Pesan Rahbar

Home » » Jejak Syiah di Budaya Aceh

Jejak Syiah di Budaya Aceh

Written By Unknown on Friday, 18 March 2016 | 17:23:00


Hasan ngon Husen Cucoe di Nabi (Hasan dan Husain cucu Nabi)
Aneuk Bak Siti Fatimah Zuhra (Anak dari Siti Fatimah Zuhra)
Syahid di Husen teuma dalam prang (Syahid Husen di dalam perang)
Syahid di Hasan inong brie tuba (Syahid Hasan diracun istri)


PENGGALAN lirik lagu Aceh yang dipopulerkan penyanyi Rafly ini tentu tak asing lagi bagi masyarakat Aceh. Lagu itu antara lain berkisah tentang pembantaian Husain bin Ali akibat perebutan kekuasaan pendukung Yazid bin Muawiyah, khalifah kedua Bani Umayyah, dengan pengikut Husain yang menentang Yazid naik ke kursi kekhalifahan.

Peristiwa pembantaian ini dikenal sebagai tragedi Karbala (Asyura) yang kerap diperingati kaum Syiah dengan memukul-mukul tubuh sebagai bentuk perkabungan atas terbunuhnya Husain, cucu Nabi Muhammad Saw, itu.

Lagu yang disenandungkan Rafly itu sebenarnya bukan sepenuhnya milik Rafly. Sebab jauh sebelum lagu itu populer sekitar tahun 2000, hikayat tentang kisah Hasan dan Husain telah lebih dulu ada dan didendangkan dari telinga ke telinga masyarakat Aceh. Rafly sendiri mengakui hal itu.

“Saya sudah mendengarnya dari zaman dahulu, dan memang itu dibacakan oleh orang tua di kampung-kampung, saya terinspirasi untuk menjadikannya lagu,” katanya Rabu, 29 Agustus 2012.

Dalam sebuah artikel berjudul Jejak Syiah dan Tradisi Asyura di Aceh, yang ditulis oleh bekas Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia Kabinet Persatuan Nasional, alhmarhum Hasballah M. Saad, disebutkan bahwa hikayat Hasan Husen ditulis oleh Muhammad Hanafiah.

Dalam artikel itu, Hasballah M. Saad juga menyebutkan dalam beberapa kesenian Aceh seperti tari Seudati dan Saman terdapat simbol kebudayaan muslim beraliran Syiah di Aceh. Simbol itu seperti memukul-mukul dada sendiri, yang dilakonkan oleh para penari Saman.

Masyarakat Aceh juga mengenal tradisi peringatan hari Asyura. Peringatan hari pembantaian Hasan-Husain itu tak diperingati secara besar-besaran layaknya maulid Nabi dengan khanduri raya di Aceh. Pada hari Asyura sebagian warga Aceh berpuasa satu sampai tiga hari dan ada juga tradisi membagi-bagikan bubur beras kepada sesama jiran. Biasanya hanya mereka yang berkecukupan yang membagikan bubur Asyura.

Tapi menurut seorang tokoh muda di Aceh, Ustad Andi Mahdi, adanya simbol dan tradisi perayaan hari Asyura di Aceh belum bisa dijadikan patokan apakah Syiah pernah berkembang pesat pada masa lampau di Aceh. Perlu penelitian dan analisis lebih lanjut dari pakar sejarah Aceh terkait hal itu.

“Karya-karya itu perlu ditelaah, dikaji kembali dan dianalisis kembali sehingga didapat pendeskripsian yang jelas, dan setelah itu baru bisa terbukti bahwa pernah ada Syiah di Aceh atau tidak,” ujarnya.

Begitu pula peringatan hari Asyura di Aceh. Menurut Andi Mahdi, apa yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dengan menggelar peringatan hari Hasan-Husain itu merupakan bentuk pemuliaan terhadap keluarga Nabi Muhammad dan bukan menunjukan bahwa Syiah lebih dominan atau telah mempengaruhi budaya Aceh.

“Sebenarnya peringatan hari Asyura atau hari Al Husen itu bukan hanya milik orang Syiah, tapi juga milik umat muslim secara keseluruhan,” katanya.

Menurut Andi, masyarakat Aceh tidak pernah membeda-bedakan dan mengelompokkan Sunni dan Syiah. Aceh yang terkenal sangat heterogen yang memiliki beragam suku dan adat budayanya, tidak mengkotak-kotakan kaum muslimin.

Apalagi kata Andi, yang dilakukan Sunni dan Syiah sama yaitu tetap menjalankan Shalat lima waktu sehari semalam dengan 17 rakaat dan berpedoman pada Al-quran dan hadist. Perbedaannya hanya pada soal imam.

“Antisyiah dan pendiskreditan Syiah itu tidak berjalan dengan baik di Aceh. Saat berkumpul dan berbaur juga tidak ada permasalahan tanpa harus menyingung satu sama lainnya, jadi memang masyarakat Aceh sudah sangat kompak jadi tidak ada lagi permasalahan mana yang Syiah, mana yang Sunni di Aceh,” katanya.

Karena itu pula, kata Andi, tak ada pendataan berapa jumlah penganut Syiah di Aceh. Kaum Syiah dan Sunni di Aceh dapat berbaur dengan baik dan tidak ada kelompok yang dieksklusifkan.

“Upaya-upaya kelompok yang datang dari Jawa untuk mendiskreditkan Syiah di Aceh itu tidak bisa masuk terlalu dalam, mental begitu saja karena masyarakat Aceh cukup beradab,” ujarnya.

Berita pertentangan antara Sunni dan Syiah menjadi isu terhangat selama sepekan setelah adanya penyerangan dan pembakaran rumah yang dialami penganut Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, pada Minggu 26 Agustus 2012. Delapan bulan sebelumnya yaitu pada Kamis, 29 September 2011, aksi pembakaran pondok pesanten Syiah juga terjadi di Sampang.

Sejumlah tokoh lewat media nasional menyebutkan kasus Sampang tak dapat dikaitkan dengan pertentangan Sunni-Syiah. Ada persoalan keluarga dan perebutan wanita antara dua pimpinan pondok pesantren di Sampang, sehingga berbuntut pada penyerangan.

Menurut Andi Mahdi, banyak sudah upaya-upaya pihak ketiga untuk memecah belah kaum muslimin. Padahal kata Andi dalam kesepakatan seluruh ulama dunia pada tahun 2006 lalu yang kemudian di tuangkan dalam Piagam Yaman, bahwa Syiah dan Sunni adalah ajaran Islam yang tidak boleh dipisahkan.

“Bahwa perbedaan yang ada adalah sebuah rahmat, yang juga telah dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran. Perbedaan itu jangan kemudian dijadikan pertentangan yang kemudian menjadi perpecahan,” ujar Andi.

Berkaca pada kasus penyerangan penganut Syiah di Sampang, Andi menyebutkan ada upaya pihak ketiga yang ingin memecah belah kaum muslimin di tanah air lewat perbedaan mazhab ini. Upaya itu telah lama muncul tidak hanya di Indonesia.

“Kalau saya boleh jujur, orang-orang yang membakar, orang orang yang membunuh itu sebetulnya mereka itu juga korban. Korban dari kesalahan informasi dan penghasutan,” ujarnya.

Tak ada pengelompokan Sunni dan Syiah di Aceh juga dibenarkan oleh Reza Idria, salah seorang pengajar di Insitut Agama Islam Negeri IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Menurut Reza, dari catatan para petualang yang mengunjungi kesultanan Aceh pada zaman keemasan antara abad ke 16 dan 17 menyebutkan bahwa memang tradisi Syiah menjadi ritual upacara resmi kerajaan Aceh.

“Selanjutnya ada pergeseran mazhab yang merupakan efek dari pergesekan politik di dunia Islam sendiri dan masuknya ulama-ulama yang bukan Syiah ke Aceh, sehingga pelan-pelan itikad Syiah berganti Sunni,” kata alumni Leiden Universty Belanda ini.

Lantas apakah kemudian Syiah dibasmi di Aceh? Kata Reza, sebuah petunjuk jelas tentang kearifan Ulama Aceh terdahulu dalam melihat persoalan konflik politik cikal-bakal Sunni-Syiah di awal-awal Islam tumbuh, tergambar juga dalam Hikyat Hasan-Husen yang ditulis Muhammad Hanafiyah, yang sempat disalinnya dari perpustakaan Leiden University. Penggalannya seperti ini:

Meupakat ulama dumna Syiah (Berembuklah seluruh Ulama Syiah)
Meunoe neupeugah kalam calitra (Seperti inilah diceritakan)
Saydina Ali ngon Muawiyah (Syaidina Ali dan Muawiyah)
Nibak Allah pangkat beusa (Di hadapan Allah harus sama pangkatnya)

Soe yang ceureuca dua ureung nyan (Siapa saja yang menghina keduanya)
Nibak Tuhan keunong neureuka (Diganjar Allah dengan neraka)

Miseu Yazid aneuk Muawiyah (Walaupun Yazid anaknya Muawiyah)
Peulara lidah wahe ceedara (Jagalah lidah wahai saudara)
Bek keutakheun Yazid kaphe (Jangan kafirkan Yazid)
Hana dali yang peusisa (Tiada dalil yang menyatakannya)

Hana hadih nibak nabi (Tiada hadist dari Nabi)
Hana dali kheun rabbona (Tiada firman dari Allah).

(Aceh-Kita/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: