Pesan Rahbar

Home » » Ini Pengakuan CIA Tentang Perannya Dalam Tragedi Gerakan 30 September 1965

Ini Pengakuan CIA Tentang Perannya Dalam Tragedi Gerakan 30 September 1965

Written By Unknown on Friday, 11 March 2016 | 03:05:00


Pada 18 September 2015 lalu, Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) membuka dokumen-dokumen rahasia soal tragedi 1965. Namun, sayangnya masih banyak hal tak terungkap di sana karena beberapa bagian penting dari dokumen-dokumen sensitif tersebut disensor dengan stabilo putih sehingga tak menjawab teka-teki atas peristiwa yang merenggut jutaan nyawa tersebut.

Pertanyaan yang selama ini menggelayut adalah, "Bagaimana sebenarnya peran CIA di Indonesia, khususnya dalam peristiwa sejarah kelam tersebut?"

Sejak berdiri, CIA memang sering terlibat ikut campur dalam bermacam-macam konflik di negara-negara berkembang. Mereka kerap menjalankan operasi-operasi rahasia untuk menjatuhkan pemerintahan yang dianggap berseberangan dengan aturan dan pandangan Barat, atau membantu mempertahankan pemerintahan tersebut apabila sejalan dengan mereka.

Indonesia tak luput menjadi salah satu negara yang menjadi target operasi CIA karena Presiden Soekarno dianggap terlalu agresif mengembangkan pengaruhnya di kawasan. Belum lagi Presiden Soekarno amat dekat dengan Uni Soviet dan China. Hal ini terbukti dari tertangkapnya Pilot asal AS yang berhasil ditembak jatuh ketika sedang mendukung pasukan pemberontak PRRI/Permesta. Peristiwa itu membuat CIA menarik diri dari segala keterlibatannya di Indonesia.

Dalam buku 'Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya' yang diterbitkan Gramedia pada Desember 2008 karya Tim Weiner disebutkan bahwa CIA tak akan pernah mengalihkan perhatiannya terhadap Indonesia.

CIA memilih melibatkan diri dari balik meja. Berkat Adam Malik, Mayor Jenderal Soeharto yang sedang getol memberantas Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga ke seluruh pelosok mendapatkan sejumlah bantuan.

Bantuan pertama berupa 14 unit walkie-talkie dari Kedutaan Besar AS di Jakarta. Alat komunikasi ini diserahkan langsung kepada Soeharto oleh Duta Besar AS, Marshall Green. Selain memberikan kemudahan terhadap proses pembersihan PKI, alat ini memudahkan CIA memantau operasi-operasi penumpasan komunis oleh TNI di Jawa Tengah dan Timur.

Tak hanya alat komunikasi, CIA juga memberikan bantuan berupa obat-obatan yang diserahkan kepada TNI AD senilai US$ 500.000. Green juga mencoba meminta pemerintah AS untuk memberikan uang sebesar Rp 50 juta atau US$ 10.000 untuk mendukung kontra-kup (menumpas kaum komunis). Dana itu diserahkan melalui Adam Malik.

CIA menyadari bantuan ini telah memakan banyak korban jiwa di Indonesia. Dari laporan yang diterima Wakil Presiden AS Hubert H Humphrey, jumlah korban diperkirakan mencapai 300 ribu sampai 400 ribu jiwa. Tapi, angka itu digenapi menjadi 500 ribu jiwa atas inisiatif AS sendiri.

Seorang yang dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) digiring tentara di sebuah desa di Jawa Tengah sembari dipukuli tetangganya. Pada masa itu banyak tuduhan yang "asal" alias tak berdasar. Banyak orang yang sebenarnya tidak terlibat komunis bisa difitnah sebagai simpatisan atau kader PKI hanya karena dendam pribadi, persaingan bisnis, atau rebutan perempuan. Nasib mereka berakhir secara tragis dan memilukan. Itulah mengapa korban tragedi ini amat banyak.

Hal itu diakui sendiri oleh Duta Besar Green dalam sebuah rapat rahasia di Komite Hubungan Luar Negeri Senat. Di depan para senator, dia mengakui menambahkan angka taksiran tersebut.

"Saya kira kita harus menaikkan taksiran itu, barangkali mendekati angka 500 ribu," ujarnya dalam sebuah kesaksian yang telah dinyatakan deklasifikasi pada Maret 2007. "Tentu saja, tidak ada yang tahu pasti. Kita hanya bisa menilainya berdasarkan keadaan semua desa yang telah menjadi sepi."

Namun yang terpenting adalah pertanyaan, "apakah CIA menjadi otak dibalik G30S?"

Dalam kesaksian itu, Green menyatakan CIA tidak terlibat atau melibatkan diri dalam peristiwa G30S tersebut. Dia menyatakan, CIA hanya menunggangi ombak yang baru saja muncul paska-kudeta.

"Kami tidak menciptakan ombak-ombak itu. Kami hanya menunggangi ombak-ombak itu ke pantai," ungkapnya.

Maksud Green, CIA memang tak menciptakan konflik tersebut. Tapi yang jelas mereka memanfaatkan tragedi penculikan para jenderal yang dilakukan Letkol Untung dan langkah Soeharto menumpas PKI untuk menghabisi kekuatan komunis di Indonesia.

Tim Weiner menuliskan, tindakan CIA yang mendukung operasi kontra-kup itu telah membuat Indonesia telah berubah menjadi pemerintahan diktator di bawah rezim Soeharto bernama Orde Baru. Lebih dari satu juta penduduk Indonesia dijadikan tahanan politik dan mendekam di dalam penjara selama bertahun-tahun tanpa dakwaan yang jelas terbukti dan tanpa melalui proses pengadilan.

(Dari Berbagai Sumber/Memobee/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: