Nya.


Kesejahteraan Dunia Lain

Sementara seorang manusia disibukkan dengan aspek-aspek umum kehidupan yang terus menerus, ada sejumlah misteri kehidupan yang berakar pada kedalaman dirinya sendiri yang kepadanya manusia hampir tidak memberikan perhatian, dan ia sendiri nyaris melupakannya.

Ia terikat dengan upaya memperoleh kesejahteraan atau penderitaan berkenaan dengan penolakan diri ini juga. Dengan kata lain, pikiran-pikiran yang baik dan akidah yang benar, akhlak mulia, dan perbuatan-perbuatan terpuji yang bersumber dari diri yang kaya akan mengarah kepada kesempurnaan spiritual dan kekuasaan juga kepada keberhasilan dan keutamaan, sebagaimana akidah-akidah yang batil, akhlak yang buruk, dan perbuatan yang tercela yang bersumber dari diri yang menyimpang, mengarah kepada kehinaan, penderitaan, dan penyimpangan-diri. Maka itu, jika seseorang menempatkan dirinya pada jalan kesempurnaan, ia akan membiarkan diri sejati dan hakikinya dijaga dan ditingkatkan sehingga naik dan menempati kediaman asalnya yang dipenuhi dengan rahmat dan cahaya. Sebaliknya, jika ia mengorbankan semua sarana untuk meraih kesempurnaan diri dengan tunduk kepada hasrat-hasrat hewani, maka ia akan mengubah dirinya menjadi binatang buas dan amoral, setelah menyimpang sepenuhnya dari jalan yang lurus.

Pada gilirannya, manusia memerlukan program yang terstruktur baik bagi kemajuan diri-batinnya yang tanpa itu ia tidak bisa berharap melewati jalan yang berbahaya dan sangat sulit ini. Dengan membiarkan hasrat hewaninya menunggangi kesempurnaan spiritual dan moral, sesungguhnya ia menundukkan kemampuan penalaran intuitifnya untuk mencapai keputusan yang berarti. Akibatnya, ia jatuh pada kegelapan salah-bimbing, yang menghancurkan kekuatannya untuk memenuhi keperluan-keperluan hidup yang baik, menghukumi yang baik sebagai buruk dan yang buruk sebagai baik. Sesungguhnya, hanya Tuhan Zat Pencipta manusia, yang mengetahui sumber kesejahteraan manusia, kebaikan dan keburukan, yang mampu memberikan petunjuk benar dan program nan lengkap untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan sejati serta menghindari hal-hal tersebut yang menyebabkan kehinaan dan penderitaan. Ringkasnya, manusia pun membutuhkan Tuhan Sang Pencipta dalam memperoleh kesejahteraannya di akhirat kelak.

Oleh karena itu, adalah mustahil menyimpulkan bahwa Tuhan Yang Mahabijak tidak mengajari manusia yang secara potensial mampu memahami kesejahteraan dan mudarat hanya sebatas pada kekuatan-kekuatan diri yang menyimpang. Atau Dia tidak membebaskan manusia dari kekuatan-kekuatan kejahilan dan kesesatan. Alih-alih demikian, Dia malah menganugrahi manusia berupa rahmat dan kebaikan yang meruah dengan membimbing mereka melalui para nabi as yang dipilih dari kalangan manusia. Para nabi yang diutus ini dilengkapi aturan-aturan dan hukum-hukum untuk mengarahkan kehidupan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat serta memerangi kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh pengabaian petunjuk ini. Dengan melakukan demikian, Allah telah menghilangkan semua dalih mungkin dari manusia yang mungkin gagal mencapai tujuan kesejahteraan yang diinginkan.


Jalan Kesempurnaan

Jalan kesempurnaan manusia membawanya kepada Tuhan tertanam dalam akidah nan kuat, amal saleh, dan akhlak mulia. Keterangan tentang jalan ini disingkapkan kepada para nabi as sehingga mereka bisa mengajak manusia kepadanya. Adalah penting menandaskan bahwa jalan ini tidak sekadar jalur formal yang tidak punya kaitan dengan bentuk atau esensi tujuan-tujuan Ilahi. Justru sebaliknya, ini merupakan jalan yang benar dan hakiki, yang bersumber dari Allah. Siapapun yang ditempatkan dalam arahnya bisa menembus aras-aras tertinggi dari alam semesta nirwatas (limitless) dan langit-langit surga dengan menggunakan kesempurnaan batin diri.

Dengan kata lain, agama yang benar merupakan jalan lempang yang siapapun yang menempatkan dirinya pada arahnya, berarti menyempurnakan diri sejati dan kemanusiaannya melalui jalan lurus dan mulia dan menempati tempat tinggal yang abadi dan sumber segenap kesempurnaan. Dan siapapun yang menyempal dari jalan yang lurus ini dengan sendirinya menapaki jalan sesat dari eksistensi setani, tanpa kebajikan maupun akhlak mulia yang mendukung mereka. Orang-orang seperti itu sesungguhnya tidak sanggup melangkah pada jalan eksistensi mulia yang benar. Sejatinya, orang tersebut tidak bisa mengharapkan sesuatu yang lebih baik selain dikutuk ke neraka.


Kemaksuman Para Nabi as

Berkat rahmat Tuhan, para nabi diutus sebagai pemandu yang mengajarkan perintah-perintah dan hukum-hukum agama kepada manusia sehingga mengantarkan mereka kepada kesejahteraan mereka di dunia dan akhirat. Tujuan ini dapat diradukan hanya jika para nabi as dijaga dari perbuatan salah dalam menyampaikan wahyu kepada manusia. Andaikata para nabi tidak maksum, manusia bisa berdalih karena menerima petunjuk-petunjuk yang benar dari Tuhan. Dengan kata lain, seorang nabi harus terjaga dan steril dari segala jenis kesalahan dan kealpaan dalam menyampaikan wahyu kepada manusia. Ini dikenal sebagai ‘ishmah (keterjagaan dari dosa). Bahkan, seorang nabi sendiri haruslah seorang layak diteladani, mengikuti semua perintah Ilahi dalam kehidupan pribadinya. Hanya dengan begitu, ia bisa mengajak manusia menaati perintah Allah, memperlihatkan keabsahannya melalui karakter dan perilaku pribadinya. Dalam hal ini, orang-orang bisa mengikutinya secara asertif menuju kesempurnaan hakiki mereka sendiri. Pun, ia merupakan proposisi yang diturunkan secara rasional yang tak seorang pun bisa mengharapkan yang lain untuk menjalankan bimbingan moral dan petunjuk agama ketika ia sendiri tidak mengikuti dua hal tadi. Suatu seruan kepada jalan Tuhan seyogianya diperagakan oleh nabi.

Adalah jelas, pengetahuan dan persepsi kita tidak bebas dari kesalahan, lantaran keduanya ditempatkan melalui persepsi indrawi kita dalam menerimanya. Tak seorang pun bisa menyangkal saat-saat ketika indra kita telah melakukan kesalahan dalam persepsi. Akan tetapi, ketika pengetahuan dan aturan-aturan tersebut muncul dalam bentuk petunjuk dari Tuhan, yang diwahyukan kepada para nabi, ia semua bebas dari bahaya-bahaya seperti itu. Sesungguhnya, wahyu bukanlah jenis pengetahuan yang diturunkan dari persepsi-persepsi indrawi. Jika wahyu seperti itu, ia pun condong kepada bahaya yang sama sebagaimana halnya persepsi manusia, yang mengeluarkan orang-orang tersebut dari kepercayaan pokok dalam perintah-perintah agama. Kebenaran dan pengetahuan agama tentang masalah-masalah gaib disampaikan kepada para nabi melalui wahyu yang turun ke dalam hati mereka dan kedalaman batin mereka. Kebenaran sejati dialami oleh para nabi tersebut dalam eksistensi duniawi mereka, yang mereka sampaikan ke seluruh manusia sepadan dengan kemampuan mereka untuk memahami dan mengikutinya. Dengan demikian, kebenaran-kebenaran agama diberikan kepada para nabi dan disampaikan kepada manusia oleh mereka yang terjaga dari kesalahan ataupun kebatilan.

Karena alasan inilah, para nabi as dilindungi dari kedurhakaan dan salah dalam mengambil keputusan serta diberi kuasa untuk bertindak berdasarkan pengetahuan mereka. Bagaimana mungkin itu terjadi sebaliknya? Seseorang yang telah mencapai aras kebenaran melalui pengalaman dan observasi langsung tak mungkin dibayangkan bertindak melawan kebenaran. Bahkan, setelah memperoleh tingkat kesempurnaan semacam itu tak bisa dibayangkan ia jatuh ke dalam maksiat.


Rasionalisasi Imamah

Setelah membuktikan kemestian kenabian umum untuk memandu manusia kepada tujuan dunia dan akhiratnya, kiranya tepat untuk menyatakan bahwa bukti yang sama bisa dipakai untuk membangun fakta bahwa ketika Nabi wafat, maka pasti ada seseorang yang sanggup mengantarkan manusia kepada tujuan akhir mereka. Sosok ini haruslah seseorang yang bisa melanjutkan kerja Nabi dalam memelihara aturan-aturan Ilahi dan mengantarkan manusia kepada jalur agama dan jalan spiritual. Tujuan-tujuan tersebut tidak bisa dipenuhi tanpa kehadiran orang seperti ini di tengah-tengah manusia. Merekalah yang sanggup menerapkan hukum-hukum tersebut tanpa kesalahan dalam pengetahuan dan tindakan. Dengan demikian, dalam ketiadaan Nabi, kasih sayang (luthf) Tuhan meniscayakan adanya seseorang di antara manusia yang menjaga wahyu Ilahi sehingga terlindungi dari campur tangan dan interpolasi manusia. Hukum-hukum tersebut dapat diterapkan oleh manusia di sepanjang zaman.

Figur terkemuka ini pun mesti, layaknya Nabi, steril dan terlindungi dari kesalahan ataupun kekeliruan dalam menerima, mencatat, dan menyampaikan perintah-perintah Tuhan untuk menegakkan bukti bahwa petunjuk Allah kepada manusia berwatak terpadu. Bahkan, ia seyogianya memiliki pengetahuan tinggi dalam memahami kebenaran perintah-perintah agama dan dirinya sendiri harus beramal berdasarkan aturan-aturan ini. Pada gilirannya, orang lain pun bisa menyelaraskan tindakan-tindakan dan pendapat-pendapat mereka sendiri dengannya serta mengikuti teladannya ihwal pencarian mereka terhadap kebenaran tanpa jatuh dalam keraguan dan kesesatan serta tanpa memutuskan untuk berkilah tidak menemukan bukti kebenaran agama. Karena imam harus juga terlindung dari perbuatan keliru dalam memikul tanggung jawab berat ini, maka harus diingat bahwa pengetahuan imam berada di luar pengetahuan capaian melalui persepsi indra. Oleh karenanya, pengetahuan ini berbeda dari pengetahuan orang ramai. Melalui petunjuk Nabi sendiri sang imam memiliki wawasan jernih atas pengetahuan agama. Lagi pula, ia dikaruniai pengalaman langsung akan kebenaran tersebut melalui pandangan batinnya. Lantaran itu, ia terjaga dari kesalahan dan kealpaan. Sebab itu, perbuatan-perbuatannya senapas dengan pengalaman dan pengamatan langsung akan kebenaran agama ini. Yang lebih penting, inilah sifat yang mensyaratinya untuk meniscayakan keberadaan imamah bagi umat Muslim.

Dengan kata lain, mesti ada manusia sempurna di kalangan manusia, yang memiliki keimanan mutlak akan wahyu Tuhan dan memeragakan karakter terbaik dan kualitas personal untuk memimpin manusia detik demi detik pada perintah-perintah Tuhan. Pada semua aras ini ia mesti terlindungi dari kesalahan, kealpaan, dan tindakan kedurhakaan. Ia mesti maksum. Ia merupakan perpaduan iman dan amal, pengetahuan dan tindakan, yang menjadikannya personifikasi dari semua potensi kesempurnaan insan yang mungkin. Realisasi semua potensi ini tak syak lagi menahbiskannya sebagai pemimpin manusia. Jika manusia, pada titik tertentu, terbuang dari kepemimpinan ini, situasi itu bisa menggiring pada lenyapnya perintah-perintah Tuhan yang justru diturunkan demi kebaikan manusia. Selain itu, ia bisa mengakibatkan terputusnya bantuan Tuhan dan memutuskan hubungan antara alam samawi dan alam manusia.

Dengan kata lain, mesti ada seseorang di kalangan manusia yang dikaruniai bantuan khusus dari Tuhan dan dijaga melalui kasih sayang (luthf)-Nya. Dengan dua hal tadi, ia menyiapkan pertolongan wajib dan mengantarkan manusia kepada kesempurnaan sejalan dengan potensi-potensi Ilahiah yang dilimpahkan kepada mereka. Bahkan, melalui pengetahuannya dan dengan cara yang mungkin, ia akan menolong mereka dalam perjalanan mereka menuju Sang Pencipta. Itulah eksistensi dari kehadiran kudus imam sebagai bukti Allah dan sebagai teladan sempurna dari kehidupan agama yang bisa mewujudkan kehadiran Tuhan dan penyembahan kepada-Nya dalam sebuah masyarakat. Tanpa eksistensi sang imam, Tuhan tidak bisa dikenali atau disembah secara sempurna. Jiwa imam adalah wadah pengetahuan Tuhan dan rahasia-rahasia-Nya. Ia bak cermin yang memantulkan realitas alam material, dan manusia menarik manfaat dari pantulan-pantulan tersebut.

Dr Jalali: Sesungguhnya, proteksi atas perintah-perintah agama dan hukum tidak terbatas kepada satu orang yang harus mengetahuinya dan mengamalkan seluruhnya. Alih-alih, jika semua aturan keagamaan dan hukum didistribusikan di kalangan manusia dan jika setiap kelompok mempelajari dan mempraktikkan dari masing-masing aturan ini, mereka semua terlindungi dari perspektif pengetahuan tentang itu berikut pengamalannya.

Tn. Hosyyar: Hipotesis Anda tertolak dari dua sudut: pertama, dalam diskusi kita sebelumnya kami telah menunjukkan bahwa mesti ada orang terkemuka di kalangan manusia yang menjadi perwujudan segenap kualitas kasih sayang yang mungkin dan personifikasi eksistensi keagamaan dalam semua maknanya. Bahkan, ia harus bebas dari kebutuhan memperoleh ilmu-ilmu penting dan pendidikan dari selain Tuhan. Jika orang seperti itu tidak ada di kalangan manusia, maka manusia menjadi terbebas dari bukti dan pengetahuan Tuhan mengenai tujuan-tujuan-Nya. Sudah tentu, ketika spesies tertentu kehilangan maksud dan tujuan, maka kehancurannya sudah pasti. Menurut hipotesis Anda, figur sempurna semacam itu tidak ada karena setiap orang dari figur ini, bahkan ketika ia mengetahui dan bertindak berdasarkan sejumlah perintah tersebut, tidak berada di jalan agama yang lempang dan sesungguhnya telah menyimpang darinya. Alasannya, perintah-perintah agama tadi secara tak terhindarkan sangat berjalin-berkelindan dan secara mendalam saling berhubungan sebagai suatu kesatuan bagi mereka yang diambil secara parsial.

Kedua, sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, karena perintah-perintah dan hukum-hukum diturunkan sebagai bimbingan bagi manusia, mereka tidak hanya akan tetap tegar tapi juga harus terlindungi. Semua cara kepada perubahan-perubahan, distorsi atau desktruksi mereka akan tetap tertutup kuat-kuat, dan mereka harus terjaga dari semua bahaya. Tujuan ini dapat dipenuhi hanya ketika orang yang bertugas tersebut terlindung dari kesalahan dan bebas dari kealpaan serta kedurhakaan. Tidak satu pun dalam hipotesis Anda yang menjamin hal ini lantaran masalah salah keputusan dan kealpaan merupakan suatu kementakan (possibility) bagi setiap orang. Buntutnya, perintah dan hukum Ilahi tidak steril dari setiap perubahan atau penghapusan. Sebab itu, bukti tuntutan Allah yang mutlak ataupun penghapusan dalih manusia tidak dapat diperoleh.


Dalil Tekstual Wajibnya Imamah

Tn. Hosyyar: Semua yang telah kita perbincangkan lebih jauh ditunjukkan dalam hadis-hadis riwayat Ahlulbait as. Jika Anda berminat menyelidiki hadis-hadis tersebut Anda bisa merujuk kitab-kitab hadis. Di sini kami akan menukil sebagian darinya demi kebaikan Anda:

Salah seorang sahabat Imam ash-Shadiq as bernama Abu Hamzah berkata: Aku bertanya kepada Imam, “Bisakah bumi tetap ada tanpa kehadiran imam?” Beliau menjawab, “Jika bumi kosong dari imam, ia akan hancur.”4

Al-Wasysya, sahabat dekat Imam ar-Ridha as, berkata, “Aku bertanya kepada Imam as, ‘Mungkinkah bumi tanpa imam?’ Beliau menjawab, ‘Tidak mungkin.’ Aku berkata kepadanya bahwa telah sampai kepada kami bahwa bumi tidak mungkin tanpa adanya imam, kecuali ketika Allah murka kepada manusia. Pada saat itu beliau menjawab, ‘Bagaimanapun, bumi tidak mungkin kosong dari imam. Bila itu terjadi sebaliknya, maka bumi akan hancur.’”5

Ibn ath-Thayyar melaporkan bahwa ia mendengar dari Imam ash-Shadiq as bahwa jika masih ada dua orang di muka bumi, satu dari kedua orang itu pastilah Hujjah Allah [Imam Mahdi]. Dalam hadis lain, Imam al-Baqir as dilaporkan telah bersabda, “Demi Allah, dari saat Allah wafatkan Adam hingga hari ini, Allah tidak meninggalkan bumi ini tanpa seorang imam yang melaluinya petunjuk-Nya tersedia bagi manusia. Inilah imam yang merupakan Hujjah Allah kepada manusia. Sepanjang ada kebutuhan terhadap bukti Allah bumi takkan kosong dari seorang imam.”6

Dalam hadis lain, Imam ash-Shadiq dilaporkan telah berkata: “Allah menciptakan kami dalam sebaik-baik bentuk dan telah menunjuk kami sebagai penjaga seluruh perintah Ilahi. Pohon berbicara kepada kami dan melalui pengenalan kepada kami Allah disembah.” Imam as juga mengatakan: “Para khalifah Nabi saw adalah pintu-pintu pengetahuan ketuhanan. Oleh karena itu, siapapun harus memeluk agama melalui mereka. Tanpa mereka Tuhan tidak bisa dikenal. Melalui keberadaan para khalifah inilah Allah akan memperlihatkan hujjah-Nya kepada para hamba-Nya.”7

Abu Khalid, seorang sahabat dekat Imam al-Baqir menanyakan tafsir ayat yang mengatakan: “Berimanlah kepada Allah, Rasul-Nya, dan cahaya yang telah diturunkan-Nya.” Imam as menjawab:

Wahai Abu Khalid, “cahaya” itu artinya para imam. Wahai Abu Khalid, cahaya para imam di hati orang mukmin lebih terang ketimbang cahaya matahari. Mereka adalah orang-orang yang menerangi kalbu-kalbu orang-orang mukmin. Allah menolak dan menyembunyikan cahaya ini dari siapapun yang dikehendaki-Nya, sebagai akibatnya hati sebagian manusia menjadi gelap dan terhijab.8


Menurut hadis lain, Imam ar-Ridha as mengatakan:
Ketika Allah akan menunjuk seseorang untuk menjaga urusan-urusan manusia, Dia melapangkan dadanya dan menjadikan hatinya sumber hakikat dan kearifan. Secara tunak, Dia melimpahinya dengan pengetahuan-Nya agar setelah mencapainya ia mampu menjawab pertanyaan apapun. Bahkan, dalam menjelaskan realitas ini dan memberikan petunjuk yang hak ia tidak akan jatuh dalam kesalahan ataupun kebatilan. Dia bebas dari dosa dan kesalahan apapun. Ia maksum. Sepanjang masa ia tetap sebagai penerima dukungan dan bantuan Allah, dan terlindung dari maksiat dan dosa. Allah melantiknya kepada kedudukan puncak ini sehingga ia menjadi hujjah eksistensi Allah di muka bumi. Inilah rahmat khusus (luthf) Allah, yang Ia berikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya rahmat Allah begitu luas.9

Bahkan dalam hadis lain, Nabi saw menyatakan: “Bintang gemintang adalah pengaman bagi para penghuni langit. Jika mereka hancur maka akan hancur pula para penghuni langit. Anggota keluargaku adalah pengaman bagi para penghuni bumi. Oleh karena itu, jika mereka tidak ada, para penghuni bumi pun akan binasa.”10

Dalam salah satu pidatonya, Imam Ali as berkata:
Bumi tak akan pernah kosong dari seorang al-Qâ’im pembawa hujah-Nya, baik ia yang tampak dan dikenal atau yang cemas terliput oleh kezaliman atas dirinya. Sehingga dengan demikian takkan pernah batal hujjah-hujjah Allah dan tanda-tanda kebenaran-Nya. Aku sungguh-sungguh menyatakan bahwa meskipun jumlah mereka sedikit namun kedudukan mereka sangatlah tinggi. Melalui mereka Allah menjaga hujjah-hujjah dan tanda-tanda-Nya sampai mereka menyerahterimakannya kepada orang-orang yang berpadanan dengan mereka, dan menanamnya di hati orang-orang yang seperti mereka.

Hakikat “ilmu” menghunjam dalam lubuk kesadaran nurani mereka sehingga tindakan mereka berdasarkan “ruh” keyakinan. Hidup berzuhud, yang dirasa keras dan sulit bagi kaum yang suka bermewah-mewah, bagi mereka terasa lembut dan lunak. Hati mereka tenteram dengan segala yang justru menggelisahkan orang-orang jahil. Mereka hidup di dunia ini dengan tubuh-tubuh yang “tersangkut di tempat-tempat yang amat tinggi”. Mereka itu khalifah-khalifah Allah di bumi-Nya yang menyeru kepada agama-Nya.11

Dalam khutbah yang sama Imam Ali bin Abi Thalib as telah memaparkan keutamaan Ahlulbait dengan mengatakan:
Kelembutan al-Quran adalah tentang mereka (Ahlulbait) dan mereka adalah khazanah-khazanah Allah. Jika mereka berbicara mereka berbicara kebenaran, namun jika mereka diam tak seorang pun bisa bicara kecuali mereka berbicara.12

Mereka adalah tiang-tiang Islam dan benteng perlindungannya. Bersama mereka kebenaran telah kembali kepada posisinya yang tepat dan kebatilan telah musnah dan lidahnya tercerabut dari akar-akarnya. Mereka telah memahami agama secara cermat, bukan karena semata-mata warisan dari para penyampai, karena alangkah banyaknya para penyampai pengetahuan namun betapa sedikitnya yang memahaminya.13

Pendeknya, berdasarkan bukti rasional dan tekstual, orang bisa menyimpulkan bahwa sepanjang manusia tinggal di bumi, mesti ada seorang insan kamil dan terjaga secara Ilahi di antara mereka yang bisa menjelmakan seluruh sifat sempurna yang mungkin diraih manusia. Bahkan, orang semacam itu haruslah bertanggung jawab, baik secara teoretis dan praktis, untuk membimbing manusia. Orang ini adalah imam, pemimpin manusia. Setelah ia sendiri menapaki jalan suci kesempurnaan insan, ia mengembankan pada dirinya sendiri untuk menyeru pihak lain menuju tahapan dan kedudukan tersebut. Oleh karenanya, ia menjadi penghubung antara alam ruh yang gaib dan alam manusia yang kasatmata. Ikatan-ikatan alam gaib pertama-tama turun kepadanya dan melaluinya sampai kepada manusia lainnya. Jelaslah, ketiadaan orang semacam ini di antara manusia akan mengarahkan mereka kepada sembarang tujuan. Ketiadaan semacam ini akan menggiring kepada kehancuran masyarakat manusia. Dalam analisis terakhir, tanpa mengabaikan adanya bukti-bukti lain, bukti-bukti rasional dan tekstual ini menguatkan bahwa tidak ada periode sejarah, termasuk di zaman kita sekarang, yang kosong dari eksistensi seorang imam. Karena tidak ada imam yang hadir di zaman ini, kita bisa katakan bahwa imam tersebut dalam kegaiban dan tinggal di dalam kehidupan yang dirahasiakan.

***

MALAM kian larut. Setiap orang merasa lelah dan memutuskan untuk melanjutkan diskusi tersebut pada waktu lain.[]


Catatan Kaki
1. Lihat tesis yang tersaji dalam buku Al-Mahdiyyah fî al-Islâm, hal.48-68.
2. Untuk detail lebih jauh tentang syarat-syarat yang diperlukan di bawah otoritas khalifah ini, lihat: Ali al-Wardi, Naqsy-i vu’aazh dar Islâm, yang merupakan terjemahan dari karya berbahasa Arab oleh Khaliliyan, hal.111-137. Legenda tentang Abdullah bin Saba secara kritis telah dianalisis oleh Sayyid Murtadha al-Askari dalam kajian monumentalnya bertajuk ‘Abdullâh bin Sabâ; dan oleh Thaha Husain, ‘Alî va Farzandânasy, yang merupakan terjemahan dari bukunya berbahasa Arab oleh Khalili, hal.139-143.
3. Pengarang mengatakan: Mahdi dalam Agama-agama Lain. Dengan demikian ia menggunakan istilah mahdî sebagai suatu istilah umum bagi pemimpin mesianik manapun yang kemunculannya ataupun kembalinya ditunggu-tunggu oleh para pengikut agama-agama lain. (Penerjemah Bahasa Inggris—A.A. Sachedina).
4. Al-Kulaini, Ushûl al-Kâfî, jilid 1/334.
5. Ibid.
6. Ibid., hal.333, 335.
7. Ibid, hal.368-69.
8. Ibid., hal.372.
9. Ibid., 1/390.
10. Suyuthi, Tadzkirat al-Khawâshsh, hal.182.
11. Nahj al-Balâghah, khutbah 147, jilid 3.
12. Ibid., khutbah 154.
13. Ibid., khutbah 235.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: