Ibu Kota Doha, Qatar. (Foto: Arabian Business)
Pada 2013 pemerintah meluncurkan kampanye bertema "Utang itu Memalukan".
Kartu kredit, pinjaman bank dalam jumlah besar, dan usaha keras melunasi pinjaman. Begitulah gaya hidup kebanyakan dari 300 ribu warga negara Qatar.
Mereka memang memperoleh gaji besar sebagai pegawai pemerintah dan layanan kesehatan gratis. Namun hal ini membikin mereka menjadi boros, bergaya hidup wah, dan bahkan kerap di luar kemampuan mereka sebenarnya. Kini kebaikan negara berkurang setelah harga minyak mentah global melorot sejak pertengahan 2014.
Menurut hasil penelitian oleh Universitas Qatar, banyak warga Qatar meminjam fulus dalam jumlah sangat besar ke bank-bank lokal buat membiayai gaya hidup boros mereka.
"Pikiran soal Qatar negara kecil, beruntung, bahagia. Itu sebuah mitos," kata Laurent Lambert dari Social and Economic Survey Research Institute di Universitas Qatar. "Banyak warga Qatar tidak memiliki penghasilan sesuai gaya hidup mereka dan sebagian kecil benar-benar miskin menurut standar setempat dan berjuang keras buat memenuhi kebutuhan."
75 persen dari total keluarga Qatar berutang, sebagian besar memiliki utang lebih dari US$ 68.700, menurut laporan Strategi Pembangunan Qatar 2014. Hanya sebagian kecil tidak mampu melunasi dan hukumannya penjara.
"Anda tidak bisa memakai jam jelek, mobil bekas, atau telepon seluler lama. Anda perlu model terbaru agar tidak kelihatan seperti orang miskin," ujar Muhammad al-Mari, mantan polisi lalu lintas sekarang bekerja di sektor amal. "Ini tuntutan sosial."
Al-Mari ingat seorang perempuan Qatar baru-baru ini terbang ke Kota Dubai, Uni Emirat Arab, untuk membeli tas tangan merek ternama. "Temannya sudah membeli sebuah tas bermerek dan dia ingin tapi sebenarnya tidak mampu," tuturnya.
Budaya hidup royal dan konsumsi berlebihan di Qatar telah menciptakan sebuah generasi meyakini mereka bisa hidup sesuka hati dan akan dijamin oleh keluarga atau pemerintah.
Warga Qatar memang bebas meminjam di bank, bahkan dalam jumlah beberapa kali lebih besar ketimbang gaji mereka. "Pada dasarnya, tiap orang bisa meminjam sebanyak mereka mau," kata Muhammad al-Kubaisa, ahli sosiologi.
Setelah menyadari sudah begitu besarnya jumlah pinjaman dan banyak warga Qatar tidak mampu melunasi, bank sentral pada 2011 mematok batas pinjaman dua juta riyal untuk kredit konsumen dengan masa pengembalian enam tahun.
Ketika Revolusi Arab meletup akhir tahun itu, pemerintah Qatar menaikkan gaji pegawai negeri hingga 60 persen dan 120 persen buat tentara. Arab Saudi melakoni hal serupa. Kebijakan ini buat meredam gejolak sosial.
Juga di 2011, Uni Emirat Arab membikin dana untuk melunasi utang warganya berpenghasilan rendah. Kuwait juga menghapus utang warga negaranya lantaran tekanan sosial.
Qatar terbelah dalam menangani isu itu. Hingga akhirnya pada 2013 pemerintah meluncurkan kampanye bertema "Utang itu Memalukan". Sejumlah donatur menyumbang buat melunasi utang-utang narapidana atau warga Qatar terancam dipenjara karena tidak bisa melunasi.
Namun tidak semua setuju dengan langkah itu. "Bila Anda menghapus utang seseorang, Anda juga membebaskan dia dari tanggung jawab pribadinya untuk melunasi utang," kata Mustafa al-Khamisi, pemilik perusahaan audit. "Itu sangat berbahaya karena jika Anda mulai mengikis tanggung jawab seseorang terhadap masyarakat, berarti Anda mulai mengikis masyarakat itu sendiri.
(Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email