Kahar Muzakkar dalam sambul buku "Abdul Qahhar Mudzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak" karya Anhar Gonggong.
Orang-orang berkisah tentang Kahar Muzakkar semasa hidupnya. Mulai wartawan sampai penduduk biasa.
PADA sebuah siang di tahun 2008, Boet Philippe Manuel Romphas atau biasa disingkatnya B.Ph.M Romphas, mengenang peristiwa bersejarahnya. Dia bertemu Kahar Muzakkar dalam sebuah perundingan bersama Panglima M. Jusuf secara langsung di sebuah pantai Bone Pute di Kecamatan Larompong Selatan, Kabupaten Luwu, tahun 1962.
Romphas yang diikutkan dalam tim delegasi bersama Panglima Jusuf, juga menggunakan pakaian tentara. “Saya ditugaskan mengabadikan pertemuan itu melalui foto,” kata Romphas yang saat itu menjabat kepala kantor IPPHOS (Indonesia Press Phote Service) di Makassar untuk Indonesia Timur, cikal bakal ANTARA.
Namun, sebelum melakukan kunjungan, sebagai seorang Nasrani, Romphas belajar mengucapkan salam. Segala macam tetek bengek dan atribut mengenai profesi kewartawanannya ditutup. Namun, setelah pertemuan dan perbincangan antara Kahar dan Panglima Jusuf selesai, rombongan delegasi berjalan-jalan menyisir pantai. “Pak Jusuf, sudah ingatkan kalau jangan sampai ketahuan sebagai wartawan. Karena Kahar tidak suka wartawan,” kata Romphas.
Beberapa jam semua berjalan lancar. Namun, Romphas lupa menutup sebuah sticker kecil dibelakang badan kamera Besa II yang digunakan, tertulis IPPHOS. Kahar melihatnya. “Hey, kau dari IPPHOS,” tegur Kahar.
Semua tiba-tiba hening. Mata Jusuf menatap tajam pada Romphas. “Apa kabar Franz Mendur,” lanjut Kahar.
Suasana mereda. Menurut Romphas, rupanya Kahar semasa di Jawa bersahabat dengan beragam kalangan, termasuk Franz Mendur, kepala kantor IPPHOS di Yogyakarta. “Kahar bilang, Franz Mendur adalah teman diskusinya. Dan dia sering berkunjung ke kantor IPPHOS di Yogya masa itu,” katanya.
“Jika kemudian, beberapa perkara macam pembunuhan terjadi masa pemberontakan. Mungkin itu ulah bawahannya. Kahar mungkin tidak menginginkannya,” kata Romphas.
Sejak 2009, dari Makassar hingga Luwu Timur dan Gowa hingga Wajo, saya menemui beberapa orang yang merasakan kehidupan saat Kahar memimpin pergolakan antara tahun 1950-1965. Ribuan orang menyatakan kesetiaan dan dukungan pada Kahar, namun ribuan orang lain menyesalkan peristiwa yang merenggut dan memisahkan keluarga.
Pada 20 Januari 1952, ketika Kahar menyatakan mendukung pergerakan DI/TII pimpinan Katosoewirjo di Jawa Barat, dan menjadikannya sebagai panglima Divisi IV TII (disebut pula Divisi Hasanuddin), beragam teror terjadi. Pada 1 Januari 1955, Kahar menjadi Wakil Pertama Menteri Pertahanan NII yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Akhirnya, beberapa aksi dilakukan termasuk menghilangkan praktik-praktik tradisional di Sulawesi Selatan atau pula menghapuskan penggunaan gelar-gelar bangsawan seperti Andi, Daeng, Puang, Bau, Opu menjadi sesuatu yang dilarang. Sebagai gantinya, sapaan yang diperbolehkan adalah menggunakan kata Bung.
“Maka tak heran, dalam Piagam Makkalua dinyatakan perang terhadap aristokrat yang tidak mau membuang gelarnya, demikian pula terhadap kelompok-kelompok mistik yang fanatik,” tulis Van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan.
Isi piagam itu benar-benar dilaksanakan Kahar. Di wilayah Pangkep dilaksanakan Operasi Toba’ (Tobat). Pasukan DI/TII menggerebek dan memburu semua waria termasuk bissu. Para waria dan bissu yang tertangkap akan diberikan pakaian maskulin dan cangkul untuk kemudian dipaksakan mengerjakan pekerjaan yang dianggap sebagai kodrat laki-laki seperti mencangkul dan menggarap sawah.
Bissu Saidi (almarhum) dalam wawancaranya dengan Historia pada 2011, mengenang peristiwa itu sebagai sebuah bencana yang mengerikan. Dia bersama teman-temannya melewati hutan dan berlari menuju Bone. “Kalau didapati, digerekki, nak,” katanya.
Sementara itu, diujung timur Sulawesi Selatan, Kabupaten Luwu Timur, Thomas Lasampa seorang tokoh adat Padoe, mengenang peristiwa tahun 1952 saat upacara kemerdekaan Republik Indonesia di Lapangan Timampu (sekarang Kecamatan Towuti). Saat itu, seorang pasukan DI/TII membacakan pidato dengan berapi-api. Pengumumannya membuat penganut agama selain Islam merinding.
“Kalau ada yang memelihara babi diberi kesempatan seminggu untuk pulang dan membantai babinya. Setelah itu semua harus Islam,” kata pengumuman yang ditirukan Lasampa.
Semua orang ketakutan. Akhirnya, untuk bertahan hidup, keluarga Lasampa, termasuk dirinya belajar membaca Alquran. Dia bahkan menghafal beberapa ayat Alquran dalam surah Al-Baqarah berserta terjemahannya. “Kalau tidak seperti itu, pasti kita sudah dibunuh,” katanya.
Seorang lainnya bernama Sabaruddin, seorang warga Dongi, tinggal di wilayah Petea Sorowako. Dia seorang Nasrani yang taat, namun mampu membaca Alquran dengan fasih. Tahun 1958, ketika kampungnya diserang pasukan DI/TII semua warga mengungsi. Di tempat pengungsian yang terjangkau oleh pasukan DI/TII, semua wajib masuk Islam. “Akhirnya saya belajar mengaji pertama kali tahun 1958,” katanya. “Saya bahkan tamat mengaji sampai tiga kali.”
Sabaruddin memamerkan hafalannya pada saya. Dia membaca surah Al-Fil, Al-Kautsar, dan Al-Baqarah. “Maaf tajwidnya kurang bagus. Tapi dalam Al-Baqarah itu berisi sejarah Islam yang luas, banyak toleransi di dalamnya,” katanya.
Pasukan DI/TII tak hanya menyerang kepercayaan lain, melainkan menyerang pula kelompok ideologi yang berbeda. Saya bertemu dengan Andi Nyiwi di Palopo, koordinator BAJAK (Barisan Anti Jawa Komunis). Bagi Nyiwi, komunis tak boleh hidup di Indonesia karena itu adalah paham tanpa agama. “Tidak mungkin kucing dan tikus disatukandangkan. Itu sama saja dengan agama dan komunis tidak akan bisa satu,” katanya.
Apa saja yang dilakukan BAJAK. Tugasnya sederhana, kata Nyiwi, hanya menandai dan mengawasi para pendatang yang berhaluan komunis. Kalau ada yang terdeteksi, maka akan langsung dibunuh. “Jadi kalau ada yang sudah dicap komunis langsung dibunuh. Setelah itu melapor ke Kahar,” katanya.
Ketika ditanya apa pendapat Kahar tentang hal tersebut, “dia hanya bilang ‘kenapa bunuh orang?’ saya jawab komunis. Maka bung Kahar akan diam dan bilang tidak apa-apa,” kata Nyiwi.
“Berapa banyak orang yang telah dibunuh BAJAK?”
“Wah saya tidak pernah membunuh. Tapi kalau anggota saya banyak. Banyak sekali, saya nda bisa hitung,” kata Nyiwi.
“Bapak menyesal?”
“Hmmmm… menyesal. Saya selalu berdoa dan bertobat untuk itu,” kata Nyiwi.
Sejak pergolakan Kahar Muzakkar antara tahun 1910-1952, lalu berlanjut mengusung bendera Islam tahun 1952-1965, tak terhitung ada berapa banyak nyawa yang melayang. Dan bahkan ada ribuan orang menjadi yatim, terpisah dengan keluarga. Baik dari masyarakat yang memeluk Islam, Nasrani, ataupun agama leluhur.
Mahade Tosalili (almarhum) seorang warga Sorowako, mengatakan pada saya tahun 2013, semoga peristiwa itu tak dialami generasi selanjutnya. “Sangat berat. Berat sekali. Hingga makanan semua serba kekurangan. Pakaian pun dibatasi. Beli gula pasir pun harus sembunyi-sembunyi. Tak boleh pakai arloji. Tidak boleh pakai jas,” katanya. “Itu benar-benar tersiksa orang."
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email