Pesan Rahbar

Home » » Anomali Hadis Manzilah, Ternyata Hadis Manzilah Diucapkan Nabi SAW Selain Pada Perang Tabuk

Anomali Hadis Manzilah, Ternyata Hadis Manzilah Diucapkan Nabi SAW Selain Pada Perang Tabuk

Written By Unknown on Sunday 24 April 2016 | 23:54:00


Anomali Hadis Manzilah

Hadis Manzilah adalah hadis yang diakui keshahihannya oleh kedua golongan umat islam Sunni dan Syiah. Tetapi sebagian orang mengatakan bahwa keutamaan Hadis Manzilah hanya terkhusus saat Perang Tabuk saja. Penafsiran seperti ini termasuk ke dalam usaha menurunkan derajat keutamaan Imam Ali. Mereka seolah ingin mengatakan bahwa hadis Manzilah hanya mengisyaratkan kepemimpinan Imam Ali di Madinah saat Perang Tabuk dan tidak lebih. Anehnya Mereka juga berkata bahwa kepemimpinan seperti ini juga dimiliki oleh sahabat yang lain. Lihatlah baik-baik kearah mana semua perkataan mereka.
Jika mereka mengkhususkan Hadis Manzilah sebagai isyarat kepemimpinan Madinah saat Perang Tabuk saja

Jika mereka juga mengatakan kepemimpinan seperti itu pernah diberikan pada banyak sahabat lain

Maka kesimpulannya mereka ingin mengatakan keutamaan Imam Ali dalam Hadis Manzilah tidak melebihi sahabat yang lain. Sama seperti sahabat lainnya keutamaan tersebut hanya sebatas kepemimpinan Madinah sementara yaitu saat Perang Tabuk.

Dalam kitab Shahih Muslim Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi 4/1870 no 2404 diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqas:

أمر معاوية بن أبي سفيان سعدا فقال ما منعك أن تسب أبا التراب ؟ فقال أما ذكرت ثلاثا قالهن له رسول الله صلى الله عليه و سلم فلن أسبه لأن تكون لي واحدة منهن أحب إلي من حمر النعم سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول له خلفه في بعض مغازيه فقال له علي يا رسول الله خلفتني مع النساء والصبيان ؟ فقال له رسول الله صلى الله عليه و سلم أما ترضى أن تكون مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبوة بعدي

Muawiyah bin Abi Sufyan memerintah Sa’ad, lalu berkata “Apa yang menghalangimu untuk mencaci Abu Turab”?. Sa’ad berkata “Selama aku masih mengingat tiga hal yang dikatakan oleh Rasulullah SAW aku tidak akan mencacinya yang jika aku memiliki salah satu saja darinya maka itu lebih aku sukai dari unta-unta merah. Rasulullah SAW telah menunjuknya sebagai Pengganti Beliau dalam salah satu perang, kemudian Ali berkata kepada Beliau “Wahai Rasulullah SAW engkau telah meninggalkanku bersama perempuan dan anak-anak?” Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya Tidakkah kamu ridha bahwa kedudukanMu disisiku sama seperti kedudukan Harun disisi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku.

Perhatikanlah, jika keutamaan hadis Manzilah hanya sebatas Perang Tabuk saja atau hanya sebatas kepemimpinan dalam pengurusan anak dan wanita maka mengapa Sa’ad bin Abi Waqqas RA begitu memuliakan dan malah seandainya Ia mendapatkan hal itu jauh ia lebih sukai dari semua kekayaan dunia. Tentu saja Sa’ad RA mengetahui bahwa keutamaan tersebut bukan terletak pada kepemimpinan saat Perang Tabuk tetapi pada kata-kata “KedudukanMu disisiku sama seperti kedudukan Harun disisi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku”. Karena kepemimpinan saat perang Tabuk hanyalah satu bagian dari kata-kata umum tersebut. Seolah-olah Rasul SAW ingin mengatakan kepada Imam Ali bahwa kedudukan Imam Ali sebenarnya tidak hanya memimpin wanita dan anak-anak, tapi kedudukan Imam Ali di sisi Nabi jauh lebih besar yaitu seperti kedudukan Harun di Sisi Musa. Justru keliru sekali jika ada yang mengatakan bahwa perkataan Nabi tersebut hanya merujuk pada kepemimpinan Imam Ali terhadap wanita dan anak-anak di Madinah saat perang Tabuk saja. Rasulullah SAW justru menegaskan bahwa kedudukan sebenarnya Imam Ali jauh lebih besar dari itu. Bagaimana sebenarnya kedudukan Harun di sisi Musa

Allah swt berfirman dalam Al Quranul Karim:

وَاجْعَلْ لِي وَزِيراً مِنْ أَهْلِي هَارُونَ أَخِي، وَاشْدُدْ بِهِ أَزْرِي، وَاَشْرِكْهُ فِي اَمْـرِي

(Musa berkata) “Jadikan untukku Wazir (pembantu) dari keluargaku, yaitu Harun, saudaraku, teguhkan dengan dia kekuatanku, dan jadikan dia sekutu dalam urusanku.” (QS Thaha: 29-31).

وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَا مَعَهُ أَخَاهُ هَارُونَ وَزِير

“Sesungguhnya Kami telah memberikan Taurat kepada Musa, dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya menyertai dia sebagai wazir (pembantu).” (QS Al-Furqan: 35).

وَقَالَ مُوسَى لاَِخِيه هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِين

Musa berkata kepada saudaranya yaitu Harun “Gantikanlah Aku dalam memimpin kaumku, dan perbaikilah, dan jangan kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS Al A’raf: 142)

Jadi kedudukan Nabi Harun AS seperti yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah:
1. Harun seorang Nabi AS
2. Harun wazir bagi Musa
3. Harun keluarga Musa
4. Harun saudara Musa
5. Harun orang yang meneguhkan kekuatan Musa
6. Harun sekutu Musa dalam urusannya
7. Harun adalah pengganti atau Khalifah bagi Umat Nabi Musa AS jika Musa AS pergi atau tidak ada.

Semua keutamaan ini dimiliki oleh Imam Ali AS kecuali Kenabian karena Rasulullah SAW telah mengecualikan hal itu. Jadi kedudukan Imam Ali di sisi Rasul SAW adalah:
1. Imam Ali Wazir bagi Nabi SAW
2. Imam Ali Keluarga Nabi SAW
3. Imam Ali Saudara Nabi SAW
4. Imam Ali orang yang meneguhkan kekuatan Nabi SAW
5. Imam Ali sekutu Nabi SAW dalam urusan Beliau
6. Imam Ali adalah Pengganti atau Khalifah bagi Umat Nabi SAW jika Nabi SAW pergi atau tidak ada.

Sudah jelas Hadis Manzilah menunjukkan keutamaan Imam Ali yang sangat besar dan orang yang menolak atau mengurangi keutamaan tersebut termasuk orang yang memiliki sesuatu di hatinya dan bagi saya orang tersebut tidak bernilai apa-apa. Ketika Rasulullah SAW telah mengangkat kedudukan Imam Ali begitu tinggi seperti kedudukan Harun di sisi Musa lantas dengan berani orang-orang tersebut menurunkannya kembali yaitu hanya sebagai kepemimpinan terhadap wanita dan anak-anak di Madinah saat perang Tabuk saja. Mereka seolah ingin mengatakan bahwa perkataan kedudukanMu disisiku sama seperti kedudukan Harun disisi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku adalah hiburan semata untuk menenangkan Imam Ali dan perkataan tersebut tidak memiliki arti keutamaan kecuali hanya sebagai kepemimpinan terhadap wanita dan anak-anak di Madinah saat perang Tabuk saja.


Sebelum mengakhiri tulisan ini kita akan melihat bagaimana sikap Ahmad bin Hanbal terhadap hadis Manzilah. Dalam kitab As Sunnah karya Ahmad bin Muhammad bin Harun bin Yazid Al Khalal Abu Bakar tahqiq Atiyah Az Zahrani 2/347 no 460, Al Khalal meriwayatkan :

أخبرنا أبو بكرالمروذي قال سألت أبا عبدالله عن قول النبي صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى أيش تفسيرة قال أسكت عن هذا لا تسأل عن ذا الخبر كما جاء

Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Al Marwadzi yang berkata “aku bertanya pada Abu Abdullah (Ahmad bin Hanbal) mengenai bagaimana tafsir perkataan Nabi SAW kepada Ali “KedudukanMu di sisi Ku sama seperti Kedudukan Harun di sisi Musa”. Ia berkata “Diamlah terhadap hal ini dan janganlah bertanya tentang riwayat ini, biarkan begitu”.

Disebutkan oleh pentahqiq

إسناده صحيح

Sanadnya Shahih.

Aneh sekali bukan, sekiranya penjelasan Hadis Manzilah seperti perkataan mereka hanya sebatas perang Tabuk saja dan hanya terkait kepemimpinan terhadap wanita dan anak-anak maka tidak ada alasan untuk sikap Ahmad bin Hanbal tersebut yang bisa dibilang menyimpan sesuatu.
______________________________________________

Ternyata Hadis Manzilah Diucapkan Nabi SAW Selain Pada Perang Tabuk

Pembahasan kali ini bertujuan membantah klaim naïf salafy nashibi yang menyatakan bahwa hadis manzilah hanya terkait dengan kedudukan Ali saat perang Tabuk saja. Mereka menyebarkan syubhat kalau kata-kata “kamu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Nubuwah” hanya menjelaskan bahwa Imam Ali adalah pemimpin bagi wanita dan anak-anak di Madinah ketika Nabi SAW bersama kaum muslimin keluar pada perang Tabuk.

Kami tidak menolak bahwa hadis ini diucapkan ketika perang Tabuk tetapi kami menolak pernyataan ngawur salafy nashibi kalau hadis ini terkhusus saat perang tabuk saja. Seolah-olah salafy itu ingin mengatakan kalau “kedudukan Ali di sisi Nabi seperti kedudukan Harun di sisi Musa” hanyalah analogi semata “Ali menjadi pemimpin bagi wanita dan anak-anak di Madinah”. Justru yang sebenarnya adalah perkataan “kedudukan Ali di sisi Nabi seperti kedudukan Harun di sisi Musa” bersifat umum menunjukkan bagaimana kedudukan sebenarnya Ali bin Abi Thalib di sisi Nabi SAW sehingga semua kedudukan Harun di sisi Musa dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib di sisi Nabi [kecuali Nubuwwah]. Jadi Nabi SAW telah menjelaskan kalau Nubuwwah atau kenabian dikecualikan dari kedudukan umum yang dimaksud.

Perkataan ini diucapkan pada saat Perang Tabuk karena memang ada kondisi yang sesuai yaitu Nabi SAW menugaskan Imam Ali sebagai pengganti Beliau di Madinah dan celaan kaum munafik. Kedudukan Ali di sisi Nabi SAW yang seperti kedudukan Harun di sisi Musa adalah kedudukan yang tidak terikat dengan waktu khusus saat perang tabuk. Bahkan setelah perang tabuk pun para sahabat mengenal perkataan itu sebagai keutamaan yang tinggi bagi Ali di sisi Nabi SAW. Jadi ini sangat tepat dengan istilah “kekhususan sebab tidak menafikan keumuman lafal”. Lafal hadis tersebut bersifat umum dan sebab yang dimaksud adalah bagian dari keumuman lafal hadisnya.

Jika perkataan itu hanya sebagai hiburan atau hanya sebagai analogi kepemimpinan Imam Ali di Madinah maka beberapa sahabat Nabi yang lain pun juga pernah memimpin Madinah ketika Nabi dan kaum muslimin keluar untuk perang. Tetapi para sahabat Nabi tidak menganggap kepemimpinan mereka ini sebagai keutamaan yang tinggi. Jadi keutamaan itu bukan terletak pada tugas Imam Ali memimpin wanita dan anak-anak tetapi terletak pada perkataan bahwa kedudukan Beliau Imam Ali di sisi Nabi SAW sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Kenabian [Nubuwwah]

Kapan tepatnya perkataan ini diucapkan. Telah disebutkan dalam kitab Tarikh kalau perkataan ini diucapkan Nabi SAW ketika Beliau SAW bersama kaum muslimin telah berangkat keluar dari Madinah.

خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب على أهله، وأمره بالإقامة فيهم، فارجف به المنافقون وقالوا ما خلفه إلا استثقالاً له وتخففاً منه. فلما قال ذلك المنافقون، أخذ علي سلاحه ثم خرج حتى أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو نازل بالجرف، فقال يا رسول الله، زعم المنافقون أنك إنما خلفتني تستثقلني وتخفف مني. قالكذبوا، ولكن خلفتك لما تركت ورائي، فارجع فاخلفني في أهلي وأهلك، ألا ترضى أن تكون مني بمنزلة هارون من موسى، إلا أنه لا نبي بعدي. فرجع إلى المدينة.

Rasulullah SAW menugaskan kepada Ali untuk menjaga keluarganya dan mengurus keperluan mereka. Kemudian kaum munafik menyebarkan berita buruk, mereka berkata “Tidaklah Beliau [Nabi SAW] menugaskannya [Ali] untuk tinggal kecuali karena ia merasa berat untuk berjihad sehingga diberi keringanan”. Ketika orang-orang munafik berkata begitu maka Ali mengambil senjatanya dan keluar menyusul Rasulullah SAW ketika Beliau berada di Jarf. Kemudian Ali berkata “wahai Rasulullah kaum munafik menganggap Engkau menugaskanku karena Engkau memandangku berat untuk berjihad sehingga memberikan keringanan kepadaku”. Beliau SAW bersabda “mereka berdusta, kembalilah Aku menugaskanmu dan meninggalkanmu agar Engkau mengurus keluargaku dan keluargamu, Tidakkah engkau rela bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahKu”. Maka Alipun akhirnya kembali ke Madinah [Tarikh Al Islam Adz Dzahabi 2/631]

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى تَبُوكَ وَاسْتَخْلَفَ عَلِيًّا فَقَالَ أَتُخَلِّفُنِي فِي الصِّبْيَانِ وَالنِّسَاءِ قَالَ أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ نَبِيٌّ بَعْدِي

Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu’bah dari Al Hakam dari Mush’ab bin Sa’d dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW berangkat keluar menuju Tabuk dan menugaskan Ali. Kemudian Ali berkata “Engkau menugaskanku untuk menjaga anak-anak dan wanita”. Nabi SAW berkata “Tidakkah engkau rela bahwa engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahku” [Shahih Bukhari 3/6 no 4416]

Hadis Bukhari di atas mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW telah berangkat terlebih dahulu menuju perang tabuk baru kemudian Ali menghadap Nabi SAW kembali. Hal ini disebutkan pula dalam Musnad Ahmad dimana Syaikh Syu’aib berkata “shahih dengan syarat Bukhari”

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو سعيد مولى بنى هاشم ثنا سليمان بن بلال ثنا الجعيد بن عبد الرحمن عن عائشة بنت سعد عن أبيها ان عليا رضي الله عنه خرج مع النبي صلى الله عليه و سلم حتى جاء ثنية الوداع وعلى رضي الله عنه يبكى يقول تخلفني مع الخوالف فقال أو ما ترضى أن تكون منى بمنزلة هارون من موسى الا النبوة

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id mawla bani hasyim yang berkata menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal yang menceritakan kepada kami Al Ju’aid bin Abdurrahman dari Aisyah binti Sa’ad dari ayahnya bahwa Ali pergi bersama Nabi SAW hingga tiba di balik bukit. Saat itu Ali menangis dan berkata “Tidakkah engkau rela bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Kenabian” [Musnad Ahmad 1/170 no 1463].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا حماد يعنى بن سلمة أنبأنا على بن زيد عن سعيد بن المسيب قال قلت لسعد بن مالك انى أريد ان أسألك عن حديث وأنا أهابك ان أسألك عنه فقال لا تفعل يا بن أخي إذا علمت أن عندي علما فسلني عنه ولا تهبني قال فقلت قول رسول الله صلى الله عليه و سلم لعلي رضي الله عنه حين خلفه بالمدينة في غزوة تبوك فقال سعد رضي الله عنه خلف النبي صلى الله عليه و سلم عليا رضي الله عنه بالمدينة في غزوة تبوك فقال يا رسول الله أتخلفني في الخالفة في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون منى بمنزلة هارون من موسى قال بلى يا رسول الله قال فأدبر علي مسرعا كأني أنظر إلى غبار قدميه يسطع وقد قال حماد فرجع على مسرعا

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata menceritakan kepadaku Ayahku menceritakan kepada kami Affan menceritakan kepada kami Hammad yakini bin Salamah memberitakan kepada kami Ali bin Zaid dari Sa’id bin Musayyab yang berkata “aku berkata kepada Sa’ad bin Malik “sesungguhnya aku ingin bertanya kepada kamu sebuah hadis namun aku segan untuk menanyakannya”. Sa’ad berkata “jangan begitu wahai putra saudaraku. Jika kamu mengetahui bahwa pada diriku ada suatu ilmu maka tanyakanlah dan jangan merasa segan”. Aku berkata “tentang sabda Rasulullah SAW kepada Ali saat Beliau meninggalkannya di Madinah dalam perang tabuk. Sa’ad berkata “Nabi SAW meninggalkan Ali di Madinah dalam perang tabuk, kemudian Ali berkata “wahai Rasulullah apakah engkau meninggalkan aku bersama wanita dan anak-anak?”. Beliau menjawab “Tidakkah engkau rela bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Ali menjawab “baiklah wahai Rasulullah”. Ali pun segera kembali seolah aku melihat debu yang berterbangan dari kedua kakinya. Hammad berkata “Ali pun segera kembali” [Musnad Ahmad 1/173 no 1490 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib]

Jika kita menarik kesimpulan dari riwayat-riwayat di atas maka Nabi SAW keluar pergi menuju Tabuk dan menugaskan Imam Ali memimpin Madinah. Lantas kaum munafik membuat fitnah sehingga Imam Ali kembali menghadap Nabi SAW yang ketika itu ada di Jarf, ketika itu baik Imam Ali dan Nabi SAW sedang berjalan hingga sampai di balik bukit dan menyebutkan hadis ini yang disaksikan oleh para sahabat yang ikut dalam perang Tabuk. Dan setelah mendengar hadis tersebut Imam Ali kembali ke Madinah.

Jadi perkataan ini diucapkan setelah Nabi SAW keluar dari Madinah dalam arti kata setelah Nabi SAW menugaskan Ali sebagai pemimpin di Madinah. Nabi SAW mengucapkan ini untuk menenangkan hati Imam Ali sekaligus memberikan penjelasan bagi mereka [para sahabat yang bersama Nabi SAW] bahwa kedudukan Ali di sisi Nabi SAW itu begitu tinggi seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Kenabian. Para sahabat yang berada di Jarf mendengar langsung bahwa Nabi SAW berkata begitu diantaranya Jabir RA, Abu Said Al Khudri RA dan Saad bin Abi Waqash RA yang meriwayatkan hadis ini. Kemudian mari perhatikan hadis berikut:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الله بن نمير قال ثنا موسى الجهني قال حدثتني فاطمة بنت علي قالت حدثتني أسماء بنت عميس قالت سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يا علي أنت مني بمنزلة هارون من موسى الا انه ليس بعدي نبي

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Musa Al Juhani yang berkata telah menceritakan kepadaku Fathimah binti Ali yang berkata telah menceritakan kepadaku Asma’ binti Umais yang berkata aku mendengar Rasulullah SAW berkata “wahai Ali engkau di sisiKu seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahku” [Musnad Ahmad 6/438 no 27507].

Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan kalau hadis ini shahih dan memang demikianlah keadaannya. Perhatikan baik-baik Asma’ binti Umais mengaku mendengar langsung Rasulullah SAW berkata kepada Ali RA dan pendengaran ini bukan saat perang tabuk. Asma’ binti Umais jelas termasuk wanita yang tinggal di Madinah atau tidak ikut berperang saat perang tabuk. Padahal telah disebutkan bahwa Nabi SAW mengucapkan hadis ini setelah Beliau SAW keluar menuju perang tabuk [Adz Dzahabi menyebutkan ketika Nabi SAW berada di Jarf] dan ketika itu Asma’ binti Umais berada di Madinah. Sehingga lafaz pendengaran langsung Asma’ binti Umais menunjukkan bahwa Nabi SAW mengucapkan hadis ini bukan pada saat perang Tabuk tetapi situasi lain dimana Asma’ binti Umais menyaksikan Nabi SAW mengucapkannya. Hadis Asma’ binti Umais menjadi bukti kalau Rasulullah SAW mengucapkan hadis Manzilah juga pada saat lain selain perang tabuk. Tentu saja hadis Asma’ binti Umais ini meruntuhkan klaim ngawur salafy nashibi sekaligus menunjukkan bahwa berbagai tafsiran basa-basi ala salafy itu hanya dibuat-buat untuk mengurangi keutamaan Imam Ali. Begitulah mereka salafy nashibi jika tidak bisa menolak hadisnya maka setidaknya tebarkan syubhat atau kurangi keutamaannya.

Mari kita perhatikan kembali matan hadis “engkau disisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali Nubuwwah”. Bukankah kedudukan Harun di sisi Musa salah satunya adalah Harun sebagai orang yang terbaik atau paling utama setelah Musa di antara umat Musa AS. Siapa diantara salafy nashibi yang mau mengingkari atau mencari-cari umat Musa yang lebih utama dari Nabi Harun?. Nah maka begitupula jadinya kedudukan Imam Ali di sisi Nabi yaitu Beliau AS adalah orang yang terbaik dan paling utama setelah Nabi SAW. Kedudukan Imam Ali AS dalam hadis ini menunjukkan keutamaan yang tinggi melebihi semua sahabat lain termasuk Abu Bakar dan Umar. Hal ini menunjukkan bahwa keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar memang telah diriwayatkan dalam berbagai hadis shahih. Hadis-hadis yang sering diingkari oleh salafy nashibi baik sanad maupun matannya.

Syubhat paling populer di sisi salafy nashibi adalah syubhat mereka untuk membantah syiah bahwa hadis ini tidak menunjukkan Imam Ali sebagai khalifah setelah Nabi SAW wafat karena Nabi Harun AS tidak menjadi khalifah setelah Nabi Musa AS wafat. Nabi Harun AS hanya menjadi pengganti Nabi Musa AS ketika Nabi Musa AS mengahadap Allah SWT ke bukit ThurSina.

Hadis di atas memang tidak jelas menunjukkan bahwa Imam Ali adalah khalifah pengganti Nabi SAW setelah wafat [walaupun ada hadis manzilah yang shahih yang menyebutkan lafaz ini] tetapi hadis ini menunjukkan bahwa semulia-mulia manusia setelah Nabi SAW dan yang paling berhak memegang urusan kekhalifahan jika Nabi SAW pergi atau tidak ada adalah Imam Ali. Karena begitulah kedudukan Harun di sisi Musa, Harun akan menjadi pengganti Musa apabila Musa pergi atau tidak ada. Mengapa Harun AS tidak menjadi pengganti Musa ketika Musa AS wafat? Lha jelas sekali karena Harun AS wafat terlebih dahulu daripada Musa, seandainya Harun masih hidup ketika Musa AS wafat maka tidak diragukan kalau Beliaulah yang akan menggantikan Musa AS. Berbeda halnya dengan Imam Ali, beliau jelas masih hidup ketika Rasulullah SAW wafat sehingga dalam hal ini yang berhak menjadi pengganti Beliau SAW adalah Imam Ali.

Salafy nashibi mengatakan bahwa Imam Ali menjadi pemimpin di Madinah sama seperti Harun menjadi pemimpin bagi umat Musa ketika Nabi Musa AS pergi dan hanya inilah makna hadis manzilah menurut salafy nashibi yaitu khalifah semasa hidup bukannya setelah wafat. Sebenarnya salafy nashibi itu tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami sebuah analogi.

Yang mereka sebutkan hanyalah salah satu contoh saja dari keumuman lafal. Tugas Imam Ali menggantikan Nabi SAW di Madinah tentu saja adalah bagian dari keumuman lafal hadis manzilah dan penyerupaan itu sebenarnya adalah dari segi kedudukan Beliau Imam Ali yang dipercaya oleh Nabi SAW sama seperti kedudukan Harun yang dipercaya oleh Musa AS. Atau dari segi kedudukan khusus Imam Ali yang jika Nabi SAW tidak ada maka Ali penggantinya sama seperti kedudukan Harun yang jika Musa AS tidak ada maka Harun penggantinya.

Silakan perhatikan hadis Shahih Bukhari di atas. Imam Ali bertanya kepada Nabi “Engkau menugaskanku untuk menjaga anak-anak dan wanita” maka Nabi SAW berkata “Tidakkah engkau rela bahwa engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahku”. Apakah itu maksudnya Imam Ali memimpin anak-anak dan wanita sama seperti Harun?. Jelas tidak karena Harun memimpin semua umat Musa tidak hanya wanita dan anak-anak, jadi Nabi SAW tidak sedang menyamakan kepemimpinan Imam Ali dengan kepemimpinan Harun tetapi sedang menunjukkan bahwa kedudukan Imam Ali itu di sisi Nabi sehingga ia mendapatkan tugas memimpin Madinah sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa sehingga Harun mendapatkan tugas menggantikan Musa . Jadi sekali lagi penyerupaan itu terletak pada kedudukan orang yang satu di sisi orang yang lain dan kedudukan ini tidak mencakup kepemimpinan semata tetapi juga mencakup sebagai saudara satu sama lain, wazir, orang paling mulia setelah yang satunya dan lain-lain kecuali Kenabian [karena Nabi SAW telah mengecualikannya].

Nah kami perjelas kembali, kepemimpinan Imam Ali di Madinah merupakan bagian dari kedudukan dalam hadis Manzilah tersebut. Apalagi kepemimpinan Imam Ali di Madinah itu tidak persis sama dengan kepemimpinan Harun. Imam Ali di Madinah adalah pemimpin bagi wanita dan anak-anak sedangkan Harun ketika itu memimpin semua umat Musa baik laki-laki wanita maupun anak-anak. Jadi penyerupaan itu adalah dari segi sifat kedudukannya bahwa orang yang satu menjadi pengganti jika orang yang satunya tidak ada. Sifat kedudukan inilah yang tidak terikat dengan waktu atau tidak hanya terbatas saat perang tabuk saja. Tidak ada dalam lafal hadis tersebut Nabi SAW mengatakan bahwa kedudukan Harun di sisi Musa yang dimaksud hanyalah kedudukan Harun saat Musa AS pergi ke Thursina saja. Justru pernyataan Nabi SAW itu bersifat umum tidak terikat waktu sehingga Beliau SAW membuat pengecualian yaitu “kecuali Nubuwwah [kenabian]” dan dapat dimengerti kalau Nabi SAW juga mengucapkan hadis ini pada peristiwa lain selain perang tabuk karena memang keutamaan hadis manzilah tidak terbatas pada saat perang tabuk saja. Silakan perhatikan jika kita analisis dengan baik maka hujjah salafy nashibi itu benar-benar ngawur dari segala sisinya dan kita harus bersyukur tidak menjadi bagian dari kelompok yang ngawur seperti mereka.
________________________________________

Hadis Manzilah

Hadis Manzilah adalah salah satu hadis nabawi yang populer dan diterima oleh semua kalangan, baik kalangan Suni maupun Syiah.

Hadis ini mengenalkan posisi dan kedudukan Imam Ali As dan nisbahnya terhadap Nabi Besar Islam Saw serta keunggulan posisinya atas para sahabat nabi yang lain. Menurut para cendekiawan Syiah, hadis ini mutawatir dan termasuk dalil kebenaran Imam Ali As untuk menjadi pengganti Nabi besar Islam Saw. Hadis ini berkali-kali disampaikan Rasulullah Saw pada berbagai kesempatan, terutama dalam perang Tabuk. Salah satu riwayat yang paling populer mengenai hadis ini adalah bahwa Nabi Muhammad Saw berbicara tentang Ali As dan bersabda:

"‌أنتَ مِنّی بِمَنزلةِ هارونَ مِنْ مُوسی، اِلّاأنـّه لانَبی بَعدی‌"

“Kedudukanmu atasku adalah sebagaimana kedudukan Harun atas Musa. Hanya saja tidak ada kenabian setelahku.”


Penjelasan-penjelasan Hadis Manzilah

Hadist ini dikutip dari Nabi Saw dengan redaksi yang berbeda-beda dan dalam waktu serta tempat yang berbeda. Diantaranya, pada hari perjanjian persaudaraan pertama (sebelum hijrah ke Madinah), di hari perjanjian persaudaraan kedua (lima bulan setelah hijrah ke Madinah), di rumah Ummu Salamah, ketika penentuan wali untuk anak perempuan Hamzah, pada peristiwa penutupan pintu rumah-rumah para sahabat yang bersebelahan dengan masjid nabi, [1] dan yang paling terkenal adalah pada perang Tabuk. [2]

Kutipan-kutipan yang beragam dari hadis manzilah seluruhnya memiliki kandungan yang sama bahwa posisi dan kedudukan Imam Ali As terhadap Nabi Saw sebagaimana kedudukan Harun terhadap Musa. Terdapat sedikit perbedaan redaksi-redaksi hadis ini yang muncul pada pengulangannya di acara-acara yang berbeda.
Sumber Hadis Antara Syiah dan Ahlus Sunnah

Hadis manzilah telah dilaporkan melalui sumber-sumber sejarah, riwayat dan ungkapan yang berbeda-beda, [3] bahkan sebagian ulama Syiah telah menulis beberapa kitab yang membahasnya secara tersendiri. Di antaranya, Mir Hamid Husain (wafat 1306 H) mengulas secara khusus hadis ini dalam satu jilid dari kumpulan kitab Abaqāt al-Anwār. Hakim Haskani [4] dari gurunya, Abu Hazim Hafidh Abduwi, mengutip bahwa hadis manzilah telah diriwayatkan sampai lima ribu sanad. Menurut kutipan lainnya, 88 orang dari para perawi yang terkenal telah mengutip hadis tersebut. [5] Orang-orang seperti Ibnu Taimiyah [6], Abdul Haq Dehlavi, Ganji Syafi’i, Abul Qasim Ali bin Muhsen Tanukhi dan Suyuthi juga membuktikan kebenaran dan kemasyhuran hadis tersebut. [7] Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Bukhāri[8]dan Shahih Muslim,[9] dan dinukil dalam kitab-kitab hadis Ahlu Sunnah lainnya. [10]

 
Kebenaran Hadis di Kalangan Ahlu Sunnah

Ibnu Abi al-Hadid [11] meyakini bahwa semua mazhab Islam mengaku sepakat dengan hadis tersebut. Ibnu Abu al-Bar [12] menyatakan bahwa hadis tersebut termasuk yag paling benar dan paling kokoh riwayat hadisnya. Pada sebagian sumber, silsilah hadis ini disebutkan secara terperinci. [13] Hakim Naisyaburi [14] meyakini bahwa silsilah sanad hadis tersebut sahih. Hafizd Dzahabi dalam Talkhis al-Mustadrak [15] menegaskan kesahihannya. Bahkan para penentang dan musuh Imam Ali As juga tidak mampu menolak hadis tersebut dan terpaksa menerimanya, dan terkadang mereka mengutipnya tanpa sadar. Menurut Khatib al-Baghdadi, [16] Walid bin Abdulmalik dari Bani Umayah juga menerima keaslian hadis tersebut, dan mengganti kata Harun menjadi Qarun. Makmun dari Bani Abbasiyah juga bersandar kepada hadis tersebut ketika berhujjah dengan para ulama fikih. [17] Menurut Khatib al-Baghdadi, [18] Umar telah mencap seseorang yang mencela Ali As sebagai munafik, dengan bersandar pada hadis Manzilah,. Muawiyah juga tidak mengingkari hadis Manzilah. Muawiyah ketika bertanya kepada Sa’ad bin Abi Waqqas (salah seorang yang memusuhi Ali As), “Mengapa engkau tidak mencela Ali As?” Sa’ad menjawab, “Karena tiga keutamaan yang telah disebutkan untuk Ali As.” Ketika itulah Sa’ad menukil hadis Manzilah dan akhirnya Muawiyah mengurungkan niatnya dan tidak memaksa Sa’ad untuk mencela Ali As. [19]

Zaid bin Arqam juga termasuk salah satu sahabat yang menukil hadis ini. Dalam periwayatannya ia juga menambahkan bahwa ketika Rasulullah memerintahkan Ali As untuk mengantikan posisinya di Madinah, sekelompok orang mengira Rasulullah Saw marah terhadap Ali As. Ketika Ali As mendengar berita ini, ia pun menyampaikannya kepada Nabi Saw. Dalam jawabannya, Rasulullah Saw menjelaskan hadis Manzilah ini. [20]

Hakim Naisyaburi meyakini bahwa sanad hadis ini sahih dan ia mengutip dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw menyampaikan hadis ini pada perang Tabuk. Ibnu Abbas juga meriwayatkan bahwa Rasul yang mulia melanjutkan sabdanya kepada Ali As, “Tidak selayaknya aku pergi kecuali engkau menjadi penggantiku.” Juga bersabda, “Setelahku engkau menjadi pelindung setiap wanita dan laki-laki mukmin.” [21]
Berdalil Dengan Hadis

Selain menunjukkan keutamaan Imam Ali As, hadis Manzilah juga menunjukkan khilafah dan kemaksumannya, karena Nabi Saw telah membuktikan dan menetapkan semua keutamaan, keistimewaan dan kedudukan Harun untuk Ali As, kecuali derajat kenabian. Menurut Al-Quran, Nabi Musa As memohon kepada Allah Swt supaya saudaranya dijadikan penggantinya dan mitra yang dapat membantu misi risalahnya. [22] Allah mengabulkan permohonannya [23] dan Harun menjadi pengganti ketika Nabi Musa tidak ada. [24] Dengan demikian, seluruh kedudukan Nabi Musa juga dimiliki saudaranya saat itu. Seandainya Nabi Harun As masih hidup setelah Nabi Musa As wafat, maka ia pasti akan menjadi penggantinya—menurut kaum Yahudi, bahwa Nabi Harun As wafat 40 tahun sebelum Nabi Musa As wafat. Nabi Harun As banyak memiliki posisi dan kedudukan di sisi Nabi Musa As. Dari sini kita dapat mengetahui keagungan posisi Imam Ali As dan kelayakannya mengemban dan memikul khilafah setelah Rasulullah Saw.

Dengan bersandar pada peristiwa Harun As dan Musa As di dalam Al-Quran yang menyebutkan Harun adalah pendamping dan mitra Musa As di setiap pekerjaannya, maka Ali As juga adalah pasangan Rasulullah Saw dalam perkara khilafah dan wilayah kepemimpinan, kecualai perkara kenabian. [25] Harun As di tengah-tengah Bani Israil adalah orang kedua setelah Musa As, demikian juga Ali As di tengah-tengah ummat Nabi Saw. Harun As adalah saudara Musa As dan Ali As juga saudara Rasulullah Saw, berdasarkan dalil yang jelas dan mutawatir, yang dikutip dalam kitab-kitab Syiah dan Ahlu Sunnah. Harun As adalah orang yang paling unggul di tengah-tengah kaum Musa As di sisi Allah dan Nabinya, Ali juga demikian. [26]

Harun sebagai khalifah ketika Nabi Musa As tidak ada, Ali As pun demikian, khususnya dengan pernyataan Rasulullah Saw yang bersabda:

"”لاینبغی أن أذهب اِلّا و أنت خَلیفَتی‌ “" 

“Tidak pantas bagiku untuk pergi kecuali engkau dalam keadaan telah menjadi khalifahku.”

Harun As adalah orang yang paling cerdas di antara kaum Nabi Musa As. Ali As pun orang paling berilmu setelah Rasulullah Saw, sesuai dengan pernyataan Rasulullah Saw. [27] Bagi Yusya’ (Yuasya) bin Nun (seorang washi Nabi Musa As) dan ummat Musa As, taat kepada Harun As ketika itu adalah sebuah kewajiban. Taat kepada Ali As juga sebuah kewajiban, dengan anggapan sebagai wasiat Abu Bakr, Umar, Utsman atau siapa saja. [28] Harun As adalah orang yang paling dicintai oleh Allah dan Musa As, Ali juga demikian. Allah Swt telah membentengi dan memperkuat Nabi Musa As dengan saudaranya, Harun As, dan Allah Saw memperkuat Rasulullah Saw dengan Ali As. Harun As terjaga dari kesalahan dan kealfaan, Ali As pun demikian. [29]

 
Kritik dan Keraguan Pertama

Sebagian dari cendekiawan Ahlu Sunnah meragukan keabsahan sanad hadis ini dan sebagian lagi menganggapnya tidak mutawatir (hadis Āhad). [30] Ulama Syiah dalam menjawabnya berkata: Tidak diragukan lagi bahwa hadis ini sanadnya sahih, mustafidh, bahkan mutawatir dan menurut para ahli hadis, hadis ini termasuk riwayat paling benar dan paling tepat. Bahkan Dzahabi yang termasuk ulama terkemuka Ahlu Sunnah memberikan kesaksian atas kebenaran hadis tersebut dalam kitabnya, Takhlish Mustadrak [31]

Jika hadis ini tidak sahih, maka tidak akan dinukil dan dicantumkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Selain itu, Muawiyah—sebagai musuh bebuyutan Imam Ali As yang memerintahkan untuk mencela dan melaknatnya serta membuat hadis palsu yang menentangnya—bukan hanya tidak mengingkari kedudukan hadis Manzilah, bahkan ia sendiri yang meriwayatkan hadis tersebut. [32]

 
Kritik dan Keraguan Kedua

Sekelompok Ahlu Sunnah meyakini bahwa hadis ini adalah satu-satunya hadis yang meramal kejadian perang Tabuk. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, Ibnu Taimiyah, jld.7, hlm. 322. </ref> Kelompok lainnya lebih membatasi dengan mengatakan bahwa Rasulullah Saw hanya menjadikan Ali As sebagai penggantinya di kota Madinah atau di kalangan keluarganya saja. [33] Mereka menerima hadis ini sebagai hadis yang benar dan sahih, namun tidak bermakna bahwa semua posisi dan kedudukan Rasulullah Saw, kecuali kenabian bisa ditetapkan pada Ali As. Menurut mereka, hadis ini menunjukkan bahwa Ali As sebagai khalifah dan pengganti Nabi Saw hanya pada saat Nabi tidak ada selama kepergiannya ke Tabuk. Itupun hanya berkaitan dengan keluarga Nabi Muhammad Saw , sebagaimana Harun As menjadi khalifah Musa As pada saat ia tidak berada di tempat. Dalam menjawabnya harus dikatakan bahwa:
Sebagian besar dari ulama Ahlu Sunnah meyakini bahwa hadis ini tidak hanya terbatas pada peristiwa perang Tabuk saja. Mereka meyakini bahwa Nabi Saw dalam peristiwa lainnya pun menyampaikan hadis tersebut. Ibnu Abi al-Hadid [34] dalam menegaskan kedudukanAli As sebagai pengganti, bersandar kepada Al-Quran dan hadis-hadis. Ia berkata bahwa seluruh posisi yang ada pada Harun As dapat ditetapkan pada Ali As. Jika Nabi Saw bukan penutup kenabian, maka Ali pun akan dimitrakan dalam posisi kenabiannya. Nabi Saw memberikan nama anak-anak Ali As sebagaimana nama anak-anak Harun As. Nabi Saw memeberinya nama Hasan dan Husain, dan bersabda, “Aku menamakan mereka dengan nama anak-anak Harun, Yaitu Syubar dan Syubair. [35]

Para sahabat juga mengambil kesimpulan keumuman posisi-posisi yang ada dalam hadis ini. Sebagai contoh, sahabat Jabir bin Abdillah al-Anshari ketika ditanya tentang arti dan makna hadis Manzilah, ia menjawab bahwa Nabi Saw dengan perkataan ini menjadikan Ali sebagai penggantinya di tengah-tengah umatnya ketika hidup dan sepeninggalnya dan mewajibkan kalian untuk mentaatinya. [36]

Kritik dan Keraguan Ketiga Harun As memiliki kedudukan sebagai khalifah dan kedudukan-kedudukan lainnya di masa kehidupan Nabi Musa As karena ia meninggal dunia sebelum Musa As. Oleh karena itu, mungkin saja Ali As juga memiliki kedudukan-kedudukan di masa kehidupan Rasulullah Saw, namun hadis Manzilah diyakini tidak bisa dijadikan sebagai nash atau dalil atas kekhalifahan setelah Rasulullah Saw. [37]

Jawaban:
Kata pengecualian illa annahu la nabiya ba’di menjelaskan keumumannya dan ini adalah hal-hal yang lazim dan sebuah ketetapan di masa hidup dan sepeninggal Nabi Saw atas Ali As. Jika tidak, maka kata pengecualian sama sekali tidak diperlukan. Sebagaimana perkataan Thabarsi, [38] para ahli hadis bersepakat bahwa pada peristiwa perang Tabuk, Nabi Saw telah menjadikan Ali As sebagai penggantinya di Madinah. Nabi Saw tidak mencabutnya, dan kedudukan sebagai imam ini berlanjut.

Berdasarkan asumsi kritik di atas, Harun As tidak hidup setelah Musa As, sehingga dapat memiliki posisi sebagai khalifah. Jika Harun As hidup setelah Musa As, dapat dipastikan ia akan mengemban sebagai khalifah Musa As, karena posisi khalifah sudah dimilikinya. Sesuai dengan hadis, Ali As juga memiliki posisi khalifah Rasulullah Saw. Selama ia ada dan Nabi Saw tidak ada, Ali As senantiasa akan menjadi khalifah Rasulullah Saw.


Kemiripan yang Sangat Dekat

Harun As menjadi khalifah pada saat Musa As tidak ada. Karena terkecoh tipu daya Samiri, umat Nabi Musa As pada saat itu menjadi penyembah sapi dan tidak seorangpun yang membantu dan menolong Harun As. Terpaksa Harun As harus bersabar di tengah-tengah kaumnya karena melihat kemaslahatan di dalamnya. Hadis Manzilah untuk Imam Ali As menjelaskan seluruh kejadian ini. Pada saat Nabi Saw tidak ada, Ali As menjadi khalifah. Kemiripan Ali As dan Harun As kembali pada sisi-sisi tersebut dan sama sekali tidak berkaitan dengan kejadian setelah atau sebelum wafat.


Catatan Kaki
1. Manaqib Imam Ali As, Ibnu Maghazili, hlm. 255-257.
2. Musnad Ahmad bin Hambal, Ibnu Hambal, jld. 1, hlm. 277, jld. 3, hlm. 417, jld. 7, hlm. 513- 591; Shahih Bukhari, Bukhari, jld. 5, hlm. 129; Sahhih Muslim, jld. 2, hlm. 1870-1871; Sunan al-Tirmizi, jld. 5, hlm. 637, 640-641; Sunan al-Nasai, hlm. 50-61; Al-Mustadrak, Hakim Neisyaburi, jld. 3, hlm. 133-134; Al-Riyadh al-Nadhirah fi manaqibi al-Asyarah, Ahmad bin Abdullah Thabari, jld. 3, hlm. 118-119; Al-Bidayah wa al-Nihayah, Ibnu Katsir, jld. 5, hlm. 7-8; Majmau al-Zawaid wa Manba’u al-Fawaid, Haitsami, jld.9, hlm. 110; ‘Umdatu al-Qari ‘Aini, Syarh Shahih Bukhari, jld: 16, hlm.301; Tarikhu al-Khulafa, Al-Suyuthi, hlm. 167; Al-dur al-manstur, Al-suyuthi, jld. 3, hlm. 236, 291; Kanzul Ummal, Muttaqi, jld. 13, hlm 163, 171-172; juga rujuklah Abaqat al-Anwar, Mir Hamid Husain, jld. 2, buku 1, hlm. 29-59; Syarafuddin, hlm. 130; Nafahat al-Azhar, Husaini Milani, jld.18, hlm. 363-411.
3. Musnad Ahmad bin Hambal, jld. 1, hlm. 277, jld. 3, hlm. 417; Shahih Bukhāri, jld. 5, hlm. 129; Sunan al-Tirmizi, jld. 5, hlm. 637; Al-Kafi, jld. 8, hlm. 106-107, Kitāb Tamhid al-'Awāil wa Talkhis al-Dalāil, Baqilani, hlm. 457; Al-Mughni, Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad, jld. 1, bag. 1, hlm. 158; Tārikh Baghdadi, Khatib Baghdadi, jld. 4, hlm. 465; Al-Barāhin dar Elmi Kalām, Fahkrur Razi, jld. 2, hlm. 257, Syarh al-Maqāshid, Taftazani, jld. 5, 296.
4. Muhaddis Masyhur, wafat abad kelima, jld. 1, hlm. 195.
5. Nafahat al-Azhar, Husaini Milani, jld.17, hlm. 23-27.
6. Minhāj al-Sunnah al-Nabawiyah, jld.7, hlm. 326.
7. Nafahāt al-Azhār, Husaini Milani, jld.17, hlm. 151-162; Abaqat al-Anwar, Mir Hamid Husain, jld. 2, buku 1, hlm. 204-206.
8. 

حَدَّثَنِی مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ إِبْرَاهِیمَ بْنَ سَعْدٍ، عَنْ أَبِیهِ، قَالَ: قَالَ النَّبِی صَلَّی اللهُ عَلَیهِ وَسَلَّمَ لِعَلِی: «‌أَمَا تَرْضَی أَنْ تَکونَ مِنِّی بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ، مِنْ مُوسَی‌» 

jld.4 hlm. 208, jld. 5, hlm. 162.
9. 

حَدَّثَنَا یحْیی بْنُ یحْیی التَّمِیمِی وَأَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعُبَیدُ اللَّهِ الْقَوَارِیرِی وَسُرَیجُ بْنُ یونُسَ کلُّهُمْ عَنْ یوسُفَ الْمَاجِشُونِ - وَاللَّفْظُ لاِبْنِ الصَّبَّاحِ - حَدَّثَنَا یوسُفُ أَبُو سَلَمَةَ الْمَاجِشُونُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْکدِرِ عَنْ سَعِیدِ بْنِ الْمُسَیبِ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِی وَقَّاصٍ عَنْ أَبِیهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلی الله علیه وسلم- لِعَلِی «‌أَنْتَ مِنِّی بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَی إِلاَّ أَنَّهُ لاَ نَبِی بَعْدِی ». قَالَ سَعِیدٌ فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُشَافِهَ بِهَا سَعْدًا فَلَقِیتُ سَعْدًا فَحَدَّثْتُهُ بِمَا حَدَّثَنِی عَامِرٌ فَقَالَ أَنَا سَمِعْتُه‍. فَقُلْتُ آنْتَ سَمِعْتَهُ فَوَضَعَ إِصْبَعَیهِ عَلَی أُذُنَیهِ فَقَالَ نَعَمْ وَإِلاَّ فَاسْتَکتَا. 

Shahih Muslim, Darul Jabal, Beirut+ Darul Afaq al-Jadidah, beirut, jld. 7, hlm. 119, bab dari keutamaan Imam Ali As.
10. Al-Mustadrak, Hakim Neisyaburi, jld. 3, hlm. 133-134; Al-Irsyād, Syaik Mufid, hlm. 81-84; Ibnu Abdul Bar, Al-Isti’ab fi Ma’rifati al-Ashab, jld. 3, hlm. 1097-1098; Al-Kamil fi al-Tarikh, Ibnu Atsir, jld. 2, hlm. 278; Tazdkiratu Al-Khawāsh, Sibt Ibnu Jauzi, hlm. 27-28; Ibnu Abi al-Hadid, jld. 13, hlm. 211; Farāid al-Simthain fi Fadāil al-Murtadhā wa al-Batul wa al-Sibthain wa al-Aimah min Zdurriyatihim Alaihim Salām, jld. 1, hlm. 122; Majmau al-Zawāid wa Manba’u al-Fawāid, Haitsami, jld.9, hlm. 111; Kitab al-Ishābah fi Tamyiz al-Shahābah, Ibnu Hajar Asqalani, jld.2, hlm. 509; Tārikhu al-Khulafā', Al-Suyuthi, hlm. 167; Halabi, jld. 32, Hlm.187-188; Yanābi al-Mawaddah li Dzawi al-Qurbāa, Qunduzi, jld. 1, hlm. 111-112, 137; Fadhāilu al-Kamsah minal-Shahāh al-Sittah, jld. 1, hlm. 357-364; Itmam al-Wafa’ fi Sirati al-Khulafa, hlm. 169.
11. Syarh Nahjul Balagah, Ibnu Abi al-Hadid, jld. 13, hlm. 211.
12. Al-Isti’āb fi Ma’rifati al-Ashāb, jld. 3, hlm. 1097.
13. Ibnu Abdu al-Bar, Al-Isti’āb fi Ma’rifati al-Ashāb, jld. 3, hlm. 1097; Tarjamatu al-Imām Ali bin Abi Thālib Alaihi Salām min Tarikh Madinah Dimasyq, Ibnu Asakir, jld. 1, hlm. 306-391.
14. Al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 134.
15. Silahkan rujuk, Al-Mustadrak, Hakim Neisyaburi, jld. 3, hlm. 134.
16. Tārikh Baghdadi, jld. 8, hlm. 262.
17. Al-‘Aqd al-Farid, Ibnu Abdurabbih, jld. 5, hlm. 357-358.
18. Tārikh Baghdadi, jld. 8, hlm. 498.
19. Usdul Ghābah, Ibnu Atsir, jld. 4, hlm. 104-105; Yanābi al-Mawaddah li Dzawi al-Qurbā, Qunduzi, jld. 1, hlm. 161; Al-Muraja’āt, Syarafuddin, hlm. 132-133.
20. Silahkan rujuk, Majmau al-Zawāid wa Manba’u al-Fawāid, Haitsami, jld.9, hlm. 111.
21. Musnad Ahmad bin Hambal, Ibnu Hambal, jld. 1, hlm. 545; Hakim Neisyaburi, jld. 3, hlm. 134; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Ibnu Katsir, jld. 7, hlm. 351; untuk kutipan lainnya bagian kedua ungkapan Nabi Saw silahkan rujuk, Sunan al-Nasai, hlm. 64; Tārikh Thabari, Muhammad bin Jarir Thabari, jld. 3, hlm. 129; Al-Sawā’iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitami, hlm. 124; Ma’a Duktur Musa al-Musawi fi Kitābati al –syiah wa al-tashih, Qazweini, hlm. 82-87.
22. Q.S. Surah Taha/ 29-32.
23. Q.S. Surah Taha/ 36.
24. Q.S. Surah al-‘Araf/ 142.
25. Rujuklah, Abaqāt al-Anwār, Mir Hamid Husain, jld. 2, buku 1, hlm. 86-88.
26. Ibid, hlm. 104-110
27. Rujuklah, Kanzul Ummāl, Muttaqi, jld. 11, hlm 614; Abaqāt al-Anwār, Mir Hamid Husain, jld. 2, buku 1, hlm. 113-129.
28. Rujuklah, Abaqāt al-Anwār, Mir Hamid Husain, jld. 2, buku 1, hlm. 88-93.
29. Abaqāt al-Anwār, Mir Hamid Husain, jld. 2, buku 1, hlm. 100-104.
30. Untuk contoh, rujuklah, Al-Imāmah min Abkār al-Afkār fi Ushuliddin, Amadi, hlm. 167.
31. Al-Mustadrak, Hakim Neisyaburi, jld. 3, hlm. 134.
32. Al-Sawā’iq al-Muhriqah fi al-rad ala Ahli al-bida’i wa al-Zindiqah, Ibnu Hajar Haitami, hlm. 179.
33. Kitab Tamhid al-Awail wa Talkhis al-Dalail, Baqilani, hlm. 457; Abaqat al-Anwar, Mir Hamid Husain, jld. 2, buku 1, hlm. 74-76.
34. Syarh Nahjul Balagah, jld. 13, hlm. 211.
35. Silakan rujuk, Musnad Ahmad bin Hambal, jld. 1, hlm. 158; Al-Mustadrak, Hakim Neisyaburi, jld. 3, hlm. 168; Kanzul Ummal, Muttaqi, jld. 12, hlm 117-118; Bihar al-Anwar, al-Majlisi, jld. 101, hlm, 110-112.
36. Silahkan rujuk, Ma’aniu al-Akhbar, Ibnu Babuwaih, hlm. 74.
37. Silahkan rujuk, Al-Mughni, Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad, jld. 1, bag. 1, hlm. 158; Syarh al-mawaqif, Jurjani, hlm. 8, 363; Abaqat al-Anwar, Mir Hamid Husain, jld. 2, buku 1, hlm. 74-76.
38. Asraru al-Imamah, Hasan bin Ali Thabarsi, hlm. 252.


Daftar Pustaka

- Al-Quran Al-Karim.
- Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain fi Fadail al-Murtadha wa al-Batul wa al-Sibthain wa al-Aimah min Zdurriyatihim Alaihim Salam, percetakan Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut, tahun 1398- 1400 H/ 1978-1980.
- Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balagah, percetakan Muhammad Abulfazl Ibrahim, Kairo, tahun 1385-1387/ 1965-1967, cetakan Beirut, tanpa tanggal.
- Ibnu Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Beirut tahun 1385-1386/1965-1966, cetakan Efest, 1399-1402/ 1979-1982.
- Ibnu Atsir, Usdul Ghabah fi Ma’rifati al- Shahabah, percetakan Muhammad Ibrahim Bena dan Muhammad Ibrahim ‘Asyur, Kairo, 1970-1973 M.
- Ibnu Babuwaih, Ma’aniu al-Akhbar, percetakan Ali Akbar Ghafuri, Qom, tahun 1361 S.
- Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, percetakan Muhammad Rasyad Salim, Riyadh, 1406 H/1986M.
- Ibnu Hajar Asqalani, Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, cetakan Efest, Beirut, tanpa tanggal. Mesir, 1328H
- Ibnu Hajar Haitami, Al-Sawa’iq al-Muhriqah fi al-rad ala Ahli al-bida’i wa al-Zindiqah, percetakan Abdul Wahhab Abdul Latif, Kairo, 1385 H/ 1965 M.
- Ibnu Hambal, Musnad al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Beirut, 1414H/1993M.
- Ibnu Thawus, Al-Tharaif fi Ma’rifati Madzahib al-Thawaif, percetakan Ali ‘Asyur, Beirut 1420H/1999M.
- Ibnu Abdu al-Bar, Al-Isti’ab fi Ma’rifati al-Ashab, Percetakan Ali Muhammad Bejawi, Beirut, 1412H/1992M.
- Ibnu Abdurabbih, Al-‘Aqd al-Farid, percetakan Abdul MajidTarhini, Beirut 1404H/1983M.
- Ibnu Asakir, Tarjamatu al-Imam Ali bin Abi Thalib Alaihi Salam min Tarikh Madinah Dimasyq, percetakan Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut, 1398 H/ 1978M.
- Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Beirut, 1411 H/ 1990 M.
- Isfahani, Abu Naim, Hilyatu al-Auliya wa Tahabaqatu al-Asfiya, Beirut 1407 H/1987 M.
- Baihaqi, Ahmad bin Hasan, al-Sunan al-Kubra, Beirut, 1424 H/2003M.
- Thabari, Ahmad bin Abdullah, Al-Riyadh al-Nadhirah fi manaqibi al-Asyarah, Beirut, 1405H/1984M.
- Al-Nasai, Ahmad bin Ali, Tahdzib Khasais al-Imam Ali, percetakan Abu Ishak Huwaini Atsari, Beirut, 1406H/1986M.
- Hasan bin Ali Thabarsi, Asraru al-Imamah, Masyhad, 1380 S.
- Baghdadi, Khatib, Tarikh Baghdadi.
- Sibt Ibnu Jauzi, Tazdkiratu Al-Khawash, Beirut, 1401 H/1981M.
- Qunduzi, Sulaiman bin Ibrahim,Yanabi al-Mawaddah li Dzawi al-Qurba, percetakan Ali Jamal Asyraf Husaini, Qom, 1416H.
- Syarafuddin Abdul Husain, Al-Muraja’at, percetakan Husain Radhi, Qom, 1416 H.
- Al-Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr, Al-dur al-manstur fi Tafsir bi al-Ma’tsur, percetakan Najt Najib, Beirut, 1421H/2001M.
- Al-Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr, Tarikhu al-Khulafa, percetakan Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Qom, 1370 S.
- San’ani, Abdur Razzaq bin hammam, Al-Musannaf, perccetakan Habib al-Rahman A’zami, Beirut, 1403H/1990M.
- Haskani, Ubaidillah bin Abdullah, Syawahid al-Tanzil li Qawaid al-Tafshil, percetakan Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut, Teheran,1411H/1990M.
- ‘Alauddin Qazweini, Ma’a Duktur Musa al-Musawi fi Kitabati al –syiah wa al-tashih, Qom, 1414 H/ 1994 M.
- Halabi, Ali bin Ibrahim, Al-Sirah al-Halabiyah, percetakan Abdullah Muhammad Khalil, Beirut, 1422H/2002M.
- Haitsami, Ali bin Abi Bakr, Majmau al-Zawaid wa Manba’u al-Fawaid, Beirut, 1402H/1982M.
Ali bin Abi Thalib, Imam Awal, Nahjul Balaghah, Terjemahan Ja’far Syahidi, Tehran, 1371 S.
- Muttaqi, Ali Hisamuddin, Kanzul Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al, Percetakan Bakri hayani dan Shafwatu Saqa, Beirut, 1409M/1989M.
- Amadi, Ali bin Muhammad, Al-Imamah min Abkar al-Afkar fi Ushuliddin, percetakan Muhammad Zubaidi, Beirut, 1412H/1992M.
- Jurjani, Ali bin Muhammad, Syarh al-mawaqif, percetakan Muhammad Badruddin Na’sai Halabi, Mesir, 1325H/1907M, cetakan efset Qom, 1370S.
- Husaini Milani, Ali, Nafahat al-Azhar fi Khulasati Abaqat al-Anwar, Qom, 1384 S.
- Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad, Al-Mughni fi Abwabi al-Tauhid wa al-Adl, percetakan Mahmud Muhammad Qasim, tanpa tempat dan tanggal.
- Kulaini, Al-Kafi.
- Majlisi Bihar al-Anwar.
- Hadhari, Muhammad, Itmamu al-Khulafa fi Sirati al-Khulafa’, Beirut, 1402H/1982M.
- Bukhari, Muhammad bin Ismail, Kitab al-tarikh al-Kabir, Beirut, 1986M.
- Bukhari, Muhammad bin Ismail, shahih al-Bukhari,percetakan Muhammad Dzahabi Afandi, Istambul 1401H/1981M, cetakan Efset Beirut, Tanpa tanggal.
- Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh, Beirut.
- Baqilani, Muhammad bin Tayyib, Kitab Tamhid al-Awail wa Talkhis al-Dalail, percetakan Imaduddin Ahmad Haidar, Beirut, 1414H/1993M.
- Hakim Neisyaburi, Muhammad bin Abdullah, Al-Mustadrak ala al-Shahihain, wa bi Dzailihi al-Talkhis li al-Hafizd al-Zdahabi, darul Ma’rifah, Beirut, tanpa tanggal.
- Fakhrur Razi Muhammad bin Umar, Al-Barahin dar Elmi Kalam, percetakan Muhammad Baqir Sabzawari, Tehran, 1341-1342S.
- Tirmizi, Muhammad bin Isa, al-Jami al-Shahih wa hua Sunan al-Tirmizi, percetakan Ibrahim ‘Utuh ‘Iwadh, Beirut, Tanpa tanggal.
- Mufid, Muhammad bin Muhammad, Al-Irsyad, Qom, Maktabatu Bashirati, tanpa tanggal.
- ‘Aini, Mahmud bin Ahmad, ‘Umdatu al-Qari: Syarh Shahih Bukhari, percetakan Abdullah Mahmud Muhammad Umar, Beirut, 1421H/2001M.
- Murtadha Husaini, Firuzabadi, Fadhaili al-Khamsah minal-Shahahu al-Sittah, Beirut, 1402H/1982M.
- Taftazani, Masud bin Umar, Syarh al-Maqashid, percetakan Abdur Rahman Umairah, Kairo, 1409H/ 1989M, cetakan efset Qom, 1370-1371S.
- Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, percetakan Muhammad Fuad Abdul Baqi, Istambul, 1413H/1992M.
- Samawi, Mahdi, Al-Imamah fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunnah, Kuwait 1399 H/1979M.
- Mir Hamid Husain, Abaqat al-Anwar fi Imamati al-Aimmati al-Athar Alaihim salam, percetakan Abdur Rahim Mubarak dan selainnya, Masyhad 1383 S.

(Menggapai-Kebenaran/Scondprince/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: