Imam Ali Al-Hâdî as adalah imam kesepuluh dari para imam maksum pembawa petunjuk. Ia adalah salah seorang harta berharga Islam dan manifestasi ketakwaan dan keimanan. Ia adalah suara kebenaran yang menentang kezaliman para penguasa dinasti Bani Abbâsiyah dan tidak pernah tergiur oleh kegemerlapan dunia di sepanjang sejarah hidupnya selama hal ini tidak memiliki kaitan erat dengan kebenaran. Ia lebih mengutamakan ketaatan kepada Allah swt atas segala sesuatu. Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi kehidupannya. Dengan kelahiran bayi yang penuh berkah ini, dunia menjadi terang benderang. Imam Ali Al-Hâdî as dilahirkan di Bashrya. Imam Al-Jawâd as, sang ayah, bergegas menjenguk sang putra suci dan mengadakan acara ritual Islam untuk putranya yang penuh berkah ini. Ia membacakan azan di telinga kananya dan iqamah di telinga kirinya. Di samping itu, ia juga melaksanakan akikah untuknya dengan menyembelih seekor kambing, sebagai sebuah sunnah yang biasa dilakukan oleh para imam maksum as. Imam Ali Al-Hâdî as dilahirkan pada tanggal 27 Dzulhijjah 212 Hijriah. Sang ayah, Imam Al-Jawâd as, memberi nama Ali kepada putranya sebagai upaya untuk mengharap berkah dari nama kakeknya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Ia sangat menyerupai sang kakek dari segi kefasihan berbicara, jihad, dan ujian dalam menempuh jalan Allah. Sang ayah memberi julukan Abul Hasan untuknya dan memberi gelar Al-Murtadhâ, Al-'Alim, Al-Faqîh, dan gelar-gelar mulia yang lainnya.
Imam Ali Al-Hâdî as tumbuh berkembang di dalam sebuah keluarga yang berbeda dengan seluruh kalangan masyarakat dengan sopan santun yang cemerlang dan tata krama yang tinggi. Anak yang masih kecil di kalangan mereka menghormati orang yang sudah besar dan orang yang sudah besar menyayangi anak yang masih kecil. Di antara contoh manifestasi sopan santun dan tata krama mereka adalah pengakuan para ahli sejarah ini. Mereka menyatakan bahwa Imam Husain as tidak pernah berbicara di hadapan saudaranya, Imam Hasan as karena menghormati dan mengagungkannya. Begitu juga mereka meriwayatkan bahwa Imam Zainul Abidin as tidak pernah mau makan bersama wanita pengasuhnya, padahal ia selalu memohon supaya makan bersama. Hal itu lantaran ia takut mengambil makanan yang telah diinginkan oleh wanita pengasuh tersebut terlebih dahulu, dan dengan tindakan ini, ia telah dianggap sebagai orang yang durhaka kepadanya. Tata krama dunia manakah yang dapat menyerupai tata krama yang menghikayatkan tata krama dan sopan santun para imam as ini? Imam Ali Al-Hâdî as telah tumbuh berkembang di bawah asuhan sang ayah, Imam Muhammad Al-Jawâd as di mana ia sendiri adalah sebuah dunia keutamaan dan sopan santun. Imam Al-Jawâd as telah menumpahkan seluruh cahaya spiritual, akhlak, dan sopan santun yang dimilikinya kepada sang putra, Imam Ali Al-Hâdî as ini.
Anak Kecil yang Jenius
Pada saat masih kanak-kanak, Imam Ali Al-Hâdî as memiliki kejeniusan dan kecerdasan luar biasa yang membuat seluruh pemikir takjub. Di antara manifestasi kejeniusan dan kecerdasannya adalah kisah berikut ini:
Setelah membunuh ayahnya, Mu'tashim Al-Abbâsî memerintahkan Umar bin Faraj untuk pergi ke Yatsrib (Madinah) demi mencari sorang guru bagi Imam Al-Hâdî as. Pada saat itu, Imam Al-Hâdî as masih berusia enam tahun dan beberapa bulan. Mu'tashim juga berpesan supaya guru itu memiliki karakter permusuhan dan kebencian kepada Ahlul Bait as yang luar biasa. Mu'tashim berharap supaya ia bisa menanamkan permusuhan dan kebencian di dalam diri Imam Al-Hâdî as kepada mereka. Mu'tashim sepertinya tidak tahu bahwa para imam yang suci itu adalah anugerah Allah swt. untuk para hamba-Nya, dan Dia telah menyucikan mereka dari segala bentuk dan jenis kotoran.
Ketika Umar bin Faraj tiba di Madinah, ia berjumpa dengan gubernur Madinah dan menjelaskan tugas tersebut kepadanya. Gubernur Madinah memberikan petunjuk kepadanya untuk menjumpai Al-Junaidî. Ia sangat membenci dan memusuhi keturunan Bani Ali as. Umar bin Faraj mengutus seseorang untuk membawa Al-Junaidî ke rumahnya. Setelah tiba, Umar membeberkan perintah Mu'tashim kepadanya, dan Al-Junaidî pun menerima tugas itu. Umar pun menentukan imbalan bulanan kepadanya dan memerintahkannya supaya melarang para pengikut Syi'ah untuk berjumpa dengan Imam Ali Al-Hâdî as.
Al-Junaidî pun memulai tugasnya mengajar Imam Al-Hâdî as, dan ia sangat takjub dan terheran-heran dengan kejeniusannya. Pada suatu hari, Muhammad bin Ja'far pernah bertanya kepada Al-Junaidî seraya berkata: "Bagaimana kondisi anak kecil yang sedang kau didik itu?" Al-Junaidî mengingkari cara bertanya semacam itu. Ia mengekspresikan ketakjuban dan pengagungannya terhadap Imam Al-Hâdî as. Ia menjawab: "Apakah engkau mengatakan bahwa dia adalah anak kecil, bukan orang yang sudah dewasa?! Aku sumpah kamu demi Allah, apakah engkau mengenal seseorang yang lebih tahu tentang adab dan ilmu pengetahuan di Madinah daripada aku?"
Muhammad menjawab: "Tidak."
Al-Junaidî menimpali: "Demi Allah, aku menjelaskan satu huruf tentang adab dan aku menyangka bahwa aku telah menjelaskan hal itu berlebihan. Kemudian, ia membuka pintu-pintu (adab dan ilmu pengetahuan) untukku dan aku banyak mengambil manfaat darinya. Lalu, masyarakat menyangka bahwa aku telah mengajarinya. Tidak! Demi Allah, akulah sebenarnya yang telah belajar darinya ...."
Hari-hari pun berlalu. Pada suatu hari, Muhammad bin Ja'far berjumpa dengan Al-Junaidî seraya bertanya kepadanya: "Bagaimana kondisi anak kecil itu?" Al-Junaidî pun tidak menyetujui ungkapannya itu seraya berkata: "Tinggalkanlah ucapanmu ini. Demi Allah Yang Maha Tinggi, ia adalah penghuni bumi yang terbaik dan makhluk paling utama yang pernah diciptakan oleh Allah swt. Pada suatu hari, ia pernah meminta izin kepadaku untuk masuk kamarku. Kukatakan kepadanya, 'Kamu boleh masuk asalkan telah membaca surah Al-Qur'an.' Ia bertanya lagi, 'Surah apakah yang kau inginkan kubaca?' Aku menyebutkan surah-surah yang sangat panjang yang tidak mungkin ia dapat membacanya. Tiba-tiba ia bergegas membacanya dengan suara fasih yang aku sendiri belum pernah mendengar suara sefasih itu. Ia membacanya dengan lantunan suara yang lebih indah daripada lantunan kidung Dâwûd. Ia hafal Al-Qur'an dari awal hingga akhir, dan mengetahui takwil dan sebab-sebab turunnya."
Al-Junaidî menambahkan: "Ia adalah anak kecil yang tumbuh berkembang di Madinah di dalam tembok-tembok kota yang hitam kelam. Lalu, siapakah yang mengajari ilmu pengetahuan yang maha luas itu kepadanya? Maha Suci Allah!" Dengan pengalaman itu, Al-Junaidî mencabut seluruh rasa kebencian dan permusuhan kepada Ahlul Bait as itu dari dalam dadanya dan menjadi orang yang sangat mencintai mereka. Tidak ada alasan dan justifikasi lain bagi realita ini kecuali keyakinan yang dimiliki oleh Syi'ah bahwa Allah Swt telah menganugerahkan ilmu pengetahuan, hikmah, dan Fashl Al-Khithâb kepada para imam suci itu yang tidak pernah diberikannya kepada siapa pun di alam semesta ini.
Pengagungan Bani Ali
Imam Ali Al-Hâdî as mendapatkan pengagungan dan penghormatan khusus dari kalangan Bani Ali as. Mereka telah mengenal kedudukan spiritualnya yang tinggi dan bahwa ia adalah imam dan pemimpin yang harus ditaati. Para perawi hadis menceritakan sikap Zaid bin Imam Mûsâ bin Ja'far (terhadap Imam Ali Al-Hâdî as), sedangkan ia telah berusia lanjut. Pada suatu hari, Zaid meminta izin kepada penjaga pintu rumah Imam Al-Jawâd as, Umar bin Faraj, untuk berjumpa dengannya. Umar mempersilahkannya masuk. Setelah masuk, ia duduk di hadapan Imam Al-Hâdî as. dengan penuh takzim dan penghormatan.
Pada kali yang lain, Zaid pernah bertamu ke rumah Imam Al-Hâdî as dan secara kebetulan tidak ada di tempat pada waktu itu. Akhirnya, Zaid duduk di depan (sebagai orang tertua). Ketika Imam Al-Hâdî as datang, ia melompat dari tempat duduknya dan mendudukkannya di tempat itu. Lalu, ia duduk di hadapannya dengan penuh sopan santun, padahal Imam Al-Hâdî masih berusia muda. Hal ini adalah sebuah pengakuan dari Zaid atas keagungan pribadi Imam Al-Hâdî as dan kelaziman untuk menaatinya. Penghormatan dan pengagungan terhadap Imam Ali Al-Hâdî ini tidak hanya terbatas dilakukan oleh kaum Bani Ali as. Tindakan ini telah mendominasi seluruh lapisan masyarakat. Muhammad bin Hasan Al-Asytar pernah meriwayatkan seraya berkata: "Aku pernah menemani ayahku di depan pintu istana Mutawakkil. Masyarakat yang berasal dari berbagai marga seperti Thâlibî, Abbâssî, dan Ja'farî juga ikut hadir berkumpul di situ. Ketika kami sedang berdiri, tiba-tiba Abul Hasan (Al-Hâdî) as datang. Seluruh masyarakat yang hadir langsung turun dari tunggangan mereka demi mengagungkan dan menghormatinya hingga ia masuk ke dalam istana. Sebagian orang yang merasa iri hati terhadap Imam Al-Hâdî as mengingkari keutamaannya ini seraya berseloroh dengan penuh kedengkian, 'Mengapa kita harus turun dari tunggangan kita untuk anak kecil ini? Dia bukanlah orang termulia di antara kita dan juga bukan orang yang lebih tua dari kita. Demi Allah, jika ia keluar, kami tidak akan turun ....' Seorang mukmin yang bernama Abu Hâsyim Al-Ja'farî menjawab kekurangajarannya itu seraya berkata, 'Demi Allah, engkau pasti akan turun dari tunggangan kalian demi dia dengan perasaan hina dina.'
Imam Ali Al-Hâdî as keluar dari dalam istana. Suara masyarakat bergemuruh dengan lantunan takbir dan tahlil, dan mereka berdiri demi mengagungkan dan menghormatinya. Abu Hâsyim menoleh kepada kelompok tersebut seraya bertanya, 'Bukankah kalian semua telah berjanji untuk tidak turun dari tunggangan kalian demi menghormatinya?' Mereka tidak dapat menahan rasa takjub seraya menjawab, 'Demi Allah, kami telah kehilangan kontrol diri sehingga kami harus turun dari tunggangan kami demi menghormatinya.'"
Begitulah pribadi Imam Ali Al-Hâdî as. telah memenuhi seluruh hati masyarakat dengan pengagungan dan penghormatan (suci) sehingga seluruh jiwa membungkuk di hadapannya dengan penuh kekhusyukan. Karismanya ini tidak berasal dari kerajaan maupun kekuasaan. Hal ini hanya bersumber dari ketaatannya kepada Allah dan kezuhudannya terhadap dunia. Di antara salah satu karismanya yang agung ini adalah ketika ia masuk ke dalam istana Mutawakkil sang lalim, tak seorang pun yang berada di dalam istana itu kecuali berdiri di hadapannya demi mengagungkan dan menghormatinya. Mereka berlomba-lomba untuk menyingkap tirai-tirai istana dan membukakan pintu baginya, serta mereka tidak merasa terpaksa untuk itu semua.
Kedermawanan
Di antara karakter-karakter yang dimiliki oleh Imam Ali Al-Hâdî as adalah, bahwa ia merupakan figur yang paling dermawan dan paling peduli untuk berbuat kebaikan kepada orang lain. Berikut ini adalah beberapa contoh dari manifestasi kedermawanan imam yang satu ini:
a. Ishâq Al-Jallâb meriwayatkan seraya bercerita: "Aku pernah membeli kambing dalam jumlah sangat banyak untuk Abul Hasan Al-Hâdî as pada hari Tarwiyah. Lalu, ia membagi-bagikan seluruh kambing itu kepada kerabat-kerabatnya. Beberapa tokoh dan pemuka Syi'ah pernah berjumpa dengannya. Di antara mereka adalah Abu Umar, 'Utsmân bin Sa'îd, Ahmad bin Ishâq Al-Asy'arî, dan Ali bin Ja'far Al-Hamdânî. Ahmad bin Ishâq mengadukan utangnya yang melilit. Imam Al-Hâdî as menoleh ke arah wakilnya, 'Amr, seraya berkata kepadanya, 'Berikanlah tiga puluh ribu dinar kepadanya dan kepada Ali bin Ja'far juga tiga puluh ribu dinar.' Di samping itu, ia juga memberikan kadar uang yang sama kepada wakilnya itu." Ibn Syahr memberikan catatan atas kedermawanan ini sembari berkomentar: "Kedermawanan adalah sebuah mukjizat yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh para raja, dan kami tidak pernah mendengar pemberian sebesar itu (selama ini)." Dengan pemberian yang melimpah ini, Imam Ali Al-Hâdî as telah mengucurkan kenikmatan dan kehidupan yang lapang kepada para tokoh tersebut. Dan satu hal yang sangat natural sekali bahwa sebaik-baik pemberian adalah pemberian yang dapat mengabadikan sebuah kenikmatan.
b. Abu Hâsyim pernah mengadukan kesempitan rezeki yang sedang dialaminya kepada Imam Ali Al-Hâdî as. Imam Al-Hâdî memahami kemiskinan yang sedang melilitnya itu. Dengan demikian, ia ingin meringankan kesulitan-kesulitan yang sedang menimpanya seraya berkata kepadanya: "Hai Abu Hâsyim, nikmat Allah 'Azza Wajalla manakah yang ingin kau syukuri? Semoga Allah menganugerahkan keimanan kepadamu sehingga Dia mengharamkan tubuhmu atas api neraka, semoga Dia menganugerahkan kesehatan kepadamu sehingga kesehatan ini dapat membantumu menjalankan ketaatan, dan semoga Dia memberikan sikap menerima kepadamu sehingga karakter ini dapat menjagamu dari sikap menghambur-hamburkan harta."Setelah berkata demikian, Imam Ali Al-Hâdî as. memberikan seratus dinar kepadanya. Sesungguhnya kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan oleh Imam Ali Al-Hâdî as adalah termasuk kenikmatan-kenikmatan agung yang dianugerahkan oleh Allah Swt kepada para hamba-Nya.
Bekerja di Kebun
Imam Ali Al-Hâdî as sering bekerja di kebun untuk menghidupi keluarganya. Ali bin Hamzah meriwayatkan: "Aku pernah melihat Abul Hasan ketika sedang bekerja di tanah miliknya, sedangkan kedua telapak kakinya basah oleh keringat yang bercucuran. Aku bertanya kepadanya, 'Manakah orang-orang Anda?' Imam Ali Al-Hâdî as menjawab kesombongan dan kritikanku seraya berkata, 'Hai Ali, orang yang lebih baik dariku dan dari ayahku telah bekerja di kebun miliknya dengan menggunakan cangkul.' Ali bin Hamzah bertanya, 'Siapakah gerangan dia itu?' Imam Al-Hâdî as menjawab, 'Rasulullah saw, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, dan seluruh nenek moyangku bekerja dengan tangan mereka sendiri. Bekerja adalah aktivitas para nabi, rasul, washî, dan orang-orang yang saleh.'" Kami telah menyebutkan realita ini dalam buku kami yang berjudul Al-'Amal wa Huqûq Al-'Amal fî Al-Islam, sebagaimana juga telah kami paparkan contoh-contoh lain yang membuktikan urgensi bekerja dan bahwa bekerja adalah sirah para nabi dan rasul as.
Kezuhudan
Imam Ali Al-Hâdî as zuhud terhadap seluruh kegemerlapan duniawi dan tidak pernah memberikan perhatian sedikit pun terhadap masalah ini kecuali dunia yang memiliki hubungan erat dengan kebenaran dan hak. Ia selalu lebih mementingkan ketaatan kepada Allah swt atas segala sesuatu. Para perawi hadis meriwayatkan bahwa rumah Imam Al-Hâdî as yang terdapat di Madinah dan Samirra' kosong dari setiap perabot rumah tangga. Tentara kerajaan Mutawakkil pernah mengadakan penggeledahan terhadap rumahnya di Samirra' dan memeriksanya dengan sangat jeli dan teliti. Mereka tidak menemukan sedikit pun kegemerlapan dunia di rumah itu. Mereka hanya menemukan Imam Al-Hâdî as berada di sebuah kamar yang tertutup dengan mengenakan jubah yang terbuat dari bulu. Ia sedang duduk di atas pasir dan kerikil, sedangkan tidak ada secarik karpet pun yang melindunginya dari tanah.
Sibth bin Al-Jawzî berkata: "Ali Al-Hâdî tidak memiliki kecenderungan sedikit pun terhadap harta dunia. Ia selalu berada di dalam masjid. Ketika mereka menggeledah rumahnya, mereka tidak menemukan apa pun di dalamnya kecuali mushaf-mushaf, kitab-kitab doa, dan buku-buku ilmu pengetahuan." Imam Ali Al-Hâdî as hidup seperti kakeknya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as hidup. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah figur yang paling zuhud terhadap dunia dan telah menceraikannya sebanyak tiga kali sehingga tidak ada istilah rujuk setelah itu. Pada masa menjadi khalifah, ia tidak pernah mengambil bagian sedikit pun dari harta-harta kekhalifahan itu. Ia malah menempelkan batu-batu di atas perutnya untuk menahan rasa lapar. Sandalnya terbuat dari serabut yang ia jahit dengan tangannya sendiri. Begitu juga halnya berkenaan dengan sabuk pinggangnya. Sabuk pinggang ini juga terbuat dari serabut. Di atas garis inilah, Imam Ali Al-Hâdî dan para imam maksum as yang lain menjalani kehidupan. Mereka berlaku tenggang rasa terhadap kaum fakir miskin dalam kesengsaraan hidup dan kekasaran pakaian mereka.
Sumber: Riwayat Hidup Para Imam Suci Ahlul Bait as oleh Bâqir Syarîf Al-Qurasyî
(Syiatulislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email