Pesan Rahbar

Home » » Tak Disangka, Ternyata Musso Gembong PKI Madiun Anak Seorang Kyai Terpandang

Tak Disangka, Ternyata Musso Gembong PKI Madiun Anak Seorang Kyai Terpandang

Written By Unknown on Friday 11 March 2016 | 04:31:00


Bagi yang pernah mengikuti pelajaran sejarah di sekolah pastilah mengetahui mengenai Tragedi Madiun tahun 1948. Tragedi yang dimaksud adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh Musso pada bulan September-Desember 1948 di Madiun, Jawa Timur.

Tragedi pemberontakan PKI Madiun ini ternyata menyimpan banyak cerita. Musso, sang gembong pemberontak komunis yang lahir di Kediri tahun 1897 ini amat ditakuti karena dalam aksi bersama para pengikutnya dengan keji membantai banyak orang di Madiun yang tidak mau mengikuti ideologinya. Namun dibalik ideologi atheist dan keganasannya tersebut, siapa sangkah ternyata Musso adalah keturunan pendiri Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Ia adalah anak dari KH Hasan Muhyi yang menikah dengan Nyai Juru.

Musso, dikenal memiliki sifat berangasan. Sebagai pemimpin PKI, ia amat ditakuti karena keganasannya

Fakta mengejutkan ini disampaikan oleh KH Mohammad Hamdan Ibiq (Gus Ibiq), pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri. Seperti pada umumnya anak seorang kiai dan berada di lingkungan pesantren sejak kecil, tentu saja semasa kecil Muso rajin nyantri. Gus Ibiq dengan terus terang mengatakan bahwa, Musso masih termasuk keluarganya. Penuturan ini berdasarkan cerita dari para leluhurnya (kakek buyutnya).

“Tidak disebutkan jelas di mana dia nyantri, tapi berdasarkan keterangan kakek buyut saya, Musso merupakan anak yang cerdas kala dia nyantri," kata Gus Ibiq.


Hingga sekarang, pihak keluarga meyakini bahwa apa yang dilakukan Musso dengan gerakannya itu lebih pada pilihan politik, bukan ideologis. "Saya kira dia paham agama, apa yang dia lakukan semata untuk melawan Belanda,” tambah Gus Ibiq.


Foto bersejarah dimana Musso (kiri) beroto dengan Bung Karno. Mereka bersahabat dekat karena ketika muda, bersama juga Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (Gembong DI/TII) tinggal di rumah tokoh pemimpin Serikat Islam H.O.S Cokroaminoto dan menjadi murid Cokroaminoto. Mereka bersahabat amat dekat, sampai akhirnya jalan mereka berpisah karena perbedaan ideologi

Makam pendiri pesantren, KH Hasan Muhyi dan Nyai Juru terletak di kompleks Pondok Pesantren Kapurejo yang berjarak 200 meter dari lokasi pesantren induk ke arah belakang. Makam KH Hasan Muhyi berjajar di antara makam keluarga lainnya, sedangkan makam Nyai Juru berada lebih atas dengan nisan batu layaknya nisan orang kuno.

Posisi makam yang berbeda ternyata disebabkan Nyai Juru lebih dahulu meninggal dibandingkan KH Hasan Muhyi. Sebab berdasarkan silsilah keluarga KH Hasan Muhyi menikah sebanyak tiga kali.

Dari makam kedua orangtua Musso, kemudian berjalan menuju Desa Jagung yang berjarak kurang lebih 4 km dari Ponpes Kapurejo dengan tujuan mencari rumah peninggalan orang tua Muso. Lagi-lagi menemukan sebuah fakta yang mengejutkan, rumah di ujung desa tersebut sudah lenyap dan terganti dengan rumah-rumah baru sejak 5 tahun lalu. Sebab digambarkan sebelumnya rumah orang tua Musso adalah rumah berbentuk rumah tradisional srotong atau doro gepak yang terbuat dari kayu jati.

Jenazah korban keganasan pemberontakan PKI Madiun dibawah pimpinan Musso

Di depan rumah Musso, ada pohon durian yang sangat besar, dan selalu berbuah lebat di setiap musim durian. Selain merupakan salah satu orang kaya dan terpandang, Nyai Juru selalu memberi perhatian kepada para tetangganya, salah satunya mengajak bermain ke rumahnya dan dijamu disana.

"Saya pernah main ke rumah itu saat saya masih kecil, namun saya tidak pernah bertemu Musso, sebab dia memang jarang pulang. Saya pun hanya mendapatkan cerita, Musso sesekali pulang menjenguk ibunya (Nyai Juru) yang sedang sakit. Di saat Musso pulang itu biasanya ada penggerebekan, namun dia selalu lolos, penggerebekan itu lebih karena karena ketokohannya," kata Nur Hasan (85) salah seorang warga di Desa Jagung.

Jenazah Musso. Ia tewas tertembak oleh Pasukan Siliwangi ketika bersembunyi di sebuah kamar mandi umum di sebuah desa ketika dalam pelariannya

Salah satu saksi lain yang masih hidup dan bisa dikorek keterangannya yakni Ustaz Nurudin (85) warga Dusun Santren Desa Jagung Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Menurutnya, KH Hasan Muhyi dulu juga sempat membuat pesantren di wilayah Dusun Santren, Desa Jagung, Kecamatan Pagu.

"Pesantrennya hanya berbentuk langgar angkringan (mushola bambu) tepatnya tahun berapa saya ndak paham, cuma bapak saya bilang tahun 1926 sudah ada. Saat membangun pesantren itu, KH Hasan Muhyi didampingi beberapa temanya sesama pelarian pasukan Diponegoro, yakni Ki Martojo, Ki Sanan Kemat, Mbah Awi, dan Mbah Mantari," kata Ustaz Nuruddin.

Dan pada tahun 1954, KH Hasan Muhyi memindah pesantrennya ke Kapurejo, Pagu, setelah sebelumnya mendapatkan wisik bahwa pesantren yang dibangunnya tersebut akan terkena lahar Gunung Kelud. Pemindahan akhirnya kejadian pada tahun 1964 atau tepat sepuluh tahun setelah mendapatkan petunjuk.

"Karena semua terlalap lahar dingin Gunung Kelud, akhirnya mushola itu dibangun permanen pada tahun yang sama dan pada perkembangannya sekitar tahun 1980 an mushola itu dibangun menjadi masjid hingga saat ini," kata Nurudin.

Pemimpin Serikat Islam, H.O.S Cokroaminoto (kiri) merupakan kakek buyut penyanyi Maia Estianty (kanan)

Satu hal lagi yang mengejutkan, Musso dan Ir. Soekarno (Bung Karno, Presiden RI pertama), dan juga Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (gembong pemberontakan DI/TII) merupakan sahabat dekat. Musso dan Kartosuwiryo merupakan senior Bung Karno kala tinggal menumpang dan berguru kepolitikan di rumah pemimpin Serikat Islam H.O.S Cokroaminoto di Surabaya, Jawa Timur. Satu fakta lain yang mengejutkan adalah H.O.S Cokroaminoto merupakan kakek buyut penyanyi Maia Estianty.

(Yahoo/Tempo/Metro-Tv/Memobee/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: