Pesan Rahbar

Home » , » Fatwa Wajib Menghancurkan Kubah Makam Nabi Shallahu ‘alaihi Wa Sallam Oleh Bin Bazz Yang di Bilang Haram, Syirik, Musyrik, Meniru Orang Kafir Dan Lain-Lain. Sekarang Tinggal Makam Nabi Muhammad Saw Dianggap Syirik Oleh Salafi-Wahabi

Fatwa Wajib Menghancurkan Kubah Makam Nabi Shallahu ‘alaihi Wa Sallam Oleh Bin Bazz Yang di Bilang Haram, Syirik, Musyrik, Meniru Orang Kafir Dan Lain-Lain. Sekarang Tinggal Makam Nabi Muhammad Saw Dianggap Syirik Oleh Salafi-Wahabi

Written By Unknown on Thursday 21 July 2016 | 11:44:00

Berikut Saya Kutip Fatwa Bin Bazz (Mufti Wahabi) ----> (Baca Tulisan Warna Biru) Berikut Ini:

(Nomor bagian 1; Halaman 391)

Bantahan terhadap Mustafa Amin

Segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang terpercaya. Selanjutnya, saya telah mengkaji artikel dalam koran an-Nadwah yang terbit pada tanggal 24/6/1380 H berjudul "Peninggalan-peninggalan Madinah al-Munawwarah" karya Mustafa Amin. Saat membaca artikel tersebut, saya menemukan banyak kesalahan yang harus diwaspadai agar para pembacanya tidak terkecoh oleh kekeliruan tersebut. Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam, “Agama adalah nasihat.” dan “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka hendaklah dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, maka hendaklah dengan hatinya dan itu adalah iman yang paling lemah.”


Pembaca, inilah beberapa kesalahan yang ditemukan dan argumen yang mematahkannya:

Pertama, dia berkata tentang Madinah, “Kota suci ini memiliki banyak peninggalan monumental. Kita, masyarakat Arab, tidak banyak memberikan perhatian kepada hal ini, padahal kita mengunjungi Paris dan London dan kita menyaksikan bagaimana masyarakat di sana melestarikan peninggalan-peninggalan bersejarah mereka. Lantas, mengapa kita, kaum muslimin, tidak peduli dengan peninggalan bersejarah di masa lampau,” sampai dengan ucapannya, “Sesungguhnya Islam mengajak untuk ...,” dan lain-lain. Dengan kata-kata tersebut, sang penulis mengajak kita untuk meniru masyarakat Paris dan London dalam memuliakan dan membangun monumen peringatan peninggalan-peninggalan masa silam atau yang sejenisnya. Ini aneh dan mengherankan. Bisa-bisanya seorang muslim mengajak masyarakat untuk meniru musuh-musuh Allah. Padahal, Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka." Pembaca, mengagungkan peninggalan sejarah bukan dengan mendirikan bangunan, membuat prasasti, dan meniru orang kafir, melainkan dengan mengikuti langkah para pencetusnya, baik dalam karya agungnya, akhlak baiknya maupun dalam perjuangannya di jalan Allah dengan perbuatan, ucapan, dakwah, dan kesabaran. Inilah jalan yang ditempuh ulama salaf dalam memuliakan peninggalan para pendahulu mereka. Adapun mengagungkan peninggalan-peninggalan bersejarah dengan bangunan, hiasan, dan prasasti adalah menyalahi jalan salaf saleh. Bahkan, itu merupakan jalan kaum Yahudi, Nasrani,


(Nomor bagian 1; Halaman 392)

dan orang-orang yang meniru mereka, dan, lebih parahnya lagi, itu adalah sarana terefektif untuk mengantarkan kepada kemusyrikan dan penyembahan kepada para nabi dan wali, sebagaimana ditunjukkan oleh fakta yang terjadi dan dijelaskan dalam berbagai hadis yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunah. Oleh karena itu, berhati-hatilah dan waspadalah! Benar bahwa kaum muslimin harus bersiap melawan musuh mereka dengan mendirikan pabrik-pabrik yang memberikan manfaat kepada masyarakat muslim dan menciptakan senjata yang mengikuti zaman, bukan meniru kaum non-muslim melainkan kita menaati Allah dan Rasul-Nya dan mengikuti langkah sahabat salaf dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka. Dasar hukumnya adalah firman Allah Ta’ala, Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kalian. dan Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi. Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, “Muslim yang kuat itu lebih baik dan lebih disukai di sisi Allah daripada muslim yang lemah, dan masing-masing memiliki keutamaan. Berupayalah melakukan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan. Janganlah berputus asa.” dan seterusnya. Masih banyak ayat dan hadis yang semakna dengan ini. Semuanya menunjukkan bahwa kaum muslimin wajib membangun pabrik dan membentuk angkatan bersenjata serta melengkapi sarana-sarana hidup layak, yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, membuat mereka tidak tergantung dengan orang lain, dan membantu mereka untuk melawan musuh, menjaga kemaslahatan, menolong agama, dan mengembalikan kejayaan masa silam mereka serta melawan setiap orang yang ingin berbuat buruk kepada diri atau agama mereka. Inilah, Mustafa Amin, cara mengagungkan peninggalan-peninggalan masa silam yang sebenarnya, bukan dengan membuat bangunan atau berbagai hal lain yang Anda sebutkan. Hanya kepada Allah kita mohon pertolongan.


Kedua, Sang penulis, Mustafa, berkata,


(Nomor bagian 1; Halaman 393)

“Ilmu pengetahuan tidak menginterpretasikan ketakwaan dalam pengertian “lemah” atau “takut,” tetapi memahami hukum alam semesta, menyingkap rahasianya, meneliti setiap elemen yang ada di dalamnya, ... dan seterusnya." Benar, ketakwaan yang sejati seharusnya tidak berarti lemah, takut atau lambat berpartisipasi dalam berbagai bidang kebaikan dan kemanfaatan, baik untuk kepentingan pribadi maupun umum, dan mengamati alam semesta dan merenungi hikmah di balik penciptaannya. Namun, orang yang bertakwa seharusnya menjadi garda depan dalam setiap kebaikan dan memberikan perhatian terhadap semua reformasi secara optimal karena ketakwaan mereka kepada Allah mengharuskan hal tersebut. Hanya saja, kalimat-kalimat penulis dapat menimbulkan salah pengertian bahwa ketakwaan hanya sebatas mengetahui hukum alam semesta, menyingkap rahasianya, dan meniru orang-orang yang telah mencapai level tertinggi dalam bidang ini. Padahal, sesungguhnya masalahnya tidak seperti itu. Pengetahuan dan penyingkapan rahasia hukum alam semesta hanyalah bagian kecil dari ketakwaan, bukan ketakwaan itu sendiri. Takwa, sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama, berarti melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya atas dasar keimanan, kebenaran, ketulusan, rasa cinta, keinginan, dan rasa takut, termasuk membantu dalam mewujudkan kepentingan publik, membangun pabrik-pabrik yang bermanfaat, dan meneladani ulama salaf saleh yang telah lebih dahulu menguasai bidang ini dan para imam yang bertakwa. Tidak ada masalah jika kita mengambil manfaat dari rahasia alam semesta yang diketahui oleh bangsa lain dan temuan ilmu pengetahuan duniawi yang bermanfaat dan tidak melanggar kemurnian syariat Islam, tetapi melindungi syariat dari tipu daya para musuh Islam dan membuat pemeluk Islam tidak tergantung dengan umat lain. Bahkan, kaum muslimin wajib mengambil manfaat dari temuan-temuan tersebut, bukan dalam arti mengekor non-muslim, melainkan karena agama Islam memerintahkan penganutnya untuk bersungguh-sungguh mendapatkan apa yang bermanfaat bagi mereka dan menghindari apa yang membahayakannya, seperti yang telah dijelaskan dalam dalil-dalil sebelumnya. Berbagai penemuan hebat yang dihasilkan oleh kaum non-muslim hanya akan membuat mereka semakin terperosok dalam kekafiran, sikap ateis, kerusakan moral, dan kemerosotan akhlak mereka. Tidak sepatutnya seorang muslim terperdaya dengan pengetahuan kaum kafir atau meniru moral dan mode berbusana mereka yang melanggar syariat Allah. Kita hanya perlu mengambil ilmu pengetahuan mereka yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh kita dengan tetap mengikatkan diri kepada aturan syariat, konsisten di jalan kebenaran, dan berhati-hati terhadap semua hal yang bertentangan dengannya. Oleh karena itu, Pembaca, berhati-hatilah terhadap hal ini agar Anda terhindar dari berbagai macam kesesatan dan kerancuan. Mudah-mudahan Allah menunjukkan kita ke jalan yang lurus.

Ketiga, Mustafa berkata, “Orang-orang yang berkunjung ke makam pemimpin para syuhada (yaitu Hamzah bin Abdul Muththalib) wajib meneladaninya. Mereka juga perlu mengetahui bahwa Allah akan membalas segala jerih payah untuk sampai ke makam tersebut, tetapi tidak akan membalas mereka hanya karena sekadar berziarah, mencari berkah, atau berdoa,” sampai dengan kalimat, “ Hamzah radhiyallahu `anhu adalah teladan utama dalam jihad di jalan Allah ... dan seterusnya.”

Saya katakan bahwa pernyataan ini mengandung kebenaran dan kesalahan. Sisi benarnya, perkataan ini dapat membangkitkan semangat para peziarah makam


(Nomor bagian 1; Halaman 394)

Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu `anhu atau makam orang mukmin lainnya untuk mengingat kembali amal-amal saleh mereka selama hidup, seperti berjihad di jalan Allah, berdakwah, dan peduli dengan kepentingan umum lalu meneladani mereka dalam hal-hal tersebut. Ini merupakan kebenaran yang seharusnya banyak direnungkan oleh setiap muslim. Kaum muslimin harus meneladani orang-orang tersebut dalam segala aspek kehidupan sehingga bertindak seperti apa yang mereka lakukan dan mengikuti langkah mereka sebisa mungkin. Adapun pernyataan penulis bahwa Allah tidak akan memberi pahala kepada orang yang hanya sekadar berziarah, mencari pahala, dan berdoa tidak diragukan lagi bahwa perkataan tersebut merupakan kesalahan nyata dan bertentangan dengan hadis-hadis sahih yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, “Berziarahlah kalian ke kuburan karena itu dapat mengingatkan kalian kepada akhirat.” Dalam riwayat lain, "dan (ziarah kubur) dapat membuat kamu berlaku zuhud (melepaskan kecenderungan cinta kepada kenikmatan) di dunia."

Nas-nas yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam dalam konteks ini menunjukkan bahwa tujuan berziarah adalah mengingat akhirat, melepaskan kecintaan kepada kenikmatan dunia, dan memohon kepada Allah untuk mengampuni dan memberi keselamatan kepada penghuni kubur. Sementara itu, penulis berpaling dan menutup mata dari hal ini dan lebih menekankan kepada poin lain yang diambil dari nas-nas yang lain. Seandainya dia mengombinasikan pengertian keduanya, tentu dia tidak akan salah memahami kebenaran. Mengenai berziarah dengan tujuan mencari berkah, maka ini bukan termasuk ajaran Islam, bahkan ini merupakan perbuatan masyarakat Jahiliah dan akhlak penyembah berhala sehingga harus dihindari dan para peziarah dilarang untuk melakukannya. Ada riwayat dalam Shahih Muslim, dari Buraidah radhiyallahu `anhu yang berkata, "Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam mengajarkan kepada para sahabat agar mengucapkan, 'Assalaamu `alaikum ahla al-diyari min al-mu'minin wa al-muslimiin, wa innaa insyaa'allah bikum laahiquun, nas'alullaaha lanaa wa lakum al-`aafiyah (Salam kesejahteraan bagi kalian, Para penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Sesungguhnya kami, insya Allah, akan menyusul. Kami berdoa kepada Allah untuk memberikan ampunan bagi kami dan kalian)' ketika berziarah kubur." Dalam kitab Jami` Tirmidzi, ada riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam lewat di kompleks pemakaman di Madinah dan mengucapkan, 'Assalamu `alaikum ya ahlal-qubuur, yaghfirullahu lanaa wa lakum, antum salafunaa wa nahnu bil-atsar (Salam sejahtera bagi kalian, Para penghuni kubur. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian. Kalian adalah pendahulu kami dan kami akan menyusul).'" Inilah Sunah yang Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam ketika berziarah dan ini juga menjelaskan tujuannya. Adapun meminta berkah dari mereka, mendirikan bangunan di atas makam mereka, membuat prasasti atau menjadikan mereka sebagai perantara berdoa adalah tidak termasuk sunah Rasul, tetapi salah satu adat Yahudi, Nasrani, dan masyarakat Jahiliah. Kami memohon kepada Allah untuk menyelamatkan kita dan kaum muslimin dari hal itu.


(Nomor bagian 1; Halaman 395)

Keempat, Mustafa menyebutkan dalam artikelnya, “Penduduk negara-negara Islam telah menjadikan raja-raja mereka sebagai tuhan dan menganggap orang-orang saleh sebagai wali yang dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Mereka membangun kubah-kubah dan mendirikan masjid-masjid untuk orang-orang tersebut, bukan dalam rangka mengabadikan perbuatan baik mereka untuk menjadi teladan generasi mendatang, melainkan untuk menjadi tempat-tempat beribadah kepada mereka dan bertawasul kepada Allah. Seandainya saja mereka membangun masjid-masjid dan kubah-kubah itu untuk mengambil keteladanan dan sebagai monumen peringatan, maka tentu itu akan lebih baik ... dan seterusnya.” Saya katakan bahwa pernyataan ini mengandung kebenaran dan kekeliruan. Sisi benarnya adalah penulis mengakui bahwa masih banyak perbuatan bidah dan mungkar yang dilakukan oleh sebagian umat Islam. Penulis juga mengkritik pembangunan kubah dan masjid di atas kuburan sebagai tempat beribadah kepada orang mati dan tawasul dengan mereka. Hal ini tidak diragukan lagi memang terjadi. Orang yang berkunjung ke negara tetangga melihat hal tersebut dengan mata kepala sendiri. Sungguh ini adalah musibah. Kami meminta kepada Allah untuk melindungi kaum muslimin dari hal ini dan menganugerahkan kepada mereka pemahaman agama sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam agar dapat mengetahui bahwa perbuatan bidah ini melanggar syariat dan mengantarkan kepada perbuatan syirik, seperti yang terjadi sekarang ini. Adapun kesalahan penulis adalah bahwa dia membedakan tujuan pembangunan kubah dan masjid untuk beribadah dan tawasul dengan pembangunan yang bertujuan sebagai monumen semata. Menurutnya, tujuan pertama dan kedua memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Pembedaan ini tidak memiliki dalil dan bahkan bertentangan dengan nas-nas Alquran maupun hadis, yang menunjukkan larangan membangun kubah atau masjid secara mutlak, karena membangunnya sebagai sarana ibadah kepada orang mati, bertawasul dengan mereka, berdoa, dan meminta tolong adalah kemusyrikan yang besar dan merupakan perbuatan kaum Jahiliah pertama ketika menyembah Lata, Uzza, Manat, dan berhala lainnya. Sementara itu, membangun masjid dan kubah di atas kuburan sebagai bangunan memorial merupakan sarana yang paling dekat dan perantara kepada perbuatan syirik dan penyembahan kepada penghuni kubur. Oleh karena itu, Alquran dan sunah melarang, mengingkari, dan mewanti-wanti umat akan hal tersebut serta mengingatkan mereka agar menghentikan segala perantara syirik. Salah satu dalilnya terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Aisyah radhiyallahu `anha, yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena telah membuat kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah.” Aisyah berkata,


(Nomor bagian 1; Halaman 396)

“Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam memperingatkan kita untuk tidak melakukan apa yang mereka perbuat. Jika bukan karena hal ini, tentu ia akan meninggikan kuburannya. Namun, ia khawatir kuburannya akan dijadikan sebagai masjid.” Dalam Shahih Muslim, dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu `anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, "Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan nabi-nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai masjid. Janganlah sekali-kali kalian menjadikan kuburan sebagai masjid karena aku sungguh melarang kalian melakukan hal itu." Diriwayatkan pula dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam melarang memplester kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya. Hadis ini dan hadis lain yang semakna dengannya menunjukkan pelarangan mendirikan masjid dan kubah di atas kuburan dan bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam melarang umatnya dari perbuatan tersebut. Tujuannya agar kaum muslimin berbeda dari perbuatan kaum Yahudi dan Nasrani yang berlebih-lebihan mengagungkan orang mati, menjadikan kuburan mereka sebagai masjid, salat dan berdoa di masjid tersebut, dan sebagainya. Semua itu membuat mereka jatuh dalam kemusyrikan dan penyembahan kepada para nabi dan orang-orang saleh, di samping menyembah Allah. Hal ini juga terjadi pada bangsa-bangsa yang lain. Apa yang ditakutkan oleh Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam sudah terjadi dalam umatnya. Mereka mengagungkan para nabi dan orang-orang saleh yang sudah meninggal dunia dengan cara yang tidak disyariatkan oleh Allah. Mereka membangun masjid dan kubah di atas makam tersebut dan melimpahkan doa dan kecintaan sampai mereka jatuh kepada perbuatan syirik yang diharamkan. Akhirnya, banyak orang meniru perbuatan para penyembah kubur. Tiada daya dan kekuatan kecuali atas kehendak Allah yang Mahatinggi dan Mahaagung. Riwayat lainnya adalah hadis yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Ummu Salamah dan Ummu Habibah radhiyallahu `anhuma, bahwa keduanya melihat di negeri Habasyah (Ethiopia) sebuah gereja bernama "Mariyah" yang berisi berbagai macam gambar. Hal ini mereka ceritakan kepada Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam. Ia pun bersabda, "Mereka adalah suatu kaum yang apabila ada orang saleh dari mereka meninggal dunia, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat gambar-gambar (patung-patung) itu di dalam masjid tersebut. Mereka adalah makhluk paling buruk di sisi Allah." Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa orang-orang yang membangun masjid dan kubah di atas kuburan dan orang-orang yang melukis gambar di dalamnya adalah makhluk paling buruk di sisi Allah. Rasul juga melaknat mereka dalam hadis Aisyah tanpa membedakan antara orang yang membangunnya untuk ibadah dan untuk sekadar mengabadikan peringatan. Dari sini dapat diketahui bahwa pembangunan masjid dan kubah di atas kuburan adalah tidak boleh secara mutlak karena bangunan itu hanya merupakan perantara syirik yang paling besar dan paling jelas tanda-tandanya. Ini juga merupakan tradisi umat Yahudi dan Nasrani yang haram untuk kita ikuti dan wajib kita waspadai, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, "Kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian dengan cara yang benar-benar sama. Bahkan, seandainya mereka masuk ke dalam lubang kadal, kalian akan mengikuti mereka." Para sahabat berkata, "Rasulullah, apakah Yahudi dan Nasrani?" Ia bersabda, "Kalau bukan mereka, siapa lagi?" (Muttafaq `Alaih).


(Nomor bagian 1; Halaman 397)

Hadis sahih ini menunjukkan bahwa umat Islam akan mengikuti jalan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam kemusyrikan dan bidah, kecuali orang yang mendapatkan perlindungan dari Allah, yaitu orang-orang yang ditolong sebagaimana dijelaskan dalam hadis lain. Hadis ini juga memperingatkan umat Islam untuk tidak mengikuti tradisi Yahudi dan Nasrani karena mengikuti mereka berarti menentang Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam. Sesungguhnya Allah Subhanah dalam Alquran telah memberi perintah untuk menaati Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam dan menjauhi apa yang dilarangnya, sebagaimana firman-Nya, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya."

dan firman-Nya, Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam mengajak umatnya kepada kebaikan dan memperingatkan mereka untuk menjauhi keburukan. Oleh karena itu, orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak boleh menyimpang dari jalannya atau mengajak kepada selain jalannya. Tidak diragukan lagi bahwa membangun masjid dan kubah di atas kuburan adalah salah satu perbuatan kaum Yahudi dan Nasrani dan termasuk perantara kemusyrikan dan kesesatan secara mutlak sehingga wajib ditinggalkan dan diwaspadai. Sesungguhnya hanya kepada Allah kita mohon kekuatan.

Kelima, Mustafa menulis, "Demikian juga Baqi' yang merupakan tanah pemakaman, tempat mereka menguburkan para istri dan bibi Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam, Ibrahim (putranya), dan para sahabat. Dahulu makam tersebut berkubah sampai akhirnya pemerintah menghancurkan kubah-kubah tersebut dan menjadikannya seperti sediakala tanpa penanda. Ratusan ribu orang yang mengunjungi Masjid Nabawi juga datang berziarah ke pemakaman Baqi' tanpa mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dimuliakan Allah daripada para hamba-Nya, seperti para istri Rasulullah, Ibrahim (putra Rasulullah), dan puluhan sahabat. Seandainya saja Lembaga Administrasi Wakaf membuat papan tanda di atas kuburan-kuburan tersebut sesuai dengan nama penghuninya masing-masing lalu membuat pagar besi di sekelilingnya agar mudah dikenali dan ziarah tidak lain kecuali dengan tujuan ... dan seterusnya."

Penulis menyeru kepada Lembaga Administrasi Wakaf di Madinah untuk membuat papan-papan bertuliskan nama orang terkenal yang dikubur di pemakaman Baqi'


(Nomor bagian 1; Halaman 398)

dan mendirikan pagar besi di kuburan mereka agar dapat dikenali. Menurut saya, saran penulis ini mungkin saja berawal dari niat dan tujuan yang baik. Namun, pendapat dan rekomendasi tidak boleh dijadikan pedoman oleh seorang mukmin kecuali jika dia telah mempertimbangkan baik buruknya berdasarkan Alquran dan sunah Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam. Mungkin saja ketika menulis kalimat ini dari awal hingga akhir, penulis belum mengetahui riwayat hadis sahih dari Rasulullah Shalallahu `Alaihi wa Sallam seputar masalah kuburan. Oleh karena itu, dia berbuat kesalahan, termasuk kesalahan terakhir saat dia menganjurkan Lembaga Administrasi Wakaf untuk melakukan apa yang dia sarankan. Telah diriwayatkan dalam hadis sahih bahwa Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam melarang pendirian bangunan di atas kuburan. Tidak diragukan lagi bahwa membuat pagar di sekeliling makam hukumnya sama dengan mendirikan bangunan dan menjadi sarana untuk mengultuskan orang mati dan menimbulkan kekacauan. Demikian pula dengan membuat tulisan di atasnya. Itu merupakan sikap berlebihan dan menjadikan hamba-hamba Allah sebagai berhala. Hal ini karena ketika sejumlah orang yang tidak paham agama membaca nama-nama penghuni kuburan dan mengetahui bahwa mereka adalah tokoh besar dalam ilmu pengetahuan, ibadah atau kepemimpinan atau mengetahui bahwa mereka termasuk Ahlu Bait Nabi, maka mereka akan tersungkur untuk mengelus makam dan mengambil berkah dari tanahnya, seperti yang banyak dilakukan oleh penduduk yang tidak paham agama di negara tetangga. Ada riwayat sahih bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam melarang umat Islam untuk menulis di atas kuburan, mendirikan bangunan, meninggikan kuburan, membangun masjid, dan memasang lampu, berdasarkan hadis sebelumnya. Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam melarangnya demi menjaga tauhid, mencegah timbulnya sarana-sarana kemusyrikan, dan melindungi umat agar tidak jatuh kepada kesalahan yang dilakukan orang-orang sesat sebelumnya dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan para penyembah berhala dari berbagai kabilah Arab. Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat, dan menasihati umat dengan nasihat terbaik dari Allah. Kami sampaikan selawat dan keselamatan tertinggi untuknya. Tujuan berziarah ke makam Baqi'


(Nomor bagian 1; Halaman 399)

adalah berdoa dan memohon ampun kepada Allah untuk penghuni kubur dan mengingat Hari Akhir, sebagaimana yang sebelumnya disebutkan. Semua ini, alhamdulilah, bisa dilakukan meskipun peziarah tidak mengetahui nama mereka. Saran penulis untuk membuat tanda atau membangun pagar di sekitar makam itu tidak perlu. Seandainya ini merupakan hal yang baik, tentu para ulama salaf saleh dan pengikut-pengikutnya sudah melakukannya dari dulu karena mereka adalah orang yang lebih memahami syariat, paling giat mengamalkannya, dan paling mencintai dan melindungi istri-istri dan keluarganya. Karena mereka tidak melakukan semua itu dan merasa cukup dengan kondisinya sejak awal, yaitu di masa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam dan Khulafa ar-Rasyidin, maka kita tahu bahwa apa yang dibuat orang-orang di masa setelahnya, seperti membangun dan menulis sesuatu di atas kuburan, adalah perbuatan batil, kultus, dan bidah yang terlarang. Pembaca, waspadilah hal ini dan hindarilah perbuatan menyerupai orang kafir dan bidah. Sesungguhnya Allah yang memberi petunjuk menuju jalan yang lurus. Sepeninggal Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam, banyak misionaris Yahudi dan Nasrani


(Nomor bagian 1; Halaman 400)

serta orang-orang Islam yang lebih suka meniru mereka mengajak masyarakat untuk menyalahi ajaran Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam dan menyebarkan pemikiran-pemikiran yang merusak dan propaganda-propaganda sesat, baik sengaja maupun tidak. Pada gilirannya, kesalahan pun tersebar sementara kebenaran tersembunyi bagi orang banyak. Para penyeru kebenaran dan penyebar syariat semakin sedikit sedangkan di masyarakat semakin banyak para penyeru yang mengaku berilmu dan para pendukung kemusyrikan dan kehinaan. Cukuplah Allah bagi kami dan kepada-Nya kami menyerahkan segala urusan. Dari sini, para pembaca yang saleh dan ulama yang diberi petunjuk harus berupaya berpartisipasi sekuat tenaga untuk menyeru kepada Islam yang benar, yaitu yang suci dari kemusyrikan atau bidah. Mereka juga harus menyebarkan keindahan Islam, aturan-aturannya, tujuan-tujuan mulianya, dan pendidikannya yang moderat di berbagai lapisan masyarakat, mengadakan perkumpulan, dan menyediakan media publikasi berupa ceramah atau selebaran. Mereka juga harus menyebarkan Islam melalui ceramah dan siaran radio agar orang yang bodoh dalam agama dapat belajar, yang lalai menjadi sadar, yang lupa menjadi ingat, dan yang menyebarkan kesesatan menghentikan upayanya melawan agama Islam dan aturan syariat dengan pandangan para ulama. Ketika para penyeru agama Islam berupaya mendukung Islam, maka para penyeru kemusyrikan, ateisme, bidah, dan hawa nafsu akan hilang. Api mereka akan padam dan mereka akan menghilang tanpa jejak. Mereka juga akan menjauh dari mimbar-mimbar ceramah dan mungkin kembali ke jalan kebenaran serta membantu para pejuangnya setelah mereka memperoleh cahaya kebenaran, mendapatkan bimbingan, dan ketika keraguan dan kebodohan hilang dari hati mereka. Sungguh, betapa kaum muslimin wajib memberi nasihat dalam agama dan betapa besar kewajiban tersebut. Sesungguhnya kewajiban ini telah dilaksanakan oleh para ulama dan penyeru reformasi di masa sekarang. Saya berharap agar mereka diberikan taufik, keteguhan, kekuatan, dan semangat untuk menyampaikan kebenaran, menghancurkan benteng-benteng kesesatan, dan memberangus basis-basis kebatilan. Saya pun merasa perlu menyampaikan kepada orang-orang yang belum berpartisipasi dalam hal ini, yaitu para pembaca yang sadar dan para ulama terkenal, untuk menghilangkan godaan kemalasan dan keraguan akan penyerahan diri kepada Allah. Kami juga berharap mereka dapat ikut serta di medan ini dengan kejujuran, keberanian, pengetahuan, dan kesabaran sehingga mereka dapat menolong agama Islam, memelihara kemurnian syariat, menunjukkan masyarakat kepada ajarannya, dan mengarahkan mereka untuk melangkah di jalan yang lurus. Mereka akan mendapatkan pahala yang sama dengan para pengikut mereka sampai Hari Kiamat, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam, "Barangsiapa menyeru kepada petunjuk (kebajikan), maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikit pun." Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan segenap saudara muslim untuk melangkah di jalan yang lurus dan melindungi kita dari jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Semoga Allah mencurahkan selawat dan salam kepada hamba dan utusan-Nya Muhammad, keluarga, dan segenap sahabatnya.
____________________________________________


Jawaban seluruh Kaum Muslim Ahlus Sunnah sbb:

Sebagian kelompok dengan ‘galak’ mengecam keras ziarah kubur, menuduhnya bid’ah, bahkan musyrik. Dalil yang sering dipakai adalah hadis Rasulullah yang melarang bepergian kecuali ke tiga masjid:

Rasulullah SAW bersabda:

وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إلى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ، مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي

Artinya: “Dan tidak boleh syaddur rihal kecuali tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku.”[1]

Penjelasannya:

Jika dalil ini digunakan secara umum pelarangan bepergian, pastinya bepergian ke daerah lain untuk kunjungan, studi banding, belajar, bekerja atau hanya sekedar wisata juga dilarang.

Nyatanya hal-hal itu juga tidak dilarang bahkan oleh kalangan yang melarang ziarah makam Ulama’ sekalipun. Jika bepergian hanya sekedar wisata ke Eropa saja tidak dilarang, mengapa bepergian untuk ziarah kubur para Ulama’ itu dilarang.

Para Ulama’ memaknai hadits ini, bahwa tidak ada bumi yang mulia untuk dikunjungi kecuali kepada tiga masjid tadi. Artinya tidak ada sejengkal bumi yang mulia yang mempunyai kemuliaan untuk dikunjungi kecuali ke tiga masjid tadi. Sebagaimana dikutip dari fatwa Daar Al Ifta’ Mesir fatwa No. 450.

Sebagaimana Ibnu Hajar dalam kitabnya[2] berkata:

قوله : إلا إلى ثلاثة مساجد المستثنى منه محذوف،فإما أن يقدر عاماً فيصير:لا تشد الرحال إلى مكان في أي أمر كان إلا لثلاثة أو أخص من ذلك ،لا سبيل إلى الأول لإفضائه إلى سد باب السفر للتجارة وصلة الرحم وطلب العلم وغيرها، فتعين الثاني، والأولى أن يقدر ما هو أكثر مناسبة وهو : لا تشد الرحال إلى مسجد للصلاة فيه إلا إلى الثلاثة ، فيبطل بذلك قول من منع شد الرحال إلى زيارة القبر الشريف وغيره من قبور الصالحين ، والله أعلم

Artinya: Adapun sabda Nabi [tidak boleh bepergian kecuali kepada tiga masjid] maka mustatsna minhunya dibuang. Jika dikira-kirakan keumuman larangan itu, maka akan menjadi tidak boleh bepergian kemanapun kecuali ke tiga tempat itu. Maka hal itu akan menghalangi bolehnya bepergian untuk bisnis, silaturrahim, mencari ilmu dan lain sebagainya.


ZIARAHNYA NABI KE MAKAM IBUNYA, AMINAH.

Rasulullah SAW bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

Artinya: Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau.

Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian” [HR. Muslim no.108, 2/671].

Diantara faedah dari hadits ini adalah bolehnya mengadakan ziarah ke makam orang tua. Bahkan Nabi Muhammad SAW memerintahkan berziarah ke kubur, karena hal itu bisa mengingatkan kepada kematian.

Sudah banyak yang tahu bahwa Makam Aminah, ibu Nabi Muhammad SAW berada di sebuah desa bernama Abwa’. Daerah yang sekarang disebut dengan nama kharibah. Jarak dari Abwa’ ke Madinah adalah 180 Km, tulis salah satu artikel alarabiya.net[3].

Jarak 180 km zaman dahulu pasti bukan jarak yang pendek lagi. Dalam kitab fiqih disebutkan bahwa jarak bepergian yang dibolehkan safar diantaranya adalah sekitar 85 km. Artinya Nabi Muhammad telah mengadakan perjalanan untuk mengunjungi makam ibunya.


HUKUM ZIARAH KUBUR DAN SYADDU AD DZARAI’

Hukum ziarah kubur pada asalnya boleh. Nabi Muhammad SAW bersabda:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” [HR. Al Haakim no.1393]

Para Ulama’ ahli ushul fiqih berbeda pendapat mengenai Amar setelah Nahyi, perintah setelah larangan[4].

-Pendapat pertama; amar setelah Nahyi berfaedah “Wajib”. Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Ibnu Hazm.
-Pendapat kedua; berfaedah “Mubah”. Ini adalah pendapat Malik, Syafi’i dan Hanbaliyah.
-Pendapat ketiga, hukum dikembalikan kepada hukum awal sebelum adanya nahyi. Ini adalah pendapat Ibnu Taymiyyah.
-Pendapat keempat; tawaqquf atau tidak menentukan sikap. Ini adalah pendapat Al Juwaini dan Al Amidi.

Artinya semua sepakat tidak ada larangan untuk ziarah kubur, baik kedua orang tua, saudara, teman termasuk kubur orang shalah.

Dalam Ushul Fiqih, dikenal kaedah:

أن للوسائل أحكام المقاصد

Artinya: Wasilah/perantara terhadap sesuatu itu hukumnya seperti tujuan sesuatu tersebut. Sebagai contoh sholat lima waktu hukumnya wajib, maka mengetahui masuknya waktu shalat hukumnya juga wajib[5].

Sebagaimana ziarah ke kubur itu hukumnya sunnah, ada yang mengatakan mubah. Maka mengadakan perjalanan untuk ziarah hukumnya mubah. Bagaimana bisa hukum ziarah kuburnya boleh atau sunnah, sedangkan wasilah untuk sampai ke tempat yang diziarahi hukumnya haram. Dan bepergian adalah wasilah untuk bisa sampai ke tempat tujuan ziarah.

Maka pengharaman sesuatu karena dalil Saddu Ad Dzarai’, dalam kekuatan hukum fiqihnya tidaklah seperti suatu hukum yang keharamannya telah ditentukan syara’ dengan nash.


ZIARAH KUBUR PARA WALI DALAM LITERATUR KITAB ULAMA’ SALAF

Disebutkan dalam kitab Tahdzibu At Tahdzib karya Imam Ibnu Hajar, ketika menulis sejarah Imam Ali bin Musa Ar Ridha disebutkan[6]:

قبر الإمام علي بن موسى الرضا زاره جماعة من علماء ومشايخ السنة وعلى رأسهم الحفظ الكبير إمام أهل الحديث في وقته محمد بن إسحاق بن خزيمة ، قال الحاكم في تاريخ نيسابور :

Artinya: Kubur Imam Ali bin Musa ar Ridha telah diziarahi oleh banyak Ulama’ dan Masyayikhu as sunnah, diantaranya adalah Imam besar Ahli Hadits [yang benar-benar Ahli dalam bidang Hadits] Ibnu Khuzaimah.

وسمعت أبا بكر محمد بن المؤمل بن الحسن بن عيسى يقول : خرجنا مع إمام أهل الحديث أبي بكر بن خزيمة ، وعديله أبي علي الثقفي ، مع جماعة من مشايخنا ، وهم إذ ذاك متوافرون إلى زيارة قبر علي بن موسى الرضا عليه السلام بطوس ، قال : فرأيت من تعظيمه يعني ابن خزيمة لتلك البقعة ، وتواضعه لها، وتضرعه عندها ما تحيرنا .

Disebutkan dalam kitab At Tsiqat karangan Ibnu Hibban[7] ketika mengomentari kubur Al Imam Ar Ridha sebagai berikut:

وقبره بسنا باذ خارج النوقان مشهور يزار بجنب قبر الرشيد قد زرته مرارا كثيرة وما حلت بي شدة في وقت مقامى بطوس فزرت قبر على بن موسى الرضا صلوات الله على جده وعليه ودعوت الله إزالتها عنى إلا أستجيب لي وزالت عنى تلك الشدة وهذا شيء جربته مرارا فوجدته كذلك أماتنا الله على محبة المصطفى وأهل بيته صلى الله عليه وسلم الله عليه وعليهم أجمعين.

Artinya: Saya telah mengunjungi kuburannya berkali-kali. Bahkan ketika saya mengalami kesulitan di Thus, saya datang ke kuburnya dan saya berdo’a kepada Allah agar dihilangkan kesusahan itu. Maka hilanglah kesulitan-kesulitan itu.

Disebutkan dalam kitab Tarikh Baghdad Karya al Imam al Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Ali; yang lebih dikenal dengan al Khathib al Baghdadi[8] (w 463 H), sebagai berikut:

قبر سلمان الفارسي، قال الخطيب في ترجمته: وحضر فتح المدائن ونزلها حتى مات بها، وقبره الآن ظاهر معروف بقرب إيوان كسرى، عليه بناء، وهناك خادم مقيم لحفظ الموضع وعمارته، والنظر في أمر مصالحه، وقد رأيت الموضع، وزرته غير مرة.

Artinya: Al Khatib al Baghdadiy ketika menulis tentang Kubur Salman al Farisi berkata: Dia [Salman Al Farisi] ikut dalam fath al Madain sehingga meninggal disana. Kuburannya sekarang masih ada di dekat Iwan Kisra. Saya telah melihatnya dan mengunjunginya beberapa kali.

Disebutkan dalam kitab Masyahiru Ulama’ al Amshar karya Ibnu Hibban[9]

قبر الصحابي المعروف أبو الدرداء عويمر بن عامر بن زيد الأنصاري، قال الحافظ أبو حاتم بن حبان: وقبره بباب الصغير بدمشق مشهور يزار، قد زرته غير مرة.

Artinya: Ibnu Hibban ketika menulis tentang Seorang Shabat nabi Abu Darda’ al Anshari: Dan kuburnya di bab as Shaghir Damaskus yang telah masyhur dan banyak diziarahi, saya telah menziarahinya berkali-kali.

Disebutkan dalam kitab Thabaqat As Syafiiyyah karya Ibnu Qadhi Syuhbah sebagai berikut[10]:

قال أبو بكر أحمد بن محمد المعروف بابن قاضي شهبة الدمشقي الشافعي في ترجمة أحمد بن علي الهمداني : والدعاء عند قبره مستجاب . طبقات الشافعية لابن قاضي شهبة ج1 ص 158 رقم 14 ط. دار الندوة الجديدة / بيروت سنة 1407هـ – 1987م .

Artinya: Abu Bakar bin Muhammad ketika menuliskan biografi Ahmad bin Ali Al Hamdani berkata: Berdo’a di kuburnya termasuk mustajab.

Sebaimana disebutkan dalam kitab Siyaru a’lami an Nubala’ karya Ad Dzahabi[11] sebagai berikut:

والدعاء عند قبره مستجاب. سير أعلام النبلاء ج17 ص 76 ط. مؤسسة الرسالة / بيروت

Artinya: do’a di kuburnya termasuk mustajab.

Dll (masih banyak lagi, bisa dibaca di sumber aslinya)


Catatan kaki:

[1] HR. Al-Bukhari no. 1132 dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Muslim No. 1397 dari Abu Hurairah
[2]Al Barmawi, Futuhat al Wahhab/ Hasyiyatul Jumal: 2/361. Lihat fatwa dari daar Ifta’ mesir di:http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=450&LangID=1
[3]http://www.alarabiya.net/articles/2006/04/21/23037.html
[4]Lihat: Al Bahru al Muhith: 2/111, Al Mahshul: 1/202, Ahkamul Amidi: 3/398, Ahkam Ibn hazm: 1/404, Al Uddah: 1/175, Al Burhan: 1/87
[5]Lihat: Syarah Tanqihul Fushul: 449, I’lamul Muwaqqi’in: 3/135
[6]Ibnu Hajar, Tahdzibu At Tahdzib: 7/339
[7]Ibnu Hibban, At Tsiqat: 8/457
[8] al Khathib al Baghdadi (w 463 H), Tarikh Baghdad: 1/163
[9]bnu Hibban, Masyahiru Ulama’ al Amshar: 322
[10]As Subki, Thabaqat As Syafi’iyyah
[11] Ad Dzahabi, Siyaru a’lami An Nubala’: 17/76
__________________________________________


Dalil-dalil Ziarah Kubur

Setelah kita membaca keterangan mengenai sholat Jenazah yang semuanya berkaitan dengan orang yang telah wafat, mari kita sekarang meneliti dalil-dalil ziarah kubur dan pembacaan Al-Qur’an dikuburan. Ziarah kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw., sebagaimana hadits dari Sulaiman bin Buraidah yang diterima dari bapaknya, bahwa Nabi saw bersada:

كُنْتُ نَهَيْتُكُم عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ, فَزُورُوهَا, وَفِي رِوَايَةٍ فَإنَّهَا تُذَكِّرُكُم.. بالآخرة

“Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, namun kini berziarahlah kalian!. Dalam riwayat lain; ‘(Maka siapa yang ingin berziarah kekubur, hendaknya berziarah), karena sesungguhnya (ziarah kubur) itu mengingat- kan kalian kepada akhirat’. (HR.Muslim)

Juga ada hadits yang serupa diatas tapi berbeda sedikit versinya dari Buraidah ra. bahwa Nabi saw. bersabda :
“Dahulu saya melarang kalian menziarahi kubur, sekarang telah diizinkan dengan Muhammad untuk berziarah pada kubur ibunya, karena itu berziarah lah ke perkuburan sebab hal itu dapat mengingatkan pada akhirat”. (HR. Muslim (lht.shohih Muslim jilid 2 halaman 366 Kitab al-Jana’iz), Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Ahmad).

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Saya pernah melarang kamu berziarah kubur, maka berziarahlah padanya dan jangan kamu mengatakan ucapan yang mungkar [Hajaran]”. (Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang sholat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits nr. 603 jilid 1 hal. 217)

Dari hadits-hadits diatas jelaslah bahwa Nabi saw. pernah melarang ziarah kubur namun lantas membolehkannya setelah turunnya pensyariatan (lega- litas) ziarah kubur dari Allah swt Dzat Penentu hukum (Syari’ al-Muqaddas).

Larangan Rasulallah saw. pada permulaan itu, ialah karena masih dekatnya masa mereka dengan zaman jahiliyah, dan dalam suasana dimana mereka masih belum dapat menjauhi sepenuhnya ucapan-ucapan kotor dan keji. Tatkala mereka telah menganut Islam dan merasa tenteram dengannya serta mengetahui aturan-aturannya, di-izinkanlah mereka oleh syari’at buat menziarahinya. Dan anjuran sunnah untuk berziarah itu berlaku baik untuk lelaki maupun wanita. Karena dalam hadits ini tidak disebutkan kekhususan hanya untuk kaum pria saja.

Dalam kitab Makrifatul as-Sunan wal Atsar jilid 3 halaman 203 bab ziarah kubur disebutkan bahwa Imam Syafi’i telah mengatakan: “Ziarah kubur hukumnya tidak apa-apa (boleh). Namun sewaktu menziarahi kubur hendak- nya tidak mengatakan hal-hal yang menyebabkan murka Allah”.

Al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Ala as-Shahihain jilid 1 halaman 377 menyatakan: “Ziarah kubur merupakan sunnah yang sangat ditekankan”. Hal yang sama juga dapat kita jumpai dalam kitab-kitab para ulama dan tokoh Ahlusunah seperti Ibnu Hazm dalam kitab al-Mahalli jilid 5 halaman 160; Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin jilid 4 halaman 531; Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fikh alal Madzahibil Arba’ah jilid 1 halaman 540 (dalam penutupan kajian ziarah kubur) dan banyak lagi ulama Ahlusunah lainnya. Atas dasar itulah Syeikh Manshur Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid 1 halaman 381 menyatakan: “Menurut mayoritas Ahlusunah dinyatakan bahwa ziarah kubur adalah sunnah”.

Disamping itu semua, masih ada lagi hadits Nabi saw. yang memerintahkan ziarah kubur tersebut tapi saya hanya ingin menambahkan dua hadits lagi dengan demikian lebih jelas buat pembaca bahwa ziarah kubur dan pemberi- an salam terhadap ahli kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw.

Masih ada lagi hadits Nabi saw. yang memerintahkan ziarah kubur tersebut tapi saya hanya ingin menambahkan dua hadits lagi dengan demikian lebih jelas buat pembaca bahwa ziarah kubur dan pemberian salam terhadap ahli kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw.

Hadits dari Ibnu Abbas berkata: Ketika Rasulallah saw. melewati perkuburan di kota Madinah maka beliau menghadapkan wajahnya pada mereka seraya mengucapkan: ‘Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah atas kalian wahai penghuni perkuburan ini, semoga Allah berkenan memberi ampun bagi kami dan bagi kalian. Kalian telah mendahului kami dan kami akan menyusul kalian’. (HR.Turmudzi)

Hadits dari Aisyah ra.berkata:

كَانَ النَّبِي .صَ. كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتَهَا يَخْرُجُ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إلَى الْبَقِيْعِ فَيَقُوْلُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَ ار قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ, وَاَتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ غَدًا مُؤَجِّلُوْنَ, وَاِنَّا اِنْشَا ءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَو اللهُمَّ اغْفِرْ ِلاَهْلِ بَقِيْعِ الْفَرْقَدْ (رواه المسلم)

“Adalah Nabi saw. pada tiap malam gilirannya keluar pada tengah malam kekuburan Baqi’ lalu bersabda: ‘Selamat sejahtera padamu tempat kaum mukminin, dan nanti pada waktu yang telah ditentukan kamu akan menemui apa yang dijanjikan. Dan insya Allah kami akan menyusulmu dibelakang. Ya Allah berilah ampunan bagi penduduk Baqi’ yang berbahagia ini’”. (HR. Muslim).
_____________________________________________

Ziarah Kubur Nabi saww


Oleh: Najmu al-Din Thabasi

Pandangan Ibnu Taimiyyah Tentang Ziarah Kubur
 
Qastilaani[1] dan Ibnu Hajar dalam kitab al-Jawharu al-Munazhzham menukil pandangan Ibnu Taimiyyah. Dia (Ibnu Taimiyyah) melarang ziarah kubur Nabi saww dan mengharamkannya. Baik yang harus ditempuh dengan persiapan (Syaddu al-Rihaal)[2] karena jauhnya jarak perjalanan, atau tanpa persiapan seperti orang-orang yang tinggal di sekitar kubur beliau.
Ketika ziarah kubur Nabi saww saja sudah diharamkan, maka lebih utama –keharamannya- ziarah kepada kubur selain kubur beliau. Ia mengkhayal bahwa haramnya ziarah kubur itu adalah ijma’ (kesepakatan) ulama. Karena itu, yang memaksa pergi maka shalatnya tidak boleh diqashr[3].”

Menolak Pandangan Ibnu Taimiyyah
Empat Dalil Tentang Kebolehan Ziarah Secara Syariat
Al-Quran

Allah berfirman,

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

 “Kalau mereka yang menganiaya diri mereka sendiri itu –berdosa- datang kepadamu –Muhammad- dan memohon ampun kepada Allah dan Rasulpun memintakan ampun untuk mereka, maka mereka pasti mendapakan Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih.”[4]
Ziarah adalah menghadiri orang yang diziarahi, baik untuk meminta ampunan atau tidak. Ketika menziarahi Nabi saww dimasa hidup beliau, sudah terbukti kebenarannya, maka ia juga benar dilakukan dimasa wafat beliau. Karena Nabi saww memiliki kehidupan barzakhi[5] dan mendengar salam para penziarah serta amalan mereka disajikan kepada beliau.

Dalil Kehidupan Barzakh
Dalil-dalil yang mebuktikan kehidupan barzakhi Nabi saww adalah sebagai berikut:

a. Pandangan Samhuudi. Ia menukil dari Sabki, “Para ulama memahmi dari ayat ini sebagai universal. Yakni menghadiri Nabi saww dan meminta kepada beliau doa pengampunan. Artinya, hal itu tidak dikhususkan pada waktu ketika beliau saww masih hidup. Bahkan mencakupi ketika beliau saww sudah wafat. Karena itulah para ulama mensunnahkan pembacaan ayat di atas, di dekat kuburan Nabi saww.”[6]
b. Pandangan Qastilaani. Ia berkata, “Tidak ada satu haripun kecuali semua perbuatan umat beliau –yang dilakukan siang dan malam- disajikan kepada beliau dan beliaupun mengetahui semua perbuatan itu dengan masing-masing pelakunya. Karena itulah, di akhirat kelak, beliau saww adalah saksi terhadap perbuatan umat.”[7]
Ibnu Zar’ati ‘Iraaqi menukil dari Ibnu Mas’uud yang meriwayatkan bahwa Nabi saww bersabda, “Hidupku adalah kebaikan buat kalian semua. Karena kalian bisa berbicara denganku. Begitu pula aku bisa berbicara dengan kalian. Dan kematianku juga kebaikan buat kalian. Karena perbuatan kalian disajikan kepadaku. Dan ketika aku melihat perbuatan baik kalian, maka aku memuji Tuhan. Akan tetapi kalau aku melihat perbuatan buruk kalian, maka aku memohonkan ampunan kepada Tuhan untuk kalian.”[8]
c. Pandangan Muhammad bin Harb[9]. Ia dinukil dari Ibnu ‘Asaakir dan ulama-ulama dari berbagai madzhab, berkata, Aku mendatangi kota Madinah dan menziarahi kubur Nabi saww lalu aku duduk di hadapan kubur beliau saww. Sekonyong-konyong aku melihat satu orang desa yang datang ke kubur beliau saww dan melakukan ziarah. Setelah itu ia berkata, “Wahai paling afdhalnya rasul, Tuhan telah menurunkan al-Qur-an yang haq kepadamu dan berfirman, “Kalau orang-orang yang menganiaya diri mereka itu –berdosa- datang kepadamu –Muhammad- dan memohon ampun kepada Allah dan Rasulpun memintakan ampun untuk mereka, maka mereka pasti mendapakan Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih”. Dan aku telah menganiaya diriku sendiri. Karena itu aku datang agar engkau memintakan ampunan untukku.” Setelah itu terdengar suara dari arah kubur yang mengatakan “kamu telah diampuni.” Riwayat ini diriwayatkan oleh Samhuudi dengan dua jalur yang berakhir kepada Imam Ali bin Abi Thalib as.[10]

Hadits
Sangat banyak hadits yang telah diriwayatkan dari berbagai jalur (sanad) dan berbagai makna.
a. Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa yang menziarahi kuburku, maka mensyafaatinya merupakan kemestian bagiku.”[11]
Hadits ini, memiliki 40 sumber di kitab-kitab Ahlusunnah. Dan pengarang kitab-kitab tersebut adalah para haafizh (setidaknya menghafal seratus ribu hadits lengkap dengan perawi-perawinya, lihat di jilid satu, penj.) dan imam hadits, seperti:

  1. ‘Ubaid bin Muhammad al-Warraaq Nisyaaburi (wafat 255 H)
  2. Ibnu Abi al-Dun-yaa Abu Bakr al-Quraysyii (wafat 281 H)
  3. Dulaabi Raazii dalam kitab al-Kun-ya wa al-Asmaa’ (wafat 310 H)
  4. Ibnu Khaziimati dalam kitab shahihnya (wafat 311 H)
  5. Abu Ja’far al-‘Uqailii (wafat 322 H)
  6. Abu Ahmad bin ‘Uddaa dalam kitabnya al-Kaamil (wafat 360 H)
  7. Daaru Quthnii dalam kitab Sunannya (wafat 385 H)
  8. Al-Maawardii dalam kitabnya al-Ahkaamu al-Sulthaniyyati (wafat 450 H)
  9. Ibnu ‘Asaakir dalam kitab Tarikhnya bab “Siapa Yang Menziarahi Kuburnya”[12] (wafat 571 H)
  10. Taqiyyu al-Diin Sabki dalam kitabnya Syifaa-u al-Saqaam[13] (wafat 756 H)
Allaamah Laknowi berkata, siapa yang berusaha melemahkan hadits “siapa yang menziarahiku maka wajib baginya surga.”, maka ia telah kehilangan akalnya. Dan barang siapa yang ingin mengetahui kerincian pembahasan ini, hendaklah merujuk ke tulisanku yang berjudul “Ziyaaratu al-Qabri al-Nabawi”.
Layak dikatakan bahwa perawi dari hadits “siapa yang menziarahi kuburku, maka mensyafaatinya merupakan kemestian bagiku”, dipercaya dan tidak diragukan sampai kepada Musa bin Hilaal. Tentang dirinya, dikatakan oleh Ibnu ‘Uddaa: Semoga tidak ada masalah dengannya, karena dia adalah salah satu dari Masyaayikh (tempat mengambil hadits, pentj.) dari Ahmad bin Hanbal, sedang Ahmad bin Hanbal hanya mengambil dari orang dipercaya (tsiqah)[14]. Orang yang mempermasalahkan hadits itu, juga menyatakan hal seperti yang dinyatakannya ini[15] (artinya, mengakui keshahihan hadits tersebut, pentj.).
Sabki membawa bukti-bukti tentang keshahihan sanad (perawi) hadits di atas, dan -setelah itu- mengatakan: Dengan semua penjelasan yang telah kami tulis ini, maka menjadi jelas bahwa kalaulah kita tetap mempermasalahkan keshahihan hadits ini, setidaknya, paling rendahnya derajat hadits tersebut adalah “Hasan’ (baik dan dapat diamalkan, pentj.).
Ia juga meneruskan, dengan semua dalil-dalil ini, atau bahkan dengan sedikit saja dari dalil-dalil itu, menjadi jelaslah kebohongan orang-orang yang telah mengatakan bahwa semua hadits-hadits tentang ziarah –kubur- itu adalah hadits-hadits palsu (maudhuu’). Apakah dia –Ibnu Taimiyyah dan golongannya yang mengharamkan ziarah kubur Rasulullah saww dan yang lainnya- tidak malu terhadap Allah dan RasulNya ketika mengatakan kata-kata yang tidak pernah dikatakan oleh orang-orang sebelumnya, baik awam atau alim atau bahkan ahlulhadits (yang melarang pembahasan akidah dengan akal, pentj.) sekalipun? Subhaanallah. Sejauh yang kami tahu –dari semua ahlurrijal– tak seorangpun yang mendustakan Musa bin Hilaal dan orang-orang yang menjadi perawi dari hadits ini. Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin seorang yang mengaku muslim, mengijinkan dirinya sendiri untuk mengatakan bahwa hadits-hadits tentang ziarah ini adalah palsu??![16]

b. Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa yang dengan niat berziarah, ia datang –ke kuburku- maka sudah semestinya aku menjadi pemberi syafaat kepadanya di hari kiamat kelak.”
Hadits ini memiliki 16 sumber dari kitab-kitab Ahlussunnah Waljama’ah yang diantaranya sebagai berikut:

  1. Thabraanii (wafat 360 H) dalam kitabnya al-Mu’jamu al-Kabiir.
  2. Haafizh bin al-Sakan al-Baghdaadii (wafat 353 H) dalam kitab al-Sunan al-Shahhaah.
  3. Daaru al-Quthnii (wafat 385 H) dalam kitabnya yang berjudul Amaalii.
  4. Abu Na’iim Ishfahaanii (wafat 430 H).
  5. Imam Ghazaalii yang bermadzhab al-Syaafi’ii (wafat 505 H) dalam kitabnya yang berjudul Ihyaa-u al-’Uluum.[17]

c. Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa yang pergi haji, lalu ia menziarahiku setelah matiku, maka seperti telah menziarahiku dikala hidupku.”[18]
Hadits ini diwirayatkan dari Ibnu Umar secara Marfuu’. Hadits ini memiliki 25 sumber di kitab-kitab Ahlussunnah Waljama’ah. Sebagiannya adalah seperti berikut ini:

  1. Syaibaanii (wafat 303 H).
  2. Abu Ya’laa (wafat 307 H) dalam kitab Musnadnya.
  3. Baghwii (wafat 317 H).
  4. Ibnu ‘Uddaa (wafat 364 H) dalam kitabnya yang berjudul al-Kaamil.
  5. Baihaqii (wafat 458 H) dalam kitab Sunannya.
  6. Ibnu ‘Asaakir (wafat 571 H) dalam kitab Tariikhnya.

d. Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa yang pergi haji, akan tetapi ia tidak menziarahiku, maka ia telah memutus hubungan denganku.”
Hampir semua haafizh[19] meriwayatkan hadits ini, seperti:

  1. Samhuudii (wafat 911 H) dalam kitabnya Wafaa-u al-Wafaa’.
  2. Daaru al-Quthnii (wafat 385 H). Ia dalam kitab haditsnya itu, meriwayatkan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan oleh Malik dalam kitabnya yang berjudul al-Muwaththa’.
  3. Qastilaani (wafat 923 H) dalam kitabnya yang berjudul al-Mawaahibu al-Laduniyyatu.

e. Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa yang memiliki kemampuan untuk menziarahiku, akan tetapi ia tidak datang menziarahiku, maka tidak ada uzur baginya.”[20]

Perbuatan Para Shahabat
  1. Umar bin Khaththaab, setelah kembali dari menaklukkan Syaam (Suria) dan memasuki kota Madinah, pertama kali yang dilakukannya adalah pergi ke masjid Nabi, lalu melakukan shalat dan setelah itu mengucap salam kepada Nabi saww.[21]
  2. Ibnu Umar bin Khaththaab setiap pulang dari bepergian jauh, selalu datang ke kubur Nabi saww dan mengucap, “salam padamu wahai Rasul, salam padamu wahai Abu Bakar, salam padamu wahai ayah.”[22]
  3. Ibnu Umar bin Khaththaab berdiri di samping kubur Nabi saww dan mengucap salam kepada beliau.[23]
  4. Ibnu ‘Aun berkata, seseorang bertanya kepada Naafi’: “Apakah Ibnu Umar mengucap salam ke kubur Nabi saww?” Naafi’ menjawab, “benar demikian. Aku melihatnya seratus kali atau lebih, datang ke kubur Nabi saww dan berdiri di sampingnya lalu mengatakan, salam atas Nabi saww”[24]
  5. Abu Haniifah meriwayatkan dari Ibnu Umar, “adalah sunnah mendatangi kubur Nabi saww dari arah kiblat lalu membaca: ….”
Ini semua, adalah contoh saja dari perbuatan para shahabat. Dan almarhum allaamah Amiinii, menukil lebih dari empat puluh pandangan ulama ahli fikih Sunni yang menyatakan kesunnahan ziarah pada kubur Nabi saww, dan mereka juga mengajari cara atau adab ziarah itu dalam kitab-kitab mereka.[25]

Akal
Akal menegaskan, menghormati orang yang dimuliakan Tuhan adalah kebaikan. Ziarah adalah suatu penghormatan. Ziarah kepada Nabi saww yang merupakan penghormatan pada beliau, juga termasuk syiar Tuhan yang jelas boleh dan bahkan baik. Karena perbuatan itu bertentangan dengan keinginan para musuh dan penentang.

Berdalil dengan Hadits Syaddu al-Rihaal
Ibnu Taimiyyah, dalam rangka melanjutkan tuduhannya kepada Syi’ah, berkata, “Mereka –Syi’ah- sebagaimana para jemaah haji yang menunaikan hajinya di Kabah, juga melakukan hal itu di pekuburan suci mereka (kuburan para imam-imam maksum dan para shalih). Sepertinya, ziarah kubur ini merupakan ciri khusus orang-orang Syi’ah Imamiyyah saja. Selain madzhab mereka, tidak ada yang melakukan perbuatan tersebut.”
Ibnu ‘Abdu al-Wahhaab juga mengkhayal bahwa ziarah kubur Nabi saww dan para orang shalih ini, adalah haram. Dan untuk keharamannya itu, ia berdalil dengan hadits. Ia berkata, “Ziarah nabi adalah sunnah. Akan tetapi bepergian untuk selain ke Masjid al-Haraam, Masjid al-Nabi saww dan Masjid al-Aqshaa, adalah tidak boleh.
Karena Nabi saww bersabda, “Jangan menyiapkan apapun untuk bepergian (dan jangan bepergian) kecuali untuk tiga tempat: al-Masjid al-Haraam, Masjidku dan Masjid al-Aqshaa!.”[26]
Karena itu berdasarkan hadits ini, ia mengharamkan bepergian yang disebabkan untuk ziarah.

Menolak Dalil Wahhabiah
Pengecualian dalam hadits itu adalah pengecualian yang tidak memiliki jenis yang dikecualikan darinya (mufarragh). Artinya, jenis atau golongan yang dikecualikan tidak disebut dalam haditsnya. Sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sudah pasti ada kata yang tidak disebutkan dalam kalimat itu (taqdiir), akan tetapi dimaksudkan dalam makna, hingga hadits memiliki arti yang sempurna. Karena itu ada dua kemungkinan dalam memahami taqdiir itu (kata yang tidak diterakan akan tetapi dimaksudkan tersebut):

  1. Kata yang tidak disebutkan itu adalah “masjid”.
  2. Kata yang tidak disebutkan itu adalah “tempat”.
Kalau yang tidak disebutkan secara lahiriah itu adalah “masjid”, maka hadits itu akan bermaksa seperti ini: “Tidak boleh melakukan perjalanan –untuk melakukan shalat dan sebagainya- ke suatu masjid, kecuali kepada tiga masjid.”
Dengan demikian, pengecualian yang terbatas pada tiga masjid itu adalah pengecualian yang nisbi atau terbatas (pengecualian yang “Nisbi” adalah pengecualian dari golongan tertentu saja. Misalnya pengecualian di hadits yang kita bahas itu, adalah pengecualian dari jenis atau gologan masjid saja. Tidak termasuk tempat-tempat lainnya. Dan lawan dari pengecualian “nisbi” ini adalah pengecualian “Hakiki”. Yakni benar-benar mengecualikan dari semua tempat. Apapun saja, pentj.) dan tidak hakiki atau mutlak. Artinya, poros bagi pelarangan dan pembolehan Nabi saww itu bertumpu pada “masjid”. Karena itu, bepergian ke kubur Nabi saww tidak termasuk golongan larangan yang kemudian dikecualikan kepada tiga masjid itu. Yakni, secara obyek, tidak termasuk golongan yang dilarang.
Hadits itu, memiliki makna –seperti ini: “Seseorang tidak boleh bepergian ke suatu kota, hanya untuk shalat di masjidnya itu. Karena pahala shalat di masjid luar kota itu, tidak berbeda dengan pahala shalat di masjid yang ada di kotanya sendiri. Akan tetapi pahala shalat di tiga masjid yang dikecualikan itu, berbeda dan lebih besar, hingga layak untuk didatangi walau harus menempuh perjalanan (syaddu al-rihaal).”
Inilah arti pengecualian dari golongan yang dikecualikan. Jadi hadits di atas itu, membicarakan tentang bepergian ke suatu “masjid”, bukan ke tempat-tempat lainnya.
Akan tetapi kalau golongan yang darinya dikecualikan itu adalah “tempat”, maka penyimpulan Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya, bisa dibenarkan –dari sisi bahasa. Karena hadits itu akan bermakna seperti ini: “Tidak boleh bepergian ke tempat manapun kecuali ke tiga masjid.” Karena itu, pengecualian yang ada pada hadits tersebut adalah pengecualian hakiki (benar-benar hanya mengecualikan tiga tempat dari semua tempat, bukan hanya dari golongan tertentu saja seperti masjid, penj.).
Akan tetapi, kalau kata yang tidak disebutkan itu (taqdiir) adalah “tempat”, maka ia memiliki konsekuensi yang tidak bisa diterima (isykal atau masalah) dan tidak juga ada jalan keluarnya. Di kelanjutan bahasan ini, kami akan menerangkan masalah-masalah (problem) yang merupakan konsekwensi tersebut.
Karena itu, maka hanya taqdiir (masjid) pertamalah yang bisa diterima. Karena menaqdiirkan kata masjid (tidak menerakan kata masjid, tapi memaksudkannya, penj.), dan menjadikannya golongan yang darinya dikecualikan, adalah pahaman yang lebih cepat datangnya ke pemahaman pendengarnya secara umum. Dan lahiriah dari hadits itupun memaksudkan yang demikian. Hal itu, karena antara hukum dan obyek hukumnya, memiliki keserasian dan menjadi seirama. Beda halnya kalau yang ditaqdiirkan itu adalah “tempat”. Karena itulah, maka hadits tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan bepergian ke tempat-tempat mulia lainnya (kubur Nabi saww, para imam dan orang-orang shalih) dan pekuburan-pekuburan serta tempat-tempat yang lain.

Kritikan-kritikan
Pertama. Qastilaani berkata, “Golongan yang darinya dikecualikan di hadits ini adalah ‘Mufarragh’ (tidak disebutkan). Dan mengambil kata “tempat” sebagai golongan yang darinya dikecualikan, menyebabkan haramnya bepergian ke semua tempat selain dari tiga tempat itu. Seperti bepergian ke kota dimana di sana ada orang shalihnya atau teman. Atau bepergian untuk menuntut ilmu, bisnis, rekreasi dan semacamnya.
Keharaman itu, karena pengecualian tiga tempat tersebut dari semua tempat -bukan dari golongan masjid saja. Taqdiir seperti itu, menjadikan pengecualian itu menjadi umum dan meliputi semua tempat tanpa kecuali. Akan tetapi kalau kata yang tidak disebutkan dalam hadits itu (taqdiir) adalah “masjid”, maka keharaman bepergiannya tidak akan meliputi semua tempat secara keseluruhan.”[27]
Kedua. Semua madzhab Islam sepakat (ijma’) bahwa hukum bepergian itu adalah halal, baik untuk bisnis, mencari ilmu, jihad, ziarah pada ulama atau bahkan untuk rekreasi. Karena itu, kalau kata yang tidak disebutkan dalam hadits itu (yakni golongan yang darinya dikecualikan) adalah “tempat”, maka bisa mengakibatkan haramnya bepergian dengan alasan-alasan di atas. Dan hal ini, bertentangan dengan ijma’ semua madzhab kaum muslimin.
Dengan demikian, dapat diyakini bahwa kata yang tidak disebutkan tapi dimaksudkan itu (taqdiir) adalah kata “masjid”. Jadi, maknanya:
“Tidak semestinya bepergian ke suatu masjid -di luar kota- kecuali ke tiga masjid.”
Karena itu, hadits tersebut tidak berhubungan dengan bepergian ke tempat-tempat ziarah, khususnya ziarah ke kubur Rasulullah saww dan, apalagi pengharamannya.
Ketiga. Bahkan, sekalipun kata yang tidak disebutkan itu adalah “masjid”, tetap tidak bisa diamalkan. Karena sesuai dengan kemungkinan pertama ini, maknanya adalah tidak boleh bepergian untuk mendatangi masjid kecuali kepada tiga masjid yang telah dikecualikan itu. Padahal, dalam riwayat dikatakan bahwa Nabi saww dan para shahabatnya, setiap hari sabtu, selalu mendatangi masjid Qubaa. Sementara jarak masjid Qubaa dengan kota Madinah sekitar 12 km, dan ia bukan dari tiga masjid yang dikecualikan itu. Dengan demikian, sesuai dengan hadits pertama, maka bepergian ke masjid Qubaa ini juga harus diharamkan. Dan kita tahu bahwa tidak seorangpun dari kaum muslim yang mengatakannya.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar yang mengatakan bahwa Nabi saww setiap hari Sabtu, selalu mendatangi masjid Qubaa, baik dengan berjalan kaki atau menunggang binatang. Dan dia sendiri juga melakukan hal yang sama.[28]
Keempat. Bilal mengadakan persiapan safar (syaddu al-rihaal), kemudian ia melakukan perjalanan untuk menziarahi Nabi saww. Ibnu ‘Asaakir meriwayatkan, “Ketika ‘Umar kembali dari Baitu al-Muaqaddas, dan melewati daerah yang bernama Jaabiyah, Bilaal meminta kepada ‘Umar untuk membiarkannya tinggal di Syaam (Suriah). ‘Umar mengabulkan permintaannya dan membiarkannya tetap tinggal di Syaam.”
Ibnu ‘Asaakir melanjutkan, “setelah itu –lama berselang- Bilaal bermimpi Rasulullah saww dan mengatakan: ‘Kebencian apa gerangan ini wahai Bilaal, apakah belum waktunya kamu menziarahiku?’ Bilaal bangun dalam keadaan sedih dan takut. Iapun segera menunggangi kudanya dan memicunya menuju kota Madinah. Sesampai di Madinah, ia langsung pergi ke kubur Nabi saww dan menangis sambil mengusap-usapkan pipinya –tabarruk- ke kubur beliau. Kala itu, Hasan as dan Husain as mendekatinya. Bilaalpun merangkul keduanya dan menciuminya. Imam Hasan as dan Husain as berkata kepadanya: ‘Kami rindu pada suara adzanmu.’
Ketika Bilaal mengucap ‘Allahu Akbar’ Madinah menjadi tergetar. Ketika mengucap ‘Asyhadu an laa ilaaha illallaah’ goncangan Madinah menjadi semakin dakhsyat. Dan ketika Bilaal mengucap ‘Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah’ para wanita yang tinggal di kemah-kemahpun keluar dan berteriak: ‘Nabi saww telah keluar dari kuburnya.’ Setelah Rasulullah wafat, Madinah tidak pernah menangis dan histeris seperti kala itu.”[29]
Haafizh ‘Abdu al-Ghanii dan yang lainnya berkata, “Bilaal, setelah wafat Nabi saww hanya sekali mengumandangkan adzan –pada waktu datang ke Madinah untuk menziarahi kubur Nabi saww.”[30]
Sabkii berkata, “Dasar kami untuk menghalalkan ziarah kubur Nabi saww, bukan mimpi Bilaal. Akan tetapi dasar kami adalah perbuatan Bilaal itu sendiri. Ia melakukan ziarah tersebut di jaman pemerintahan ‘Umar dimana pada waktu itu para shahabat besar masih hidup. Dan sudah tentu kejadian itu, tidak mungkin tertutup dari mereka. Sementara itu, tidak satupun dari mereka yang memprotes atau menyalahkan Bilaal. Dengan ini, mimpi Bilaal tersebut hanyalah sebagai penguat saja, bukan dasar dalilnya.[31]
Dalam kitab Futuuhu al-Syaam dikatakan, ketika ‘Umar melakukan perjanjian damai dengan masyarakat Baitu al-Muqaddas, Ka’bu al-Ahbaar datang padanya dan memeluk agama Islam. ‘Umar sangat senang dengan masuknya dia ke dalam agama Islam. Setelah itu ‘Umar berkata kepadanya: “Apakah kamu mau menyertaiku pergi ke kota Madinah dan menziarahi kubur Nabi saww untuk mengambil manfaat –barakah- darinya?” Ka’bu al-Ahbaar menerima tawarannya. Ketika ‘Umar sudah sampai di kota Madinah, pertama kali yang ia lakukan adalah masuk ke dalam masjid Madinah dan mengucap salam kepada –kubur- Nabi saww.[32]
Kelima. Telah diriwayatkan secara mustafiidh (yang riwayatnya melebihi 2 atau 3 jalur sanad, pentj.) tentang ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziiz bahwa: Ia pernah mengirim orang dari Syaam (Suriah) ke kota Madinah –hanya- untuk mengucap salam kepada Nabi saww.[33]

Sikap Para Ulama terhadap Pikiran Ibnu Taimiyyah
1. Qastilaanii
Ia berkata, “Perkataan Ibnu Taimiyyah tentang pelarangannya terhadap ziarah Nabi saww adalah paling buruknya sesuatu yang telah diriwayatkan darinya.”[34]
2. Naabulusii
Ia berkata, “Hal ini adalah bukan awal petaka dari Ibnu Taimiyya dan para pengikutnya. Karena ia telah mendosakan orang yang melakukan perjalanan ke Baitu al-Muaqaddas. Begitu juga ia melarang orang untuk bertawassul (berperantara) kepada Allah melalui para nabi atau wali. Semua ini, adalah hal-hal yang menunjukkan tentang kegilaannya yang memalukan itu dimana telah menyebabkan semua ulama secara keras menentangnya. Seperti al-Hashnii yang telah menulis kitab secara mandiri dalam menentang Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya. Dalam kitabnya itu, ia dengan tegas telah mengafirkannya- Ibnu Taimiyyah.”[35]
3. Imam Ghazaalii
Ia berkata, “Kitab: Rahasia haji dan termasuk di dalamnya ziarah kubur Nabi saww, shahabat, taabi’iin, ulama dan para wali. Maka barang siapa –seperti Nabi saww- yang bisa ditabaruuki di masa hidupnya, ia juga bisa ditabarruki di masa wafatnya. Dan dibolehkan melakukan Syaddu al-Rihaal (mempersiapkan bekal untuk bepergian jauh –dan pergi. penj.) untuk tujuan tabarruk ini. Dan hadits yang mengatakan bahwa tidak boleh bepergian kecuali kepada tiga masjid itu, tidak bisa mencegahnya. Karena hadits itu adalah larangan bepergian untuk masjid yang selain dari yang tiga tersebut (Masjidu al-Haraam, Masjidu al-Nabii dan Masjidu al-Aqshaa, penj.).”[36]
4. ‘Uzzaamii
Ia yang bermadzhab Syaafi’ii berkata, “Orang ini –Ibnu Taimiyyah- sangat benari sekali sekalipun kepada Rasulullah saww dengan berkata: Melakukan perjalanan untuk menziarahi Nabi saww adalah dosa.”[37]
5. Haitsamii
Ia yang bermadzhab Syaafi’ii, setelah membuktikan kebolehan ziarah kubur Nabi saww dengan dalil-dalil, berkata: Kalau kalian mengajukan masalah dan mengatakan, “Bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa kebolehan ziarah kubur Nabi saww itu adalah ijma’ dan kesepakatan semua ulama, padahal Ibnu Taimiyyah (dari generasi akhir madzhab Hanbali) mengingkari kebolehan ziarah dan melarang perjalanan untuk ziarah? Sabkii juga telah menukil dari tulisan tangan Ibnu Taimiyyah sendiri yang telah mengajukan dalil panjang lebar tentang penolakannya terhadap kebolehan ziarah Nabi saww itu, dan bahkan dia mengira bahwa keharaman terhadap bepergian untuk ziarah itu adalah ijma’ dan kesepakatan ulama yang mana menyebabkan shalat dalam perjalan tersebut harus dilakukan secara penuh (tidak qashar). Begitu pula ia mengatakan bahwa semua hadits tentang ziarah itu adalah hadits-hadits palsu dimana pandangannya ini diikuti oleh orang-orang yang lebih akhir darinya?”
Untuk menjawab hal ini kami akan mengatakan, “Memangnya siapa Ibnu Taimiyyah itu hingga pandangannya mesti diperhatikan? Atau siapa dia hingga bisa dianggap tokoh yang bisa dijadikan tempat merujuk dalam masalah-masalah ke-Islaman dan bisa dijadikan penoda bagi ijma’ dan kesepakatan ulama yang telah ada? Sangat banyak ulama yang menelusuri pandangan-pandangan sesatnya dan dalil-dalil lemahnya dimana membuat gonjang-ganjing pandangan jahilnya serta khayal-khayalnya yang gila itu menjadi sangat jelas terbukti.”[38]
Kesimpulannya adalah hadits-hadits tentang hal ini –kebolehan ziarah dan bepergian karenanya- yang telah diriwayatkan oleh para haafizh (yang setidaknya hafal seratus ribu hadits lengkap dengan perawinya) dan para ulama hadits Ahlussunnah, adalah sampai ke derajat Istifaadhah (hadits shahih yang melebihi 2 atau 3 riwayat) dan bahkan sampai ke tingkat Mutawaatir.
Selain itu –bukti kebolehannya juga- adalah perbuatan shahabat, dan ziarahnya Bilaal serta bepergiannya untuk ziarah kubur Nabi saww itu dimana sudah tentu diketahui oleh para shahabat besar yang lainnya, baik dengan melihat atau mendengarnya, sementara tak satupun dari mereka yang memprotes dan menyalahkannya.
Begitu pula –sebagai bukti- adalah permintaan ‘Umar kepada Ka’bu al-Ahbaar –di Suriah- untuk menziarahi kubur Nabi saww –di Madinah- dimana tidak ada satu shahabatpun juga yang memprotes dan menyalahkannya.
Semua kejadian-kejadian itu, adalah paling kuatnya dalil bagi kebolehan ziarah kubur, terlebih kubur Rasulullah saww dimana bahkan selain menunjukkan kebolehannya, juga menunjukkan kepada keutamaan dan kesunnahannya. Karena pada sebagian riwayatnya berisikan perintah untuk melakukan ziarah kubur dimana semua ulama –Ahlussunnah- memahaminya sebagai kesunnahan. Bahkan sampai-sampai Ibnu Hazm menyimpulkannya sebagai hukum wajib. Yakni setidaknya, seorang muslim dalam sepanjang umurnya, harus menziarahi kubur Nabi saww walaupun hanya sekali.[39]
6. Syaikh Ahmad Qastilaanii
Ia berkata, “Ketahuilah bahwa ziarah kubur Nabi saww adalah paling besarnya cara bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan juga merupakan paling tingginya derajat ketaatan dan derajat capaian kesempurnaan. Dan kalau ada orang yang menentang hal ini, maka ia telah keluar dari agama Islam, serta telah menentang Tuhan dan RasulNya. Sebagian ulama besar juga telah menyatakan pernyataan ini. Dan mereka juga telah menukil perkataan aneh Ibnu Taimiyyah tentang bepergian untuk ziarah kubur itu.”[40]
7. Jawaban Dzahabii kepada Hasan bin Hasan
Suatu hari, Hasan bin Hasan melihat seseorang yang berdiri di depan makam kubur Nabi saww (bangunan kubur Nabi saww) dan mendoakan Nabi saww serta mengirimkan salam dan shalawat. Hasan melarang orang itu dengan alasan ilmunya dan dengan dalil sebuah hadits yang berbunyi, “Janganlah kalian jadikan rumahku sebagai tempat ibadah dan janganlah kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dimana saja kalian berada, maka dari sanalah kalian kirimkan salam dan shalawat kepadaku. Karena salam dan shalawat kalian itu sampai kepadaku.”
Dzahabii menjawab: Riwayat ini adalah Mursal (Mursal adalah hadits yang sanadnya terputus di perawi akhirnya. Misalnya taabi’iin meriwayatkan langsung dari Nabi saww padahal tidak pernah melihat beliau, pentj.), dan karena itu, Hasan yang berdalil dengan riwayat tersebut adalah batil. Oleh sebab itu, siapa saja yang secara tawadhu’ mendatangi kubur Rasulullah saww dan mengucapkan salam dan shalawat untuk beliau, maka kebahagiaan baginya. Karena ia –dengan ziarahnya itu- telah menunjukkan ziarah dan pertemanan yang baik. Dan selain mengucap salam dan shalawat kepada Nabi saww serta shalat untuk beliau, ia juga melakukan ibadah yang lain. Karena itu, penziarah mendapatkan dua pahala. Pertama, pahala ziarah. Ke dua, pahala salam atau shalawat untuk Nabi saww serta shalat yang dihadiahkan untuk beliau.
Orang yang mengucap salam dan shalawat untuk Nabi saww dari kejauhan, ia hanya mendapatkan satu pahala. Memang, satu ucapan salam dan shalawat, akan dibalas Tuhan dengan sepuluh salam dan shalawat untuknya.
Dan barang siapa yang menziarahi Nabi saww dari dekat, akan tetapi tidak dengan adab yang benar atau menyembah kubur Nabi saww (atau Nabi saww), maka ia telah melakukan perbuatan yang dilarang [(Kalaulah hadits pelarangan menjadikan kubur Nabi saww yang mursal di atas itu bisa dijadikan dalil sebagaimana hadits shahih (dimana tetap tidak bisa), maka maknanya adalah bukan larangan untuk menziarahi Nabi saww dan menjadikan kuburan beliau tempat ibadah seperti berdoa dan shalat kepada Allah. Akan tetapi, larangan menjadikan kuburnya tempat menyembah beliau sendiri. Jadi, maksudnya adalah: “Jangan jadikan kuburku tempat menyembahku!”, bukan “Jangan jadikan kuburku tempat menyembah Allah!”. Karena pahaman seperti ini, selain tidak masuk akal, ia juga bertentangan dengan banyak ayat dan riwayat sebagaimana maklum. Seperti ayat yang memerintahkan orang yang telah melakukan dosa dan ingin mendapat istijabah dalam taubat dan pengampunan dosanya (QS: 4: 64). Pentj.)] . Memang, sekalipun ia telah melakukan keburukan, akan tetapi ia juga telah melakukan kebaikan –datang menziarahi Nabi saww- dimana membuatnya layak mendapat perhatian dan pengajaran terhadap ziarah yang benar[41], karena Allah Maha Pengasih.
Ketika seseorang bersedia mengemban kesusahan perjalanan yang dilakukannya untuk menziarahi Nabi saww, kemudian menyebut nama beliau sesampainya di tempat, lalu menciumi tembok kuburan sambil menangis, maka hal inilah yang menyebabkannya layak dikatakan teman Allah dan NabiNya. Dan pertemanan dengan Allah dan RasulNya adalah tolok ukur pemisah baginya dari neraka. Karena itu, maka ziarah ke kubur Nabi saww adalah paling afdhalnya sesuatu yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah.
Sekarang, kalau ziarah kubur para nabi dan para wali dilarang dengan alasan hadits “Jangan lakukan perjalanan selain kepada tiga masjid!” itu, maka kami akan berkata, “Kalaulah bepergian untuk ziarah kubur adalah dilarang, maka setidaknya melakukan perjalanan untuk Masjid Nabi saww sudah pasti dibolehkan dimana tidak ada perselisihan di dalamnya. Dan untuk menziarahi Nabi saww, sudah tentu terlebih dahulu harus masuk ke dalam Masjidunnabi.
Dan ketika masuk ke dalam masjid, maka sudah selayaknya melakukan shalat. Kemudian setelah itu membaca shalawat untuk pemilikinya –Nabi saww.”
8. Pendapat penulis catatan kaki terhadap kitab Dzahabi
Ia dalam catatan kaki kitab Sairu A’laami al-Nubalaa’, berkata, “Tujuan penulis dengan perkataannya itu adalah dalam rangka menolak pandangan Ibnu Taimiyyah yang berkata tentang tidak bolehnya mempersiapkan bepergian –dan perginya- untuk ziarah ke kubur Nabi saww.[42]
9. Zainu al-Diian al-Muraaghii
Ia berkata, “Setiap muslim harus meyakini bahwa menziarahi Nabi saww atau kubur beliau dapat mendekatkan diri kepada Allah swt., karena telah diriwayatkan dari berbagai hadits yang banyak sekali tentang hal ini. Allah berfirman,
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Dan kalau orang-orang yang menganiaya diri itu –berdosa- datang kepadamu –Muhammad- lalu mereka meminta ampun kepada Allah dan Rasulpun memintakan ampunan untuk mereka, maka mereka akan mendapati Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih[43]
Dari sisi bahwa menghormati Nabi saww tidak bisa berhenti dengan wafatnya beliau, maka tidak bisa dikatakan bahwa, “Permintaan ampunan dari Nabi saww dan ziarah pada beliau, hanya dikhususkan pada waktu beliau masih hidup saja.”
Karena para ulama dan peneliti akan menjawab, “Di akhir ayat itu dikatakan bahwa mereka -yang mendekati Nabi saww dan meminta ampun itu- akan mendapatkan Tuhan Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih. Sementara kepenerimaan taubat ini memiliki tiga syarat:

  1. Datang ke Nabi saww;
  2. Meminta ampunan;
  3. Doa ampunan dari Nabi saww.
Dua bagian pertama, tidak memiliki masalah dan problem sama sekali. Karena datang dan meminta ampun, tergantung kepada perbuatan setiap orang yang bersangkutan. Akan tetapi bagian ke tiganya, adalah tergantung kepada Nabi saww. Di lain pihak, Nabi saww selalu memohonkan ampunan untuk setiap mukminin karena Tuhan dalam al-Quran telah memerintahkan beliau untuk itu dengan firmanNya: ‘Mintakanlah ampunan untuk dosamu dan dosa setiap mukmin dan mukminat!’[44]. Jadi, kalau ketiga hal itu sudah sempurna, yakni orang yang berdosa itu datang ke dekat Nabi saww, dan beliaupun memintakan ampunan untuknya, maka kala itulah Tuhan akan menjadi Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih.’.”[45] (Maksudnya: Karena Nabi saww, sesuai dengan ayat yang memerintahkan beliau supaya selalu memintakan ampunan untuk para mukminin itu, maka beliau pasti salalu memintakan ampunan untuk semua mukminin. Di sini belum ada kepastian terhadap penerimaan Tuhan atas permintaan beliau itu. Karenanya, maka tolok ukur kepastian pengampunan Tuhan di ayat tersebut, adalah dua syarat sebelumnya. Yaitu datang kepada Nabi saww dan meminta ampunan di sisi beliau, pentj.)

Ziarah Kubur dan Tempat-tempat Lainnya
Pembahasan yang telah lalu adalah pembahasan mengenai ziarah ke kubur Nabi saww. Akan tetapi ziarah ke kubur lainnya, maka dari sisi kebolehannya, sama dengan ziarah ke kubur Nabi saww, dimana beliaupun suka sekali pergi menziarahi kuburan dan memerintahkan umat muslimin untuk melakukannya. Beliau saww menziarahi kubur ibundanya, Aaminah bintu Wahab as. Dan kehidupan muslimin (siiratu al-muslimiin) sepanjang sejarahnya juga demikian, yakni menziarahi kuburan muslimin.

Hadits-hadits Ziarah
  1. Sulaimaan bin Buraidah meriwayatkan dari ayahnya yang meriwayatkan dari Nabi saww bahwasannya beliau bersabda, “Sebelum ini aku melarang kalian untuk menziarahi kubur. Ketahuilah, bahwa dari sekarang kalian harus menziarahi kuburan.”[46]
Syaikh al-Manshuur berkata, “Umumnya ulama memahami dari perintah Nabi saww untuk menziarahi kubur itu, sebagai kesunnahan (bukan wajib). Akan tetapi Ibnu Hazm berkata, “Perintah di hadits ini menunjukkan kewajiban. Karena itu, setiap muslimin dalam sepanjang umurnya, setidaknya harus menziarah kubur Nabi saww walau hanya sekali.”.”[47]
  1. Nabi saww bersabda, “Aku pernah melarang kalian semua untuk melakukan ziarah kubur. Setelah itu Muhammad telah diijinkan untuk melakukan ziarah kepada kubur ibunya. Karena itu, setelah ini, ziarahilah kuburan. Karena ziarah kubur mengingatkan kepada akhirat!”
Semua pengarang kitab hadits shahih, selain Bukhari, telah meriwayatkan hadits ini. Diriwayatkan dari Turmudzi, “Mayat mengambil manfaat dari yang menziarahinya. Seperti doa yang dikhususkan untuknya, al-Quran yang dibacakan untuknya, pahala sedekah yang diberikan padanya. Dan semua ini, adalah hikmah dari ziarah kubur itu.”[48]
  1. Nabi saww bersabda, “Kalian pernah kularang untuk menziarahi kubur. Akan tetapi setelah itu, sesuatu yang lain telah ditunjukkan padaku.”[49]
  2. Nabi saww bersabda, “Pergilah ke kuburan keluarga kalian dan ucapkanlah salam pada mereka. Karena mereka adalah pelajaran bagi kalian!”[50]
  3. Nabi saww pergi menziarahi pekuburan orang-orang syahid di daerah yang bernama Ra’su al-Haul dan bersabda kepada pekuburan itu, “Salam untuk kalian –yang berada di kuburan- atas kesabaran kalian terhadap apa-apa yang telah menimpa kalian. Kalian memiliki tempat yang baik.”
Setelah itu Abu Bakar, Umar dan ‘Utsmaan-pun datang. Ketika Mu’awiyyah juga datang, dan masyarakatpun telah berkumpul di tempat itu, Nabi saww di hadapan mereka semua mengulang ucapannya lagi dengan berkata, “Salam untuk kalian semua –yang ada di kuburan- atas kesabaran yang kalian lakukan.”[51]
  1. ‘Aisyah berkata, “Nabi saww pernah keluar rumah menjelang subuh untuk pergi menziarahi pekuburan Baqii’. Ketika sampai di sana, beliau berkata: ‘Salam untuk kalian wahai orang-orang yang telah menghuni rumah iman. Apa-apa yang telah dijanjikan buat kalian telah kalian dapatkan. Sementara kalian masih di antara kematian dan kebangkitan (barzakh). Kamipun, kalau dikehendaki Allah, akan menyusul kalian juga. Ya Allah, ampunilah orang-orang yang dikuburkan di Baqii’ al-Gharqad.’.”[52]
  2. Ibnu Mas’uud meriwayatkan dari Nabi saww yang bersabda, “Ketahuilah, setelah ini ziarahilah kuburan, karena membuat kalian tidak perduli kepada dunia, dan selalu mengingat akhirat!”[53]
  3. Anas meriwayatkan dari Nabi saww yang bersabda, “Sebelumnya, aku telah melarang kalian untuk melakukan ziarah kubur. Setelah ini, maka ziarahilah kuburan, karena ziarah kubur mengingatkan kalian kepada kematian!”[54]
  4. Nabi saww bersabda, “Aku pernah melarang kalian untuk melakukan ziarah kubur. Setelah ini, siapa saja dari kalian yang ingin menziarahi kubur tertentu, maka lakukanlah. Karena ziarah kubur melembutkan hati, menangiskan mata dan mengingatkan akan akhirat!”[55]
  5. Thalhah bin ‘Abdullah berkata, “Kami pergi dengan Rasulullah saww untuk menziarahi pekuburan syahid. Ketika kami sudah dekat dengan pekuburan itu, Nabi saww bersabda: ‘Kubur-kubur ini adalah saudara-saudara kita.’.”[56]
  6. ‘Aisyah meriwayatkan dari Nabi saww yang bersabda, “Jibril datang kepadaku dan berkata, ‘Tuhanmu memerintahkanmu untuk mendatangi pekuburan Baqii’ dan memintakan ampunan untuk mereka!”[57]

Perbuatan Para Shahabat dan Taabi’iin dalam Ziarah Kubur
Perbuatan Hadhrat Faathimah as
  1. Abu Ja’far as Bersabda, “Faathimah binti Rasul as selalu menziarahi kubur Hamzah ra. dan memperbaiki kuburnya serta meletakkan batu di atasnya sebagai tanda.”[58]
  2. Raziin meriwayatkan dari Abu Ja’far as yang bersabda, “Hadhrat Faathimah binti Rasul as selalu menziarahi pekuburan syahid dalam dua atau tiga hari sekali.”[59]
  3. Dalam riwayat yang lain, tentang ziarah hadhrat Faathimah as ini, telah diriwayatkan dari Abu Ja’far as dan imam Muhammad al-Baaqir as yang keduanya meriwayatkan dari Imam Ali bin Husain as dimana dikatakan juga, “Hadhrat Faathimah as juga melakukan shalat di sana –pekuburan para syahid- begitu pula berdoa dan menangis. Begitu seterusnya beliau as lakukan –ziarah setiap dua atau tiga hari sekali itu- sampai beliau wafat.”[60]
  4. Ali as Bersabda, “Hadhrat Faathimah as setiap minggu selalu menziarahi kubur pamannya Hamzah, dan melakukan shalat di sana serta menangis.”[61]
Perbuatan ‘Aisyah
  1. Ibnu Abi Maliikah berkata, “Aku melihat ‘Aisyah menziarahi kubur saudaranya yang bernama ‘Abdu al-Rahmaan, yang dikuburkan di tempat bernama Habsyaa di Makkah.”[62]
  2. Ubnu Abi Maliikah berkata, “Suatu hari ‘Aisyah pergi ke arah pekuburan untuk melakukan ziarah. Aku berkata kepadanya: ‘Tidakkah Nabi saww telah melarang ziarah kubur?’ Ia menjawab: ‘Benar demikian. Tapi setelah itu beliau saww menyuruh kita untuk melakukan ziarah kubur.”[63]

Perbuatan Imam Ali al-Sajjaad as
Imam Muhammad al-Baqir as pergi menziarahi kuburan ayahnya, Imam Ali al-Sajjaad as.[64]

Perbuatan Haasyim bin Muhammad al-‘Amri
Baihaqii meriwayatkan dari Haasyim bin Muhammad al-‘Amri –dari keturunan ‘Umar bin ‘Ali- yang berkata, “Di kota Madinah, antara terbitnya fajar shadiq dan terbitnya matahari, ayahku mengajakku pergi ziarah ke pekuburan syahid. Akupun pergi mengikutinya dari belakang sampai ke pekuburan. Lalu ayahku dengan suara yang keras mengucapkan, ‘Salam buat kalian semua atas kesabaran kalian. Betapa bagusnya tempat kalian.’
Ia berkata, “Ketika ayahku mengucap salam itu, aku mendengar jawaban dari arah pekuburan yang berkata: ‘Wa ‘alika al-salaam wahai Aba ‘Abdillah.’.”
Ayahku menoleh ke arahku dan berkata: ‘Apakah kamu yang menjawabku?’
Aku menjawab: ‘Tidak.’
Lalu ayahku menarikku berdekatan di sebelah kanannya dan ia mengulangi lagi salamnya. Dan iapun kembali mendengar jawaban yang sama. Ayahku mengulangi lagi untuk ketiga kalinya, dan iapun tetap mendengar jawaban itu. Karenanya, ayahku bersimpuh ke tanah dan melakukan sujud syukur.”[65]
Perbuatan Yahya ‘Ithaaf
Yahya ‘Ithaaf meriwayatkan dari bibinya yang termasuk wanita shalihah, ia berkata, “Aku menaiki kuda dan budakku menyertaiku, sampai ke kuburan Hamzah. Di sana aku melakukan shalat sebanyak yang aku mampu. Demi Tuhan aku bersumpah, bahwa waktu itu tidak ada seorangpun yang bisa memanggil atau menjawab panggilan. Budakkupun tetap berdiri di sampingku sambil memegangi kendali tungganganku. Ketika aku sudah selesai melakukan shalat, aku berdiri dan mengucapkan: ‘Assalamu ‘alaikum.’ Sambil mengarahkan tangan ke arah kubur Hamzah. Tahu-tahu seketika aku mendengar jawaban dari dalam kubur. Sebagitu jelasnya kesadaranku atas terciptanya diriku, sebegitu jelasnya pula aku mendengar jawaban tersebut. Karena itu semua bulu romaku berdiri. Setelah itu aku memanggil budakku untuk mendekatkan tungganganku dan aku menaikinya.”[66]

Perbuatan Harun al-Rasyiid
Dzahabii meriwayatkan dari seseorang, “Harun al-Rasyiid pergi menunaikan haji.
Setelah itu ia datang ke kota Madinah, dan berkata kepada Yahya bin Khaalid, “Bawakan orang yang tahu tempat-tempat ziarah di Madinah kepadaku agar dia menjelaskan kepadaku bagaimana turunnya malaikat Jibril as kepada Nabi saww dan begitu pula menerangkan bagaimana beliau saww menziarahi pekuburan para syahid. Lalu ia –Yahya bin Khaalid- mengirim orang kepadaku untuk datang padanya dan akupun mendatanginya. Kami bersepakat untuk bertemu lagi di malam berikutnya –untuk melakukan ziarah. Aku sesuai dengan waktu yang telah disepakati itu, keluar rumah dengan membawa lentera –dan pergi besama Harun dan Yahya.  Di setiap tempat suci (tempat ziarah) dan pekuburan syahid yang kulewati bersama mereka berdua, aku selalu membaca doa. Mereka juga mengikuti membaca doa dan shalat sampai terbit fajar dalam keadaan seperti itu.”[67]

Kuburan Yang Sudah Diziarahi
Sejarah kehidupan kaum muslimin sejak awal, selalu menziarahi kubur para shahabat, orang shalih dan orang mukmin. Begitu pula melakukan tawassul dan tabarruk. Di bawah ini, kami akan membawakan beberapa contoh, diantaranya:

1. Kubur Bilaal bin Hamaamah Habasyii
Ia adalah tukang adzannya Rasulullah saww dan wafat pada tahun 20 H di kota Damaskus (Suriah). Di nisannya ditulis nama dan tanggal wafatnya. Doa di tempat itu termasuk yang bisa mendapatkan istijabah (kabul). Banyak sekali para tokoh dan orang-orang shalih yang telah mengalami peristiwa itu (diterimanya doa) dengan menziarahi kubur Bilaal tersebut dan bertabarruk kepadanya.[68]
2. Kubur Salmaan ra (wafat 36 H)
Khathiib al-Baghdaadii berkata, “Kubur Salmaan, sampai sekarang ini jelas dan terkenal. Ia dimakamkan di kota Madaain (Iraq). Kuburannya dibangung dan selalu ada penjaganya (juru kunci). Aku berulang kali menziarahi kubur itu[69]. Ibnu Jauzii meriwayatkan dari Qalaansii dan Samanuun yang berkata: ‘Kami pernah menziarahi kubur Salmaan.’.”[70]
3. Kubur Ayyuub al-Anshaari wafat tahun 52 H di kota Roma
Haakim berkata, “Masyarakat menjaga kuburannya dan menjadikannya tempat ziarah. Ketika masyarakat mengalami paceklik, mereka bertawassul dengannya untuk meminta hujan kepada Allah.”[71]
4. Kubur kepala imam Husain as di Mesir
Ibnu Jubair (wafat tahun 614 H) berkata, “Kepala imam Husain as diletakkan di bejana perak dan dimakamkan. Di atasnya dibangun sebuah bangunan yang megah yang sulit disifati dengan kata-kata dan dimengerti dengan akal (baca: sangat mengherankan, pentj.). Pertama kali kami datang ke tempat suci itu, kami lihat di dinding bagian dalam masjid diletakkan batu yang sangat hitam dan berkilau hingga apapun yang diletakkan di hadapannya, maka dapat terlihat seperti melihat pada cermin India. Aku melihat penziarah kepala imam Husain as itu sangat ramai sekali hingga berjubel. Mata menjadi sangat terperangah melihat hal itu. Dan penziarah dengan bergilir tanpa henti bertabaruuk dengan kain yang diletakkan di atas kubur. Air mata mereka begitu berderai hingga bisa membuat hati menjadi hancur dan batu menjadi rapuh. Semoga Tuhan memberikan kami  barakah dari kubur suci itu.”[72]
5. Kubur ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziiz Umawi (wafat 101 H)
Ia dikubur di Diir Sam’aan[73] dan menjadi tempat ziarah.[74]
6. Kubur imam Musa bin Ja’far as (syahid 183 H)
Beliau as dimakamkan di Kaazhimiyyah (Kaazhimain, Iraq). Khatiib berkata: “Aku mendengar dari Hasan bin Ibraahiim (tokoh madzhab Hanbali pada jamannya) yang berkata, ‘Setiap aku menghadapi problem, aku pergi menziarahi kubur Musa bin Ja’far as dan aku bertawassul dengannya. Tuhanpun selalu memudahkan urusanku setelah itu’.”[75]
7. Kubur Imam Jawaad as
Ibnu ‘Imaad berkata, “Abu Ja’far Muhammad Jawaad syahid di Baghdaad dan dimakamkan di dekat kakeknya Musa bin Ja’far as dimana masyarakat tak pernah henti menziarahi makam keduanya.”[76]
8. Kubur imam Ridha as
Muhammad bin Muammal berkata, “Aku bersama imam Ahlulhadits, Abu Bakar bin Khaziimah dan Abu ‘Alii Tsaqafii serta banyak orang lain dari para tokoh, pergi ke kota Thuus (Iran) untuk menziarahi kubur ‘Ali bin Musa al-Ridhaa as. Aku sangat terkejut melihat bagaimana Ibnu Khaziimah sebegitu tawadhuknya dan sebegitu hormatnya, ketika berada di tepian kubur beliau.”[77]
9. Kubur Muhammad bin Idriis al-Syaafi’ii
Ia adalah pemuka madzhab Syaafi’ii yang dikuburkan tahun 204 H di Qaraafah Shughraa di Mesir. Kuburnya berdekatan dengan daerah yang bernama Maqtham dan menjadi tempat ziarah.[78]
10. Kubur imam madzhab Hanbali, Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H)
Dzahabii berkata, “Makam dia di Baghdaad adalah tempat ziarah.”[79]
11. Kubur Dzi al-Nuun Mishri (wafat 246 H)
Ia dikuburkan di Qaraafah dan di atasnya dibangun sebuah bangunan.[80]
12. Kubur imam madzhab Hanafi, Abu Hanifah (wafat 150 H)
Kuburnya berada di A’dzamiyyah di Baghdaad dan menjadi tempat ziarah yang terkenal.[81] Telah dinukilkan dari imam Syaafi’ii yang berkata, “Aku setiap hari Sabtu selalu menziarahi Abu Haniifah.”
13. Kubur Ismaa’iil bin Yuusuf al-Dailamii
Mu’aafii berkata, “Masyarakat menziarahi kuburannya yang terletak di belakang kuburnya Ma’ruuf Karakhii. Di antara dua kubur itu, hanya terdapat beberapa kuburan saja. Aku sering sekali menziarahi kubur tersebut.”[82]
14. Kubur Mush’ab bin Zubair (wafat 157 H)
Ibnu Jauzii berkata: “Masyarakat menziarahi kuburnya yang berada di Maskan[83], seperti menziarahi kubur Imam Husain as.”[84]
15. Kubur Laits bin Sa’ad al-Hanafii (wafat 175 H)
Ia adalah penutan orang-orang Mesir. Dikuburkan di Qaraafah Shughraa dimana kuburnya menjadi tempat ziarah.[85]
16. Kubur Abu ‘Awwaanah
Kuburnya berada di dalam kota Isfaraain dan di atasnya dibangun sebuah bangunan (makam).[86]
17. Kubur Isfaraain
Ibnu ‘Asaakir berkata, “Abu ‘Awwaanah di kubur di Isfaraain di tempat dimana disana juga dikubur seorang alim yang ditabarruki oleh masyarakat.”[87]
Ibnu Shaffaar Isfaraaini berkata, “Ketika kakekku sampai ke kuburan Abu Ishaaq, demi menghormatinya, ia tidak langsung masuk ke dalamnya. Pertama kali yang ia lakukan adalah mencium tembok luar bangunan makamnya, lalu sejenak berdiri dalam keadaan menghormati dan mengagungkan –seperti orang yang memiliki amanat besar di tangannya. Kemudian setelah itu baru ia masuk melewati pintu makam. Ketika ia sudah sampai di kubur Abu ‘Awwaanah, ia menghormati dan mengagungkan serta diam di samping kuburnya dalam waktu yang lama.”[88]
Kubur Haafizh Abu al-Hasan al-‘Aamiri (wafat 403 H). Masyarakat bermalam-malam membaca al-Quran dan membaca doa di samping kuburnya. Dan para penyair dari segala arah membacakan kidungannya dan peringatan kematianpun dilaksanakan.[89]
Kubur al-Mu’tamid ‘Alallaah. Dia adalah Abu al-Qaasim Muhammad bin al-Mu’tadhid al-Lakhami al-Andalusii yang meinggal pada tahun 488 H. Beberapa penyair berkumpul mengelilingi kuburannya dan membacakan puisi-puisi pujian terhadapnya. Begitu juga untuk memperingati kematiaannya mereka mengidungkan puisi-puisi duka dan menangis untuknya.
Salah satu dari penyair itu bernama Abu Bahr. Ia dalam kasidahnya berkata, “Aku cium tanah kuburmu. Kutundukkan kepalaku untukmu. Kuburmu adalah tempat untuk membacakan kidungan-kidungan syair.”
Setelah ia selesai membacakan syairnya, ia mengambil tanah kuburnya –Muhammad- dan mengusap-usapkan ke seluruh badanya. Kemudian iapun melumuri pipinya dangan tanah kubur tersebut. Orang-orang yang ada di majlis tarhim (peringatan kematian) itu menangis karenanya.[90] Sementara itu, tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa mereka telah melakukan kesyirikan.
18. Kubur Nashr bin Ibraahiim Maqdisii
Dia adalah ulama besar madzhab Syaafi’ii yang meninggal pada tahun 490 H. dan dikuburkan di Baabu al-Shaghiir di Damaskus (Suriah). Kuburnya jalas dan menjadi tempat ziarah.[91]
19. Kubur Qaasim bin Fiirah al-Syaathii
Pengarang kitab Thabaqaath berkata, “Dia meninggal pada tahun 590 H. dan dikuburkan di Qaraafah. Kuburnya sangat terkenal dan aku sering menziarahinya.”[92]
20. Kubur Ahmad bin Ja’far Khazrajii Bastii (Wafat 601 H)
Pengarang kitab Nailu al-Ibtihaaj berkata, “Sampai saat ini masyarakat berjejalan menziarahi kuburnya untuk mendapatkan hajat-hajat mereka –tawassul dengannya kepada Allah- dan aku sendiri lebih dari 500 kali telah menziarahinya serta lebih dari 30 hari aku menginap di makamnya.”[93]
21. Kubur Sufyaan al-Tsaurii
Ibnu Hubbaan berkata, “Kuburnya terletak di pekuburan Bani Kulaib di Bashrah (Iraq). Aku pernah menziarahinya.”[94]
22. Kubur Malik Muzhaffar
Quthubu al-Diin berkata, “Kuburnya selalu diziarahi orang. Aku pernah menziarahinya di bulan Ramadhan tahun 659 H. dan sekaligus menulis biorgrafi tentangnya.”[95]
Contoh-contoh yang telah disebutkan di atas adalah topik-topik yang diringkas dari kitab-kitab biografi, sejarah dan hadits. Sesuai dengan kenyataan ini, dapat dipahami bahwa para shahabat Nabi saww dan para taabi’iin, melakukan ziarah kubur. Terkhusus sekali kubur Rasulullah saww dimana mereka benar-benar mengambil penting masalah ini. Begitu juga mereka melakukan perjalanan khusus untuk menziarahi kubur para imam-imam yang maksum, para shalih, wali serta ulama. Sementara itu tidak satupun yang pernah menyalahkan mereka.
Dengan semua bukti dan nash-nash ini, maka dalil apa yang bisa dipergunakan oleh Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya dalam mengharamkan ziarah kubur tersebut? Apakah orang-orang Syi’ah telah melakukan dosa karena telah melakukan ziarah sesuai dengan riwayat-riwayat mulia dan budaya Islam? Bukankah kuburan yang diziarahi kaum muslimin tidak hanya kuburan para imam-imam maksum Syi’ah? Apakah Ibnu Khaziimah dan temannya yang bernama Ibnu ‘Alii al-Tsaqafi adalah seorang Syi’ah? Apakah pemimpin madzhab Hanbaliah yang melakukan ziarah ke kubur Imam Musa as adalah seorang Syi’ah? Apakah Ibnu Habbaan yang menziarahi kubur Imam Ridhaa as adalah seorang Syi’ah? Apakah Muhammad bin Idriis (Imam Syaafi’ii) yang menziarahi kubur Abu Haniifah adalah seorang Syi’ah? Apakah ‘Aisyah yang menziarahi kubur saudaranya yang bernama ‘Abdu al-Rahmaan yang dikubur di Makkah, adalah seoarng Syi’ah dan pengikut Imam Ali as.?

Pandangan-pandangan Ahli Fikih Ahlussunnah
1. ‘Askalaanii
Ia meriwayatkan dari Anas yang berkata, “Nabi saww melewati seoarng wanita yang sedang menangis di samping sebuah kubur. Nabi saww bersabda kepadanya: ‘Bertahanlah, sabarlah!’[96]
Hadits ini telah dijadikan dasar bagi kebolehan menziarahi kubur. Baik penziarahnya itu seorang lelaki atau wanita. Dan baik yang diziarahinya itu adalah orang Islam atau kafir. Karena hadits ini tidak memiliki kerincian tersebut dan bahkan memutlakkan hukumnya.”[97]
2. Nawawi
Ia berkata, “Umumnya ulama, meyakini kebolehan ziarah kubur. Al-Maawardii berkata: ‘Tidak boleh menziarahi kubur seorang kafir.’ Padahal kata-kata ini tidak benar. Dalil yang dibawakan oleh al-Maawardii adalah ayat al-Quran yang berbunyi ‘Dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya!’ Dalil seperti ini –menggunakan ayat kepada ketidak bolehan tersebut- tidak sepi dari masalah sebagaimana tidak tertutup bagi semua pembaca.
Shahih Muslim meriwayatkan dari Nabi saww yang bersabda, ‘Aku pernah melarang kalian ziarah kubur. Akan tetapi dari sekarang ke depan, ziarahilah kuburan itu, karena dapat mengingatkan kepada akhirat!’
Sesuai dengan riwayat ini, kelemahan pendapat al-Maawardii dapat diketahui secara jelas. Karena itulah maka ziarah kubur itu adalah boleh dan sesuai dengan syariat.”
3. Pandangan Maalik
Ia pernah ditanya tentang ziarah kubur. Dalam menjawab ia berkata, “Nabi saw pernah melarangnya. Akan tetapi setelah itu beliau mengijinkannya. Dan kalau siapapun melakukan ziarah kubur dan tidak berkata apapun kecuali kebaikan, maka hal itu boleh dilakukan.”[98]
4. Samhuudii
Ia berkata, “Adalah merupakan ijma’ ulama bahwa hukum ziarah bagi seorang lelaki adalah sunnah sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Nawawii. Dan kelompok Zhaahiriyyah bahkan mewajibkannya bagi lelaki.”[99]

Ziarah Kubur Ibu Nabi saww
Shahih Muslim dan Nasaai meriwayatkan dari Abu Hurairah yang meriwayatkan tentang ziara kubur dengan berkata, Nabi saww menziarahi kubur ibunya dan menangis. Karena itu, siapapun yang ada di sekitar beliau pada waktu itu, ikut menangis. Setelah itu beliau bersabda: “Aku memohon kepada Tuhan agar aku bisa memintakan ampunan untuk ibuku, akan tetapi Dia Yang Maha Mulia, tidak mengijinkannya. Kemudian aku meminta ijin untuk menziarahi kuburnya, lalu Dia mengijinkanya. Karena itu, ziarahilah kuburan, karena mengingatkan kalian akan kematian.”[100]

Keimanan Kedua Orang Tua Nabi saww
Riwayat-riwayat dan bukti-bukti sejarah, semuanya menyaksikan keimanan dua orang tua Nabi saww dan mensucikan mereka dari kemusyrikan. Bagaimana mungkin keduanya itu bisa musyrik sementara mereka, sebelum terlahir, terestafetkan melalui sulbi-sulbi yang suci (dari syirik). Bagaimana mereka bisa dikatakan musyrik sementara ayat al-Quran dengan jelas berkata,
وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
Dan perpindahanmu –Muhammad- melalui orang-orang yang bersujud[101]” (QS: 26: 219) dimana jelas menerangkan kesucian mereka.
Riwayat-riwayat juga menerangkan ayat tersebut dan menjelaskan tentang kesucian kedua orang tua Nabi saww dimana sebagian contohnya adalah sebagai berikut:

  1. Suyuuthii meriwayatkan dari ‘Umar al-‘Adni dan Bazzaar dan Ibnu Abi Haatim dan Thabrani dan Ibnu Murdawaih dan begitu juga dari Baihaqi dalam kitabnya yang berjudul Dalaailu al-Nubuwwati yang diriwayatkan dari Mujaahid. Dikatakan bahwa: Ayat yang berbunyi, “Dan perpindahanmu melalui orang-orang yang bersujud.” Yakni –bibit Nabi saww- diestafetkan melalui sulbi seorang nabi ke sulbi nabi yang lainnya sampai terlahirkan ke dunia ini.”[102]
  2. Suyuuthii meriwayatkan dari Abu Haatim dan Ibnu Murdawaih dan Abu Naa’im dalam Dalaailu al-Nubuwwati yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata, “Makna ayat itu adalah bahwasannya Nabi saww itu diestafetkan melalui sulbi-sulbi para nabi sampai beliau diahirkan oleh ibundanya.”[103]
  3. Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata, Aku bertanya kepada Nabi saww: “Ayah dan ibuku kukorbankan untukmu (ucapan hormat dan cinta, penj.). Ketika Nabi Adam as berada di surga, Anda berada dimana?” Nabi saww tertawa hingga gigi bagian belakang beliau terlihat. Setelah itu beliau bersabda: “Ketika Nabi Adam as berada di surga, aku berada di sulbinya. Begitu pula ketika ia terlempar ke bumi. Aku pernah menaiki perahu ketika aku berada di sulbi ayahku, Nabi Nuh as. Aku juga pernah terlempar ke dalam api ketika ayahku nabi Ibraahiim dilempar ke dalam api. Sama sekali, ayah ibuku bukanlah orang penzina. Dan Tuhan selalu meletakkanku di sulbi dan rahim yang suci (dari kesyirikan). Akupun suci dan terpelihara. Tak ada dua golongan sekalipun –di dunia ini- kecuali aku berada di sulbi yang terbaik diantara keduanya. Tuhan, dengan alasan kenabian, telah mengambil janji dariku, dan dengan melalui Islam Ia menghidayahiku. Aku disebutkan dalam Tauraat dan Injiil. Tuhan mencahayai semua keberadaan baik di timur atau di barat dengan cahayaku. Dan Ia mengajarkan kitabNya kepadaku. Namaku di langit ditinggikanNya, dan Ia mengambil namaku dari pecahan NamaNya. Ia adalah Mahmuud (Terpuji) yang memiliki ‘Arsy dan aku adalah Muhammad (Pemuji). Ia telah menjanjikan padaku untuk mencintaiku di tepian telaga surga dan akan memberikan kepadaku al-Kautsar serta menjadikanku pemberi syafaat yang pertama. Syafaatku adalah paling awalnya syafaat yang akan diterimaNya. Aku diutus untuk paling utama umat manusia. Dan umatku adalah yang memuja Tuhan dan melakukan amar makruf dan nahi mungkar.”[104]
Hadits ini, jelas menerangkan tentang kesucian para orang tua Nabi saww, dan membersihkan mereka semua dari kemusyrikan. Karena musyrik itu adalah najis. Karena itulah Siti Aaminah bintu Wahab ra termasuk golongan wanita yang bertauhid, mukmin dan suci serta tidak pernah terkotori oleh kemusyrikan sedikitpun.
Karena itulah dapat diketahui bahwa riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah itu adalah penghinaan terhadap kedua orang tua Nabi saww.[105]
Syaikh Manshuur dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, “Tidak Islamnya ibu Nabi saww tidak bertentangan dengan masuknya beliau ke dalam surga. Karena beliau mengikuti agama fitrahnya. Dan jumhur ulama berpendapat bahwa orang-orang yang mengikuti agama fitrahnya (tauhid) –sebelum datangnya agam Islam- akan tetap mendapat keselamatan dari api neraka. Dan bahkan orang-orang kasyafpun telah menkasyaf bahwa kedua orang tua Nabi saww itu hidup setelah diutusnya Nabi saww menjadi rasul, dan keduanya beriman kepada risalah Nabi saww, karena itu, mereka masuk ke dalam surga.”[106]
Tafsir ayat yang sudah dijelaskan di atas itu, tidak terkhususkan kepada tafsir Syi’ah.[107] Mereka juga tidak hanya mencukupkan dengan menukil riwayat-riwayat saja. Akan tetapi bahkan mereka, para ulama Ahlussunnah itu –seperti Suyuuthii- menukil pula perkataan Ibnu Haatim, Ibnu Murdawaih, Abu Na’iim, Bazzaar, Thabraanii, Mujaahid dan Ibnu ‘Abbaas[108]. Karena itu, maka apa-apa yang dikatakan oleh Fakhru al-Raazii[109], yang mengatakan: “Tafsir riwayat pada ayat ini, hanyalah milik ajaran Syi’ah.”[110], tidak mengena sama sekali.

Catatan
Pembahasan di atas itu, seperti pembahasan tentang penolong dan pembela Rasulullah saww, yaitu hadhrat Abu Thaalib ra. Siapa saja yang tahu keberaniannya dalam membela Nabi saww, syair-syair dan pidato-pidatonya, maka ia akan meyakini keimanannya terhadap tauhid dan kenabian serta agama beliau. Akan tetapi fanatisme Bani Umayyah dan permusuhan mereka terhadap Imam Ali as, membuat kenyataan ini menjadi tertutup, hingga tidak bisa dikatakan: “Abu Thaalib meninggal dalam keadaan beriman.”
Ibnu Katsir dalam kalimat-kalimatnya yang sangat aneh berkata, “Dari yang telah diterangkan sebelumnya dapat diketahui bahwa Abu Thaalib adalah komandan dari para pelindung Nabi saww. Ia mendebat (menghujjah) semua musuh-musuh hingga mereka melepaskan Nabi saww dan para pengikutnya dari kejahatan mereka. Ia juga menguntai kata-kata indah (puisi) sebagai pujian terhadap Nabi saww dan para shahabatnya, begitu pula tentang cinta dan kasihnya terhadap beliau. Ia sering mendatangi musuh dan membuat mereka tidak berdaya dengan kefasihan sastra Arabnya yang merupakan cirri khusus dari keluarga ‘Abdu al-Muthallib. Dalam semua keadaan itu, Abu Thaalib tahu juga bahwa Rasulullah saww adalah manusia yang jujur, al-amiin, baik dan berada dalam jalan yang benar. Akan tetapi, dengan semua itu, dalam hatinya ia tidak beriman kepada Rasulullah saww.!!!”[111]
Fanatisme (kefanatikan terhadap diri, suku dan madzhad) Ibnu Katsir benar-benar dapat dilihat dengan nyata. Seakan-akan ia berada di dalam hati Abu Thaalib ra. dan mengerti pandangan mata dari para pengkhianat serta dapat mencium apa-apa yang tersembunyi di dalam hati manusia.
Ia mengakui dengan berkata, “Abu Thaabli ra membenarkan apapun yang dikatakan Nabi saww.” Akan tetapi setelah itu ia berkata, “Dalam hatinya tidak beriman kepada Rasulullah saww.” Memang, orang seperti dia ini, harus mengatakan kata-kata seperti itu. Karena Abu Thaalib adalah ayah dari Imam Ali as. Coba Abu Thaalib ayah dari Mu’awiyah, maka ia akan memujanya melebihi Abu Sufyan dan sudah pasti akan menguntai kata-kata pujian palsu yang lebih banyak untuknya.

[1] Irsyaadu al-Saari, jld. 2, hal. 329.
[2] Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 365.
[3] Qashr dalam shalat adalah melakukan shalat yang berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat karena musafir. Akan tetapi kalau bepergiannya itu untuk melakukan maksiat, maka hukum shalat musafir itu menjadi batal. Karenanya harus tetap shalat empat rakaat. Ibnu Taimiyyah, ketika mengharamkan ziarah kubur, maka hukum musafir diankat dari orang yang melakukan perjalanan untuk ziarah ini. (Pentj.)
[4] An-Nisa’ (4): 64.
[5] Dalil-dalil tentang kehidupan barzakhi Nabi saww telah dijelaskan di pembahasan yang telah lalu (lihat jilid pertama dari buku ini!).
[6] Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 366.
[7] Al-Mawaahibu al-Daniyyati Bi al-Manahi al-Muhammadiyyati, jld. 3, hal. 410.
[8] Tharhu al-Tatsriib Fi Syarhi al-Taqriib, hal. 297.
[9] Dia adalah seorang Haafizh, faqih (mujtahid) dan terkenal dengan julukan Al-Khuulaani (wafat tahun 194 H). Penulis kitab-kitab hadits shahih, meriwayatkan darinya. Ibnu Mu’iin dan Muhammad bin ‘Auf al-Thaa-i i juga mentsiqahkannya (Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 9, hal. 58).
[10] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1326; al-Raudhu al-Faa-iq, jld. 2, hal. 380; Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 257 dan 366; al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, jld. 3, hal. 405; Mughni al-Muhtaaj, jld. 1, hal. 512; Kunuuzu al-Haqaa-iq, jld. 2, hal. 108; Nailu al-Authaar, jld. 5, hal. 108; Begitu pula Maraaghii menghukumi kebolehan ziarah Nabi saww dari ayat ini, dan berkata, “Ziarah bisa menyebabkan dekatnya seseorang kepada Allah. Hal ini telah diriwayatkan dalam berbagai bentuk periwayatan. Salah satu buktinya riwayat ‘Utbaa –Muhammad bin ‘Abdullah ‘Umar- yang diambil oleh Ibnu ‘Ubainah dimana kedua orang ini adalah ulama madzhab Syaafi’ii yang mengatakan: Seorang Arab pedesaan datang kepada Nabi saww dan meminta beliau untuk memohonkan ampunan untuknya. Ia membacakan puisi pujian terhadap Nabi saww:
Wahai paling mulianya manusia yang dimakamkan di tempat ini
Yang bau wanginya menyeruak, melesat dan mengharumi kota ini
Jiwaku sajian debu-debu kuburmu, gudang kemulian dan kasihmu
Setelah itu ia mengucapkan istighfar dan pergi. Dalam keadaan itu, kantukku menguasai diriku. Dalam tidur aku melihat Nabi saww dan berkata: ‘Carilah orang Arab pedesaan tadi itu dan katakan padanya bahwa Tuhan telah mengampuninya!’ Karena itu aku mencari orang tersebut. Akan tetapi aku tidak mendapatkanya.” Orang Arab pedesaan ini, dengan fitrahnya yang polos dan murni, datang ke kubur Nabi saww dan meminta beliau untuk memohonkan ampunan bagi dirinya. Apakah Ibnu Taimiyyah tidak menyadari bahwa menziarahi kubur orang-orang besar dan wali Tuhan itu adalah hal yang fitrah? Atau mungkin fitrah dia itu telah dikotori oleh kebekuan, permusuhan dan kebencian, seperti yang dikatakan oleh Sabki: Telah dikotori oleh hawa nafsunya??!
[11] Al-Ghadiir, jld. 5, hal. 93; Sunanu al-Daar Qathnii, jld. 2, hal. 278; al-Ahkaamu al-Sulthaaniyyati, jld. 2, hal. 109; al-Kaamilu Fi al-Dhu’afaa-i, jld. 6, hal. 351; al-Du’afaa-u al-Kabiir, jld. 4, hal. 170; al-Syifaa’ Bita’riifi Huquuqi al-Mushthafaa, jld. 5, hal. 194; Mukhtasharu Taariikhi Damisyq, jld. 2, hal. 406; al-Targhiibu wa al-Tarhiibu, jld. 2, hal. 224; Syifaa-u al-Suqqaam, jld. 2; Kanzu al-‘Ummaal, jld. 15, hal. 651; Nailu al-Authaar, jld. 5, hal. 108.
[12] Bagian ini telah dihilangkan oleh Ibnu Badraan dalam kitabnya yang berjudul al-Tahdziib.
[13] Lihat, al-Ghadiir, jld. 5, hal. 167.
[14] Al-Kaamilu Fi al-Dhu’afaa’, jld. 6, hal. 351.
[15] Al-Ghadiir, jld. 5, hal. 169.
[16] Syafaa-u al-Saqaam, hal. 8. Taqiyyu al-Diin Sabkii adalah bermadzhab Syaafi’ii, pengarang kitab Syafaa-u al-Saqaam dan wafat pada tahun 728 .. Karena itu, ia sejaman dengan Ibnu Taimiyyah (yang lahir pada tahun 661 H, pentj.). Ia dalam kitab Syifaa-u al-Saqaam itu mengkritisi kitab Sunannya Ibnu Taimiyyah, dan dengan dalil-dalilnya yang kuat, telah mematahkan semua dalil-dalil Ibnu Taimiyyah. Syifaa-u al-Saqaam, adalah paling bagusnya kitab dalam topik ini –menolak ajaran Ibnu Taimiyyah yang menjadi ikutan Wahhabiah.
[17] Al-Mu’jamu al-Kabiir, jld. 12, hal. 225; Ihyaa-u al-‘Uluum, jld. 1, hal. 231; Mukhtasharu Tariikhi Damasyq, jld. 3, hal. 406; Syifaa-u al-Saqaam, hal. 16; Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1340; Mughni al-Muhtaaj, jld. 1, hal. 512; Al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, jld. 4, hal. 571.
[18] Al-Ghadiir, jdl. 5, hal. 246 yang merujuk ke kitab: Al-Mu’jamu al-Kabiir, jld. 12, hal. 310; Sunanu al-Daari al-Quthnii, jld. 2, hal. 278. Hadits ini dinukil secara Marfuu’. Dan hadits Marfuu’ adalah hadits yang satu atau lebih dari perawinya tidak disebutkan. Akan tetapi memang dinyatakan secara jelas kalau Marfuu’ (sengaja tidak disebutkan semuanya, penj.). Seperti: dari Kulaini, dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, rafa’ahu (secara marfuu’) dari Imam Shadiq as berkata: “Ini dan itu.” misalnya.
Marfuu’ juga berarti suatu hadits yang pada akhirnya dinisbahkan atau dihubungkan kepada orang maksum, baik secara Maqthuu’ (yang diriwayatkan dari taabi’iin, baik berupa perkataan atau perbuatan mereka, penj.) atau Mursal (yang diriwayatkan dari maksum as sementara ujung perawinya tidak sejaman dengan maksum dan tidak menyebutkan satu perantaranya, penj.). Hadits Marfuu’ ini di kalangan Ahulussunnah waljama’ah, disebut juga dengan hadits shahih.
[19] Nailu al-Authaar, jld. 5, hal. 108; Syafaa-u al-Saqaam, hal. 27; Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1342; al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, jld. 3, hal. 404; Kasyfu al-Khafaa’, jld. 2, hal. 244; Kitaabu al-Majruuhiin, jld. 3, hal. 73; Mushannifu ‘Abdu al-Rahmaan, jld. 3, hal. 569; al-Ghadiir, jld. 5, hal. 100.
[20] Majma’u al-Anhar Fi Syarhi al-Abhar, jld. 1, hal. 157; Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1340. Riwayat lainnya yang serupa, juga diriwayatkan oleh almarhum Amiin dalam kitab Kasyfu al-Irtiyaab-nya (hal. 366-368).
[21] Syifaa-u al-Saqaam, hal. 44.
[22] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1340.
[23] Ibid. Dalam sebagian riwayat dikatakan “Kemudian ia mengucap shalawat kepada Nabi saww”
Ibnu A’tsam dalam kitab al-Futuuh, jld. 5, hal. 18, berkata: Suatu malam imam Husain bin Ali as mendatangi kubur kakeknya Rasulullah saww dan berkata: “Salam padamu wahai Rasulullah. Aku adalah Husain anak Fathimah as. Aku adalah dari sulbimu dan anak dari putrimu. Aku adalah cucumu yang merupakan anak dari orang yang telah engkau pilih menjadi khalifahmu untuk umat ini. Karena itu, maka jadilah saksi wahai Rasulullah, bahwa umat ini telah menyia-nyiakan aku dan tidak melindungiku. Ini adalah keluhku padamu hingga aku menjumpaimu.” Pada malam ke dua, ia –Imam Husain as- datang lagi ke kubur Nabi saww dan melakukan shalat dua rokaat. Ketika selesai melakukan shalatnya, ia membaca doa ini: “Ya Allah, ini adalah  kubur NabiMu Muhammad saww, dan aku adalah cucunya. Telah menimpaku suatu masalah yang Engkau sendiri mengetahuinya. Aku menyukai perbuatan baik dan membenci perbuatan buruk. Aku memohon padaMu wahai Yang Maha Perkasa dan Pemberi, demi kebenaran kubur ini dan demi yang dimakamkan di dalamnya, agar apa yang akan aku lakukan sesuai dengan RidhaMu.” Contoh doa seperti di atas ini, juga dilakukan oleh Imam Ridha as.
[24] Ibid (atau jld. 4, hal. 183, dalam cetakan yang lain. Penj.)
[25] Al-Ghadiir, jld. 5, hal. 109.
[26] Al-Bukhaarii, jld. 2, hal. 136; Shahih Muslim, jld. 4, hal. 126; Ihya-u al-‘Uluum, karya Ghazali, jld. 2, hal. 247. Muhammad bin ‘Abdu al-Wahhaab berkata, “Ziarah Nabi saww adalah sunnah akan tetapi bepergiannya harus diniatkan untuk shalat di Masjidunnabi itu –bukan unuk ziarah.”
[27] Irsyaadu al-Saarii, jld. 2, hal. 332.
[28] Ibid; Shahih Bukhari, jld. 2, hal. 137. Shalatnya Nabi saww –yang didahului dengan menempuh perjalanan itu- tidak hanya dilakukan terhadap masjid Qubaa. Samhuudii, dalam kitabnya yang berjudul Wafaa-u al-Wafaa’ menyebutkan masjid-masjid yang di dalamnya Nabi saww pernah melakukan shalat. Kebanyakan masjid-masjid itu, masih ada sampai pada masanya, yakni abad ke 9 dan awal abad ke 10 Hijriah. Karena ia menyebutkan semua masjid-masjid itu. Sangat disayangkan, bahwa banyak sekali peninggalan-peninggalan sejarah Islam yang tersisa, hancur di tangan para Wahhabi. Ia –Samhuudi- menukil dari Baghwii yang bermadzhab Syaafi’ii bahwa ia berkata: “Kalau seseorang bernadzar untuk melakukan shalat di salah satu masjid yang Nabi saww pernah melakukan shalat di dalamnya, maka shalatnya menjadi wajib dan ia-pun wajib mengamalkan nadzarnya, sebagaimana kalau bernadzar untuk melakukan shalat di tiga masjid itu (yang dikecualikan dalam hadits di atas).”
Setelah itu, Samhuudii menyebutkan masjid-masjid yang dimaksudkan: 1. Masjid al-Jum’at dimana pertama kalinya Rasulullah saww mendirikan shalat Jum’at. 2. Masjid al-Fadhiih yang mana sekarang dikenal dengan masjid Syamsun. Rasulullah saww sewaktu mengepung suku Bani al-Nadhiir, melakukan shalat di masjid itu. 3. Masjid Banii Zhafar. 4. Masjid al-Ijaabatu. 5. Masjid al-Fathu. 6. Masjid Banii al-Haraam. 7. Masjid Qiblataian. 8. Masjid al-Suqyaa. 9. Masjib al-Dzubaab yang juga dikenal dengan masjid al-Raayatu.
Semua masjid-masjid itu, masih ada di kota Madinah sampai pada masa Samhuudi. Karena itu ia menyebutkannya. Selain itu, iapun menyebutkan posisi geografi semua masjid Madinah tersebut. Sementara masjid-masjid yang sudah tidak ada pada masa Samhuudi adalah sebagai berikut: 1. Masjid Banii Judailati. 2. Masjid Banii ‘Ubaid yang juga dikenal dengan masjid al-Khirbatu. 3. Masjid Banii Ghaffaar. 4. Masjid Banii Diinaar. 5. Masjid Banii ‘Uddaa. Di bagian akhir Samhuudii menyebutkan sebanyak 39 masjid.
Para Wahhabi, ketika menguasai Makkah dan Madinah, merusak sebagian besar masjid-masjid itu. Dan bahkan melarang mendatangi (ziarah) dan menabarrukinya. Kebanyakan dari masjid-masjid itu dijadikan kandang binatang –na’udzu billah. Dan sebagian lainnya dijadikan tempat dibangunnya perpustakaan umum. Banyak sekali orang yang tidak perhatian terhadap hukum masjid (seperti orang haid atau junub tidak boleh memasuki masjid, penj.) telah memasuki masjid yang telah dijadikan perpustakaan itu. Orang-orang seperti Wahhabi yang tidak punya malu ini, bagaimana mendakwa dirinya sebagai muslim dan pembela Islam, sementara mereka menghancurkan masjid-masjid itu dan menguasainya serta merubahnya dari posisi masjid (sebagai kandang atau perpustakaan, penj.)? Apakah merampas wakaf itu tidak haram? Apakah hal itu bukan merupakan penghinaan terhadap masjid dan Rasulullah saww? Salah satu dari penghinaan mereka –Wahhabi- telah menghancurkan masjid al-Thaaif.
Untuk masalah-masalah seperti ini, bisa dilihat di kitab-kitab: (1) Al-Tawassul bi al-Nabii saww karnya Abu Haamid bin Marzuuq. (2) Al-Duraru al-Sunniyyatu, karya Sayyid Ahmad bin Zainii Dahlaan. (3) Syafaa-u al-Saqaam, karya Sabkii. (4) Tathhiiru al-Fuaad, karya Syaikh Muhammad Muthii’ii. (5) Al-Minhatu al-Wahbiyyatu, karya Husain Hamlii. (6) Al-Bashaa-ir, karya Hamadullah al-Daajwaa. (7) Al-Tabarruk, karya Ayatullah Ahmad Miyaanijii, hal. 219-228.

[29] Usdu al-Ghaabati, jld. 1, hal. 208; Tahdziibu al-Tahdziib, jld. 2, hal. 408; Syafaa-u al-Saqaam, hal. 85.
[30] Ada bukti sejarah bahwa Bilaal, setelah wafatnya Nabi saww mengumandangkan adzan sebanyak tiga kali. Dua kali di Madinah dan sekali di Syaam (Suriah). Rujuk kitab Qaamuusu al-Rijaal, jld. 2, hal. 398.
[31] Taariikhu al-Islaam (‘Ahdu Khulafaa’), jld. 3, hal. 205; Wafaa-u al-Wafaa’ jld. 4, hal. 1357.
[32] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1358.
[33] Tahdziibu al-Mathaalib, jld. 21, hal. 408.
[34] Irsyaadu al-Saarii, jld. 2, hal. 329.
[35] Al-Hadhratu al-Insiyyatu Fi al-Rihlati al-Qudsiyyati, hal. 129.
[36] Ihyaa-u al-‘Uluum, jld. 2, hal. 247. Imam Ghazaalii (wafat tahun 505 H.) menambahkan: “Barang siapapun yang ingin melakukan perjalanan untuk menziarahi Nabi saww maka di tengah jalan ia harus mengucap salam dan shalawat pada beliau. Dan ketika pandangannya sudah bisa melihat pohon-pohon dan tembok-tembok Madinah, hendaknya membaca: ‘Ya Tuhan, ini adalah haramMu (tempat suci). Jadikanlah ia jempatan dan keamanan bagiku dari api nerakaMu dan buruknya hisab.’ Setelah ziarah Nabi saww hendaknya mendatangi pekuburan Baqii’ untuk menziarahi Hasan bin Ali dan setelah itu hendaknya shalat di Masjid Faathimah.” (Ihyaa-u al-‘Uluum, jld. 1, hal. 305-396.).
[37] Furqaanu al-Qur aan, hal 133; al-Ghadiir, jld. 5, hal. 154. ‘Abdu al-Rahmaan al-Jaziirii, penulis kitab al-Fiqhu ‘Alaa al-Madzaahibi al-Arba’ati, menulis: “Ziarah kubur Nabi saww adalah paling afdhalnya kesunnahan dan telah diriwayatkan melalui banyak riwayat. Setelah itu ia menukil cara-cara atau tatakrama ziarah (Wahhaabiyat, Mabaanii Fikrii wa Kornomeh ‘Amalii, hal. 122).
[38] Al-Ghadiir, jld. 5, hal. 116; Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 372; al-Jawaahiru al-Munazhzham Fi Ziyaarati al-Qabri al-Mukarram, hal. 12.
Catatan: Pengarang kitab Kasyfu al-Irtiyaab menukil suatu hal dari Muhammad al-Barsii yang dengan kata-kata keras telah menentang pandangan Ibnu Taimiyyah, dengan berkata: Telah berkata al-Syaikhu al-Imaamu al-Habru al-Himaamu, sanad dari para ahli hadits, al-Syaikh Muhammad al-Barsii dalam kitabnya Ittihaafu Ahli al-Irfaan bi Ru’yati al-Anbiyaa’ wa al-Malaaikati wa al-Jaanni: “Ibnu Taimiyyah telah berani-beraninya –semoga Tuhan mengadilinya- berkata bahwa hukum bepergian untuk ziarah Nabi saww adalah haram. Dan bahwa shalat di tengah perjalanannya itu mesti dilakukan secara penuh (karena musafir haram tidak membuat shalat menjadi qashar, penj.) karena musafirnya adalah haram. Karena itu ia telah jatuh –dari kehormatan- di mata para ulama dan masyarakat Islam, hingga jadi sindiran di masyarakat awam, apalagi di kalangan ulama. (Kasyfu al-Irtiyaab, hal. 371-372).
[39] Al-Taaju al-Jaami’ li al-Ushuul, jld. 2, hal. 382.
[40] Al-Mawahib Al-Dininyyah, jld. 3, hal. 403 dan 406
[41] Tidak seperti Wahhabi (yang kita lihat di musim haji misalnya, penj.) yang begitu melihat orang mendekati kubur Nabi saww dan mengusapnya –dan apalagi menciumnya- maka langsung dihardik, dihina, dikatakan kafir atau syirik, serta memukulinya.
[42] Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 4, hal. 484.
[43] Al-Nisaa’: 64.
[44] Surat Muhammad: 19.
[45] Al-Mawaahibu al-Laduniyyatu bi al-Manahi al-Muhammadiyyati, jld. 3, hal. 405.
[46] Shahih Muslim, jld. 3, hal. 65; Sunan Nasaai, jld. 4, hal. 89; Mustadraku al-Shahihain karya Muslim, jld. 1, hal. 530, hadits ke: 1385.
Catatan: Nabi saww pernah melarang ziarah kubur untuk sementara. Dan setelah itu beliau menyuruhnya. Kemungkinan pertama adalah karena di awal-awal Islam, kuburan dipenuhi oleh orang-orang kafir yang telah mati sebelumnya. Karena itu, pelarangan beliau tersebut dimaksudkan untuk memahamkan kepada muslimin bahwa tidak ada kompromi antara Islam dan kafir (baca: dalam keyakinan, bukan dalam kehidupan sosial, penj.). Kemungkinan ke dua, adalah dikhawatirkan di awal-awal masa keIslaman itu (baca: belum lengkapnya ajaran Nabi saww) muslimin tidak melakukan ziarah sesuai dengan agama Islam (baca: sesuai dengan ajaran kafir musyrik, penj.). Karena itu, dengan berkembangnya agama Islam dan semakin sempurnanya ajarannya, mereka meninggalkan cara-cara ziarah yang batil itu. Hingga pada akhirnya, Nabi saww mengeluarkan perintah terhadap ziarah kubur tersebut. (Oyine-e Wahhaabiyyat, hal. 107).
[47] Al-Taaju al-Jaami’i Li al-Ushuul, jld. 1, hal. 381; Jaami’u al-Ushuul, jld. 11, hal. 438.
[48] Ibid.
[49] Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 2, hal. 337; Mausuu’atu Athraafi al-Hadiits, jld. 10, hal. 181.
[50] Akhbaaru Makkati, jld. 2, hal. 52.
[51] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 3, hal. 932.
[52] Ibid, hal. 883; Shahih Muslim, jld. 3, hal. 63; Sunan Nasaai dan Sunanu al-Kubraa, jld. 4, hal. 132. Dalam riwayat ini berbunyi: “Ya Allah, ampunilah orang-orang yang dikuburkan di Baqii’ al-Gharqad.” Gharqad adalah nama pohon yang banyak tumbuh di Baqii’. Karena itu Baqii’ dikenal dengan Baqii’u al-Gharqad. Samhuudi dalam Wafaa-u al-Wafaa’ (jld. 2, hal. 84) berkata: “Ketika ‘Utsmaan bin Mazh’uun dikuburkan di sana, pohon itu dipotong. Dia adalah orang pertama yang dikuburkan di sana. Setelah Ibrahim putra Nabi saww meninggal, Nabi saww memerintahkan untuk dikuburkan di sisi ‘Utsmaan bin Mazh’uun. Karenanya, setelah itu, masyarakat pada menguburkan keluarganya yang meninggal di tempat tersebut: Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 2, hal. 84.
[53] Sunan Ibnu Maajah, jld. 1, hal. 501; Mustadrak Haakim, jld, 1, hal. 531; Akhbaaru Makkati, jld. 2, hal. 53.
[54] Mustadrak Haakim, jld. 1, hal. 531, hadits ke: 1388.
[55] Ibid, hal. 533, hadits ke: 1394; Majma’u al-Zawaa-id, jld. 2, hal. 58.
[56] Sunan Abu Daaud, jld. 3, hal. 216; al-Sunanu al-Kubraa, jld. 4, hal. 127. Telah diriwayatkan dari ‘Ithaaf: “Nabi saww menziarahi pekuburan para syahid yang ada di Uhud.” (Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 2, hal. 932).
[57] Al-Sunanu al-Kubraa, jld. 4, hal. 132.
[58] Mushannif ‘Abdu al-Razzaaq, jld. 3, hal. 572; al-Sunanu al-Kubraa, jld. 4, hal. 131; Mustadrak al-Haakim, jld. 1, hal. 533; Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 2, hal. 932; al-Ghadiir, jld. 5, hal. 167.
[59] Ibid; Syarhu Nahju al-Balaaghah, jld. 15, hal. 40, Ziarah al-Nabii saww pada kuburan syuhada Uhud, setiap tahunnya. Begitu pula ziarah Faathimah as dan Sa’d bin Abi Waqqaash.
[60] Ibid.
[61] Ibid.
[62] Mushannaf ‘Abdu al-Razzaaq, jld. 3, hal. 570.
[63] Sunanu al-Kubraa, jld. 4, hal. 131.
[64] Taariikh Damesyq, jld. 57, hal. 220.
[65] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 3, hal. 933.
[66] Ibid, hal. 932.
[67] Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 9, hal. 464. Almarhum Ahmadi Miyaanijii dalam kitabnya yang berjudul Tabarruk telah menuliskan hadits di atas lengkap dengan semua sumbernya.
[68] Rihlatu Ibni Jubair, hal. 229; al-Ghadiir, jld. 5, hal. 184.
[69] Taariikh Baghdaad, jld. 12, hal. 241.
[70] Al-Muntazham, jld. 12, hal. 241.
[71] Mustadrak Haakim, jld. 3, hal. 518; Shafwatu al-Shafwah, jld. 1, hal. 470; Rihlatu Ibni Baithuuthah, jld. 1, hal. 187.
[72] Safar Naameh Ibnu Jubair, hal. 1. Muhammad bin Ahmad bin Jubair al-Andaluusii adalah pengelana dunia yang terkenal di akhir-akhir abad ke enam. Ia tiga kali berkelana, dan daerah Timur telah tiga kali dikunjunginya. Salah satu dari perjalanannya dilakukan pada tahun 578 H dan berakhir pada tahun 581 H. Lihat, Wahhabiyyat Mabaanii Fikrii Kaarnaaneh ‘Amalii -menukil dari beberapa ulama- jld. 5, hal. 319.
[73] Diir Sam’aan terletak di daerah sekitaran Damaskus. Lihat, Mu’jamu al-Buldaan, jld. 2, hal. 586.
[74] Taariikhu al-Islaam, hal. 26; Tadzkiratu al-Huffaazh, jld. 1, hal. 121.
[75] Taariikhu al-Islaam, jld. 1, hal. 120; al-Bidaayatu wa al-Nihaayatu, jld. 5, hal. 88.
[76] Syadzaraatu al-Dzahab, jld. 3, hal. 97.
[77] Wafiyaatu al-A’yaan, jld. 4, hal. 165; Tahdziibu al-Tahdziib, jld. 7, hal. 339.
[78] Ibid. Dzahabi berkata tentang Maalik: “Secara meyakinkan ia dikubur di pekuburan Baqii’ (Madinah, Saudi) dan kuburnya menjadi tempat ziarah.” (Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 8, hal. 132).
[79] Mizaanu al-I’tidaal, jld. 1, hal. 114. Khatiib berkata: “Telah dinukil dari Abu al-Farj al-Hindibaaii yang berkata: ‘Aku adalah orang yang suka menziarahi kubur Ahmad bin Hanbal. Setelah itu aku berhenti melakukannya. Suatu malam, dalam tidurku aku bermimpi ada suara yang mengatakan: Mengapa kamu berhenti menziarahinya? (Taariikh Baghdaad, jld. 4, hal. 423.)
[80] Wafiyaatu al-A’yaan, jld. 1, hal. 318.
[81] Taariikh Baghdaad, jld. 1, hal. 123. Catatan: Kebanyakan dari yang kami bawakan di sini sebagai contoh dari tempat-tempat ziarah itu adalah dari bab “debat” (mengajukan dalil yang asas kebenarannya berdasar pada apa-apa yang diterima dan diyakini oleh lawan bicaranya, penj.). Karena itu sebenarnya, kami tidak mengimani kebanyakan dari contoh-contoh tersebut.
[82] Shafwatu al-Shafwati, jld. 2, hal. 413.
[83] Maskan adalah sebuah tempat di dekat Aunaa dan berada di atas sungai Dajiil di pinggiran Diir Jaatsliiq.  Pada tahun 72 H terjadi peperangan antara ‘Abdu al-Malik bin Marwaan dengan Mush’ab bin al-Zubair di tempat itu dimana berakhir dengan terbubuhnya Mush’ab. Kuburnya di sana sangat terkenal. (Mu’jamu al-Buldaan, jld. 5, hal. 127).
[84] Al-Muntazhim, jld. 15, hal. 14. Komentar kami (penulis buku ini): Mana bisa dibandingkan antara langit dan bumi? Apa bisa dibandingkan antara pertumpahan darah muslimin yang diakibatkan oleh ketamakan akan kekuasaan atas Iraq –Mush’ab- dangan Imam Husain as yang berkedudukan sebagai Penghulu Pemuda Surga?
[85] Al-Jawaahiru al-Mudhiiah, jld. 2, hal. 720, hadits ke: 1131. Ibnu Jubair adalah pengelana terkenal. Ia menyebutkan bahwa Qaraafah di Mesir adalah salah satu dari keajaiban dunia. Sesuai dengan pernyataannya, di sana, banyak dikuburkan nabi-nabi dan keluarga mereka serta shahabat-shabat mereka. Sebagian dari mereka adalah: (1) Ruubil bin Ya’quub bin Ishaaq. (2) Aasiah istri Fir’aun. (3) Dua orang dari putra Imam Shadiq as. (4) Qaasim bin Muhammad bin Ja’far al-Shaadiq. (5) Anak Qaasim yang bernama ‘Abdullah. (6) Yahya bin Qaasim. (7) ‘Ali bin ‘Abdullah Qaasim. (8) ‘Iisaa bin ‘Abdullah. Dia banyak sekali menyebutkan kuburan putra-putra Imam Ali as yang berada disana.
[86] Tadzkiratu al-Huffaazh, jld. 3, hal. 780, hadits ke: 772.
[87] Wafiyaatu al-A’yaan, jld. 6, hal. 394; Ansaabu Sam’aanii, jld. 3, hal. 484. Ia berkata: “Aku menziarahi kubur Abu ‘Awwaanah.” (Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 14, hal. 419.).
[88] Ibid.
[89] Al-Bidaayatu wa al-Nihaayatu, jld. 11, hal. 375. Dia adalah penguasa Andaluus menggantikan ayahnya. Dia berperang dengan penguasa Eropa dan melenyapkan sebagian mereka. Akan tetapi karena adanya fitnah di Andalus sendiri, maka ia ditangkap dan kemudian dihukum mati. (Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 19, hal. 63).
[90] Al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, jld. 3, hal. 390; Syadzaraatu al-Dzahab, jld. 5, hal. 388.
[91] Al-Mawaahibu al-Laduniyyatu, jld. 3, hal. 396; Syadzaraatu al-Dzahab, jld. 2, hal. 397; Al-‘Ibar, jld. 2, hal. 363.
[92] Thabaqaatu al-Qurraa’, jld. 2, hal. 22.
[93] Nailu al-Ibtihaaj, hal. 62.
[94] Al-Nujuumu al-Zaahiratu, jld. 7, hal. 80.
[95] Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 16, hal. 92 dan jld. 17, hal. 193. Dzahabi menulis bahwa tokoh ulama Hanbaliah yang bernama al-Tamiimii, menziarahi kubur Baaqilaani setiap hari Jum’at.

[96] Abu Daawud dalam kitab Sunannya meriwayatkan kelanjutan hadits di atas sebagaimana berikut ini: Wanita itu tidak mengenali Nabi saw., karenanya ia protes kepada beliau dan berkata: “Apa hubunganmu dengan tangisku?” Pada saat itu satu wanita yang ada disamping wanita tersebut berkata kepadanya: “Apakah kamu mengenalnya? Ia adalah Rasulullah saww” Wanita pertama tadi, karena ingin mengurangi salahnya, mendatani rumah Nabi saww dan berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, maafkanlah aku. Aku tidak menganal Anda.” Rasulullah saww bersabda: “Sabar dalam menghadapi musibah itu adalah baik.”
[97] Irsyaadu al-Saarii, jld. 3, hal. 400.
[98] Ibid.
[99] Wafaa-u al-Wafaa’, jld. 4, hal. 1362.
[100] Shahih Muslim, jld. 3, hal. 65; Sunan Nasaai, jld. 4, hal. 90; Mushannaf ‘Abdu al-Razzaaq, jld. 3, hal. 572; Sunan al-Kubraa, jld. 4, hal. 128.
[101] Maksudnya adalah pengestafetan bibit Nabi saww, itu dari sulbi-sulbi yang bersujud alias beriman kepada Allah, pentj.
[102] Al-Durru al-Mantsuur, jld. 5, hal. 98.
[103] Ibid.
[104] Ibid.
[105] Abu Hurairah berkata, “Ketika Nabi saww menziarahi kubur ibunya, beliau menangis dan orang-orang yang berada di sekitarnyapun ikut menangis.”
Abu Hurairah menjadi muslim setelah perang Khaibar. Dan kira-kira setahun setelah Islamnya itu Nabi saww meninggalkan dunia fana ini. Walaupun perkenalannya dengan Nabi saww paling pendek masanya dibanding shahabat yang lainnya, akan tetapi ia jauh lebih banyak dari shahabat-shahabat lain dalam meriwayatkan hadits (hadits yang langsung dari Nabi saww, penj.). Riwayat dia sendiri saja melebihi semua riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Ali as dengan ditambah riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh ketiga khalifah sebelumnya (Abu Bakar, Umar dan Utsman).
Dzahabi dalam kitabnya, jld. 2, hal. 632, berkata, “Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebanyak 5374 hadits. Sedang semua hadits Shahih Bukhari adalah 7000 hadits. Dan kalau hadits-hadits pengulangannya disisihkan, maka semuanya akan menjadi 3000 – 4000 hadits dimana sepersepuluhnya diriwayatkan melalui Abu Hurairah. Segolongan orang, dianataranya ‘Aisyah, telah mencercanya dengan mengatakan telah membuat hadits-hadits palsu.”
Dzahabi dalam kitabnya , jld. 2, hal. 615, berkata, “Kalau Mu’awiyah memberikan sesuatu kepadanya, maka ia mulai berbicara. Tapi kalau tidak memberikannya sesuatu, ia diam seribu bahasa.”
Ibnu Katsiir dalam kitabnya al-Bidaayah, jld. 8, hal. 114, berkata, Abu Hurairah pernah mendatangi ‘Aisyah. ‘Aisyah berkata kepadanya: “Benarkah kamu menukil banyak sekali hadits dari Nabi saww?” Abu Hurairah menjawab, “Aku bukan orang yang disibukkan dengan cermin, celak dan minyak.” (sindiran untuk ‘Aisyah).
Dzahabi dalam Sairu al-Nubalaa’, jld. 2, berkata, Ketika Imam Hasan as mau dikuburkan di rumah Nabi saww –disamping beliau- terjadi keributan yang dahsyat (karena dilarang oleh ‘Aisyah dan Marwan serta pengikut keduanya, pentj.). Dikatakan bahwa Ibnu Rubaah berkata kepada Marwan, “Kamu bukan gubernur Madinah, apa urusanmu, biarkan saja ia –Imam Hasan as- dikuburkan disini.” Ketika Imam Hasan as sudah mau dikuburkan di sisi Nabi saww, Abu Hurairah berkata kepada Marwan, “Kamu ini ikut campur urusan orang, biarkan saja ia dikubur disini. Kamu melarang penguburan ini karena ingin mendapatkan perhatian dari Mu’aawiyah.” Marwan dengan penuh amarah menjawab Abu Hurairah dengan berkata: “Hai Abu Hurairah, orang-orang berkata bahwa kamu banyak sekali meriwayatkan hadits dari Nabi saww, padahal kamu masuk Islam beberapa hari sebelum wafatnya beliau.” (walhasil, pada akhirnya, Imam Hasan as tidak bisa dikuburkan di sisi kakeknya Rasulullah saww, penj.)
Dalam kitab ‘Aqdu al-Fariid, jld. 1, hal. 46 dan Sairu A’laami al-Nubalaa’, jld. 2, hal. 512, dituliskan, Ketika ‘Umar menurunkan jabatan Abu Hurairah sebagai gubernur Bahrain, ‘Umar berkata kepadanya, “Hai musuh Tuhan dan kitabNya, berani-beraninya kamu mencuri harta Tuhan -baitulmaal?” Kemudian ‘Umar mengambil sepotong kayu dan memukulnya.”
[106] Al-Taaju al-Jaami’ Li al-Ushuul, jld. 1, hal. 382. Agama fitrah dikatakan pada orang-orang yang mengikuti fitrah tauhidnya di masa-masa dimana Allah belum mengirimkan rasulNya dan/atau ajaran beliau belum sampai kepadanya dengan jelas, sementara agama sebelumnya sudah bercampur. Karena itu pendapat ulama mengatakan bahwa orang-orang yang hidup pada masa-masa itu, asal tetap mengikuti fitrah tauhidnya, akan mendapat keselamatan.
[107] Zamakhsyari berkata, Ayat yang berbunyi: “Dan perpindahanmu melalui orang-orang yang bersujud.” menunjukkan kemukminan dan ketauhidan dari ayah-ayah dan ibu-ibu Nabi saww. Seluruh orang-orang tua laki dan perempuan beliau adalah orang-orang yang bersujud –kepada Allah- dan suci –dari kesyirikan. Lihat juga kitab Abu Thaalib dan Keturunannya, karya Sayyid ‘Ali Khaan, hal. 216. Dan kitab Muniyyatu al-Raaghib, hal. 56, karya Almarhum Ayatullah Thabasi.
[108] Al-Miizaan, jld. 15, hal. 367.
[109] Tafsiir al-Kabiir, jld. 24, hal. 173.
[110] Sebagai tambahan terhadap dalil-dalil Syi’ah tentang kesucian –dari syirik- para orang tua Nabi saww dapat dikatakan, Ayat di atas memiliki beberapa makna yang dapat dimungkinkan:
1. Menerangkan tentang apa-apa yang dikerjakan oleh Nabi saww di tengah malam (seperti ibadah atau berkeliling di tengah malam untuk memeriksa kegiatan kaum muslimin).
2. Nabi saww dengan penglihatannya sendiri, dapat melihat orang-orang yang shalat dibelangknya dan memeriksanya. Karena Nabi saww dalam suatu riwayat bersabda: “Sempurnakanlah rukuk dan sujud kalian. Karena aku dapat melihat kalian walau dengan membelakangi.”
[111] Al-Bidaayatu wa al-Nihaaytu, jld. 11, hal. 124.

(Berbagai-Sumber-Sunni-dan-Syiah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: