Untuk pertama kalinya militer Israel menerima tujuh orang Yahudi berdarah Cina menjadi tentara.
Suatu hari di musim dingin tujuh bulan lalu, tiga pemuda dari Yerusalem bernama Moshe Li, Gideon Fan, dan Yonatan Xue muncul di pusat pendaftaran angkatan bersenjata Israel di Tel Hashomer untuk bergabung menjadi tentara. Bareng ribuan pemuda lainnya, ketiganya menjalani seleksi.
Kegembiraan dan patriotisme terasa kental sekali di sana. Bercampur suasana haru saat para orang tua memeluk anak-anak mereka dan teman saling berangkulan.
Kondisi ini lazim berlaku saban tahun ketika calon-calon taruna peserta wajib militer mulai mendaftar. Wajib militer di negara Zionis itu berlangsung tiga tahun bagi lelaki dan dua tahun buat perempuan.
Tapi keputusan Li, Fan, dan Xue untuk menjadi serdadu Israel sangat unik dan bersejarah. Mereka termasuk orang Cina berdarah Yahudi pertama bakal mengenakan seragam militer berwarna hijau zaitun.
Ketiganya berasal dari Kaifeng, kota di Cina pernah menjadi basis komunitas Yahudi seribu tahun lamanya sebelum terjadi asimilasi di abad ke-19. Kota di Provinsi Hinan ini berjarak 656,6 kilometer dari Ibu Kota Beijing. Kaifeng pernah menjadi ibu kota Kekaisaran Cina semasa Dinasti Song.
Mereka sudah menempuh perjalanan amat jauh dan sukar untuk memperoleh pengakuan sebagai Yahudi dan bisa menjadi warga negara Israel.
Paras mereka mirip orang Cina. Tidak seperti Yahudi Ashkenazi berdarah Eropa dan berupa bule atau Yahudi Sephardi, penduduk asli Timur Tengah berwajah Arab.
Sayangnya, ketiganya waktu itu sudah berumur 25 tahun, tidak bisa diterima. Militer Israel lebih memilih anak-anak muda Yahudi berusia 18 tahun, syarat minimal untuk menjalani wajib militer.
Sejak pindah ke Israel pada 2009, mereka bersumpah ingin berkontribusi bagi negara dan bangsa Yahudi.
Setelah melalui prosedur birokrasi rumit dan melelahkan, Li, Fan, dan Xue bareng empat orang Yahudi bermata sipit lainnya diterima menganut Yudaisme. Mereka pun mulai belajar bahasa Ibrani dan menjadi orang Israel.
Mereka lantas bareng-bareng mendaftar menjadi prajurit. Jawaban mereka terima lambat, sudah begitu mengecewakan. Cuma ucapan terima kasih.
Berbulan-bulan ketujuh Yahudi keturunan Cina ini memohon agar bisa diterima. Berkat campur tangan mantan Kepala Rabbi Militer Brigadir Jenderal Avichai Rontzki, mimpi mereka terkabul.
Kenapa mereka begitu ngotot ingin mengabdi buat militer Israel, jawaban Li barangkali terdengar klise. "Para leluhur saya hidup di Cina seribu tahun sebelum berasimilasi, jadi mereka tidak berjasa bagi Israel dan masyarakat Yahudi," katanya. "Jadi saya ingin memperbaiki itu. Saya ingin melakukan sesuatu untuk bangsa ini."
Orang-orang Yahudi diyakini pertama kali mendiami Kaifeng di abad kedelapan ketika Dinasti Song berkuasa atau mungkin sebelum itu. Para ahli menjelaskan pendatang perdana ini adalah para pedagang Yahudi Sephardi dari Persia atau Irak. Mereka tiba di Kaifeng lewat Jalur Sutera dan diizinkan kaisar Cina menetap di sana.
Pada 1163 komunitas Yahudi di Kaifeng membangun sebuah sinagoge indah dan besar, akhirnya direnovasi dan dibangun ulang berabad-abad kemudian. Jumlah orang Yahudi di Kaifeng mencapai puncaknya selama pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644), yakni lima ribu.
Hingga abad ke-17, banyak orang Yahudi Cina menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sejalan menguatnya pembauran lewat kawin campur, sampai pertengahan abad ke-18 sebagian besar tradisi Yahudi dan Yudaisme di Kaifeng lenyap.
Rabbi terakhir dalam komunitas Yahudi di Kaifeng dipercaya mengembuskan napas terakhir di awal abad ke-19. Sinagogenya hancur dihantam serangkaian banjir pada 1840-an.
Pada 1920-an ilmuwan Cina bernama Chen Yuan menulis sejumlah artikel ilmiah mengenai perjanjian soal agama di negara itu, termasuk "Sebuah Penelitian tentang Agama Yahudi di Kaifeng." Yuan menekankan masih ada sejumlah keturunan Yahudi di kota itu berusaha memelihara tradisi dan ritual mereka, seperti merayakan Hari Yom Kippur.
Saat ini Kaifeng berpenduduk lebih dari 4,5 juta orang. Ada ratusan atau mungkin paling banyak seribu orang merupakan keturunan Yahudi.
Xue masih ingat betul saat pertama kali berdoa di Tembok Ratapan atau Kotel dalam bahasa Ibrani enam tahun lalu. "Saya merasa seperti di rumah sendiri."
(Jerusalem-Post/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Gideon Fan, orang Cina berdarah Yahudi, tengah berdoa di Tembok Ratapan di Kota Yerusalem Timur. (Foto: Courtesy)
Suatu hari di musim dingin tujuh bulan lalu, tiga pemuda dari Yerusalem bernama Moshe Li, Gideon Fan, dan Yonatan Xue muncul di pusat pendaftaran angkatan bersenjata Israel di Tel Hashomer untuk bergabung menjadi tentara. Bareng ribuan pemuda lainnya, ketiganya menjalani seleksi.
Kegembiraan dan patriotisme terasa kental sekali di sana. Bercampur suasana haru saat para orang tua memeluk anak-anak mereka dan teman saling berangkulan.
Kondisi ini lazim berlaku saban tahun ketika calon-calon taruna peserta wajib militer mulai mendaftar. Wajib militer di negara Zionis itu berlangsung tiga tahun bagi lelaki dan dua tahun buat perempuan.
Tapi keputusan Li, Fan, dan Xue untuk menjadi serdadu Israel sangat unik dan bersejarah. Mereka termasuk orang Cina berdarah Yahudi pertama bakal mengenakan seragam militer berwarna hijau zaitun.
Ketiganya berasal dari Kaifeng, kota di Cina pernah menjadi basis komunitas Yahudi seribu tahun lamanya sebelum terjadi asimilasi di abad ke-19. Kota di Provinsi Hinan ini berjarak 656,6 kilometer dari Ibu Kota Beijing. Kaifeng pernah menjadi ibu kota Kekaisaran Cina semasa Dinasti Song.
Mereka sudah menempuh perjalanan amat jauh dan sukar untuk memperoleh pengakuan sebagai Yahudi dan bisa menjadi warga negara Israel.
Paras mereka mirip orang Cina. Tidak seperti Yahudi Ashkenazi berdarah Eropa dan berupa bule atau Yahudi Sephardi, penduduk asli Timur Tengah berwajah Arab.
Sayangnya, ketiganya waktu itu sudah berumur 25 tahun, tidak bisa diterima. Militer Israel lebih memilih anak-anak muda Yahudi berusia 18 tahun, syarat minimal untuk menjalani wajib militer.
Sejak pindah ke Israel pada 2009, mereka bersumpah ingin berkontribusi bagi negara dan bangsa Yahudi.
Setelah melalui prosedur birokrasi rumit dan melelahkan, Li, Fan, dan Xue bareng empat orang Yahudi bermata sipit lainnya diterima menganut Yudaisme. Mereka pun mulai belajar bahasa Ibrani dan menjadi orang Israel.
Mereka lantas bareng-bareng mendaftar menjadi prajurit. Jawaban mereka terima lambat, sudah begitu mengecewakan. Cuma ucapan terima kasih.
Berbulan-bulan ketujuh Yahudi keturunan Cina ini memohon agar bisa diterima. Berkat campur tangan mantan Kepala Rabbi Militer Brigadir Jenderal Avichai Rontzki, mimpi mereka terkabul.
Kenapa mereka begitu ngotot ingin mengabdi buat militer Israel, jawaban Li barangkali terdengar klise. "Para leluhur saya hidup di Cina seribu tahun sebelum berasimilasi, jadi mereka tidak berjasa bagi Israel dan masyarakat Yahudi," katanya. "Jadi saya ingin memperbaiki itu. Saya ingin melakukan sesuatu untuk bangsa ini."
Orang-orang Yahudi diyakini pertama kali mendiami Kaifeng di abad kedelapan ketika Dinasti Song berkuasa atau mungkin sebelum itu. Para ahli menjelaskan pendatang perdana ini adalah para pedagang Yahudi Sephardi dari Persia atau Irak. Mereka tiba di Kaifeng lewat Jalur Sutera dan diizinkan kaisar Cina menetap di sana.
Pada 1163 komunitas Yahudi di Kaifeng membangun sebuah sinagoge indah dan besar, akhirnya direnovasi dan dibangun ulang berabad-abad kemudian. Jumlah orang Yahudi di Kaifeng mencapai puncaknya selama pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644), yakni lima ribu.
Hingga abad ke-17, banyak orang Yahudi Cina menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sejalan menguatnya pembauran lewat kawin campur, sampai pertengahan abad ke-18 sebagian besar tradisi Yahudi dan Yudaisme di Kaifeng lenyap.
Rabbi terakhir dalam komunitas Yahudi di Kaifeng dipercaya mengembuskan napas terakhir di awal abad ke-19. Sinagogenya hancur dihantam serangkaian banjir pada 1840-an.
Pada 1920-an ilmuwan Cina bernama Chen Yuan menulis sejumlah artikel ilmiah mengenai perjanjian soal agama di negara itu, termasuk "Sebuah Penelitian tentang Agama Yahudi di Kaifeng." Yuan menekankan masih ada sejumlah keturunan Yahudi di kota itu berusaha memelihara tradisi dan ritual mereka, seperti merayakan Hari Yom Kippur.
Saat ini Kaifeng berpenduduk lebih dari 4,5 juta orang. Ada ratusan atau mungkin paling banyak seribu orang merupakan keturunan Yahudi.
Xue masih ingat betul saat pertama kali berdoa di Tembok Ratapan atau Kotel dalam bahasa Ibrani enam tahun lalu. "Saya merasa seperti di rumah sendiri."
(Jerusalem-Post/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email