Pesan Rahbar

Home » » Wahabi – Salafy: Nabi Muhammad Sesat Sebelum Jadi Nabi

Wahabi – Salafy: Nabi Muhammad Sesat Sebelum Jadi Nabi

Written By Unknown on Thursday 21 July 2016 | 11:04:00


Wahabi Salafy tak henti – hentinya melakukan tuduhan & fitnahan, bahwa tuduhan & fitnahan ini tidak hanya digencarkan kepada muslim yang berbeda metode pemahaman tetapi juga kepada Rasulullah Sendiri, lihat banyak kutipan web, blog dan arttikel2 di internet, buku, majalah & koran dimana menurut pemahaman mereka Rasulullah Saw dalam keadaan “sesat” (arti leterlecknya) sebelum menjadi Nabi, seperti kutipan yang kami salin dari blog pengaku seoarang Kyayi & pengaku – ngaku mantan NU, http://mantankyainu.blogspot.com/2011/07/al-albani-mendakwa-nabi-muhammad-sesat.html?m=1



****AWAL KUTIPAN*****

Al Wajiz karya Wahidi – (Juz 1 / p. 1127);

وَوَجَدَكَ ضَالاًّ 

Allah menjumpai mu sesat dari kondisi kamu sekarang yaitu mendapat landmark nubuat, hukum Quran dan Syariah, Allah menunjukkan kamu ke sana .

Komentarku ( Mahrus ali )

Sudah tentu Muhammad dulu belum mengerti hukum quran dan sariat – maksudnya masih bodoh tentang hal itu , lalu apakah beliau saat itu di katakan sudah mendapat petunjuk , pada hal beliau belum mengerti sariat .

أَيْسَرُ الّتَفَاسِيْرِ لِلْجَزَّائِريّ – (جَ 4 / صَ 409)
{ وَوَجَدَكَ ضَالاًّ } : أَيْ لَا تَعْرِفُ دِيْنَا وَلَا هُدىً .

Aisarut tafasir Juz 4 / 409;

وَوَجَدَكَ ضَالاًّ 

maksudnya kamu tidak tahu agama atau petunjuk .
Komentarku ( Mahrus ali )
Pendapat itu mengarah bahwa Rasulullah SAW saat belum menjadi Nabi SAW adalah sesat.

*******AKHIR KUTIPAN ********

Sanggahan atas hal ini

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk” (QS Adh Dhuhaa [93]:7).

Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi mentafsirkannya sebagai “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang sesat, lalu Dia memberikan petunjuk” sehingga mereka meyakini bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebelum turunnya wahyu adalah dalam kesesatan.

Tentang kesalahpahaman terhadap ayat ini, Prof Dr. Sayyid Muhammad Alawi al Maliki menyatakan di dalam bukunya al Zakhair al Muhammadiyyah, “ Ayat ini sering dieksploitasi oleh sebagian ahli fitnah yang buta basirah dan tertutup pintu hati sehingga mereka tidak dapat melihat hakikat kedudukan Nabi dan Rasul yang sebenar. Mereka hanya melihat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai manusia biasa semata-mata yang berjalan di muka bumi, berjalan-jalan di pasar, memikul dosa, melakukan dosa dan kesalahan, pernah hidup dalam kesesatan lalu Allah ta’ala memberi hidayah kepadanya, pernah hidup dalam kemiskinan lalu Allah memberikannya kekayaan dan dilahirkan dalam keadaan yatim lalu Allah memberi perlindungan kepadanya. Sehinggalah ke akhir perbicaraan yang hanya membangkitkan kekeliruan orang awam karena dia memahami nas-nas yang terdapat di dalam al Quran dan Sunnah secara dzahir”

Begitupula Al Allamah al Qadhi Iyadh menyatakan dalam kitabnya al Syifa bi Tarif Huquq al Mustafa, “Terdapat banyak khabar dan athar yang saling mendukung di antara satu sama lain yang mensucikan para nabi daripada kekurangan ini semenjak mereka dilahirkan dan mereka membesar di atas tauhid dan iman.” Beliau menambah lagi: “Tidak pernah seorang pun ahli hadis berpendapat bahwa seorang daripada mereka yang dipilih menjadi nabi daripada kalangan orang yang dikenali dengan kekufuran dan kesyirikannya sebelum itu.”

Oleh karena itu kita tidak pernah mendengar para nabi dan rasul terdahulu sebelumnya mereka mengikuti keyakinan yang sesat yang dianuti oleh kaum mereka.

Kemuliaan ini adalah terlebih utama dianugerahkan ke atas Rasulullah dan tiada satu sebab atau dalil yang menghalangi baginda daripada memperoleh nikmat dan keistimewaan itu karena baginda adalah penghulu segala nabi dan rasul.

Jangan sekali-kali kita berpaling kepada pendapat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berada di atas agama kaumnya sebelum Nubuwwah, lalu Allah menghidayahkan Islam kepada baginda karena Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan para nabi yang lain sejak dilahirkan membesar atas ketauhidan dan keimanan. Sesungguhnya mereka terpelihara sebelum Nubuwwah daripada jahil tentang sifat-sifat Allah dan mentauhidkan-Nya.

Mereka tidak mengerti apa sebenarnya tujuan beragama atau tujuan untuk hidup.

Tujuan beragama atau tujuan hidup adalah untuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)

Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4).

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21).

Sejak Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lahir sampai dewasa sebelum menerima wahyu , beliau telah dikenal berakhlak baik.

Manusia yang berakhlak baik dapat dikarenakan karena mereka menuruti mata hatinya (ain bashiroh).

Setiap manusia walaupun terlahir pada orang tua yang tidak beragama (non muslim) pada hakikatnya kedalam jiwanya telah diilhamkan pilihan yang haq dan bathil.

Firman Allah ta’ala yang artinya,
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS Asy Syams [91]:8).

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS Al Balad [90]:10).

Setiap manusia akan mempertanggungjawabkan pilihan mereka di akhirat kelak.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” (QS An Nahl [16:93 )

Walaupun Allah ta’ala menetapkan seorang manusia terlahir pada keluarga Yahudi , keluarga Nasrani maupun keluarga non muslim lainnya namun mereka tetap diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak atas pilihan mereka karena seluruh manusia jiwa/qalbu nya telah diilhamkan pilihan (jalan) kefasikan dan ketaqwaan atau pilihan yang haq dan bathil.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai” (QS Anbiyaa’ [21]:23 ).

Oleh karenanya dapat kita temukan seorang pendeta yang menguasai teologi Nasrani sampai pendidikan S3 namun akhirnya mendapatkan hidayah dari Allah ta’ala sehingga sekarang telah beragama Islam dikarenakan dia mengikuti panggilan jiwanya yang tidak membenarkan bahwa manusia cukup dengan mempercayai Yesus akan mendapatkan keselamatan. 

Bahkan seluruh manusia sebelum terlahir , ketika kita belum dapat ber-lisan atau ketika kita belum dapat menulis atau ketika jasmani belum disempurnakan telah bersaksi bahwa tuhan kita adalah Allah ta’ala.

Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172).

Jadi jiwa kita atau ruhani kita sudah bersaksi ketika kita sebelum terlahir dari rahim ibu. Namun ketika kita (manusia) lahir maka kitapun suci, lupa, tidak tahu , ummi bahwa ruhani kita pernah bersaksi. Hakikat kata insan (manusia) adalah nasiya , nis yan, tidak tahu, lupa.

Fitrah manusia adalah bertuhan, mencari Allah atau ingin kembali menyaksikan Allah. Syarat untuk dapat menyaksikan Allah adalah fitri, suci sebagaimana sebelum manusia lahir ke dunia. Syarat untuk dapat kembali menyaksikan Allah adalah berakhlak baik atau berakhlakul karimah.

“seorang yang bingung” (QS Adh Dhuhaa [93]:7) yang dimaksud adalah kebingungan – kehilangan arah untuk memperoleh kebenaran mutlak (al-Haqiqah al-Muthlaqah) yang tidak bisa dicapai oleh akal pikiran, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai jalan untuk memimpin ummat (masyarakat jahiliyah yang tidak berakhlak baik atau terjangkiti penyakit moral – minum-minuman keras, membunuh, mencuri, main judi, makan riba, main perempuan) untuk kembali menyaksikan Allah atau untuk menuju kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat.

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkhalwat (mengasingkan diri dari keramaian) dan bertahanuts (perenungan/kontemplas dirii) di gua hira untuk mencari solusi mengatasi kerumitan masyarakat jahiliyah.

Pada akhirnya Allah Subhanahu Wata’ala berkenan menurunkan kepadanya wahyu Al-Quran. Yang berisi perintah dan laranganNya atau agama atau perkara syariat agar manusia dapat meneladani manusia paling mulia yakni Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga menjadi muslim yang berakhlakul karimah.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in yang ketiga puluh)

Syahadat adalah sebuah awal dari kesaksian secara lisan bahwa tiada tuhan selain Allah. Kemudian syahadat dibuktikan dengan menjalankan perkara syariat atau syarat sebagai hamba Allah. Selanjutnya seorang hamba Allah memperjalankan dirinya agar sampai (wushul) kepada Allah ta’ala hingga menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh) sehingga mereka menjadi shiddiqin yakni membenarkan dan menyaksikan bahwa selain Allah ta’ala adalah tiada. Selain Allah ta’ala adalah tiada apa apanya. Selain Allah ta’ala adalah bergantung padaNya.

Buya Hamka penulis buku “Tasawuf Modern” setelah mengikuti Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa” sebagaimana yang dituturkan oleh Dr Sri Mulyati, pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah

“Dirinya bukanlah Hamka tetapi “hampa” adalah ungkapan penyaksian Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat.

Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.

Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”

Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِه

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257).

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”

Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11).

Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28).

Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga dia dekat dengan Allah ta’ala karena berakhlakul karimah meneladani manusia yang paling mulia Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Muslim yang dekat dengan Allah ta’ala maka berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para Nabi, para Shiddiqin dan Syuhada

Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21).

“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47).

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13).

“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7).

“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69).

Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya).

Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62).

Kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah adalah kaum muslim yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54).

Yang dimaksud “orang yang murtad dari agamanya” adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi. Murtad dikarenakan pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) yang disebut juga dengan khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan bahwa orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi yang keras kepada kaum muslim bahkan membunuh kaum muslim dan membiarkan para penyembah berhala atau membiarkan kaum Zionis Yahudi bahkan berteman dengan mereka adalah mereka keluar dari Islam atau murtad.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. (HR Muslim 1762).

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim an Najdi mempergunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang kaum muslim

Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sohih Bukhari jilid:4 halaman:197].

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim an Najdi, mereka yang membaca Al Qur’an namun tidak melampaui tenggorokan, artinya tidak sampai ke hati atau tidak menjadikan mereka berakhlak baik, ciri-ciri lainnya adalah;
1. Suka mencela dan mengkafirkan kaum muslim
2. Merasa paling benar dalam beribadah.
3. Berburuk sangka kepada kaum muslim
4. Sangat keras kepada kaum muslim bahkan membunuh kaum muslim namun lemah lembut kepada kaum Yahudi. Mereka kelak bergabung dengan Dajjal bersama Yahudi yang telah memfitnah atau menyesatkan kaum Nasrani.

Rasulullah masuk ke kamarku dalam keadaan aku sedang menangis. Beliau berkata kepadaku: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Aku menjawab: ‘Saya mengingat perkara Dajjal maka aku pun menangis.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Jika dia keluar sedang aku masih berada di antara kalian niscaya aku akan mencukupi kalian. Jika dia keluar setelah aku mati maka ketahuilah Rabb kalian tidak buta sebelah. Dajjal keluar bersama orang-orang Yahudi Ashbahan hingga datang ke Madinah dan berhenti di salah satu sudut Madinah. Madinah ketika itu memiliki tujuh pintu tiap celah ada dua malaikat yang berjaga. maka keluarlah orang-orang jahat dari Madinah mendatangi Dajjal.”

Dajjal tidak dapat melampaui Madinah namun orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim an Najdi akan keluar dari Madinah menemui Dajjal

Oleh karenanya orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim an Najdi yang merupakan korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi akan selalu membela, bekerjasama dan mentaati kaum Zionis Yahudi

Kaum Yahudi yang sekarang dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier yakni kaum yang meneruskan keyakinan pagan (paganisme) atau penyembah berhala

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:101-102 ).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”

Kaum Zionis Yahudi , Allah ta’ala menyampaikan dalam firmanNya yang arti “yaitu orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka yang dijadikan kera dan babi.” (QS al-Ma’idah [5]:60).

Kaum Nasrani, Allah ta’ala menyampaikan dalam firmanNya yang arti “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS al-Ma’idah: [5]:77).

Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“

Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 ).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118).

“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119).

Kita harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap upaya ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga suatu zaman yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Abdurrahman dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Kiamat tidak terjadi hingga kaum muslimin memerangi Yahudi lalu kaum muslimin membunuh mereka hingga orang Yahudi bersembunyi dibalik batu dan pohon, batu atau pohon berkata, ‘Hai Muslim, hai hamba Allah, ini orang Yahudi dibelakangku, kemarilah, bunuhlah dia, ‘ kecuali pohon gharqad, ia adalah pohon Yahudi’.”

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Untuk mentranslate bahasa


Sebelum turun wahyu

Keadaan sebelum turun wahyu
Ada pernah kita dengar seorang mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut

“Nabi Muhammad sebelum menerima wahyu, hidup dalam keadaan tidak beragama tetapi menerima hidayah pada usia 40 tahun. Di sini menjadi, contoh yang baik untuk direnung bersama dan perkara ini tidak terjadi secara kebutulan karena Allah ta’ala tidak melakukan suatu perkara melainkan ada hikmah dan falsafah tertentu di balik nya”

Adapula yang mengungkapkan berdasarkan pendapatnya bahwa ada agama selain agama Islam seperti,

“Beragama apakah Nabi Muhammad sebelum masuk Islam?. Ini adalah pertanyaan yang mungkin oleh sebagian besar umat Islam tidak pernah dipikirkan. Apakah Nabi Muhammad beragama Hindhu, Kristen, Yahudi, Zoroaster atau lainnya? Kita tahu bahwa orang Hindhu pernah menyinggahi Arab. Kita juga tahu ada komunitas Yahudi dan Kristen banyak yang tinggal di semenanjung Arab ketika Nabi masih hidup. Tetapi kita tidak tahu apa agama asli orang Arab saat itu. Yang jelas saat itu bangsa Arab mengalami kemerosotan moral dan hidup dalam masa Jahiliyah”

Adapula mereka yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah termasuk orang kafir.

Kebingungan atau kesalahpahaman mereka dikarenakan mereka “kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah” dengan dengan pemahaman mereka sendiri berdasarkan makna dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat atau memahami dengan metodologi “terjemahkan saja” dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.

Sekarang ini tersebarluas tempat kursus kilat untuk dapat mengerti bahasa Arab, tujuannya untuk dapat mempelajari atau memahami Al Qur’an dan As Sunnah secara mandiri. Padahal untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak cukup dengan arti bahasa. Diperlukan kompetensi menguasai alat bahasa seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’). Apalagi jika ingin menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i diperlukan penguasaan ilmu ushul fiqih. Penjelasan tentang hal ini telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/10/07/tak-cukup-arti-bahasa/

Masih lebih baik bagi mereka yang berpegang bahwa agama sebelum mendapatkan wahyu adalah agama Nabi Ibrahim, maknanya itu adalah agama Islam karena semua Nabi dan Rasul diutuskan untuk menyampaikan ajaran Islam. Tiada agama kecuali agama Islam sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/21/agama-hanya-islam/ dan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/27/orang-orang-beriman/

Kebingungan atau kesalahpahaman mereka dikarenakan mereka memahami secara dzahir/harfiah/tertulis/tersurat firmanNya, “wawajadaka dhaallan fahadaa”, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk” (QS Adh Dhuhaa [93]:7) Bahkan mereka bukannya menterjemahkan “seorang yang bingung” namun “seorang yang sesat”.

Tentang kesalahpahaman terhadap ayat ini, Prof Dr. Sayyid Muhammad Alawi al Maliki menyatakan di dalam bukunya al Zakhair al Muhammadiyyah, “ Ayat ini sering dieksploitasi oleh sebagian ahli fitnah yang buta basirah dan tertutup pintu hati sehingga mereka tidak dapat melihat hakikat kedudukan Nabi dan Rasul yang sebenar. Mereka hanya melihat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai manusia biasa semata-mata yang berjalan di muka bumi, berjalan-jalan di pasar, memikul dosa, melakukan dosa dan kesalahan, pernah hidup dalam kesesatan lalu Allah ta’ala memberi hidayah kepadanya, pernah hidup dalam kemiskinan lalu Allah memberikannya kekayaan dan dilahirkan dalam keadaan yatim lalu Allah memberi perlindungan kepadanya. Sehinggalah ke akhir perbicaraan yang hanya membangkitkan kekeliruan orang awam karena dia memahami nas-nas yang terdapat di dalam al Quran dan Sunnah secara dzahir”

Begitupula Al Allamah al Qadhi Iyadh menyatakan dalam kitabnya al Syifa bi Tarif Huquq al Mustafa, “Terdapat banyak khabar dan athar yang saling mendukung di antara satu sama lain yang mensucikan para nabi daripada kekurangan ini semenjak mereka dilahirkan dan mereka membesar di atas tauhid dan iman.”

Beliau menambah lagi: “Tidak pernah seorang pun ahli hadis berpendapat bahwa seorang daripada mereka yang dipilih menjadi nabi daripada kalangan orang yang dikenali dengan kekufuran dan kesyirikannya sebelum itu.”

Oleh karena itu kita tidak pernah mendengar para nabi dan rasul terdahulu sebelumnya mereka mengikuti keyakinan yang sesat yang dianuti oleh kaum mereka.

Kemuliaan ini adalah terlebih utama dianugerahkan ke atas Rasulullah dan tiada satu sebab atau dalil yang menghalangi baginda daripada memperoleh nikmat dan keistimewaan itu karena baginda adalah penghulu segala nabi dan rasul.

Jangan sekali-kali kita berpaling kepada pendapat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berada di atas agama kaumnya sebelum Nubuwwah, lalu Allah menghidayahkan Islam kepada baginda karena Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan para nabi yang lain sejak dilahirkan membesar atas ketauhidan dan keimanan. Sesungguhnya mereka terpelihara sebelum Nubuwwah daripada jahil tentang sifat-sifat Allah dan mentauhidkan-Nya.

Mereka tidak mengerti apa sebenarnya tujuan beragama atau tujuan untuk hidup.

Tujuan beragama atau tujuan hidup adalah untuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)

Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4).

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21).

Sejak Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lahir sampai dewasa sebelum menerima wahyu , beliau telah dikenal berakhlak baik.

Manusia yang berakhlak baik dapat dikarenakan karena mereka menuruti mata hatinya (ain bashiroh).

Setiap manusia walaupun terlahir pada orang tua yang tidak beragama (non muslim) pada hakikatnya kedalam jiwanya telah diilhamkan pilihan yang haq dan bathil.

Firman Allah ta’ala yang artinya,
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS Asy Syams [91]:8).

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS Al Balad [90]:10).

Setiap manusia akan mempertanggungjawabkan pilihan mereka di akhirat kelak.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” (QS An Nahl [16:93 ).

Walaupun Allah ta’ala menetapkan seorang manusia terlahir pada keluarga Yahudi , keluarga Nasrani maupun keluarga non muslim lainnya namun mereka tetap diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak atas pilihan mereka karena seluruh manusia jiwa/qalbu nya telah diilhamkan pilihan (jalan) kefasikan dan ketaqwaan atau pilihan yang haq dan bathil.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai” (QS Anbiyaa’ [21]:23 )

Oleh karenanya dapat kita temukan seorang pendeta yang menguasai teologi Nasrani sampai pendidikan S3 namun akhirnya mendapatkan hidayah dari Allah ta’ala sehingga sekarang telah beragama Islam dikarenakan dia mengikuti panggilan jiwanya yang tidak membenarkan bahwa cukup seorang mempercayai Yesus akan mendapatkan keselamatan. 

Bahkan seluruh manusia sebelum terlahir , ketika kita belum dapat ber-lisan atau ketika kita belum dapat menulis atau ketika jasmani belum disempurnakan telah bersaksi bahwa tuhan kita adalah Allah ta’ala.

Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172).

Jadi jiwa kita atau ruhani kita sudah bersaksi ketika kita sebelum terlahir dari rahim ibu. Namun ketika kita (manusia) lahir maka kitapun suci, lupa, tidak tahu , ummi bahwa ruhani kita pernah bersaksi. Hakikat kata insan (manusia) adalah nasiya , nis yan, tidak tahu, lupa.

Fitrah manusia adalah bertuhan, mencari Allah atau ingin kembali menyaksikan Allah. Syarat untuk dapat menyaksikan Allah adalah fitri, suci sebagaimana sebelum manusia lahir ke dunia. Syarat untuk dapat kembali menyaksikan Allah adalah berakhlak baik atau berakhlakul karimah.

“seorang yang bingung” (QS Adh Dhuhaa [93]:7) yang dimaksud adalah kebingungan – kehilangan arah untuk memperoleh kebenaran mutlak (al-Haqiqah al-Muthlaqah) yang tidak bisa dicapai oleh akal pikiran, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai jalan untuk memimpin ummat (masyarakat jahiliyah yang tidak berakhlak baik atau terjangkiti penyakit moral – minum-minuman keras, membunuh, mencuri, main judi, makan riba, main perempuan) untuk kembali menyaksikan Allah atau untuk menuju kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat.

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkhalwat (mengasingkan diri dari keramaian) dan bertahanuts (perenungan/kontemplas dirii) di gua hira untuk mencari solusi mengatasi kerumitan masyarakat jahiliyah.

Pada akhirnya Allah Subhanahu Wata’ala berkenan menurunkan kepadanya wahyu Al-Quran. Yang berisi perintah dan laranganNya atau agama atau perkara syariat agar manusia dapat meneladani manusia paling mulia yakni Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga menjadi muslim yang berakhlakul karimah.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in yang ketiga puluh).

Syahadat adalah sebuah awal dari kesaksian secara lisan bahwa tiada tuhan selain Allah. Kemudian syahadat dibuktikan dengan menjalankan perkara syariat atau syarat sebagai hamba Allah. Selanjutnya seorang hamba Allah memperjalankan dirinya agar sampai (wushul) kepada Allah ta’ala hingga menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh) sehingga mereka menjadi shiddiqin yakni membenarkan dan menyaksikan bahwa selain Allah ta’ala adalah tiada. Selain Allah ta’ala adalah tiada apa apanya. Selain Allah ta’ala adalah bergantung padaNya.

Buya Hamka penulis buku “Tasawuf Modern” setelah mengikuti Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa” sebagaimana yang dituturkan oleh Dr Sri Mulyati, pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah

“Dirinya bukanlah Hamka tetapi “hampa” adalah ungkapan penyaksian Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat.

Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.

Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”

Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِه

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”

Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11).

Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28).

Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga dia dekat dengan Allah ta’ala karena berakhlakul karimah meneladani manusia yang paling mulia Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Pada masa kedua orang tua Nabi , pada masa kekosongan syariat (fatrah). Para Nabi sebelum diutus Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah diutus kepada kaumnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Para nabi diutus kepada kaumnya, sedang aku diutus untuk seluruh manusia“(HR.Bukhari)

Pada masa kekosongan syariat (fatrah) maka manusia yang berakhlak baik adalah manusia yang mengikuti hatinya (naluri) yakni tidak menyembah berhala.

Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang mati pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab penyembah berhala, maka ia berada di Neraka.”

Imam Nawawi rahimahullah jelas menyampaikan bahwa orang kafir pada masa fatrah (jahiliyah) adalah yang menyembah berhala sedangkan kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wasallam tidaklah menyembah berhala. Silahkan baca tulisan tentang bagaimana akhlak kedua orangtua beliau pada http://www.facebook.com/note.php?note_id=189857864382154 atau pada http://www.facebook.com/notes/suara-al-fakir/sayyidah-aminah-binti-wahab-ibunda-rasulullah-saw/189857864382154

Ulama yang sholeh dari keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni Sayyid Ja’far Al Barzanji mengatakan dalam kitab Barzanji , “Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Azza wa Jalla termasuk ahli iman dan telah datang dalîl dari hadîts sebagai bukti-buktinya. Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat ini maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung. Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an)”.

Perlu diketahui kitab Barzanji ditulis oleh ulama yang sholeh dari keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mendapatkan pengajaran agama dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada lisannya Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.

Sayyid Ja’far adalah seorang mufti di Madinah dari mazhab Imam Syafi’i, tentu kita tahu bagaimana kompetensi mufti pada zaman dahulu. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.

Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri. Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.

Source: http://mutiarazuhud.wordpress.com/tag/sebelum-turun-wahyu/

(Mutiara-Zuhud/Inilah-Salafi-Takfiri/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: