Pesan Rahbar

Home » » Terungkap: Apabila John F. Kennedy dan Soekarno Masih Hidup, Takkan Pernah Ada Freeport Di Papua

Terungkap: Apabila John F. Kennedy dan Soekarno Masih Hidup, Takkan Pernah Ada Freeport Di Papua

Written By Unknown on Thursday, 17 March 2016 | 01:37:00


Presiden Soekarno dan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy (JFK) dikenal bersahabat dekat. Hubungan mereka pun harmonis atas dasar persahabatan dan saling hormat-menghormati.

Peristiwa kematian Presiden John F. Kennedy karena ditembak di Dallas pada 22 November 1963 langsung mengubah peta politik dunia. Hingga kini kabut seputar kematian Kennedy masih belum bisa tersingkap.

Bung Karno disambut hangat oleh Presiden John F. Kennedy kala melakukan kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat. Bung Karno dan JFK merupakan sahabat dekat. JFK amat segan kepada Bung Karno.

Presiden Soekarno mengenang sahabatnya dalam buku biografinya yang ditulis Cindy Adams. "Kennedy berpikiran progresif. Ketika aku membicarakan masalah bantuan kami, dia mengerti. Dia setuju. Seandainya Presiden Kennedy masih hidup tentu kedua negara tak akan berseberangan sejauh ini,". Bung Karno mengatakan hal tersebut ketika suasana politik saat Cindy Adams mewawancarainya, sedang terjadi ketegangan antara Indonesia dengan Barat.

Banyak pihak menilai pembunuhan Kennedy penuh nuansa politis dan beraroma konspirasi besar seperti halnya peristiwa G30S. Lalu, apa hubungan Presiden Kennedy dengan penggalian emas PT Freeport?

Dalam artikel berjudul 'JFK, Indonesia, CIA, and Freeport' yang dimuat di majalah Probe tahun 1996, Lisa Pease membeberkan hubungan tersebut secara gamblang.

Freeport memang diketahui sudah lama mengincar Papua. Freeport Sulphur nyaris bangkrut pada tahun 1959 karena tambang mereka di Kuba dinasionalisasi oleh Fidel Castro. Disebutkan pula dalam artikel tersebut bahwa CEO Freeport Sulphur berkali-kali merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun selalu menemui kegagalan.

Di tengah kondisi perusahaan yang morat-marit pada Agustus 1959, CEO Freeport Sulphur Forbes Wilson menemui Bos East Borneo Company, Jan van Gruisen.

Gruisen bercerita dirinya menemukan laporan penelitian di Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jacques Dozy di tahun 1936. Disebutkan tembaga di gunung ini tak perlu susah-susah digali. Tinggal meraup saja karena tembaga berada di atas tanah.

Wilson tertarik dan mulai mengadakan survei ke Papua. Dia setengah gila kegirangan karena menemukan gunung itu tak hanya berisi tembaga tapi juga emas! Ya, dia menemukan gunung emas di Papua.

Pada tahun 1960, suasana politik di Indonesia tegang dan merembet ke Papua. Presiden Soekarno mengobarkan Komando Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk merebut Papua ke pangkuan ibu pertiwi dari tangan Belanda. Karuan saja hal ini membuat Freeport yang hendak menjalin kerjasama dengan Belanda lewat East Borneo Company belingsatan. Apabila Papua jatuh ke Indonesia, maka nasib mereka akan langsung "habis". Oleh karena itu, mereka jelas tak mau kehilangan gunung emas itu.

Wilson disebutkan berusaha melobi dan meminta bantuan kepada Presiden John F. Kennedy. Tapi sikap Kennedy malahan mendukung Soekarno, yang notabene adalah sahabat dekatnya. Presiden Kennedy mengirimkan adiknya Bob Kennedy untuk menekan pemerintah Belanda agar menyerahkan Papua ke Indonesia untuk menghindari kembali terjadinya perang. Presiden Kennedy juga mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya yang hancur akibat Perang Dunia II, terpaksa menurut.

Untungnya, nampaknya pihak Belanda pun tak tahu bahwa ada gunung emas di Papua sehingga mereka langsung saja menurutdimintar mundur dari Papua oleh AS.

Situasi tersebut langsung membuat potensi kontrak Freeport buyar. Terlebih lagi, Presiden Soekarno memang anti barat. Ia selalu menolak perusahaan asing menancapkan kaki mereka di Indonesia, apalagi di Papua. Perkecualian, adalah perusahaan minyak asing yang sudah lebih dulu beroperasi di Riau sejak zaman kolonial. Dari perusahaan minyak ini, Presiden Soekarno meminta jatah 60% untuk rakyat Indonesia.

Kekesalan Freeport makin bertambah saat mereka mengetahui Presiden Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar US$ 11 juta dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia.

Namun semuanya buyar dan berbalik menekan Soekarno saat Kennedy tewas ditembak doi Dallas. Kebijakan Presiden Amerika Serikat yang menggantikan JFK langsung bertolak belakang dengan kebijakan Kennedy. Hal tersebut membuat Indonesia makin jauh dari AS dan semakin dekat dengan Blok Timur (komunis).

Tragedi Ferakan 30 September 1965 (G30S) secara pelan namun pasti, menghancurkan Soekarno. Soekarno yang selalu vokal menolak modal asing, digantikan oleh Soeharto. Lantas apa yang terjadi?

Setelah dilantik menjadi Presiden, Soeharto segera meneken pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freepot menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.

Perut bumi digali amat dalam oleh Freeport, menyebabkan kerusakan lingkungan di Papua

Ironisnya, pemerintah Indonesia hanya dapat jatah 1% saja! Sungguh tak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan penderitaan yang dialami rakyat Papua. Kontras sekali dengan apa yang diperjuangkan Bung Karno. Dan hal tersebut, sekali lagi, memunculkan spekulasi adanya konspirasi besar untuk menggulingkan Soekarno lewat G30S. Ada kesepakatan bisnis yang berbasis balas jasa.

Seandainya saja, John F. Kennedy dan Soekarno masih ada, tak akan pernah ada Freeport di Papua.

(Tempo/Life/Berbagai-Sumber Lain/Memobee/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: