Pesan Rahbar

Home » » HUBUNGAN KERAJAAN ACEH DARUSSALAM DENGAN KERAJAAN PASAI

HUBUNGAN KERAJAAN ACEH DARUSSALAM DENGAN KERAJAAN PASAI

Written By Unknown on Friday 18 March 2016 | 17:58:00


Hubungan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Kerajaan Samudera Pasai

Sejarah hubungan antara dua Kerajaan di Aceh yaitu antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Kerajaan Samudera Pasai dimulai semenjak Puteri Ganggang Sari bin Sultan Makhdum Alaiddin Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat, menikah dengan Malikussaleh printis dan pendiri Kerajaan Samudera Pasai.


Bermulanya Kerajaan Islam Pasai

Pada tahun 1261 – 1289 M (659 – 688 H), Sultan Malikussaleh, yang nama asalnya ialah Meurah Silu, telah mendirikan kerajaan Islam Samudera Pasai. Isteri Meurah Silu, atau Sultan Malikussaleh, ialah anak Sultan kerajaan Islam Peureulak yang sudah tertubuh 421 tahun yang lalu pada tahun 840 M. Kerajaan Samudera Pasai letaknya berdekatan dengan Lhokseumawe.

Pada tahun 1263 -1292 M (622 - 692 H) Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Syah menjadi Sultan Peureulak ke 18 (delapan belas). Di tahun 1289 – 1326 M (688 – 725 H) Sultan Malikussaleh menobatkan anaknya Sultan Muhammad Malikul Zahir menjadi Sultan Samudera Pasai ke 2 (dua).

Pada tahun 1292 M, pertama sekali Marco Polo telah mengunjungi Peureulak pada awal tahun ini dan mendapati penduduknya berugama Islam. setelah itu pada tahun 1297 M atau tepatnya di tahun (696 H), Sultan Malikulsalleh (Meurah Silu) mangkat. Setelah 29 tahun kemudian tepatnya tahun 1326 Masehi, Sultan Muhammad Malikul Zahir mangkat. Setelah mangkatnya Sultan ke-2 (dua) posisi sultan kemudian diganti oleh adanya pada tahun 1326 M atau (725 H) oleh Sultan Mahmud Malikul Zahir sebagai sultan ke 3 (tiga).

Sultan mahmud Malikul Zahir berkuasa mulai dari tahun 1326 – 1345 M (725 – 745 H) Sultan Mahmud Malikul Zahir, Sultan Samudera Pasai ke 3 (tiga).


Kehadiran Ibnu Batutah di Aceh

Pada tahun 1345 – 1383 M ( 745 - 783 Hi) Samudera Pasai dipinpin oleh Sultan Ahmad Malikul Zahir yang memerintah Aceh selama 37 tahun sebagai Sultan Samudera Pasai ke 4 (empat). Ibnu Batutah singgah di Aceh dalam perjalanan ke negeri China.

Siapakah sebenarnya Ibnu Batutah tersebut, Ibnu Batutah adalah Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati atau Shams ad - Din atau lebih dikenal orang dengan nama Ibnu Battuta lahir pada 24 Februari 1304 Masehi (723 H) di Tangier Maroko. Ibnu Battuta dikenal karena petualangannya mengelilingi dunia. Hampir 120.000 kilometer telah ditempuhnya selama rentang waktu 1325-1354 Masehi atau tiga kali lebih panjang dari jarak yang telah ditempuh oleh Marco Polo. Seluruh catatan perjalanan dan pengalaman Ibnu Battuta selama pengembaraan ditulis ulang oleh Ibnu Jauzi seorang penyair dan penulis buku kesultanan Maroko.

Ibnu Jauzi menuliskannya berdasarkan paparan lisan yang didiktekan langsung oleh Ibnu Battuta. Penulisan buku ini diprakarsai oleh Sultan Maroko saat itu, Abu Inan. Buku ini disusun selama dua tahun dan diberi judul "Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa-’Aja’ib al-Asfar" atau lebih dikenal dengan "Rihla Ibnu Battuta".

Pada usia sekitar dua puluh tahun, Tujuan awal perjalanan Ibnu Battuta adalah menunaikan ibadah haji pada tahun 1325 M, tetapi tujuan awalnya itu telah membawanya menuju penjelajahan 30 tahun yang gemilang. Perjalanan awal Ibnu Battuta di mulai dari Tangier menuju Mekkah. Untuk Menghindari berbagai resiko buruk seperti diserang perampok, selama perjalanan Ibnu Battuta bergabung dengan kafilah yang akan menuju Mesir. Bersama Kafilah itu, Ibnu Battuta dengan menyusuri hutan, bukit dan pegunungan bergerak menuju Tlemcen, Bejaia lalu kemudian tiba di Tunisia dan tinggal di sana selama dua bulan.

Dari Tunisia, Ibnu Battuta dan rombongan kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Libya. Sejak meninggalkan Tangier hingga Libya Ibnu Battuta telah menempuh perjalanan darat sejauh hampir 3.500 km melintasi Afrika Utara. Delapan bulan sebelum musim ibadah haji dimulai Ibnu Battuta memutuskan untuk mengunjungi Kairo. Pada tahun 1326 M, Ibnu Battuta dan rombongannya tiba di Pelabuhan Alexandria di ujung barat delta sungai Nil. Ibnu Battuta sangat terkesan melihat pelabuhan Alexandria dan menurutnya Alexandria adalah satu dari lima tempat paling menakjubkan yang pernah dia kunjungi. Saat itu Alexandria merupakan pelabuhan yang sangat sibuk dengan berbagai aktifitas dan berada di bawah kendali Kerajaan Mamluk.

Setelah beberapa pekan di Alexandria lalu Ibnu Battuta singgah di Kairo beberapa saat dan langsung melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dengan pengawasan ketat dari Kerajaan Mamluk. Di Damaskus Ibnu Battuta menghabiskan bulan Ramadhan dan menggunakan waktunya untuk belajar, bertemu dengan beberapa guru, orang-orang terpelajar dan para hakim setempat. Selama 24 hari di Damaskus, kemudian Ibnu Battuta melanjutkan perjalanannya ke Mekkah melalui Jalur Suriah. Sepanjang jalur itu Ibnu Battuta banyak mengunjungi tempat-tempat suci. Al-Khalil (Hebron), Al-Quds (Jerusalem), Bethlehem adalah beberapa tempat yang dikunjunginya. Selama seminggu di Jerusalem, Ibnu Battuta mengunjungi Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu.

Menjelang musim haji dimulai dan setelah bulan ramadhan selesai, Ibnu Battuta meninggalkan Damaskus dan bergabung kembali dengan rombongan haji lainnya untuk melanjutkan perjalanannya ke Madinah. Di bawah pengawasan Kerajaan Mamluk yang menjamin keamanan para jemaah haji, maka Ibnu Battuta dan rombongannya dapat tiba di Madinah dengan selamat. Setibanya di Madinah Ibnu Battuta tinggal selama empat hari lalu bergegas menuju Mekkah untuk melaksanakan ibadah hajinya. Setelah menyempurnakan ritual hajinya, Ibnu Battuta tidak pulang ke Tangier tetapi dia memutuskan untuk melanjutkan pengembaraannya ke Irak dan Iran.

Setelah pengembaraannya dari Irak dan iran, Ibnu Battuta kembali lagi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah Hajinya yang kedua. Garis besar perjalanan Ibnu Battuta berawal dari Maroko menuju Aljazair, Tunisia, Mesir, Palestina, Suriah dan tiba di Mekkah. Setelah mengembara ke Irak, Shiraz dan Mesopotamia Ibnu Battuta melaksanakan ibadah haji yang kedua dan tinggal di Mekkah selama tiga tahun. Kemudian dia pergi ke Jeddah dan melanjutkan perjalanan ke Yaman melalui jalur laut kemudian singgah di Aden dan meneruskan perjalanannya ke Mombasa Afrika Timur.

Pada tahun 1332 setelah dari Kulwa, Ibnu Battuta pergi ke Oman melalui Selat Hormuz, Siraf, Bahrain dan Yamama untuk kembali melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Setelah itu Ibnu Battuta memutuskan untuk pergi ke India melalui Jeddah, namun dia berubah pikiran dan memutuskan untuk kembali mengunjungi Kairo, Palestina dan Suriah.Setibanya di sana, Ibnu Battuta melanjutkan kembali perjalanannya ke Asia Kecil (Aleya) melalui jalur laut menuju Anatolia dan meneruskan petualangannya dengan melintasi laut hitam.

Setelah beberapa lama dan berada dalam perjalanan yang penuh bahaya, akhirnya Ibnu Battuta tiba di Turki melalui Selatan Ukraina. Ibnu Battuta kemudian meneruskan penjelajahannya ke Khurasan dan mengunjungi kota-kota penting seperti Bukhara, Balkh, Herat dan Nishapur. Ibnu Battuta melintasi pegunungan Hindukush untuk tiba di Afghanistan untuk selanjutnya masuk ke India melalui Ghani dan Kabul.

Dia terus menyusuri Lahri (dekat Karachi Pakistan), Sukkur, Multan, Sirsa dan Hansi akhirnya Ibnu Battuta tiba di Delhi. Selama beberapa tahun di sana Ibnu Battuta disambut keramahan Sultan Mohammad Tughlaq. Setlah kunjungannya di Delhi Ibnu Battuta kembali meneruskan perjalanannya melewati India Tengah dan Malwa kemudian dia menggunakan kapal dari Kambay menuju Goa.

Setelah mengunjungi banyak tempat sebelumnya, kemudian Ibnu Battuta tiba di Pulau Maladewa melalui jalur Pantai Malabar dan selanjutnya terus menyeberang ke Srilanka. Ibnu Battuta masih terus melanjutkan penjelajahannya hingga mendarat di Coromandal dan kembali lagi ke Maladewa hingga akhirnya dia berlabuh di Bengal dan mengunjungi Kamrup, Sylhet dan Sonargaon dekat Dhaka.

Ibnu Battuta berlayar sepanjang Pantai Arakan dan kemudian Ibnu Battuta tiba di Aceh, tepatnya di Samudera Pasai pada tahun 1345 M. Di sana Ibnu Battuta tinggal selama 15 hari dan berjumpa dengan Sultan Mahmud Malik Zahir. Setelah kunjungannya di Aceh Ibnu Battuta lalu meneruskan perjalannya ke Kanton lewat jalur Malaysia dan Kamboja. Setibanya di Cina, Ibnu Battuta terus berpetualang ke Peking melalui Hangchow. Setelahnya Ibnu Battuta kemudian kembali ke Calicut dan dengan menggunakan kapal dia tiba di Dhafari dan Muscat untuk meneruskan perjalanan kembali ke Iran, Iraq, Suriah, Palestina dan Mesir lalu kembali beribadah haji untuk yang ketujuh kalinya di Mekkah pada November 1348 M. Setelah ibadah haji terakhirnya itu Ibnu Battuta pulang ke kampung halamannya, Fez. Namun, perjalanannya tidak berhenti sampai di sana, setelah pulang ke Fez, Ibnu Battuta kembali mengembara ke negeri muslim lainnya seperti Spanyol dan Nigeria melintasi gurun sahara.

Tahun 1369 pada usia 65 tahun Ibnu Battuta meninggal dunia.12 tahun setelah dia selesai menulis rihla. Ibnu Battuta meninggalkan warisan berharga bagi dunia berupa catatan perjalannya yang akan selalu dikenang oleh umat manusia.


Kerajaan Islam Pidier

Pada tahun 1355 M (755 H) dalam awal perjalanan memasuki abad ke-8 H Kerajaan Hindu-Budha di Syahir Poli dilebur menjadi Kerajaan Islam Pidier, setelah Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sulthan Mansyursyah I (755 – 811 H) berhasil mengalahkan tentara Syahir Poli dalam sebuah peperangan yang seru.

Dalam catatan Teungku M.Yunus Jamil, di zaman pemerintahan Sulthan Mahmud II Alaiddin Johan Syah, Kerajaan Darussalam (811 - 870 H), Islam menyebar dan berkembang luas dalam wilayah Syahir Poli. Semua ajaran-ajaran Hindu-Budha dapat terkikis habis. Untuk memimpin kerajaan baru tersebut, Sulthan Mahmud II mengangkat puteranya menjadi Raja Muda, yaitu Raja Husen Syah dengan gelar Maharaja Pidie Laksamana Raja.

Kabupaten Pidie asalnya adalah Kerajaan Pedir, sebuah kerajaan berdaulat yang tidak terkenal berdampingan dengan kerajaan Pasai dan kerajaan Aceh. Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Kali ini kita tidak membahas kerajaan Aceh yang akan kita ulas (semampu penulis) adalah kerajaan Pedir.

Tidak ada sumber yang pasti kapan kerajaan Pedir berdiri, Prof. D. G. E Hall dari Inggris, dalam bukunya “A History of South East Asia, mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu berdasarklan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di Varthema, yang pernah singgah di Pidie pada akhir abad 15. Pidie kala itu disebut dengan nama Pedir. Sebelumnya juga disebut Kerajaan Poli. Bahkan sebelum Mughayat Syah menjadi Sultan Aceh, Kerajaan Aceh berada dibawah pengaruh Kerajaan pedir dan beberapa Kerajaan kecil disekitar Pedir sampai ke Tanah Gayo, tunduk dibawah kerajaan Pedir, jadi bisa disimpulkan kalo kerajaan Pedir adalah kerajaan besar yang sayangnya tidak tercatat dalam sejarah seperti Kerajaan Pasai, Samudera (Peureulak) dan Kerajaan Aceh.

Pedir saat itu mempunya Bandar kerajaan yang maju. Dalam catatannya Vartheme menggambarkan, di sebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. Ia menulis,“So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 moneychanger,”.

Adapun yang memerintah di kerajaan islam pidier secara turun menurun adalah sebagai berikut
1. Sulthan Mansyursyah I (1355 M)
2. Sulthan Mahmud II Alaiddin Johan Syah (1355 - 1410 M)
3. Raja Muda (Sultan Husen Syah) (1410 – 1469 M)
4. Maharaja Sulaiman Nur (Putera Sultan Husen Syah)
5. Maharaja Syamsu Syah
6. Maharaja Malek Ma'aruf syah (Putra Raja Sulaiman Nur dengan gelar syahir dauli, mangkat pada tahun 916 K (1511 M)
7. Maharaja Ahmad Syah (syahir dauli) mangkat pada tahun 926H (1520 M)
8. Maharaja Husen Syah, putera maharaja ma'aruf syah)
9. Maharaja Sayidil Mukammil, putera raja firmansyah menjadi sultan aceh pada tahun 997 - 1011 H belau adalah kakek Sultan Iskandar Muda (ayah dari ibunya)
10. Maharaja Husen Syah Putera Raja Sayyidil Mukammil
11. Maharaja orang kaya, Meurah Poli Negeri Keumangan
12. Maharaja Keumangan Porah (po meurah) syahir poli
13. Pang Ulee Peunoro, Meurah po itam/bentara keumangan
14. Pang Ulee Peunaro, Meurah po puan/bentara keumangan
15. Pang Ulee Peunaro, Meurah po tahir/bentara keumangan
16. Pang Ulee Peunaro, Meurah po seumar
17. Pang Ulee Peunaro, Meurah po lateh
18. Teuku keumangan yusuf (setelah prang aceh - belanda pada tahun 1877)
19. Teuku keumangan Umar, Ulee balang IX- mukim keumangan Pidie.

Itulah sekelumit catatan tentang kerajaan Pedir, pada postingan yang akan datang mudah²an penulis dapat menemukan sumber yang lebih banyak lagi.


Kerajaan Hidu Majapahit menyerang Aceh

Awal tahun 1364 M atau (765 H) Patih Gajah Mada menyerang Aceh yaitu Kerajaan Samudera Pasai kemudian Patih Gajah Mada meninggal dengan sangat memalukan atas serangannya ke Kerajaan Samudera Pasai, kemudian atas kekalahan yang dialami oleh majapahit, pada tahun 1378 M bertepatan dengan (779 H) Majapahit, di bawah pimpinan Patih Nala yang menggantikan Patih Gajah Mada menyerang Aceh yaitu Kerajaan Samudera Pasai.


Negeri Benua

Sumpah Palapa Patih Gajah Mada menaklukkan seluruh nusantara berhasil dihentikan pasukan Negeri Beunua Teumieng. Semuanya berawal dari pengorbanan Putri Lindung. Negeri Beunua Teumieng merupakan negara bagian Kerajaan Islam Perlak yang kemudian meleburkan diri di bawah Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1524 M. Kegigihan pasukan Benua Teumieng di bawah panji Islam melawan penjajahan Kerajaan Majapahit kini dinukilkan dalam catatan sejarah kerajaan-kerajaan di Aceh.

Berdasarkan catatan Ali Hasjmy dalam buku Wanita Aceh; Negarawan dan Panglima Perang menuliskan bahwa serangan Majapahit di bawah pimpinan Patih Gajah Mada terjadi pada tahun 1377 M (779 H), Saat itu Angkatan Perang Majapahit yang telah menduduki Pulau Kampey (Pulau Sampou) di bawah panglimanya Patih Nala, mengirim utusan kepada Raja Muda Sedia di Kota Masmani.

Utusan Majapahit ini meminta agar Negeri Beunua Teumieng tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Selain itu, Patih Nala juga meminta Putri Lindung Bulan diserahkan kepada Prabu Rajasanagara Hayam Wuruk sebagai kembang mas (persembahan). Putri Lindung Bulan atau sering disebut Putri Sri Kande Negeri merupakan putri Raja Muda Sedia. Putri ini sering membantu ayahnya dalam segala urusan negara. Kedudukannya ibarat Perdana Menteri di Negeri Benua Teumieng.

Permintaan ini jelas ditolak oleh Raja Muda Sedia. Apalagi dirinya merupakan seorang muslim yang tidak mungkin tunduk di bawah kekuasaan Majapahit yang non muslim. Penolakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Majapahit. Patih Nala kemudian mengirim pasukan terkuatnya untuk menaklukkan Negeri Beunua. Pasukan Patih Nala berhasil dibendung oleh prajurit Negeri Beunua Teumieng di Kota Masmani yang dipimpin Laksamana Kantom Mano. Sayangnya pasukan Teumieng tidak dapat menahan lebih lama serangan besar-besaran tersebut yang menyebabkan Kota Masmani berhasil direbut saat itu.

Raja Muda Sedia dengan permaisurinya dapat melarikan diri berkat bantuan pengawal istana ke Kota Peunaron. Namun Putri Lindung Bulan urung kabur dan membiarkan dirinya ditawan Patih Nala.
Mengetahui Putri Lindung Bulan menjadi tawanan, pasukan Negeri Beunua Teumieng kembali merapatkan barisan. Mereka menyerang Kota Masmani yang sudah diduduki pasukan Majapahit dan berhasil merebut kembali ibukota kerajaan tersebut. Serangan itu dilaksanakan tengah malam dan dipimpin Laksamana Kantom Mano.

Serangan pasukan Teumieng ini berhasil membebaskan Masmani dari jajahan Majapahit dan melepaskan Putri Lindung Bulan. Bahkan mereka berhasil mendesak pasukan Majapahit ke laut dan lari tunggang langgang karena terkejut dengan taktik militer Laksamana Kantom Mano. Kegagalan ini membuat Patih Nala kesal. Dia kemudian merencanakan serangan keduanya ke Negeri Beunua Teumieng dan Kerajaan Islam Perlak serta Kerajaan Islam Samudera Pasai. Serangan ini berhasil ditahan oleh pasukan Kerajaan Islam Perlak dan Kerajaan Islam Samudera Pasai.

Di tengah gencarnya peperangan, Patih Nala mendapat kabar bahwa Rajasanagara Hayam Wuruk meninggal dunia. Semangat berperangnya jadi luluh dan dengan mudah strategi militernya diberangus oleh pasukan Islam Samudera Pasai dan Perlak. Patih Nala bersama sisa pasukan akhirnya kembali ke tanah Jawa.


Sultan Samudera Pasai Meninggal karena dibunuh

Pada tahun 1403 – 1405 M atau (804 - 806 H) Sultan Muhammad Said Malikul Zahir, anak Sultan Zainal Abidin, menjadi Sultan Samudera Pasai ke 6 (enam). Sultan Muhammad Said Malikul Zahir telah tewas dibunuh oleh Panglima Nagoor Rabat Abdul Kadir yang berjasa mempertahankan Samudera Pasai ketika diserang oleh Majapahit.


Samudera Pasai diperintah oleh Wanita sebagai Sultan Ke-7

Pada tahun 1405 – 1411 M atau (806 – 812 H) Sultanah Bahiyah, isteri Sultan Muhammad Said, menjadi Sultanah Samudera Pasai ke 7 (tujuh). Kemudian digantikan pimpinan pada tahun 1411 M. Dari tahun 1411 – 1412 M (812-813 H) Samudera Pasai dipimpin oleh Suami ke 2 Sultanah Bahiyah, Sultan Ahmad Permala sebagai Sultan Samudera Pasai ke 8 (Delapan).

Pada tahun 1412 – 1420 M (813 – 824 H) Anak Sultanah Bahiyah (S 7) dengan suami pertama Sultan Muhammad Said (S 6), Sultan Khaidir Malikul Zahir menjadi Sultan Samudera Pasai ke 9 (sembilan)


Wanita Menjadi Sultanah Samudera Pasai Ke-10

Pada Tahun 1420 – 1428 M (824 – 831 H) kembali samudera Pasi dipimpin oleh seorang wanita Sultanah Nahrisyah Malikul Zahir, digelar Malikah Ratu Nahrisyah Rawangsa Chadiyu, menjadi Sultan Samudera Pasai ke 10 (sepuluh) mengganti ayahnya Sultan Khaidir Malikul Zahir (S 9). Pada tahun 1428 M (832 H) Sultan Bahrain Syah (Ratu Peureulak) menjadi Sultanah Samudera Pasai ke 11 (sebelas). Beliau saudara kepada Ratu Nahrisyah, berkuasa dari tahun 1428 M sampai 1444 M. Dan pada tahun 1444 M (848 H) digantikan oleh Sultan Abu Zaid Malikul Zahir menjadi Sultan Samudera Pasai ke 12 (dua belas) yang berkuasa dari tahun 1444 M – 1455 M ( 848 H – 859 H). Seterusnya kepemimpinan kesultanan samudera pasai diganti oleh Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir.

Pada 1455 – 1470 M (859 – 875 H) Kepemimpinan Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir menjadi Sultan Samudera Pasai ke 13 (tiga belas). Yang seterusnya digantikan Sultan Abdullah Malikul Zahir oleh anak sultan Samudera Pasai pada 1470 M sampai 1491 M (875 – 896 H) menjadi Sultan ke 14 (empat belas).

Pada tahun 1490 M Kelahiran Sunan Gunung Jati menjadi Wali terakhir yang dilahirkan di Basma, Pasai. Dan pada tahun 1491 – 1511 M (896 – 918 H) Samudera pasai dipimpin oleh Sultan Mahmud Malikul Zahir, anak Sultan ke 14, menjadi Sultan Samudera Pasai ke 15 (lima belas). Beliau ada tiga putera:
(1) Zainal Abidin (kemudian menjadi Sultan ke 16 (enam belas).
(2) Zainuddin kemudian hari bekerjasama dengan Portugis

Pada tahun 1511 – 1523 M (918 - 930 H) Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir menjadi Sultan Samudera Pasai ke 16 (enam belas) dan terakhir. Ketika berkuasa Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir telah diserang oleh Potugis dan ditawan dibawa ke Melaka. Puteri Sultan Zainal Abidin telah menikah dengan Sultan Alaidin Riyat Syah Al Qahar Sultan Aceh Darussalam ke 13. Sultan Alaiddin Riyat Syah Al Qahar telah menentang kehadiran Portugis di Johor, Perak dan Melaka.

PEMBUNUHAN 40 ULAMA AHLUSSUNNAH WALJAMAAH

Arita Bakooy dilantik oleh Sultanah Nahrisyah menjadi 'Mangkubumi' dengan gelaran “Maharaja Bakooy Ahmad Permala”. Bakooy adalah tokoh aliran wujudiah yang bertentangan dengan aliran ahlussunah waljamaah. Beliau mengahwini anaknya sendiri walaupun ditentang oleh ulama. 40 ulama ahlussunnah waljamaah telah dibunuhnya.

ARITA BAKOOY MATI DIBUNUH

Arita Bakooy telah dibunuh oleh suami Sultanah Nahrisyah bernama Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam. Beliau dibantu oleh Sultan Mahmud Alaiddin Johan Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam (1409 - 1465).


Sultan Aceh Darussalam Mati dibunuh

Pada tahun 1409 M Sampai 1465 M Sultan Mahmud Alaiddin Johan Syah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, kemudian digantikan oleh Sultan Alauddin Husain Syah pada tahun 1465. dari tahun 1465 – 1480 M (870 – 885 H) Sultan Alaiddin Husain Syah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam.

Sultan Alaiddin Husain Syah telah dibunuh dalam perang saudara antara pasukan kesultanan dengan pasukan panglimanya sendiri Nagor Rabbath Abul Kadir Syah.


Raja kerajaan Islam Jaya Ialah Anak Pemerintah Kerajaan Darussalam

Pada tahun 1480 M Putera Mahkota Ri'ayat Syah diangkatlah menjadi Raja Kerajaan Islam Jaya dengan gelar Sultan Salatin Ri'ayat Syah kepemimpinnya selama selama 10 tahun yaitu 1480 – 1490 M ( 885 - 895 H), sedang ayahnya Inayat Syah tetap memerintah Kerajaan Aceh Darussalam hingga tahun 1514 M.

Pada tahun 1514 M sampai tahun 1528 M Kerajaan Darus salam dipinpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (lihat 1507-1522) dan pada tahun 1522 – 1530 M Sultan Ibrahim Salahuddin Syah memerintah Aceh menggantikan ayahnya/bapanya. Setelah Sultan Ibrahim Salahuddin Syah mangkat, kepemimpinan digantikan oleh adiknya Sultan Alauddin Riayat Syah pula memerintah.

Pada tahun 1481 M Sunan Ampel, satu dari 9 Wali Songo meninggal dunia dan meninggalkan dua putranya, Sunan Derajat dan Sunan Bonang yang juga bergelar Wali Songo, yang bermukim di Tuban, juga dari Aceh Kerajaan Pasai datangnya.


Kedatangan Portugis Ke-Aceh dan Malaka

Pada tahun 1509 M Portugis datang ke Aceh dan Malaka (Malaysia sekarang) untuk berdangan dengan cara berniaga sutera yang cantik dan indah hampir sebaik sutera yang dibawakan orang-orang dari negeri China. 


Raja Hindu Majapahit Menganut Agama Islam

Pada tahun 1422 M Raja Majapahit yang beragama hindu kemudian menganut agama islam dan terakhir menikah dengan Makhdum Dewi Puteri Jeumpa.


Hubungan Aceh Darussalam dengan Tumasik (Singapura Tua) singapore sekarang

Puteri Ratna Keumala adalah Puteri ke 2 Sultan Sultan Makhdum Alaiddin Muhammad Amin Syah Johan telah diriwayatkan menikah dengan Raja Parameswara Raja Malaka yang nama Islamnya ialah Sultan Muhammad Syah / Iskandar Syah. Sultan Muhammad Syah menyebarkan Islam di Malaka yang disebut Malaya (Malaysia sekarang) dengan bantuan saudara iparnya Abdul Aziz Syah yang menjadi Sultan Peureulak ke 18 (delapan belas).


Hubungan Aceh dengan Malaka

Pada tahun 1383 M (783 H) Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir memerintah Samudera Pasai sebagai Sultan ke 5 pada tahun 1383 – 1403 M (783 – 804 H). Di bawah pemerintahannya beliau mengirimkan mubaligh Sidi Abdul Aziz ke Melaka untuk mengislamkan Sultan Parameswara yang berugama Hindu untuk menjadi Sultan Muhammad Shah. Anak Parameswara juga memeluk ugama Islam dengan nama Iskandar Syah. Beliau kemudiannya menikah dengan anak perempuan Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir.


Hubungan Aceh dengan Kedah, Perak, Trengganu, Sulu, Mindanao dan Pattani

Disela pemerintahan Sultan Zainal Abidin sebagai sultan Samudera pasai telah mengirim mubaligh Samudera Pasai ke Kedah, Perak, Trengganu, Sulu, Mindanao dan Pattani pada tahun 1393 M.

Sultan Malaka

Pada Tahun 1400 - 1414 M Sultan Iskandar Shah memerintah Melaka (Parameswara). Parameswara Dikisahkan oleh seorang putera dari Palembang yaitu Parameswara memerintah dari tahun 1400 M hingga tahun 1403 M, pada awalnya Malaka bukanlah sebuah kerajaan Islam, hal ini berubah pada tahun 1409 M Parameswara menikahi dengan Puteri yang berasal dari kerajaan Samudera Pasai, Agama Islam mulai semenjak menikahi Puteri dari Samudera Pasai menjadi Agama Resmi untuk Kesultanan Melayu (Malaka) dan Sultan Muzaffar Syah memerintah Kesultanan malaka selama lebih satu abad, sehingga akhirnya tewas ditangan portugis yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque pada tahun 1511. Sultan Mahmud Syah waktu masih kerajaan melayu merupakan Sultan terakhir di Kerajaan Melayu Malaka.

Pada 1528 M, seorang putera baginda Sultan Alauddin Riayat Shah II menubuhkan kesultanan Johor bagi mewarisi Kesultanan Melaka. Menurut Sejarah Melayu, Parameswara yang dilahirkan sebagai Dharmaraja adalah Raja Singapura terakhir yang berasal dari keturunan Sriwijaya. Pada tahun 1324 M, seorang putera Srivijaya dari Banten bernama Sang Nila Utama telah menawan Temasek dan menubuhkan kerajaan Singapura lama.

Baginda memerintah selama 48 tahun dan diiktiraf sebagai Raja Singapura oleh satu utusan dari Maharaja China pada tahun 1366 M. Baginda secara rasmi bergelar Sri Maharaja Sang Utama parameswara Batara Sri Tri buana, Batara Sri Tri Buana bermaksud "Yang Dipertuan kepada tiga dunia" melambangkan kekuasaan baginda ke atas Palembang, Bentan dan Temasek. Terdapat tiga orang lagi Raja dari keturunan baginda yang memerintah Singapura yaitu, Paduka Sri Pekerma Wira Diraja (1372 – 1386 M), Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386 – 1399 M) dan yang terakhir Paduka Sri Maharaja Parameswara (1399 – 1401 M).

Pada 1401 M, kerajaan Majapahit menyerang Singapura dengan bantuan Bendahara yang belot, Sang Rajuna Tapa. Parameswara telah berjaya melarikan diri menuju ke pantai barat semenanjung Melayu (Malaysia sekarang) untuk membuka ibu negeri yang baru.

Menurut “Suma Oriental”, Parameswara yaitu seorang Raja palembang yang mengantikan Ayahandanya Raja Sam Agi. Beliau diserang oleh Raja jawa, Batara Tamavill, sewaktu beliau menggelarkan dirinya sebagai Mjeura “Orang yang berani”. Seterusnya beliau melarikan diri ke Singapura tua (Singapore sekarang) setelah membunuh wakil raja Siam (Tamagi) di Singapura, Parameswara menjadi Pemerintahan Sementara disuatu tempat dan tidak berselang lama parameswarapun diserang dan dihalau oleh pihak Siam tidak begitu lama setelah itu dengan seribu pengikutnya menuju pantai barat semenanjung melayu untuk mencari tempat perlindungan yang aman dan menjadikan kerajaan baru.

Menurut sejarah melayu (Malaysia) yang dikarang oleh Tun Sri lanang pada tahun 1565 M, Parameswara melarikan diri ke Muar tetapi diganggu oleh Biawak yang tidak terhitung banyaknya, kemudian pindah ketempat kedua yaitu di Burok gagal, karena pertahanan yang dibuat runtuh dengan sendirinya, kemudian Parameswara berpindah kesening Ujong, setelah menetap disana melantik seorang Menteri untuk mewakili dirinya dan kemudian tiba disungai batam dimana orang-orang Selatar mendiami pulau tersebut serta meminta Parameswara menjadi Raja.

Parameswara merasa kedudukan sangat baik untuk didirikan kerajaan, karena berhamparan dengan laut sangat leluasa kapal dangang bias bersinggah, selain itu bentuk muka Bumi menjadi petunjuk untuk berlayar dan memudahkan pengawalan selat malaka dengan suasana yang memungkinkan.

Parameswara memeluk Islam pada tahun 1409 M dan telah menggelar diri baginda sebagai Raja Iskandar Syah. Baginda telah mengawini dengan Puteri dari Kerajaan Kesultanan Pasai di Aceh. Pada tahun 1409 M juga, Laksamana Cheng Ho telah singgah di Melaka dalam rangka lawatan beliau untuk meneroka dunia. Pada tahun 1411 M. Parameswara telah membuat pelayaran melawat negara China dengan rombongan pengiring sebanyak 540 orang untuk pertemuan dengan Maharaja Ming, Yung lo. Maharaja Yung Lo juga meniktiraf Parameswara sebagai Raja Malaka.

Di Malaka

Pada Tahun 1409 Masehi, Parameswara di Melaka memutuskan untuk membayar upeti kepada China supaya melindungi Melaka dari serangan oleh Siam. Kemudian tahun 1411 M Parameswara telah diiringi oleh Laksamana Cheng Ho melawat Maharaja Ming yang bernama Yung Lo. Pada tahun 1414 - 1424 Masehi, Sultan Mahkota Iskandar Shah memerintah Melaka

Sultan Malaka

Sultan Muhamad Shah memerintah Melaka dari tahun 1424 sampai dengan tahun 1444 Masehi. Pada tahun 1428 Masehi yang bertepatan pada 17 Dzul Hijjah 831 Hijrah, Tarikh mangkat Sultanah Nahrisyah Malikul Zahir sebagaimana tercatit atas batu nisannya.

Pada tahun 1444 - 1445 M, Sultan Abu Shahid memerintah Melaka. Dan pada tahun 1445 - 1458 M, Sultan Muzaffar Shah memerintah Melaka. Pada tahun 1458 - 1477 M, Zaman kegemilangan Melaka di zaman Sultan Mansur Shah. Untuk mengeratkan hubungan dengan China maka Maharaja China telah mengahwinkan Hang Li Po dengan Sultan Mansur Shah. Rombongan Hang Li Poh yang diiringi oleh Laksmana Cheng Ho, yang terdiri dari 500 pengiring telah tinggal di Bukit China, Melaka.

Pada tahun 1477 - 1488 M, Sultan Alauddin Riayat Shah memerintah Melaka, dan ditahun 1488 - 1511 M, Sultan Mahmud Shah memerintah Melaka, adapun Sultan terakhir adalah pada tuhun 1511 M, adalah Sultan Ahmad Shah sebagai Sultan terakhir sebelum Melaka jatuh ke tangan Portugis. Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 M, 24 Ogos – akhirnya Melaka jatuh ke tangan Portugis. Kesultanan Johor lahir tahun 1511 – 1528 M yang dipinpin oleh Sultan Mahmud Shah 1 memerintah Johor.


Aceh Membawa Islam Ke Tanah Jawa

Sejak zamannya mubaligh mula ke tanah Hindu Jawa mulai abad ke-14 hingga abad ke-16 sehingga 4 dari 9 Wali Songo berasal dari Aceh iaitu (1) Sunan Gunung Jati atau Faletehan atau Fatahillah. Fatahilah dilahirkan di Pasai dan belajar di Mekkah seterusnya pergi ke Jawa untuk membantu membebaskan kerajaan Demak dari Portugis dan membina Kota Jayakarta (kini Jakarta). Wali lainnya bernama Maulana Ishak, Maulana Jamaluddin dan Maulana Malik Ibrahim dengan gelaran (2) Sunan Ampel atau Raden Rachmat yang makamnya di Kampung Arab di Surabaya juga berasal dari Pasai, (3) Derajat dan (4) Sunan Bonang.

Ke Samudera Pasai juga telah melawat Marco Polo, Ibn Batutah dan Laksamana Cheng Ho. Pada tahun 1384 - 1414 M Sultan Melaka bernama Sultan Iskandar Syah menikah dengan anak perempuan Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir (1364-1403 M)

Pada tahun 1389 M (790 H) Pasukan Majapahit dikalahkan oleh Sultan Zainal Abidin Malikul Zahir pada tahun ini setelah berita Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk meninggal dunia pada tahun ini. Adiknya Sultan Zainal Abidin yang bernama Puteri Cermin telah dibawa ke Majapahit dan ketika meninggal dimakamkan di Leran Gresik.

Pada tahun 1400 – 1428 M (801 – 831 H) Sultanah Malikah Ratu Nahrasiyah Chadiyu (Khudaiwy) memerintah Samudera Pasai sebagai Sultan ke 7.


Penumbuhan Kerajaan banten di Jawa Barat

Syarif Hidayatullah menjadi Panglima Demak melawan Portugis dan mendirikan kerajaan Banten di Jawa Barat dan pada tahun 1507 - 1522 M Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Aceh. Anaknya Sultan Salahuddin menggantikan beliau. (lihat 1514-1528).

Pada tahun 1419 M Wafat Wali pertama yang dimakamkan di Gresik. Beliau adalah Malik Ibrahim seorang pedagang Parsi yang berasal dari Gujarat, India.


(Aceh-Nusantara-Sepanjang-Masa/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: